Oleh:
Handika Aprillianda 200131001
Pembimbing
DEPARTEMEN RADIOLOGI
MEDAN
2021
PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA TRAUMA HEPAR
Oleh:
Handika Aprillianda 200131001
Pembimbing
DEPARTEMEN RADIOLOGI
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
memberikan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul “Pemeriksaan Radiologi Pada Trauma Hepar”. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan
Dokter di Departemen Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Elvita Rahmi Daulay, M.Ked(Rad), Sp. Rad(K), yang telah meluangkan
waktunya dalam membimbing penyusunan makalah ini sehingga dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam
sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun susunan bahasannya, untuk itu Penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................1
1.2 TUJUAN...............................................................................................................................2
1.3 MANFAAT...........................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
2.1 ANATOMI HEPAR ...............................................................................................................3
2.2 DEFINISI............................................................................................................................... 6
2.3 ETIOLOGI............................................................................................................................. 6
2.4 PATOFISIOLOGI.................................................................................................................7
2.5 MANIFESTASI...................................................................................................................... 8
2.6 DIAGNOSA..........................................................................................................................8
2.7. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................................................23
2.8 TATALAKSANA .................................................................................................................23
2.9 KOMPLIKASI......................................................................................................................23
2.10 PROGNOSIS.................................................................................................................................23
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 26
ii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hepar merupakan kelenjar terbesar didalam tubuh, yang terletak di bagian teratas dalam
rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma. Hepar menempati hampir seluruh
regio hypochondria sinistra dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas
sampainke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria.
Berat rata-rata hepar sekitar 1500 gr atau 2% berat badan orang dewasa normal. Hepar
merupakan organ lunak yang lentur dan tercetak olah struktur sekitarnya, hepar memiliki
permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri, bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal
kanan, lambung, pancreas, dan usus.
Setiap lobus hepar terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Sikap lobulus merupakan bagan
heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hepar berbentuk kubus tersusun radial
mengelilingi vena sentralis yang mengalirkan darah dari lobulus. Hepar manusia memiliki
maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel hepar terdapat kapiler-kapiler yang
disebut sebagai sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatica. Sejumlah
50% dari semua makrofag dalam hepar adalah sel Kupffer sehingga hepar merupakan salah
saru organ penting dalam pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik (Coccolini et al,
2015).
Hepar menempati urutan kedua organ yang paling sering mengalami trauma pada trauma
abdomen. Presentase trauma hepar ialah 35 – 45%. Pada suatu studi dikemukakan bahwa
trauma hepar paling sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan
6,6 : 1. Rata-rata usia penderita trauma hepar ialah 30 tahun. Pada 78,5% kasus, trauma hepar
disebabkan oleh trauma tajam. Pada trauma tumpul hepar, 77.8% adalah laki-laki dan 22,2%
adalah perempuan. Cedera merupakan penyebab utama kematian ketiga di seluruh dunia,
2
sekitar 5 juta kematian setiap tahunnya. Cedera merupakan penyebab utama kematian pada
anak-anak, remaja, dan dewasa muda usia 1 sampai 44 tahun. Pada pasien dengan trauma
abdomen, hepar merupakan organ yang sering terluka (Talving et al, 2003).
Pada suatu studi, presentase kecelakaan lalu lintas sebanyak 63,1% terjadi pada
pengendaran kendaraan bermotor, baik mobil atau motor, serta pejalan kaki. Trauma tumpul
pada hepar dapat terjadi bersamaan organ lain dalam tubuh dengan presentase 79,4%, trauma
lien 55,6%, cedera thoraks 20,6% dan trauma kepala 12,7% kasus. Sedangkan, trauma tajam
dapat disebabkan oleh penusukan dengan benda tajam, penembakan atau lainnya.e Pada suatu
studi, presentase trauma tajam hepar sebesar 61,6%. Presentase tersebut terdiri atas 41,5%
penembakan, 20,2% luka tusuk dan 1% disebabkan oleh kasus lain.
