Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENDEKATAN

MASALAH PSIKOSOSIAL PASIEN DEPRESI DI WISMA MELUR PSTW


KHUSNUL KHOTIMAH PEKANBARU

DISUSUN OLEH
EFRIANTO, S. Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PAHLAWAN

TUANKU TAMBUSAI 2020

1
BAB I
KONSEP DASAR TEORI
1. Konsep Teori Lansia
Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang
memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau
psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu
cabang psikiatrik, analaog dengan psikiatrik anak. Diagnosis dan terapi gangguan
mental pada lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan
perbedaan dalam manisfestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental
antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut
usia juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan
medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan
kerentanan terhadap gangguan kognitif.
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai
dipertimbangkan adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar.
Bangsal akut, kronis dan day hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus
sudah mulai difikirkan.
a. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
1) Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2) Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
3) Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
4) Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
b. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara
biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan
menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas
emosional meningkat.

2
2. Teori Kejiwaan Lansia
a. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang
aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.   Ukuran optimum (pola hidup)
dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara
sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
b. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan
yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe
personaliti yang dimiliki.
c. Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni:
1) Kehilangan Peran
2) Hambatan Kontak Sosial
3) Berkurangnya Kontak Komitmen
3. Teori Psikologi
a. Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua
antara lain adalah:
1) Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
4) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
5) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang
spesifik yang dapat muncul sebagai akibat tuntutan:

3
1) Kematangan fisik
2) Harapan dan kebudayaan masyarakat
3) Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan
yang memotivasi seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).
b. Teori Individual Jung
Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari
seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa
dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari
Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini
kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subyektif. Pengalaman -
pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat
dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan
mental.
c. Teori Delapan Tingkat Kehidupan
Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi
dimana kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson
(1950) yang telah mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat
kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas perkembangan yang harus
dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan
putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori perkembangan
Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih
dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi,
perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego
preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas
perkembangan yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri
sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk
menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun
dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu
yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari
orang tua tersebut.

4
4. Teori Psikososial Lansia
a. Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang
utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia
berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut
pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan
menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya bermakna (Anonim,
2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan
psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif
dan integritas yang utuh.
1) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial
lansia menurut Kuntjoro (2002), antara lain:
a) Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),
misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin
rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang
sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu
keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar
dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,
sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang
bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara
seimbang.
b) Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti:
1) Gangguan jantung
2) Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus

5
3) Vaginitis
4) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
5) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang
6) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat
oleh tradisi dan budaya .
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal
5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
c) Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian
lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe
kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe
ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat
tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada

6
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan
otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini
biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi
jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan
menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya,
banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara
seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe
ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu
orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
d) Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun
tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau
jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya,
karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan,
jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti
yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental
setelah lansia?Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu
dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang
takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan
ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik
positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia
dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar
pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang
benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri,

7
bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh
gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi
dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu
dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki
kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah
pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya
memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta,
cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya
sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan
yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup
menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak
membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,
menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
e) Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan
kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran
sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering
menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih
sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika
keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta
merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya
lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran)
masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit,
sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care)
dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya

8
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi
terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan
dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup
sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

5. Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial pasien depresi


a. Pengertian depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah
suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan.
Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang
dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi
merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan
bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga
diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan
menurut Hawaii (1996;, depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam
perasaan (mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan
hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau
perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).
1) Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996)
meliputi beberapa aspek seperti:
a) Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan,
kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian,
harga diri rendah, kesedihan.

9
b) Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing,
keletihan, gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan
berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
c) Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri
sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis,
ketidakpastian.
d) Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan
obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat
tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis,
dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan


gejala-gejalanya yaitu:
a) Depresi Ringan
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan menurunnya aktivitas.
 Kosentrasi dan perhatian yang kurang
 Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
b) Depresi Sedang
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan menurunnya aktivitas.
 Kosentrasi dan perhatian yang kurang
 Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
c) Depresi Berat
 Mood depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
10
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
 Konsentrasi dan perhatian yang kurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
 Tidur terganggu
 Disertai waham, halusinasi
 Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2) Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering
di diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang
mengunjungi praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ;
acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada
keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan
keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamarkan atau
tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu
isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses 
penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya
gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya
keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak
bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran
bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash,
1997).

