Disusun Oleh:
Diah Ramdan Saputri (20210305005)
Berikut ini merupakan penjabaran secara rinci tentang metode pemberian asuhan
keperawatan profesional. Ada lima metode pemberian asuhan keperawatan
profesional yang sudah ada dan akan terus dikembangkan di masa depan dalam
menghadapi tren pelayanan keperawatan.
1. Fungsional (bukan model MAKP).
Metode fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan
keperawatan sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu,
karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat, maka setiap perawat
hanya melakukan satu atau dua jenis intervensi keperawatan saja (misalnya,
merawat luka) kepada semua pasien di bangsal.
Kelebihan:
a. manajemen klasik yang menekankan efisiensi, pembagian tugas yang jelas dan
pengawasan yang baik;
b. sangat baik untuk rumah sakit yang kekurangan tenaga;
c. perawat senior menyibukkan diri dengan tugas manajerial, sedangkan perawat
pasien diserahkan kepada perawat junior dan/atau belum berpengalaman.
Kelemahan:
a. tidak memberikan kepuasan pada pasien maupun perawat;
b. pelayanan keperawatan terpisah-pisah, tidak dapat menerapkan proses
keperawatan;
c. persepsi perawat cenderung pada tindakan yang berkaitan dengan keterampilan
saja.
2. MAKP Tim.
Metode ini menggunakan tim yang terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan
dibagi menjadi 2–3 tim/grup yang terdiri atas tenaga profesional, teknikal, dan
pembantu dalam satu kelompok kecil yang saling membantu.
Metode ini biasa digunakan pada pelayanan keperawatan di unit rawat inap, unit
rawat jalan, dan unit gawat darurat.
Konsep metode Tim :
a. ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai
teknik kepemimpinan;
b. pentingnya komunikasi yang efektif agar kontinuitas rencana keperawatan
terjamin;
c. anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim;
d. peran kepala ruang penting dalam model tim, model tim akan berhasil bila
didukung oleh kepala ruang.
Kelebihannya:
a. memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh;
b. mendukung pelaksanaan proses keperawatan;
c. memungkinkan komunikasi antartim, sehingga konflik mudah di atasi dan
memberi kepuasan kepada anggota tim.
Kelemahan: komunikasi antaranggota tim terbentuk terutama dalam bentuk
konferensi tim, yang biasanya membutuhkan waktu, yang sulit untuk dilaksanakan
pada waktu-waktu sibuk.
Konsep metode Tim:
a. ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai
a. teknik kepemimpinan;
b. pentingnya komunikasi yang efektif agar kontinuitas rencana keperawatan
c. terjamin;
d. anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim;
e. peran kepala ruang penting dalam model tim, model tim akan berhasil bila
didukung oleh kepala ruang.
2. pengorganisasian:
a. merumuskan metode penugasan yang digunakan;
b. merumuskan tujuan metode penugasan;
c. membuat rincian tugas ketua tim dan anggota tim secara jelas;
d. membuat rentang kendali, kepala ruangan membawahi 2 ketua tim, dan
e. ketua tim membawahi 2–3 perawat;
f. mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan: membuat proses dinas,
g. mengatur tenaga yang ada setiap hari, dan lain-lain;
h. mengatur dan mengendalikan logistik ruangan,
i. mengatur dan mengendalikan situasi tempat praktik;
j. mendelegasikan tugas, saat kepala ruang tidak berada di tempat kepada
k. ketua tim;
l. memberi wewenang kepada tata usaha untuk mengurus administrasi
m. pasien;
n. mengatur penugasan jadwal pos dan pakarnya;
o. identifikasi masalah dan cara penanganannya.
3. pengarahan:
a. memberi pengarahan tentang penugasan kepada ketua tim;
b. memberi pujian kepada anggota tim yang melaksanakan tugas dengan baik;
c. memberi motivasi dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap;
d. menginformasikan hal-hal yang dianggap penting dan berhubungan dengan
asuhan keperawatan pada pasien;
e. melibatkan bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan;
f. membimbing bawahan yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
tugasnya;
g. meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim lain.
