Anda di halaman 1dari 116

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN

Disusun oleh :

1. Alin Febi Cahyani (462337)

2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)

3. Khoirul Insan (456592)

4. Khoirunisa (455538)

5. Latri Putri Paramandita (462355)

6. Maulana Edith Indrastata (462360)


Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktikum Klimatologi Pertanian ini disusun sebagai salah satu sarana
pendukung mata kuliah Klimatologi Pertanian.
Sehubungan dengan ini, kami menyatakan bahwa :
1. Alin Febi Cahyani (462337)
2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)
3. Khoirul Insan (456592)
4. Khoirunisa (455538)
5. Latri Putri Paramandita (462355)
6. Maulana Edith Indrastata (462360)
Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

Telah menyerahkan Laporan Praktikum Klimatologi Pertanian pada :


Hari : Kamis
Tanggal : 14 Oktober 2021

Yogyakarta, 14 Oktober 2021

Daffa Ramzy Syah A.


(Asisten)

2
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktikum Klimatologi Pertanian telah disetujui dan disahkan pada :


Hari :
Tanggal :
Tempat : Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Mengetahui,

Daffa Ramzy Syah A.


(Asisten)

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Resmi
Praktikum Klimatologi Pertanian. Laporan resmi ini disusun sebagai bentuk
pertanggungjawaban praktikan setelah mengikuti Praktikum Klimatologi Pertanian yang
telah dilakukan. Laporan ini juga digunakan sebagai syarat mengikuti responsi
praktikum.

Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan koreksi maupun bahan
pembelajaran dalam mempelajari ilmu klimatologi khususnya untuk bidang pertanian.
Kami mengucapkan terima kasih kepada anggota tim penyusun dan rekan-rekan sesama
praktikan serta asisten praktikum klimatologi pertanian yang telah memberi koreksi,
saran, dan kritik sehingga dapat membantu menyempurnakan laporan ini. Kami
berharap semoga laporan ini dapat berguna bagi mahasiswa khususnya di bidang
pertanian dan semoga ilmu yang didapatkan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Akhir kata, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, maka dari itu
penyusun menyadari bahwa Laporan Resmi Praktikum Klimatologi Pertanian ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kesediaan kepada
semua pihak untuk memberikan kritik yang bersifat membangun. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 14 Oktober 2021

Penyusun

4
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………... 1
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………….... 2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. 4
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………... 5
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………... 6
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. 8
ACARA II……………………………………………………………………………... 9
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………….10
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………12
III. METODOLOGI……………………………………………………………… 14
IV. HASIL PENGAMATAN……………………………………………………...15
V. PEMBAHASAN……………………………………………………………... 18
VI. KESIMPULAN………………………………………………………………. 29
VII. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 33
ACARA III………………………………………………………………………….... 34
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………….32
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………… 36
III. METODOLOGI……………………………………………………………… 38
IV. HASIL PENGAMATAN……………………………………………………... 39
V. PEMBAHASAN……………………………………………………………... 41
VI. KESIMPULAN………………………………………………………………. 50
VII. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 51
ACARA IV…………………………………………………………………………... 54
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………….32
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………36
III. METODOLOGI……………………………………………………………… 38
IV. HASIL PENGAMATAN……………………………………………………...39
V. PEMBAHASAN……………………………………………………………... 41
VI. KESIMPULAN………………………………………………………………. 50
VII. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 51

5
ACARA V……………………………………………………………………………. 53
I. HASIL PENGAMATAN……………………………………………………... 54
II. PEMBAHASAN……………………………………………………………... 60
III. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 68
ACARA VI………………………………………………………………………
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
III. METODOLOGI……………………………………………………………
IV. HASIL PENGAMATAN………………………………………………………
V. PEMBAHASAN…………………………………………………………
VI. KESIMPULAN……………………………………………………………
VII. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………

6
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil pengamatan suhu udara pada beberapa perlakukan di hari Senin sampai
Jumat………………………………………………………………………………………
Tabel 2.2. Citra Satview saat Suhu Udara Tertinggi dan Suhu Udara Terendah………….
Tabel 3.1 Data Rerata Suhu dan Curah Hujan Tahun 2006-2019 di Jayapura……………
Tabel 3.2 Data Rerata suhu dan Curah Hujan Beserta Nilai ENSO dan IOD Tahun
2006-2019 di Jayapura…………………………………………………………………….
Tabel 4.1 Klasifikasi Iklim Menurut Mohr pada Stasiun Borobudur…………………….
Tabel 4.2 Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt dan Fergusson pada Stasiun Borobudur….
Tabel 4.3 Klasifikasi Iklim Menurut Oldeman pada Stasiun Borobudur…………………
Tabel 4.4 Klasifikasi Iklim Menurut Koppen pada Stasiun Borobudur…………………..
Tabel 4.5 Data Curah Hujan Bulanan Stasiun Borobudur Pada Tahun 2019……………..
Tabel 4.6 Data Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun Borobudur Pada Tahun 2020………
Tabel 4.7 Data Curah Hujan Dasarian (mm) Stasiun Pada Tahun 2019………………….
Tabel 4.8 Data Curah Hujan Dasarian (mm) Stasiun Pada Tahun 2020………………….
Tabel 5.1 Curah Hujan per Dasarian Selama 10 Tahun (Jan-Des)......................................
Tabel 5.2 Rangkingisasi (Jan-Des)......................................................................................
Tabel 5.3 Besar Curah Hujan Pada Peluang 75% (Jan-Des)...............................................
Tabel 5.4 Nilai Tmin, Tmax, P, F, Eto, BC, dan Eto P per Bulan………………………...
Tabel 5.5 Nilai Kc Umum per Tanaman per Dasarian……………………………………
Tabel 5.6 Nilai Etc Umum per Tanaman………………………………………………….
Tabel 6.1 Hasil Perhitungan Nilai Prediksi dan Observasi ENSO………………………..
Tabel 6.2 Hasil Perhitungan Nilai Prediksi dan Observasi IOD………………………….
Tabel 6.3 Hasil pengamatan hujan dan liputan awan dari SADEWA…………………….

7
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Grafik Konsep Albedo……………………………………………………….


Gambar 2.2 Grafik Konsep Naungan……………………………………………………..
Gambar 2.3 Grafik Konsep Tutup Awan………………………………………………….
Gambar 3.1 Diagram Garis Perbandingan Suhu Rata-rata 10 Tahun Terakhir dengan
Suhu Rata-rata Terkini…………………………………………………………………….
Gambar 3.2 Diagram Batang Perbandingan Curah Hujan 10 Tahun Terakhir dengan
Curah Hujan Terkini………………………………………………………………………
Gambar 3.3 Grafik Index SST Nino 3.4 pada tahun 2017-2022…………………………
Gambar 3.4 Grafik IOD dari tahun 2017-2022…………………………………………..
Gambar 4.1 Segitiga Agroklimat………………………………………………………...
Gambar 4.2 Histogram Curah Hujan Bulanan di Stasiun Borobudur Tahun 2019………
Gambar 4.3 Histogram Curah Hujan Bulanan Stasiun Borobudur Tahun 2020…………
Gambar 4.4 Histogram Dasarian Curah Hujan (mm) Stasiun Borobudur Tahun 2019….
Gambar 4.5 Histogram Dasarian Curah Hujan (mm) Stasiun Borobudur Tahun 2020….
Gambar 5.1 Waktu yang tepat penanaman tanaman semangka secara monokultur……..
Gambar 5.2 Waktu yang tepat penanaman tanaman kacang hijau secara monokultur…..
Gambar 5.3 Waktu yang tepat penanaman tanaman mentimun secara monokultur……..
Gambar 5.4 Waktu yang tepat penanaman tanaman crucifers secara monokultur………
Gambar 5.5 Waktu yang tepat penanaman tanaman cauliflower secara monokultur……
Gambar 5.6 Tumpangsari tanaman Kacang hijau dan Crucifers………………………...
Gambar 5.7 Tumpangsari tanaman Mentimun dan Cauliflower………………………...
Gambar 5.8 Tumpangsari gilir tanaman Mentimun dan semangka……………………...
Gambar 5.9 Tumpangsari gilir tanaman Mentimun dan crucifers……………………….

8
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN
ACARA II
IKLIM MIKRO

Disusun oleh :
1. Alin Febi Cahyani (462337)
2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)
3. Khoirul Insan (456592)
4. Khoirunisa (455538)
5. Latri Putri Paramandita (462355)
6. Maulana Edith Indrastata (462360)
Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021

9
ACARA II
IKLIM MIKRO

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklim dalam arti sempit biasanya didefinisikan sebagai cuaca rata-rata
atau sebagai deskripsi statistik dalam hal rata-rata dan variabilitas jumlah yang
relevan selama periode waktu mulai dari bulan hingga ribuan atau jutaan tahun.
Tak hanya itu, iklim juga memiliki pengertian dalam arti luas yaitu keadaan
termasuk deskripsi statistik dari sistem iklim (Bothe, 2018). Iklim dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu Iklim Makro, Iklim Meso, dan Iklim Mikro
(Wisnubroto, 1994 cit. Pudjowati, 2018).
Menurut Karyati (2019) iklim secara umum merupakan salah satu faktor
paling penting untuk menentukan pertumbuhan tanaman dan salah satu syarat
penting di sektor pertanian, begitu juga dengan iklim mikro. Iklim mikro juga
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan
dan produksi tanaman yang menjadi sumber daya yang sangat berharga dan
memainkan peranan penting dalam pembangunan pertanian serta jenis dan sifat
pada iklim mikro bisa menentukan jenis-jenis tanaman yang tumbuh pada daerah
tersebut (Haryati, 2014).
Pengetahuan tentang iklim mikro sangat penting sekali karena Indonesia
merupakan negara agraris yang sangat mengandalkan iklim untuk hasil produksi
dibidang pertanian. Selain itu, Indonesia yang memiliki luas wilayah yang besar
pastinya memiliki syarat iklim yang berbeda-beda. Dengan demikian,
pengetahuan akan iklim terutama iklim mikro yang sangat dekat dengan
agroekosistem tidak dipungkiri bahwa sangat diperlukan. Hal tersebut
dikarenakan sering terjadi penyimpangan pada permulaan musim penghujan
maupun kemarau yang sangat mempengaruhi terhadap kegiatan usaha tani di
Indonesia akibat adanya kondisi suhu (temperatur) udara, curah hujan, pola
musim yang sangat menentukan kecocokan untuk optimalisasi pembudidayaan
tanaman pertanian sehingga praktikum acara II “Iklim Mikro” dilakukan untuk
memperdalam pengetahuan iklim mikro dan penyimpangannya.

10
B. Tujuan
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir iklim mikro.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro.
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.

11
II. TINJAUAN PUSTAKA

Iklim merupakan sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur


cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat atau
suatu wilayah. Sintesis tersebut juga dapat diartikan sebagai nilai statistik yang meliputi
nilai rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi atau peluang kejadian. Maka iklim juga
disebut sebagai nilai statistik cuaca pada jangka panjang di suatu wilayah (Nasir et al.,
2017). Faktor-faktor iklim yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu
curah hujan (untuk pertanian lahan kering), suhu maksimum dan suhu minimum, serta
radiasi surya (Indrawan et al., 2017).
Iklim dibedakan menjadi dua kelompok yaitu iklim makro dan iklim mikro.
Keseluruhan kejadian meteorologis khusus di atmosfer disebut iklim makro. Iklim
makro berhubungan dengan ruang yang besar seperti negara, benua, dan lautan,
sedangkan iklim mikro berhubungan dengan ruang terbatas, yaitu ruang dalam, jalan,
kota, atau taman kecil (Sari et al., 2016). Menurut Indrawan et al. (2017), iklim mikro
merupakan kondisi di sekitar tanaman yang dimulai dari perakaran terdalam hingga
tajuk teratas tanaman. Iklim mikro sangat berpengaruh terhadap budidaya pertanian
karena berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Iklim mikro meliputi suhu,
kelembaban dan cahaya. Iklim mikro juga dikendalikan oleh keadaan vegetasi (jenis,
tinggi, kerapatan), radiasi matahari bentuk relief mikro tanah, sifat tanah, lengas tanah,
dan penutupan lahan.
Faktor pengaruh iklim mikro yang paling penting ialah radiasi matahari karena
radiasi matahari merupakan sumber energi dalam kehidupan dan saling berpengaruh
dengan anasir-anasir iklim yang lain seperti curah hujan, kelembaban, dan temperatur.
Tanpa adanya radiasi matahari tentu saja aktifitas iklim tidak bisa berjalan. Akan tetapi,
radiasi matahari juga dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan yang semakin tinggi
secara signifikan akan menurunkan intensitas radiasi matahari (Panjaitan, 2011 cit. Rifai
et al., 2014). Hal itu disebabkan karena semakin banyak kandungan air di awan maka
nilai albedo semakin tinggi.
Albedo adalah perbandingan antara sinar matahari yang masuk ke permukaan
bumi dan dipantulkan kembali ke atmosfer sehingga nilai albedo di setiap permukaan
bumi akan berbeda-beda (Sasky et al., 2017). Nilai albedo yang kecil akan memberikan
intensitas radiasi matahari yang besar, sementara nilai albedo yang besar akan

12
memberikan intensitas radiasi matahari yang kecil. Jumlah curah hujan sebanding
dengan lamanya tutupan awan yang menghalangi sinar matahari dan jumlah molekul air
yang akan menyerap radiasi matahari di atmosfer. Pada periode basah kelembaban
relatifnya tinggi, radiasi mataharinya rendah, sedangkan pada musim kemarau radiasi
mataharinya tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelembaban memiliki
efek terhadap radiasi (Abdullahi et al., 2017).
Iklim mikro dapat dimodifikasi agar budidaya tanaman dapat dimaksimalkan.
Untuk itu diperlukan adanya penyesuaian iklim dengan tanaman yang akan
dibudidayakan. Hal tersebut dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan
produktivitasnya tinggi. Modifikasi iklim mikro dapat dilakukan dengan proses utama
berupa pengendalian pembebasan panas, keseimbangan air, kecepatan angin, dan
modifikasi suhu dan radiasi matahari (Kingra dan Kaur, 2017). Data mengenai cuaca
dan iklim dalam jangka panjang dapat digunakan oleh petani untuk menyusun
perencanaan, pelaksanaan, serta perkiraan peluang.

13
III. METODOLOGI

Praktikum Klimatologi Pertanian Acara 2 yang berjudul “Iklim Mikro”


dilaksanakan pada Jumat, 3 September 2021 pukul 13.30 sampai selesai di
Laboratorium Agroklimatologi, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan untuk pengamatan dalam praktikum ini
adalah termohigrometer, termometer, lightmeter, luxmeter, biram anemometer, stick
termometer, dan statif. Pengamatan dilakukan di dua tempat berbeda, yaitu daerah yang
berkanopi tidak berkanopi.
Tahapan yang dilakukan untuk pengamatan yaitu termometer dan
termohigrometer dipasang pada statif dengan aras 25, 75, dan 150 cm. Stick
termometer, luxmeter/lightmeter, serta biram anemometer disiapkan. Skala pada
tiap-tiap alat diamati dan dibaca secara bersamaan pada semua strata yaitu kelembapan,
intensitas penyinaran, dan suhu udara dibaca pada waktu yang telah ditetapkan; suhu
tanah jeluk 0 cm dibaca tepat pada waktu yang telah ditentukan lalu stick termometer
dimasukkan pada jeluk 20 cm dan dibaca 2 menit kemudian; kemudian stick
termometer dimasukkan lagi pada jeluk 40 cm dan dibaca 2 menit kemudian; biram
anemometer disiapkan 5 menit sebelum waktu pengamatan ditentukan dan dibaca 5
menit setelah pengamatan; pengamatan pada tiap-tiap strata diulangi setiap selang
waktu 15 menit sebanyak 6 kali; keadaan tanah, vegetasi, dan keadaan cuaca secara
kualitatif dicatat di tempat pengamatan. Alat yang digunakan kecuali
luxmeter/lightmeter harus terlindungi dari sinar matahari dan hujan secara langsung.
Semua hasil pengamatan dicatat dan dipertukarkan antar kelompok strata. Keadaan
suhu udara, kelembapan nisbi udara, dan suhu tanah pada ketiga aras dan jeluk pada
tiap-tiap strata dan antar strata dibandingkan. Kemudian, grafik ayunan suhu udara,
kelembapan nisbi udara, dan suhu tanah pada ketiga strata digambar. Data pendukung
seperti intensitas penyinaran, keadaan tanah, kecepatan angin, serta vegetasi digunakan
dalam menyusun pembahasan. Selain itu, dilakukan pengamatan terhadap tutupan
awan. Pengamatan tutupan awal dapat dilakukan pada website
http://satview.bom.gov.au/.

14
IV. HASIL PENGAMATAN

Tabel III.1 Tabel hasil pengamatan suhu udara pada beberapa perlakukan di hari
Senin sampai Jumat.
No Hari Waktu TN Rumput TN Beton TN Air Naungan

1. Senin 14.50 26.5 27.8 28.5 25.5

15.00 26.9 28.6 27.5 26.3

15.10 28.5 26.5 27.5 26.5

15.20 28.7 26.8 27.7 26.5

15.30 28.9 25.7 28.7 26.5

15.40 27.4 25.8 29.5 26.5

2. Selasa 14.50 29.5 32 29.7 26.8

15.00 28.7 31.3 32.7 27.4

15.10 30 31.5 31.5 26.6

15.20 30.5 30.7 31.5 26.5

15.30 29.3 30.5 30.5 26.1

15.40 29.5 30.3 30.5 27.3

15
3. Rabu 14.50 25.6 32.8 31.7 26.3

15.00 25 32 30.8 25.9

15.10 26.5 31.8 30.6 25.8

15.20 25.8 30.6 28.8 29.8

15.30 26.8 30.8 29.5 29.6

15.40 26.4 31.7 30.8 29.7

4. Kamis 14.50 32.5 31.5 30.5 29.5

15.00 32.5 31.7 30 29.5

15.10 31.5 31.5 30 29.3

15.20 31.3 29.5 29.3 29

15.30 30.5 28.5 29.3 29

15.40 29.5 27.5 28.5 28.5

14.50 31.5 32.8 30.5 30.5

15.00 30.5 33.2 31.5 30.5

5. Jum’at 15.10 29.5 33.9 29 30.5

15.20 32.5 32.8 29 30.5

16
15.30 30.5 32.4 28.5 29.5

15.40 31.5 33.8 29 27.5

17
V. PEMBAHASAN

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan


produktivitas tanaman. Iklim mikro adalah rangkaian kondisi iklim yang biasanya dapat
diukur langsung di tanah ataupun sesuatu yang berada didekatnya (Geiger, 1965 cit.
Batori et al., 2014). Iklim mikro tanaman adalah kondisi di sekitar tanaman mulai dari
perakaran terdalam hingga tajuk teratas tanaman (Indrawan et al., 2017). Faktor iklim
mikro di dalamnya termasuk suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan angin.
Unsur-unsur ini sangat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman (Warnock,
et al. 1993 cit. Fajri dan Ngatiman., 2017). Tanaman dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik di dalam lingkungan yang cocok.
Modifikasi skala mikro (microclimate) dan skala kecil (ecoscale, ecoclimate)
menjadi penting dalam kebudayaan sejak manusia pertama kali menanam di kebun atau
taman (Karyati, 2019). Secara umum, prinsip modifikasi iklim mikro dapat dilakukan
dengan menekan evapotranspirasi dan memaksimalkan fotosintesis. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengendalikan unsur-unsur iklim mikro dengan cara melakukan
pengelolaan tanaman yang berpengaruh keadaan vegetasi (jenis, tinggi, kerapatan),
bentuk relief mikro tanah, sifat tanah (tekstur, struktur dan bahan induk), kelengasan
tanah, dan penutupan lahan karena faktor-faktor pengendali iklim mikro sangat
mempengaruhi iklim mikro sebagai penentu ekologi (Ismangil et al., 2016) karena
bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan lebih optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Modifikasi iklim mikro dapat dicontohkan
salah satunya yaitu pemberian mulsa.
Mulsa merupakan jenis penutup tanah buatan yang banyak digunakan untuk
kegiatan budidaya tanaman, bertujuan untuk memperoleh perubahan menguntungkan
pada lingkungan tanah tertentu (Hillel, 1980 cit. Basuki et al., 2019). Pemberian mulsa
sendiri merupakan salah satu upaya untuk mencegah pertumbuhan gulma, memodifikasi
keseimbangan air, suhu, dan kelembaban tanah, serta menciptakan kondisi yang sesuai
bagi tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Fithriadi,
2000 cit. Purwanto et al., 2018). Pemberian mulsa dapat di kaca dalam penelitian
Basuki et al. (2019) dengan menggunakan mulsa plastik pada tanaman cabai.
Pemasangan mulsa plastik dilakukan pada siang hari saat matahari bersinar karena

18
mulsa plastik akan lebih elastis dan akan dapat dipasang dengan rapi serta kencang.
Selain mulsa plastik, menurut penelitian Purwanto et al. 2018 mulsa juga dapat berasal
dari bahan organik yaitu tanaman jerami yang diaplikasikan pada tanaman bawang
merah. Pemasangan mulsa jerami sendiri dapat dilakukan dengan cara dihamparkan
secara merata di atas bedengan dengan ketebalan sekitar 5 cm (Basuki et al.. 2019).
Dengan demikian, penggunaan mulsa jerami dapat memodifikasi lingkungan mikro
tanah diantaranya mampu meningkatkan suhu tanah, lengas tanah, dan kadar bahan
organik tanah. Selain itu, penggunaan mulsa plastik mampu meningkatkan suhu dan
lengas tanah tetapi menurunkan kadar bahan organik tanah (Basuki et al.. 2019).
Suatu nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah energi yang diserap
oleh bumi dengan jumlah energi yang dipantulkan kembali ke angkasa disebut sebagai
albedo. Nilai albedo sangat bergantung pada jenis tutupan lahan serta tingkat kecerahan
di suatu wilayah. Semakin cerah permukaan, maka semakin tinggi kemampuannya
untuk memantulkan atau merefleksikan kembali energi ke angkasa, sehingga nilai
albedonya semakin tinggi (Setiani, 2020). Nilai albedo dimiliki oleh semua jenis
tutupan lahan. Nilai albedo yang semakin tinggi menyebabkan jumlah radiasi yang
dipantulkan semakin banyak. Sebaliknya, jika penyerapan radiasi semakin tinggi maka
semakin tinggi pula radiasi yang dipancarkan kembali ke atmosfer sehingga
menimbulkan terjadinya pemanasan udara dan peningkatan suhu (Rushayati et al.,
2011). Albedo termasuk salah satu faktor penentu suhu permukaan. Albedo memiliki
kisaran nilai 0 – 1. Jika nilai albedo 0 artinya objek tersebut mengabsorbsi seluruh
radiasi matahari yang datang, sedangkan nilai 1 berarti objek memantulkan seluruh
radiasi matahari atau gelombang pendek yang datang (Li et al., 2013).