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :


a) Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang
menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami  depresi
memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat,
11
tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa
bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis
dalam menghadapi masalah dan  segala sesuatu yang dijalaninya menjadi
buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak
adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani
hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia
sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-
besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima,
proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang.
Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan
kurangnya motivasi.

b) Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus
asa, kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan
tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya
berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat
keluar dari sana.
c) Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi
seperti pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan
dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit
karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces
juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih
yang kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
d) Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi
motor. Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi,
berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan
pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk
menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut
Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS
yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan

12
susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi,
penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri
(guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy),
penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan
menurun (appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai
(psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

3) Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
a) Faktor Predisposisi
Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui
riwayat keluarga dan keturunan.
(1) Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi
karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
(2) Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika
individu dengan benda atau yang sangat berarti.
(3) Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri
yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan
dan penilaian seseorang terhadap stressor.
(4) Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah
kognitif yang di dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri
sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
(5) Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness),
menunjukkkan bukan semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi
keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap  hasil
yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang
respon yang tidak adaptif.
(6) Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang
mengasumsi penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan
positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
(7) Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang
terjadi selama depresi, termasuk definisi katekolamin, disfungsi

13
endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama
biologis.

b) Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan ( depresi ) menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
(1) Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan,
maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
(2) Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-
masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan
masalah.
(3) Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
(4) Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai
penyakit fisik. Seperti infeski, neoplasma, dan gangguan
keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam
perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi
dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan
penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering disertai depresi

4) Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental
health) yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi
juga faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi
pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006) ada 5
pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :

a) Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai,
rasa aman dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-

14
lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang kehilangan akan kebutuhan
afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari kesedihan yang
dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap
suami atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan
sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu mengalami kesedihan yang
mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan
seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap
kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang
dicintai (loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan
ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai  tetapi marah dan benci
karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya
bahwa intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan
suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan menyalahkan diri
karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi
pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh
dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-
perubahan tersebut diatas seringkali  menjadi stresor bagi lanjut usia yang
membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut Maramis (1995),
pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang
terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan dan stres lingkungan  sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi
adalah strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak,
impian, displacement dan lain-lain  (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006).
Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan
sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam
menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman
akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi
bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).
b) Pendekatan Perilaku Belajar

15
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah
individu yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan
hukuman (punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang
idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun,
2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak
ini mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang
menyenangkan, kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan
mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan hukuman
bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari
diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah
yang diterima terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi
terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan antara nilai reward  dan punishment itu. Peran hadiah
dan hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan
depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman
adalah seseorang jika pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan
kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang
mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi
tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat
menyebabkan performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih
tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya diterima dapat menyebabkan
depresi apabila sumber alternatif  untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.
c) Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang
mengalami depresikarena memiliki kemapanan kognitif yang negatif
(negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan
masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan
menginterpretasikan sebagai suatu yang  kebetulan dan tetap memikirkan
kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri,
merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah

16
utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-
confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak
menyadari adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative
yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang
karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat
mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak
berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan
depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru
(misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi
negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan.   Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari
(learned helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi.
Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan
ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus
menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang
sering dialami individu (Beck, et al. , 1979; Samiun, 2006).
d) Pendekatan Humanistik
Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi
karena adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu
yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan
tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak
berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu
merasa tidak ada lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang
real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa
mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang mengalami
perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan
fisik mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu
kematian simbolis sebagai seseorang yang real.
e) Eksitensial Pendekatan Fisiologis

