Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH BAKTERIOLOGI

“PATOGENESIS BAKTERI PATOGEN”

Disusun Oleh:
Nurrohman Hidayat
1905277045

PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Patogenesis Bakteri Patogen” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas kuliah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Patogenesis Bakteri Patogen bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Saya
mengucapkan terima kasih kepada Ibu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Nurrohman. H
BAB I
PENDAHULUAN
 
 A.     Latar Belakang
Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup yang jumlahnya banyak disekitar
kita. Bakteri pun berada di mana-mana. Di tempat yang paling dekat dengan kita pun
juga terdapat bakteri contohnya saja tas, buku, pakaian, dan banyak hal lainnya. Maka
dari itu bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup sering terjadi. Karena
banyaknya manusia yang mengabaikan penyakit tersebut karena terkadang gejala awal
yang diberikan ada gelaja awal yang biasa saja. Maka dari itu alangkah baiknya jika kita
masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara bakteri itu menginfeksi dan gejala-gejala
apa yang akan dberikannya (Pratiwi 2017).
Banyaknya manusia yang mulai tidak begitu peduli dengan gejala awal
terjangkitnya bakteri salah satunya adalah pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan
adalah saluran yang sangat berperan dalam tubuh. Jika saluran pencernaan terganggu
akan cukup mengganggu aktivitas tubuh saat itu. Tapi banyak masyarakat yang tidak
peduli dengan penyakit yang ditimbulkan. Misalnya saja penyakit yang dapat
ditimbulkan oleh bakteri ada diare, gejala awalnya ada kondisi perut yang tidak enak
gejala awalnya cukup biasa tetapi jika terlalu didiamkan akan membuat kondisi itu
menjadi akut dan fatal. Maka dari itu, bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup
banyak pada saat ini (Normaidah 2020).
Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam, hanya sebagian
kecil saja yang merupakan patogen. Patogen adalah organism atau mikroorganisme
yang menyebabkan penyakit pada organism lain. Kemampuan pathogen untuk
menyebabkan penyakit disebut dengan patogenisitas. Dan patogenesis disini adalah
mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang
oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi
berbeda dengan penyakit. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya mikroorganisme
adalah organisme hidup yang berukuran mikroskopis sehingga tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Mikroorganisme dapat ditemukan disemua tempat yang
memungkinkan terjadinya kehidupan, disegala lingkungan hidup manusia. Mereka ada
di dalam tanah, di lingkungan akuatik, dan atmosfer ( udara ) serta makanan, dan karena
beberapa hal mikroorganisme tersebut dapat masuk secara alami ke dalam tubuh
manusia, tinggal menetap dalam tubuh manusia atau hanya bertempat tinggal sementara.
Mikroorganisme ini dapat menguntungkan inangnya tetapi dalam kondisi tertentu dapat
juga menimbulkan penyakit (Sibero, Sirajudin, and Anggraini 2019).