19
Gambar IV.1 Grafik Konsep Albedo
Grafik konsep albedo di atas berisi data suhu di bidang rumput tanpa naungan,
beton tanpa naungan, dan air tanpa naungan pada hari Jumat pukul 14.50, 15.00, 15.10,
15.20, 15.30 dan 15.40. Albedo merupakan perbandingan antara radiasi matahari dari
permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer dengan total radiasi matahari
yang diserap oleh permukaan bumi (Sun et al., 2017). Perbandingan diatas dapat
diungkapkan dalam bentuk persen. Nilai albedo dapat dilihat dari adanya data suhu.
Semakin tinggi nilai albedo maka akan semakin banyak juga radiasi yang dipantulkan
kembali ke atmosfer (Indra et al., 2010) . Oleh sebab itu, nilai albedo dapat disebut juga
sebagai faktor untuk menentukan suhu di permukaan bumi yang terkena oleh sinar
radiasi matahari.
Pada grafik diatas, suhu tertinggi terdapat pada pengukuran suhu di bidang beton
tanpa naungan dengan suhu maksimum sebesar 33,°C pada pukul 15.10 dan suhu
pengukuran suhu minimum sebesar 32,4°C pada pukul 15.30. Sementara itu,
pengukuran suhu terendah didapatkan dari pengukuran suhu di bidang air tanpa
naungan dengan suhu maksimal sebesar 31,5°C pada pukul 15.00 serta pengukuran
suhu minimum sebesar 28,5°C pada pukul 15.30. Dari data tersebut, dapat diketahui
urutan albedo yang yang paling tinggi ke rendah yaitu bidang beton tanpa naungan,
rumput tanpa naungan dan air tanpa naungan.
Menurut (Wicahyani et al., 2014) beton memiliki rentang albedo sebesar

20
10-50%, sedangkan rumput memiliki albedo sebesar 10-30%. Nilai albedo beton
sebesar 10-50% mengindikasikan bahwa radiasi matahari yang dipantulkan oleh beton
ke atmosfer sebesar 10-50% dari total keseluruhan radiasi matahari yang datang. Oleh
karena itu, pemantulan radiasi yang besar tersebut sangat berdampak pada tingginya
suhu di beton tanpa naungan. Sedangkan air tanpa naungan memiliki nilai albedo lebih
rendah dikarenakan adanya pertukaran kalor laten udara dengan uap air yang dapat
menurunkan suhu permukaan.

Gambar IV.2 Grafik Konsep Naungan

Berdasarkan grafik diatas terlihat perbedaan suhu pada tiap waktu di lahan
rumput tanpa naungan dan rumput dengan naungan pada hari Jumat pukul 14.50, 15.00,
15.10, 15.20, 15.30, dan 15.40 WIB. Pada rumput tanpa naungan, suhu udara mencapai
suhu tertinggi sebesar 32,5⁰C pada pukul 15.20 WIB, sedangkan rumput dengan
naungan memiliki suhu udara tertinggi mencapai 30,5⁰C pada pukul 14.50, 15.00,
15.10, dan 15.20 WIB. Suhu udara rumput tanpa naungan cenderung lebih tinggi
dibandingkan suhu rumput dengan naungan. Perbedaan suhu udara tersebut terjadi
karena lokasi rumput itu sendiri yang berada di area terbuka dan kondisi tanpa naungan
yang menyediakan intensitas cahaya tinggi (Wibowo et al., 2018). Dengan hal itu, suhu

21
udara mampu meningkat karena adanya radiasi matahari. Disisi lain, rumput dengan
naungan memiliki suhu cenderung lebih rendah dari rumput tanpa naungan karena
adanya penghalang bagi sinar matahari masuk dalam lahan. Adanya naungan menjadi
bentuk manipulasi karena berpengaruh untuk mengurangi masuknya intensitas cahaya
sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung yang menjadikan suhu rendah
(Noviyanti et al., 2014).
Semakin tinggi tingkat naungan, suhu udara, suhu tanah, dan intensitas cahaya
semakin rendah, tetapi kelembaban udara semakin meningkat (Hamdani et al., 2016).
Pada suhu permukaan tanah dipengaruhi oleh perubahan suhu atmosfer dan sinar
matahari ke permukaan tanah sehingga suhu bertambah tinggi, jumlah dan daun
semakin besar, serta radiasi matahari yang terperangkap dalam naungan mengakibatkan
evaporasi lengas tanah meningkat. Ketika siang hari, suhu permukaan tanah dengan
naungan lebih rendah dibandingkan suhu permukaan tanah tanpa naungan, sedangkan
pada malam hari suhu permukaan tanah tampak konstan (Sudaryono, 2004).
Dilihat dari segi waktu, kelembaban udara pada siang hari lebih rendah
dibandingkan pagi, sore, dan malam hari karena intensitas radiasi matahari yang
berkurang (Sudaryono, 2001 cit. Karyati dan Syafrudin, 2016). Intensitas matahari pada
waktu siang yang mengenai tanaman secara langsung dapat mengakibatkan kadar air
berkurang dalam aktivitas evaporasi. Hal itu dapat menimbulkan tekanan uap kecil
diikuti kelembaban udara yang mengecil (Sudaryono, 2004). Kemudian, naungan
berperan penting dalam mempengaruhi kecepatan angin. Dalam kondisi naungan,
kecepatan angin lebih kecil dibandingkan tanpa naungan. Hal tersebut terjadi karena
adanya naungan berfungsi sebagai pemecah angin (Sudaryono, 2004).

22
Gambar IV.3 Grafik Konsep Tutup Awan

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada pukul 14.50, suhu
maksimum (32,5°C) terjadi pada hari Kamis, sedangkan suhu minimum (25,6°C) terjadi
pada hari Rabu. Pada pukul 15.00, suhu maksimum (32,5°C) terjadi pada hari Kamis,
sedangkan suhu minimum (25°C) terjadi pada hari Rabu. Pada pukul 15.10, suhu
maksimum (31,5°C) terjadi pada hari Kamis, sedangkan suhu minimum (26,5°C) terjadi
pada hari Rabu. Pada pukul 15.20, suhu maksimum (32,5°C) terjadi pada hari Jumat,
sedangkan suhu minimum (25,8°C) terjadi pada hari Rabu. Pada pukul 15.30, suhu
maksimum (30,5°C) terjadi pada hari Jumat, sedangkan suhu minimum (26,8°C) terjadi
pada hari Rabu. Pada pukul 15.40, suhu maksimum (31,5°C) terjadi pada hari Jumat,
sedangkan suhu minimum (26,4°C) terjadi pada hari Rabu. Pada hari Kamis suhu
tertinggi terjadi pada jam 14.50, 15.00, dan 15.10. Sedangkan pada hari Jumat suhu
tertinggi terjadi pada jam 15.20, 15.30, dan 15.40. Jika dibandingkan dengan
pengamatan melalui satview dapat dilihat pada hari Jumat jam 15.20, 15.30, dan 15.40
daerah Yogyakarta memiliki tutupan awan yang sedikit atau terpapar sinar matahari
secara langsung. Lalu untuk suhu terendah terdapat pada hari Rabu pada jam 14.50,
15.00, 15.10, 15.20, 15.30, dan 15.40. Jika hal tersebut dibandingkan dengan data pada
tampilan satview dapat diketahui bahwa pada hari rabu dan di jam-jam tersebut pada
wilayah Yogyakarta memiliki tutupan wan yang banyak sehingga sinar dan panas
matahari terhalau. Suhu tinggi juga disebabkan tempat tanpa naungan karena tidak

23
terdapat vegetasi. Dengan kata lain, tempat tanpa naungan akan terpapar radiasi
matahari langsung jika tutupan awan hanya sedikit.

Tabel IV.1. Citra Satview saat Suhu Udara Tertinggi dan Suhu Udara Terendah
WAKTU SUHU TERTINGGI SUHU TERENDAH
14.50 Suhu tertinggi pada Hari Jumat Suhu terendah pada Hari Senin
(31.8oC) (28.5oC)

15.00 Suhu tertinggi pada Hari Jum’at Suhu Terendah pada Hari Senin
(33,2 oC) (28.6oC)

15.10 Suhu tertinggi pada Hari Jum’at Suhu terendah pada Hari Senin
(33,2 C)
o
(28.6oC)

24
15.20 Suhu tertinggi pada Hari Jum’at Suhu terendah pada Hari Senin
(32,8°C) (28,5°C)

15.30 Suhu tertinggi pada Hari Jumat Suhu terendah pada Hari Senin
(32,4°C) (28,9°C)

15.40 Suhu Tertinggi pada Hari Jumat Suhu Terendah pada Hari Senin
(33.8℃) (29.5℃)

25
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat pada pukul 14.50 WIB memiliki suhu
tertinggi (31,8oC) pada hari Jumat dan suhu terendah (28,5oC) pada hari Senin. Hal
tersebut dapat terjadi karena tutupan awan pada pukul 14.50 WIB di hari Jumat lebih
sedikit dibandingkan pada hari Senin yang dapat dilihat dalam tabel Satview di atas.
Dari tabel tersebut, dapat diamati pukul 14.50 WIB jumlah awan di hari Jumat tampak
tidak sebanyak pada hari Senin sehingga terjadi pemancaran radiasi matahari secara
langsung yang mengakibatkan suhu menjadi tinggi. Sementara itu, pada hari Senin yang
berwarna putih dan tampak banyak. Kondisi tersebut dapat menghalangi radiasi
matahari langsung mengenai permukaan bumi sehingga suhu tidak terlalu tinggi.
Dapat diamati pada gambar satview bahwa pada pukul 15.00 WIB di hari yang
berbeda juga memiliki suhu yang berbeda. Pada jam yang sama, hari Jum’at memiliki
suhu yang lebih tinggi yaitu 33,2℃ sedangkan pada hari Senin memiliki suhu yang
lebih rendah yaitu 28.6℃. Hal tersebut dapat terjadi karena pada hari Senin, Yogyakarta
lebih tertutup awan daripada hari jumat. Tutupan awan sangat berpengaruh terhadap
suhu bumi karena radiasi sinar matahari yang masuk ke bumi terhalang oleh awan
dalam artian awan dapat mengurangi masuknya radiasi matahari ke bumi. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pendapat Rahim et al. (2016) bahwa radiasi yang mengenai
awan akan dipancarkan, dipantulkan, dan diserap oleh uap air yang ada di dalam awan.
Dilihat dari gambar satview pada pukul 15.20 hari Jum’at suhu tertinggi di
wilayah Yogyakarta mencapai 32,8oC. Pada hari Senin pukul 15.20 suhu di wilayah
Yogyakarta berkisar 28,5oC dan suhu tersebut merupakan suhu terendah. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada hari Senin pukul 15.20 WIB tutupan awan lebih sedikit

26
dibandingkan dengan hari Jumat pukul 15.20 WIB, seperti yang dapat dilihat pada tabel
Citra Satview di atas. Perbedaan suhu tertinggi dan suhu terendah pada data di atas
ditunjukan dengan banyaknya awan yang menutupi wilayah Yogyakarta pada pukul
15.20 di hari Senin dan Jum’at. Semakin putih warna satview berarti semakin banyak
awan yang menutupi, awan yang menutupi tersebutlah yang membuat suhu menjadi
lebih rendah. Adanya awan-awan konvektif ini menjadi penyebab laju keluarnya
gelombang radiasi matahari yang dipantulkan bumi terhalang, sehingga semakin sedikit
inframerah yang dapat ditangkap satelit. Pernyataan ini menunjukkan bahwa radiasi
sinar matahari tidak dapat menembus awan.
Pada gambar satview diatas dapat dilihat bahwa pada pukul 15.30 suhu tertinggi
terjadi pada hari kamis sebesar (32,4oC), sedangkan suhu terendah terjadi pada hari
jumat sebesar (28,9oC). Perbedaan suhu yang terjadi karena adanya konsep tutupan
awan yang menghalangi radiasi matahari untuk sampai ke bumi, pada daerah yang
tertutup awan akan memiliki suhu udara yang lebih rendah dibandingkan daerah yang
tidak tertutup awan. Sementara daerah yang tidak tertutup oleh awan akan memiliki
suhu udara yang tinggi karena radiasi sinar matahari tidak terhalang oleh awan.
Pada pukul 15.40 hari Jumat suhunya mencapai 33.8℃ (tertinggi) jika dilihat
dari gambar satview diatas pada hari Jumat jam 15.40 wilayah Yogyakarta memiliki
tutupan awan yang sedikit. Sedangkan, pada pukul 15.40 di hari Senin suhunya hanya
mencapai 29.5℃ (terendah) hal tersebut jika dilihat dari gambar satview diatas
diketahui bahwa pada hari Senin pukul 15.40 wilayah Yogyakarta memiliki tutupan
awan yang banyak sehingga panas matahari terhalang oleh awan yang mengakibatkan
suhunya tidak terlalu tinggi.
Iklim mikro sendiri memiliki keterkaitan di bidang pertanian sendiri karena
menjadi salah satu faktor penentu tercapainya pertumbuhan ataupun produksi tanaman
yang optimal (Dewi, 2015). Keadaan unsur-unsur iklim mikro akan mempengaruhi
keberadaan makhluk hidup terutama tumbuhan, dan sebaliknya tumbuhan juga
tumbuhan akan dapat mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya. Iklim mikro sendiri
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan dan
produksi tanaman. Tiga aspek pokok yang terkait erat dalam ekologi tumbuhan yaitu
agronomi, fisiologi tanaman, dan klimatologi pertanian. Karakteristik dan tipe iklim
dapat menentukan jenis-jenis dan produksi tanaman yang dapat tumbuh baik pada suatu

27
wilayah, sehingga iklim mikro dalam bidang pertanian sangat diperlukan. Beberapa
unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan, suhu,
kelembapan, angin, sinar matahari, dan evapotranspirasi (penguapan dan transpirasi)
(Tjasyono, 1999 cit. Karyati, 2019).

28
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:


1. Pengukuran anasir iklim mikro dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
dengan menggunakan termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer
untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, stick thermometer untuk mengukur
suhu tanah, luxmeter/lightmeter untuk mengukur intensitas cahaya matahari, biram
anemometer untuk mengukur kecepatan angin, serta website yang menyediakan
layanan satelit untuk melihat tutupan keawanan seperti satview.bom.gov.au.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi cuaca mikro yaitu radiasi matahari, kelembaban
udara, suhu udara, suhu tanah, angin, serta topografi (ketinggian tempat).
3. Pengamatan anasir cuaca mikro dilakukan pada berbagai ekosistem yaitu ekosistem
TN Rumput, TN Beton, TN Air, dan Naungan. Rata-rata suhu udara tertinggi
terdapat pada ekosistem TN Beton, sedangkan rata-rata suhu udara terendah
terdapat pada ekosistem dengan naungan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, S., M. Ayegba, and J. Adejoh. 2017. Impacts of relative humidity and mean
air temperature on global solar radiations of Ikeja, Lagos, Nigeria. Int J Sci Res
Publ 7 (2): 315–319.
Basuki, J., A. Yunus, dan E. Purwanto, E. (2019). Peranan mulsa dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi cabai melalui modifikasi kondisi fisik di dalam tanah.
Partner 16(2) : 73-77.
Batori, Z., A. Lengyel, M. Maroti, L. Kormoczi, C. Tolgyesi, A. Biro, M. Toth, Z.
Kincses, V. Cseh, and L. Erdos. 2014. Microclimate-vegetation relationships in
natural habitat islands: species preservation and conservation perspectives.
Quarterly Journal of the Hungarian Meteorological Service 118 (3) : 257-281
Bothe, O. 2018. What Even Is “Climate”? Geoscience Communication 1–18.
Dewi, N. K. 2015. Kesesuaian iklim terhadap pertumbuhan tanaman the climate
suitability for plant's growth. Mediagro 1(2).
Fajri, M., dan Ngatiman. 2017. Studi Iklim mikro dan topografi pada habitat
Parashorea malaanonan Merr. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa 3(1) :
1-12.
Hamdani, J. S., Sumadi, Y. R. Suriadinata, dan L. Martins. 2016. Pengaruh naungan dan
zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang kultivar
atlantik di Dataran Medium. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of
Agronomy) 44(1): 33–39.
Haryati, U. 2014. Teknologi irigasi suplemen untuk adaptasi perubahan iklim pada
pertanian lahan kering. Jurnal Sumberdaya Lahan 8(1): 43-57.
Indra R. A., M. L. Sophia, dan Y. Fitrianingsih. 2010. Analisis Urban Heat Island dalam
kaitannya terhadap perubahan penutupan lahan di Kota Pontianak.
Indrawan, R.R., A. Suryanto dan R. Soeslistyono. 2017. Kajian iklim mikro terhadap
berbagai sistem tanam dan populasi tanaman jagung manis (Zea mays
saccharata Sturt.). Jurnal Produksi Tanaman 5(1) : 92-99.
Ismangil, D., D. Wiegant, E. Hagos, F. van Steenbergen, M. Kool, G. Sambalino, E.
Castelli, Bresci, and F. Hagos. 2016. Managing the Microclimate. Spate
Irrigation Network Foundation 1-24.

