Anda di halaman 1dari 17

Internalisasi

Pengertian Internalisasi
Internalisasi adalah proses karena melibatkan perubahan dan waktu. Proses penanaman nilai
membutuhkan waktu, berlangsung, dan tahan lama sehingga seseorang menerima nilai-nilai
yang telah ditanamkan dalam dirinya dan akan memunculkan tindakan berdasarkan nilai yang
diterimanya. Hal ini menunjukkan pergeseran perilaku orang tersebut dari tidak memiliki
nilai tersebut menjadi memilikinya, atau dari memilikinya tetapi lemah dalam mempengaruhi
perilakunya menjadi memilikinya lebih kuat mempengaruhi perilakunya [1]
Internalisasi dapat diartikan sebagai “pendalaman, pengahyatan terhada suatu ajaran,
dokrint atau nilai sehingga merupakan keyakinan atau kesadaran akan kebenaran suatu
dokrint atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan juga perilaku internalisasi pada
hakikatnya sebuah proses dari menanamkan sesuatu yakni merupakan suatu proses dari
memasukan suatu nilai pada seseorang yang akan membentuk pola pikir dalam melihat
makna dari realitas pengalaman tersebut [2]
Internalisasi dapat dibaca sebagai kekaguman, tetapi juga dapat diartikan sebagai
pengembangan prinsip moral yang terjadi selama anak berada di sekolah. Dengan
internalisasi, diyakini anak-anak sudah terbiasa dengan semua kegiatan baik yang diberikan
di sekolah. Pengajar menggunakan pendekatan internalisasi dengan tujuan mengembangkan
kepribadian yang kuat dan akhlak mulia pada siswa tersebut.[2]
Maka dari hal itu dapat disintesiskan internalisasi merupakan suatu proses pemasukan
dari nilai-nilai dalam masyarakat, yang melalui pelembagaannya tidak berhenti, tetapi nilai-
nilai tersebut diklasifikasikan ke dalam pikiran anggota masyarakat. Dalam internalisasi
memerlukan Proses penanaman nilai membutuhkan waktu dan usaha yang konsisten agar
seseorang dapat merangkul nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam dirinya dan menunjukkan
perilaku yang sesuai dengan nilai yang dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa diri seseorang
berubah dari tidak memiliki nilai tersebut menjadi memilikinya, atau dari memilikinya tetapi
lemah dalam mempengaruhi perilakunya menjadi memiliki nilai-nilai tersebut lebih kuat
mempengaruhi perilakunya.

Nilai nilai budaya meningkatkan karakter


Nilai adalah standar normatif yang mempengaruhi manusia ketika membuat keputusan di
antara berbagai alternatif tindakan. Menurut Kluckhon, nilai adalah suatu konsepsi (tersurat
atau tersirat, yang membedakan karakteristik individu atau kelompok) dari apa yang
diinginkan, yang mempengaruhi tindakan pilihan pada perspektif. Nilai diwujudkan dalam
bentuk norma, yang digunakan manusia sebagai pedoman dalam bertindak. Nilai juga
berfungsi sebagai motivator, dan orang-orang adalah pendukung nilai mereka. Karena
manusia bertindak, mereka dimotivasi oleh cita-cita yang mereka junjung tinggi [3]
Nilai-nilai budaya adalah cita-cita masyarakat yang ada dan tumbuh. Karena budaya
atau tradisi yang ideal memiliki nilai budaya tingkat pertama. Nilai-nilai budaya adalah
lapisan yang paling tidak termanifestasi, dan ruangnya sangat luas. Jadi nilai budaya adalah
sesuatu yang memiliki banyak pengaruh dan dimanfaatkan sebagai pedoman atau acuan bagi
suatu kelompok masyarakat tertentu. [3]. Dari beberapa pengertian diatas maka dapat
disintesiskan menjadi Nilai-nilai budaya merupakan lapisan yang paling abstrak, dan
cakupannya yang luas memberikan gagasan tentang konsep hal-hal yang bernilai dalam
kehidupan. Tingkat ini kadang-kadang disebut sebagai nilai budaya sistem. Istilah ini juga
menunjukkan bahwa budaya mencakup pengelompokan sosial yang membentuk dan
mengembangkan struktur masyarakat yang ada.
Dalam nilai nilai budaya pendidikan karakter ada dua dimensi yang dapat ditinjau
yaitu: Nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan interaksi manusia-ke-manusia Salah satu
nilai budaya yang disarankan dalam budaya Jawa adalah pentingnya interaksi manusia
dengan individu lain. Karena itu akan menghasilkan kekayaan yang tersebar luas. Selain itu,
kedamaian dan ketenangan akan terwujud. Tapi itu semua bermuara pada ketulusan, baik
lahiriah maupun batiniah. Orang lain seharusnya tidak diharapkan untuk memberikan
penghargaan atau bantuan serupa. Yang kedua adalah : Nilai-nilai budaya yang terkait
dengan hubungan manusia dengan sumber daya alam memiliki konsep pemberdayaan sumber
daya alam melalui pengelolaan sumber daya alam di sekitar kita. Sumber daya alam
merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kepentingan dan
kebutuhan manusia dalam rangka menjalani kehidupan yang lebih sejahtera [4]