17
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas
neurologis yang rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada
sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan. Neurotransmitter
ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti
mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar,
1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami
depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian
saudara kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi
4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik
Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu
diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan
perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya interaksi social,
kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan
kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan
factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak.
Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada lansia.
Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)
Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami
seseorang setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca
kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau
kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat
menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai kehilangan penghasilan,
kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001). Menurut
Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban
mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu

18
dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut
kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya
punya dampak bagi masing-masing individu baik positif maupun negative. Dampak
positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu
kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan
interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan
yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi
depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih
sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan
peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang
mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan
jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya
sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari
loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional dengan
manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-
keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan
kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome).
Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial
dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat
kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir
(rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang
bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam,
tertutup dan tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering menampakan
diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang
mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi
psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang
menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan
rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi

19
psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama
pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan
mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala
badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat
bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu
terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen
psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam,
rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat
mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah
ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan
gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan
terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di
panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan
tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan
situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang
berbeda,  dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan
penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan
membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi
terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah
kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan
yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan
dan stress lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian
depresi seringkali melibatkan dukungan social (social support) yang tersedia dan
digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami
depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).

20
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa
hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-
orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan
selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan
social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya
kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi
dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa
disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya
depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas,
pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan
hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire,
1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya
depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang
harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah
kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic karena
berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah memberikan
perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa
kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman,
1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan
pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi
mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia
yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya
kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran barunya
sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan
kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan

21
dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono,
2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke nuclear
family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan.
Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis menggangap lansia
sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya
dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan
mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi
lansia, karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan
tugas perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan
pengaturan hidup yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga
antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).
8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap
lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan
gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian
dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan
memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah
digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun
praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh
Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki
keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari
pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes
reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari
30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS
menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau
“tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk
menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal
somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10
menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-
30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan
evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan
alat penapisan.

22
9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat
perlu ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial.
Hal tersebut karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan
kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.
Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut
pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi
fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological, psikososial, spiritual dan
lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang
menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut usia, secara
utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).

Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach,


diantaranya:
a. Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik
yang berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi
dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi,
mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan stressor
dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri (self
confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan ini
tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan perubahan
struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan
pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk
mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia.
Pemikiran-pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana
dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang,
depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa yang
paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia diberi
ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari,
1996).
b. Pendekatan Perilaku Belajar

23
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan
berlebihannya hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar.
Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan yang merupakan sumber
hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru untuk
mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang menghukum, seperti
assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan
manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup
dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam
pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci
dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari kehidupan tertentu dari individu.
Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku supaya meningkatkan hadiah dan
mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan keterampilan yang diperlukan
untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
c. Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang
keberhasilan masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran
negative yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, menguji individu
untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan menggantikan pikiran yang
tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar dari
pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian
verbalisasi diri (self-talk)terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang
menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan
episode depresi dan mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji
kognisi negative, mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif,
serta melatih respon kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan
pemikiran yang positif.
d. Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari
kebaradaannya didunia ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya
kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini,
individu yang harus berusaha membuka pintu menuju dirinya sendiri,

24
melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara secara
psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini
membuat pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya,
sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.
e. Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi
psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan
alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik dengan
dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

25
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Fungsional
Merupakan pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari
– hari secara mandiri. Penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi
kemampuan dan keterbatasan klien, menimbulkan pemilihan intervensi yang
tepat. Situasi klien menentukan beberapa kali dalam sehari tes harus diberikan,
serta jumlah kali klien perlu untuk di tes untuk menjamin hasil yang akurat.
Indeks Kemandirian pada Aktivitas Kehidupan Sehari-hari berdasarkan pada
evaluasi fungsi mandiri atau tergantung dari klien dalam mandi, berpakaian, pergi
ke kamar mandi, berpindah, kontinen, dan makan. Definisi khusus dari
kemandirian fungsional dan tergantung tampak pada indeks.

A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil,


berpakaian, dan mandi.
B Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut.
C Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi
tambahan
E Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil,
dan satu fungsi tambahan.
F Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil,
berpindah dan satu fungsi tambahan.
G Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut
Lain- Tergantung pada sedikimya dua fungsi, tetapi tidak dapat dikiasifikasikan
Lain sebagai C, D, E, atau F

Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan pribadi aktif,


kecuali seperti secara spesifik diperlihatkan di bawah ini. Ini didasarkan pada
status aktual dan bukan pada kemampuan. Seorang klien yang menolak untuk

26
melakukan suatu fungsi dianggap sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun ia
dianggap mampu.
1) Mandi (Spon, Pancuran, atau Bak)
a) Mandiri
Bantuan hanya pada satu bagian mandi seperti punggung atau ekstremitas
yang tidak mampul atau mandi sendiri sepenuhnya.
b) Tergantung
Bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk dan keluar
dari bak mandi, tidak mandi sendiri.
2) Berpakaian
a) Mandiri
Mengambii baju dari kloset dan laci; berpakaian, melepaskan pakaian,
mengikat; mengatur pengikat; melepas ikatan sepatu.
b) Tergantung
Tidak memakai baju sendiri atau sebagian masih tidak menggunakan
pakaian.
3) Ke Kamar Kecil
a) Mandiri
Ke kamar kecil; masuk dan keluar dari kamar kecil; merapikan baju;
membersihkan organ-organ ekskresi; (dapat mengatur bedpan sendiri
yang digunakan hanya malam hari dan dapat atau takdapat menggunakan
dukungan mekanis).
b) Tergantung
Menggunakan bedpan atau pispot atau menerima bantuan dalam masuk
dan menggunakan toilet.
4) Berpindah
a) Mandiri
Berpindah ke dan dari tempat tidur secara mandiri, berpindah duduk dan
bangkit dari kursi secara mandiri (dapat atau tidak dapat menggunakan
dukungan mekanis).
b) Tergantung
Bantuan dalam berpindah naik atau turun dari tempat tidur dan/atau kursi;
tidak melakukan satu atau lebih perpindahan.

27
5) Kontinen
a) Mandiri
Berkemih dan defekasi seluruhnya dikontrol sendiri.
b) Tergantung
Inkontinensia parsial atau total pada perkemihan atau defekasi;
konirol total atau parsial dengan enema, kateter, atau penggunaan
urinal dan/atau bedpan teratur.
6) Makan
a) Mandiri
Mengambil makanan dari piring atau keseksamaan memasukannnya
ke mulut, (memotong-motong daging dan menyiapkan makanan,
seperti mengolesi roti dengan mentega, tidak dimasukan dalam
evaluasi).
b) Tergantung
Bantuan dalam hal makan (lihat di atas); tidak makan sama sekali,
atau makan per parentral.
Pada kasus depresi kemandirian cenderung bermasalah karena berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.

b. Pengkajian Status Kognitif (Short Portable Mental Status )


Bagaimana dengan kondisi kognitif lansia: apa daya ingat lansia mengalami
penurunan, mudah lupa, apa masih ingat hal-hal yang terjadi pada lansia dimasa
lalu, dll.
Data yanng diperoleh:
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat
dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang
destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.

28
Mekanisme pengkajian kognitif:
Questionnaire/SPMSQ)

Instruksi : Ajukan pertanyaan 1-10 pada daftar ini, dan catat


semuajawaban. Ajukan pertanyaan 4 A hanya jika klien
tidak mempunyai telepon. Catat jumlah kesalahhan total
berdasarkan sepuluh pertanyaan

+ - PERTANYAAN
1. Tanggal berapa hari ini? (Tanggal, bulan, tahun)
2. Hari apa sekarang ini?
3. Apa nama tempat ini?
4. Berapa nomor telepon Anda?
4. Dimana alamat Anda? (Tanyakan hanya bila klien tidak
memiliki telepon)
5. Berapa umur Anda?
6. Kapan Anda lahir?
7. Siapa presiden Indonesia sekarang?
8. Siapa presiden sebelumnya?
9. Siapa nama ibu Anda?
10. Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka baru,
semua secara menurun
Jumlah kesalahan total