30
Karyati. 2019. Mikroklimatologi Hutan. Mulawarman University Press, Samarinda.
Karyati, K., S. Ardianto, dan M. Syafrudin. 2016. Fluktuasi iklim mikro di Hutan
Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Jurnal AGRIFOR
25(1): 83-92.
Kingra, P. K. and H. Kaur. 2017. Microclimatic modifications to manage extreme
weather vulnerability and climatic risks in crop production. Journal of
Agriculture Physics 17 (1): 1-15.
Li. H., J. Harvey, dan A. Kendal. 2013. Field measurement of albedo for different land
cover materials and effects on thermal performance. Building and Environment
(59) : 536- 546.
Nasir, A. A., Handoko, T. June, R. Hidayati, P. Imron, H. Suharsono, dan Y.
Koesmaryono. 2017. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer
dan Unsur-Unsur Iklim. Cetakan Pertama. IPB Press, Bogor.
Noviyanti, R., Yuliani, E. Ratnasari, H. Ashari. 2014. Pengaruh pemberian naungan
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman stroberi varietas Dorit dan varietas
Lokal Berastagi. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi 3(3).
Pudjowati, U. R. 2018. Pengaruh faktor-faktor iklim mikro pada penurunan suhu di
jalan tol Prokon. Jurusan Teknik Sipil 11(2) : 87-92.
Purwanto, G., E. Widaryanto, dan K. P. Wicaksono. 2018. Optimalisasi waktu
pemberian mulsa jerami pada 2 varietas bawang merah (Allium ascalonicum L.)
pada musim penghujan. Jurnal Produksi Tanaman 6(7) : 1389-1395.
Rahim, R., Asniawaty, T. Martosenjoyo, S. Amin, dan R. Hiromi. 2016. Karakteristik
data temperatur udara dan kenyamanan termal di Makassar. Prosiding Temu
Ilmiah IPLBI (x) : 075-078.
Rifai, L. D., S. H. Tongkukut, dan S. S. Raharjo. 2014. Analisis intensitas radiasi
matahari di Manado dan Maros. Jurnal MIPA 3 (1): 49–52.
Rushayati, S.B., H. S. Alikondra, E. N. Dahlan, dan H. Purnomo. 2011. Pengembangan
ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan di Kabupaten
Bandung. Forum Geografi 25(1): 17-26.
Sari, L. H., Izziah, M. Irwansyah, dan E. Meutia. 2016. Buku Ajar Sains Arsitektur.
Syiah Kuala University Press, Banda Aceh.

31
Sasky, P., Sobirin, dan A. Wibowo. 2017. Pengaruh perubahan penggunaan tanah
terhadap suhu permukaan daratan metropolitan Bandung Raya tahun 2000-2016.
Industrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung
8: 354-361.
Setiani, P. 2020. Sains Perubahan Iklim. Bumi Aksara, Jakarta Timur.
Sudaryono. 2004. Pengaruh naungan terhadap perubahan iklim mikro pada budidaya
tanaman tembakau rakyat. Teknologi Lingkungan BPPT 5(1), 56–60.
Sun, Q., Z. Wang, Z. Li, A. Erba, and C. B. Schaaf. 2017. Evaluation of the global
MODIS 30 arc-second spatially and temporally complete snow-free land surface
albedo and reflectance anisotropy dataset. International journal of applied earth
observation and geoinformation 58: 36-49.
Wibowo, S. A., Y. Sunaryo, dan D. H. Pamungkas. 2018. Pengaruh pemberian naungan
dengan intensitas cahaya yang berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil berbagai
jenis tanaman sawi (Brassica juncea L). Jurnal Ilmiah Agroust 2(1) : 34-42.
Wicahyani, S., A. B. Sasongko, dan M. Izzati. 2014. Pulau Bahang Kota (urban heat
island) di Kota Yogyakarta dan daerah sekitarnya hasil interpretasi citra landsat
oli tirs tahun 2013. Jurnal Geografi 11(2): 196-205.

32
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN
ACARA III
ANALISIS DATA METEOROLOGI

Disusun oleh :
1. Alin Febi Cahyani (462337)
2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)
3. Khoirul Insan (456592)
4. Khoirunisa (455538)
5. Latri Putri Paramandita (462355)
6. Maulana Edith Indrastata (462360)

Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021

33
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Iklim merupakan rata-rata cuaca dimana cuaca merupakan keadaan
atmosfer pada suatu saat di waktu tertentu. Iklim didefinisikan sebagai ukuran
rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu (seperti
temperatur, curah hujan atau angin), pada periode waktu tertentu, yang
merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah secara
terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor
eksternal. Dalam menelaah sifat-sifat iklim dapat digunakan metode statik dan
persamaan matematika. Dengan menganalisis data statistik dan menganalisis
data matematik dapat mempermudah dalam mendapat informasi yang
terkandung dalam data suatu cuaca. Di bidang pertanian, pengetahuan tentang
iklim dapat memberi manfaat bagi kita untuk menggali potensi tanaman apa
komoditas yang cocok untuk ditanam didaerah dengan kondisi iklim tersebut.
Selain itu, pengetahuan tentang iklim juga dapat menjadi dasar kebijakan dalam
manajemen usaha tani dan pengendalian hama dan penyakit tanaman (Ariffin,
2019).
Dalam menentukan keadaan iklim dan keadaan cuaca di suatu tempat,
diperlukan sumber data yang akurat,sehingga disaat menentukan iklim atau
cuaca di suatu tempat tidak salah atau tidak meleset dari perkiraan semula,
melainkan tepat sasaran dan akurat. Oleh karena itu, para peneliti
mengumpulkan data sebaik mungkin,sehingga memberikan hasil yang positif
atau menggunakan data para peneliti yang sudah ada sebelumnya. Dalam
Menganalisis data meteorologi di suatu wilayah, yang diperlukan adanya data
cuaca bulanan daerah tersebut selama satu tahun dari suatu stasiun meteorologi
setempat,yang terdiri dari data nilai curah hujan (CH), data nilai evaporasi (EV),
data nilai suhu termometer bola basah (TBB), data nilai suhu termometer bola
kering (TBK), dan data nilai panjang penyinaran (PP), serta data nilai intensitas
penyinaran (IP). Selain itu juga diperlukan data seperti data nilai suhu (T), data
nilai kelembaban intensitas penyinaran (IP), dan data nilai evaporasi (EV)

34
bulanan dalam satu tahun yang didapat dari data-data diatas untuk menganalisis
regresi dan korelasinya.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengolah dan menganalisis data meteorologi
pertanian serta menyajikan dalam bentuk siap pakai.
2. Untuk mempelajari hubungan timbal balik diantara anasir-anasir iklim.
I. batas

35
II. TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang hanya memiliki dua musim
yaitu musim hujan dan musim kemarau (Rahayu et al., 2018). Musim hujan sendiri
merupakan sebagai rentang waktu yang banyak terjadi hujan atau kondisi meningkatnya
jumlah curah hujan di suatu wilayah (hujan secara terus menerus) dalam jangka waktu
tertentu. Hal tersebut didasari oleh pernyataan Bayong dalam Andriyanto (2018) yang
mengemukakan bahwa musim hujan ditandai oleh jumlah curah hujan yang berlimpah.
Namun, secara kuantitatif wilayah memasuki musim hujan apabila memiliki kandungan
curah hujan rata-rata di atas 50 mm. Berbeda dengan musim hujan, musim kemarau
memiliki curah hujan di bawah 50 mm (Andriyanto, 2018). Secara umum, musim hujan
di Indonesia terjadi saat muson barat sedangkan musim kemarau terjadi saat muson
timur.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara atau
atmosfer (Swarinoto dan Sugiyono, 2011 cit. Prakoso, 2018). Suhu udara adalah
keadaan panas atau dinginnya udara atau juga bisa disebut dengan temperatur (Siswanti,
2011 cit. Prakoso, 2018). Suhu udara dan kelembaban udara memiliki hubungan yang
erat dengan curah hujan. Hal tersebut dapat dimisalkan bila curah hujan tinggi maka
kandungan uap air di udara yang mengalami pendinginan akan semakin banyak dan
akan terbentuk titik-titik air atau uap air. Banyaknya uap air yang dikandung, tergantung
pada suhu udara (Prakoso, 2018). Menurut Hardjodinomo (1975) dalam Prakoso (2018)
bahwa semakin tinggi suhu udara, makin banyak uap air yang terkandung.
Umumnya musim terjadi secara periodik baik musim hujan maupun musim
kemarau. Namun, musim juga dapat mengalami pergeseran seperti semakin lamanya
musim penghujan dan semakin mundurnya musim kemarau (Rahayu et al., 2018). Salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran musim di wilayah Indonesia
adalah fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO)
(Rahayu et al., 2018). Indian dipole mode (IOD) adalah anomali iklim yang terjadi
akibat adanya interaksi atmosfer dengan laut yang terjadi di Samudera Hindia
(Rahayu et al., 2018), sedangkan ENSO merupakan sebuah interaksi laut atmosfer yang
berpusat di wilayah ekuator Samudra Pasifik (Aldrian, 2008 cit. Sitompul dan Nurjani,

36
2016). Menurut Sitompul dan Nurjani (2016) adanya Indian Ocean Dipole (IOD) dan El
Nino-Southern Oscillation (ENSO) akan mempengaruhi El Nino dan La Nina.

37
III. METODOLOGI

Praktikum Klimatologi Pertanian Acara 3 berjudul “Analisis Data Meteorologi”


yang dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 10 September 2021 pada pukul 13.30 WIB
di Laboratorium Agroklimatologi, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat serta bahan yang akan digunakan dalam praktikum
acara 3 ini yaitu data bulanan selama 1 tahun dari stasiun meteorologi Jayapura V yang
terdiri atas data curah hujan (CH), kelembaban nisbi (RH), evaporasi (EV), suhu
termometer bola basah (TBB), suhu termometer bola kering (TBK), panjang penyinaran
(PP), dan intensitas penyinaran (IP).
Tahapan pertama yang harus dilakukan yaitu menyajikan dan menginterpretasi
data meteorologi pertanian dengan mengolah data curah hujan lalu menghitung jumlah
CH per dasarian, tinggi CH bulanan, dan jumlah CH selama 1 tahun. Menghitung
jumlah hari hujan selama 1 tahun. Dilanjutkan Dengan membuat histogram CH per
dasarian dan CH bulanan selama 1 tahun. Setelah itu membahas perilaku hujan selama 1
tahun tersebut, antara lain pola agihan CH per dasarian dan bulanan selama 1 tahun,
bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering menurut kriteria Mohr. Selanjutnya mengolah
data suhu udara (TBB dan TBK) dengan menghitung T harian, menghitung T bulanan,
menghitung T tahunan. Lalu mengolah data kelembaban relatif udara dengan cara
menghitung kelembaban relatif udara pada pukul 07.00, 13.00, dan 18.00 atas dasar
selisih TBB dan TBK, menghitung RH harian, menghitung RH tahunan, membuat
grafik ayunan RH bulanan selama 1 tahun dan membahas mengenai pola ayunan T dan
RH bulanan selama 1 tahun. Berikutnya, mengolah data Panjang penyinaran (PP),
Intensitas Penyinaran (IP), dan Evaporasi (EV) dengan menghitung h rerata PP, IP, dan
EV bulanan selama 1 tahun, membuat grafik rerata PP bulanan selama 1 tahun,
membuat grafik grafik IP dan EV selama 1 tahun, dan membahas mengenai pola ayunan
PP, IP, dan EV selama 1 tahun. Tahapan kedua yaitu melakukan analisis regresi dan
korelasi dari data harian selama 1 tahun dengan cara melakukan analisis menggunakan
kalkulator melalui persamaan regresi Y=a+bX. Lalu membuat grafik persamaan
regresinya. Selanjutnya membahas mengenai hubungan antar anasir tersebut, kemudian
membandingkan keeratan masing-masing hubungan.

38
IV. HASIL PENGAMATAN

Tabel III.1 Data Rerata suhu dan curah hujan Tahun 2006-2019 di Jayapura

RATA-RATA TIAP JENIS BULAN (2006-2019)

Bulan Suhu Rata-rata (◦C) Curah Hujan (mm)

Rata-rata Januari 1 27,18 155,23

Rata-rata Februari 2 27,11 169,86

Rata-rata Maret 3 27,09 198,49

Rata-rata April 4 27,26 144,45

Rata-rata Mei 5 27,35 86,66

Rata-rata Juni 6 26,96 79,41

Rata-rata Juli 7 26,76 82,22

Rata-rata Agustus 8 26,85 69,68

Rata-rata September 9 27,05 110,56

Rata-rata Oktober 10 27,49 93,42

Rata-rata November 11 27,48 134,99

Rata-rata Desember 12 27,48 143,75

Tabel III.2 Data Rerata suhu dan curah hujan Tahun 2006-2019 di Jayapura

Suhu Rata-rata Curah Hujan ENSO IOD

14 Tahun 2020 14 Tahun 2020 2020 2020

Bulan

Januari 27,18 27,06 155,23 331,78 0,6 0,15

Februari 27,11 27,10 169,86 80,66 0,35 -0,1

Maret 27,09 27,02 198,49 213,3 0,2 -0,3

April 27,26 27,07 144,45 179,98 0,5 0,2

Mei 27,35 27,32 86,66 146,34 0,15 0,45

Juni 26,96 27,69 79,41 37,59 -0,1 0,55

39
Juli 26,76 27,23 82,22 193,14 0,1 0,15

Agustus 26,85 27,22 69,68 233,17 -0,15 0,3

September 27,05 27,37 110,56 224,82 -0,5 -0,7

Oktober 27,49 27,63 93,42 245,88 -0,3 -0,55

November 27,48 27,37 134,99 473,4 -1,3 -0,2

Desember 27,48 27,38 143,75 210,38 -1 -0,1

40
V. PEMBAHASAN

Iklim dan cuaca tidak selamanya berjalan normal. Perubahan iklim dapat saja
terjadi di suatu tempat. Perubahan iklim yang tak teratur ini, dikenal dengan istilah
anomali iklim. Menurut (Irianto & Sucianti, 2016) anomali iklim adalah pergeseran
musim dari rata-rata normalnya. Anomali iklim tidak saja ditandai dengan curah hujan
yang ekstrim, kecepatan dan arah angin yang ekstrim juga menjadi ancaman terhadap
kehidupan manusia. Anomali iklim memiliki 4 faktor dominan penyebabnya yaitu SST
NINO, arah angin, beda tekanan udara permukaan di Darwin dan Tahiti, serta Indian
Ocean Dipole (Irlanto et al., 2016). Anomali iklim ini akan semakin terjadi dengan
kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang. Anomali iklim
sendiri sangat berpengaruh pada sektor pertanian, di mana anomali iklim ini terdiri dari
El Nino dan La Nina yang memiliki hubungan dengan ENSO maupun IOD. ENSO
adalah fenomena iklim global yang dicirikan dengan naiknya suhu permukaan laut
diatas normal di wilayah bagian timur lautan Pasifik (yang dikenal dengan istilah El
Nino) sedangkan La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya (Trenberth et al. 2012).
Pengertian dari IOD sendiri adalah perbedaan anomali suhu permukaan laut (SPL)
antara bagian Barat (100 LU- 100 LS; 600 BT-80 0BT) dan bagian Timur (00 - 100 LS ;
900 ± 1100 BT) dari Samudra Hindia (Behera and Yamagata 2001 cit. Narulita, 2017) .
Fenomena El Nino dan IOD positif akan menurunkan jumlah curah hujan
tahunan dan musiman di Indonesia terutama pada bulan Juni-Juli-Agustus dan
September-Oktober dan Nopember. Fenomena El Nino dan IOD positif akan
memperpanjang musim kemarau atau memperpendek musim hujan (Narulita, 2017).
Hubungan antara fenomena ENSO dan IOD dengan curah hujan di beberapa stasiun
pengamatan hujan berbeda beda, akan tetapi hubungan yang konsisten adalah IOD
negatif mengurangi dampak El Nino pada penurunan curah hujan. Akan tetapi Kejadian
El Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara,
sedangkan kejadian La Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan
normal. Kedua anomali iklim tersebut tidak menguntungkan bagi produksi pertanian,
karena penurunan drastis curah hujan akibat El Nino dapat menimbulkan kegagalan
panen akibat kekeringan, sedangkan kenaikan curah hujan akibat La Nina dapat
menimbulkan banjir dan merangsang peningkatan gangguan organisme pengganggu

41
tanaman (Irawan, 2016). Manfaat pada bidang pertanian sendiri dapat menentukan pola
tanam, musim tanam, serta curah hujan berdasarkan iklim yang telah diprediksi yang
akan terjadi dan dapat lebih awal mengantisipasi kemungkinan terjadinya serangan
hama yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Gambar 3.1 Diagram Garis Perbandingan Suhu Rata-rata 10 Tahun Terakhir dengan
Suhu Rata-rata Terkini

Berdasarkan grafik diatas, terlihat perubahan suhu rata-rata tahun 2006-2019 dan
tahun 2020 pada Stasiun Jayapura V. Dapat diamati adanya selisih perubahan suhu
rata-rata pada 10 tahun terakhir dan tahun 2020 dimana pada bulan tertentu memiliki
suhu rata-rata dengan selisih yang kecil atau saling mendekati. Selisih perubahan suhu
rata-rata yang terkecil berada pada bulan Februari dan Maret memiliki selisih suhu
0,1°C dan 0,7°C, sedangkan selisih terbesar terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan
September dengan selisih suhunya secara berurutan 0,73°C, 0,47°C, 0,34°C, dan
0,32°C. Selisih suhu rata-rata tersebut membentuk grafik garis yang cenderung naik dan
turun menunjukkan adanya perbedaan suhu rata-rata pada 10 tahun terakhir dan tahun
terkini. Menurut Prakoso (2018), perbedaan nilai suhu rata-rata tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti tempat dan pergerakan angin. Dari faktor tempat turut
berpengaruh pada perbedaan suhu. Pada tempat-tempat yang terbuka dan tertutup akan
memiliki suhu yang cenderung berbeda. Suhu di lapangan, ladang, dan sawah

42
dibandingkan dengan suhu di sekolah, gedung dan lainnya akan memiliki perbedaan
suhu. Hal tersebut dapat terjadi karena paparan radiasi matahari yang masuk terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Perubahan suhu dapat dipengaruhi oleh pergerakan
angin. Kecepatan angin yang dipengaruhi oleh tekanan udara dapat berdampak terhadap
suhu udara. Perubahan suhu terjadi bila adanya kecepatan angin yang tinggi dengan
pergerakan massa udara melibatkan seluruh lapisan dekat permukaan, maka suhu udara
pada lapisan tersebut relatif homogen.
Suhu udara berkaitan dengan panas yang disebabkan oleh matahari. Lamanya
penyinaran matahari tersebut berperan dalam perubahan suhu. Suhu pada bulan
Maret-Mei 10 tahun terakhir dan bulan Mei-Juni 2020 tampak mengalami peningkatan.
Hal tersebut terjadi bila suatu daerah mengalami penyinaran matahari yang cukup lama,
maka panas yang diterima semakin banyak sehingga keadaan suhu udaranya menjadi
meningkat (Rahim et al., 2016). Peningkatan suhu juga dapat terjadi bila kondisi awan
yang minim. Keberadaan awan dapat meminimalisir radiasi matahari mengenai bumi
secara langsung. Akumulasi awan yang sedikit menyebabkan radiasi matahari yang
datang dan seharusnya dipantulkan ke atmosfer akan berbalik ke permukaan bumi
sehingga suhu permukaan bumi menjadi semakin tinggi (Hidayat et al., 2019)

Gambar 3.2 Diagram Batang Perbandingan Curah Hujan 10 Tahun Terakhir dengan
Curah Hujan Terkini

43
Dengan gambar 3.2 kita dapat mengetahui bahwa jika dibandingkan curah hujan
2020 dengan rata-rata curah hujan tahun 2006-2019 dibulan yang sama cenderung
fluktuatif. Pada diagram tersebut diamati bahwa tidak semua diagram batang dari tahun
2020 lebih tinggi daripada rata-rata tahun 2006-2019. Hal tersebut dipengaruhi oleh
tekanan udara sebagai unsur dan pengendali iklim yang sangat penting bagi kehidupan
makhluk di bumi, karena peranannya sebagai penentu dalam penyebaran curah hujan.
Perubahan tekanan udara akan menyebabkan perubahan kecepatan dan arah angin,
perubahan ini akan membawa pula pada perubahan suhu dan curah hujan. Dengan
demikian, penyebaran curah hujan di seluruh permukaan bumi berhubungan sangat erat
dengan sistem tekanan udara dan angin. Tekanan udara berkurang dengan bertambahnya
ketinggian tempat (Pradipta et al., 2013).
Pada gambar tersebut juga diketahui bahwa pada bulan januari-juni memiliki
tinggi curah hujan yang lebih rendah daripada bulan juli-desember pada tahun 2020.
Dari hal tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pada bulan juli-desember tahun 2020
merupakan musim penghujan sedangkan pada bulan juli-desember merupakan musim
kemarau. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Desmonda et al. (2018) musim
penghujan adalah musim dengan ciri meningkatnya curah hujan (Banyaknya hujan yang
tercurah (turun) di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu ) di suatu wilayah
dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu secara tetap.
Jika diamati lebih lanjut, pada bulan januari-juni di tahun 2006-2019 memiliki
curah hujan lebih tinggi daripada juli-desember. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
pada bulan januari-juni di tahun 2006-2019 merupakan mungkin penghujan. Namun
berdasarkan pernyataan Desmonda et al. (2018) bahwa musim kemarau dan musim
penghujan berganti selama enam bulan sekali, seharusnya di tahun 2020 musim
penghujan juga terjadi pada bulan januari-juni tetapi malah terjadi pada bulan
juli-desember. Hal seperti ini memang saja dapat terjadi karena adanya anomali iklim.

