Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM PEMBIAYAAN
DOSEN IBU IKE KUSMIATI, SH., M.HUM

PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN OPSI MEMBELI KEMBALI


SEBAGAI ALTERNATIF LEMBAGA PEMBIAYAAN

ARIA DIPURA NATA ATMADJA


HUKUM EKONOMI C
NPM : 218040013

MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN, BANDUNG
2021

Halaman 1 dari 11
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kebutuhan dana bagi seseorang memang merupakan pemandangan sehari-hari, baik dalam
rangka memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, apalagi dalam hal berusaha di berbagai
bidang bisnis1. Kebutuhan dana seringkali tidak bisa ditunda ketika dihadapkan kepada urusan-
urusan mendesak yang membutuhkan pemenuhan pada saat itu juga. Untuk mencari
pemenuhan “dana darurat” tersebut, seringkali kita melirik berbagai lembaga pembiayaan yang
menyediakan dana segar secara cepat, baik yang lembaga pembiayaan konvensional yang telah
mapan ataupun lembaga pembiayaan alternatif. Salah satu lembaga pembiayaan alternatif
tersebut adalah pembiayaan dengan cara Jual Beli dengan Opsi Membeli Kembali.

Jual Beli dengan Opsi Membeli Kembali merupakan skema pembiayaan dimana calon “debitur”
mengikatkan diri kepada “kreditur” dengan menandatangani suatu perjanjian jual beli dimana
“debitur” menjual aset yang dimilikinya, baik berupa benda tetap maupun bergerak, kepada
“kreditur” sehingga “debitur” mendapatkan dana darurat yang dibutuhkannya. Namun
demikian Perjanjian Jual Beli tersebut menentukan bahwa “debitur” wajib untuk
“mengembalikan” dana yang telah diterimanya tersebut kepada “kreditur” disertai bunga dan
biaya-biaya lain sesuai dengan jadwal disepakati agar “debitur” dapat membeli kembali asetnya
dari tangan “kreditur”. Dalam hal “debitur” lalai untuk memenuhi jadwal pembayaran tersebut,
maka “debitur” kehilangan haknya untuk membeli kembali asetnya sehingga “kreditur” dapat
mengeksekusi aset yang semula milik debitur dengan cara permohonan pengosongan melalui
Pengadilan Negeri.

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Jual Beli di atas, “debitur” dan “kreditur” kemudian
meningkatkan status peralihan hak atas aset yang menjadi obyek perjanjian melalui suatu akta
otentik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila aset tersebut berbentuk benda tetap,
maka peralihannya ditingkatkan melalui suatu akta jual beli di hadapan notaris.

1
Fuady, Munir, Hukum tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti : Cetakan ke-IV, 2014, hal 1.

Halaman 2 dari 11
Pembiayaan dengan skema jual beli dengan opsi membeli kembali pada praktiknya seringkali
ditemui di masyarakat. Hal ini tidak lain karena skema tersebut menawarkan beberapa
kelebihan, antara lain:

1. Perjanjian bersumber dari kesepakatan yang setara. Hal ini berbeda dengan lembaga
pembiayaan lainnya dimana lembaga pembiayaan sudah menyiapkan perjanjian baku
(take-it-or-leave-it contract) yang tidak dapat ditawar oleh debiturnya. Di dalam
perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali, para pihak dapat menyepakati
ketentutan-ketentuan yang akan dituangkan dalam perjanjian dengan asas
konsensualisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.

2. Isi dari perjanjian yang sederhana, sehingga dapat mudah dipahami. Hal ini berbeda
apabila kita melihat perjanjian-perjanjian lembaga pembiayaan konvensional yang
memerlukan perhatian lebih dalam memahami klausula-klausulanya.

3. Dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa memerlukan ijin dari instansi tertentu. Hal ini
berbeda dengan lembaga pembiayaan konvensional yang harus mendapatkan
perijinan dari instansi terkait untuk menyelenggarakan kegiatan usahanya seperti
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 47/POJK.05/2020 tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Syariah.

4. Alas hak didasarkan pada perjanjian jual beli yang kemudian ditindaklanjuti melalui
pembuatan akta otentik.

Sekalipun mempunyai sejumlah kelebihan, skema jual beli dengan opsi membeli kembali
sebagai alternatif pembiayaan tidak lepas dari sejumlah permasalahan hukum. Hal ini dapat
terlihat dari adanya berbagai laporan pidana dan juga gugatan perdata di Pengadilan Negeri.

Penulis memandang bahwa adanya permasalahan hukum terhadap praktik perjanjian jual beli
dengan opsi membeli kembali sebagai salah satu alternatif lembaga pembiayaan merupakan
suatu hal yang menarik untuk didalami dalam makalah ini, sehingga Penulis bermaksud untuk
membahas (i) Bagaimana pengadilan negeri memandang praktik perjanjian jual beli dengan opsi
membeli kembali sebagai salah satu alternatif lembaga pembiayaan? Bagaimana tindakan yang

Halaman 3 dari 11
dapat dilakukan oleh “debitur” yang merasa dirugikan oleh lembaga pembiayaan yang
menyediakan skema perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali?

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimana pengadilan negeri memandang praktik perjanjian jual beli dengan opsi
membeli kembali sebagai salah satu alternatif lembaga pembiayaan?

2. Bagaimana tindakan yang dapat dilakukan oleh “debitur” yang merasa dirugikan oleh
lembaga pembiayaan yang menyediakan skema perjanjian jual beli dengan opsi membeli
kembali?

Halaman 4 dari 11
BAB II
KERANGKA TEORETIS

A. PENGATURAN JUAL BELI DENGAN OPSI MEMBELI KEMBALI DALAM HUKUM PERDATA

Pada prinsipnya, skema perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali bukanlah merupakan
sesuatu yang baru dan telah dikenal dalam ketentuan perundang-undangan, khususnya Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUHPerdata”). Dalam hal ini, patutlah
kita memperhatikan ketentuan Pasal 1519 jo. 1520 KUHPerdata sebagai berikut:

“Pasal 1519 KUHPerdata

Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual, timbul karena suatu
perjanjian, yang tetap memberi hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang
yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan
penggantian yang disebut dalam Pasal 1532.”

“Pasal 1520 KUHPerdata

Hak untuk membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk waktu yang lebih lama
dari lima tahun. Jika hak tersebut diperjanjikan untuk waktu yang lebih lama, maka
waktu itu diperpendek sampai menjadi lima tahun.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1519 jo. 1520 KUHPerdata di atas, maka untdang-undang pada
prinsipnya membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memperjanjikan suatu skema
perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali dengan syarat bahwa hak untuk membeli
kembali tidak boleh diperjanjikan untuk waktu yang lebih lama dari 5 (lima) tahun.

Oleh karena ketentuan Pasal 1519 jo. 1520 KUHPerdata telah memperbolehkan adanya atu
skema perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali, maka dengan disepakatinya skema
tersebut para pihak telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata sebagai acuan bagi syarat sahnya perjanjian.

“Pasal 1320 KUH Perdata

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang”

Halaman 5 dari 11
B. KERANGKA PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN OPSI MEMBELI KEMBALI PADA UMUMNYA

Secara umum, Perjanjian Jual Beli dengan Opsi Membeli Kembali mempunyai kerangka yang
kurang lebih sebagai berikut:

“Pasal 1
Ketentuan Umum

1) Para Pihak sepakat bahwa Pihak Pertama bersedia menjual aset yang dimilikinya
kepada Pihak Kedua dengan opsi pembelian kembali dalam jangka waktu 1 tahun;

2) Para Pihak sepakat bahwa aset yang telah dijadikan obyek dalam perjanjian ini
tidak akan dijual kembali atau dibaliknamakan kepada pihak lain oleh Pihak Kedua
tanpa persetujuan dan pengetahuan dari Pihak Pertama. Namun jika Pihak
Pertama melakukan tindakan wanprestasi terhadap kewajiban yang harus
dilaksanakannya, maka Pihak Kedua berhak melakukan perubahan atau menjual
kepada pihak lain tanpa persetujuan Pihak Pertama;

3) Para Pihak sepakat bahwa perjanjian dibuat dan ditandatangani berdasarkan


kesepakatan bersama yang mana Pihak Kedua sebagai pembeli aset berhak
menggunakan sertifikat / aset yang dimaksud dalam perjanjian ini untuk
pengajuan fasilitas kredit yang dimiliki Pihak Kedua di bank ataupun perusahaan
lainnya tanpa persetujuan dari Pihak Pertama;

4) Pihak Pertama akan menerima uang dari Pihak Kedua sebesar Rp. xxxxxxx;

5) Para Pihak sepakat bahwa harga opsi pembelian kembali adalah Rp. xxxxxxx;

6) Obyek aset yang dimaksud adalah tanah dan bangunannya yang berlokasi di Jl.
xxxxxxx sebagaimana tertuang dalam Sertifikat Hak Milik No. xxxxxx.

Pasal 2
Jangka Waktu Kerjasama

1) Perjanjian berlaku dalam jangka waktu 1 tahun dan diperpanjang secara otomatis;

2) Perjanjian dapat diperpanjang dengan persetujuan tertulis dari kedua belah pihak.