Dilengkapi oleh Pewawancara


Nama Pasien:                      Tanggal pengkajian:
Jenis kelamin:                     Suku:         
Pendidikan:        
Nama pewawancara:
Penilaian
Kesalahan 0-2             Fungsi intelektual utuh
29
Kesalahan 3-4             Kerusakan intelektual Ringan
Kesalahann 5-7            Kerusakan intelektual Sedang
Kesalahan 8-10 Kerusakan intelektual Berat, pada kasus depresi pada lansia
cendrung mengalami dimensia dan mengalami gangguan kognitif yang
dipengaruhi faktor depresi dan proses degeneratif.
c.Pengkajian Status Sosial/ Emosi
APGAR keluarga

No. Fungsi Uraian Skor


1. Adaptasi Saya puas bahwa saya dapat kembali pada
keluarga (teman-teman) saya untuk membantu
pada waktu sesuatu menyusahkan saya
2. Hubungan Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)
saya membicarakan sesuatu dengan saya dan
mengungkapkan masalah dengan saya
3. Pertumbuhan Saya puas bahwa keluarga (teman-teman) saya
menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas atau arah baru
4. Afeksi Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)
saya mengekspresikan afek dan berespon terhadap
emosi-emosi saya, seperti marah, sedih atau
mencintai
5. Pemecahan Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya
menyediakan waktu bersama-sama
Analisa hasil :
Skor : 8-10 : fungsi sosial normal
Skor : 5-7   : fungsi sosial cukup
Skor : 0-4   : fungsi sosial kurang/suka menyendiri
Bagaimana dengan kondisi status mental klien: apakah lansia mudah tersinggung,
bagaimana dengan emosi lansia labil/stabil.

30
d. Pengkajian Status Psikologis
Skala Depresi Yesavage
Skala Depresi geriatrik Yesavage, bentuk singkat
Apakah pada dasarnya Anda puas dengan kehidupan Anda?(ya/tidak)
Sudahkah Anda mengeluarkan aktifitas dan minat Anda? (ya/tidak)
Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda kosong?(ya/tidak)
Apakah Anda sering bosan?(ya/tidak)
Anda mempunyai semangat yang baik setiap waktu?(ya/tidak)
Apakah Anda takut sesuatu akan terjadi pada Anda?(ya/tidak)
Apakah Anda merasa bahagia di setiap waktu?(tidak/tidak)
Apakah Anda lebih suka tinggal di rumah pada malam hari, daripada pergi dan
melakukan sesuatu yang baru? (ya/tidak)
Apakah Anda merasa bahwa Anda mempunyai lebih banyak masalah dengan
ingatan Anda daripada yang lainnya?(ya/tidak)
Apakah Anda berfikir sangat menyenangkan hidup sekarang ini?(ya/tidak)
Apakah Anda merasa saya sangat tidak berguna dengan keadaan Anda sekarang?
(tidak)
Apakah Anda merasa penuh berenergi? (ya/tidak)
Apakah Anda berfikir bahwa situasi Anda tak ada harapan?(ya/tidak)Apakah
Anda berfikir bahwa banyak orang yang lebih baik daripada Anda? (ya)
Analisa hasil :
Jika jawaban pertanyaan sesuai indikasi dinilai poin 1. (nilai poin 1 untuk setiap
respons yang cocok dengan jawaban ya atau tidak setelah pertanyaan)
Nilai 5 atau lebih dapat menandakan depresi.

e.Pengkajian Keseimbangan
NILA
KRITERIA
I
Perubahan posisi atau gerakan keseimbangan
Bangun dari tempat duduk (dimasukkan analisis) dengan mata terbuka
Tidak bangun dari tempat tidur dengan sekali gerakan, akan tetapi