44
Gambar 3.3 Grafik Index SST Nino 3.4 pada tahun 2017-2022

Analisis El Nino pada tahun 2017-2022 berdasarkan index SST Nino 3.4.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa El Nino tahun 2017 pada bulan Juli
mencapai 0,5⁰C. Kemudian pada awal tahun 2018 terjadi penurunan suhu di lautan
hingga mencapai kurang lebih -0,5⁰C. Lalu pada pertengahan tahun 2018 yakni pada
bulan Juli mengalami kenaikan El Nino hingga 0,5⁰C dan terjadi kenaikan pada akhir
tahun hingga mencapai 1⁰C. Pada tahun 2019 El Nino bisa dikatakan stabil namun pada
pertengahan tahun El Nino mengalami penurunan hingga mencapai sekitar -0,1⁰C dan
pada akhir tahun mengalami kenaikan kembali hingga mencapai Sekitar 0,7⁰C. Pada
awal tahun 2020 El Nino terjadi kenaikan dan penurunan namun bisa dikatakan stabil,
namun pada bulan juli El Nino mengalami penurunan hingga mencapai 0,2⁰C hingga
akhir tahun 2020 El Nino mencapai hingga -1,3⁰C. Akan tetapi pada tahun 2021 El Nino
sudah mengalami kenaikan hingga 0,3⁰C pada bulan Juli.
Pada gambar tersebut kenaikan El Nino tertinggi terjadi pada akhir tahun 2018
hingga hampir mencapai 1⁰C. Kenaikan suhu tersebut merupakan salah satu bentuk
penyimpangan iklim di Samudra Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu
permukaan laut di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur (Sani, 2015). Selain itu,
ciri terjadinya El Nino adalah dengan meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik

45
secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti
(Fox, 2000;Nicholls and Beard, 2000 cit. Bambang, 2006).
Berdasarkan data yang diperoleh dari www.bom.gov.au yang divisualisasikan ke
dalam grafik anomali suhu permukaan laut di NINO 3.4, diketahui bahwa ENSO positif
terjadi pada periode bulan Maret 2017 sampai bulan Juli 2017. Kemudian, ENSO positif
kembali terjadi pada periode bulan Juni 2018 sampai bulan Maret 2020. Artinya pada
periode tersebut terjadi El Nino yang mengakibatkan fenomena kemarau
berkepanjangan. Hal tersebut dapat diketahui dari grafik pada periode tersebut
menunjukkan indeks SST (Sea Surface Temperature) lebih dari 0,5. Indeks anomali
paling tinggi terdapat pada bulan Desember 2018 yaitu sebesar 1. Pada periode tersebut
fenomena El Nino terjadi dengan sangat kuat. Berdasarkan intensitasnya, ENSO
kemudian dikelompokkan menjadi ENSO lemah (anomali SPL 0,5 sampai 0,9), sedang
(1,0 sampai 1,4), kuat (1,5 sampai 1,9), dan sangat kuat (≥2,0) (Hidayat et al., 2018).
Selain terjadinya ENSO positif, terjadi pula ENSO negatif. Berdasarkan grafik anomali
suhu permukaan laut NINO 3.4, dapat diketahui bahwa ENSO negatif terjadi pada
periode bulan Agustus 2017 sampai bulan Mei 2018. Pada periode tersebut wilayah
Indonesia akan mengalami fenomena La Nina yang mengakibatkan musim hujan. Hal
itu dapat diketahui dari grafik pada periode ENSO negatif menunjukkan indeks anomali
kurang dari 0,5.
Selain ENSO, ada juga IOD yang dapat mengakibatkan pengaruh terhadap
cuaca, terutama pada curah hujan. IOD (Indian Ocean Dipole) adalah fenomena
atmosfer dan laut yang ditandai dengan adanya perbedaan anomali dua kutub suhu
permukaan laut di perairan Indonesia sekitar Sumatera dan Jawa yang dapat
menyebabkan variabilitas iklim (Saji et al,. 1999 cit Iskandar, 2014). Indian Ocean
Dipole atau IOD menunjukkan bahwa gelombang kelvin yang signifikan dihasilkan di
atas ekuator Samudera Hindia selama peristiwa IOD yang menyebar ke laut Indonesia
di sepanjang pantai Sumatera-Jawa (Yuan & Liu, 2009 cit Yuan et al., 2011).
Umumnya, fenomena IOD dimulai sekitar bulan Mei atau Juni, kemudian intensitasnya
meningkat pada bulan-bulan selanjutnya. Aktivitas IOD berpengaruh kuat terhadap
fluktuasi curah hujan saat musim kemarau.
IOD memiliki fase positif dan fase negatif. Ketika IOD positif intensitas curah
hujan akan menurun, sedangkan saat IOD negatif intensitas curah hujan akan meningkat

46
(Khaldun et al., 2018). Fase IOD positif terjadi ketika suhu permukaan laut di pantai
timur Afrika tinggi sehingga tekanan udara menjadi lebih rendah daripada tekanan
udara di pantai barat Sumatera. Hal tersebut menyebabkan uap air menuju ke daerah
Afrika dan membuat wilayah Indonesia mengalami musim kering. Fase IOD negatif
terjadi ketika suhu permukaan laut di pantai timur Afrika rendah dan tekanan udara
menjadi lebih tinggi daripada tekanan udara di pantai barat Sumatera yang
mengakibatkan uap air menuju ke wilayah Indonesia dan membuat wilayah Indonesia
mengalami musim basah. Dampak IOD tidak hanya terjadi pada daerah tropis Samudera
Hindia, akan tetapi dapat menjangkau daerah muson musim panas Hindia yang meliputi
India, Pakistan, Afghanistan, dan Iran (Sahu et al,. 2010).
Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IOD adalah Dipole
Mode Index (DMI). DMI positif disebut dengan IOD positif, sedangkan DMI negatif
disebut dengan IOD negatif. Kejadian IOD diidentifikasi dari IOD indeks sebagai
perbedaan SST anomali antara Samudra Hindia tropis bagian barat (50º-70 º BT, 10 º
LU-10 º LS) dan Samudra Hindia tropis bagian tenggara (90 º 110 º BT, 10 º LS
ekuator) (Ratnawati et al., 2017). Selama nilai IOD positif, Samudera Hindia bagian
timur akan lebih dingin daripada normalnya sedangkan bagian barat akan lebih hangat
daripada normalnya (Fadholi, 2013).

Gambar 3.4 Grafik IOD dari tahun 2017-2022

47
Nilai IOD dikatakan normal jika berada pada rentang 0,4 hingga -0,4. Indeks
IOD lebih dari 0,4 menunjukkan bahwa terjadi IOD positif yang berarti wilayah
Indonesia mengalami musim kemarau, sedangkan indeks IOD kurang dari -0,4
menunjukkan bahwa terjadi IOD negatif yang berarti wilayah Indonesia mengalami
musim penghujan (Fadholi, 2013). Berdasarkan gambar 3.4 di atas tentang grafik IOD
Index Time Series, dapat diketahui bahwa pada awal 2017 hingga bulan November 2017
nilai IOD normal karena berada pada rentang -0,4 sampai 0,4. Pada bulan Desember
2017 IOD bernilai -0,5 yang menunjukkan bahwa terjadi musim penghujan. Bulan
Januari 2018 hingga bulan Mei 2018 indeks IOD menunjukkan angka antara -0,4
sampai 0,4 sehingga IOD masih bersifat normal.
Bulan Juni 2018 nilai IOD melebihi -0,4 yaitu sekitar -0,55 kemudian
mengalami kenaikan dari yang awalnya bernilai negatif menjadi positif. Nilai IOD
tertinggi pada kenaikan tersebut sekitar 0,8 yang terjadi pada bulan Oktober 2018
sehingga pada bulan tersebut terjadi musim kemarau. Nilai IOD mengalami penurunan
dan bernilai negatif kembali pada bulan Januari 2019. Pada bulan Maret 2019 hingga
Januari 2020 IOD mengalami kenaikan yang signifikan. Titik puncak kenaikan tersebut
terjadi pada bulan Oktober 2019 yang mengalami musim kemarau berlebihan karena
nilai IOD berkisar 2,15.
Pada grafik indeks IOD tahun 2020, hampir seluruh bulan di sepanjang tahun
menunjukkan nilai indeks IOD normal karena berada pada rentang -0.4 hingga 0.4.
Nilai IOD normal terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juli, Agustus,
November, dan Desember dengan nilai IOD berturut-turut (0.15, -0,1. -0.3, 0.2, 0.15,
0.3, -0.2, dan -0.1). IOD bernilai positif lebih dari 0.4 terjadi pada bulan Mei dan Juni
yaitu 0.45 dan 0.55 yang menunjukkan terjadinya musim kemarau atau kering karena
suhu permukaan laut di pantai timur Afrika tinggi sehingga tekanan udara menjadi lebih
rendah daripada tekanan udara di pantai barat Sumatera. Hal tersebut menyebabkan uap
air menuju ke daerah Afrika (Sahu et al,. 2010). IOD bernilai negatif kurang dari -0.4
terjadi pada bulan September dan Oktober yaitu -0,7 dan -0.55 yang menunjukkan
terjadinya musim penghujan atau basah karena suhu permukaan laut di pantai timur
Afrika rendah dan tekanan udara menjadi lebih tinggi daripada tekanan udara di pantai
barat Sumatera yang mengakibatkan uap air menuju ke wilayah Indonesia (Sahu et al,.
2010). Pada awal tahun 2021 nilai IOD masih normal, tetapi pada bulan Mei hingga

48
September bernilai negatif kurang dari -0.4 yang menunjukkan terjadinya musim
penghujan.

49
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:


1. Suhu rata-rata yang divisualisasikan dalam bentuk diagram grafik dari data 10
tahun terakhir (2006-2016) tidak berbeda jauh dengan suhu rata-rata pada tahun
terkini 2020. Curah hujan yang divisualisasikan dalam bentuk diagram batang dari
data 10 tahun terakhir (2006-2016) berbeda jauh dan cukup menyimpang dengan
data curah hujan pada tahun 2020 karena perubahan iklim. Pada akhir tahun 2020
nilai ENSO lebih dari 0.8 sehingga terjadi El Nino. Pada tahun 2020 nilai IOD
normal terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juli, Agustus, November,
dan Desember dengan nilai IOD berkisar antara -0.4 hingga 0.4 sehingga
mengalami iklim netral. IOD bernilai positif lebih dari 0.4 terjadi pada bulan Mei
dan Juni sehingga terjadi musim kemarau atau kering. IOD bernilai negatif kurang
dari -0.4 terjadi pada bulan September dan Oktober menunjukkan terjadinya musim
penghujan atau basah.
2. Berdasarkan data diatas, suhu rata-rata dan curah hujan tiap bulannya dapat
disimpulkan bahwa semakin rendah suhu maka nilai curah hujan akan semakin
tinggi. Selain itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi suhu dan curah hujan
yaitu aktivitas manusia yang secara tidak langsung memengaruhi keaadan alam
yang terjadi. Perubahan suhu dan curah hujan ini dipengaruhi oleh faktor perubahan
iklim yang ditunjukkan dengan nilai ENSO dan IOD pada setiap bulannya.

50
DAFTAR PUSTAKA

Andriyanto. 2018. Analisis dampak musim hujan terhadap pendapatan pedagang buah
di Pasar Tradisional Bojong Kabupaten Tegal. Skripsi. Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Ariffin. 2019. Metode Klasifikasi Iklim di Indonesia. Universitas Brawijaya Press,
Malang.
Fudholi, A. 2013. Studi dampak el-nino dan indian ocean dipole (IOD) terhadap curah
hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan 11(1) : 43-50.
Hidayat, A.M., U. Efendi, L. Agustina, dan P. A. Winarso. 2018. Korelasi indeksi NINO
3.4 dan Southern Oscillation Index (SOI) dengan variasi curah hujan di
Semarang. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 19(2) : 75-81.
Hidayat, N. M., A. E. Pandiangan, dan A, Pratiwi. 2019. Identifikasi perubahan curah
hujan dan suhu udara menggunakan rclimdex di wilayah Serang. Jurnal
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 5(2): 37–44.
Irawan, B. 2016. Fenomena anomali iklim el nino dan la nina: kecenderungan jangka
panjang dan pengaruhnya terhadap produksi pangan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi 24(1) : 28-29.
Iskandar, M. R. 2014. Mengenal indian ocean diploe (IOD) dan dampaknya pada
perubahan iklim. Oseana 39(2) : 13-21.
Khaldun, M. H. I., A. Wirasatriya, A. A. D. Suryo, dan Kunarso. 2018. The influence of
Indian Ocean Dipole (IOD) on the variability of sea surface temperature and
precipitation in Sumatera Island. IOP Conf. Series: Earth and Environmental
Science 165: 1-6.
Narulita, I., dan L. I. P. I. Geotek. 2017. Pengaruh enso dan iod pada variabilitas curah
hujan di DAS Cerucuk, Pulau Belitung. Jurnal Tanah dan Iklim. 41(1): 45-60.
Irlanto, G., dan S. Suciantini. 2016. Anomali iklim: faktor penyebab, karakteristik, dan
antisipasinya. Jurnal IPTEK Tanaman 1(2) :101-121.
Trenberth, K. E., J. M. Caron, D. P. Stepaniak, and S. Worley. 2012. The evolution of
ENSO and global atmospheric surface temperatures, J. Geophys. Res.
Atmospheres 107: 8.

51
Desmonda, D., T. Tursina, dan M. A. Irwansya. 2018. Prediksi besaran curah hujan
menggunakan metode fuzzy time series. JUSTIN (Jurnal Sistem dan Teknologi
Informasi) 6(4) : 145-149.
Pradipta, N. S., P. Sembiring dan P. Bangun. 2013. Analisis pengaruh curah hujan di
Kota Medan. (1)
Prakoso, D. 2018. Analisis pengaruh tekanan udara, Kelembaban Udara dan Suhu
Udara terhadap tingkat curah hujan di Kota Semarang. Tugas Akhir. Universitas
Negeri Semarang.
Rahayu, N. D., Sasmito, B., & Bashit, N. (2018). Analisis pengaruh fenomena indian
ocean dipole (IOD) terhadap curah hujan di pulau Jawa. Jurnal Geodesi Undip.
7(1) : 57-67.
Rahim, R., Asniawaty, T. Martosenjoyo, S. Amin, dan R. Hiromi. 2016. Karakteristik
data temperatur udara dan kenyamanan termal di Makassar. Prosiding Temu
Ilmiah IPLBI 1(1): 75–79.
Ratnawati, H. I., R. Hidayat, A. Bey, dan T. June. 2017. Upwelling di Laut Banda dan
Pesisir Selatan Jawa serta hubungannya dengan ENSO dan IOD. Omni-Akuatika
12 (3).
Sahu, N., Y. Yamasbiki, and K. Takara. 2010.impact assesment of iod/enso in the asian
region. Annuals of Disas. Orev. Res. Kyoto Univ 53: 97-103.
Sani, S. 2015. El nino, la nina dan dampaknya terhadap kehidupan di Indonesia. Jurnal
Criksetra 4(8): 153.
Sitompul, Z., & Nurjani, E. (2016). Pengaruh el nino southern oscillation (ENSO)
terhadap curah hujan musiman dan tahunan di Indonesia. Jurnal Bumi Indonesia.
2(1).
Yuan, D., J. Wang, T. Xu, P. Xu, Z. Hui, X. Zhao, Y. Luan, W. Zheng, and Y. Yu. 2011.
Forcing of the Indian Ocean Dipole on the interannual variations of the tropical
Pacific Ocean: Roles of the Indonesian throughflow. Journal of Climate 24 (14):
3593-3608.

52
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN
ACARA IV
KLASIFIKASI IKLIM DAN PENENTUAN AWAL MUSIM

Disusun oleh :

1. Alin Febi Cahyani (462337)

2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)

3. Khoirul Insan (456592)

4. Khoirunisa (455538)

5. Latri Putri Paramandita (462355)

6. Maulana Edith Indrastata (462360)


Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2021

53
ACARA IV
KLASIFIKASI IKLIM DAN PENENTUAN AWAL MUSIM

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Suatu keseluruhan dari keadaan atmosfer yang selalu berubah dalam
jangka waktu yang cukup lama disebut sebagai iklim. Kondisi iklim dapat
dipengaruhi oleh berbagai unsur iklim yaitu kelembaban, suhu, curah hujan,
penguapan, intensitas penyinaran matahari, awan, dan angin (Ariffin, 2019).
Iklim menjadi suatu hal yang tidak bisa terlepaskan dalam kehidupan makhluk
hidup khususnya pada tanaman. Iklim menjadi faktor nyata dan memiliki
peranan strategis dalam kelangsungan hidup tanaman. Proses metabolisme,
pertumbuhan dan perkembangkiakan tanaman sangat dipengaruhi oleh iklim dan
cuaca.
Iklim merupakan penciri dari suatu wilayah tertentu. Umumnya, iklim di
berbagai daerah berbeda-beda dan tidak mungkin identik antara daerah satu
dengan daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan masing-masing daerah
memiliki kondisi lingkungan dengan variasi yang berbeda. Kondisi lingkungan
yang bervariasi mempengaruhi anasir-anasir utama iklim salah satunya radiasi
matahari. Anasir-anasir iklim yang berbeda itulah menyebabkan variasi iklim di
berbagai daerah khususnya di Indonesia. Setelah melakukan klasifikasi
berdasarkan persamaan sifat-sifat iklim yang ada pada suatu wilayah kemudian
dilakukan pengelompokkan iklim. Dengan melakukan pengelompokkan iklim
dapat memudahkan kita dalam memahami iklim, sehingga dapat diterapkan pada
sektor pertanian.
Secara umum klasifikasi iklim dikelompokkan menjadi dua yaitu
klasifikasi secara genetis dan klasifikasi secara empiris. Klasifikasi secara
genetis berdasarkan pada faktor iklim yang menjadi penyebab seperti aliran
massa udara, zona angin, ada tidaknya benua, serta perbedaan penerimaan
radiasi matahari. Klasifikasi secara empirik berdasarkan pada hasil pengamatan
yang teratur terhadap unsur-unsur iklim. Klasifikasi empirik dibedakan menjadi

54
dua macam yaitu klasifikasi berdasarkan rational moisture budget
(Thornthwaite) dan klasifikasi iklim berdasarkan pertumbuhan vegetasi alami.
Klasifikasi berdasarkan pertumbuhan vegetasi alami dapat menggunakan
berbagai metode penentuan iklim diantaranya metode Mohr, Schmidt dan
Fergusson, Oldeman serta Koppen. Salah satu sarana untuk beradaptasi dan
menggali pemahaman mendalam berkenaan dengan iklim yaitu dengan
klasifikasi iklim di berbagai wilayah di Indonesia.
Identifikasi iklim pada sektor pertanian bermanfaat untuk mengetahui
jenis tanaman yang cocok ditanam pada kondisi iklim yang ada dan akan
dikembangkan di wilayah tersebut. Selain itu, identifikasi iklim juga bermanfaat
dalam pemilihan sistem budidaya tanaman, menentukan suatu sektor pertanian
mulai dari penanaman hingga pemanenan, dan pengaturan waktu tanam yang
akan diterapkan. Setiap sistem klasifikasi iklim menggunakan unsur iklim yang
berbeda-beda sebagai parameter pengelompokannya. Pengelompokkan iklim
sangat penting untuk dipelajari. Oleh karena itu, pada praktikum ini dilakukan
pengelompokkan iklim agar dapat menentukan tipe iklim serta mengetahui
hubungan tipe iklim dengan keadaan tanaman di tempat tertentu.

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum klasifikasi iklim dan penentuan awal musim adalah
sebagai berikut :
1. Melatih mahasiswa menyatukan berbagai anasir iklim guna menentukan tipe
iklim.
2. Melatih mahasiswa mengetahui hubungan tipe iklim dengan keadaan tanaman
setempat.

