Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

Demam Typhoid

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. H. Mohammad Rabain Muara Enim

Penyaji:

Dyah Rahayu Utami 04054821719044

Pembimbing:
dr. Edy Novery, Sp.A, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD Dr. H. MOHAMMAD RABAIN MUARA ENIM
2018
Halaman Pengesahan

Demam Typhoid

Disusun oleh :

Dyah Rahayu Utami 04054821719044

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Periode 13 Agustus s.d 22 Oktober 2018

Muara Enim, Oktober 2018


Pembimbing

dr. Edy Novery, SpA, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
presentasi kasus dengan topik “Demam Typhoid” sebagai salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Edy Novery, SpA, M.Kes
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Muara Enim, Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II. STATUS PASIEN ................................................................................ 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 16
BAB IV. ANALISIS KASUS ............................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang


disebabkan oleh Salmonella typhi.1 Penyakit menular ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di
dunia dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian. Hasil telaahan kasus di
rumah sakit besar di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-
rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%.2
Di Indonesia harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena
penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Demam tifoid diduga erat
hubungannya dengan hygiene perorangan yang kurang baik , sanitasi lingkungan
yang jelek, serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar
masyarakat. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun.1,2 Pada tahun 2008, WHO melaporkan
angka kesakitan tifoid di Indonesia sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan
sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),
148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan
51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak
adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.3
Manifestasi demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada
populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit (RS)
dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa penelitian di
komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada usia kurang dari
5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak seperti tifoid.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala

1
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Komplikasi
serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang menderita tifoid
lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Komplikasi
dapat berupa pendarahan usus, perforasi usus, dan peritonitis. Sedangkan
komplikasi demam tifoid diluar usus halus dapat berupa bronkitis, kolesistisis, dan
yang paling berat adalah typhoid ensefalopati.3,4
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian
antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga
ditujukan kepada penderita karier Salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa
pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi wisatawan dari daerah non
endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.5
Makalah ini membahas suatu laporan kasus pada pada anak dengan
diagnosis demam tifoid. Melalui laporan kasus ini diharapkan pembaca dapat
lebih memahami penegakan diagnosis demam tifoid dan dapat melakukan
penatalaksanaan demam tifoid hingga tuntas.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI
Nama : An. FAD
Umur / Tanggal Lahir : 8 tahun / 27 Maret 2010
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. F
Nama Ibu : Ny. K
Alamat : Dusun 1, Ujan Mas Baru, Ujan Mas, Kab. Muara
Enim
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 24 September 2018

B. ANAMNESIS
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan ibu kandung
penderita, 24 September 2018 pukul 10.00 WIB)
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Muntah dan BAB cair

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 7 hari SMRS, pasien mengeluh demam naik turun, demam turun
tidak mencapai suhu normal, demam meningkat terutama pada malam hari.
Demam tidak disertai menggigil, tidak disertai keringat pada malam hari,
tidak disertai kejang. Mual ada, muntah tidak ada, nafsu makan normal, nyeri
kepala ada, nyeri ulu hati tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, keluar
cairan dari telinga tidak ada, sakit menelan tidak ada, sakit tenggorokan tidak
ada, nyeri sendi tidak ada, pegal-pegal tidak ada, pucat tidak ada, kuning
tidak ada, ruam kemerahan tidak ada, mimisan tidak ada, dan gusi berdarah
tidak ada. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria sebelumnya tidak

3
ada. BAK dan BAB seperti biasa. Penderita kemudian dibawa ke dokter dan
diberi obat penurun panas.
3 hari SMRS, penderita masih demam, demam naik turun dan
meningkat terutama pada malam hari. Kejang tidak ada, mual ada, muntah
ada sebanyak 1 kali setelah makan sebanyak ±1 gelas belimbing berisi sisa
makanan dan air, nafsu makan menurun, nyeri kepala ada, nyeri ulu hati ada,
pegal-pegal tidak ada, pucat tidak ada, kuning tidak ada, ruam kemerahan
pada kulit tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada. Penderita
mengalami BAB cair sebanyak 2 kali, air lebih banyak dari ampas,
banyaknya ± ½ gelas belimbing tiap BAB. BAK seperti biasa. Penderita
belum dibawa berobat.
1 hari SMRS, penderita masih demam, demam naik turun dan
meningkat terutama pada malam hari. Kejang tidak ada, mual ada, muntah
ada sebanyak 4 kali setelah makan sebanyak ±1 gelas belimbing tiap muntah,
berisi sisa makanan dan air, nafsu makan menurun, nyeri kepala ada, nyeri
ulu hati ada, pegal-pegal tidak ada, pucat tidak ada, kuning tidak ada, ruam
kemerahan pada kulit tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada.
Penderita masih mengalami BAB cair sebanyak 1 kali, air lebih banyak dari
ampas, banyaknya ± ½ gelas belimbing tiap BAB. BAK seperti biasa.
Kemudian penderita dibawa ke IGD RSUD Dr. H. Mohammad Rabain Muara
enim.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit demam dengan gejala yang sama sebelumnya
disangkal
 Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria disangkal
 Riwayat pernah mengkonsumsi obat-obatan malaria disangkal
 Riwayat batuk lama disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar

4
 Riwayat keluarga, lingkungan rumah maupun sekolah mengalami sakit
yang sama seperti penderita disangkal
 Riwayat keluarga, lingkungan rumah maupun sekolah mengalami sakit
demam dengue disangkal
 Riwayat keluarga berpergian ke daerah endemis malaria disangkal
 Riwayat keluarga atau lingkungan mengalami TB disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Pola Hidup


 Penderita sering jajan di pinggir jalan dan kantin sekolah.
 Penderita jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah
makan.
 Bak mandi dikuras teratur setiap satu kali dalam seminggu, bak
penampungan air tertutup.

Riwayat Lingkungan
Penderita tinggal bersama ayah, ibu, dan dua orang kakak di rumah
pribadi, terdiri atas tiga kamar dan dua WC menggunakan bak penampungan
air terletak di dalam rumah. Rumah penderita jauh dari tempat pembuangan
sampah umum. Sumber air yang dipakai berasal dari ledeng. Air untuk minum
menggunakan air ledeng yang telah dimasak.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


GPA : P3A0
Masa kehamilan : 37 minggu
Partus : Spontan per vaginam
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 8 Juni 2004
Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : Lupa
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

5
Riwayat Makan
ASI : 0 bulan − 6 bulan
Susu formula : 4 bulan – 3 tahun
Bubur saring : 7 – 12 bulan
Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup.

Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 24 bulan
Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol :-
Ngompol :-
Sering mimpi : -
Aktivitas : Aktif
Membangkang: -
Ketakutan :-
Kesan : Riwayat perkembangan mental baik

6
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Umur Umur Umur Umur
HB0 1 hari
BCG 1 bulan
DPT 1 2 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan 18 bulan,
DT saat
kelas 1 SD
HEPATITIS 2 bulan HEPATITIS 3 bulan HEPATITIS 4 bulan 18 bulan
B1 B2 B3
Hib 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan 18 bulan
POLIO 1 1 bulan POLIO 2 2 bulan POLIO 3 3 bulan -
CAMPAK 8 bulan POLIO 4 4 bulan Campak : 2
tahun dan
saat kelas 1
SD

Kesan : Imunisasi dasar dan ulangan lengkap.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayah penderita
berusia 40 tahun, pendidikan terakhir SMA, yang bekerja sebagai wiraswasta.
Ibu penderita berusia 38 tahun dengan pendidikan terakhir SMA dan sehari-
hari sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan per bulan tidak menentu namun
>5 juta rupiah per bulan
Kesan sosial ekonomi: menengah keatas.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 24 September 2018 pukul 10.30 WIB
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 38,6°c
SpO2 : 99%

7
Berat Badan : 24 kg
Tinggi Badan : 130 cm
Status Gizi: BB/U : 25/26 x 100% = 96,15%  Normoweight
TB/U : 130/128 X 100% = 101,5%  Normoheight
BB/TB : 25/27 X 100% = 92,59%  Gizi baik
Kesan : Status Gizi Baik

Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris

8
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (-), edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya
(+/+) normal
Telinga : Meatus auditori eksterna (+), serumen (-), edema (-),
hiperemis (-), sekret (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri
tekan tragus (-), nyeri tekan mastoid (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-), bibir pecah-pecah
(-), cheilitis (-), typhoid tongue (+), tremor (+)
Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), T1-T1, hiperemis (-),
detritus (-), crypta melebar (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi (-)
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
 Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Auskultasi : HR: 82 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
 Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan
(+) di regio epigastrium
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

9
 Lipat paha : Pembesaran KGB (-)
 Genitalia : Tidak ada kelainan
 Ekstremitas : Akral hangat (-), palmar pucat (-), edema (-), CRT < 3
detik
 Kulit : Rumple leed test (-)

Status Neurologis
 Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - -
Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal
Reflek patologis - - - -

 Fungsi sensorik : belum dapat dinilai


 Fungsi nervi craniales : dalam batas normal
 GRM : (-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin 24 September 2018
Hb : 13,3 g/dl
Eritrosit` : 4,82 x106/µL
Leukosit : 9,93x103/µL
Hematrokit : 38,1 %
MCV : 79 fL
MCH : 27,6 pg
MCHC : 34,9 g/dL