31
mendorong tubuhnya ke atas dengan tangan atau bergerak ke bagian depan
kursi terlebih dahulu, tidak stabil pada saat berdiri pertama kali
Duduk ke kursi (dimasukkan analisis) dengan mata terbukamenjatuhkan
diri ke kursi, tidak duduk di tengah kursi
Bangun dari tempat duduk (dimasukkan analisis) dengan mata tertutup
Tidak bangun dari tempat tidur dengan sekali gerakan, akan tetapi usila
mendorong tubuhnya ke atas dengan tangan atau bergerak ke bagian depan
kursi terlebih dahulu, tidak stabil pada saat berdiri pertama kali
Duduk ke kursi (dimasukkan analisis) dengan mata tertutupmenjatuhkan
diri ke kursi, tidak duduk di tengah kursi
Ket: kursi harus yang keras tanpa lengan
Menahan dorongan pada sternum (3 kali) dengan mata terbuka
menggerakkan kaki, memegang objek untuk dukungan, kaki tidak
menyentuh sisi-sisinya
Menahan dorongan pada sternum (3 kali) dengan mata tertutup
klien menggerakkan kaki, memegang objek untuk dukungan, kaki tidak
menyentuh sisi-sisinya
Perputaran leher (klien sambil berdiri)
Menggerakkan kaki, menggenggam objek untuk dukungan kaki: keluhan
vertigo, pusing atau keadaan tidak stabil
Gerakan mengapai sesuatu
Tidak mampu untuk menggapai sesuatu dengan bahu fleksi sepenuhnya
sementara berdiri pada ujung jari-jari kaki, tidak stabil memegang sesuatu
untuk dukungan

Membungkuk
Tidak mampu membungkuk untuk mengambil objek-objek kecil (misalnya
pulpen) dari lantai, memegang objek untuk bisa berdiri lagi, dan
memerlukan usaha-usaha yang keras untuk bangun
Komponen gaya berjalan atau pergerakan
Minta klien berjalan ke tempat yang ditentukanragu-ragu, tersandung,
memegang objek untuk dukungan

32
Ketinggian langkah kaki
Kaki tidak naik dari lantai secara konsisten (menggeser atau menyeret
kaki), mengangkat kaki terlalu tinggi (> 5 cm)
Kontinuitas langkah kaki
Setelah langkah-langkah awal menjadi tidak konsisten, memulai
mengangkat satu kaki sementara kaki yang lain menyentuh lantai
Kesimetrisan langkah
Langkah tidak simetris, terutama pada bagian yang sakit
Penyimpangan jalur pada saat berjalan
Tidak berjalan dalam garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi
Berbalik
Berhenti sebelum mulai berbalik, jalan sempoyongan, bergoyang,
memegang objek untuk dukungan
Keterangan:
0 – 5 resiko jatuh rendah
6 – 10 resiko jatuh sedang
11 – 15 resiko jatuh tinggi

f.Pengkajian Spiritual
1) Berkaitan dengan keyakinan agama yang dimiliki dan sejumlah makna
keyakinan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari lansia.
2) Hal-hal yang perlu dikaji:
 Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya.
 Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan.
Misalnya: pengajian dan penyantunan anak yatim atau fakir miskin.
 Bagaimana cara lanjut usia menyelesaikan masalah apakah dengan
berdoa.
 Apakah lanjut usia terlihat sabar dan tawakal

g.Pengkajian Fungsi Afektif


Data yang sering didapat pada pengkajian afektif pada lansia depresi :
33
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan,
rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,
kesedihan.
Hal - hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji fungsi afektif pada lansia yaitu :
1) Penting untuk mengkaji arti dari suatu kejadian bagi lansia dengan mengkaji
kedalaman dan lamanya afek yang ditampilkan
2) Ekspresi emosi dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik personal
3) Pada lansia biasanya tidak mengekspresikan perasaannya secara langsung/
verbal. Oleh karena iti penting untuk mengobservasi adanya reaksi tidak
langsung/ non verbal dari lansia.
4) Penting untuk menggunakan istilah – istilah yang dapat diterima oleh lansia
pada saat wawancara dengan berfokus pada perasaan yang dirasakan oleh
lansia. Dapat diawali dengan menggunakan open ended question misalnya :
bagaimana kabarnya hari ini ?