Hakikat Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter adalah suatu jenis kegiatan manusia yang di dalamnya dilakukan
suatu tindakan yang mendidik dan ditujukan untuk generasi yang akan datang. Di sisi lain,
pendidikan karakter merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan di setiap jenjang sekolah.
Hal ini sangat beralasan karena pendidikan adalah pondasi utama bagi tumbuh kembang
generasi muda Indonesia Pendidikan karakter adalah suatu jenis kegiatan manusia yang di
dalamnya dilakukan suatu tindakan yang mendidik dan ditujukan untuk generasi yang akan
datang. [5]
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk secara terus menerus membangun
pengembangan diri individu dan melatih keterampilan untuk tujuan menuju keberadaan yang
lebih positif. Pendidikan karakter adalah struktur antropologis manusia, di mana manusia
hidup bebas dan hidup dalam batas-batasnya. Dalam hal ini, karakter bukan sekedar tindakan,
melainkan hasil dan proses. Untuk itu, seseorang harus lebih sadar akan kebebasannya,
sehingga dapat bertanggung jawab atas tindakannya, untuk dirinya sendiri atau untuk
perkembangannya kepada orang lain dan kehidupannya. milik mereka. Pengembangan nilai-
nilai kepribadian dan karakter dalam diri sendiri. Baik gen maupun lingkungan berdampak
pada anak. Tingkah laku seorang anak sering kali mirip dengan ayah dan ibunya. Lingkungan
sosial dan lingkungan sama-sama berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Seorang
anak muda yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang keras, seperti daerah perkotaan yang
sangat padat, lebih cenderung menjadi antisosial, berisik, emosional, dan sebagainya.
Sebaliknya, anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang gersang, panas, dan terpencil,
memiliki temperamen yang berapi-api [6]
Pendidikan karakter diintegrasikan dalam sebuah pendidikan formal, informal dan
non formal diharapkan mampu mengatasi krisis karakter bangsa. Hal ini dikuatkan oleh
amanat pendidikan nasional pasal 1 UU 20 Th 2003 disebutkan salah satu tujuan nya ialah
mengembangkan potensi peserta didik dalam memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak
mulia. Maka dapat diartikan bahwa pendidikan tidak hanya membuat tiap individu cerdas
secara intelektual melainkan juga mempunyai kepribadian karakter yang sesuai dengan nilai-
nilai bangsa Dalam hal pendidikan karakter, negara Indonesia membutuhkan sejumlah besar
sumber daya manusia (SDM) berkualitas tinggi untuk memungkinkan keberhasilan
pelaksanaan inisiatif pembangunan. Di sinilah pendidikan yang berkualitas diperlukan untuk
mendorong tercapainya cita-cita bangsa yang memiliki sumber daya yang berkualitas,
khususnya dalam membahas sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat
keterkaitannya dengan pendidikan, yang pada awalnya dinilai adalah seberapa tinggi nilai
yang sering diperolehnya, dengan kata lain kualitas dikuantifikasi. Akibatnya, tidak disangka
lembaga pendidikan terkadang melakukan kecurangan dan manipulasi untuk mencapai
tujuannya [7]
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan terutama di sekolah, dapat
dilakukan melalui empat cara, yaitu: (1) pembelajaran (teaching), (2) keteladanan (modeling),
(3) penguatan (reinforcing), dan (4) pembiasaan (habituating) secara serentak dan
berkelanjutan.[8] Hal ini dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter merupakan nilai
dasar yang bersumber pada kebajikan suatu hal cara berfikir manusia itu sendiri yang menjadi
rancangan secara sistematis untuk dapat memahami nilai-nilai perilaku yang sesuai dengan
kehidupan bangsa
Definisi Pendidikan karakter

Menanamkan kualitas karakter pada anak-anak memerlukan penggunaan metodologi


instruksional serta keahlian. Oleh karena itu, sekolah harus memahami kualitas karakter yang
akan ditanamkan pada anak. Teknik penanaman nilai karakter dapat dilakukan melalui
pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Pendidikan karakter pada hakikatnya
adalah upaya untuk menginternalisasi masa kini dan membangun nilai-nilai positif pada anak.
Upaya untuk menanamkan kebajikan pada anak-anak diharapkan akan menghasilkan perilaku
positif bagi siswa [9]. Tujuan pendidikan karakter akan sangat terbantu dengan membiasakan
dan melatih karakter yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari
Pendidikan karakter didefiniskan sebagai pendidikan yang memiliki nilai, budi
pekerti, moral, watak dan bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
mengambil kepitusan yang baik serta mampu memelihara dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-harinya dengan seganap hati (Kementrian Pendidikan Nasional,
2010). Pendidikan karakter adalah upaya bersama untuk membantu individu memahami,
peduli, dan bertindak berdasarkan cita-cita etis yang esensial. Pembangunan karakter
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD
1945, yang dilatarbelakangi oleh realitas problematika kebangsaan yang sedang berkembang
saat ini, seperti: disorientasi dan gagal menghayati nilai-nilai Pancasila secara utuh. ,
memudarnya kesadaran akan nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa,
memudarnya kemandirian bangsa, dan sebagainya. Mengingat pentingnya pendidikan
karakter. [5]
Thomas Lickona (2013) juga menegaskan bahwa pendidikan karakter ialah sebuah
kewajiban dan menjadi awal kebangkitan karakter. Karena fungsi pendidikan sendiri menurut
Academic Duty, karya Donald Kennedy (1999), adalah: to teach, to mentor, to discover, to
publish,to reach beyond the wall, to change, to tell the truth, to inform, dan character
building. Pengenalan terhadap potensi diri dan komitmennya terhadap nilai-nilai menjadi
sebuah dasar pembentukan karakter yang memiliki arti kecendrungan psikologis yang
membentuk keprobadian bermoral [5]
Dari uraian diatas dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter sebuah esensi nilai
yang didalamnya menerapkan moral individu yang terbentuk dengan baik sehingga
mengedepankan bagaimana karakter tersebut terjadi.
1. Nilai-nilai pendidikan karakter
Esensi nilai-nilai bersumber, sebagai berikut:

