PENDAHULUAN
Data Riskesdas 2018 menunjukkan Prevalensi Penyakit Jantung berdasarkan diagnosis dokter
di Indonesia sebesar 1,5%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara
2,2%, DIY 2%, Gorontalo 2%. Selain ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi
lainnya dengan prevalensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional.
Delapan provinsi tersebut adalah, Aceh (1,6%), Sumatera Barat (1,6%), DKI Jakarta (1,9%),
Jawa Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan Timur (1,9%), Sulawesi Utara (1,8%)
dan Sulawesi Tengah (1,9%). Berdasarkan jenis kelamin, Prevalensi PJK lebih tinggi pada
perempuan (1,6%) dibandingkan pada laki-laki (1,3%). Sedangkan jika dilihat dari sisi
pekerjaan, ironisnya penderita Penyakit Jantung tertinggi terdapat pada aparat pemerintahan,
yaitu PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dengan prevalensi 2,7%. Begitu pula, jika dilihat dari
tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita Penyakit Jantung dengan
prevalensi 1,6% dibandingkan penduduk perdesaan yang hanya 1,3%. Adapun menurut BPJS
(2020) dinyatakan bahwa biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit katastropik dan penyakit
kardiovaskular menghabiskan hampir separuh dari total biaya, dimana penyakit
kardiovaskular Rp 8,2 triliun, penyakit stroke Rp 2,13 triliun, dan penyakit gagal ginjal
sebesar Rp 1,92 triliun.
Gagal jantung (Heart Failure) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif yang dapat
disebabkan karena adanya kelainan pada fungsi miokard (sistolik dan diastolik), penyakit
katup atau lainnya yang dapat membuat terjadinya gangguan aliran darah disertai retensi
cairan. Gejala khas pada gagal jantung berupa sesak nafas saat istirahat atau aktivitas,
kelelahan dan edema tungkai sedangkan tanda khas yang dapat muncul berupa takikardia,
takipneu, ronkhi paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer dan
hepatomegali. Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari gagal jantung,
pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart Association (NYHA) pada tahun 1994 yang
dibagi menjadi kelas I-IV tergantung dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan. Pada
pasien gagal jantung NYHA I belum ditemukan keluhan sesak sedangkan NYHA II sesak
timbul saat aktivitas sedang.
Proses penyusunan studi kasus ini memeiliki tujuan, yaitu untuk memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai standar dan professional
Perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung secara
komprehensif melalui pendekatan proses asuhan keperawatan yang professional.
1.4.1 Perawat mampu menjelaskan pengkajian keperawatan pada kasus gagal jantung.
1.4.2 Perawat mampu merumuskan dan menjelaskan diagnosa keperawatan berdasarkan
data pasien dan membuat prioritas masalah
1.4.3 Perawat mampu menetapkan dan menjelaskan hasil/luaran yang ingin dicapai dari
pasien dan intervensi yang sesuai.
1.4.4 Perawat mampu menjelaskan tentang tindakan keperawatan, baik yang bersifat
mandiri maupun kolaboratif pada pasien gagal jantung
1.4.5 Perawat mampu menjelaskan evaluasi terhadap tindakan yang telah diberikan pada
pasien gagal jantung.
1.5 Manfaat Studi Kasus