10
Trombosit : 448x103/µL

Differential count
Neutrofil : 66,4%
Limfosit : 20,4%
Monosit : 12,8%
Eosinofil : 0,2%
Basofil : 0,2%
LED : 3mm/jam
Pemeriksaan Parasitologi
Malaria (DDR) : (-) negatif
Pemeriksaan Imunologi
DENGUE BLOOD
IgG : (-) negatif
IgM : (-) negatif
WIDAL
Salmonella typhi H : 1/80
Salmonella typhi O : 1/320
Salmonella paratyphi AH : 1/80
Salmonella paratyphi AO : 1/320
Salmonella paratyphi BH : 1/80
Salmonella paratyphi CH : 1/80
Salmonella paratyphi BO : 1/160
Salmonella paratyphi CO : 1/160

E. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Muntah
3. BAB cair (+)
4. Typhoid tounge (+)
5. Nyeri tekan epigastrium

11
F. DIAGNOSIS BANDI NG
1. Demam Typhoid
2. Demam Dengue
3. Malaria

G. DIAGNOSIS KERJA
Demam Typhoid

H. PENATALAKSANAAN
1. Supportif
o Tirah baring sampai 7 hari bebas demam, lalu mobilisasi secara
bertahap
o Diet: lunak dan bebas serat.
o IVFD KAEN 3A gtt XX/menit
2. Simptomatik
o Paracetamol 3 x 250 mg po, jika suhu ≥ 38,5o C
o Inj. Ondansentron 2 x 4 mg (iv)
3. Kausatif
o Inj. Ceftriaxone 1 x 2g (iv)
4. Edukasi
o Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang
tempat, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pemberantasan
lalat, penyediaan air minum yang memenuhi syarat.

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

12
J. FOLLOW UP
Tanggal Follow up Pengobatan
25/9/2018 S/ demam (+) terutama malam  IVFD KAEN 3A gtt XX /m
hari, nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (-), BAB cair (-)  Ceftriaxone 1 x 2 gram (iv)
Ondansetron 2 x 4 mg (iv)
O/
Keadaan umum : tampak sakit  Paracetamol tab 3 x 250 mg
sedang prn (po)
Sensorium : compos mentis
Temperatur : 38,3oC
Pulse rate : 88 x/m
Respiratory rate : 22 x/m
Tekanan darah : 100/60 mmHg

Keadaan spesifik
Kepala : NCH (-), sklera ikterik
(-), konjungtiva anemis (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-), typhoid tounge (+)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh
(-) , Rh (-)
Cor : BJ I dan II normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar
dan lien tak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), BU (+)
meningkat
Extremitas : akral hangat (+),
CRT < 3”

A/
Demam typhoid
26/9/2018 S/ nyeri ulu hati (+) berkurang,  IVFD KAEN 3A gtt XX /m
demam (-), mual (+), muntah (-),
BAB normal.  Ceftriaxone 1 x 2 gram (iv)

13
Ondansetron 2 x 4 mg (iv)
O/
Keadaan umum : tampak sakit Neurosanbe 1 x 1 amp (iv)
sedang  Paracetamol tab 3 x 250 mg
Sensorium : compos mentis
Temperatur : 37,7oC prn (po)
Pulse rate : 90 x/m
Respiratory rate : 22 x/m
Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Keadaan spesifik
Kepala : NCH (-), sklera ikterik
(-), konjungtiva anemis (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-), typhoid tounge (+)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh
(-) , Rh (-)
Cor : BJ I dan II normal,
murmur (-), gallop(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar
dan lien tak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+) berkurang, BU
(+) normal
Extremitas : akral hangat (+),
CRT < 3”

A/
Demam typhoid
27/9/2018 S/ demam (-), muntah (-), BAB Boleh pulang
normal.
Terapi pulang:
Keadaan umum : baik  Cefixime 200mg 2 x 1 tab
Sensorium : compos mentis
(po)
Temperatur : 36,6 oC
Pulse rate : 92 x/m  Paracetamol 250 mg, 3 x
Respiratory rate : 20 x/m
Tekanan Darah : 100/70 mmHg 0,5 tab (po) , bila suhu ≥
38,5o C
Keadaan spesifik
Kepala : NCH (-), sklera ikterik  Diet lunak
(-), konjungtiva anemis (-), faring  Tirah baring
hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh

14
(-) , Rh (-)
Cor : BJ I dan II normal,
murmur (-), gallop(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar
dan lien tak teraba, BU (+)
normal
Extremitas : akral hangat (+),
CRT < 3”

A/
Demam typhoid

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) disebabkan oleh Salmonella typhi dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1 Kemenkes RI no.
364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam tifoid adalah
penyakit yang disebabkan oleh kumam berbentuk basil yaitu Salmonella
typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar feses
manusia.