Pasal 4
Akibat Wanprestasi

1) Apabila Pihak Pertama tidak dapat melakukan pembayaran kembali yang telah
jatuh tempo kepada Pihak Kedua sebanyak 4 bulan / periode maka Pihak Kedua
berhak untuk melakukan pengosongan aset yang dimaksud dalam Perjanjian ini.
Dan Pihak Pertama setuju untuk melakukan pengosongan aset tersebut dalam
waktu paling lambat 7 hari kalender sejak yanggal jatuh tempo yang diberikan oleh
Pihak Kedua;

Halaman 6 dari 11
2) Atas keterlambatan pembayaran jasa imbalan bulan yang dituang dalam lampiran
1 Perjanjian, maka Pihak Pertama akan dikenakan bunga sebesar 3% disesuaikan
dengan jumlah keterlambatan hari sampai dilakukannya pembayaran kewajiban
oleh Pihak Pertama;

3) Apabila Pihak Pertama tidak dapat melakukan pembayaran kembali selama 6


bulan / periode maka Pihak Kedua akan membatalkan opsi pembelian kembali
tersebut seketika dan status kepemilikan aset yang dimaksud dalam Perjanjian
sepenuhnya menjadi milik Pihak Kedua tanpa adanya tanggung jawab atau
keterkaitan lagi dengan Pihak Pertama. Jika diperlukan, Pihak Kedua akan
memberikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada Pihak Pertama.

Pasal 5
Jaminan

1) Para Pihak sepakat untuk memberikan jaminan pembayaran dimana Pihak


Pertama akan memberikan jaminan cek cash di setiap bulannya sesuai tanggal
jatuh tempo;

2) Pihak Pertama bersedia membuat Surat Pernyataan Sita Jaminan Aset atau Akta
Pengosongan kepada Pihak Kedua;

3) Pihak Kedua akan melakukan eksekusi pengosongan dan tindakan hukum lainnya
berdasarkan akta pengosongan tersebut bilamana Pihak Pertama wanprestasi
dalam melaksanakan kewajibannya.”

Halaman 7 dari 11
BAB III
PEMBAHASAN

A. PANDANGAN PENGADILAN NEGERI TERHADAP PRAKTIK PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN OPSI
MEMBELI KEMBALI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF LEMBAGA PEMBIAYAAN

Pada prinsipnya, apabila mencermati dengan seksama skema jual beli dengan opsi membeli
kembali sebenarnya tak lain merupakan perjanjian hutang piutang dengan “objek yang
diperjualbelikan” sebagai agunannya. Si pembeli atau “kreditur” memberikan uang
pembayaran yang tak lain merupakan pinjaman, dan si penjual atau “debitur” akan menebus
barang yang dijual dengan membeli kembali barang ketika ia sudah memiliki uang. Dari
penjabaran tersebut, skema jual beli dengan hak membeli kembali mirip dengan lembaga gadai
(untuk benda bergerak) atau lembaga hipotek / hak tanggungan (untuk benda tetap).

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”) segala kententuan mengenai pertanahan nasional
sejatinya harus merujuk pada UUPA, sehingga ketentuan mengenai hukum pertanahan dalam
KUHPerdata tidak lagi berlaku. Begitu pula aturan mengenai hak untuk membeli kembali yang
tidak dapat diberlakukan terhadap jual beli tanah. Lebih lanjut, hukum tanah nasional yang
berlaku di Indonesia pasca adanya UUPA ialah hukum adat, di dalam hukum adat sendiri tidak
dikenal jual beli dengan hak membeli kembali. Alasannya, jual beli dengan hak membeli kembali
tidak memenuhi prinsip jual beli tanah dalam hukum adat, yaitu prinsip “terang” dan “tunai”.
Terang artinya perbuatan jual beli dan peralihan hak atas tanah tidak boleh samar dan harus
disaksikan oleh pihak ketiga. Tunai berarti peralihan hak atas tanah terjadi bersamaan dengan
pembayaran harga beli dari si pembeli. Kemudian, dalam hukum tanah nasional juga telah
tersedia suatu lembaga jaminan tersendiri yaitu hak tanggungan. Hal mana hal tanggungan ialah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu.

Maka dari itu, dari kacamata hukum tanah nasional praktek jual beli tanah dengan hak membeli
kembali merupakan suatu penyelundupan hukum. Dalam hal ini, Mahkamah Agung telah
mengeluarkan yurisprudensi atas hal tersebut, antara lain melalui :

1. Putusan Mahkamah Agung (Perkara PK) No.78/PK/Pdt/1984 tanggal 9 April 1987


yang menerangkan bahwa:

Halaman 8 dari 11
“Akta Notaris yang dibuat dengan Materi suatu perjanjian hutang piutang
dengan jaminan tanah/rumah yang dibungkus sebagai satu perjanjian jual
beli tanah dengan hak membeli kembali yang tujuannya digunakan untuk
melakukan peralihan hak atas tanah debitor kepada kreditor bilamana
debitor wanprestasi, maka hal demikian itu adalah sutau perjanjian semu
atau pura-pura dan harus dinilai sebagai perjanjian hutang piutang”.