55
II. TINJAUAN PUSTAKA
Iklim merupakan suatu keadaan rata-rata cuaca pada suatu wilayah
tertentu dalam periode waktu yang lama dan berpengaruh terhadap ekosistem
yang terbentuk. Iklim diprediksi menggunakan beberapa faktor seperti lintang,
bujur dan ketinggian (Geng et al., 2014). Perubahan iklim sebagai perubahan
rata-rata dan atau variabilitas faktor- faktor yang berkaitan dengan iklim dan
berlaku untuk satu periode yang panjang, umumnya puluhan tahun atau lebih.
Perubahan iklim secara statistik didefinisikan sebagai perubahan kecenderungan
baik naik atau turun dari unsur-unsur iklim yang disertai keragaman harian,
musiman maupun siklus yang tetap berlaku untuk satu periode yang panjang.
Perubahan iklim diukur berdasarkan perubahan komponen utama iklim, yaitu
suhu atau temperatur, musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin
(Susilokarti et al., 2015).
Kegiatan manusia dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama pada bidang
pertanian dan peternakan. Pengetahuan mengenai iklim yang dominan si suatu
wilayah merupakan hal mendasar bagi pembangunan pertanian (Rolim et al.,
2015). Faktor iklim merupakan faktor yang sulit untuk dimodifikasi karena iklim
merupakan komponen ekosistem yang sangat dinamis dan sulit untuk
dikendalikan. Beberapa ahli seperti Koppen, Thornwaite, Oldemann, Mohr serta
Schmidt dan Ferguson mengklasifikasikan iklim dengan berbagai metode guna
menunjang kegiatan-kegiatan pertanian yang pada umumnya menggunakan data
suhu udara dan curah hujan. Oleh karena itu, iklim menjadi salah satu faktor
utama yang sangat dipertimbangkan dalam pembangunan pertanian (Adriyanto,
2009 cit Mahubessy, 2014).
Metode klasifikasi iklim merangkum data iklim suatu wilayah.
Klasifikasi ini memberikan gambaran singkat tentang iklim suatu wilayah dan
digunakan sebagai titik awal untuk analisis perubahan iklim. Metode klasifikasi
iklim dibagi menjadi metode genetik dan metode empiris. Metode genetik
mengklasifikasikan iklim berdasarkan metode genetik, seperti elemen penyebab,
aktivitas dan karakteristik semua faktor dilihat dari lokasi geografis berdasarkan
garis lintang dan garis bujur. Metode empiris didasarkan pada pengamatan
reguler elemen iklim. Pada klasifikasi iklim secara empirik dikenal empat

56
macam tipe klasifikasi, yaitu klasifikasi menurut Mohr, klasifikasi menurut
Schmidt-Fergusson, klasifikasi menurut Oldeman, dan klasifikasi menurut
Koppen (Perdinan et al., 2017).
Menurut Sari (2015) pengklasifikasian iklim Mohr didasarkan pada
banyaknya curah hujan dengan melihat derajat kebasahan suatu bulan. Derajat
kebasahan suatu bulan menurut Mohr yaitu Bulan Kering (BK) merupakan
bulan dengan CH<60 mm, Bulan Lembab (BL) yaitu bulan dengan CH 60 mm
sampai dengan 100 mm, dimana Bulan Basah yaitu bulan dengan CH > 100m.
Sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson merupakan sistem klasifikasi yang
penggolongan iklimnya ditentukan dengan cara menghitung dan menentukan
quitient (Q rerata) jumlah bulan kering dan rerata bulan basah (Dewi,
2005).Berdasarkan derajat kebasahan yang dibuat oleh Mohr, Schmidt dan
Fergusson (SF) juga membuat klasifikasi iklim. Perbedaannya terletak pada
penentuan derajat kebasahan dan perhitungannya. Perhitungannya menggunakan
rasio Q, yaitu perbandingan antara rerata bulan kering dan rerata bulan basah.
Pengklasifikasian iklim Oldemann didasarkan pada hubungan hubungan
antara iklim dengan tanaman.Klasifikasi dilakukan berdasarkan curah hujan
yang dibutuhkan oleh tanaman padi dan palawija. Dalam klasifikasi ini,
Oldeman membagi sistem klasifikasi menjadi zona iklim dan sub zona iklim.
Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah
berturut-turut yang terjadi selama satu tahun sedangkan sub zona iklim
merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun.
Pemberian nama zona iklim berdasarkan huruf, yaitu zona A, zona B, zona C,
zona D, dan zona E sedangkan sub zona berdasarkan angka, yaitu sub 1, sub 2,
sub 3, sub 4, dan sub 5) (Winarno et al,. 2019).
Vladimir Koppen juga mengemukakan klasifikasi iklim, Klasifikasinya
berdasarkan rerata suhu dan curah hujan bulanan atau tahunan yang
dihubungkan dengan keadaan vegetasi (Nasir et al,. 2018). Koppen membagi
iklim menjadi 5, yaitu :
1. Iklim Hujan Tropika (A) adalah daerah yang mempunyai temperatur
bulan terdingin lebih besar dari 18º C. Iklim ini dibagi lagi menjadi 3

57
berdasarkan perhitungan y = 98,5 – (Ry/25). Ry merupakan rain year
atau rata-rata curah hujan selama beberapa tahun. Tipe iklimnya adalah:
a. Tropika basah (Af), syaratnya adalah bulan terkering hujan rata-rata
lebih besar dari 60 mm.
b. Tropika basah-kering (Am), jumlah hujan pada bulan-bulan basah
dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering, sehingga
jumlah hujan seimbang.
c. Tropika kering (Aw), jumlah bulan-bulan basah tidak dapat
mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering.
142
d. Tropika basah (Af), syaratnya adalah bulan terkering hujan rata-rata
lebih besar dari 60 mm.
e. Tropika basah-kering (Am), jumlah hujan pada bulan-bulan basah
dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering, sehingga
jumlah hujan seimbang.
f. Tropika kering (Aw), jumlah bulan-bulan basah tidak dapat
mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering.

2. Iklim kering (B), iklim ini dibagi menjadi dua yaitu :


a. Iklim steppe yang terletak di antara daerah savanna dan padang pasir
pada lintang kecil
b. Iklim padang pasir.
3. Iklim sedang (C) biasanya temperatur bulan terdinginnya -3ºC < T <
18ºC dan temperatur bulan terpanasnya adalah T > 10ºC.
4. Iklim dingin (D) mempunyai temperatur rata-rata bulanan terdingin
kurang dari -3ºC dan rata-rata bulan terpanas lebih besar dari 10º C.
5. Iklim kutub (E) memiliki rata-rata temperatur bulan panas kurang dari
10º C.

58
III. METODOLOGI

Praktikum Klimatologi Pertanian Acara IV yang berjudul “Klasifikasi Iklim dan


Penentuan Awal Musim” dilaksanakan pada Hari Jumat, 17 September 2021 secara
daring. Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah laptop dengan software Ms.
Excel yang berfungsi sebagai media pengolah data. Bahan yang digunakan yaitu data
curah hujan (CH) bulanan selama 10 tahun yakni tahun 2000-2020 di Stasiun
Borobudur, data curah hujan (CH) dasarian dan bulanan selama 2 tahun pada Stasiun
Jayapura. Data curah hujan digunakan untuk menganalisis tipe iklim di daerah setempat
berdasarkan sistem klasifikasi dari Mohr, Schmidt-Fergusson, Oldeman, dan Koppen.
Pada sistem klasifikasi Mohr, langkah yang dilakukan yaitu dibuat tabel dengan
kolom-kolom bulan, curah hujan per tahun, curah hujan rerata, dan derajat kebasahan
bulan (DKB). Kemudian semua data dimasukkan ke dalam tabel dan dihitung curah
hujan rerata dari bulan-bulan sejenis. Setelah itu, derajat kebasahan bulan
masing-masing curah hujan rerata ditentukan dan dimasukkan ke dalam kolom DKB.
Dari kolom DKB, dihitung jumlah bulan kering (BK), bulan lembab (BL), dan bulan
basah (BB). Lalu ditentukan tipe iklim daerah setempat menurut penggolongan iklim
Mohr.
Pada sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson dibuat tabel dengan kolom-kolom
bulan, curah hujan per tahun dengan kolom DKB pada setiap kolom tahun. Kemudian,
semua data dimasukkan ke dalam tabel, ditentukan DKB setiap data serta dimasukkan
ke dalam kolom DKB. Jumlah BK, BL dan BB selama 10 tahun dihitung. Selanjutnya,
nilai Q dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐾
Rasio Q = 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐵𝐵

Setelah itu, ditentukan tipe iklim daerah setempat menggunakan penggolongan iklim
Schmidt-Fergusson berdasarkan besar nilai Q-nya.
Pada sistem klasifikasi Oldeman, langkah pertama yaitu dibuat tabel dengan
kolom-kolom seperti tabel sistem klasifikasi Mohr, kemudian semua data dimasukkan
ke dalam tabel dan ditentukan DKB tiap data menurut kriteria Mohr. Dihitung jumlah
rerata BK, BL, dan BB dari jumlah BB dan BK yang berurutan, jika tidak berurutan
hanya dihitung satu saja. Kemudian dapat ditentukan tipe iklim daerah setempat dengan
menggunakan sistem klasifikasi Agroklimat.

59
Gambar 4.1 Segitiga Agroklimat

Pada analisis sistem klasifikasi Koppen menggunakan data sekunder yang sama
dengan sistem klasifikasi Mohr, Schmidt dan Fergusson , serta Oldeman yaitu berasal
dari Stasiun Borobudur. Hal yang harus dilakukan yaitu melakukan perhitungan
rata-rata curah hujan di bulan yang sama selama 10 tahun. Dari hasil rerata tersebut
dapat dilihat curah hujan terendah dan akan disebut dengan Rd (Rainy day). Setelah itu,
perhitungan terhadap Ry (Rainy year) baru dapat dilakukan dengan rumus sebagai
berikut.
98.5 – (Ry/25)
Setelah perhitungan selesai, bandingkan nilai Rd dengan besaran nilai dari rumus
tersebut dan tentukan tipe iklim dengan sistem klasifikasi koppen. Koppen membagi
iklim menjadi lima bagian, yaitu iklim hujan tropis, iklim kering, iklim sedang, iklim
dingin, dan iklim kutub. Untuk Indonesia, menurut klasifikasi koppen termasuk dalam
iklim hujan tropis. Iklim hujan tropis terbagi menjadi tiga, yaitu Af, Am, dan Aw.
Dalam penentuan awal musim, hal pertama yang dilakukan yaitu menghitung
curah hujan per dasarian pada tahun yang ingin diamati. Setelah itu, data curah hujan
per dasarian dan curah hujan bulanan dibuat grafik. Kemudian, menentukan awal musik
hujan dengan melihat curah hujan yang lebih dari 50 mm pada tiga dasarian
berturut-turut dan menentukan awal musim kemarau dengan melihat curah hujan yang
kurang dari 50 mm pada tiga dasarian berturut-turut.

60
HASIL PENGAMATAN

Tabel 3.1 Klasifikasi Iklim Menurut Mohr Pada Stasiun Borobudur

Keterangan: Daerah Borobudur termasuk dalam golongan III


a. BB = 8
b. BL = 1
c. BK = 3

61
Tabel 3.2 Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt dan Fergusson Pada Stasiun Borobudur

Tabel 3.3 Klasifikasi Iklim Menurut Oldeman Pada Stasiun Borobudur

62
Tabel 3.4 Klasifikasi Iklim Menurut Koppen Pada Stasiun Borobudur

63
Tabel 3.5 Data Curah Hujan Bulanan Stasiun Borobudur Pada tahun 2019

Tabel 3.6 Data Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun Borobudur Pada tahun 2020

64
Tabel 3.7 Data Curah Hujan Dasarian (mm) Stasiun pada tahun 2019

Tabel 3.8 Data Curah Hujan Dasarian (mm) Stasiun pada tahun 2020

65
IV. PEMBAHASAN

Klasifikasi Mohr merupakan klasifikasi iklim pertama di Indonesia yang


didasarkan pada curah hujan dan diusulkan oleh E.C Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi
Mohr didasarkan pada jumlah bulan basah dan bulan kering dalam setahun. Bulan basah
dalam klasifikasi Mohr merupakan bulan dengan total curah hujan kumulatif lebih dari
100 mm, sedangkan bulan kering merupakan bulan dengan total curah hujan kumulatif
kurang dari 60 mm (Karim & Aliyah, 2018). Selain itu, terdapat juga bulan lembab
yang merupakan bulan dengan total curah hujan diantara 60-100 mm. Nilai derajat
kebasahan BB, BL, dan BK diperoleh dari rerata jumlah curah hujan bulanan selama
paling sedikit sepuluh tahun.
Pada sistem klasifikasi Mohr, golongan iklim dibedakan menjadi lima macam,
yaitu golongan I yang menunjukkan daerah basah dengan curah hujan melebihi
penguapan selama 12 bulan dan hampir tanpa periode kering (bulan lembab dengan
jumlah antara 1-6); golongan II menunjukkan daerah agak basah dengan periode kering
lemah, terdapat 1 bulan lembab dan 9-10 bulan basah diikuti 2 bulan kering dengan
periode kering yang tegas pada satu tahun tidak terdapat pada tahun-tahun lain;
golongan III menunjukkan daerah agak kering dengan periode kering 3-4 bulan dan
pada periode basah curah hujan masih melebihi penguapan; golongan IV menunjukkan
daerah kering dengan periode kering hingga enam bulan dan gejala musim kering mulai
nyata; serta golongan V menunjukkan daerah sangat kering dengan periode kering yang
panjang dan kuat. Berdasarkan tabel hasil pengamatan klasifikasi Mohr pada Stasiun
Borobudur, menunjukkan bahwa terdapat 8 bulan basah (BB), 1 bulan lembab (BL), dan
3 bulan kering (BK). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa iklim pada Stasiun
Borobudur termasuk golongan III, karena memiliki 3 bulan kering (BK) pada periode
basah dengan curah hujan masih melebihi penguapan.
Klasifikasi Schmidt-Ferguson merupakan sistem klasifikasi yang sangat terkenal
di Indonesia dan banyak digunakan dalam bidang kehutanan dan perkebunan.
Klasifikasi ini cukup berguna terutama dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman
pangan di Indonesia (Wahid dan Usman, 2017). Menurut Rafi’i (1995) dalam Sasminto
dan Tunggul (2014) klasifikasi Schmidt-Ferguson memiliki beberapa klasifikasi iklim
antara lain sangat basah, basah, agak basah, sedang, agak kering, kering, sangat kering,
dan luar biasa kering. Klasifikasi Schmidt-Ferguson sendiri dapat dihitung dengan

66
membandingkan antara rata-rata bulan kering dengan rata-rata bulan basah yang juga
dapat disebut sebagai rasio Q. Dari hasil tersebut, Schmidt-Ferguson membagi tipe-tipe
iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut : tipe
iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah)
jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya
adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim
kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak
kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan
savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang, dan tipe iklim H
(ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang (Syamsulbahri, 1987 cit.
Lumbantoruan, 2017). Sebagai contoh, pada data simulasi diketahui bahwa BK (Bulan
Kering) memiliki nilai 4.14 sedangkan BB (Bulan Basah) memiliki nilai 7.33 sehingga
diperoleh nilai rasio Q yaitu 0.56. Rasio Q tersebut termasuk dalam Golongan C karena
nilainya di antara 0.333 dan 0.6 sehingga termasuk ke daerah agak basah, vegetasi hutan
rimba, diantaranya terdapat vegetasi yang menggugurkan daunnya pada musim
kemarau, misalnya tanaman jati.
Klasifikasi iklim Oldeman digunakan untuk bidang pertanian yang
penentuannya berdasarkan jumlah kebutuhan air (curah hujan) terhadap tanaman
pangan (padi dan palawija). Klasifikasi tipe iklim ini menggolongkan tipe-tipe iklim di
Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan bulan basah dan bulan bulan kering secara
berturut-turut (Saputra et al., 2018). Tipe utama klasifikasi Oldeman didasarkan pada
jumlah bulan basah berturut-turut, yaitu: zona A, zona B, zona C, zona D, dan zona E.
Sedangkan sub tipenya didasarkan pada jumlah bulan kering berturut turut yaitu: zona
1, zona 2, zona 3, dan zona 4 (Lakitan, 1994). Karakteristik zona-zona tersebut berbeda
satu sama lain disebut zona agroklimat. Kriteria dalam klasifikasi ini didasarkan pada
penghitungan bulan basah (rata-rata curah hujan > 200 mm) dan bulan kering (rata-rata
curah hujan < 100 mm klasifikasi iklim Oldeman juga mempunyai kekurangan yaitu
analisis data yang hanya bergantung pada curah hujan dan karakteristik wilayah.
Analisis Oldeman hanya dapat mengenali pola tanam dan perlu mengklasifikasikan
curah hujan tahunan berdasarkan bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering, bukan
berdasarkan data curah hujan bulanan yang sebenarnya (Munandar dan Sumiati, 2017).

67
Gambar 4.1 Segitiga Agroklimat

Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah di Stasiun Borobudur termasuk


pada golongan zona C, sub divisi D. Berdasarkan penggambaran dalam segitiga
agroklimat termasuk ke dalam iklim C3 karena memiliki 6 bulan basah dan 4 bulan
kering. Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan data temperature udara dan
endapan yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok tanaman. Iklim ini merupakan
iklim yang sering digunakan orang. Klasifikasinya berdasarkan curah hujan dan
temperatur. Koppen mengelompokkan iklim dalam lima daerah iklim yang dinyatakan
dengan simbol huruf dan terdiri dari iklim A (iklim hujan tropis), iklim B (iklim
kering/gurun), iklim C (iklim sedang), iklim D (iklim salju atau mikrothermal), dan
iklim E (iklim kutub) (Hartono, 2007)
Klasifikasi iklim Koppen didasarkan pada rerata suhu dan curah hujan bulanan
atau tahunan. Pada praktikum ini hanya berfokus pada golongan A karena Indonesia
merupakan negara tropis. Tipe tropika dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tipe tropika
basah (Af) memiliki curah hujan terkecil lebih dari 60 mm, tipe tropika basah kering
(Am) memiliki curah hujan kurang dari 60 dan Rainy day (Rd) lebih dari 98,5. –
(Ry/25) mm, dan tipe tropika basah kering (Aw) memiliki curah hujan kurang dari 60
dan Rainy day (Rd) kurang dari 98,5 – (Ry/25) mm. Dari data tabel 3.4 didapat bahwa
pada bulan agustus memiliki nilai curah hujan bulanan terkecil atau Rd yaitu senilai
6,87. Setelah itu, didapat juga nilai Ry atau rerata total dari curah hujan perbulan senilai
2943,15. Lalu nilai Ry dimasukan kedalam rumus 98,6 - Ry/25 didapat hasil senilai

68
-19,23. Setelah nilai -19,23 dibandingkan dengan nilai Rd yaitu senilai 6,87. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Rd > -19,23 sehingga Data Curah Hujan Stasiun
Borobudur (2000-2020) menurut klasifikasi Koppen masuk kedalam klasifikasi Am
(Tropika Basah Kering).
Menurut Klasifikasi Mohr Jumlah Bulan Kering ditentukan jika curah hujan <
60 mm dan Bulan Basah jika curah hujan > 100 mm (Karim & Aliyah., 2018).
Kelebihan sistem klasifikasi Mohr adalah walaupun jenis tanah tidak menjadi dasar
sistem klasifikasi Mohr sudah cukup mewakili berbagai jenis tanah, metode ini telah
diterapkan dengan berhasil pada daerah tropis. Kekurangannya adalah
pengklasifikasiannya didasarkan pada rata-rata bulanan sehingga kurang sesuai untuk
memberi gambaran secara sempurna mengenai keadaan iklim Indonesia, tidak
mengikutsertakan sifat fisis suatu tanah yang juga dapat memberi pengaruh pada
penetuan iklim. Klasifikasi menurut Schmidt dan Fergusson, penentuan tipe iklim
mempergunakan nilai Q = (rata-rata bulan kering/rata-rata bulan basah) x 100%
(Harahap dkk. 2021). Kelebihan dari sistem klasifikasi ini adalah mengetahui
pergeseran iklim tiap tahun, mempermudah pengamatan dalam melihat kapan terjadinya
bulan kering dan bulan basah. Kekurangannya adalah kriteria untuk bulan basah
ataupun bulan kering untuk beberapa wilayah terlalu rendah, sehingga terjadi kesulitan
dalam mengelompokkan bulan kering dan bulan basah pada suatu daerah.
Klasifikasi menurut Oldeman memakai dasar unsur curah hujan dalam
hubungannya dengan kebutuhan air tanaman, khususnya tanaman pangan semusim
seperti padi dan palawija. Kelebihan sistem ini adalah caranya sudah lebih maju karena
metode Oldeman yang telah mempertimbangkan unsur cuaca yang lain seperti radiasi
matahari yang dihasilkan dengan kebutuhan air tanaman. Sehingga, dengan
memanfaatkan sistem klasifikasi ini, sudah dapat diperkirakan pola tanam dengan
keterkaitan antara iklim dan tanaman. Sedangkan kekruangannya adalah klasifikasi
Oldeman hanya mampu mengenali pola pertanian dalam suatu kondisi tertentu. Selain
itu, klasifikasi oldeman hanya sistem menjadikan curah hujan sebagai salah satu
indikator pentingnya yang berbasis pada data berdasarkan bulan basah, lembab dan
kering dan tidak mengacu pada data curah hujan asli (Munandar & Sumiati., 2017).
Klasifikasi menurut Koppen menjadikan tiga hal sebagai indikatornya. Indikator
tersebut secara berurutan adalah curah hujan, radiasi matahari (suhu udara), dan