4. pengawasan:
a. melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan ketua
tim maupun pelaksana mengenai asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien;
b. melalui supervisi:
1) pengawasan langsung dilakukan dengan cara inspeksi, mengamati sendiri,
atau melalui laporan langsung secara lisan, dan memperbaiki/ mengawasi
kelemahan-kelemahan yang ada saat itu juga;
2) pengawasan tidak langsung, yaitu mengecek daftar hadir ketua tim,
membaca dan memeriksa rencana keperawatan serta catatan yang dibuat
selama dan sesudah proses keperawatan dilaksanakan (didokumentasikan),
mendengar laporan ketua tim tentang pelaksanaan tugas;
3) evaluasi;
4) mengevaluasi upaya pelaksanaan dan membandingkan dengan rencana
keperawatan yang telah disusun bersama ketua tim;
5) audit keperawatan.
3. Metode Perhitungan jumlah tenaga kesehatan
1. Metode Rasio (SK Menkes RI No. 262 Tahun 1979).
Metode penghitungan dengan cara rasio menggunakan jumlah tempat tidur
sebagai pembanding dari kebutuhan perawat yang diperlukan. Metode ini paling
sering digunakan karena sederhana dan mudah. Kelemahan dari metode ini adalah
hanya mengetahui jumlah perawat secara kuantitas tetapi tidak bisa mengetahui
produktivitas perawat di rumah sakit dan kapan tenaga perawat tersebut
dibutuhkan oleh setiap unit di rumah sakit. Metode ini bisa digunakan jika
kemampuan dan sumber daya untuk perencanaan tenaga terbatas, sedangkan jenis,
tipe, dan volume pelayanan kesehatan relatif stabil.
Cara perhitungan ini masih ada yang menggunakan, namun banyak rumah sakit
yang lambat laun meninggalkan cara ini karena adanya beberapa alternatif
perhitungan yang lain yang lebih sesuai dengan kondisi rumah sakit dan
profesional.
2. Metode Need.
Metode ini dihitung berdasarkan kebutuhan menurut beban kerja. Untuk
menghitung kebutuhan tenaga, diperlukan gambaran tentang jenis pelayanan yang
diberikan kepada pasien selama di rumah sakit. Sebagai contoh untuk pasien yang
menjalani rawat jalan, ia akan mendapatkan pelayanan, mulai dari pembelian
karcis, pemeriksaan perawat/dokter, penyuluhan, pemeriksaan laboratorium,
apotek dan sebagainya. Kemudian dihitung standar waktu yang diperlukan agar
pelayanan itu berjalan dengan baik.
a. Hudgins.
Penghitungan kebutuhan tenaga keperawatan di ruang rawat jalan
menggunakan metode dari Hudgins, yaitu menetapkan standar waktu
pelayanan pasien rawat jalan,
b. Douglas.
Untuk pasien rawat inap standar waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai
berikut.
1. Perawatan minimal memerlukan waktu: 1−2 jam/24 jam.
2. Perawatan intermediet memerlukan waktu: 3−4 jam/24 jam.
3. Perawatan maksimal/total memerlukan waktu: 5−6 jam/24 jam.
Penerapan sistem klasifikasi pasien dengan tiga kategori tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Kategori I: perawatan mandiri.
a. Dapat melakukan kebersihan diri sendiri, seperti mandi dan ganti
pakaian.
b. Makan, dan minum dilakukan sendiri.
c. Pengawasan dalam ambulasi atau gerakan.
d. Observasi tanda vital setiap sif.
e. Pengobatan minimal, status psikologi stabil.
f. Persiapan prosedur pengobatan.
2. Kategori II: perawatan intermediate.
a. Dibantu dalam kebersihan diri, makan dan minum, ambulasi.
b. Observasi tanda vital tiap 4 jam.
c. Pengobatan lebih dari satu kali.
d. Pakai kateter Foley.
e. Pasang infus intake-output dicatat.
f. Pengobatan perlu prosedur.
