Anda di halaman 1dari 8

Aspergilus Mengendalikan Fusarium

Muhammad Dede Erlangga


1910517310008
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN...................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
KESIMPULAN.......................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 6

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat
mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin pada bahan pangan dan pakan.
Verma (2004) menyatakan bahwa kuantitas mikotoksin yaitu aflatoksin lebih tinggi
dijumpai pada komoditas yang berasal dari negara subtropis dan tropis yang kondisi
lingkungannya lebih cocok untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin.
Mikotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh fungi. Biji palawija seperti kacang
tanah, jagung, dan kedelai dapat menjadi substrat bagi jamur toksigenik penghasil
mikotoksin. Spesies utama jamur pengkontaminasi biji-bijian antara lain Aspergillus
flavus, A. oryzae, A. ochraceus, A. tamarii, Penicillium puberulum, P. citrinum, P.
italicum, P. chrysogenum, P. expansum, A. wentii, Alternaria alternata, A. melleus, A.
terreus, dan A. niger mampu memproduksi mikotoksin (Pitt dan Hocking, 1997; Ganjar
et al., 2006). Salah satu mikotoksin yaitu aflatoksin bersifat karsinogenik dan sangat
beracun. Aflatoksin diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. Parasiticus sedangkan
rubratoksin diproduksi oleh Penicillium rubrum, zearelenon diproduksi oleh Fusarium
graminearum (Abbas, 2005; Ganjar et al., 2006). Jamur lain penghasil mikotoksin adalah
Fusarium moniliforme, jamur ini mengeluarkan fumonisin B1, asam fusarat, fusarin C,
dan moniliformin yang juga bersifat karsinogenik (Abbas, 2005)
Mengingat kerugian dan bahaya aflatoksin dan fumonisin pada biji-bijian, maka
perlu dilakukan pengendalian dengan mengurangi pertumbuhan jamur penghasil
mikotoksin tersebut. Pengendalian dilakukan dengan pencucian yang diikuti dengan
pengeringan, untuk mengurangi jumlah jamur sehingga mengurangi toksin yang telah
terbentuk. Pengendalian lainnya adalah dengan bahan kimia, namun bahan kimia dapat
menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan (Maryam, 2006). Oleh
karena itu perlu adanya penelitian tentang bahan alami yang tidak berbahaya dalam
mengurangi cemaran dari mikotoksin.
Berberapa bahan alami dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan jamur
diantaranya adalah ekstrak etanol kunyit Curcuma domestica memiliki aktivitas antifungi
2
terhadap Alternaria porri secara in vitro (Nurhayati et al., 2008). Penghambatan ekstrak
rimpang lengkuas (Alpinia galanga) terhadap Aspergillus spp. dan F. moniliforme
(Handajani dan Purwoko, 2008). Ekstrak metanol daun salam (Eugenia polyantha) dan
daun jeruk purut (Citrus histrix) dapat menurunkan jumlah konidia dan berat hifa
terhadap jamur Fusarium oxysporum (Noveriza dan Miftakhurohmah, 2010). Ekstrak
rimpang kunyit yang mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, sterol/triterpenoid,
minyak atsiri dan tanin dapat menghambat pertumbuhan Salmonella typhimurium.
(Sunanti, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Fardiaz (1992), klasifikasi dari Aspergillus sp adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi ; Divisi : Amastigomycota ; Kelas : Deutromycetes ; Ordo : Moniliales ;
Famili : Moniliaceae ; Genus : Aspergillus ; Spesies : Aspergillus sp.
Menurut Sukma (2010), miselia kapang Aspergillus sp. mulai tumbuh pada hari
ke dua inkubasi berupa koloni-koloni kecil yang menyebar pada permukaan media
berwarna putih kekuningan. Miselia membentuk koloni lebih luas dan kompak serta
berwarna cokelat krem pada hari ke enam. Sumanti dkk., (2003) menyatakan spora
Aspergillus sp. berukuran kecil dan ringan, tahan terhadap keadaan kering, memiliki sel
kaki yang tidak begitu jelas terlihat, memiliki konidia spora non septa dan membesar
