Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MANAJEMEN KEPERAWATAN

Disusun Oleh:
Diah Ramdan Saputri (20210305005)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2022
1. Peran perawat dalam pemberian pengelolaan menejemen RS
Keberhasilan suatu asuhan keperawatan kepada pasien sangat ditentukan oleh
pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan profesional. Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan dan tuntutan
perkembangan iptek, maka metode sistem pemberian asuhan keperawatan harus
efektif dan efisien.

Ada beberapa model praktik keperawatan berdasarkan ruang lingkupnya :


A. Praktik keperawatan rumah sakit.
Perawat profesional (Ners) mempunyai wewenang dan tanggung jawab
melaksanakan praktik keperawatan di rumah sakit dengan sikap dan
kemampuannya. Untuk itu, perlu dikembangkan pengertian praktik keperawatan
rumah sakit dan lingkup cakupannya sebagai bentuk praktik keperawatan
profesional, seperti proses dan prosedur registrasi, dan legislasi keperawatan.
B. Praktik keperawatan rumah.
Bentuk praktik keperawatan rumah diletakkan pada pelaksanaan pelayanan/
asuhan keperawatan sebagai kelanjutan dari pelayanan rumah sakit. Kegiatan ini
dilakukan oleh perawat profesional rumah sakit, atau melalui pengikutsertaan
perawat profesional yang melakukan praktik keperawatan berkelompok.
C. Praktik keperawatan berkelompok.
Beberapa perawat profesional membuka praktik keperawatan selama 24 jam
kepada masyarakat yang memerlukan asuhan keperawatan dengan pola yang
diuraikan dalam pendekatan dan pelaksanaan praktik keperawatan rumah sakit
dan rumah. Bentuk praktik keperawatan ini dapat mengatasi berbagai bentuk
masalah keperawatan yang dihadapi oleh masyarakat dan dipandang perlu di masa
depan. Lama rawat pasien di rumah sakit perlu dipersingkat karena biaya
perawatan di rumah sakit diperkirakan akan terus meningkat.
D. Praktik keperawatan individual.
Pola pendekatan dan pelaksanaan sama seperti yang diuraikan untuk praktik
keperawatan rumah sakit. Perawat profesional senior dan berpengalaman secara
sendiri/perorangan membuka praktik keperawatan dalam jam praktik tertentu
untuk memberi asuhan keperawatan, khususnya konsultasi dalam keperawatan
bagi masyarakat yang memerlukan. Bentuk praktik keperawatan ini sangat
diperlukan oleh kelompok/golongan masyarakat yang tinggal jauh terpencil dari
fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya yang dikembangkan pemerintah.

Berikut ini merupakan penjabaran secara rinci tentang metode pemberian asuhan
keperawatan profesional. Ada lima metode pemberian asuhan keperawatan
profesional yang sudah ada dan akan terus dikembangkan di masa depan dalam
menghadapi tren pelayanan keperawatan.
1. Fungsional (bukan model MAKP).
Metode fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan
keperawatan sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu,
karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat, maka setiap perawat
hanya melakukan satu atau dua jenis intervensi keperawatan saja (misalnya,
merawat luka) kepada semua pasien di bangsal.
Kelebihan:
a. manajemen klasik yang menekankan efisiensi, pembagian tugas yang jelas dan
pengawasan yang baik;
b. sangat baik untuk rumah sakit yang kekurangan tenaga;
c. perawat senior menyibukkan diri dengan tugas manajerial, sedangkan perawat
pasien diserahkan kepada perawat junior dan/atau belum berpengalaman.
Kelemahan:
a. tidak memberikan kepuasan pada pasien maupun perawat;
b. pelayanan keperawatan terpisah-pisah, tidak dapat menerapkan proses
keperawatan;
c. persepsi perawat cenderung pada tindakan yang berkaitan dengan keterampilan
saja.

2. MAKP Tim.
Metode ini menggunakan tim yang terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan
dibagi menjadi 2–3 tim/grup yang terdiri atas tenaga profesional, teknikal, dan
pembantu dalam satu kelompok kecil yang saling membantu.
Metode ini biasa digunakan pada pelayanan keperawatan di unit rawat inap, unit
rawat jalan, dan unit gawat darurat.
Konsep metode Tim :
a. ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai
teknik kepemimpinan;
b. pentingnya komunikasi yang efektif agar kontinuitas rencana keperawatan
terjamin;
c. anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim;
d. peran kepala ruang penting dalam model tim, model tim akan berhasil bila
didukung oleh kepala ruang.
Kelebihannya:
a. memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh;
b. mendukung pelaksanaan proses keperawatan;
c. memungkinkan komunikasi antartim, sehingga konflik mudah di atasi dan
memberi kepuasan kepada anggota tim.
Kelemahan: komunikasi antaranggota tim terbentuk terutama dalam bentuk
konferensi tim, yang biasanya membutuhkan waktu, yang sulit untuk dilaksanakan
pada waktu-waktu sibuk.
Konsep metode Tim:
a. ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai
a. teknik kepemimpinan;
b. pentingnya komunikasi yang efektif agar kontinuitas rencana keperawatan
c. terjamin;
d. anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim;
e. peran kepala ruang penting dalam model tim, model tim akan berhasil bila
didukung oleh kepala ruang.