Kejadian trauma hepar pada tahun 1996 dan 1997 di Stockholm, Swedia berkisar
2,95/100.000 per tahun. 77 autopsi dengan trauma hepar menunjukkan pola cedera pada grade
I sebanyak 6 kasus (8%), grade II sebanyak 10 kasus (13%), grade III sebanyak 21 kasus
(27%), grade IV sebanyak 15 kasus (19%), grade V sebanyak 16 kasus (21%), dan grade VI
sebanyak 9 kasus (12%) (Talving et al, 2003).
Kejadian trauma hepar bervariasi antar negara karena kondisi sosial, peraturan dan
lingkungan. Di Eropa, 80-90% dari semua luka hati disebabkan oleh trauma tumpul, dengan
sebagian besar kasus disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan cedera olahraga. Situasi ini
mirip dengan yang terlihat di Australia. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Afrika Selatan
memiliki tingkat trauma tembus yang cukup tinggi, namun bahkan di negara-negara ini ada
bukti bahwa rasio trauma tumpul terhadap luka tembus meningkat. Cedera hepar dikaitkan
dengan mortalitas yang tinggi, namun tetap sulit untuk diprediksi bagi pasien secara individu,
karena mortalitas sering ditentukan oleh banyak faktor termasuk sifat cedera hati itu sendiri,
tingkat cedera hati, cedera terkait yang terjadi, praktik dan pengalaman dari pasien. Kematian
keseluruhan dari luka hati diperkirakan berkisar antara 10-17%. Namun, jika pasien
mengalami cedera vena juxtahepatik (vena cava inferior inferior atau cedera vena hepatik
mayor mayor) maka mortalitas mungkin setinggi 80% (Beardsley dan Sivakumar, 2012).
3
1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
Memahami teori mengenai pemeriksaan radiologi pada trauma hepar.
1.3 MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap Penulis dan Pembaca
terutama yang terlibat dalam bidang medis, dan juga memberikan wawasan kepada
masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan radiologi
pada trauma abdomen.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk hepar seperti suatu piramid berisi 3 dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks
(puncaknya) ke kiri. Pada laki-laki dewasa beratnya 1400-1600 gram, perempuan 1200-1400 gram,
ukuran melintang (transversal) 20-22,5 cm, vertikal 15-17 cm, sedangkan ukuran dorsoventral yang
paling besar adalah 10-12,5 cm.
Bagian dari pars superior dekat jantung mempunyai cekungan yang dinamakan impresio
(fossa) cardiaca. Disebelah kanan pars posterior lebar dan tumpul sedangkan di sebelah kiri
tajam. Agak ke kanan bagian tengah terdapat sulcus venae cavae (ditempati oleh vena cava
inferior). Kira-kira 2-3cm disebelah kiri vena cava inferior terdapat fissura ligamenta
vensosi (ditempati oleh ligamentum venosum arantii) diantara keduanya terdapat lobus
quadratus. Disebelah kanan vena cava inferior terdapat suatu daerah berbentuk segitiga yang
dinamakan impressio suprarenalis. Disebelah kiri fissura ligamenti venosi terhadap sulcus
oesohagealis yang ditempati oleh cardiacum eosophagei (Federle, 2004).
Cekung dan menghadap ke dorsokaudal kiri, ditandai oleh adanya alur dan bekas alat
yang berhubungan dengan hepar. Fascies visceralis tertutup peritoneum kecuali ditempat
vesica fellea. Alur-alur memberikan gambaran huruf H dan dibentuk oleh fossae sagitalis
dextra et sinistra, dan porta hepatis (bagian yang melintang). Fossa sagitalis sinistra (fissura
longitudinal) memisahkan lobus dextra dan lobus sinistra hepatis. Porta hepatis memotong
tegak lurus dan membaginya menjadi 2 bagian, yaitu fissura ligamenti teretis, dan duktus
venosus.