menjadi vesikel pada ujungnya dan membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia.
Konidia dari Aspergillus sp. memiliki ukuran diameter 1,5 – 2,4 μm, berdinding
halus, berbentuk panjang hingga elips dan striate. Secara mikrokopis, konidiofor
biasanya panjang, kolumnar, tidak berwarna (hialin) dan halus sehingga menimbulkan
vesikel bulat biseriate (Balajee, 2009).
Aspergillus sp. memiliki kemampuan untuk memproduksi aksesoris konidia
(aleuroconidia) yang tumbuh tunggal dari hifa. Permukaan aleuroconidia mulus tanpa
struktur yang berbentuk batang atau tonjolan yang jelas. Percobaan in vitro yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa aleuroconidia dapat dengan mudah terlepas dari hifa.
Kemampuan aleuroconidia untuk berkecambah dengan cepat ke dalam jaringan hifa
invasif dapat menjadi faktor yang mematikan Aspergillus sp, selain dari konidia istirahat
dan perkecambahan yang selanjutnya sangat penting untuk pembentukan infeksi (Deak
dkk., 2009).
Pengendalian dengan memanfaatkan agen hayati merupakan bagian dari
pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu telah disarankan sebagai solusi jangka
panjang yang paling baik (Bateman, 2002). Salah satu agen hayati yang potensial untuk
dikembangkan ialah fungi. Berbagai jenis fungi dapat dikembangkan sebagai agen
pengendali hayati, salah satunya fungi endofit. Fungi endofit merupakan kelompok fungi
yang dapat berasosiasi dengan berbagai jaringan dan organ tanaman, infeksi yang
terjadi tidak terlihat dan tanaman tidak menunjukkan gejala terinfeksi serta tidak
menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu (Stone dkk., 2000 ; Saikkonen, 1998).
Fungi endofit dapat memberikan keuntungan bagi tanaman dengan membantu
4
pertumbuhan tanaman inang (Dai dkk., 2008), melindungi tanaman dari hama dan
penyakit (Mejia dkk., 2008 ; Vega dkk., 2008), dan meningkatkan resistensi tanaman dari
berbagai jenis cekaman (Lewis, 2004).
Berbagai penelitian menunjukkan fungi endofit berpotensi sebagai agen hayati
untuk mengendalikan berbagai jenis patogen, diantaranya terhadap Colletotrichum
falcatum spp. (Prince dkk., 2011), Pythium spp. (Jeyaseelan, 2012 and Ambikapathy,
2011; Mishra dkk., 2010), dan Moniliophthora spp (Meija dkk., 2008). Di antara fungi
endofit yang saat ini paling banyak dipelajari dan dikembangkan sebagai agen hayati
ialah dari kelompok Trichoderma (Harman dkk., 2004). Kelompok fungi ini bahkan sudah
banyak diproduksi secara komersial. Trichoderma spp. merupakan jenis fungi yang
aktivitas antagonisnya telah banyak dipelajari, sedangkan Aspergillus spp. masih sedikit.
Namun demikian sebagian besar masih bersifat spesifik untuk jenis patogen tertentu
dan kondisi lingkungan tertentu. Untuk itu upaya pengembangan fungi endofit yang
efektif untuk kondisi lingkungan dan jenis patogen yang lebih luas perlu terus dilakukan.

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan pada makalah ini sebagai berikut:

1. Aspergillus adalah genus yang terdiri dari beberapa ratus spesies kapang yang
ditemukan di berbagai iklim diseluruh dunia.
2. Fusarium adalah salah satu genus cendawan berfilamen yang banyak ditemukan
pada tanaman dan tanah.
3.
4. Fusarium adalah salah satu genus cendawan berfilamen yang banyak
ditemukan pada tanaman dan tanah

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, K.H. 2005. Aflatoksin and Food Safety. CRC Press: 149.
Cappucino, J.G dan Sherman, N. 1996. Microbiology: A Laboratory Manual. 4th Ed.
Addison-Wesley Publishing Company. hlm 254-255.
Dharmaputra, O.S. 2003. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Perusak Pascapanen. Bogor:
IPB.
Gandjar, I., Sjamsuridzal, W., dan Oetari, A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia.
Ginting, R. G. 2008. Aktivitas mikroba ekstrak daun kembu-kembu (Callicarpa candicans
Burm.f.) dan rinting bulung

Anda mungkin juga menyukai