Temuan – temuan pada Fungsi afektif


AFEK KETERANGAN
Afek tidak Respon emosional yang tidak sesuai dengan pikiran, pembicaraan
serasi
Afek tumpul Respon emosional yang sangat kurang
Afek Dua jenis perasaan yang berlawanan terhadap suatu objek yang
ambivalen timbul pada saat yang bersamaan
Euforia Kegembiraan berlebihan tidak sesuai dengan realitas
Depresi Perasaan sedih, murung, susah. depresi sering disertai dengan
gejala somatik : pusing, konstipasi, nyeri perut, nyeri otot, nafsu
makan berkurang dan insomnia.
Anxietas Kecemasan, kekawatiran, was – was, takut. Sering disertai dengan
gejala somatik : ketegangan motorik (gemetar, tegang, nyeri otot,
mudah kaget, gelisah) dan hiperaktivitas saraf otonomik
(berkeringat , telapak tangan lembab, jantung berdebar cepat,
mulut kering, pusing, kesemutan, rasa mual, sering kencing, dan
rasa tidak enak di ulu hati)

34
Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji fungsi afektif :
1) Bagaimana perasaan klien saat ini ?
2) Apakah indikator yang menggambarkan mood/ rasa cemas / depresi pada
klien ?
3) Apakah ada faktor –faktor dibawah ini yang mengakibatkan cemas pada
klien seperti : kondisi patologik, pengobatan atau intervensi yang
berpengaruh pada sistem saraf pusat ?
4) Cara yang dilakukan oleh klien untuk mengatasi perasaannya yang tidak
seperti biasanya ?
5) Apakah ada hal yang ingin didiskusikan mengenai perasaaan klien?

h.Pengkajian Depresi
Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang
termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan
alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang
dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan
untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi
klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS)

i.Pengkajian Fisik
Keterampilan pengkajian Fisik ada 4 diantaranya adalah:
 Inspeksi
 Palpasi
 Perkusi
 Auskultasi
Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
1) Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat
sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika.
kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
2) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)

35
3) Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai
hidup yang tidak berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa
percaya diri. Pemikiran seperti, "saya menyia-nyiakan hidup saya" atau “saya
tidak bisa rncncapai banyak kemajuan", seringkali terjadi.
4) Berat badan berubah drastis
5) Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor
penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak
banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
6) Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih
dan untuk mernecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami
depresi merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah
masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi
adalah, "saya tidak bisa berkonsentrasi".
7) Keluarnya keringat yang berlebihan
8) Sesak napas
9) Kejang usus atau kolik
10) Muntah
11) Diare
12) Berdebar-debar
13) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami
depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam
setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang
lainnya yang mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah.
14) Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan
atau merasa, "saya selalu merasah lelah" atau "saya capai".

2. DIAGNOSA
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi
neuron irreversible
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi
dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis )

36
d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan
ketergantungan fisiologis dan atau psikologis
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses penyakit

3. RENCANA KEPERAWATAN
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi
neuron irreversible
1) Kaji derajat gangguan derajat kognitif, orientasi orang, tempat dan waktu
2) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang

b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif


1) Pertahankan tindakan kewaspadaan
2) Hadir dekat pasien selama prosedur atau pengobatan dilakukan

c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi


dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis )
1) Kaji derajat sensori/ gangguan persepsi
2) Mempertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan

d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan
ketergantungan fisiologis dan atau psikologi
1) Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri
2) Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai
kebutuhan
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses penyakit
1) Berikan dukungan emosional
2) Rujuk keluarga ke kelompok pendukung

4. IMPLEMENTASI
Implementasi disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah di susun
sebelumnya.

37
5. EVALUASI
Jika kriteria hasil telah tampak sesuai dengan yang diharapkan pada intervensi dan
masalah keperawatan telah terselesaikan maka perawat terlebih dahulu harus
mengkaji secara holistik terkait kondisi aktual pasien tentang ada atau tidaknya
masalah baru yag muncul. Tahap evaluasi dilakukan pada akhir pelaksanaan proses
keperawatan, ini bertujuan agar dapat menilai apakah proses keperawatan yang
dilaksanakan sudah berjalan sesuai rencana keperawatan yang disusun sebelumnya.

38
DAFTAR  PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R. I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

39

Anda mungkin juga menyukai