Lobus dextra 6 kali lebih besar daripada lobus sinistra hepatis dan mempunyai regio hypocondriaca
dextra. Pada lobus dextra terdapat lobus quadratus dan lobus caudatus. Lobus quadratus terdapat diantara
vesica fellea dan fissura ligamentii testis, batasnya adalah :
Ventral : margo inferior hepar yaitu bagian yang tipis, tajam dan
ditandai oleh adanya incissura ligamentii terentis
Dorsal : porta hepatis
Ligamentum Hepatica
Merupakan lipatan peritoneum, yaitu :
Ligamentum falciforme hepatis
Ligamentum coronaria hepatis
Ligamentum triangulare dextra
Ligamentum triangulare sinistra
7
Sirkulasi Hepar
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah
darah arteri dan dua pertiganya adalah vena dari vena porta. Volume total darah yang
melewati hepar setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatica kanan
dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena cava inferior. Vena porta bersifat unik karena
letak di antara dua daerah kapiler yang satu terletak dalam hepar dan lainnya dalam saluran
cerna. Cabang-cabang terhalus arteri hepatica juga mengalirkan darahnya kedalam sinusoid,
sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteri hepatica dan darah vena dari vena porta.
Fungsi Hepar :
3. Metabolisme protein. Semua protein plasma di sintesis oleh hati, kecuali gama
2.2 DEFINISI
Trauma hepar adalah trauma yang mengenai hepar. Trauma hepar disebabkan oleh
trauma tumpul abdomen atau trauma tembus yang mengakibatkan ruptur hepar dan kerusakan
pada hepar (Khan, 2017).
2.3 ETIOLOGI
a. Trauma Tumpul
Merupakan suatu strauma yang disebabkan oleh pukulan langsung, terbentur benda
tumpul, tabrakan, yang bisa menyebabkan trauma kompresi terhadap organ viscera.
8
b. Trauma Tajam
Merupakan luka tusuk ataupun luka tembak yang bisa menyebabkan kerusakan
jaringan karena laserasi atau terpotong (Beardsley dan Sivakumar, 2012).
2.4 PATOFISIOLOGI
Pukulan langsung misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk
(intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan cedera tekanan atau
tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan
dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung (misalnya uterus
yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi
abdomen merupakan bentuk trauma yang terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk
pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu) dipakai dengan cara yang salah.
Penderita yang cedera dakam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menderita cedera
deceleration karena gerakan berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang tidak
bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) ditempat jaringan
pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang dilakukan
laparatomi oleh karena trauma tumpul (blunt injury), organ yang paling sering cedera
adalah limpa (40%-55%), hati (35%-45%0 dan hematoma retroperineum (15%).
Hepar merupakan organ intraabdomen yang paling sering terkena trauma setelah
limpa. Perlukaan pada hepar dapat bersifat superficial dan ringan, tetapi dapat pula bersifat
laserasi yang berat, yang menimbulkan kerusakan pada sistem saluran empedu intrahepatik.
Perlukaan dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau luka tembus dinding perut yang
mungkin berupa trauma tajam. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada
trauma tumpul adalah efek kompresi dan decelerasi. Trauma tajam dapat disebabkan oleh
tusukan benda tajam atau oleh peluru.
Berat ringan kerusakan akibat trauma pada hepar bergantung pada jenis trauma,
penyebab, kekuatan, dan arah datangnya trauma. Lebih dari 50% trauma berat hepar
disertai trauma intraabdomen lain. Mortalitas berbanding lurus dengan jumlah organ lain
yang terkena. Yang paling sering terkena cedera bersama dengan hepar adalah organ
9
intratoraks, yaitu jantung, paru, atau diafragma, disusul berurutan oleh lambung, usus
halus, ginjal, usus besar, limpa, pancreas, dan pembulug darah besar.
Perlukaan parenkim hati yang superficial dan dalam, kadang sulit dibedakan.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma hepar adalah perdarahan, infeksi, kebocoran
empedu, dan hemobilia (Coccollini, 2015).
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 ANAMNESA
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan
kadar Hemoglobin dan Hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul,
biasanya setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hepar yang meningkat
dalam serum darah menunjukan bahwa cedera pada hepar, meskipun juga dapat
disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya.