Tanggung jawab anggota tim:


a. memberikan asuhan keperawatan pada pasien di bawah tanggung jawabnya;
b. kerja sama dengan anggota tim dan antartim;
c. memberikan laporan.
d. Tanggung jawab ketua tim:
e. membuat perencanaan;
f. membuat penugasan, supervisi, dan evaluasi;
g. mengenal/mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai tingkat kebutuhan pasien;
h. mengembangkan kemampuan anggota;
i. menyelenggarakan konferensi.

Tanggung jawab kepala ruang:


1. perencanaan:
a. menunjuk ketua tim yang akan bertugas di ruangan masing-masing;
b. mengikuti serah terima pasien pada sif sebelumnya;
c. mengidentifikasi tingkat ketergantungan pasien: gawat, transisi, dan persiapan
pulang, bersama ketua tim;
d. mengidentifikasi jumlah perawat yang dibutuhkan berdasarkan aktivitas dan
kebutuhan pasien bersama ketua tim, mengatur penugasan/penjadwalan;
e. merencanakan strategi pelaksanaan keperawatan;
f. mengikuti visite dokter untuk mengetahui kondisi, patofisiologi, tindakan
medis yang dilakukan, program pengobatan, dan mendiskusikan dengan
g. dokter tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien;
h. mengatur dan mengendalikan asuhan keperawatan, termasuk kegiatan
membimbing pelaksanaan asuhan keperawatan, membimbing penerapan
proses keperawatan dan menilai asuhan keperawatan, mengadakan diskusi
untuk pemecahan masalah, serta memberikan informasi kepada pasien atau
keluarga yang baru masuk;
i. membantu mengembangkan niat pendidikan dan latihan diri;
j. membantu membimbing peserta didik keperawatan;
k. menjaga terwujudnya visi dan misi keperawatan dan rumah sakit.

2. pengorganisasian:
a. merumuskan metode penugasan yang digunakan;
b. merumuskan tujuan metode penugasan;
c. membuat rincian tugas ketua tim dan anggota tim secara jelas;
d. membuat rentang kendali, kepala ruangan membawahi 2 ketua tim, dan
e. ketua tim membawahi 2–3 perawat;
f. mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan: membuat proses dinas,
g. mengatur tenaga yang ada setiap hari, dan lain-lain;
h. mengatur dan mengendalikan logistik ruangan,
i. mengatur dan mengendalikan situasi tempat praktik;
j. mendelegasikan tugas, saat kepala ruang tidak berada di tempat kepada
k. ketua tim;
l. memberi wewenang kepada tata usaha untuk mengurus administrasi
m. pasien;
n. mengatur penugasan jadwal pos dan pakarnya;
o. identifikasi masalah dan cara penanganannya.

3. pengarahan:
a. memberi pengarahan tentang penugasan kepada ketua tim;
b. memberi pujian kepada anggota tim yang melaksanakan tugas dengan baik;
c. memberi motivasi dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap;
d. menginformasikan hal-hal yang dianggap penting dan berhubungan dengan
asuhan keperawatan pada pasien;
e. melibatkan bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan;
f. membimbing bawahan yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
tugasnya;
g. meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim lain.