2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1729 PK/Pdt/2004 yang


menegaskan bahwa jual beli dengan hak membeli kembali dalam Pasal 1519
KUHPerdata, adalah tidak diperbolehkan, karena Perjanjian jual beli dengan hak
membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu) dan
tidak sesuai dengan hukum adat yang tidak mengenal jual beli dengan hak untuk
membeli kembali. Oleh sebab itu, perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli
kembali harus dianggap batal demi hukum.

Proses dalam perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali juga menyalahi asas dalam
hukum jaminan, yakni dalam hal debitor wanprestasi kreditor tidak boleh serta merta
mengambil objek jaminan menjadi hak milik kreditor sebagai pelunasan hutang. Dalam hukum
jaminan, pelunasan hutang manakala debitor wanprestasi ialah dengan melakukan lelang dan
kemudian mengambil sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutang yang belum dilunasi. Selain
itu, ketidakadilan bagi penjual / debitor juga akan terjadi manakala pembeli / kreditor
memberikan harga jual kembali (harga tebus) yang jauh lebih tinggi dari harga jual awal. Oleh
sebab itu, praktek jual beli dengan hak membeli kembali dapat dikatakan sebagai praktek
rentenir terselubung.

B. TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH “DEBITUR” YANG MERASA DIRUGIKAN OLEH
LEMBAGA PEMBIAYAAN YANG MENYEDIAKAN SKEMA PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN OPSI
MEMBELI KEMBALI

Oleh karena perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali merupakan sesuatu yang
menyalahi peraturan namun masih tetap dipraktekkan, bahkan perjanjiannya tak jarang
dituangkan dalam akta notaris. Maka “debitur” yang merasa dirugikan dapat mengajukan
pembatalan atas perjanjian tersebut kepada Pengadilan Negeri.

Halaman 9 dari 11
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sekalipun praktik perjanjian jual beli dengan opsi membeli kembali telah dikenal sejak dahulu
dan memperoleh pengaturannya dalam Pasal 1519 jo. 1520 KUHPerdata, namun semenjak
berlakunya UUPA, maka segala kententuan mengenai pertanahan nasional sejatinya harus
merujuk pada UUPA, sehingga ketentuan mengenai hukum pertanahan dalam KUHPerdata
tidak lagi berlaku. Begitu pula aturan mengenai hak untuk membeli kembali yang tidak dapat
diberlakukan terhadap jual beli tanah. Lebih lanjut, hukum tanah nasional yang berlaku di
Indonesia pasca adanya UUPA ialah hukum adat, di dalam hukum adat sendiri tidak dikenal jual
beli dengan hak membeli kembali. Alasannya, jual beli dengan hak membeli kembali tidak
memenuhi prinsip jual beli tanah dalam hukum adat, yaitu prinsip “terang” dan “tunai”.

B. SARAN

Penulis menyarankan agar calon debitur sebaiknya menghindari praktik perjanjian jual beli
dengan opsi membeli kembali sebagai alternatif lembaga pembiayaan. Hal ini disebabkan
karena praktik tersebut telah bertentangan dengan prinsip “terang” dan “tunai” yang dianut
oleh UUPA. Dalam hal debitur telah terlanjur untuk menyepakati perjanjian dengan skema
demikian sebagai sarana pembiayaan, maka “debitur” yang merasa dirugikan dapat
mengajukan pembatalan atas perjanjian tersebut kepada Pengadilan Negeri.

Halaman 10 dari 11
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

- Marilang, “Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian” (Makassar: Indonesia
Prime, 2017);
- R. Van Dijk, “Pengantar Hukum Adat Indonesia” (Bandung: Mandar Maju, 2006);
- Fuady, Munir, “Hukum tentang Pembiayaan”, (Jakarta: Citra Aditya Bakti : Cetakan ke-IV,
2014);
- Salim H.S, “Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta : Sinar Grafika,
2017);
- Atmasasmita, Romli, “Hukum Kejahatan Bisnis : Teori & Praktik di Era Globalisasi”,
(Jakarta : Prenadamedia Group, 2014).

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


- Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

C. PUTUSAN PENGADILAN

- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 78 PK/Pdt/1984 tanggal 9 April 1987;
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 381 K/PDT/1986;
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3597 K/PDT/1985;
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2650 K/Sip/1982 tanggal 20
September 1983;
- Putusan PT DI Yogyakarta No. 86/1981/Pdt., tanggal 29 Januari 1982;
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1729 PK/Pdt/2004;

Halaman 11 dari 11

Anda mungkin juga menyukai