11
Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan, pada hari ke 3 sampai hari ke 4
setelah trauma (Legome, 2016).
DPL merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera
intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak responsive tanpa
indikasi yang jelas untik eksplorasi abdomen. Kerugiannya adalah bersifat invasif, resiko
komplikasi dibandingkan tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi cedera
yang signifikan (ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pancreas, renal, duodenal, dan
vesica urinaria), angka laparatomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas yang rendah.
Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adlah imbibisi dari hematom
peritoneal atau dinding abdomen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan
hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat siuasi
sebagai berikut :
12
- Perubahan perasaan (cedera jaringan saraf tulang belakang)
- Cedera pada struktur berdekatan (tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari
pinggang bawah/ lumbal spine)
Indikasi DPL
1. Equivocal: Gejala klinik yang meragukan misalnya trauma jaringan lunak local
disertai dengan trauma tulang yang gejala kliniknya saling mengaburkan.
2. Unreliable: Kesadaran pasien menurun setelah trauma kepala/ intoksikasi.
3. Impractical: Menngantisipasi kemungkinan pasien yang membutuhkan pemeriksaan
yang lama waktunya seperti angiogrefi atau anastesi umum yang lama untuk trauma
lainnya.
Ultrasonografi kurang peka untuk identifikasi dan menentukan gradasi cedera organ
13
solid cedera usus, cedera retro peritoneal. Pemeriksaan USG dapat langsung dengan jelas
mendeteksi adanya cairan bebas peritoneal atau adanya “Cardiac Tamponade”.
Kekurangan:
a. Untuk mendapatkan hasil positif diperlukan cairan intraperitoneal minimal 70 cc
dibandingkan DPL hanya 20 cc.
b. Akurasinya tergantung pada kemampuan operator atau pembaca hasil dan turun
akurasinya bila pernah operasi abdomen.
c. Secara teknik sulit pada pasien gemuk dan ileus atau adanya emfisema subkutis.
d. Sensitifitasnya rendah untuk usus halus dan cedera pankreas.
e. Tidak dapat menentukan dengan tepat penyebab hemoperitoneum.
f. Meskipun bekuan darah memberikan gambaran yang khas, ia tidak dapat dengan
tepat menentukan jenis cairan bebas intraperitoneal (Brown, 2003).
14
Gambar 2.2 USG Hemoperitoneum. Pada potongan transversal kuadran kanan atas abdomen terlihat cairan
bebas (FF) antara hepar (L) dan ginjal kanan (K).
CT-Scan merupakan standar emas untuk pasien dengan hemodinamik stabil baik
pada trauma tembus maupun trauma tumpul. CT-Scan memiliki sensitivitas yang baik
kecuali untuk mendeteksi trauma pada diafragma, pankreas, dan usus kecil. Beberapa
penulis menganggap CT-Scan sebagai faktor prediktif bersamaan dengan tekanan darah
sistolik untuk risiko kegagalan manajemen non-operatif (NOM) (Coccolini et al, 2015).
CT scan adalah studi pencitraan pertama yang memberikan penggambaran yang
relatif rinci tentang cedera organ yang solid dan cedera retroperitoneal. Tingkat
keparahan luka juga dinilai berdasarkan pemeriksaan CT scan. Ekstravasasi kontras
yang ditunjukkan pada CT scan (35-40 HU) mengindikasikan pendarahan aktif dari
lokasi cedera dan intervensi lebih lanjut sehingga CT-Scan dapat membantu diagnosis
trauma hepar. Sensitivitas dan spesifisitas CT scan untuk trauma hepar masing-masing
92-97% dan 98,7%. CT scan memainkan peran integral dalam penanganan non-operatif
trauma hepar. Tindak lanjut CT scan direkomendasikan untuk trauma bermutu tinggi
yaitu grade IV-V dalam 7-10 hari untuk menentukan status cedera dan komplikasi juga
(Ahmed dan Vernick, 2011).