a. Agama Masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat yang taat.


Selanjutnya, setiap perkembangan dan perilaku masyarakat senantiasa dilandasi
oleh pelajaran dan keyakinan yang teguh. Memang dalam kehidupan bernegara
didasarkan pada nilai-nilai yang dianut dalam agama. Dengan renungan
tersebut, nilai-nilai pendidikan sosial dan karakter bangsa harus dilandasi nilai-
nilai ketaqwaan.

b. Pancasila Dalam lingkungan Indonesia, karakter harus dilandasi rasa cinta dan
bangga terhadap negara dan negara dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilarnya. Tiang-tiang karakter bangsa yang
harus dibangun dan menjadi tugas didikan dalam upaya menanamkan jiwa
patriotisme dan karakter bangsa dapat dilihat dari nilai-nilai yang terangkum
dalam penjabaran Pancasila. Nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila
sebagaimana diungkapkan oleh Anwar (2010:4) adalah: (1) Penghormatan
terhadap kualitas yang luar biasa, khususnya menyadari bahwa manusia adalah
manifestasi Tuhan. (2) Penghormatan humanisasi, bahwa setiap manusia pada
dasarnya dibangkitkan di mata Tuhan tetapi untuk informasi dan pengabdian
yang mengakui mereka. Manusia dijadikan sebagai subjek yang memiliki
potensi. (3) Nilai kualitas yang berbeda, khususnya kesadaran bahwa ada
banyak kontras di dunia, tetapi mampu membutuhkan kesamaan untuk
mengembangkan kualitas. (Tujuan Pendidikan Nasional Tujuan pendidikan
nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki oleh setiap
warga masyarakat Indonesia. Oleh karena itu tujuan pendidikan nasional
merupakan sumber nilai dalam pengembangan pendidikan budaya bangsa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan karakter


Proses pendidikan karakter berhasil atau tidaknya dipengaruhi oleh beberapa
faktor
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan karakter sebagai
berikut:
1) Insting (naluri)
Merupakan sikap/tabiat yang sudah ada sejak manusia dilahirkan
2) Adat (Kebiasaan)
Merupakan perilaku yang sama dilakukan secara terus-menerus hingga
menjadi sebuah kebiasaan
3) Keturunan (Heredity)
Sifat-sifat anak sebagian besar merupakan panutan dari sifat-sifat orang tua
4) Lingkungan (Milieu)
Merupakan segala sesuatu yang mengelilingi manusia hidup baik berupa
lingkungan alam atau lingkungan pergaulan itu sendiri.
Dari hal tersebut terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi karakter
berasal dari beberapa hal. Termasuk lingkungan sekolah. Selain itu dalam
penelitian [10] melalui jurnal ilmiah Widya, faktor-faktor disiplin yang
pentinguntuk diperhatikan yaitu kesadaran, keteladanan, dan penegakan peraturan.
Berdasarkan pendapat diatas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam pendidikan karakter antara lain berupa insting/naluri manusia yang ada sejak
ia dilahirkan, ada faktor kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang,
selanjutnya ada faktor keturunan yang mewarisi sifat dari orang tua kepada
anaknya dan faktor lingkungan yang ada di alam maupun lingkungan pergaulan.
Semua 20 faktor tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi dalam
segala sifat dan tindakan manusia dalam kehidupa sehari-hari
Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah cara hidup dan pengetahuan, serta berbagai strategi hidup yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam bereaksi terhadap berbagai situasi dan memenuhi
kebutuhan mereka. Secara etimologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan
(knowledge) dan lokal (local). Kebijakan lokal (local wisdom), kearifan lokal (local
knowledge), dan kecerdasan lokal adalah beberapa nama tambahan untuk kearifan lokal
(local genius). Kebijaksanaan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
kebijaksanaan, kecerdasan sebagai sesuatu yang diperlukan untuk berinteraksi. Istilah lokal
yang berarti lokasi atau suatu tempat atau tempat tumbuh, ada, hidup segala sesuatu yang
mungkin berbeda dari tempat lain atau berada di tempat yang bernilai yang mungkin berlaku
secara lokal atau umum [11]. Kemendikbud mendifinisikan Kearifan lokal terdiri dari dua
kata: kebijaksanaan dan tempat. Tempat adalah tempat, dan kebijaksanaan adalah
kebijaksanaan. Kebijaksanaan dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menggunakan
pikirannya ketika mengambil tindakan atau perilaku sebagai hasil dari penilaian sesuatu,
objek, atau peristiwa yang terjadi. Secara umum, kearifan lokal dapat dipahami sebagai
pemikiran lokal yang cerdas, bijaksana, dan berharga yang berakar dan diikuti oleh anggota
masyarakat.
kearifan lokal didefinisikan sebagai persepsi kehidupan dan pengetahuan, serta
strategi kehidupan dalam bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Pada saat yang sama, Setiyadi (2012: 75) menunjukkan bahwa
kearifan lokal adalah tradisi dan kebiasaan, yang secara tradisional diwariskan dari generasi
ke generasi oleh sekelompok orang, dan masih dipertahankan dalam komunitas hukum umum
tertentu di daerah tertentu [12]
kearifan lokal adalah gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, yang tumbuh
dan berkembang dalam kesadaran masyarakat, dari yang berkaitan dengan kehidupan yang
sakral hingga yang sekuler (bagian kehidupan sehari-hari, esensi kehidupan)[13]. Dari
definisi ini, beberapa konsep dapat diamati. Misalnya: (1) Kearifan lokal adalah pengalaman
jangka panjang, yang disimpan sebagai panduan untuk perilaku seseorang; (2) Kearifan lokal
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan pemilik; (3)) Kearifan lokal bersifat dinamis,
fleksibel, terbuka dan maju seiring perkembangan zaman.

a. Budaya wiwitan metil pari


Adat Wiwitan adalah upacara persembahan tradisional Jawa yang dilakukan
sebelum panen padi. Dinamakan 'wiwitan' karena kata 'wiwit' berarti 'awal',
seperti memotong padi sebelum panen. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, kegiatan, dan hasil usaha manusia dalam kehidupan individu yang
menjadi milik manusia melalui pembelajaran [13]. Tradisi wiwitan merupakan
salah satu jenis tradisi turun temurun. Tradisi Wiwitan ini sangat khas karena
tidak semua daerah memiliki tradisi wiwitan sehingga dapat menarik banyak
wisatawan. Adat wiwitan juga berfungsi sebagai mekanisme desa untuk
mengembangkan ikatan satu sama lain. Tradisi wiwitan ini juga melibatkan
penanaman semangat, seperti merti wiji, melalui pemanfaatan tanaman asli seperti
padi. tongkat wangi Kemudian merti tanah dengan menjaga alam, merti kali
(sungai) untuk menjaga sumber mata air, dan merti lampah memainkan wahyu
untuk membentuk karakter dan menanamkan karakter pada petani [13].
Untuk mengetahui orang Jawa melakukan ritual atau ritus untuk menyelamatkan
nyawa. tradisi wiwitan dalam bentuk kirab, yakni perjalanan bersama-sama
masyarakat dari dusun menuju areal persawahan. Sebelum kirab dimulai
masyarakat berkumpul pada tempat yang telah ditentukan, kemudian masyarakat
berdo’a agar tradisi wiwitan yang diselenggarakan dapat berjalan lancar. Selepas
berdo’a, masyarakat memulai perjalanan dari Dusun menuju areal persawahan.
Perjalanan masyarakat dipimpin oleh punokawan (tokoh pewayangan Jawa),
disusul oleh ubarampe (perlengkapan) dan beberapa gunungan seperti gunungan
buah, gunungan sayur, dan gunungan padi juga turut dibawa dalam kirab tersebut.
Gunungan-gunungan hasil bumi yang dibawa memiliki makna sebagai ungkapan
rasa syukur petani terhadap sang pencipta [14]. Tujuan awal tradisi wiwitan
adalah sebagai wujud syukur petani terhadap Dewi Sri. Tujuan tersebut kini
berubah menjadi wujud syukur petani kepada Allah SWT dan sebagai sarana
diskusi petani dengan wakil dari pemerintah. Bentuk wiwitan zaman sekarang
adalah kirab. Pelaku tradisi wiwitan adalah masyarakat Dusun Kedon secara
keseluruhan. Berbeda dengan pelaksaan tradisi wiwitan zaman

Gambar 1. Wiwitan metil pari


a. Bersih desa
Sejarah perkembangan agama Jawa telah dimulai sejak zaman prasejarah
kuno, dimana pada saat itu para pendahulu orang Jawa sudah mengetahui bahwa
segala sesuatu yang ada di sekitarnya menyegarkan dan segala sesuatu yang
bergerak dianggap hidup, memiliki kekuatan yang dahsyat, dan jiwa yang
berkarakter. baik besar dan jahat. Apalagi mereka membayangkan bahwa dari
semua roh yang ada, tentu ada kontrol yang paling mampu dan lebih membumi
dari manusia. Untuk menghormati roh-roh yang dianggap sebagai pendahulu,
maka mereka memujanya dengan mengadakan upacara atau selamatan untuk
menjaga jarak strategis dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Pengaruh
budaya menjadi variabel yang paling berpengaruh di masyarakat ketika acara
bersih desa dilakukan.[15]
Masyarakat Desa Kebon Agung setiap tahun selalu mengadakan acara
bersih-bersih kota untuk menghormati roh-roh tersebut. nenek moyang dan
keselamatan mereka. Dalam upacara di pedesaan Bersih di Desa Kebon Agung
tidak lepas dari sikap dan keyakinan bahwa kerukunan dan tata kehidupan akan
membawa dan mengarahkan mereka pada keberhasilan hidup bersama. Bagi
masyarakat Jawa pada umumnya, dan masyarakat Desa Kebon Agung pada
khususnya, yang memiliki citra sosial dalam bingkai slametan, menjadi upaya
khusus untuk menjaga jarak strategis dari peristiwa bahaya dari risiko luar biasa
yang dianggap mungkin membawa bahaya bagi kehidupan mereka. Upacara
bersih desa dapat dikatakan sebagai perwujudan keyakinan masyarakat setempat
dalam hadirat kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Konvensi atau upacara ini
sudah ada sejak saat Agresi Militer Belanda tahun 1949, dan sampai sekarang
merupakan warisan dari para pendahulu kita yang telah dilakukan oleh masa
lalu selama sekitar 23 tahun. [13]
Kemudian mulai tahun 1970-an diserahkan kepada masa yang lebih
muda dan seterusnya yang sekarang di pimpin oleh Karang Taruna dengan
pesan untuk dilindungi. Tradisi ini dilakukan secara genetis pada setiap bulan
Juni atau Juli dan dilakukan pada hari Jumat Pahing, yang disebut dengan
Jum'at Kota Bersih Pahingan. Musyawarah Bersih Kota ini dilakukan dengan
tujuan untuk mewujudkan rasa syukur individu masyarakat kepada Tuhan
Yang Maha Esa, atas kemenangan masyarakat warga dalam menanam padi
sehingga mereka mendapatkan hasil panen yang melimpah, dan mendapatkan
hasil yang lebih unggul dalam jangka waktu setahun. Mengumpulkan dalam
waktu panen yang akan datang.
Adat bersih desa mengandung komponen khas yang memiliki makna klaim.
Biasanya ada gambar yang memang sengaja dibuat oleh prekursor yang di
dalamnya terkandung pesan-pesan tertentu yang ditujukan kepada orang atau
kelompok.[16] Gambar-gambar ini tidak secara langsung menghubungkan
orang-orang dengan kekuatan di sekitar mereka dan Tuhan. Kegiatan khas
tersebut juga sangat dipengaruhi oleh adanya pemahaman tentang mitologi,
animisme, dan dinamisme yang telah dianut sejak zaman nenek moyang. Mitos
yang ada masih bawaan sejak lahir dalam identitas individu pada daerah tersebut.
Gambar 3. Tradisi bersih desa
b. Ahlen
Tradisi Ahlen yang muncul dari kombinasi dua kata khusus "tradisi" dan
"Ahlen". Tradisi itu sendiri menurut Ahmad Fahmi Abu Sunnah adalah “sesuatu
yang tertanam dalam jiwa karena dianggap bijaksana dan pengakuan karakter suara
di atasnya”. Sementara itu, Wahbah al-Zuhayli mengungkapkan konvensi (urf ')
itu. adalah "kebiasaan yang awalnya diulang berulang kali". Tradisi Ahlen adalah
tradisi yang bernilai positif yang mengandung nilai-nilai luhur yang harus
dilindungi. Nilai-nilai kebaikan itu adalah: pertama, pembacaan firman Tuhan oleh
anak cucu ke atas dan ke bawah. Saat penyambutan oleh pihak yang terlibat atau
dalam acara Ahlen yang diadakan di rumah keprabon, yang memberikan
penyambutan pada umumnya adalah anak sulung atau senior oleh keluarga besar di
lingkungan bani. [17]
Ketiga, pembacaan tahlil bagi para pendahulu. Keempat, pengajian dunia lain
dan orang-orang yang menyampaikan sapaan yang saleh diambil dari keturunan
yang memenuhi syarat dalam bidang agama. Jadi, janganlah mengambil guru luar,
meskipun mungkin untuk menyambut guru luar, tetapi sebagian besar yang telah
dilakukan sejauh ini adalah seperti yang dilakukan oleh orang dalam dari keluarga
atau klan. Kelima, presentasi anggota baru di dalam gathering. Misalnya, dalam hal
ada cucu atau cicit atau cicit modern, gelar si fulan ini disajikan dan anak dan cucu
siapa mereka yang ke-6 adalah sesi pembacaan nazar. Dalam hal ini, seluruh sanak
saudara dan sanak saudara atas dan ke bawah menelaah ikrar perdamaian dan
ukhuwah Islamiyah. tidak diperbolehkan mengancam saudara secara individu,
tidak diperbolehkan menangani antar saudara dan harus terus menerus menjaga
hubungan baik antar individu keluarga. Acara ketujuh adalah penyerahan angpau
berisi uang tunai dari kotak infaq yang mencakup individu keluarga [18]
Hal tersebut berasal dari kota infaq diberikan kepada cucu-cucunya dan
jaman lebih muda yang masih kecil, dalam bahasa jawa nyangoni. Bagaimanapun,
sesi berbagi angpau tidak berlaku untuk semua penyelenggara Ahlen. Tergantung
pemahaman antar individu keluarga. Sedangkan acara terakhir adalah sesi ceramah
tentang tempat yang akan digunakan untuk acara Ahlen tahun depan dan acara
jabat tangan dengan seluruh individu keluarga [19]

Gambar 4. Budaya Ahlen


Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran secara aktif, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan
dilatih untuk menemukan sendiri berbagai informasi yang diperolehnya. Siswa akan dengan
cepat memahami prinsip-prinsip yang mereka pelajari dan menerapkannya pada konsep lain
yang telah mereka pelajari sebelumnya sebagai hasil dari pengalaman mereka. Selain belajar
psikologi, pembelajaran tematik berhubungan dengan psikologi perkembangan karena
materinya tergantung pada tahap perkembangan siswa hal tersebut dibutuhkan sebagai
adanya kontribusi dari berbagai pihak [20]

Dalam pembelajaran tematik khususnya yang berkaitan dengan peningkatan mental


siswa, terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada
siswa sehingga tingkat keluasan menyepakati penyelenggaraan peningkatan siswa dan
memberikan bagaimana substansi materi disampaikan kepada siswa. dan bagaimana siswa
juga harus mempelajarinya (Majid, Abdul et al, 2014: 108). Oleh karena itu pada setiap
satuan pembelajaran melakukan penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan
evaluasi pembelajaran untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan dan kemajuan
pembelajaran yang memadai.[21]
Pembelajaran topikal adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimaksudkan
untuk menggabungkan beberapa aspek baik intra-mata pelajaran maupun antar-mata
pelajaran. Sedangkan [22] mengkoordinir pembelajaran topikal adalah pembelajaran yang
diterapkan pada tingkat pengajaran dasar yang menyajikan proses pembelajaran berdasarkan
mata pelajaran untuk kemudian digabungkan dengan mata pelajaran lain.[21]. Karakteristik
pembelajaran tematik yang dapat memperkuat alasan mengapa pembelajaran topikal dapat
memberikan perjumpaan yang bermakna secara keseluruhan sesuai [23]
Dari beberapa pengertian para ahli, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tematik
adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang berhubungan dengan tingkat instruksi
dasar untuk menampilkan pegangan pembelajaran yang sengaja menghubungkan beberapa
sudut besar dalam kemudian intra-mata pelajaran digabungkan dengan mata pelajaran lain
berdasarkan subjek yang diberikan.[24] Pembelajaran tematik memberikan perjumpaan yang
signifikan kepada peserta yang diajar sepenuhnya[25]
a. Landasan Pembelajran tematik
Landasan pembelajaran tematik mencakup berikut (Majid, Abdul 2014:87-88) [21]:
1. Landasan Filosifis
Dalam pembelajaran tematik secara tegas dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat,
yaitu: progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Pandangan progresivisme
bahwa pegangan belajar harus ditekankan pada pengaturan kreativitas, pemberian
sejumlah latihan, lingkungan yang normal, dan memperhatikan keterlibatan siswa.
Konstruktivisme melihat pengalaman siswa langsung sebagai kunci dalam belajar.
Sejalan dengan aliran ini, Pengetahuan adalah hasil pengembangan atau
pengaturan manusia. Manusia mengkonstruksi informasi melalui interaksi dengan
objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan.
2. Landasan Psikoligis
Pembelajaran tematik yang utama terkait dengan pembelajar psikologi formatif
dan pembelajaran penelitian otak. Penelitian formatif otak diperlukan khususnya
dalam menentukan substansi materi pembelajaran topikal yang diberikan kepada
siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan rencana peningkatan
siswa. Learning brain inquiry berkontribusi dalam hal bagaimana konten/materi
pembelajaran topikal disampaikan kepada siswa dan bagaimana siswa harus
mempelajarinya
3. Landasan Yuridis
Dalam pembelajaran tematik kaitan dengan berbagai pendekatan atau peraturan
yang mendukung penggunaan pembelajaran topikal di sekolah dasar. Premis
yuridisnya adalah UU no. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap peserta didik dalam pendidikan
berhak mendapatkan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan bakat,
minat, dan kapasitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] T. S. Widyaningsih, Z. Zamroni, and D. Zuchdi, “Internalisasi Dan Aktualisasi Nilai-


Nilai Karakter Pada Siswa Smp Dalam Perspektif Fenomenologis,” J. Pembang.
Pendidik. Fondasi dan Apl., vol. 2, no. 2, pp. 181–195, 2014, doi:
10.21831/jppfa.v2i2.2658.

[2] S. Tambak, “Metode Drill dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,” Al-Hikmah
J. Agama dan Ilmu Pengetah., vol. 13, no. 2, pp. 110–127, 2016, doi: 10.25299/al-
hikmah:jaip.2016.vol13(2).1517.

[3] A. Marchianti, E. Nurus Sakinah, and N. et al. Diniyah, Digital Repository Universitas
Jember Digital Repository Universitas Jember, vol. 3, no. 3. 2017.

[4] E. Pada, E. R. A. Masyarakat, and E. Asean, “Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MENANAMKAN NILAI-NILAI ENTREPRENUERSHIP MELALUI PENDIDIKAN
EKONOMI PADA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN,” pp. 840–849, 2015.

[5] Y. Wulandari and M. Kristiawan, “Strategi Sekolah Dalam Penguatan Pendidikan


Karakter Bagi Siswa Dengan Memaksimalkan Peran Orang Tua,” JMKSP (Jurnal
Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan), vol. 2, no. 2, pp. 290–303,
2017, doi: 10.31851/jmksp.v2i2.1477.

[6] J. Siswanta, “Pengembangan Karakter Kepribadian Anak Usia Dini (Studi Pada PAUD
Islam Terpadu Di Kabupaten Magelang Tahun 2015),” Inferensi, vol. 11, no. 1, p. 97,
2017, doi: 10.18326/infsl3.v11i1.97-118.

[7] M. A. Aisyah, “Pendidikan karakter,” Informasi, no. 100. p. 273, 2018.

[8] G. National and H. Pillars, “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における


健康関連指標に関する共分散構造分析 Title,” no. 1.

[9] N. S. Perdana, “Implementasi Peranan Ekosistem Pendidikan Dalam Penguatan


Pendidikan Karakter Peserta Didik,” Refleks. Edukatika J. Ilm. Kependidikan, vol. 8,
no. 2, 2018, doi: 10.24176/re.v8i2.2358.

[10] S. M. P. N. Banjarbaru, “Jurnal Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman Universitas


Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin,” vol. 5, pp. 78–81,
2019.

[11] R. Njatrijani, “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang,” Gema
Keadilan Ed. J. (ISSN 0852-011), vol. Volume 5, no. September, pp. 17–18, 2018.

[12] R. Rosyadi, “Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Cidaun – Cianjur Selatan Sebagai
Wujud Adaptasi Budaya,” Patanjala J. Penelit. Sej. dan Budaya, vol. 6, no. 3, p. 431,
2014, doi: 10.30959/ptj.v6i3.173.

[13] B. Listiyani, Sunardi, and E. Wuryani, “Membangun Karakter dan Budi Pekerti Petani
Melalui Tradisi Wiwitan di Desa Gilangharjo Pandak Bantul,” Crikserta J. Pendidik.
Sej., vol. 9, no. 1, pp. 59–71, 2020, [Online]. Available:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/10210.

[14] S. E. E. Saputro, D. Padmaningrum, and A. Wijianto, “TRADISI WIWITAN: CARA


PENYEBARAN DAN PROSES PEMBELAJARAN OLEH MASYARAKAT (Studi
Kasus: Dusun Kedon Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten
Bantul),” AGRITEXTS J. Agric. Ext., vol. 43, no. 2, p. 73, 2020, doi:
10.20961/agritexts.v43i2.41636.

[15] E. Yudisium, P. Mei, M. Sesajen, P. Upacara, and B. Desa, “No Title,” vol. 5, no. 2,
pp. 11–17, 2017.

[16] P. doktor UGM, “No Title,” 2018, 2018. .

[17] D. Tetap, F. Syari, I. Raden, and I. Lampung, “‘URF SEBAGAI METODE DAN
SUMBER PENEMUAN HUKUM ISLAM Oleh: Sucipto  Abstrak,” vol. 7, no. 1,
pp. 25–40, 2015.

[18] M. N. Pendidikan, “TALI ASIH ” MELALUI TRADISI AHLEN DI,” pp. 289–310,
2016, doi: 10.21274/epis.2016.11.2.289-310.

[19] I. Bab, “( PENGERTIAN , RUKUN , PERBEDAAAN DAN HIKMAH ) Oleh :


Mukmin Mukri Widyaiswara BDK Palembang.”

[20] M. Syaifuddin, “Implementasi Pembelajaran Tematik di Kelas 2 SD Negeri Demangan


Yogyakarta,” Tadris J. Kegur. dan Ilmu Tarb., vol. 2, no. 2, p. 139, 2017, doi:
10.24042/tadris.v2i2.2142.

[21] A. Majid, No Title. 2015.

[22] Mulyasa, No Title. bandung: 2015, 2015.

[23] Hosnan, No Title. Bandung, 2014.

[24] “Pembelajaran Tematik PEMBELAJARAN TEMATIK Mohamad Muklis STAIN


Samarinda,” vol. IV, no. 20, pp. 63–76, 2012.

[25] S. Kharisma, “No Title,” Pembelajaran Temat. Integr. dan Pengaruhnya Terhadap
Akhlak Kelas IV, 2017.
[1] T. S. Widyaningsih, Z. Zamroni, and D. Zuchdi, “Internalisasi Dan Aktualisasi Nilai-
Nilai Karakter Pada Siswa Smp Dalam Perspektif Fenomenologis,” J. Pembang.
Pendidik. Fondasi dan Apl., vol. 2, no. 2, pp. 181–195, 2014, doi:
10.21831/jppfa.v2i2.2658.
[2] S. Tambak, “Metode Drill dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,” Al-Hikmah
J. Agama dan Ilmu Pengetah., vol. 13, no. 2, pp. 110–127, 2016, doi: 10.25299/al-
hikmah:jaip.2016.vol13(2).1517.
[3] A. Marchianti, E. Nurus Sakinah, and N. et al. Diniyah, Digital Repository Universitas
Jember Digital Repository Universitas Jember, vol. 3, no. 3. 2017.
[4] E. Pada, E. R. A. Masyarakat, and E. Asean, “Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MENANAMKAN NILAI-NILAI ENTREPRENUERSHIP MELALUI PENDIDIKAN
EKONOMI PADA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN,” pp. 840–849, 2015.
[5] Y. Wulandari and M. Kristiawan, “Strategi Sekolah Dalam Penguatan Pendidikan
Karakter Bagi Siswa Dengan Memaksimalkan Peran Orang Tua,” JMKSP (Jurnal
Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan), vol. 2, no. 2, pp. 290–303,
2017, doi: 10.31851/jmksp.v2i2.1477.
[6] J. Siswanta, “Pengembangan Karakter Kepribadian Anak Usia Dini (Studi Pada PAUD
Islam Terpadu Di Kabupaten Magelang Tahun 2015),” Inferensi, vol. 11, no. 1, p. 97,
2017, doi: 10.18326/infsl3.v11i1.97-118.
[7] M. A. Aisyah, “Pendidikan karakter,” Informasi, no. 100. p. 273, 2018.
[8] G. National and H. Pillars, “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における
健康関連指標に関する共分散構造分析 Title,” no. 1.
[9] N. S. Perdana, “Implementasi Peranan Ekosistem Pendidikan Dalam Penguatan
Pendidikan Karakter Peserta Didik,” Refleks. Edukatika J. Ilm. Kependidikan, vol. 8,
no. 2, 2018, doi: 10.24176/re.v8i2.2358.
[10] S. M. P. N. Banjarbaru, “Jurnal Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman Universitas
Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin,” vol. 5, pp. 78–81,
2019.
[11] R. Njatrijani, “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang,” Gema
Keadilan Ed. J. (ISSN 0852-011), vol. Volume 5, no. September, pp. 17–18, 2018.
[12] R. Rosyadi, “Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Cidaun – Cianjur Selatan Sebagai
Wujud Adaptasi Budaya,” Patanjala J. Penelit. Sej. dan Budaya, vol. 6, no. 3, p. 431,
2014, doi: 10.30959/ptj.v6i3.173.
[13] B. Listiyani, Sunardi, and E. Wuryani, “Membangun Karakter dan Budi Pekerti Petani
Melalui Tradisi Wiwitan di Desa Gilangharjo Pandak Bantul,” Crikserta J. Pendidik.
Sej., vol. 9, no. 1, pp. 59–71, 2020, [Online]. Available:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/10210.
[14] S. E. E. Saputro, D. Padmaningrum, and A. Wijianto, “TRADISI WIWITAN: CARA
PENYEBARAN DAN PROSES PEMBELAJARAN OLEH MASYARAKAT (Studi
Kasus: Dusun Kedon Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten
Bantul),” AGRITEXTS J. Agric. Ext., vol. 43, no. 2, p. 73, 2020, doi:
10.20961/agritexts.v43i2.41636.
[15] E. Yudisium, P. Mei, M. Sesajen, P. Upacara, and B. Desa, “No Title,” vol. 5, no. 2,
pp. 11–17, 2017.
[16] P. doktor UGM, “No Title,” 2018, 2018. .
[17] D. Tetap, F. Syari, I. Raden, and I. Lampung, “‘URF SEBAGAI METODE DAN
SUMBER PENEMUAN HUKUM ISLAM Oleh: Sucipto  Abstrak,” vol. 7, no. 1,
pp. 25–40, 2015.
[18] M. N. Pendidikan, “TALI ASIH ” MELALUI TRADISI AHLEN DI,” pp. 289–310,
2016, doi: 10.21274/epis.2016.11.2.289-310.
[19] I. Bab, “( PENGERTIAN , RUKUN , PERBEDAAAN DAN HIKMAH ) Oleh :
Mukmin Mukri Widyaiswara BDK Palembang.”
[20] M. Syaifuddin, “Implementasi Pembelajaran Tematik di Kelas 2 SD Negeri Demangan
Yogyakarta,” Tadris J. Kegur. dan Ilmu Tarb., vol. 2, no. 2, p. 139, 2017, doi:
10.24042/tadris.v2i2.2142.
[21] A. Majid, No Title. 2015.
[22] Mulyasa, No Title. bandung: 2015, 2015.
[23] Hosnan, No Title. Bandung, 2014.
[24] “Pembelajaran Tematik PEMBELAJARAN TEMATIK Mohamad Muklis STAIN
Samarinda,” vol. IV, no. 20, pp. 63–76, 2012.
[25] S. Kharisma, “No Title,” Pembelajaran Temat. Integr. dan Pengaruhnya Terhadap
Akhlak Kelas IV, 2017.

Anda mungkin juga menyukai