Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PARASITOLOGI KELAS L

“AMEBIASIS”

DISUSUN OLEH :

Ratna Dianty A (20334714)


Edy Sofyan (20334715)

DOSEN PENGAMPU :
Syaiful Bahri, S.Si., M.Si.

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


FAKULTAS FARMASI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah mengenai parasitologi pada penyakit Amebiasis.
Makalah amebiasis disusun guna memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester pada mata
kuliah Parasitologi di ISTN. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang penyakit amebiasis.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Syaiful Bahri, S.Si., M.Si.
selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................................4

I. Latar Belakang...................................................................................................................................4

II. Rumusan Masalah.............................................................................................................................6

III. Tujuan Umum.................................................................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................7

A. Definisi Amebiasis..............................................................................................................................7

B. Epidemiologi.......................................................................................................................................8

C. Etiologi................................................................................................................................................9

D. Patofisiologi, Patogenesis dan Patologi...........................................................................................10

E. Manifestasi Klinis...............................................................................................................................9

F. Langkah Diagnosis...........................................................................................................................10

G. Penatalaksanaan................................................................................................................................9

H. Pencegahan.......................................................................................................................................10

I. M.........................................................................................................................................................9

J. L........................................................................................................................................................10

BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................................................14

BAB IV PENUTUP....................................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh protozoa dan cacing pada kebanyakan bagian di dunia ini. Istilah protozoa digunakan
untuk merujuk pada organisme infeksius dari divisi binatang, yaitu parasit. Protozoa
merupakan organisme uniseluler yang mampu memperbanyak diri dalam hospesnya.
Infeksi protozoa usus menimbulkan variasi yang luas dari sindroma klinis, berkisar
dari status pengidap asimtomatik sampai penyakit berat yang disertai dengan lesi patologis
di saluran pencernaan atau organ lain. Infeksi dengan protozoa usus biasanya didapat
secara oral melalui kontaminasi tinja pada air dan makanan, dan mereka lebih endemik di
negara-negara dengan keadaan air tidak bersih (sehat).
Infeksi manusia dengan Entamoeba histolytica prevalen di seluruh dunia, fokus
endemik terutama lazim di daerah tropis dan daerah dengan standar sosioekonomi dan
kebersihan rendah. E. histolytica menyebabkan infeksi pada lumen saluran pencernaan
tanpa atau sedikit menimbulkan sekuele penyakit pada kebanyakan subyek yang
terinfeksi. Pada sebagian kecil individu, organisme menginvasi mukosa usus atau
menyebar ke organ lain, terutama hati.
Amebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica dan
disebut sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne Disease). Amebiasis merupakan
penyebab ketiga kematian akibat infeksi parasit di dunia setelah malaria dan skistomiasis.
Pada dasar global, amebiasis mengenai 50 juta orang per tahun, dan menyebabkan hampir
100,000 kematian. Menurut estimasi sekitar 48 juta individu menderita amebiasis di
seluruh dunia.

II. Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Amebiasis?
2. Bagaimana Klasifikasi Amebiasis?
3. Bagaimana cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica?
4. Bagaimana cara Diagnosis penyakit Amebiasis?
4
5. Bagaimana cara Pengobatan penyakit Amebiasis?
6. Bagaimana Epidemiologi penyakit Amebiasis?
7. Bagaimana cara Pencegahan penyakit Amebiasis?

III. Tujuan Umum


1. Untuk Mengetahui Pengertian Amebiasis;
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi Amebiasis;
3. Untuk Mengetahui cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica;
4. Untuk Mengetahui cara Diagnosis penyakit Amebiasis;
5. Untuk Mengetahui cara Pengobatan penyakit Amebiasis;
6. Untuk Mengetahui Epidemiologi penyakit Amebiasis;
7. Untuk Mengetahui cara Pencegahan penyakit Amebiasis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Amebiasis
Amebiasis adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit komensal usus
(amoeba) yaitu Entamoeba histolytica, namun juga amebiasis merujuk kepada infeksi
dengan amoeba lainnya. Amebiasis dapat dilakukan oleh amoeba yang parasit maupun
amoeba yang hidup secara bebas. Siapa pun berisiko terkena infeksi amebiasis. Namun
risiko ini lebih tinggi pada orang yang tinggal atau berkunjung ke negara beriklim tropis
atau daerah dengan sanitasi buruk, higiene individu dan faktor lainnya seperti kepadatan
penduduk. Kasus amebiasis masih sering di jumpai, baik di pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas) maupun dalam praktek kedokteran sehari-hari, tetapi penanganannya
kadangkala kurang memadai, sehingga akan terjadi komplikasi (penyulit) yang lebih
berbahaya. Maka ada baiknya diketahui tentang kasus amebiasis agar bisadilakukan penanganan
dan pencegahan yang tepat.