Pemeriksaan CT scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan
trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT
scan bersifat sensitive dan spesifik pada pasien yang dicurigai suatu trauma tumpul
hepar dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Penanganan non operatif menjadi
penanganan standart pasien trauma tumpul abdomendengan hemodinamik stabil.
Pemeriksaan CT scan akurat dalam menetukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai
derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut
cedera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan
penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan
untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat dalam
15
diagnosis dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT scan menurunkan
jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan
rutin bedah menjadi penanganan non-operatif dari kasus trauma hepar.
16
GRADE 1 - Subcapsular hematoma less than 1 cm in maximal thickness, capsular avulsion,
superficial parenchymal laceration less than 1 cm deep, and isolated periportal blood tracking
Grade 1 hepatic injury in a 21-year-old man with a stabbing injury to the right upper quadrant of the
abdomen. Axial, contrast-enhanced computed tomography (CT) scan demonstrates a small,
crescent-shaped subcapsular and parenchymal hematoma less than 1 cm thick.
17
Gambar 2.4 Hepatic Injury Grade I
Grade 1 hepatic injury in a 21-year-old man with a stabbing injury to the right upper quadrant of the
abdomen. Diagram of the CT scan in the previous image
A 20-year-old man with systemic lupus erythematosus presented with grade 2 liver injury after minor blunt
abdominal trauma. Nonenhanced axial CT scan at the level of the hepatic veins shows a subcapsular hematoma
3 cm thick.
18
Gambar 2.6 Hepatic Injury Grade II
A 20-year-old man with systemic lupus erythematosus presented with grade 2 liver injury after minor blunt
abdominal trauma.
Grade 3 liver injury in a 22-year-old woman after blunt abdominal trauma. Contrast- enhanced axial
CT scan through the upper abdomen shows a 4-cm-thick subcapsular hematoma associated with
parenchymal hematoma and laceration in segments 6 and 7 of the right lobe of the liver. Free fluid
is seen around the spleen and left lobe of the liver consistent with hemoperitoneum.
19
Gambar 2.8 Hepatic Injury Grade III
Grade 3 liver injury in a 22-year-old woman after blunt abdominal trauma. Diagram of the CT scan
in the previous image.
20
Contrast-enhanced axial CT scan in a 39-year-old man with a grade 4 liver injury shows a large
parenchymal hematoma in segments 6 and 7 of the liver with evidence of an active bleed. Note the
capsular laceration and large hemoperitoneum.
Diagram of the CT scan in Image above in a 39-year-old man with a grade 4 liver injury shows a
large parenchymal hematoma in segments 6 and 7 of the liver with evidence of an active bleed.
GRADE 5 - Global destruction or devascularization of the liver (see the images below)
21
Grade 5 injury in a 36-year-old man who was involved in a motor vehicle accident demonstrates
global injury to the liver. Bleeding from the liver was controlled by using Gelfoam.
Grade 5 injury in a 36-year-old man who was involved in a motor vehicle accident. Diagram of the
CT scan in the previous
22
diafragma, usus dan posterior,
pancreas Tidak sensitive
untuk trauma
tajam anterior
USG 5-10 menit Diagnosis awal, Tergantung pada Sensitive dengan
Tidak invasive, operator, temuan klinik
Cepat dan sangat mudah Keliru untuk trauma yang signifikan
dilakukan diafragma, usus, pada trauma
pancreas dan organ tumpul,
padat Kurang sensitive
pada trauma
tajam.
2.6.7 Angiography
Sebagian besar pasien yang mengalami trauma hepar pada instalasi gawat darurat
memberikan respon positif setelah dilakukan DPL dan dibutuhkan laparatomi dengan segera
untuk menghentikan perdarahan. Angiography tidak terlalu banyak berperan pada pasien
seperti ini. Tetapi bagaimanapun juga, pasien dengan sedikit trauma berat sulit untuk dinilai
pada pemeriksaan dan laparatomi.