II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 22 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dan menyebabkan 216.000–600.000 kasus kematian tiap tahun.3 Studi yang
dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15
tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai
180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar
400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000
penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000
penduduk. Di Indonesia pada tahun 2008 dilaporkan sebesar 81,7 per
100.000 penduduk, dengan sebaran menurut lelompok umur 0,0/100.000
penduduk (0–1tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000
(5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa
penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.

16
Gambar 1. Epidemiologi Demam Tifoid (WHO, 2003).

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia


sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam
jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar
tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam
air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.
Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja
(melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada
bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber
kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

III. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.

17
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C
(S. Hirschfeldii).1
Taksonomi Salmonella typhi adalah sebagai berikut:
Phylum Eubacteria
Class Prateobacteria
Ordo Eubacteriales
Family Enterobacteriaceae
Genus Salmonella
Species Salmonella enterica
Subspesies Enteric (I)
Serotipe Typhi
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella
typhi mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K)
yang terdiri dari polisakarida. Selain itu, Salmonella typhi mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar
dari dinding sel yang dinamakan endotoksin.1

IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada
Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal
sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 1,3
Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan ataupun benda lainnya yang
terkontaminasi kuman. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi
klinis ataupun subklinis pada manusia adalah sebesar 105 – 108 Salmonella.

18
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus.1,3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di
jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang
baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel
epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari
kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar
getah bening mesenterika. 1,3
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik. 1,3
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental
dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini

19
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,3
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat
akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. 1,3
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya. 4
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.8

20
Gambar 2. Pathogenesis demam tifoid.7
V. Manifestasi klinik
a) Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit
tidaklah khas, seperti gejala influenza, berupa: anoreksia, rasa malas,
sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut.4
b) Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian.4
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada
penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar
atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada
periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas
yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit

21
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen
disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.2 Roseola
terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula
merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit
perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila
ditekan.3
c) Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat
pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh
penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam.3
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala toksemia semakin
berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah
mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna
gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut
kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus
menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.3
d) Minggu Ketiga Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan
terjadi anoreksia dengan pengurangan berat badan yang signifikan.
Konjungtiva terinfeksi dan pasien mengalami takipnea dengan suara
crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa
individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan
apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch
mungkin dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis. 4
Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari
terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.5
e) Minggu Keempat Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara
lisis, kecuali jika fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan

22
lunak maka demam akan menetap.7 Pada mereka yang mendapatkan
infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan
yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu
yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer
tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.5

VI. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan
sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi
sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan
limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,3,5
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.

23
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).5

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika
pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.6
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.6

24
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.6
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella
typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang
pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid.6
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi
Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.6
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin
O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi
titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat
kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.6
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:6
o Titer O yang tinggi (  160) menunjukkan adanya infeksi
akut.

25
o Titer H yang tinggi (  160) menunjukkan telah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
o Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.

b) Tes TUBEX
Tubex test sering dijadikan pilihan untuk menegakan
diagnosis demam tifoid karena mudah dilakukan serta hasilnya bisa
langsung dilihat hanya dalam waktu 2 menit. Tes Tubex
menunjukan hasil yang lebih spesifik karena tes ini mendeteksi
antibodi tehadap antigen tunggal yang terdapat di Salmonella typhi
yaitu antigen O9 yang merupakan antigen yang sangat spesifik yang
tidak ditemukan di mikroorganisme lain. Hasil Tubex yang positif
dapat dijadikan penunjang ditegakannya diagnosis demam tifoid.3
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.5
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.1,5 Sedangkan penelitian oleh

26
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.5
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang
cepat dan akurat.5
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang
belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.5
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel

27
feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh
Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen
Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.5

e) Pemeriksaan dipstik
IgM dipstick test didesain untuk diagnosis serologi dari
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi IgM spesifik Salmonella
typhi yang terdapat dalam serum. Pemeriksaan dengan
menggunakan IgM dipstick ini mudah dan efisien sehingga sering
digunakan untuk menegakan diagnosis demam tifoid ketika kultur
darah tidak tersedia.3
3. Kultur
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri
akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

28
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).
Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat
menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
agglutinin semakin meningkat.