3. Kategori III: perawatan total.
a. Dibantu segala sesuatunya, posisi diatur.
b. Observasi tanda vital tiap 2 jam.
c. Pemakaian slang NG.
d. Terapi intravena.
e. Pemakaian suction.
f. Kondisi gelisah/disorientasi/tidak sadar.
Catatan:
• dilakukan satu kali sehari pada waktu yang sama dan sebaiknya
dilakukan
oleh perawat yang sama selama 22 hari;
• setiap pasien minimal memenuhi 3 kriteria berdasarkan klasifikasi
pasien;
• bila hanya memenuhi satu kriteria maka pasien dikelompokkan pada
klasifikasi di atasnya.
Douglas menetapkan jumlah perawat yang dibutuhkan dalam suatu unit
perawatan berdasarkan klasifikasi pasien, di mana masing-masing kategori
mempunyai nilai standar per sif,
3.Metode Demand.
Cara demand adalah perhitungan jumlah tenaga menurut kegiatan yang memang
nyata dilakukan oleh perawat. Setiap pasien yang masuk ruang gawat darurat
dibutuhkan waktu sebagai berikut:
a. Untuk kasus gawat darurat
b. Untuk kasus mendesak
c. Untuk kasus tidak mendesak
Hasil penelitian di RS Provinsi di Filipina, menghasilkan data sebagaimana
tercantum dalam tabel
Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan struktur,
proses, dan outcome sistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga
dapat dikaji dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu
pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Secara umum aspek penilaian meliputi evaluasi,
dokumen, instrumen, audit (EDIA).
2. Aspek struktur (input).
Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi M1
(tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana),
M5 (pemasaran), dan lainnya. Ada sebuah asumsi yang menyatakan bahwa jika
struktur sistem RS tertata dengan baik akan lebih menjamin mutu pelayanan.
Kualitas struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya (efisiensi),
dan mutu dari masing-masing komponen struktur.
2. Proses.
Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang
mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini diukur antara
lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien, penegakan diagnosis,
rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan
prosedur pengobatan.
3. Outcome.
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain
terhadap pasien.
a. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:
1) angka infeksi nosokomial: 1–2%;
2) angka kematian kasar: 3–4%;
3) kematian pascabedah: 1–2%;
4) kematian ibu melahirkan: 1–2%;
5) kematian bayi baru lahir: 20/1.000;
6) NDR (Net Death Rate): 2,5%;
7) ADR (Anesthesia Death Rate) maksimal 1/5.000;
8) PODR (Post-Operation Death Rate): 1%;
9) POIR (Post-Operative Infection Rate): 1%.
b. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS:
biaya per unit untuk rawat jalan;
1) jumlah penderita yang mengalami dekubitus;
2) jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur;
3) BOR: 70–85%;
4) BTO (Bed Turn Over): 5–45 hari atau 40–50 kali per satu tempat
tidur/tahun;
5) TOI (Turn Over Interval): 1–3 hari TT yang kosong;
6) LOS (Length of Stay): 7–10 hari (komplikasi, infeksi nosokomial; gawat
darurat; tingkat kontaminasi dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan
pasien);
7) normal tissue removal rate: 10%.
c. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan
jumlah keluhan dari pasien/keluarganya, surat pembaca di koran, surat kaleng,
surat masuk di kotak saran, dan lainnya.
d. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:
1) jumlah dan persentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS
dengan asal pasien;
2) jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan
jumlah kunjungan SMF spesialis;
3) Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut
di atas dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika bukan angka
standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil
pencatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama,
setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang
bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang terkait.
e. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:
1) pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi;
2) pasien diberi obat salah;
3) tidak ada obat/alat emergensi;
4) tidak ada oksigen;
5) tidak ada suction (penyedot lendir);
6) tidak tersedia alat pemadam kebakaran;
7) pemakaian obat;
8) pemakaian air, listrik, gas, dan lain-lain.