23
Gambar 2.13 Angiografi
Selective celiac arteriogram of a grade 1 hepatic injury in a 21-year-old man with a stabbing injury to the
right upper quadrant of the abdomen. The image shows a focal area of hemorrhage in the right lobe of the liver
(arrow) due to the stabbing injury. The well-demarcated filling defect seen in the lateral aspect of the right lobe
of the liver is due to compression of normal liver parenchyma by the subcapsular hematoma.
Postembolization selective arteriogram of a grade 1 hepatic injury in a 21-year-old man with a stabbing
injury to the right upper quadrant of the abdomen (same patient as in the previous image). The image shows
cessation of the bleeding in the right lobe of the liver.
24
A 20-year-old man with systemic lupus erythematosus presented with grade 2 liver injury after minor blunt
abdominal trauma. Selective celiac artery arteriogram shows multiple microaneurysms due to systemic lupus
erythematosus. Note the parenchymal filling defects due to contusion and medial displacement of the right liver
margin due to subcapsular hematoma.
1. Sindrom HELLP
2. Perdarahan Spontan
3. Tumor Hepar
2.8 TATALAKSANA
a. PRIMARY SURVEY
Airway
Penilaian arway bertujuan untuk mengetahui adanya trauma di jalan napas. Menilai patensi
jalan napas dan pertukaran udara dengan mendengarkan pergerakan udara melalui hidung,
mulut, dan lapang paru. Inspeksi dilakukan di orofaring untuk menilai obstruksi dan melakukan
inspeksi dada untuk melihat adanya retraksi otot interkostalis dan supraklavikular (ATLS, 2012).
Breathing
Pergerakan dan kualitas pernapasan dinilai dengan inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
Tanda-tanda hipoksia adalah peningkatan kecepatan pernapasan dan perubahan pola pernapasan,
serta diikuti dengan adanya sianosis (ATLS, 2012).
Circulation
Pemeriksaan denyut nadi untuk menilai kualitas, kecepatan, dan regularitas. Pada pasien
hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis pedis dapat tidak teraba. Vena leher
juga perlu diniliai untuk mengetahui distensi pada pasien hipovolemia, tamponade jantung,
tension pneumothorax, dan trauma diafragma. Warna kulit dapat membantu diagnosis
hipovolemia. Jika warna kulit kemerahan pada wajah dan ekstremitas maka jarang dalam
keadaan hypovolemia, sedangkan jika warna kulit keabu-abuan dan pucat merupakan tanda
hipovolemia. Hal lain yang perlu diperhatikan adanya perdarahan baik perdarahan eksternal
ditangani dengan penekanan pada luka. Spalk udara untuk mengontrol perdarahan. Tourniqet
sebaiknya tidak dipakai karena dapat merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal,
sedangkan tourniqte dipakai hanya pada amputasi traumatic. Sumber perdarahan internak (tidak
25
terlihat ) perdarahan dalam thorax, abdomen, fraktur tulang panjang, retroperitoneal, fraktur
pelvis (ATLS, 2012).
b. SECONDARY SURVEY
Pemeriksaan yang perlu dilakukan saat secondary survey adalah pemeriksaan fisik head
to toe, rontgen thoraks, penilaian analisis gas darah, pulse oxymetri, dan EKG, pemeriksaan
darah lengkap, DPL, USG Abdomen (FAST).
Tindakan yang dilakukan pada trauma hepar setelah primary survey tidak ada masalah :
