Anda di halaman 1dari 5

Cervantes, Don Quixote: Olok-Olok, Kebenaran

Oleh: Goenawan Mohamad

Tahun ini, persisnya 22 April yang baru lalu, sebagian orang di dunia merayakan 400 tahun
wafatnya Cervantes. Don Quixote-nya, yang bagian pertamanya terbit di Spanyol di tahun 1605,
kini bagian dari percakapan global; di Indonesia novel ini bahkan sudah diterjemahkan Abdul
Moeis di tahun 1923 sebelum zaman "Poedjangga Baroe".

Sebagian besar pembacanya, sejak di abad ke-17 itu, mengangapnya sebuah kisah yang lucu --
dan mungkin Cervantes sendiri memaksudkannya demikian. Motif utamanya memang
mencemooh kisah-kisah ksatria romantis dengan cinta yang berbunga-bunga yang sangat
digemari di zamannya --kurang-lebih seperti sinetron di televisi kita hari ini.

Don Quixote adalah olok-olok atas sebuah anakronisme yang parah: seorang yang saking tergila-
gilanya kepada hikayat caballero erante jadi sinting dan mengkhayalkan diri sebagai "ksatria
pengembara" di sebuah zaman yang sudah sekian abad tak kenal tokoh seperti itu -- kurang-lebih
seperti seorang Jawa yang hidup di zaman Hindia Belanda berjalan ke sana ke mari
membayangkan diri (dan memakai kostum) ksatria Majapahit.

Heroisme itu menggelikan; atau heroisme hanya semacam gejala rasa bosan. Cervantes
meletakkan latar Don Quixote bukan di wilayah Spanyol yang dihiasi kastil tua dengan bukit dan
pohon hutan yang rimbun dan romantis. Cervantes memilih wilayah La Mancha, sebuah dataran
tinggi yang nyaris kosong dan menjemukan; bahkan desa tempat Don Quixote disebutkan tinggal
adalah sehimpun rumah yang amat lumrah.

Cemooh ini membuat Don Quixote jadi "kejam" dalam menertawakan orang, dalam hal ini tokoh
utamanya sendiri. Vladimir Nabokov, yang membahas novel ini dalam satu seri kuliah di
Harvard di awal 1950-an, bahkan konon menyamakan sikap Cervantes dengan kekejaman
penyaliban Yesus. Tapi dengan perspsektif humor itu pula Don Quixote jadi pemula prosa
modern: di dalamnya anasir realisme kuat justru dengan seseorang yang siang malang dirundung
fantasi tentang zaman sebuah masa yang tak ada lagi.

Bahkan di jilid kedua, Don Quixote makin tampil sebagai karakter sebuah novel, bukan tokoh
sebuah hikayat; ia tetap sinting, tapi ini kesintingan yang terbatas pada khayalnya menjadi
seorang ksatria dari dongeng. Selebihnya, ia cukup beres.
Karya ini laris. Cetakan pertama dilakukan dengan lekas dan murah; baru setelah diterbitkan di
London dan Brussels format bukunya diproduksi lebih bagus. Kelarisan Don Quixote membantu
kehidupan Cervantes yang selama bertahun-tahun hidup melarat. Ia bermula sebagai tentara,
konon serdadu bayaran, terluka dalam perang laut, tangannya lumpuh, kemudian jadi tawanan
bajak laut di Algiers, dan akhirnya kembali ke Spanyol dalam keadaan rudin. Beberapa kali ia
dipenjara karena perkara uang. Ia coba menulis lakon, novel ketengan, dan lain-lain. Tapi
baru. Don Quixote, yang terbit ketika ia sudah berusia di atas 55, yang membuatnya kaya dan
kekal.

Untuk sekedar memperingatinya, saya turunkan tulisan di bawah ini (berdasar pada sebuah
"Catatan Pinggir") dengan kutipan pemikir Spanyol, Miguel de Unamuno -- mungkin orang
pertama yang mempelopori tafsir baru tentang Don Quixote, yang biasanya hanya menampilkan
tokoh itu sebagai sosok yang untuk ditertawakan: "Don Quixote melontarkan diri ke dalam aksi,
ke dalam laku, dan membuka diri untuk diolok-olok; dengan demikian, dialah salah satu tauladan
kerendahan-hati yang paling murni."