4. pengawasan:
a. melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan ketua
tim maupun pelaksana mengenai asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien;
b. melalui supervisi:
1) pengawasan langsung dilakukan dengan cara inspeksi, mengamati sendiri,
atau melalui laporan langsung secara lisan, dan memperbaiki/ mengawasi
kelemahan-kelemahan yang ada saat itu juga;
2) pengawasan tidak langsung, yaitu mengecek daftar hadir ketua tim,
membaca dan memeriksa rencana keperawatan serta catatan yang dibuat
selama dan sesudah proses keperawatan dilaksanakan (didokumentasikan),
mendengar laporan ketua tim tentang pelaksanaan tugas;
3) evaluasi;
4) mengevaluasi upaya pelaksanaan dan membandingkan dengan rencana
keperawatan yang telah disusun bersama ketua tim;
5) audit keperawatan.
3. Metode Perhitungan jumlah tenaga kesehatan
1. Metode Rasio (SK Menkes RI No. 262 Tahun 1979).
Metode penghitungan dengan cara rasio menggunakan jumlah tempat tidur
sebagai pembanding dari kebutuhan perawat yang diperlukan. Metode ini paling
sering digunakan karena sederhana dan mudah. Kelemahan dari metode ini adalah
hanya mengetahui jumlah perawat secara kuantitas tetapi tidak bisa mengetahui
produktivitas perawat di rumah sakit dan kapan tenaga perawat tersebut
dibutuhkan oleh setiap unit di rumah sakit. Metode ini bisa digunakan jika
kemampuan dan sumber daya untuk perencanaan tenaga terbatas, sedangkan jenis,
tipe, dan volume pelayanan kesehatan relatif stabil.

Cara perhitungan ini masih ada yang menggunakan, namun banyak rumah sakit
yang lambat laun meninggalkan cara ini karena adanya beberapa alternatif
perhitungan yang lain yang lebih sesuai dengan kondisi rumah sakit dan
profesional.

2. Metode Need.
Metode ini dihitung berdasarkan kebutuhan menurut beban kerja. Untuk
menghitung kebutuhan tenaga, diperlukan gambaran tentang jenis pelayanan yang
diberikan kepada pasien selama di rumah sakit. Sebagai contoh untuk pasien yang
menjalani rawat jalan, ia akan mendapatkan pelayanan, mulai dari pembelian
karcis, pemeriksaan perawat/dokter, penyuluhan, pemeriksaan laboratorium,
apotek dan sebagainya. Kemudian dihitung standar waktu yang diperlukan agar
pelayanan itu berjalan dengan baik.
a. Hudgins.
Penghitungan kebutuhan tenaga keperawatan di ruang rawat jalan
menggunakan metode dari Hudgins, yaitu menetapkan standar waktu
pelayanan pasien rawat jalan,
b. Douglas.
Untuk pasien rawat inap standar waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai
berikut.
1. Perawatan minimal memerlukan waktu: 1−2 jam/24 jam.
2. Perawatan intermediet memerlukan waktu: 3−4 jam/24 jam.
3. Perawatan maksimal/total memerlukan waktu: 5−6 jam/24 jam.
Penerapan sistem klasifikasi pasien dengan tiga kategori tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Kategori I: perawatan mandiri.
a. Dapat melakukan kebersihan diri sendiri, seperti mandi dan ganti
pakaian.
b. Makan, dan minum dilakukan sendiri.
c. Pengawasan dalam ambulasi atau gerakan.
d. Observasi tanda vital setiap sif.
e. Pengobatan minimal, status psikologi stabil.
f. Persiapan prosedur pengobatan.
2. Kategori II: perawatan intermediate.
a. Dibantu dalam kebersihan diri, makan dan minum, ambulasi.
b. Observasi tanda vital tiap 4 jam.
c. Pengobatan lebih dari satu kali.
d. Pakai kateter Foley.
e. Pasang infus intake-output dicatat.
f. Pengobatan perlu prosedur.
3. Kategori III: perawatan total.
a. Dibantu segala sesuatunya, posisi diatur.
b. Observasi tanda vital tiap 2 jam.
c. Pemakaian slang NG.
d. Terapi intravena.
e. Pemakaian suction.
f. Kondisi gelisah/disorientasi/tidak sadar.
Catatan:
• dilakukan satu kali sehari pada waktu yang sama dan sebaiknya
dilakukan
 oleh perawat yang sama selama 22 hari;
• setiap pasien minimal memenuhi 3 kriteria berdasarkan klasifikasi
 pasien;
• bila hanya memenuhi satu kriteria maka pasien dikelompokkan pada
 klasifikasi di atasnya.
Douglas menetapkan jumlah perawat yang dibutuhkan dalam suatu unit
perawatan berdasarkan klasifikasi pasien, di mana masing-masing kategori
mempunyai nilai standar per sif,

3.Metode Demand.
Cara demand adalah perhitungan jumlah tenaga menurut kegiatan yang memang
nyata dilakukan oleh perawat. Setiap pasien yang masuk ruang gawat darurat
dibutuhkan waktu sebagai berikut:
a. Untuk kasus gawat darurat
b. Untuk kasus mendesak
c. Untuk kasus tidak mendesak
Hasil penelitian di RS Provinsi di Filipina, menghasilkan data sebagaimana
tercantum dalam tabel