69
kesesuaian lahan. Sistem klasifikasi iklim Koppen juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Adapun kelebihan sistem klasifikasi ini adalah terletak dalam penyusunan
simbol-simbol tipe iklim yang dengan tepat merumuskan sifat dan curah masing-masing
tipe iklim dengan tanda yang terdiri dari kombinasi beberapa huruf saja yang dapat
dengan tepat merumuskan sifat dan corak iklim suatu wilayah. Sedangkan, kekurangan
sistem klasifikasi iklim ini adalah jika diterapkan di Indonesia, sistem ini kurang dapat
menggambarkan kondisi detail iklim Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya
perbedaan curah hujan wilayah-wilayah di Indonesia. Walaupun, suhu udara tahunannya
sama sepanjang tahun. Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem
klasifikasi iklim yang cocok diterapkan di Indonesia adalah sistem klasifikasi Schmidt
& Fergusson serta Oldeman. Hal ini, sesuai dengan Laimeheriwa dkk. 2019 yang
mengatakan bahwa di Indonesia merupakan wilayah beriklim tropis sehingga sangat
cocok menggunakan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidt-Ferguson.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam jangka yang sangat panjang, antara
50 sampai 100 tahun, dan mencakup kawasan yang luas (DNPI, 2013). Indonesia
termasuk dalam iklim tropis memiliki cuaca yang cenderung hangat dan basah
(Edwards et al., 2017). Hal tersebut dikarenakan Indonesia hanya memiliki dua musim
yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dan musim hujan memiliki ciri
yang berbeda yaitu ketika musim kemarau cuaca cenderung panas dan terik, sedangkan
pada musim penghujan cuaca cenderung basah dan lembab. Musim penghujan sendiri
menurut Pratiwi (2011) menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena
pada fase perkecambahan dan perkembangan tanaman membutuhkan air paling besar
60% di dalam tanah serta pada fase vegetatif dan fase pemasakan membutuhkan lebih
sedikit air tersedia dalam tanah yaitu sekitar 40% air di dalam tanah (Maulana dan
Ninuk Herlina, 2020). Tak hanya itu, secara teoritis, Indonesia memiliki iklim yang
mendukung dan meningkatkan laju pelapukan batuan. (Edwards et al., 2017) serta
mendukung pembusukan bahan organik sehingga memiliki tanah yang sangat cocok
untuk kegiatan pertanian dan memiliki tanah yang subur. Dengan demikian, iklim tropis
mendukung perkembangan dan pertumbuhan tanaman karena memenuhi unsur eksternal
yang sangat diperlukan tanaman untuk tumbuh dan berkembang.
Iklim maritim atau Kepulauan Indonesia umumnya dibentuk oleh ENSO. Curah
hujan biasanya terjadi pada arus hangat Pasifik barat, sedangkan Pasifik khatulistiwa

70
timur dan tengah dan Samudra Hindia barat mengalami iklim yang lebih kering secara
keseluruhan, tergantung pada konfigurasi geofisika indo-Pasifik ditambah sistem
atmosfer laut. Wilayah ini mengalami curah hujan yang lebih tinggi selama peristiwa
La Niña (El Niño). Karakteristik curah hujan di Indonesia diketahui memiliki
variabilitas musiman terutama terkait dengan musim hujan dan ENSO. Musim hujan
(Desember-Februari) bertepatan dengan monsun musim panas belahan bumi selatan.
Musim kemarau (Mei-September) terjadi ketika angin tenggara kering bertiup dari
Australia. April dan Oktober adalah bulan transisi antara fase basah dan kering (Lee,
2015).

Gambar 4.2 Histogram Curah Hujan Bulanan di Stasiun Borobudur Tahun 2019

Berdasarkan data histogram di atas, dapat dilihat pada bulan Januari sebesar
270,36 mm dan mengalami penurunan di bulan Februari sebesar 243,21 mm. Pada
bulan Maret terdapat peningkatan curah hujan yang cukup tinggi sebesar 391,11 mm.
Kemudian kembali mengalami penurunan pada bulan April sebesar 160,44 mm. Namun
pada bulan Mei hingga bulan Juli mengalami kenaikan. Pada Bulan Agustus hingga
bulan September kembali mengalami penurunan curah hujan sebesar 45,66 mm. Akan
tetapi kembali mengalami peningkatan pada bulan Oktober hingga Desember sebesar
363,07. Curah hujan terjadi pada bulan September yaitu sebesar 45,66 mm dan curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 391,11 mm. Dilihat dari derajat
kebasahan bulan menurut klasifikasi Mohr, pada tahun 2019 memberikan 8 bulan basah

71
(BB), 1 bulan lembab (BL), 3 bulan kering (BK). Oleh sebab itu, cuaca pada stasiun
Borobudur pada sepanjang tahun 2019 dapat disimpulkan cenderung daerah basah atau
golongan III.

Gambar 4.3 Histogram Curah Hujan Bulanan Stasiun Borobudur Tahun 2020

Berdasarkan data histogram di atas, dapat diamati bahwa pada bulan Januari
tahun 2020 sebesar 331,78 mm dan mengalami penurunan pada bulan Februari yaitu
sebesar 80,66 mm. Pada bulan Maret curah hujan mengalami kenaikan sebesar 213.3
mm. Kemudian kembali mengalami penurunan hingga bulan Juni yaitu sebesar 32,59
mm. Setelah itu, mengalami kenaikan hingga bulan Agustus sebesar 233,17 mm. Pada
bulan September mengalami penurunan, namun kembali mengalami peningkatan
hingga mencapai puncak curah hujan terjadi pada bulan November yaitu sebesar 473,4
mm. Lalu pada bulan Desember mengalami penurunan sebesar 210,38 mm. Dilihat dari
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November yaitu sebesar 473,4. Sedangkan
curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 37,59 mm. Ditinjau dari
derajat kebasahan bulan menurut klasifikasi Mohr, pada tahun 2020 memberikan
memberikan 8 bulan basah (BB), 1 bulan lembab (BL), 3 bulan kering (BK). Oleh
sebab itu, cuaca pada stasiun Borobudur pada sepanjang tahun 2019 dapat disimpulkan
cenderung daerah basah atau golongan III.
Dari data dasarian curah hujan diperoleh histogram yang dapat dijadikan sebagai
penentu awal musim hujan dengan beberapa kriteria. Menurut BMKG, penetuan awal

72
musim hujan ditandai dengan kriteria berupa jumlah dasarian curah hujan lebih dari 50
mm (CH > 50 mm) dan diikuti dua dasarian berikutnya, sebaliknya jika awal musim
kemarau ditandai jumlah dasarian curah hujan kurang dari 50 mm (CH < 50 mm) dan
diikuti dua dasarian berikutnya (Rohmawati et al., 2014). Perhitungan dasarian pertama
diambil pada 10 hari pertama, dasarian kedua diambil 10 hari selanjutnya, dan dasarian
ketiga diambil 10 hari atau sisa hari pada bulan tertentu (Ardhitama dan Sholihah,
2014).

Gambar 4.4 Histogram Dasarian Curah Hujan (mm) Stasiun Borobudur Tahun 2019

Pada histogram dasarian curah hujan tahun 2019 dapat dilihat dari awal bulan
memiliki curah hujan yang dominan. Diawali pada bulan Januari 2019 dengan dasarian
1, 2, dan 3 secara berurutan bernilai 50,02 mm, 73,82 mm, dan 146,52 mm. Terlihat
juga dasarian curah hujan yang minim terjadi dimulai pada bulan Agustus dengan
dasarian 1, 2, dan 3 secara berurutan 29,94 mm, 20,02 mm, dan 21,3 mm. Sehingga
pada bulan Januari dapat dijadikan sebagai awal musim hujan karena telah memenuhi
kriteria dan jumlah dasarian curah hujannya lebih dari 50 mm (CH > 50 mm),
sedangkan musim kemarau dapat dimulai dari bulan Agustus dasarian 1 karena telah
memenuhi kriteria dan jumlah dasarian curah hujannya kurang dari 50 mm (CH < 50
mm).

73
Gambar 4.5 Histogram Dasarian Curah Hujan (mm) Stasiun Borobudur Tahun 2020

Begitu halnya terjadi pada tahun 2020 yang menunjukkan dasarian curah hujan
didominasi pada akhir bulan yang dimulai pada bulan September berlanjut ke bulan
selanjutnya dengan dasarian 2, 3, dan dasarian 1 pada bulan Oktober secara berurutan
bernilai 75,03 mm, 104,72 mm, dan 62,92 mm, sedangkan minimnya dasarian curah
hujan terjadi pada bulan Mei dan bulan seterusnya dengan dasarian 2, 3, dan dasarian 1
bulan April secara berurutan 0 mm, 38,61 mm, dan 28,91 mm. Setelah diketahui
jumlah dasarian curah hujan dapat diketahui awal musim hujan dimulai pada bulan
September dasarian 2 karena telah memenuhi kriteria dan jumlah curah hujan dasarian
lebih dari 50 mm (CH > 50 mm) serta musim kemarau dapat dimulai pada bulan Mei
dasarian 2 karena telah memenuhi kriteria dan jumlah dasarian curah hujan kurang dari
50 mm (CH < 50 mm).
Pada iklim sendiri terdapat anomali iklim yang menjadi salah satu masalah di
bidang pertanian, karena anomali iklim ini akan semakin terjadi dengan kondisi musim
yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang, sehingga hal itu akan
memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi pertanian Anomali iklim sendiri
sangat berpengaruh pada sektor pertanian, dimana anomali iklim ini terdiri dari El Nino
dan La nina. El nino merupakan fenomena naiknya suhu permukaan laut di timur dan
tengah di kawasan tropis Samudera Pasifik, sedangkan La Nina fenomena mehangatnya
suhu permukaan laut di kawasan tersebut, disebut La Nina (Setyadi & Amri, 2017).

74
Pada El Nino terdapat Ada beberapa faktor terjadinya El Nino yang pertama adalah
naiknya suhu di bagian tengah dan timur perairan Pasifik, setelah itu yang kedua adalah
pembentukan awan yang terjadi di daerah tersebut dan yang ketiga adalah terhambatnya
pembentukan awan di daerah barat Samudera Pasifik dikarenakan tekanan udara yang
meningkat. Seara kasat mata El Nino dapat dilihat di daerah Ekuador dan Peru tetapi
pada La Nina tidak dapat dilihat secara fisik sehingga sulit untuk memperkirakan
terjadinya La Nina (Ismail et al., 2020). Menurut Utami et al (2011) Pada kejadian El
Nino, ketersediaan air untuk pertanian berkurang sehingga produksi dan produktivitas
tanaman menurun atau bahkan tidak panen karena tanaman mengalami kekeringan,
sementara pada kejadian La Nina, ketersediaan air dapat menjadi berlebihan dan
menyebabkan banjir sehingga tanaman mengalami gagal panen, serta naiknya potensi
hujan dan juga naiknya tinggi curah hujan di berbagai daerah di Indonesia dan
sekitarnya. Oleh sebab itu, anomali iklim yaitu El Nino dan La Nina mempengaruhi
produksi pertanian.

75
V. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:


1. Tipe iklim suatu tempat berpengaruh dengan keadaan tanaman pada tempat
tersebut. Tipe iklim berdasarkan keadaan tanaman di Stasiun Borobudur yaitu
sebagai berikut.
a. Tipe iklim Mohr pada Stasiun Borobudur termasuk golongan III karena terdiri
dari 3 bulan kering (BK), 1 bulan lembab (BL), 8 bulan basah (BB) dan pada
periode basah dengan curah hujan masih melebihi penguapan.
b. Tipe iklim Schmidt & Fergusson pada Stasiun Borobudur memiliki nilai di
antara 0.333 dan 0.6 sehingga termasuk ke golongan C yang agak basah dan
jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis dengan jenis tanaman yang mampu
menggugurkan daunnya dimusim kemarau.
c. Tipe iklim Oldeman pada Stasiun Borobudur termasuk golongan iklim C3
karena terdiri dari 6 bulan basah dan 4 bukan kering.
d. Tipe iklim Koppen pada Stasiun Borobudur masuk kedalam klasifikasi Am
(Tropika Basah Kering) karena besarnya nilai Rd > -19,23.
e. Data dasarian curah hujan dapat dilakukan penentuan awal musim yang telah
memenuhi kriteria sehingga diperoleh awal musim hujan tahun 2019 pada
bulan Januari dasarian 1 dan pada tahun 2020 pada bulan September dasarian
2, sedangkan awal musim kemarau pada tahun 2019 dimulai pada bulan
Agustus dasarian 1 dan pada tahun 2020 dimulai pada bulan Mei dasarian 2.
2. Tipe iklim suatu tempat berpengaruh dengan keadaan tanaman pada tempat
tersebut. Di Stasiun Borobudur yang termasuk ke dalam daerah basah menurut
klasifikasi Schmidt-Fergusson, maka jenis vegetasi yang sesuai dengan tipe iklim
tersebut adalah vegetasi hutan hujan tropis.

76
DAFTAR PUSTAKA

Ardhitama, A., dan R. Sholihah. 2014. Kajian penentuan awal musim di daerah non
zom 14 Riau dengan menggunakan data curah hujan dan hari hujan. Jurnal Sains
dan Teknologi Modifikasi Cuaca 15(2): 65–73.
Ariffin. 2019. Metode Klasifikasi Iklim di Indonesia. Universitas Brawijaya Press,
Malang.
Dewi, N. K. 2005. Kesesuaian iklim terhadap pertumbuhan tanaman. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian. 1(2): 1-15.
DNPI. 2013. Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban Bangsa Lima Tahun DNPI
2008 – 2013. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Jakarta.
Edwards, D. P., F. Lim, R. H. James, C. R. Pearce, J. Scholes, R. P. Freckleton, and D.
J. Beerling. 2017. Climate change mitigation: potential benefits and pitfalls of
enhanced rock weathering in tropical agriculture. Biology letters 13(4):
20160715.
Geng, Q., P. Wu, X. Zhao, and Y. Wang. 2014. Comparison of classification methods
for the divisions of wet/dry climate regions in Northwest China. International
Journal of Climatology 34: 2163- 2174.
Harahap, F. S., J. Purba, dan A. Rauf. 2021. Hubungan curah hujan dengan pola
ketersediaan air tanah terhadap produksi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) di
dataran tinggi. Jurnal Agrikultura 32(1): 37-42.
Hartono. 2007. Geografi : Jelajah Bumi dan Alam Semesta. CV. Citra Praya, Bandung.
Ismail, M. R., A. Zakaria, dan G. E. Susilo. 2020. Analisis pengaruh anomali iklim
terhadap curah hujan di Provinsi Bengkulu Rekayasa. Jurnal Ilmiah Fakultas
Teknik Universitas Lampung 24(1): 10-14.
Karim, H. A. dan M. Aliyah. 2018. Evaluasi penentuan waktu tanam padi (Oriza Sativa
L.) berdasarkan analisa curah hujan dan ketersediaan air pada wilayah Bedungan
Sekka-Sekka Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Ilmu Pertanian 3(2): 41-46.
Laimeheriwa, S., E. L. Madubun, dan E. D. Rarsina. 2019. Analisis tren perubahan
curah hujan dan pemetaan klasifikasi iklim Schmidt - Ferguson untuk penentuan
kesesuaian iklim tanaman pala (Myristica fragrans) di Pulau Seram. Jurnal
Agrologia 8(2): 71-81.

77
Lee, H. S. 2015. General rainfall patterns in Indonesia and the potential impacts of local
season rainfall intensity. Water 7(12): 1751–1768.
Lumbantoruan, L. M. 2017. Lia Muniar Curah Hujan 2000-2009.
Mahubessy, R.C. 2014. Tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman padi berdasarkan faktor
iklim dan topografi di kabupaten Merauke.Jurnal Agrologia 3: 125-131.

Maulana, A. R., and N. Herlina. 2020. The relation of climate elements with
productivity of cassava (Manihot esculenta Crantz) in Malang Regency. Journal
of Agricultural Science 5(2): 118-128.
Munandar, T.A., and Sumiati. 2017. The classification of cropping patterns based on
regional climate classification using decision tree approach. Journal of Computer
Science 13(9): 408-415.
Nasir, A. A., Handoko, T. June, R. Hidayati, P. Imron, H. Suharsono, dan Y.
Koesmaryono. 2018. Klimatologi Dasar : Landasan Pemahaman Fisika
Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. IPB Pres Printing, Bogor.
Perdinan, R. F. Adi, Y. Sugiarto, A. Arifah, E. Y. Arini, and T. Atmaja. 2017. Climate
regionalization for main production areas of Indonesia : Case study of West Java.
IOP Conference Series : Earth and Environmental Science. 54 :1-8.
Rohmawati, F. Y., R. Boer, dan A. Faqih. 2014. Prediksi awal musim hujan di Jawa
menggunakan data luaran regional climate model version 3.1 (REGCM3).
Journal Agromet Indonesia 28(1): 17–22.
Sari, N. 2015. Klasifikasi Sub Tipe Iklim Oldeman Studi Kasus di UPT PSDAWS
Sampean Baru. Fakultas Teknologi Pertanian.Universitas Jember. Skripsi.
Sasminto, R. A., dan A. Tunggul. 2014. Analisis spasial penentuan iklim menurut
klasifikasi schmidt-ferguson dan oldeman di Kabupaten Ponorogo. Jurnal
Sumberdaya Alam dan Lingkungan 1(1): 51-56.
Setyadji, B., dan K. Amri.. 2017. Pengaruh anomali iklim (ENSO dan IOD) terhadap
sebaran ikan pedang (Xiphias gladius) di Samudera Hindia Bagian Timur. Jurnal
Segara 13(1):49-63.
Susilokarti, D., S.D. Arif, S. Susanto, dan L. Sutiarso. 2015. Identifikasi perubahan
iklim berdasarkan data curah hujan di wilayah selatan Jatiluhur Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Jurnal Agritech 35:98-105.
Utami, A. W., dan S. Hardyastuti. 2011. El Nino, La Nina, dan penawaran pangan di
Jawa, Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 12(2): 257-271

78
Wahid, H., dan U. Usman. 2017. Analisis karakteristik dan klasifikasi curah hujan di
Kabupaten Polewali Mandar. Sainsmat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pengetahuan Alam
6(1): 15-27.
Winarno, G. D., S. P. Harianto, dan T. Santoso. 2019. Klimatologi Pertanian. Pusaka
Media, Bandar Lampung

79
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN
ACARA V
PENENTUAN POLA TANAM BERDASARKAN KEADAAN IKLIM

Disususn oleh:
Nama : Maulana Edith Indrastata
NIM : 20/462360/PN/16790
Kelompok/Golongan : 4/A5
Asisten koreksi : Daffa Ramzy

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2021

80
ACARA V
PENENTUAN POLA TANAM BERDASARKAN KEADAAN IKLIM
I. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Tabel 1.1 Tabel Curah Hujan per Dasarian selama 10 tahun (Jan-Des)

81
82
Tabel 1.2 Tabel Rangkingisasi (Jan-Des)

83
Tabel 1.3 Tabel Besar Curah Hujan pada Peluang 75% (Jan-Des)

84
Tabel 1.4 Nilai T min, T max, P, F, Eto BC, dan Eto P per Bulan

Tabel 1.5 Tabel Nilai Kc Umum per Tanaman per Dasarian

85
Tabel 1.6 Nilai Etc Umum per Tanaman

86
B. PEMBAHASAN

Gambar 5.1 Waktu yang tepat penanaman tanaman semangka secara monokultur

Semangka adalah buah yang bergizi tidak seperti yang dikatakan kebanyakan
hanya mengandung air dan gula saja (Bassem & Sammy., 2018). Tanaman semangka,
Citrullus vulgaris SCARD atau Citrullus lanatus (THUMB) MANSF, adalah tanaman
yang berasal dari afrika (Kalie, 2008). Berdasarkan gambar 1.1 diatas waktu yang tepat
untuk menanam semangka adalah pada bulan november dasarian 1. Hal tersebut
disebabkan karena jika diamati berdasarkan tabel diatas pada waktu tersebut curah
hujannya mencukupi.

87
Gambar 5.2 Waktu yang tepat penanaman tanaman kacang hijau secara monokultur

Kacang hijau berumur genjah (55-65 hari), tahan kekeringan, variasi jenis
penyakit relatif sedikit, dapat ditanam pada lahan kurang subur dan harga jual relatif
tinggi serta stabil. Kelebihan kacang hijau dibanding tanaman kacang dengan jenis
kancang lain diantarantya mampu hidup dan berbuah di daerah yang kering (Purwono
& Hartono., 2005). Berdasarkan gambar 1.2 Diatas waktu yang tepat untuk penanaman
tanaman kancan hijau adalah pada Bulan Januari dasarian 1. Hal tersebut dikarenakan
berdasarkan pada gambar diatas curah hujannya memenuhi kebutuhan tanaman kacang
hijau.

88
Gambar 5.3 Waktu yang tepat penanaman tanaman mentimun secara monokultur

Mentimun (Cucumis sativus) merupakan buah yang banyak dibudidayakan


tanaman ini termasuk di keluarga labu Cucurbitaceae, seperti melon, semangka dan labu
(Vivek et al., 2017 cit. Agetemor et al., 2018). Pada musim hujan produksi mentimun
lebih rendah dibandingkan musim kemarau, karena curah hujan yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan bunga tanaman mentimun gugur (Septiyaning, 2011 cit. Kurniawati
dkk., 2015). Berdasarkan gambar 1.3 diatas waktu awal penanaman yang cocok untuk
tanaman mentimun adalah pada Bulan Februari Dasarian 1. Hal tersebut dikarenakan
pada waktu tersebut curah hujannya mencukupi bagi tanaman mentimun.

89
Gambar 5.4 Waktu yang tepat penanaman tanaman crucifers secara monokultur

Kubis atau Crucifers (Brassica oleracea L) merupakan salah satu tanaman


budidaya yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai sayuran yang baik untuk
kesehatan karena mengandung mineral dan vitamin yang sangat dibutuhkan tubuh
manusia. Berdasarkan gambar histogram diatas waktu yang tepat penanaman crucifers
secara monokultur adalah pada bulan Januari Dasarian 1. Hal tersebut dikarenakan
curah hujan pada bulan tersebut memenuhi syarat tumbuh tanaman crucifers.

90
Gambar 5.5 Waktu yang tepat penanaman tanaman cauliflower secara monokultur

Tanaman kembang kol atau bunga kol merupakan tumbuhan yang termasuk
dalam kelompok botrytis dari jenis Brassica oleracea (suku Brassicaceae). Bunga kol
merupakan tumbuhan semusim dengan daur hidup berlangsung minimal empat bulan
dan maksimal setahun, tergantung tipenya, tipe summer/spring atau tipe winter.
Berdasarakan gambar histrogam Bulan November merupakan waktu awal tanam yang
cocok utnuk tanaman ini. Hal tersebut dikarenakan curah hujannya memenuhi
kebutuhan tanaman tersebut.

91
Gambar 5.6 Tumpangsari tanaman Kacang hijau dan Crucifers

Berdasarkan gambar diatas tanaman Crucifers atau Kubis cocok untuk di


tanamn secara tumpang sari dengan tanaman kacang hijau. Hal tersebut dikarenakan
curah hujannya memenuhi syarat tumbuh kedua tanaman tersebut. Pada bulan
November merupakan waktu yang cocok untuk melakukan awal tanam tanaman Kubis
dan kacang Hijau.

92
Gambar 5.7 Tumpangsari tanaman Mentimun dan Cauliflower

Berdasarkan gambar histogram diatas tanaman mentimun dengan tanaman


cauliflower cocok untuk ditanamn dengan metode tumpangsari. Hal tersebut
dikarenakan pada gambar diatas ditunjukan bahwa kebutuhan air tanaman diatas
tercukupi. Bulan November merupakan bulan yang cocok untuk melakukan masa awal
tanam kedua tanaman tersebut karena curah hujannya yang cocok.

Gambar 5.8 Tumpangsari gilir tanaman Mentimun dan semangka

93
Berdasarkan gambar histogram diatas tanaman mentimun dengan tanaman
semangka cocok untuk ditanam dengan metode tumpangsari secara gilir. Hal tersebut
dikarenakan pada bulan November hingga bukan April kebutuhan tanaman mentimun
dan semangka tercukupi. Pada bulan November merupakan waktu yang cocok untuk
melakukan masa awal tanam tanaman semangka. Pada tanaman Mentimun waktu tanam
awal yang cocok terdapat pada bulan Februari.

Gambar 5.9 Tumpangsari gilir tanaman Mentimun dan crucifers

Berdasarkan gambar diatas tanaman mentimun dengan tanaman crucifers cocok


untuk ditanamn dengan metode tumpangsari bergilir. Hal tersebut dikarenakan pada
bulan November hingga Maret curah hujannya mencukupi kebutuhan air tanaman
tersebut. Pada bulan November merupakan masa tanaman awal tanaman mentimun.
Sedangkan tanaman crucifers masa awal tanamnya terjadi pada bulan Januari.

94
DAFTAR PUSTAKA

Agatemor, U.M.M., O.F.C. Nwodo, and C.A. Anosik. 2018. Phytochemical and
proximate composition of cucumber (Cucumis sativus) fruit from Nsukka,
Nigeria. Journal Biotechno 17(38): 1215-1219.
Bassem, S.A.N. and S.A.N Sammy. 2018. Cognitive System for Helping Farmers in
Diagnosing Watermelon Diseases. Journal Agriculture. 2(7): 1-7.
Kalie, M.B. 2008. Bertanam semangka. Penebar swadaya press, Jakarta.
Kurniawati, H.Y., A. Karyanto, dan Rugayah. 2015. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik Cair dan Dosis Pupuk NPK (15:15:15) Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.). Jurnal Agrotek Tropika 3(1):
30–35.
Purwono dan R. Hartono. 2005. Kacang hijau. Penebar swadaya press, Bogor.

95
96
LAPORAN SEMENTARA
PRAKTIKUM KLIMATOLOGI PERTANIAN
ACARA VI
APLIKASI PREDIKSI VARIABILITAS IKLIM

Disusun oleh :

1. Alin Febi Cahyani (462337)

2. Cinta Ayu Putri Awanda (456590)

3. Khoirul Insan (456592)

4. Khoirunisa (455538)

5. Latri Putri Paramandita (462355)

6. Maulana Edith Indrastata (462360)


Kelompok/Golongan : 4 / A5
Asisten Koreksi : Daffa Ramzy Syah Allaam

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2021

97
ACARA VI
APLIKASI PREDIKSI VARIABILITAS IKLIM

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Iklim merupakan rata-rata pada keadaan atmosfer di waktu tertentu dan
terdapat variabilitas kualitas yang relevan dari variabel seperti suhu, curah
hujan,dan angin. Pada variabilitas iklim memuat variasi rata-rata iklim pada periode
tertentu. Variabilitas iklim dapat diamati perubahan yang terjadi dalam kurun waktu
yang relatif pendek dan dapat mempengaruhi perubahan iklim. Variabilitas iklim
merupakan suatu gejala yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim. Variabilitas
iklim menyebabkan fluktuasi curah hujan tidak dapat diprediksi dan cenderung
tidak menentu, pada hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang negatif seperti
terjadinya kekeringan dan banjir. Terjadinya variabilitas iklim sangat
mempengaruhi keadaan pertanian. Dalam sektor pertanian kejadian tersebut dapat
mempengaruhi pola dan waktu tanam. Kekeringan dan banjir juga dapat
menyebabkan kerusakan lahan pertanian dan berakibat gagal panen. Gagal panen
dapat mempengaruhi pada kondisi perekonomian rumah tangga petani , terutama
petani yang hanya mengandalkan sumber nafkahnya dari hasil pertanian. Selain itu,
ketersediaan dan ketahanan pangan di Indonesia menjadi terganggu karena
produksi pertanian berkurang. Perubahan periode musim hujan dapat menjadi
ancaman bagi tanaman produksi pertanian yang berujung berkurangnya
ketersediaan pangan. Variabilitas iklim di Indonesia biasanya dipengaruhi oleh
ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole).
Dalam produksi pertanian curah hujan juga merupakan salah satu unsur
iklim yang paling berperan penting. Informasi mengenai prediksi hujan diperlukan
untuk memberikan informasi lebih dahulu dalam perencanaan tanaman yang akan
datang dengan melihat kondisi iklim yang tidak menentu di masa mendatang.
Informasi terkait prediksi variabilitas iklim dapat diketahui melalui beberapa model
aplikasi prediksi seperti UKMO, NOAA, BOM ,dan ECMWF. Aplikasi prediksi
cuaca sendiri dapat diketahui dalam SADEWA. Dengan melakukan kegiatan

98
prediksi terhadap variabilitas iklim diharapkan dapat memperhitungkan dampak
variabilitas iklim dan juga waktu dan pola tanam.

B. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah
1. Mengetahui aplikasi variabilitas iklim dan tingkat keakuratan prediksi beberapa
aplikasi prediksi variabilitas iklim.
2. Mengetahui kegunaan prediksi variabilitas iklim.

99
II. TINJAUAN PUSTAKA

Iklim merupakan rata-rata suatu keadaan cuaca dalam waktu yang cukup
lama. Iklim merupakan suatu fenomena alam yang digerakkan oleh gabungan
beberapa unsur, yaitu radiasi matahari, temperatur, kelembaban, awan, hujan,
evaporasi, tekanan udara, dan angin (Miftahuddin, 2016). Perubahan iklim
sebagai perubahan rata-rata dan atau variabilitas faktor-faktor yang berkaitan
dengan iklim dan berlaku untuk satu periode yang panjang, perubahan iklim
juga akan mengubah pola pada bidang pertanian, oleh karena itu perlu adanya
prediksi iklim guna menghasilkan hasil panen, laju pertumbuhan, fotosintesis,
laju transpirasi yang maksimal, serta mendapatkan informasi mengnai
ketersediaan kelembaban tanah (Chisanga et al., 2017 cit Beroho et al., 2020).
Variabilitas iklim yang terjadi di indonesia ditandai dengan peningkatan
fluktuasi, frekuensi, dan intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir
akibat fenomena iklim global seperti El Nino Southern Oscilation (ENSO) dan
Indian Ocean Dipole Mode (IOD) yang mempengaruhi variabilitas hujan di
Indonesia sehingga variabilitas curah hujan musiman dan antar musiman tidak
selalu sama di setiap tahun. ENSO merupakan fenomena iklim global yang
dicirikan dengan naiknya suhu permukaan laut diatas normal di wilayah bagian
timur lautan Pasifik (yang dikenal dengan istilah El Nino), ENSO telah
digambarkan sebagai salah satu penentu terpenting dari tahun ke tahun
variabilitas iklim dan dampak yang kuat di seluruh dunia (O’Brian & Vogel,
2003) sedangkan La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya (Trenberth et al.,
2002 cit Narulita, 2017).
Salah satu variabel iklim yang sering diprediksi adalah curah hujan.
Prediksi Curah Hujan merupakan suatu proses untuk memprediksi probabilitas
curah hujan di suatu wilayah tertentu dan melakukan peramalan curah hujan di
masa depan bersama dengan perkiraan jumlah curah hujan di wilayah tertentu.
Prediksi curah hujan memperhitungkan akurasi prediksi, kesalahan dalam
prediksi dan volume curah hujan estimasi bersama dengan kemungkinan curah
hujan di spesifik itu wilayah. Prediksi curah hujan disiapkan dengan cara
mengumpulkan, menganalisis, memverifikasi, memodelkan, mensimulasikan
dan melakukan penelitian pada berbagai data meteorologi dan parameter yang

100
tersedia. Beberapa parameter dasar meliputi Rata-rata Suhu Bulanan Rata-rata
(Minimum dan Maksimum), Total curah hujan tahunan dalam mm dan
Kelembaban Relatif (Zhang et al., 2020).
Fenomena ENSO dan IOD dapat dianalisis dengan melalukan
pengamatan terhadap beberapa model iklim. Model-model iklim tersebut
meliputi CanSIPS, NASA, JMA, UKMO, ECMWF, METEO, NOAA, dan BOM
, ada juga metode prediksi iklim musiman yang didasarkan pada kombinasi
model dinamis dan statistik (Warner, 2011). Curah hujan dan kondisi iklim
harian hingga bulanan di Indonesia saat ini sudah dapat dipantau memalui
aplikasi baru sebagai hasil pengembangan dan pemanfaatan teknologi
penerbangan dan antariksa. Aplikasi tersebut meliputi Sadewa (Satellite-based
Disaster Early Warning System) dan Santanu (Sistem Pemantauan Hujan).

101
II. METODOLOGI

Pada Praktikum Klimatologi Pertanian Acara VI yang berjudul “Aplikasi


Prediksi Variabilitas Iklim” dilaksanakan pada hari Jum’at, 1 September 2021 secara
daring. Alat yang digunakan adalah penggaris, website http://www.bom.gov.au/ dan
website https://sadewa.sains.lapan.go.id/. Alat dan bahan ini digunakan untuk
menghitung dan menentukan variabilitas iklim.
Pada praktikum Aplikasi Variabilitas Iklim langkah kerja dalam praktikum ini
dibagi ke dalam dua tahapan, tahapan yang pertama adalah dengan menggunakan
website BOM dan yang kedua adalah dengan menggunakan website SADEWA yang
kemudian dilakukan pengamatan langsung. Pada website BOM dilakukan analisis nilai
prediksi dan observasi dari ENSO dan IOD, pertama website BOM dibuka dengan link
http://www.bom.gov.au/ , kemudian pada website dicari seasonal outlooks. Setelah itu
data observasi dapat ditemukan pada NINO index graph, data observasi ENSO dapat
dilihat pada opsi NINO 3.4 SST Index, IOD pada opsi IOD Index Time Series, lalu
pada bagian kanan dipilih data sorted by date, lalu dicari data yang dibutuhkan dan
dirata-rata, kemudian data yang telah didapat dimasukkan ke dalam borlist excel yang
telah disediakan. Data prediksi dari ENSO dan IOD dapat ditemukan dalam website
BOM, dengan diklik pada bagian seasonal outlooks, kemudian model summary di klik,
kemudian data ENSO dapat ditemukan dibagian Pasific Ocean, IOD di bagian Indian
Ocean, kemudian data yang ingin digunakan diukur dengan bantuan penggaris. Lalu
data yang didapat dimasukkan ke dalam excel. Tahapan kedua menggunakan website
SADEWA yang digunakan untuk mencari nilai prediksi hujan dan liputan awan dengan
link https://sadewa.sains.lapan.go.id/. Daerah yang ingin digunakan dalam pengamatan
observasi dipilih terlebih dahulu, kemudian pilih prediksi, selanjutnya pilih prediksi
hujan dan liputan awan dengan cara di klik satu-satu, kemudian data prediksi hujan dan
liputan awan diamati pada jam 07.00. 08.00, 09.00, 10.00, 11.00, 12.00, 13.00, 14.00,
15.00, 16.00, 17.00, dan 18.00. Kemudian data yang diperoleh dimasukkan ke dalam
lembar excel yang telah disediakan

102
III. HASIL PENGAMATAN

Tabel 3.1 Hasil perhitungan nilai prediksi dan observasi ENSO


JMA NASA UKMO
To Nilai Nilai Nilai Nilai
Current predict Observasi Prediksi MAE RMSE Prediksi MAE RMSE Prediksi MAE RMSE

Jan-19 Feb 0,51 0,70 0,19 0,04 0,4 0,11 0,01 0,90 0,39 0,15

Apr 0,71 0,90 0,19 0,03 1,1 0,39 0,15 0,45 0,26 0,07

Jun 0,66 1,00 0,34 0,12 0,5 0,16 0,03 0,50 0,16 0,03

Jul-19 Ags 0,17 0,15 0,02 0,00 0,3 0,13 0,02 0,20 0,03 0,00

Okt 0,58 -0,10 0,68 0,47 -0,4 0,98 0,97 0,30 0,28 0,08

Des 0,41 0,40 0,01 0,00 0,1 0,31 0,09 0,50 0,10 0,01

Jan-20 Feb 0,28 0,30 0,02 0,00 -0,1 0,38 0,14 0,50 0,22 0,05

Apr 0,55 0,50 0,05 0,00 -0,1 0,65 0,42 0,35 0,20 0,04

Jun -0,13 0,45 0,58 0,33 -0,5 0,38 0,14 0,35 0,48 0,23

Jul-20 Ags -0,45 -0,50 0,06 0,00 -1,3 0,86 0,73 -0,60 0,16 0,02

Okt -0,91 -1,05 0,14 0,02 -1,7 0,79 0,62 -1,00 0,09 0,01

Des -0,81 -1,50 0,69 0,48 -3,3 2,49 6,20 -1,00 0,19 0,04

Jan-21 Feb -0,68 -1,20 0,52 0,27 -2,4 1,72 2,97 -0,81 0,13 0,02

Apr -0,27 -0,45 0,18 0,03 0 0,27 0,07 -0,80 0,53 0,28

Jun 0,20 -0,15 0,35 0,12 0 0,20 0,04 -0,50 0,70 0,49

Rata-rata 0,06 -0,04 0,27 0,13 -0,49 0,65 0,92 -0,04 0,26 0,32

103
Tabel 3.2 Hasil perhitungan nilai prediksi dan observasi IOD
ECMWF METEO
To Nilai Nilai Nilai
Current predict Observasi Prediksi MAE RMSE Prediksi MAE RMSE

Jan-19 Feb 0,51 -0,18 0,69 0,47 0,02 0,49 0,24

Apr 0,71 -0,02 0,73 0,54 0,03 0,68 0,47

Jun 0,66 0,36 0,30 0,09 0,80 0,14 0,02

Jul-19 Ags 0,17 0,85 0,68 0,46 1,20 1,03 1,05

Okt 0,58 1,2 0,62 0,38 1,20 0,62 0,38

Des 0,41 1 0,60 0,35 1,20 0,80 0,63

Jan-20 Feb 0,28 0,6 0,32 0,10 0,36 0,08 0,01

Apr 0,55 0,01 0,54 0,29 0,02 0,53 0,28

Jun -0,13 0,02 0,15 0,02 0,38 0,51 0,26

Jul-20 Ags -0,45 -0,28 0,17 0,03 -0,38 0,07 0,00

Okt -0,91 -0,62 0,29 0,09 -1,80 0,89 0,79

Des -0,81 -0,2 0,61 0,37 -0,38 0,43 0,18

Jan-21 Feb -0,68 0,2 0,88 0,77 0,35 1,03 1,06

Apr -0,27 0,1 0,37 0,14 0,15 0,42 0,18

Jun 0,20 -0,18 0,38 0,14 0,35 0,15 0,02

Rata-rata 0,06 0,19 0,49 0,53 0,23 0,52 0,61

104
Tabel 3.3 Hasil pengamatan hujan dan liputan awan dari SADEWA

Hujan Liputan Awan

Hari Jam Prediksi Observasi MAE RMSE Prediksi Observasi MAE RMSE

2 7 0 0 0 0 0 1 1 1
Oktober
2021 8 0 0 0 0 1 1 0 0

9 0 0 0 0 1 1 0 0

10 0 0 0 0 1 1 0 0

11 0 0 0 0 1 1 0 0

12 0 0 0 0 1 0 1 1

13 0 0 0 0 1 1 0 0

14 0 0 0 0 1 1 0 0

15 0 0 0 0 1 1 0 0

16 0 0 0 0 1 1 0 0

17 0 0 0 0 1 1 0 0

18 0 0 0 0 1 1 0 0

Rata-rata 0 0 0 0 0,92 0,92 0,17 0,41

105
IV. PEMBAHASAN

Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu yang relatif lama dan meliputi
wilayah luas. Iklim juga merupakan peluang statistik berbagai keadaan atmosfer,
antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban, yang terjadi di suatu daerah selama kurun
waktu yang panjang (Kusumawardhani et al., 2015). Iklim beserta unsurnya adalah hal
penting untuk diperhatikan, dipelajari, diantisipasi efeknya. Peranan iklim sangat
menentukan bagi semua sektor, terutama sektor pertanian (Nugroho, 2021). Untuk
kebutuhan perencanaan pertanian kedepan dibutuhkan prediksi iklim di masa yang akan
datang, karena pengaruhnya sering menimbulkan masalah bagi manusia serta makhluk
hidup lainnya (Miftahuddin, 2016). Prediksi iklim merupakan pernyataan probabilistik
tentang kondisi iklim ke depan baik pada skala waktu (bulan hingga tahun) dan skala
spasial (lokal, regional dan global) yang didasarkan pada kondisi iklim saat ini dan
analisis ilmiah tentang proses fisis dan dinamis yang berperan pada sistem iklim di masa
depan. Prediksi iklim umumnya digunakan untuk pengambilan keputusan jangka
panjang, perencanaan, peringatan dini potensi bahaya dan adaptasi variabilitas iklim dan
perubahan iklim. Serta fakta di lapangan petani sangat membutuhkan informasi prediksi
iklim, prediksi awal waktu tanam, dan kalender tanam menjelang musim tanam
berlangsung. Informasi ini sangat mendasari petani dan pemangku kepentingan di
daerah untuk memulai budidaya padi di lahan sawah.
Selain itu terdapat variabilitas iklim yang menunjukkan adanya siklus cuaca dan
curah hujan yang mengalami pergeseran dan ketidakpastian, kadang turun hujan sangat
deras ketika musim hujan dan kekeringan ekstrim saat musim kemarau. Kondisi ini
menyebabkan sejumlah risiko terhadap berbagai aktivitas, yaitu proses produksi
pertanian menurun dan produktivitas lahan semakin tidak terprediksi sehingga resiko
guncangan tidak menentu pada sistem penghidupan yang berdampak pada vulnerabilitas
rumah tangga, yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana resiliensi petani dalam
menghadapinya. (Putri et al., 2016). Variabilitas dan perubahan iklim sebagai akibat
pemanasan global (Global Warming). Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan
frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta
peningkatan suhu dan permukaan air laut (Kusumawardhani et al., 2015).
Dalam memprediksi variabilitas iklim terdapat beberapa aplikasi yang dapat
membantu untuk memprediksi variabilitas iklim tersebut. Aplikasi-aplikasi tersebut