Tapi olok-olok yang panjang yang jenaka itu kemudian jadi serius.

Menertawakan Don Quixote telah jadi kelaziman berabad-abad. Tokoh ini seorang hidalgo,
bangsawan kecil, yang jadi majenun karena terlampau banyak membaca cerita ksatria zaman
lama. Kita kenal adegan lucu yang termashur ini: Don Quixote menaiki kuda kurus yang ia beri
nama Rocinante, memakai panci sebagai tutup kepala, dan menyerang kincir angin karena ia
yakin itulah gergasi.

Cervantes sadar kisahnya kocak. Tertawa pertama kita temukan di novel itu sendiri di bab ke-9.

Di sana mula-mula disebutkan bagaimana sang pengarang tak bisa menyelesaikan ceritanya: ia
tak bisa menemukan bahan tertulis tentang petualangan Don Quixote. Untunglah pada suatu hari
ia berada di alcaná, bagian pasar tua orang Yahudi di kota Toledo. Ia menemukan seorang anak
yang menjual berkas kertas-kertas lama. Tertarik, Cervantes membelinya. Lembar-lembar itu
bertuliskan huruf Arab. Penuh rasa ingin tahu apa gerangan isinnya, ia mencari
seorang morisco untuk menerjemahkannya. Baru saja mulai membaca, si penerjemah terkekeh-
kekeh...

Tapi bagian ini tak dilanjutkan dengan adegan lucu. Dengan segera lanjutan cerita menukik ke
dalam sebuah narasi yang justru minta dihadapi dengan bersungguh-sungguh. Pada berkas kertas
itu tercantum: "Hikayat Don Quixote dari La Mancha, ditulis oleh Sayid Hamid Bin Angeli,
seorang sejarawan Arab"...

Don Quixote: ditulis seorang sejarawan? Sebuah cerita sejarah? Tak ada jawaban yang jelas.
Dalam bahasa Spanyol-Castilia (setidaknya di abad itu), baik "sejarah" dan "kisah"
disebut historia. Cervantes menggunakan dua arti dan dua sisi itu dengan menarik -- dan
mungkin itu sebabnya Don Quixote dianggap model novel modern: ia membawakan pelbagai
lapisan suara. Ia bahkan mempertanyakan "kebenaran"-nya sendiri.

Di bab ke-16 jilid kedua, seorang pelancong bertanya kepada sang tokoh utama yang
menampilkan diri sebagai caballero erante itu: "Sekarang setelah saya tahu siapa tuan, saya
makin heran. Benarkah masih ada ksatria pengembara di jaman ini?". Jawab Don Quixote :
"Masih banyak yang harus dibahas, tentang benarkah sejarah kstaria pengembara itu fiktif atau
tidak."

Jika sejarah adalah "kebenaran" dan kisah adalah "fiksi", Cervantes mendorong pembaca untuk
percaya bahwa buku yang diikutinya itu kedua-duanya.

Tak ada batas yang pasti. Semuanya serba mungkin. Juga siapa sebenarnya yang mengarang
novel ini: Cervantes sendiri? Sayid Hamid bin Angeli? Narasi Don Quixote, sebagaimana
tokohnya yang gila, bergerak antara dunia nyata dan yang imajiner, antara fakta yang
benar, verdades, dan dusta, mentiras. Don Quixote, tokoh fiksi ini, sadar bahwa ia memang
"hidup" dalam fiksi.

Di situ pula Cervantes menempatkan Sayid Hamid Bin Angeli yang misterius itu sebagai
pembentuk cerita. Sang Sayid juga sebuah ambiguitas: dua perspektif, dua wajah. Cervantes
menganggapnya orang yang tak bisa dipercaya, sebab ia seorang Arab, dan, katanya, berbohong
adalah "sifat umum bangsa itu." Tapi ia juga menilai orang ini "arif".