1. Rekomendasi Non-operative Management (NOM) pada Trauma Tumpul Hepar.
Pada pasien trauma tumpul dengan hemodinamik stabil dan tidak adanya cedera internal
yang membutuhkan operasi maka harus menjalani NOM terlebih dahulu. Kontraindikasi
NOM yaitu adanya ketidakstabilan hemodinamik atau peritonitis. Pada pasien dengan
pertimbangan NOM harus dilakukan CT-Scan dengan kontras intravena agar dapat
menentukan anatomi trauma hepar terkait dengan cederanya. Angiografi dengan embolisasi
dapat digunakan sebagai intervensi lini pertama dengan hemodinamik stabil. Namun,
komplikasi dapat terjadi setelah NOM pada pasien dengan trauma hepar grade tinggi
sekitar 12-14% sehingga diperluka alat dignostik untuk komplikasi setelah NOM berupa
pemeriksaan klinis, laboratorium darah, USG, dan CT-Scan. Follow up dengan CT-Scan
sebenarnya tidak diperlukan namun, bila terdapat respon peradangan abnormal, nyeri perut,
demam, ikterus, dan penurunan kadar hemoglobin maka CT-Scan diperlukan. Komplikasi
yang sering berhubungan dengan NOM adalah perdarahan, sindrom kompartemen
abdomen, infeksi (abses dan infeksi lainnya), hemobilia, bilioma, peritonitis biliar, fistula
biliar, dan nekrosis hepar sedangkan USG dapat digunakan untuk penilaian kebocoran
empedu/ biliar atau biloma pada trauma hepar grade IV-V terutama dengan laserasi sentral
(Coccolini et al, 2016).
c. OPERATIF
OM dilakukan pada trauma tumpul maupun trauma tembus hepar jika terjadi
ketidakstabilan hemodinamik dan bersamaan dengan luka organ internal yang
membutuhkan pembedahan. Tujuan pembedahan primer adalah untuk mengendalikan
perdarahan, mengendalikan kebocoran empedu, dan resusitasi intensif sesegera mungkin.
Angioembolisasi digunakan jika terjadi perdarahan arteri persisten.
Kematian pada OM tergantung status hemodinamik dan cedera yang terkait. Dalam
26
kasus dimana tidak terjadi perdarahan yang besar pada laparotomi maka perdarahan bisa
dikendalikan dengan kompresi, elektrokauter, perangkat bipolar, dll. Dengan adanya
perdarahan yang massif maka diperlukan kompresi manual hepar, ligasi pembuluh darah
yang terluka, debridemen hepar, tamponade balon, isolasi vascular hepar. Reseksi hepar
secara anatomis dilakukan sebagai opsi pembedahan namun, apabila hemodinamik tidak
stabil maka reseksi secara non-anatomis dapat dilakukan karena lebih aman dan mudah.
Ligase vena porta hepatika harus dihindari karena dapat menyebabkan nekrosis
hepar edema usus secara massif sehingga reseksi hepar lebih baik dibandingkan dengan
ligase vena porta. Transplantasi hepar dan reseksi total hepar dilakukan pada kasus darurat
yaitu terjadi avulsion hepatic atau cedera hepar seluruhnya (Coccolini, 2016).
d. NON OPERATIF
NOM pada pasien dengan trauma tembus hepar dapat dipertimbangkan hanya dalam kasus
hemodinamik stabil dan tidak adanya peritonitis. NOM pada trauma tembus hepar hanya dapat
dilakukan di tempat yang menyediakan pemantauan yang intensif dan angiografi. CT-Scan
dengan kontras intravena harus dilakukan untuk mengidentifikasi trauma tembus hepar yang
sesuai. Evaluasi pemeriksaan klinis (manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium) harus
dilakukan untuk mendeteksi perubahan klinis pasien selama NOM.
Angioembolisasi juga perlu dipertimbangkan pada kasus perdarahan arteri dengan
hemodinamik stabil tanpa indikasi Operative Management (OM). Adanya cedera kepala dan
tulang belakang diindikasikan untuk melakukan OM. Tingkat keberhasilan NOM sekitar 50%
pada luka tusuk di abdomen anterior sedangkan 85% pada abdomen posterior (Coccolini, 2016).
Untuk luka tusuk dan luka tembak kecepatan rendah maka NOM aman dilakukan akan tetapi,
pada kasus luka tusuk dan luka tembak dengan kecepatan tinggi maka perlu dilakukan OM
(Ahmed dan Vernick, 2011).