106
ialah Cansips, NASA, JMA, UKMO, ECMWF, METEO, NOAA, dan BOM. CanSIPS
(Meteorological Service of Canada) merupakan aplikasi prediksi iklim yang
dikembangkan badan meteorologi Canada pada tahun 2011. Cansips dapat digunakan
untuk memprediksi besarnya nilai ENSO dan IOD. NASA atau National Aeronautics
and Space Administration yang merupakan badan independen Pemerintah Federal AS
yang bertanggung jawab atas program luar angkasa sipil, serta penelitian aeronautika
dan luar angkasa. NASA memiliki website resmi yang menyediakan beragam informasi
terkait kondisi bumi, iklim, radiasi matahari, dan sistem tata surya. Selain itu, NASA
juga memiliki website yang menyediakan data meteorologi dan parameter iklim yang
bernama POWER Data Access Viewer.
JMA atau Japan Meteorological Agency adalah sebuah badan pemerintah
Jepang yang bertanggung jawab mengumpulkan dan melaporkan data dan prakiraan
cuaca, merekam dan prakiraan gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami. Badan ini
memiliki lima stasiun utama dan sebuah stasiun di Okinawa dan markas besarnya di
Tokyo. Dia didukung oleh empat stasiun pengumpul informasi laut dan paling tidak satu
stasiun prefektural di setiap prefektur. UKMO (United Kingdom Met Office) merupakan
layanan cuaca milik Inggris. UKMO (United Kingdom Met Office) mengembangkan
suatu model prediksi iklim yang disebut sebagai GloSea5. Glosea5 mampu memberikan
gambaran prediksi cuaca yang akurat. ECMWF atau European Center for
Medium-Range Weather Forecasts adalah organisasi antar pemerintah independen yang
didukung oleh sebagian besar negara Eropa dan berbasis di Shinfield Park, Reading,
Inggris, dan Bologna, Italia, dan Bonn, Jerman.
ECMWF memiliki fokus pada kajian meteorologi serta mendukung
implementasi program-program dari WMO (World Meteorological Organiztion).
ECWMF memiliki website yang berisi informasi terkait prakiraan cuaca global, analisis
kualitas udara, pantauan atmosfer, monitoring iklim, analisis sirkulasi lautan, prediksi
hidrologi, serta prediksi resiko kebakaran. METEO adalah lembaga meteorologi dan
klimatologi nasional milik pemerintah Perancis yang dibentuk pada tahun 1993, dan
dikelola oleh Ministry of Ecological Transition. METEO memiliki sebuah website yang
berisi informasi seputar prakiraan cuaca, fenomena cuaca, El-Nino, La Nina, efek
rumah kaca, proyeksi iklim, dampak perubahan iklim terhadap fenomena
hidrometeorologi, serta ramalan musim (seasonal forecast).

107
NOAA atau National Oceanic and Atmospheric Administration adalah sebuah
badan ilmiah di Departemen Perdagangan Amerika Serikat yang berfokus pada kondisi
samudera dan atmosfer. NOAA memperingatkan cuaca berbahaya, memetakan laut dan
langit, memandu penggunaan dan perlindungan sumber daya lautan dan pantai, dan
meneliti untuk meningkatkan pemahaman dan pengelolaan lingkungan. NOAA
memiliki website yang menyediakan informasi terkait ramalan cuaca harian, peringatan
terjadinya badai, monitoring iklim, manajemen perikanan, restorasi pantai, dan
pemasaran hasil laut. BOM atau Bureau of Meteorology merupakan sebuah lembaga
eksekutif dalam Pemerintah Australia yang bertugas memberikan layanan cuaca pada
Australia dan sekitarnya. Didirikan tahun 1906 di bawah Meteorology Act, dan
menggabungkan semua layanan cuaca negara bagian yang berdiri sebelumnya. BOM
memiliki sebuah website yang menyediakan layanan informasi seperti Agriculture,
Climate and Past Weather, Water Information, Aviation Weather Service, Marine and
Ocean, UV and Sun Protection, serta Environmental Information.
Dalam melakukan suatu prediksi iklim, biasanya terjadi kesalahan nilai atau
prediksinya kurang tepat. Setiap prediksi yang diperoleh melalui model aplikasi
variabilitas iklim mempunyai tingkat kesalahan tertentu. Oleh karena itu, untuk
mengetahui metode prediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dibutuhkan proses
menghitung tingkat kesalahan dalam suatu prediksi. Semakin kecil tingkat kesalahan
yang dihasilkan, maka semakin baik prediksi tersebut (Sinaga dan Irawati, 2018). Untuk
mengukur kesalahan nilai dapat diketahui dengan menggunakan perbandingan metode
dari nilai MAE (Mean Absolute Error) dan RMSE (Root Mean Squared Error).
MAE menyatakan rata - rata kesalahan (error) absolut antara hasil prediksi
dengan nilai sebenarnya tanpa menghiraukan tanda positif atau negatif (Sinaga dan
Irawati, 2018). MAE dapat dihitung dengan rata-rata selisih antara nilai prediksi dan
nilai yang sebenarnya atau nilai observasi. RMSE merupakan parameter yang
digunakan untuk mengevaluasi nilai hasil dari pengukuran terhadap nilai sebenarnya
atau nilai dianggap benar (Febrianti et al., 2016). RMSE dapat dihitung dengan cara
mengkuadratkan error (predicted – observed) dibagi dengan jumlah data (rata-rata) dan
diakarkan (Sinaga dan Irawati, 2018).
Perbedaan antara MAE dan RMSE terletak pada cara menghitung ketepatan
prediksi iklim atau cuaca. MAE (Mean Absolute Error) menggunakan nilai absolut

108
(abs) kesalahan untuk pembacaan data agar mudah diolah, sementara RMSE (Root
Mean Square Error) menggunakan akar dari kuadrat nilai kesalahan tersebut (Sinaga
dan Irawati, 2018). MAE disebut sebagai fungsi biaya yang harus diminimalkan karena
kurang sensitif terhadap parameter yang diuji. RMSE lebih cocok digunakan untuk data
yang berdistribusi normal.Oleh karena itu, penggunaan RMSE lebih dianjurkan karena
dapat meningkatkan kinerja parameter model yang diuji (Chai dan Draxler, 2014). Jika
dianalogikan secara statistika, MAE merupakan varians dan RMSE merupakan standar
deviasi (Sinaga dan Irawati, 2018).

MAE dapat dihitung dengan rumus MAE = │nilai observasi-nilai prediksi│

MAE = (Chai dan Draxler, 2014).

MAE = (Sinaga dan Irawati, 2018).

Sementara itu, RMSE dapat dihitung dengan rumus:

RMSE = (Chai dan Draxler, 2014).

RMSE = (Sinaga dan Irawati, 2018).

Rumus Excel dari MAE dan RMSE adalah sebagai berikut.

𝑀𝐴𝐸 = 𝐴𝐵𝑆 (𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑒𝑑𝑖𝑘𝑠𝑖 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖)

𝑅𝑀𝑆𝐸 =

MAE (Mean Absolute Error) menunjukkan seberapa jauh penyimpangan


prediksi dari nilai sesungguhnya. Semakin kecil nilai MAE, maka semakin kecil pula
penyimpangan prediksi dari nilai sesungguhnya. RMSE (Root Mean Square Error)
paling sering digunakan untuk membandingkan keakuratan antara dua atau lebih model
dalam analisis spasial. Semakin kecil nilai RMSE suatu model menandakan bahwa
semakin akurat model tersebut (Rusmayadi, 2019).
Perbandingan berbagai model aplikasi prediksi variabilitas iklim dapat dilihat
dari nilai rata-rata MAE dan RMSE. Pada praktikum ini untuk prediksi nilai ENSO

109
menggunakan hasil pengamatan dari model aplikasi JMA, NASA, dan UKMO serta
untuk prediksi nilai IOD menggunakan hasil pengamatan dari model aplikasi ECMWF
dan METEO. Berdasarkan tabel hasil perhitungan nilai prediksi dan observasi ENSO
dari bulan Januari 2019 sampai bulan Januari 2021 pada model aplikasi JMA
didapatkan rata-rata nilai MAE sebesar 0,27 dan rata-rata nilai RMSE sebesar 0,13.
Selanjutnya hasil perhitungan ENSO NASA mempunyai rata-rata nilai prediksi sebesar
0,49 kemudian untuk rata-rata nilai dari MAE sebesar 0,65 dan rata-rata RMSE sebesar
0,92. Serta untuk hasil perhitungan UKMO baik MAE dan RMSE mempunyai
masing-masing nilai sebesar 0,26 dan 0,32. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa prediksi nilai ENSO paling akurat diperoleh dari aplikasi JMA karena rerata nilai
MAE dan RMSE-nya lebih kecil dibandingkan dengan rerata nilai MAE dan RMSE
pada aplikasi NASA dan UKMO. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari
Samsuryadi et al. (2020) bahwa semakin kecil nilai MAE dan RMSE yang diperoleh
dari suatu metode ekstraksi ciri berarti menunjukan metode ekstraksi ciri tersebut
semakin akurat atau optimal.
Pada prediksi IOD juga dilakukan dari bulan Januari 2019 hingga Januari 2021
dengan membandingkan nilai rata-rata MAE dan RMSE pada model aplikasi ECMWF
dan METEO. Berdasarkan tabel hasil perhitungan nilai prediksi dan observasi IOD pada
model ECMWF dari bulan Januari 2019 hingga Januari 2021 diperoleh rata-rata MAE
dan RMSE secara berurutan 0,49 dan 0,53. Selanjutnya pada model METEO diperoleh
rata-rata MAE dan RMSE yang masing-masing bernilai 0,52 dan 0,61. Dari hasil
tersebut dapat diketahui nilai rata-rata MAE dan RMSE model ECMWF lebih kecil
daripada rata-rata MAE dan RMSE model METEO sehingga memiliki keakuratan
tinggi. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Adelianingsih et al., (2019),
mengenai tingkat keakuratan data antara data observasi dengan data prediksi suatu
aplikasi iklim dilakukan dengan koreksi Root Mean Squared Error (RMSE) dan Mean
Absolute Error (MAE). Selisih nilai RMSE dan MAE yang semakin kecil menunjukkan
nilai data iklim setelah dikoreksi menjadi semakin akurat.
Menurut Haryanto (2020) SADEWA (Satellite-Based Disaster Early Warning
System) adalah salah satu Decision Support System (DSS) yang ada di PSTA. Selain
DDS, SADEWA dapat dikatakan sebagai sistem informasi peringatan dini terkait
bencana atau kondisi atmosfer ekstrem yang didukung data satelit penginderaan jauh

110
dan data model dinamika atmosfer. SADEWA memiliki fitur untuk observasi atmosfer
dan prediksi cuaca. Parameter dalam observasi atmosfer di SADEWA meliputi suhu
puncak awan, uap air, visible, near infrared, awan tumbuh, pusat wilayah konservasi,
indeks monsoon, pengamatan stasiun pemantauan cuaca otomatis, sistem pemantauan,
indeks Indian Ocean Dipole (IOD), indeks Madden-Julian Oscillation (MJO), Oceanic
Nino Index (ONI), dan Southern Oscillation Index (SOI). Prediksi cuaca SADEWA
sendiri terdiri dari prediksi hujan harian hingga hujan lebat di atas 10 mm/jam, liputan
awan, tekanan pertubasi, uap air kolom total, suhu permukaan, kecepatan, dan arah
angin (Haryanto, 2020).
Pada pengamatan kali ini, hanya dilakukan observasi prediksi hujan dan liputan
awan di daerah Yogyakarta. Berdasarkan tabel hasil pengamatan prediksi hujan dan
liputan awan pada observasi SADEWA. Dapat diketahui bahwa nilai MAE dan RMSE
prediksi hujan masing-masing sebesar 0 dan 0. Sedangkan pada pengamatan liputan
awan masing-masing memiliki nilai MAE dan RMSE sebesar 0,17 dan 0,41. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk prediksi hujan pada pengamatan SADEWA
sangat akurat dan pada liputan awan masih kurang akurat. Didukung oleh pernyataan
bahwa semakin kecil nilai MAE dan RMSE yang diperoleh dari suatu metode ekstraksi
ciri berarti menunjukan metode ekstraksi ciri tersebut semakin akurat (optimal)
(Samsuryadi et al., 2020).
SADEWA memang telah banyak dan sedang melakukan pengembangan.
Menurut Haryanto (2020), SADEWA sudah melakukan pengemabangan dengan
menaikkan resolusi data satelit yang digunakan menjadi resolusi menjadi 5 km dan
memiliki target dengan resolusi 3 km. Namun, kedepannya pengembangan SADEWA
tidak hanya menggunakan data satelit saja. Pengembangan SADEWA akan
menambahkan data sensor seperti data radar dan data balon atmosfer. Selain itu, peneliti
PSTA juga terus berusaha melakukan penelitian untuk menemukan pemodelan atmosfer
yang paling sesuai dengan kondisi wilayah-wilayah di Indonesia (Haryanto, 2020).
Dalam pengetahuan tentang prediksi iklim & cuaca sangat krusial dan
bermanfaat pada bidang pertanian. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman petani
terhadap prediksi iklim akan meminimalisir pengaruh negatif dampak perubahan iklim
yang terjadi. Hal tadi misalnya mempersiapkan kemungkinan terjadinya isu terkini
kering atau lonjakan hama menurut prediksi yg sudah diketahui melalui aneka macam

111
sumber. Misalnya jika terjadi musim kemarau di suatu wilayah dan diprediksikan
demikian oleh Badan Meteorologi Nasional atau dinas pertanian maka nantinya petani
akan dianjurkan untuk mempersiapkan keperluannya seperti menyimpan air dan petani
akan memiliki daya untuk mempersiapkannya (Vogel et al., 2017). Kemudian Langkah
yang bisa dilakukan agar pemahaman petani bisa ditingkatkan yaitu dengan melibatkan
petani atau masyarakat dalam mengimplementasikan syarat iklim sehingga dapat
memberikan pemahaman terhadap sistem iklim serta dapat memprediksi variabilitas
iklim tersebut.

112
V. KESIMPULAN

Dalam praktikum acara VI yang berjudul “Aplikasi Prediksi Variabilitas Iklim” ini
dapat diambil kesimpulan yaitu:
1. Aplikasi yang dapat digunakan untuk memprediksi variabilitas iklim yaitu
Cansips, NASA, JMA, UKMO, ECMWF, METEO, NOAA, serta BOM. JMA
merupakan aplikasi yang paling akurat dalam memprediksi nilai ENSO.
Sedangkan ECMWF merupakan aplikasi paling akurat untuk memprediksi nilai
IOD.
2. Kegunaan prediksi variabilitas iklim dalam bidang pertanian yaitu dengan
mengetahui prediksi variabilitas iklim petani akan dapat meminimalisir
pengaruh negatif dampak perubahan iklim yang terjadi.

113
DAFTAR PUSTAKA

Adelianingsih, D., R. Hidayati, dan Y. Sugiarto. 2019. Potensi serangan hama wereng
hijau (Empoasca sp.) pada perkebunan teh berdasarkan skenario perubahan
iklim. Agromet 33(2): 84–95.
Beroho, M., H. Briak., R. E. Halimi., A. Ouallai., I. Boulahfa., R. Mrabet., F. Kebede,
and K. Aboumaria. 2020. Analysis and prediction of climate forecasts in
Northern Morocco: application of multilevel linear mixed effects models using
R software. Heliyon 6 : 1-10.
Chai, T., and R. R. Draxler. 2014. Root mean square error (RMSE) or mean absolute
error (MAE)? arguments against avoiding RMSE in the literature. Geoscientific
Model Development 7: 1247-1250.
Febrianti, F., M. Haflyusholeh, dan A. H. Asyhar. 2016. Perbandingan pengklusteran
data iris menggunakan metode K-Means dan Fuzzy C-Mean. Jurnal Matematika
“Mantik” 2(1): 7-13.
Haryanto, D. 2020. Berbincang dengan treak: Tim tanggap bencana berbasis analisis
SADEWA analisis cuaca guna tanggap bencana. Buletin LAPAN 7(1) : 12.
Kusumawardhani, I. D., dan Gernowo, R. 2015. Analisis perubahan iklim berbagai
variabilitas curah hujan dan emisi gas metana (ch4) dengan metode grid analysis
and display system (grads) di Kabupaten Semarang. Youngster Physics Journal
4(1): 49-54.
Miftahuddin, M. 2016. Analisis Unsur-unsur cuaca dan iklim melalui uji mann-kendall
multivariat. Jurnal Matematika, Statistika dan Komputasi 13(1): 26-38.
Narulita, I. 2017. Pengaruh ENSO dan IOD pada variabilitas curah hujan di DAS
Cerucuk, Pulau Belitung. Jurnal Tanah dan Iklim 41(1) : 45-60.
Nugroho, B. D. A. 2021. Penerapan Klimatologi dalam Pertanian 4.0. Penerbit
Deepublish, Yogyakarta.
O’Bryan, K, and C. Vogel. 2003. Coping with Climate Variability. Ashgate Publishing.
New York
Putri, E. I. K., dan N. K. Pandjaitan. 2016. Dampak variabilitas iklim dan mekanisme
adaptif masyarakat petani di kawasan beriklim kering (kasus Desa Boronubaen

114
dan Desa Taunbaen Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara
Timur). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 4(2): 153-157
Rusmayadi, G. 2019. Mikroklimatologi di Era Perubahan Iklim Global. CV IRDH,
Malang.
Samsuryadi, S., M. I. Jambak, D. Rodiah, dan M. A. Buchari. 2020. Kajian nilai MAE
berdasarkan hasil ekstraksi ciri invarian momen. In Annual Research Seminar
(ARS) 5(1) : 231-236.
Sinaga, H. D. E., dan N. Irawati. 2018. Perbandingan double moving average dengan
double exponential smoothing pada peramalan bahan medis habis pakai. Jurnal
Teknologi dan Sistem Informasi 4(2): 197-204.
Vogel, J., D. Letson, and C. Herrick. 2017. A framework for climate services evaluation
and its application to the carribean agrometeorological initiative. Climate
Services 6: 65-76.
Zhang, X., S.N. Mohanty., A. K. Parida., S. K. Pani., B. Dong, and X. Cheng. 2020.
Annual and Non-Monsoon Rainfall Prediction Modelling Using SVR-MLP: An
Empirical Study From Odisha. IEEE Access 8 : 30223-30233.

115
116

Anda mungkin juga menyukai