4. Manajeman mutu dan manajemen strategi


Mutu pelayanan keperawatan sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan menjadi
salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan kesehatan di mata masyarakat. Hal
ini terjadi karena keperawatan merupakan kelompok profesi dengan jumlah
terbanyak, paling depan dan terdekat dengan penderitaan, kesakitan, serta
kesengsaraan yang dialami pasien dan keluarganya. Salah satu indikator dari mutu
pelayanan keperawatan itu adalah apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu
memuaskan pasien atau tidak. Kepuasan merupakan perbadingan antara kualitas jasa
pelayanan yang didapat dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan (Tjiptono, 2004)4.
Peningkatan mutu dilakukan dalam berbagai macam cara yang akan dijelasakan
sebagai berikut.
a. Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan
indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan
RI.
b. Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan yang
dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir.
c. Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis
dalam penyelenggaraan sarana pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
transparansi dan akuntabilitas sehingga tercapai manajemen yang efisien dan
efektif.
d. Clinical governance merupakan bagian dari corporate governance, yaitu sebuah
kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab atas
peningkatan mutu secara berkesinambungan. Tujuannya adalah tetap menjaga
standar pelayanan yang tinggi dengan menciptakan lingkungan yang kondusif.
Clinical governance menjelaskan hal hal penting yang harus dilakukan seorang
dokter dalam menangani konsumennya (pasien dan keluarga).
e. Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik di dalam atau luar
negeri. Kerja sama lintas sektor dan lintas fungsi harus menjadi bagian dari
budaya rumah sakit seperti halnya kerja sama tim yang baik. Budaya dikotomi
pemerintah dengan swasta harus diubah menjadi falsafah “bauran pemerintah-
swasta (public-private mix) yang saling mengisi dan konstruktif.
f. Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan, sehingga tarif pelayanan bisa
bersaing secara global, misalnya outsourcing investasi, contracting.

5. Audit mutu dan audit mutu eksternal dan penerapannya

Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan struktur,
proses, dan outcome sistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga
dapat dikaji dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu
pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Secara umum aspek penilaian meliputi evaluasi,
dokumen, instrumen, audit (EDIA).
2. Aspek struktur (input).
Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi M1
(tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana),
M5 (pemasaran), dan lainnya. Ada sebuah asumsi yang menyatakan bahwa jika
struktur sistem RS tertata dengan baik akan lebih menjamin mutu pelayanan.
Kualitas struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya (efisiensi),
dan mutu dari masing-masing komponen struktur.
2. Proses.
Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang
mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini diukur antara
lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien, penegakan diagnosis,
rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan
prosedur pengobatan.
3. Outcome.
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain
terhadap pasien.
a. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:
1) angka infeksi nosokomial: 1–2%;
2) angka kematian kasar: 3–4%;
3) kematian pascabedah: 1–2%;
4) kematian ibu melahirkan: 1–2%;
5) kematian bayi baru lahir: 20/1.000;
6) NDR (Net Death Rate): 2,5%;
7) ADR (Anesthesia Death Rate) maksimal 1/5.000;
8) PODR (Post-Operation Death Rate): 1%;
9) POIR (Post-Operative Infection Rate): 1%.
b. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS:
biaya per unit untuk rawat jalan;
1) jumlah penderita yang mengalami dekubitus;
2) jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur;
3) BOR: 70–85%;
4) BTO (Bed Turn Over): 5–45 hari atau 40–50 kali per satu tempat
tidur/tahun;
5) TOI (Turn Over Interval): 1–3 hari TT yang kosong;
6) LOS (Length of Stay): 7–10 hari (komplikasi, infeksi nosokomial; gawat
darurat; tingkat kontaminasi dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan
pasien);
7) normal tissue removal rate: 10%.
c. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan
jumlah keluhan dari pasien/keluarganya, surat pembaca di koran, surat kaleng,
surat masuk di kotak saran, dan lainnya.
d. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:
1) jumlah dan persentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS
dengan asal pasien;
2) jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan
jumlah kunjungan SMF spesialis;
3) Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut
di atas dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika bukan angka
standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil
pencatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama,
setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang
bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang terkait.
e. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:
1) pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi;
2) pasien diberi obat salah;
3) tidak ada obat/alat emergensi;
4) tidak ada oksigen;
5) tidak ada suction (penyedot lendir);
6) tidak tersedia alat pemadam kebakaran;
7) pemakaian obat;
8) pemakaian air, listrik, gas, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai