Menurut pasal 5 ayat 1 OECD Model, BUT merupakan tempat usaha tetap (fixed place of
business) dimana melalui tempat tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan
seleruhnya atau sebagian dijalankan. Definisi yang diberikan dipasal 5 ayat 1 ini memberikan
unsur utama dari suatu BUT yaitu adanya suatu tempat yang terpisah (district situs) atau
suatu tempat tetap yang digunakan untuk melakukan usaha. Berdasarkan pengertian diatas
maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa karakteristik suatu BUT, yaitu:
1. Adanya tempat yang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha yaitu berupa fasilitas
gedung, mesin, atau peralatan yang digunakan untuk usaha.
2. Tempat usaha ini harus sifatnya tetap yaitu harus berada di tempat/lokasi tertentu
yang sifatnya permanen atau untuk jangka waktu yang cukup lama.
3. Kegiatan menjalankan usaha dilakukan melalui tempat usaha tersebut. Artinya
biasanya untuk menjalankan usaha tersebut mengandalkan adanya personel atau orang
yang berada di negara tempat BUT terletak.
Dalam perjanjian P3B terdapat 5 jenis BUT menurut model OECD maupun model UN,
yaitu:
1. BUT Aset
Menurut pasal 5 ayat 1 OECD Model, BUT dianggap muncul apabila ada aset berupa
tempat tetap yang digunakan untuk melakukan usaha di negara lain, kriteria
penentuan jenis BUT seperti ini sering disebut dengan BUT aset. Lebih lanjut di pasal
5 ayat 2 OECD Model, diberikan daftar aset apa saja yang dapat menimbulkan BUT.
Daftar tersebut merupakan contoh-contoh BUT aset, dan tidak dimaksudkan untuk
membatasi. Artinya suatu aset dapat emnimbulkan BUT harus tetap sesuai dengan
kriteria BUT sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan pasal 5 ayat 1 OECD
Model. Adapun daftar BUT aset menurut OECD adalah sebagai berikut:
a. Tempat manajemen
b. Cabang
c. Kantor
d. Pabrik
e. Bengkel
f. Tambang, sumur minyak, penggalian atau tempat pengolahan sumber daya alam
lainnya.
2. BUT Jasa
BUT jasa timbul apabila ada kegiatan pemberian jasa yang dilakukan di negara lain
yang emmenuhi syarat untuk dianggap menimbulkan BUT. Rumusan BUT jasa
dibahas di dalam pasal 5 ayat 3 UN Model, sebagai berikut:
The term “permanent establishment” also encompasses
a) A building site, a construction, assembly or installation project or supervisory
activities in connection therewith, but only if such site, project or activities
last more than six months;
b) The furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise
through employees or other persone engaged by the enterprise for such
purpose, but only if acticities of that nature continue (for the same or a
connected project) within a contracting state for a period or periods
aggregating more than 183 days in any 12 month period commencing or
ending in the fiscal year concerned.
Rumusan tersebut sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pasal 5 ayat 3 OECD
Model. Cakupan BUT jasa UN Model meliputi jasa konstruksi dan jasa lainnya,
sedangkan dalam OECD Model cakupannya hanya terbatas pada jasa konstruksi
saja.
Berdasarkan penjelasan diatas, cakupan BUT jasa menurut model OECD dan
model UN maka dapat disimpulkan terdapat dua jasa yang dapat menjadi objek
pengenaan pajak, yaitu:
1. Jasa konstruksi
Pasal 5 ayat 3 huruf a UN Model mengatur cakupan BUT jasa konstruksi yaitu
bangunan, konstruksi, proyek perakitan, atau instalasi atau kegiatan
pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, asalkan bangunan
dan konstruksi serta kegiatan pengawasan tersebut berlangsung selama 6 bulan
Perbedaan rumusan BUT jasa konstruksi antara OECD Model dengan UN
Model adalah:
- Cakupan BUT jasa konstruksi dalam UN Model meliputi proyek perakitan
(assembly) dan kegiatan pengawasan (supervisory activities);
- Jangka waktu OECD (time test) dalam UN Model lebih pendek jika
dibandingkan OECD Model. Dalam UN Model jangka waktunya adalah 6
bulan, sedangkan OECD Model model jangka waktunya 12 bulan.
4. Anak perusahaan
Sesuai dengan pasal 5 ayat 7 OECD Model mengatur bahwa jika suatu perseroan
yang berkedudukan di suatu negara menguasai atau dikuasai oleh perseroan yang
berkedudukan di negara lainnya ataupun menjalankan usaha di negara lainnya itu
(baik melalui suatu BUT tetap ataupun dengan cara lain), maka hal itu tidak dengan
sendirinya akan berakibat bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan BUT dari
lainnya. Ketentuan ini mengikuti prinsip bahwa untuk tujuan pajak, anak perusahaan
dan induk perusahaan merupakan subjek pajak yang terpisah.
5. E-Commerce
Menurut Kurniawan (2017:58) dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Tax
Treaty menjelaskan bahwa dalam menentukan ada tidaknya BUT dalam suatu
transaksi e-commerce perlu juga memperhatikan ketentuan pasal 5 ayat 4 OECD
Model, sebab aktivitas yang sifatnya persiapan (preparatory) dan penunjang
(auxiliary) tidak menimbulkan BUT. Beberapa aktivitas yang bisa dianggap sebagai
persiapan atau penunjang misalnya sebagai berikut:
a. Penyediaan jalur komunikasi antara pemasok dan pelanggan;
b. Iklan barang dan jasa;
c. Penyampaian informasi melalui server bayangan untuk tujuan keamanan dan
efisiensi
d. Pengumpulan data pasar;
e. Pemerian informasi
Jika suatu perusahaan melakukan suatu aktivitas usaha masih masuk dalam kategori
persiapan dan penunjang maka akan dikecualikan sebagai BUT. Namun jika fungsi-
fungsi tersebut merupakan fungsi utama dari suatu perusahaan dalam menjalankan
usahanya melalui komputet maka bisa dikatakan perusahan tersebut memiliki BUT
(Kurniawan, 2017:68).