Anda di halaman 1dari 3

Nama : Amanda Ismi Wulan

NIM : 020112819124231
No. DPNA : 75
Kampus : Indralaya
Mata Kuliah : Hukum Perbankan

HUBUNGAN HUKUM NASABAH (PENYIMPAN DANA, DEBITUR, WALK IN


CUSTOMER ATAU KREDIT MODAL KERJA) DENGAN BANK

Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dana dengan bank

Sebagaimana diketahui bahwa hubungan hukum antara nasabah dengan bank adalah
hubungan kontraktual yang didalamnya berlaku asas-asas hukum perjanjian. Seperti halnya
dalam praktek perbankan konvensional yang mempergunakan format standard contract dalam
melakukan ikatan hukum dengan nasabah, maka bank syariah di dalam memberikan layanan
produk kepada nasabah juga mempergunakan format perjanjian baku atau standard contract
yang bentuk dan isinya telah disusun dan dipersiapkan oleh pihak bank dengan sedemikian
rupa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa yang
dimaksud dengan Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
simpanan dimaknai sebagai dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Mengenai bentuk dan sifat hubungan hukum antara nasabah dengan bank, kajian
referensial menunjukkan bahwa terdapat beberapa pendapat dan perbedaan di kalangan ahli
hukum. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa hubungan hukum antara nasabah dengan
bank adalah hubungan penitipan, sebagian lagi mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah
hubungan pemberian kuasa. Satu hal yang perlu dicatat bahwa penentuan dan identifikasi
terhadap sifat dan bentuk hubungan hukum antara nasabah dengan bank selalu tidak terlepas
dari karakter dasar dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam perjanjian antara nasabah
dengan bank.
Hubungan hukum antara debitur dengan bank

Secara hukum, debitur mempunyai hak untuk tidak menerima perjanjian kredit yang
didesain bank yang tidak melindungi hak-hak dan kepentingannya. Dalam kenyataannya
debitur harus menerima perjanjian kredit yang dibuat secara baku/standar dengan klausula
yang menguntungkan bank, seperti keharusan untuk memberikan kuasa kepada bank, yang
tidak dapat dicabut kembali, untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu oleh
bank. Debitur juga tidak mempunyai pilihan selain harus menerima perjanjian yang dibuat
secara sepihak tersebut, dan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperbandingkan
antara perjanjian yang dibuat oleh satu bank dengan yang dibuat oleh bank lainnya. Nasabah
debitur tidak mempunyai kesetaraan yang memadai sehingga tidak mempunyai bargaining
position agar substansi perjanjian kredit dapat dibuat dengan lebih memperhatikan
kepentingannya.
Ketentuan di dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa dalam
memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam
atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan. Pada bagian Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan di
atas disebutkan bahwa pemberian kredit mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya
bank harus senantiasa memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Di dalam lanjutan
Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan juga tercantum bahwa untuk memperoleh
keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah
debitur.

Hubungan hukum antara WALK IN CUSTOMER (WIC) dengan bank

Walk in Customer atau WIC merupakan pengguna jasa Bank yang tidak memiliki
rekening pada Bank tersebut, serta tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau pun
penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut.
(Lihat Pasal 1 butir 5 PBI Nomor 11/28/PBI/2009). Prinsip Customer Due Diligence (CDD)
adalah tindakan bank berupa identifikasi, verifikasi dan pemantauan, untuk memastikan
transaksi sesuai dengan profil calon nasabah, Walk In Customer (WIC), atau nasabah. Bank
wajib melakukan prosedur CDD pada saat melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah,
melakukan hubungan usaha dengan WIC, bank meragukan kebenaran informasi yang
diberikan oleh nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner (BO) atau terdapat
transaksi keuangan yang tidak wajar. Sedangkan Untuk calon nasabah, WIC atau nasabah
yang tergolong beresiko tinggi termasuk Politically Exposed Person (PEP) maka bank wajib
melakukan Enhanced Due Diligence (EDD) berupa tindakan CDD yang lebih mendalam,
EDD terhadap PEP dilakukan dengan cara EDD secara berkala paling kurang berupa analisis
terhadap informasi, mengenai nasabah atau BO, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan
usaha dengan pihak-pihak terkait dan pemantauan yang lebih ketat terhadap nasabah atau
BO, EDD terhadap nasabah atau WIC dilakukan apabila nasabah atau WIC yang
menggunakan produk perbankan beresiko tinggi, melakukan transaksi dengan pihak yang
berasal dari negara yang beresiko tinggi, melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil,
terhadap hasil CDD yang menyimpang dari profil nasabah dan hasil EDD bank wajib
menyampaikan sebagai LKTM dan LKTT kepada PPATK.

Anda mungkin juga menyukai