Bahkan di jilid kedua Don Quixote, di adegan akhir hayat Don Quixote, Sayid Hamid disebut
sebagai pemegang kunci kebenaran riwayat hidup lelaki kurus tua yang sebenarnya bernama
Alonso Quixano itu. Orang La Mancha itu wafat seraya meninggalkan keinginan agar tak ada
pengarang lain, "kecuali Sayid Hamid Bin Angeli", yang bisa menghidupkan kisahnya kembali.

Pertalian antara mereka berdua dikukuhkan, dengan mengharukan, beberapa baris sebelum buku
tutup yang dinyatakan sang Sayid: "Hanya untukku Don Quixote dilahirkan, dan sebaliknya, aku
dilahirkan untuknya."
Olok-olok itu tak terasa lagi di sana...

Yang terasa adalah pertemuan-pertemuan panjang. Don Quixote terbit pertama kali di awal abad
ke-17. Jilid keduanya beredar 15 tahun kemudian., 1615. Di antara itu, jejak sejarah-lah yang
mempertalikan Cervantes dan Sayid Hamid yang fiktif itu.

Jejak sejarah itu bernama "Islam". "Islam," tulis Frederick Quinn dalam The Sum of All Heresies:
The Image of Islam in Western Thought (2008), "dulu jadi sebuah topik bukan hanya dalam
tulisan-tulisan politik, agama, dan kebudayaan di Prancis dan Inggris, tapi juga merupakan fokus
pengarang besar Spanyol abad ke-17, Miguel de Cervantes".

Cervantes memang hidup dalam bayang-bayang pertautan dan konflik antara Islam dan Kristen
seperti yang tercermin dalam sejarah Spanyol antara abad ke-12 dan abad ke-15. Perang antara
Spanyol di bawah dinasti Habsburg dan Turki di bawah daulat Usmani di abad ke-16 tentu juga
membekas. Kita merasakannya ketika kalimat-kalimat Cervantes menyentuh tokoh Sayid Hamid:
sikap yang ambivalen.

Kita telah melihat bagaimana Cervantes menyebut sang Sayid bagian dari "bangsa Arab" yang
gemar berdusta. Tapi ia juga mengatakan bahwa siapapun yang menikmati kisah Don Quixote
patut berterima kasih kepada Sayid Hamid, untuk ketelitiannya menelaah. "Ia gambarkan apa
yang dipikirkan, ia ungkapkan khayalan, ia jawab pertanyaan yang tersirat, bersihkan
keraguan..."

Pada akhirnya Don Quixote memberi makna bukan dengan menggambarkan sebuah kehidupan,
melainkan dengan mengekspresikan laku yang menerobos garis-garis demarkasi. Islam, Kristen,
Arab, Spanyol,, fiksi, non-fiksi, humor, tragedi, realitas, waham dan ilusi. Tokoh itu majenun, ia
tak menghitung untung atau rugi, aneh atau tak aneh. Ia pemberani.

Dalam hal itu Cervantes punya sebuah peninggalan yang penting. Ada satu kalimat yang datang
dari Milan Kundera di tahun 2011. Di zaman ini, kata sastrawan Polandia itu, ia tak
mempertautkan diri kepada Tuhan. Tidak juga kepada tanahair. Atau rakyat. Atau individu. "Aku
hanya bertaut kepada peninggalan Cervantes yang disepelekan." "I am attached to nothing but
the depreciated legacy of Cervantes."

Bagi Kundera, novel dua jilid dengan puluhan tokoh yang terbit di awal abad ke-17 itu
memaparkan apa yang kemudian jadi watak modernitas: "dunia sebagai ambiguitas." Dalam
dunia itu manusia diharuskan menghadapi "bukan satu kebenaran yang mutlak, melainkan
seombyok kebenaran yang saling bertentangan". Maka satu keberanian tersendiri untuk
mempunyai sebuah kearifan lain -- yakni "kearifan tentang ketidak-pastian", the wisdom of
uncertainty.

Dalam "kearifan" itu kita juga bisa memutuskan, bahwa ketidak-pastian itu juga bukan sesuatu
yang pasti: selalu ada saat ketika kepastian datang -- biarpun tak selama-lamanya. Selalu ada saat
ketika kebenaran mendapatkan sifatnya yang universal.

https://www.qureta.com/post/cervantes-don-quixote-olok-olok-kebenaran

Anda mungkin juga menyukai