4. Pemeriksaan PCR Kuman Salmonella typhi


Metode lain untuk identifikasi kuman Salmonella typhi yang
akurat adalah mendeteksi deoxyribonucleic acid (DNA) atau asam
nukleat kuman Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR). Dasar spesifisitas reaksi hibridisasi adalah kemampuan
asam nukleat utas/rantai tunggal untuk mendeteksi dan membentuk
ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan asam nukleat utas tunggal yang
mengandung urutan asam nukleat padanannya. Reaksi hibridisasi
merupakan reaksi kinetik yang efisien dan dapat mendeteksi sejumlah
sangat kecil asam nukleat kuman dalam waktu yang sangat pendek. Pada
sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah
diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada
atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA
(kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi,
pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman
dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi /ml
darah dari pasien demam tifoid. Dengan kemajuan teknologi di bidang

29
molekular, target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum
dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan
teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase.6
Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil
satu pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan.9

VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya
gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status
mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada
setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.
Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat
dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots
(bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi
kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis.
Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang
pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium

30
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan
darah tepi, serologis, dan bakteriologis.3,4

VIII. Diagnosis Banding


Demam tifoid merupakan keadaan infeksi yang lama dengan
manifestasi utama yaitu demam lebih dari 7 hari. Diagnosis banding yang
dapat di dapat jika ditemukan manifestasi berupa demam lama (lebih dari 7
hari) adalah penyakit paru kronis seperti TBC, malaria, dan infeksi saluran
kemih (ISK). Pada TBC, biasanya ditemukan gejala khas walaupun kadang
tidak spesifik pada anak seperti batuk yang lama (>3 minggu), adanya
penurunan berat badan yang signifikan (akibat penurunan nafsu makan),
timbul benjolan pada tulang belakang (spondilitis TB), dan adanya riwayat
kontak pada penderita TB. Untuk malaria, kita dapat melihat dari tipe
demamnya yang intermiten (panas tinggi, kemudian turun sampai batas
normal) walau kadang tidak spesifik untuk malaria akibat P. falsiparum dan
disertai menggigil, kadang disertai kuning, memiliki riwayat bepergian atau
tinggal di daerah endemis malaria, dan beberapa gejala lain yang tidak khas.
Untuk ISK, kadang bersifat asimptomatik, tapi gejala khas pada ISK adalah
adanya riwayat BAK yang sedikit-sedikit tapi sering, nyeri saat BAK, nyeri
suprapubik bahkan sampai ke pinggang, BAK disertai warna kemerahan,
atau rasa tidak lampias saat BAK.1

IX. Penatalaksanaan
Pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan
dengan keadaan bakteriemia, maka pengobatan antibiotik merupakan
pengobatan utama (pendekatan imunologis ) sebagai suatu terapi kausatif.
Secara umum dasar pemilihan antibiotik berdasarkan pada jenis bakteri
penyebab. Maka pada demam tifoid antibiotik yang dipilih adalah antibiotik
yang sensitif terhadap Salmonella typhi (Akib et al., 2001). Prinsip
penatalaksanaan demam tifoid masih menggunakan penatalaksanaan yang
meliputi: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik

31
simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu
diperlukan tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi
intestinal maupun ekstraintestinal.2
a) Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk
mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan
tetap perlu diperhatikan dan dijaga.2
Diet dan Terapi Penunjang Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam
memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
b) Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Memberikan
diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus,
dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini
dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan
keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. Pemberian
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare
juga harus diperhatikan. Primperan (metoclopramide) dapat diberikan
untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap
sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak
mengalami mual lagi.
c) Pemberian Antibiotik Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan
dibagi menjadi lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol,
dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini

32
kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun),
sefiksim, dan seftriakson.

Tabel 1. Obat dan dosis antimikroba untuk demam tifoid (Kemenkes,


2006)

Antibiotik Dosis Kelebihan/Keuntungan

Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg ( 2 gr)/ hari - Merupakan obat yang


selama 14 hari. paling lama digunakan
Anak : 50-100 mg/kgBB/hari dan dikenal paling
maksimal 2 gr, diberikan selama efektif terhadap
10-14 hari. demam tifoid.
- Murah, dapat diberikan
peroral, dan
sensitivitas masih
tinggi.
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila
leukosit

Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari selama 3 -5 - Cepat menurunkan


hari. suhu, lama pemberian
Anak : 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal dan dapat dosis
tunggal selama 5 hari tunggal serta cukup
aman untuk anak.
- Pemberian IV

Ampisilin dan Dewasa: 3-4gr/hari selama 14 - Aman untuk penderita


amoksisilin hari. hamil.
Anak : 100 mg/kgBB/hari dosis - Sering dikombinasi
tunggal selama 10 hari. dengan kloramfenikol

33
untuk pasien kritis.
- Tidak mahal.
- Pemberian PO/IV

TMP-SMX Dewasa: 2 x (160-800) selama 2 -


(kotrimoksazol minggu.
) Anak : TMP 6-10 mg/kgBB/hari
atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari
selama 10 hari

Quinolon a. Siprofloksasin: 2 x 500 mg - Pefloksasin dan


selama satu minggu b. fleroksasin lebih cepat
Ofloksasin: 2 x (200-400) mg dalam menurunkan
selama satu minggu c. suhu.
Pefloksasin: 1 x 400 mg selama - Efektif dalam
satu minggu d. Fleroksasin: 1 x mencegah relaps dan
400 mg selama satu minggu karier.
- Pemberian peroral
- Anak: tidak dianjurkan
karena efek samping
pada pertumbuhan
tulang.

Cefixim Anak : 15-20 mg/kgBB/hari - Aman untuk anak


selama 10 hari dibagi menjadi 2 - Pemberian peroral.
dosis. - Efektif.

Tiamfenikol Dewasa: 4x500 mg - - Dapat untuk anak dan


Anak : 50 mg/kgBB/hari selama dewasa.
5-7 hari bebas panas. - Dilaporkan sensitif
pada beberapa daerah.

34
Tabel 2. Prinsip dan Langkah Strategis Penatalaksanaan Demam Tifoid
(Kemenkes, 2006).

No. Langkah Prinsip

1. Evaluasi awal 1. Menegakkan diagnosis klinis


(diagnosis kerja) - suspek demam tifoid
- demam tifoid klinis
2. Mengatasi atau deteksi komplikasi, dan/
atau komorbid atau ko infeksi yang ada
3. Memikirkan DD dari penyakit

2. Rawat atau rujuk Menetapkan indikasi rawa t atau rujuk


Indikasi rawat:
1. Demam tifoid dengan kedaruratan
2. Demam tifoid dengan komplikasi
3. Demam tifoid klinis
4. Demam tifoid dengan konfirmasi (telah
ada hasil biakan).

Indikasi rujuk:

1. Demam tifoid dengan tanda-tanda


kedaruratan
2. Demam tifoid dengan tanda-tanda
komplikasi dengan fasilitas tidak
mencukupi

3. Perawatan 1. Bila diagnosis demam tifoid telah


ditegakkan maka tatalaksana
(manajemen) tifoid harus segera dimulai
sesuai dengan standar pedoman.
2. Melakukan prosedur perawatan dengan

35
pedoman:
a. Istirahat tirah baring
b. Diet
c. Keadaan umum baik, diet dapat
lebih padat (diet padat dini)
d. Antimikroba
e. Obat-obat suportif dan simptomatik

4. Pemberian antimikroba Pemberian antimikroba empiris lini pertama.

a. Sebelum memberikan antimikroba, ambil


spesimen darah untuk biakan (gaal
culture) dan pemeriksaan serologi
pertama Widal 1 (pemeriksaan
mikrobiologis pertama), kecuali
pemeriksaan biakan benar-benar tidak
dapat dilakukan.
b. Bila antibiotik lini pertama tidak dapat
digunakan (kontraindikasi), berikan
antibiotik lini pertama yang lain atau
berikan antibitika lini kedua.

5. Terapi terhadap 1. Setiap ada komplikasi, segera terapi


komplikasi dan secara adekuat. Bila perlu melibatkan
komorbid/ko infeksi. profesi spesiali yang lain (seperti
spesialis bedah jika perforasi)
2. Setiap ada komorbi/koinfeksi, terapi
menurut standar.

6. Kontrol dan monitor 1. Kontrol dan monitor tanda-tanda vital


(tensi, nadi, suhu, dan kesadaran) secara
reguler sesuai aturan dan dicatat secara
baik di rekam medik. Kurva suhu, nadi,

36
dan tensi sangat baik untuk monitor
demam tifoid.
2. Kontrol dan memonitir terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi
(perdarahan, perforasi, sepsis,
ensepalopati, infeksi, dan lainnya),
terutama pada minggu ke 2 dan 3
demam.
3. Kontrol dan monitor perjalanan penyakit
untuk menentukan: a. Perubahan terapi
antibiotika b. Mobilisasi dan pemberiaan
diet c. Indikasi pulang

7. Diagnosis pasti demam 1. Melakukan pembiakan kedua dengan


tifoid sampel feses, darah, dan urin.
2. Melakukan pemeriksaan serologi ke 2/
Widal II
3. Pada tahap pemeriksaan serologi kedua
ini harus sudah dapat menilai seseorang
dengan demam tifoid dengan:
a. Hasil biakan pertama atau
b. Peningkatan titer Widal 4 kali lipat
4. Bila ada fasilitas, dibantu dengan deteksi
DNA (PCR)