B. Entamoeba histolytica
Entamoeba merupakan gabungan dari beberapa parasit tunggal yang bertekstur
seperti jeli dan dapat hidup di dalam atau permukaan kulit manusia dan binatang. Sama
seperti mikroorganisme bersel satu pada umumnya, entamoeba bergerak dengan
mengubah struktur tubuhnya dan dapat berkembang biak dengan sendirinya.
Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan
komensal. Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara
binatang yang hidup dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah
(misalnya primata di kebun binatang).
Secara keseluruhan, terdapat 6 jenis entamoeba, namun hanya parasit E.histolytica
yang dapat membuat seseorang sakit. Parasit ini biasa ditemukan di lingkungan yang
lembap, berair dan berlumpur

C. Klasifikasi Amebiasis
 Amoebiasis intestinal
6
Klasifikasi amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan
simptomatik, sedang yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal
yaitu disentri, non-disentri colitis, amoebic appendicitaske orang lain oleh pengandung
kista Entamoeba histolytica yang mempunyai gejala klinik (simptomatik) maupun yang
tidak (asimptomatik).
Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di
daerah caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah
parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat
kerusakan mukosa. Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi aka
nterhenti di daerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi
lateral dan berkembang menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit
tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi awal biasanya tidak terjadi komplikasi dengan
bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat
merusak muskularis mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan
muskularis dan serosa.
Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari
strain amoeba, kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus,
infek/tidaknya dinding usus, kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung
karbohidrat, maka amoeba tersebut lebih patogen.
Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai
tumor yang berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada
amoebiasis yang kronis, biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi tersering terdapat
dalam sekum, tapi bisa pada semua tempat di kolon dan rektum. Pada pemeriksaan barium
enema, ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon.
Adanya ulkus pada mukosa usus dapat diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus.
Ulkus tersebar, terpisah satu sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi
dari 2- 3 mm sampai 2-3 cm.
Amoebiasis intestinal terdiri atas 2, yaitu:
 Amoebiasis Kolon Akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa
tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari.
7
Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan
sehingga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah,
dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare
yang disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang
sering ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harsu dibedakan dengan non infectious
diare seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada
amoebiasis intestinalis penderita biasanya tidak demam.
 Amoebiasis Kolon Menahun
Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya
terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi
obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga
kolitis ulserosa amebik.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan,
karena sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji
serologi untuk menemukan zat anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji
serologi zat mencapai 75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis
amoebiasis menahun. Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat
ditemukan penebalan mukosa yang non-spesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi fokal
dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped
appeareance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di
sigmoid. Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic
megacolon, ameboma, amoebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula.
Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan tetapi angka kematin
mencapai 50%. Penderita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri
perut dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti
amoeba tidak memperlihatkan hasil, lakukan tindakan bedah.
Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan
penggunaan kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya
pemberian anti amoeba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari
pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler), dapat
tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran
histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda peradangan
menahun disertai granulasi. Ameboma ini8 menyerupai karsinoma kolon. Amoebiasis
kolon bila tidak diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis
ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau
perkontinuitatum (secara langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk
submukosa kemudian ke kapiler darah, dibawah oleh aliran darah melalui vena porta ke
hati dan menimbulkan abses hati.
 Amoebiasis Ekstra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan.
Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4
minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan
atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat ternjadi nyeri
pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita
dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut
kembung, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali.
Pada fase sub- akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen
yang difus. Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak –
anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah
yang berwarnah coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil
penderita abses hati. Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase
pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung
ke pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara
perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba yang
keluar dapat menembus diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru, menimbulkan abses
paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau
pecah ke dalam dinding perut, menembus dinding perut samapi ke kulit dan menimbulkan
amoebiasis kulit dinding perut. Amoebiasis rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke
kulit di sekitar anus menyebabkan amoebiasis perianal, dapat juga menyebar ke perineum,
menyebabkan amoebiasis perineal atau ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di
kulit dan vagina amoeba ini menimbulkan ulkus.

D. Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica


Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista
tidak aktif, dan prekista intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang
ada dalam jaringan. Bentuk tersebut juga ditemukan dalam feses cair selama disentri
amoeba. Ukurannya 15 – 30 µm. Sitoplasma9granuler dan dapat mengandung sel-sel darah
merah
(patognomonik) tetapi biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin
atau trikhrom Gomori menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin
reguler, halus, membentuk jala-jala yang nyata sekitar perifer, kariosom sentral, kecil,
berwarna gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif cepat dan biasanya tidak
searah. Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar, reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau
pada amoeba prekista.
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap
trofozoit dan kista. Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri,
sedangkan pada tahap kista amoeba bersifat sangat menular dan kuat, hidup di Lingkungan
yang ekstrim. Entamoeba histolytica ditularkan melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi
terjadi mulai dari hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata 2–4 minggu). Mayoritas
mereka terinfeksi 90% adalah pembawa simtomatik, dan Entamoeba histolytica berada
dalam saluran usus dalam simbiosis dengan host. Infeksi dimulai dari tertelannya kista
dalam makanan dan minumanyang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan
trofozoit dalam usus besar dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis,
berukuran10-18 µm. Kista yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4
intiyang kecil. Selama proses pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda
kromatoid menjadi makin kabur dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan terhadap
bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap hidup dan infektif dalamkondisi lembab sedangkan
dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30 hari.
Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista
resisten terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa
digunakan pada pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan 55°C. Bila air
minum atau makanan terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk
melalui saluran pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan
keluar amoeba multinucleus metacystic yang langsung membelah diri menjadi 8
uninucleat trofozoit muda yang disebut amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar,
makan dan tumbuh dan membelah diri asexual.
Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa
hidupnya yaitu membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan
10
pembelahan nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase metacystic.
Pada fase trofozoit Entamoeba histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm,
sitoplasmanya terdiri

atas zona luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat,
mengandung inti yang berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan
bahankromatin granuler yang halus. Endoplasma juga berisi vakuola, dimanaeritrosit dapat
ditemukan pada kasus amoebiasis invasif menyusup masuk kedalam mukosa usus besar
diantara sel epitel sambil mensekresi enzim proteolytik.
Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan
organ lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati
trofozoit memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Trofozoit
dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic. Bentuknya akan mengecil dan
berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 µm. Bentuk kista yang matang mengandung
chromatoidu ntuk menyimpan unsur nutrisi glikogen yang digunakan sebagai sumber
energi. Kista ini adalah bentuk inaktif yang akan keluar melalui feses. Para trofozoit
metacystic dari progeni mereka mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak
dengan mukosa oral menembus atau menyerang epitel oleh pencernaan litik.
Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau
meneruskan kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk
flash. Ada beberapa titik penetrasi dari situs utama invasi, lesi sekunder mungkin
dihasilkan pada tingkat yang lebih rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal yang
diperas keluar ke bagian bawahusus dan dengan demikian, memiliki kesempatan untuk
menyerang danmenghasilkan bisul (borok) tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar
terlibat.
Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding
venula mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi
terjadi di cabang-cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis
menyebabkan trombi litik di dinding kapal danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan
koloni dalam ukuran dan berkembang menjadi abses. Suatu abses hati khas
mengembangkan dan terdiri dari: Central zona nekrosis, zona Median hanya stoma,
Sebuah zona luar dari jaringan normal yang baru saja diserang oleh amoeba.
Enkistasi, yaitu proses secara alami
11 perubahan tropozoit menjadi bentuk
kista tidak terjadi di dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan
berkondensasi menjadi benda berbentuk sferis, yakni prekista yang kemudian dindingnya
relatif tipis dan halus dilepaskan sehingga terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat
dua macam inklusi pada kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi

yang samar-samar dan bahan yang refraktil, disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat
berbentuk batang panjangatau dapat juga pendek, biasanya dengan ujung bundar.
Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam
suasana yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam
mulut, akan terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista
tidak akan berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amoeba akan menjadi
aktif. Juga karena pengaruh cairan lambung maka dinding kista menjadi lemah dan
amoeba dengan banyak intinya menjadi pusat metakista tropozoit.
Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus
kecil, kista akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa
mengalami ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel
pada mukosa usus atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus.
Bila amoeba muda mulai tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal
dan lengkaplah siklus perkembangannya.

E. Diagnosis
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses.
Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala
klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis
adanya abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk
mendiagnosis infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk
menemukan trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik
hasilnya. Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat
membedakan antara E.histolytica dengan E.hartmanni.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan
12 E.histolytica dengan E.dispar.
Selain itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif.
Sehingga pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu
1 minggu
baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma
E.histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang
hanya disebabkan oleh E.histolytica.

Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil
alcohol (pva) atau pada suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat
terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah.
Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan
waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi
urin dan air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat
antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.
2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan
antibodi sulit membedakan antara current atau previous injections. Pemeriksaan antibodi
akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di
daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica
memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap E.histolytica. Hal
ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks aglutinasi,
counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya
merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih
cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat
dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis
maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang.
Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari
previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai
minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap
tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena
13 infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai
6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3. Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik
ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi
antigen pada

tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal
adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat
dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar. Pada penderita abses
hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau serumnya.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang
diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian
polimorfisme E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian,
hasilnya sangat dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan
terjadi false negatif karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus
penderita dengan abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang
sudah diberi pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica
dengan E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan
kombinasi pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat
dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit
biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan
rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan
pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat
14
untuk melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap
dilakukan untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik
parasit maupun non-parasit
F. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda
dengan non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin.
Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita
amoebiasis invasif terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol.

Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol. Lebih
kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh dengan
pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan
pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung
parasit, karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin atau diloksanid furoat
untuk mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol sebaiknya tidak
bersamaan dengan paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai
efek sanping obat,. Pada penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses
selain pemberian obat anti amoeba. Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang
setelah pengobatan 5-7 hari tidak memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan
risiko tinggi rupture abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri
pemberian antibiotik pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi
penyembuhan setelah pengobatan dengan anti amoeba.
Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :
1. Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus
Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan
baik dalam usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada
dalam lumen usus.
a. Paromomisin (Humatin)
Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang
tidak diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang
berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah
15
pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati
pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/kgbb/hari,
terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka
panjang karena toksik.
b. Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)
Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk
E.histolytica yang berada dalam lumen. Efek samping yang sering ditemukan
adalah kembung. Mual, muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3
kali 500 mg perhari selama 10 hari.

c. Iodoquinol (Iodoksin)
Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh diberikan
pada penderita dengan gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari
selama 20 hari merupakan amebisid luminal yang bekerja dilumen. Dapat
digunakan untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol.
2. Obat Yang Bekerja Pada Jaringan
a. Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini
efektif bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya
tidak sempurna. Dapat diberiakan melalui suntikan intramuscular atau subkutis
setiap hari selama 10 hari. Pemberian secara intervena toksisitasnya relative
tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa
adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun 10 mg sehari. Lama
pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis
harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita
dengan gangguan jantung dan ginjal. Dehidroemetin relative kurang toksik
dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan secara oral. Dosisnya
maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan
dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
b. Metronidazol (Golongan Nitromidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati
16
amoeba, karena efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan
jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara
lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi E.histolytica di lumen usus, hanya
50% parasit mati dengan obat metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid
furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Sampai saat ini belum
dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau
ornidazol dengan dosis yang berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa
adalah 3x750 mg/hari 7- 10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada
trimester 1.
c. Klorokuin
Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati.
Efek samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit
kepala.

Dosisnya untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500
grama selama 2 sampai 3 minggu.

G. Pencegahan
Pencegahan penyakit amoebiasis terutama ditujukan kepada kebersihan perorangan
(personal hygiene) dan kebersihan lingkungan (environmental hygiene). Kebersihan
perorangan antara lain adalah mencuci tangan dengan bersih sesudah mencuci anus dan
sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi : memasak air minum, mencuci sayuran
sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air besar dijamban, tidak
menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang dihidangkan
untuk menghindari kontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah ditempat sampah
yang ditutup untuk menghindari lalat.
Untuk menurunkan angka sakit, maka perlu diadakan usaha jangka panjang berupa
pendidikan kesehatan dan perbaikan sanitasi lingkungan dan usaha jangka pendek berupa
penyuluhan kesehatan dan pembersihan kampung halaman secara serentak (gotong royong)
dan juga dengan pengobatan massal ataupun invidivual.

H. pe 17
I.
BAB III
PEMBAHASAN

I. P
II. E

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan,Andreas. 2016, Continuing Professional Development (Peranan


Paromomycin untuk Amebiasis),Jurnal CDK-239. Jakarta.
Maryatun,2008, E Ntamo Eb A Histo Lytica: Parasit Penyebab Amebiasis Usus
dan Hepar, Jurnal Kedokteran Syiahkuala. Aceh.
Srisasi Gandhusada, dr, dkk., Parasitologi Kedokteran, 1992. Fakultas Kedoktera U.I.
Jakarta. Edisi Kedua.
Setiati siti,dkk. 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Interna Publising.

20
21

Anda mungkin juga menyukai