Pada suatu studi, pasien trauma hepar dengan manajemen penatalaksanaan dengan
tindakan operatif sebanyak 64,3%. Pada trauma tajam hepar, tindakan non operatif
direkomendasikan untuk luka tusuk pada kuadran kanan atas. Berdasarkan derajatnya, trauma
hepar yang masuk dalam kategpri ini ialah derajat I dan II. Pada trauma tumpul hepar, tindakan
non operatif diberikan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. CT sacn dapat dilakukan
27
pada pasien yang berespon terhadap pemberian carian untuk stabilisasi hemodinamik. CT scan
dilakukan dibagian abdomen dan pelvis. Pemeriksaan angiogram dan tindakan angioembolisasi
dapat dilakukan bersamaan dengan CT scan abdomen dan pelvis. Namun apabila terjadi
kegagalan, tindakan operasi harus dilakukan.
a. Grade I, II,III : Manajemen konservatif pasien trauma sesuai dengan diagnosa dari hasil
CT scan
b. Grade IV,V,VI :
2.9 KOMPLIKASI
2.10 PROGNOSIS
Sebanyak >80% trauma hepar dapat diobati tanpa pembedahan dan trauma tumpul hepar
tergantung pada stabilitas hemodinamik daripada tingkat cedera hepar grade IV-V.
Kematian terkait trauma hepar sekitar 8% sedangkan komplikasi yang dilaporkan pada
kasus trauma hepar sebanyak 20% terjadi karena tidak diobati berupa cedera saluran
empedu/biloma, peritonitis, perdarahan tertunda, pembentukan abses intra-abdomen,
kolesistitis akut (Knipe, 2015)
28
BAB III
KESIMPULAN
Hepar merupakan organ intraabdomen yang paling sering terkena trauma setelah limpa (45%).
Perlukaan pada hepar dapat bersifat superficial dan ringan, tetapi dapat pula bersifat laserasi yang
berat, yang menimbulkan kerusakan pada sistem saluran empedu intrahepatik.
Perlukaan dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau luka tembus dinding perut yang mungkin
berupa trauma tajam. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah
efek kompresi dan deselerasi. Trauma tajam dapat disebabkan oleh tusukan benda tajam atau oleh
peluru.
Berat ringan kerusakan akibat trauma pada hepar bergantung pada jenis trauma, penyebab,
kekuatan, dan arah datangnya trauma. Lebih dari 50% trauma berat hepar disertai trauma
intraabdomen lain. Mortalitas berbanding lurus dengan jumlah organ lain yang terkena. Yang
paling sering terkena cedera bersama dengan hepar adalah organ intratoraks, yaitu jantung, paru,
atau diafragma, disusul berurutan oleh lambung, usus halus, ginjal, usus besar, limpa, pancreas, dan
pembuluh darah besar.
29
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Legome, E.L. 2016. “Blunt Abdominal Trauma”. State University of New York Downstate College
of Medicine : Department of Emergency Medicine .
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview#a3 (Diakses 14 Agustus 2017).
Khan,A.N. 2017. “Liver trauma imaging”. MBBS, FRCS, FRCP, FRCR Consultant Radiologist and
Honorary Professor, North Manchester General Hospital Pennine Acute NHS Trust, UK.
http://emedicine.medscape.com/article/370508-overview (Diakses 14 Agustus 2017)
Coccollini, F., G.Montori, F.Catena, et al. 2015. “Liver Trauma : WSES Position Paper”, World
Journal Of Emergency, Vol.39 : 10.
Ahmed, N. dan J.J. Vernick. 2011. “Management Of Liver Trauma In Adults”, Journal Emergency
Trauma Shock, Vol.4 (1): 114-119
Beardsley,C. dan Sivakumar, G. 2012. “ An Overview Of Liver Trauma”, Medical Student Journal
of Australia, Vol.3
Badger SA, Barclay R, Campbell P, Mole DJ, Diamond T. 2009. “Management Of Liver Trauma”,
World Journal Of Surgery, Vol.33:2522–37.
Federle, M. P., Jeffrey, R. B., Woodward, P. J., & Borhani, A. (2004). Diagnostic imaging:
abdomen (pp. 2-02)
Brown A Michele, 2003. Screening Ultrasound in Blunt Abdominal Trauma, Sage Publication,
Ohio.
30
31