8. Penilaian kemajuan 1. Efikasi antibiotika dinilai, kurang lebih


terapi 3-5 hari setelah pemberian.
2. Mengevaluasi apakah resisten, ada efek
samping atau efek toksik sertra
konsistensi pemberian.
3. Perubahan antibiotik:
a. Diganti dengan antibiotikyang

37
sensitif menurut uji kepekaan
b. Bila biakan tidak ada, diganti dengan
antibiotik lini kedua yang memiliki
efikasi yang tinggi.
4. Menilai kemajuan pengobatan secara
umum:
a. Penurunan suhu
b. Perbaikan kesadaran
c. Nafsu makan
d. dll
5. 2-3 hari bebas panas:
a. Program mobilisasi
b. Perubahaan diet
6. Bila penilaian klinis sembuh, ditetapkan
indikasi pulang:
a. 5-7 hari bebas panas
b. Keadaan umum baik
c. Komplikasi/komirbidteratasi/
terkontrol

9. Deteksi tehadap karier 1. Sebelum pasien pulang, lakukan biakan


dengan spesiemen feses atau urin
2. Menciptakan kerjasama yang baik
dengan pasien agar dapat segera
dilakukan evaluasi lanjutan, teruatma
biakan untuk deteksi karier.
3. Sekurang-kurangnya biakan ulang
setelah 1 bulan dan 3 bulan sembuh.

10. Terapi terhadap karier Karier diterapi dalam jangka waktu panjang
(Quinolon selama 4 minggu) serta eradikasi
faktor predisposisi seperti batu empedu atau

38
batu saluran kencing.

d) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :3
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus

39
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat.

40
Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella
oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen
ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.9

XI. Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
 Cuci tangan.

41
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan
anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum
makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
 Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah
endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.
Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum
kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air
yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya
tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu
ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan
sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh
kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang
disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di
jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
 Sering cuci tangan.

42
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30
detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya
sekali sehari.
 Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri
makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja
sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri
Salmonella.
 Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap
populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per
oral tiga kali dengan interval pemberian selang 2 hari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik. Vaksin Ty-
21a diberikan pada anak berumur diatas 6 tahun. Vaksin ini efektif selama
3 tahun dan memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.

43
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL
yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui
suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini
di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat
efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL
yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster)
setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.1
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
S.ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.

44
Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia.
Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

45
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dibawa ke RSUD Dr. H. M. Rabain


Muara Enim dengan keluhan utama demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam naik turun dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak
disertai menggigil, tidak berkeringat malam hari, dan tidak disertai kejang.
Berdasarkan anamnesis awal, keluhan utama pasien tersebut yaitu demam akut (7
hari) dan bersifat remiten. Demam yang bersifat akut biasanya disebabkan oleh
suatu proses infeksi atau inflamasi dan jarang disebabkan karena proses
keganasan maupun penyakit autoimun. Demam akut dan bersifat remiten tidak
spesifik untuk suatu penyakit. Beberapa penyakit yang dapat terkaitdengan
keluhan utama demam pada pasien ini antara lain adalah demam dengue, infeksi
saluran nafas, infeksi saluran kemih, otitis media, demam tifoid, meningitis,
malaria, morbili dan hepatitis. Keluhan pasien tidak disertai menggigil, keringat
malam hari, nafsu makan menurun, dan kejang sehingga dapat memastikan tidak
adanya gejala sistemik yang menunjukkan keadaan sakit berat. Pasien
menyangkal adanya berpergian ke daerah endemis malaria dan belum pernah
menderita malaria sebelumnya, dari anamnesis demam tidak disertai menggigil
dan dari pemeriksaan fisik tidak di dapatkan pucat maupun kuning, serta tidak
didapatkan tanda-tanda perdarahan sehingga malaria dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis selanjutnya didapatkan pasien tidak mengeluh
batuk, pilek, nyeri menelan, sakit tenggorokan, dan tidak ada riwayat keluar cairan
dari telinga maupun sakit telinga sehingga dapat menyingkirkan suatu fokal
infeksi di saluran pernapasan dan telinga. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri
sendi, pegal-pegal, ruam kemerahan di tubuh maupun ekstremitas, mimisan dan
perdarahan lainnya, sehingga dapat menyingkirkan beberapa penyebab akibat
infeksi dan inflamasi seperti juvenile inflamatory arthritis, lupus, dan demam
berdarah dengue. Pasien mengeluh mual, muntah, dan nyeri ulu hati, dan pasien
mengeluh BAB cair sehingga dapat diperkirakan gejala dari traktus
gastrointestinal. Tidak nyeri saat BAK dan BAK seperti biasa dapat

