Anda di halaman 1dari 6

1.

A.

 Modal Eksternal

Sumber modal eksternal adalah sumber modal yang diperoleh dari luar perusahaan atau dana
yang didapat dari para kreditur atau para pemegang saham.

Dengan adanya keterbatasan yang ada pada modal internal, membuat modal eksternal penting
karena sifatnya tidak terbatas. Umumnya, modal eksternal ini bisa didapat dari pinjaman bank,
koperasi atau sumber lainnya. Modal juga bisa didapat dari para investor yang menanamkan
dananya pada perusahaan. Contoh lain dari modal eksternal adalah utang dagang, gaji karyawan
yang belum terbayar, dll.

 Modal Internal

Sumber modal internal adalah modal yang diperoleh dari kekayaan seseorang atau perusahaan
tersebut yang biasanya didapat dari hasil penjualan. Perlu diketahui bahwa modal internal ini
akan sulit untuk mengembangkan bisnis karena sifatnya yang juga terbatas dan akan terasa sulit
untuk mengalami peningkatan yang signifikan.

Beberapa contoh modal internal adalah gedung, saham, kendaraan, laba yang diinvestasikan
kembali, dll.

B.

Sumber-sumber Dana jangka panjang

 Penerbitan Saham

Saham adalah surat berharga atau sekuritas yang merupakan penyertaan modal pada sebuah
perusahaan. Perusahaan bisa menerbitkan saham, kemudian saham tersebut dibeli oleh
investor, pembeli tersebut otomatis akan menjadi bagian dari pemilik perusahaan.

Dana hasil penjualan saham itulah yang nanti akan menjadi sumber keuangan perusahaan.

Bertambahnya pemilik perusahaan berarti struktur modal perusahaan juga akan berubah.
Struktur modal perusahaan akan berubah sesuai dengan persentase kepemilikan saham baik
pemilik baru atau pemilik lama.

Penerbitan saham berarti mengajak orang lain "join" berbisnis dengan perusahaan. Tidak utang.
Jadi tidak ada kewajiban perusahaan untuk melunasi dan membayar bunga seperti pendanaan
dari utang.
Karena join usaha ini, maka laba yang dihasilkan akan dibagikan kepada pemegang saham secara
adil melalui pembagian dividen (jika dibagikan). Pemegang saham berhak mendapatkan bagian
laba perusahaan. Selain itu, pemegang saham bisa menjual saham tersebut kembali ke pasar
modal dan berharap bisa mendapatkan capital gain atau selisih harga jual yang lebih tinggi dari
harga beli saham.

 Laba Ditahan

Laba ditahan bisa menjadi opsi alternatif dalam mendapatkan sumber dana jangka panjang
perusahaan. Laba ditahan merupakan sumber dana jangka panjang yang berasal dari internal
perusahaan.

Laba ditahan adalah bagian atau seluruh laba yang dihasilkan perusahaan diperiode sebelumnya
yang digunakan kembali untuk membiayai kebutuhan perusahaan.

Laba ditahan bisa dipilih apabila manajemen dan pemegang saham tidak menginginkan
perusahaan tersebut mengadakan utang ataupun menambah saham baru.

Laba ditahan dalam jumlah yang besar bisa digunakan untuk aktivitas investasi perusahaan
dalam jangka panjang. Atau paling tidak laba ditahan bisa mengurangi dana yang dibutuhkan
untuk melakukan kegiatan jangka panjang perusahaan. Sehingga kebutuhan dana dari sumber
pendanaan yang lain tidak terlalu besar.

Sumber-sumber dana jangka panjang

 Utang Dagang

Utang dagang muncul karena adanya perusahaan yang membeli stok bahan baku atau barang
kepada supplier dengan sistem kredit.

Jika tidak membeli secara kredit, maka sejak tanggal tersebut perusahaan bakal berutang kepada
supplier. Biasanya, utang dagang harus dilunasi tidak melebihi waktu satu tahun.

Selain itu, utang dagang juga memiliki biaya tersendiri. Perusahaan yang membeli barang secara
kredit akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari pasaran, tidak memperoleh diskon, dan
dikenakan bunga jika pembayaran telat.

 Utang Pajak
Utang pajak muncul karena adanya aktivitas atau kegiatan perusahaan yang memperoleh
laba/pendapatan, kemudian harus dibayar pada periode tertentu.

Secara otomatis, utang pajak bakal muncul saat perusahaan telah berhasil menjual dan
memperoleh laba. Besar atau kecilnya nominal tersebut, tergantung dari seberapa besar
penjualan yang dilakukan.

2.)

Lingkungan Internal “Internal Environment”

Proses pertama ini berkaitan dengan lingkungan perusahaan beroperasi, mulai dari risk-management
philosophy, integrity, risk-perspective, risk- appetite “penerimaan risiko”, ethical values, struktur
organisasi, hingga pendelegasian wewenang yang dilakukan oleh perusahaan.

Penentuan Sasaran “Objective Setting”

Langkah selanjutnya ialah penentuan tujuan dari organisasi agar risiko dapat didentifikasi, diakses dan
dikelola sesuai dengan tujuan tersebut. Objective ini bisa kita klasifikasikan menjadi dua yaitu strategic
objective yang berfokus pada perwujudan visi misi dan activity objective bertujuan pada aktivitas seperti
operasi, reportasi dan kompliansi.

Identifikasi Peristiwa “Event Identification”

Berikutnya ialah mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial yang mempengaruhi strategi atau


pencapaian tujuan dari organisasi, kejadian tidak pasti tersebut bisa berdampak positif “opportunities”,
namun dapat pula sebaliknya yang lebih sering kita sebut sebagai risiko “risks”.

Penilaian Risiko “Risk Assessment”

Langkah ini menilai sejauh mana kejadian atau keadaan tadi dapat mengganggu pencapian tujuan.
Besarnya dampak dapat dianalisis melalui dua perspektif yaitu: likelihood “kecenderungan atau
peluang” dan impact/consequence “besaran dari terealisirnya risiko”.

Tanggapan Risiko “Risk Response”

Setelah itu organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Tanggapan ini dapat berupa
menghindari “avoidance” risiko, mengurangi “reduction” risiko, memindahkan “sharing” risiko dan
menerima “acceptance” risiko, tergantung dengan risiko yang dihadapi.

Aktivitas Pengendalian “Control Activities”


Proses ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur untuk menjamin
risk response terlaksana dengan efektif. Aktifitas pengendalian ini berupa pembuatan kebijakan dan
prosedur, pengamanan kekayaan organisasi, delegasi wewenang dan pemisahan fungsi dan supervisi
atasan.

Informasi Dan Komunikasi “Information anda Communication”

Fokus dari langkah ini ialah menyampaikan informasi yang relevan kepada pihak terkait melalui media
komunikasi yang sesuai dan tepat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi
dan komunikasi ialah kualitas informasi, arah komunikasi dan alat komunikasi.

Pemantauan “Monitoring”

Langkah terakhir ialah monitoring. Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus “ongoing”
maupun terpisah “separate evaluation”. Pada proses monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti
reporting deficiencies yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan “tidak relevan”

3.)

1. Adanya fraud atau kecurangan

Alasan utama dari beberapa BPR yang kena likuidasi ini karena adanya fraud atau kecurangan dalam
sistem manajemn Bank Perkreditan Rakyat tersebut. Biasanya kecurangan ini bisa berasal dari salah satu
manajemen saja ataupun dari semua manajemen yang mengatur BPR tersebut.

Sebelum sebuah Bank Perkreditan Rakyat di buka pasti pemilik akan di beri tahu mengenai GCG (Good
Cooporate Governance). GCG merupakan sistem tata peraturan sebuah bank yang harus di terapkan
agar bank tersebut bisa berjalan dengan lancar dan tidak ada kesalahan di dalamnya. Namun BPR yang
terlibat fraud ini biasanya tidak mengindahkan perihal GCG yang sudah di beritahukan.

Alhasil sistem manajemen di dalam bank menjadi tidak teratur dan cenderung berantakan karena tidak
adanya sistem GCG dalam perusahaan. Hal ini juga sesuai dengan yang di katakan oleh Budi Armanto
selaku Pengawas Perbankan II OJK yaitu, “Tidak adanya penerapan GCG dan manajemen risiko
membuat banyak BPR melakukan kecurangan atau fraud sehingga banyak BPR yang ditutup operasinya,”

Fraud yang terjadi di sistem manajemen BPR bisa mengakibatkan penurunan aset perusahaan hingga
perusahaan tersebut gulung tikar karena tidak bisa membayar pajak yang sudah di tetapkan.

Contohnya seperti BPR Dana Niaga Mandiri yang asetnya sempat turun drastis dari angka Rp. 26,78
Milyar menjadi Rp. 17,28 Milyar.
Hal serupa juga dialami oleh BPRS Al Hidayah yang semula aset perusahaannya di angka Rp. 22,81 Milyar
turun sangat tajam mencapai angka Rp. 5,71 Milyar. Dari data ini bisa diambil kesimpulan jika fraud
memang bisa sangat berbahaya untuk berdirinya sebuah perusahaan.

2. Kalah dalam persaingan

Selain karena fraud, faktor lain yang bisa menyebabkan sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dilikuidasi
karena kalah dalam persaingan. Di Indonesia ada banyak sekali BPR yang sudah berdiri dan saling
bersaing. Dimana persaingan ini bisa sangat ketat antar bank mengingat penggunanya juga semakin
meningkat.

Bahkan Bank Perkreditan Rakyat tidak hanya harus bersaing dengan sesama BPR namun juga harus
bersaing dengan bank umum yang ada di Indonesia. Besaran bunga bank dan fasilitas yang disediakan
oleh bank tersebut menjadi hal yang sangat penting. Apabila perusahaan mengabaikan fasilitas yang
akan mereka tawarkan untuk nasabah maka BPR jenis ini harus siap gulung tikar.

Biasanya ketika sebuah BPR sudah kalah dalam bersaing maka bank ini tidak bisa mengembalikan dana
nasabah yang sudah masuk ke perusahaannya. Bisa jadi dana nasabah yang sudah masuk habis untuk
biaya operasional perusahaan namun tidak ada investor yang tertarik untuk menanam saham di dalam
bank tersebut. Alhasil BPR tadi akan dilikuidasi dari daftar BPR yang ada

3. Tidak mampu membayar pajak yang ada

Sebelum sebuah BPR didirikan maka akan di evaluasi atau di cek terlebih dahulu oleh OJK dan juga LPS.
Dimana pengecekan ini bertujuan untuk melihat apakah BPR yang akan di buat bisa membayar pajak
yang di tetapkan. Sehingga tidak sembarang pihak bisa membuat sebuah Bank Pekreditan Rakyat.

Harus ada modal awal yang dimiliki seseorang untuk bisa membuat sebuah BPR nantinya. Setelah BPR di
buat maka pemilik harus bisa mengatur manajemen bank tadi dengan sebaik mungkin. Karena jika BPR
tidak mampu membayar pajak yang sudah di tetapkan sebelumnya maka OJK ataupun LPS berhak
menutup BPR tersebut.

Nah itu tadi beberapa alasan mengapa saat ini banyak BPR di Indonesia yang dilikuidasi baik oleh OJK
atupun oleh LPS. Namun diantara alasan-alasan tersebut alasan yang paling utama dari hilangnya
sebuah BPR di Indonesia adalah adanya fraud di perusahaannya. Fraud ini bisa di sebabkan oleh pemilik,
staff, maupun jajaran direksi yang ada di Bank Perkreditan Rakyat tersebut.

“Tidak adanya penerapan GCG dan manajemen risiko membuat banyak BPR melakukan kecurangan atau
fraud sehingga banyak BPR yang ditutup operasinya,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II
OJK, Budi Armanto.

Menurut Ketua Umum Perbarindo, Joko Suyanto, penerapan GCG dan manajemen risiko yang baik tidak
hanya menghindarkan BPR dari potensi fraud, tapi juga dapat meningkatkan kinerja keuangan BPR.
Penerapan tata kelola penting dilakukan karena risiko dan tantangan yang dihadapi BPR tak hanya
berasal dari eksternal, tapi juga internal BPR itu sendiri.

Selain itu, penerapan GCG sangat diperlukan agar perbankan dapat bertahan dan tangguh dalam
menghadapi persaingan yang makin ketat serta dapat menerapkan etika bisnis sehingga dapat
mewujudkan iklim usaha yang sehat dan transparan.

Penerapan praktik GCG dan manajemen risiko tak sebatas tuntutan regulasi, tapi sudah menjadi
kebutuhan yang mendesak terhadap perkembangan BPR pada masa yang akan datang. “Komitmen BPR
terhadap penerapan GCG akan menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi. Tanpa
didukung praktik GCG, BPR berpotensi menjadi tidak sehat,” tegas Joko.(*) Happy Fajrian

Sumber : https://www.google.com/amp/s/infobanknews.com/topnews/dibalik/amp/

https://www.google.com/amp/s/www.simulasikredit.com/amp/inilah-alasan-mengapa-banyak-bpr-
dilikuidasi/

Anda mungkin juga menyukai