46
menyingkirkan penyebab demam akibat infeksi saluran kemih. Berdasarkan
anamnesis riwayat penyakit demam dengan gejala yang sama sebelumnya
disangkal sehingga menyingkirkan diagnosis penyakit yang bersifat kronis dan
berulang seperti penakit autoimun atau keganasan. Pasien juga tidak memiliki
riwayat batuk lama, keringat malam hari, penurunan berat badan, serta tidak ada
riwayat TB dalam keluarga dan kontak dengan penderita TB sehingga diagnosis
banding TB dapat disingkirkan. Berdasarkan riwayat kebiasaan, pasien jarang
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan serta sumber air minum
keluarga pasien berasal dari air ledeng yang dimasak sehingga dapat disimpulkan
terdapat faktor resiko transmisi infeksi melalui rute fekal-oral. Pada pemeriksaan
tanda vital didapatkan kesadaran pasien compos mentis, kenaikan suhu tubuh
pasien yaitu 38,6oC.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan sklera
ikterik dan hepatomegali sehingga diagnosis hepatitis dapat disingkirkan. Pada
pasien ini juga tidak ditemukan adanya cairan keluar dari telinga sehingga
diagnosis otitis media dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik juga tidak
ditemukan adanya GRM sehingga diagnosis meningitis dapat disingkirkan. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran KGB dan massa,
sehingga diagnosis keganasan dan infeksi di region tertentu dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien ini juga tidak ditemukan mata merah dan
berair serta ruam kemerahan sehingga diagnosis morbili dapat disingkirkan. Pada
pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan rumple leed test (-) sehingga diagnosis
demam dengue dapat disingkirkan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
pasien ini, keluhan demam pada pasien ini lebih mengarah pada demam tifoid,
yaitu berupa demam naik turun yang meningkat terutama pada malam hari dan
tidak pernah mencapai suhu normal, dengan gejala gastrointestinal berupa BAB
cair dan mual muntah. Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien jarang
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan yang mengarahkan diagnosis kerja
ke demam tifoid. Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan lidah kotor yang sesuai
dengan manifestasi klinis demam typhoid.

47
Untuk lebih menunjang diagnosis kerja dan menyingkar diagnosis bandung
pada pasien ini, maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah
rutin, pemeriksaan malaria (DDR), IgG dan IgM dengue, serta widal test. Dari
hasil pemeriksaan penunjang yang menduking didapatkan pada pemeriksaan
serlogi didapatkan titer O aglutinin dan paratyphi AO sebesar 1/320, bila titer
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer terjadi kenaikan 4 kali (dalamsatu minggu),
maka diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan. Oleh karena itu, berdasarkan
kesesuaian antara dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa diagnosis
pada pasien ini adalah demam typhoid.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif,
simptomatik, kausatif, dan edukatif. Karena invasi kuman pada plaque payeri
ileum distal yang dapat menimbulkan perforasi, maka
penatalaksanaan supportif pada pasien ini meliputi tirah baring dan diet
yang dapat meringankan kerja usus. IVFD diperlukan karena pasien lemas dan
anoreksia sehingga tidak mendapat asupan makan per oral. Selain itu, IVFD juga
diperlukan untuk memasukan obat injeksi. Pada pasien ini diberikan IVFD KAEN
3A gtt XX/menit. Terapi simptomatik meliputi antipiretik (bila suhu diatas
38,5oC), pada pasien ini diberikan paracetamol 3 x 250 mg tab per oral. Terapi
kausatif meliputi antibiotik. Antibiotik yang dapat diberikan berupa
kloramfenikol, kotrimoksasol, ampisilin, dan sefalosporin generasi ketiga.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol
dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Pada pasien ini
diberikan sefalosporin generasi ketiga berupa ceftriaxon 2 gram per 24 jam.
Edukasi juga sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien tidak terjangkit
penyakit yang sama dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari demam tifoid.
Edukasi meliputi higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di
sembarang tempat, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan
pembuangan limbah feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air minum
yang memenuhi syarat.

48
49
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 365/ MENKES /SK/V/2006 tentang
Pedoman. Pengendalian Demam Tifoid.
3. Hadinegoro SR., Kadim M., Davaera Y,. dkk. Pilihan Terapi Antibiotik
untuk Demam Tifoid. Dalam : Update Management of Infectious Diseases
and Gastrointestinal Disorders. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM ; 2012. H. 9-15.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : 2003. h. 2-20.
7. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
8. Hoffman SL.1991. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s
Textbook of Pediatrics, edition7. Philadelphia : WB Saunders, 344-58.
9. Purba IE., Wandra T., Nugrahini N., dkk. Program Pengendalian Demam
Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Medan : Universitas Sari
Mutiara Indonesia, Medan, Sumatera Utara, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan RI, dan Ikatan Dokter Indonesia.

50

Anda mungkin juga menyukai