B.     Rumusan Masalah


1. Bagaimana Proses Bakteri Dalam Menimbulkan Penyakit ?
2. Apa Saja Contoh – contoh Patogenesis Dari Beberapa bakteri ?
3. Bagaiaman cara pengendalian penyakit bakteri?
C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Proses Bakteri Menimbulkan Penyakit
2. Contoh – contoh Patogenesis Dari Beberapa bakteri
3. berbagaia macam cara penegendalian penyakit bakteri
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Proses Bakteri dalam Menimbulkan Penyakit
Patogen adalah materi atau organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada
inang misalnya bakteri. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari
permukaan kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Sedangkan
Patogenesis sendiri  adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.
Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi
dengan jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit (Susanto 2020).
Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya.
Dengan kriteria ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit,
patogen oportunistik, nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang
menyebabkan suatu penyakit (Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah bakteri
yang berkemampuan sebagai patogen ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah
(contoh E. coli menginfeksi saluran urin ketika sistem pertahanan inang dikompromikan
(diperlemah). Nonpatogen adalah bakteri yang tidak pernah menjadi patogen. Namun
bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek
mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme resistensi.
Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula nonpatogen, berubah menjadi patogen
yang menyebabkan pneumonia, infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang
terkompromi (Susanto 2020).
Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding
lurus dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi
dipengaruhi oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan
inang, dan faktor virulensi bakteri. Secara eksperimental virulensi diukur dengan
menentukan jumlah bakteri yang menyebabkan kematian, sakit, atau lesi dalam waktu
yang ditentukan setelah introduksi.
            Mikroba patogen diketahui memasuki inang melalui organ-organ tubuh antara
lain :
1. Saluran pernapasan, melalui hidung  dan mulut yang dapat menyebabkan
penyakit saluran pernapasan seperti salesma, pneumonia, tuberculosis.
2. Saluran pencernaan melalui mulut yang dapat menyebabkan penyakit tifus, para
tifus, disesntri, dll.
3. Kulit dan selaput lendir. Adanya luka mesekipun kecil dapat memungkinkan 
mikroba seperti staphylicoccus yang menyebabkan bisul.
4. Saluran urogenital
5. Darah (Aliviameita and Puspitasari 2020).
1. Jalan Masuk Mikroorganisme Ke Tubuh Inang
Mikroorganisme patogen dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai macam
jalan, misalnya melalui membran mukosa, kulit ataupun rute parental. Banyak bakteri
dan virus memiliki akses memasuki tubuh inang melalui membran mukosa saluran
pernapasan, gastrointestinal, saluran genitourinari, konjungtiva, serta membran penting
yang menutupi bola mata dan kelopak mata.
 Saluran pernapasan
Saluran pernapasan merupakan jalan termudah bagi mikroorganisme infeksius.
Mikroorganisme terhirup melalui hidung atau mulut dalam bentuk partikel debu.
Penyakit yang muncul umumnya adalah pneumonia, campak, tuberculosis, dan
cacar air.
 Saluran pencernaan
Mikroorganisme dapat memasuki saluran pencernaan melalui bahan makanan
atau minuman dan melalui jari – jari tangan yang terkontaminasi
mikroorganisme pathogen. Mayoritas mikroorganisme tersebut akan
dihancurkan oleh asam klorida( HCL ) dan enzim – enzim di lambung, atau oleh
empedu dan enzim di usus halus. Mikroorganisme yang bertahan dapat
menimbulkan penyakit. Misalnya, demam tifoid, disentri amoeba, hepatitis A,
dan kolera. Patogen ini selanjutnya dikeluarkan malalui feses dan dapat
ditransmisikan ke inang lainnya melalui air, makanan, atau jari – jari tangan
yang terkontaminasi.
 Kulit
Kulit sangat penting sebagai pertahanan terhadap penyakit. Kulit yang tidak
mengalami perlukaan tidak dapat dipenetrasi oleh mayoritas mikroorganisme.
Beberapa mikroorganisme memasuki tubuh melalui daerah terbuka pada kulit,
folikel rambut, maupun kantung kelenjar keringat. Mikroorganisme lain
memasuki tubuh inang pada saat berada di jaringan bawah kulit atau melalui
penetrasi atau perlukaan membran mukosa. Rute ini disebut rute parenteral.
Suntikan, gigitan, potongan, luka, atau pembedahan dapat membuka rute infeksi
parenteral.
 Rongga mulut
Pada permukaan rongga mulut terdapat banyak koloni mikroorganisme. Salah
satu penyakit yang umum pada rongga mulut akibat kolonisasi mikroorganisme
adalah karies gigi. Karies gigi diawali akibat pertumbuhan Streptococcus mutans
dan spesies Streptococcus lainnya pada permukaan gigi. Hasil fermentasi
metabolisme, menghidrolisis sukrosa menjadi komponen monosakarida,
fruktosa, dan glukosa. Enzim glukosiltransferasi selanjutnya merakit glukosa
menjadi dekstran. Residu fruktosa adalah gula utama yang difermentasi menjadi
asam laktat. Akumulasi bakteri dan dekstran menempel pada permukaan gigi
dan membentuk plak gigi. Populasi bakteri plak didominasi oleh Streptococcus
dan anggota Actinomyces. Karena plak sangat tidak permeable terhadap saliva,
maka asam laktat yang diproduksi oleh bakteri tidak dilarutkan atau dinetralisasi
dan secara perlahan akan melunakkan enamel gigi tepat plak tersebut melekat
(Alami and Typus 2018).
2. Kolonisasi
Tahap pertama dari infeksi mikroba adalah kolonisasi: pembentukan patogen di
portal masuk yang tepat. Patogen biasanya menjajah jaringan inang yang berhubungan
dengan lingkungan eksternal.
3. Kepatuhan spesifik Bakteri to Cell dan Jaringan Permukaan
Beberapa jenis pengamatan memberikan bukti tidak langsung untuk spesifisitas
kepatuhan bakteri ke inang atau jaringan.
1. Tissue tropisme: bakteri tertentu diketahui memiliki preferensi yang jelas untuk
jaringan tertentu atas orang lain.
2. Spesifisitas Spesies: bakteri patogen tertentu hanya menginfeksi spesies tertentu.
3. Genetik kekhususan dalam suatu spesies: strain tertentu atau ras dalam suatu
spesies secara genetik kebal terhadap pathogen.
4. Mekanisme Kepatuhan to Cell atau Jaringan Permukaan
Mekanisme untuk kepatuhan mungkin melibatkan dua langkah:
1. Nonspesifik kepatuhan : lampiran reversibel bakteri untuk eukariotik permukaan
(kadang-kadang disebut” docking)
2. kepatuhan Tertentu: lampiran permanen reversibel mikroorganisme ke
permukaan (kadang-kadang disebut “penahan”).
Situasi umum adalah bahwa lampiran lampiran reversibel mendahului ireversibel
tetapi dalam beberapa kasus, situasi sebaliknya terjadi atau kepatuhan tertentu mungkin
tidak akan pernah terjadi.
Kepatuhan nonspesifik melibatkan pasukan menarik spesifik yang memungkinkan
pendekatan bakteri ke permukaan sel eukariotik. Kemungkinan interaksi dan pasukan
yang terlibat adalah:
1)   Interaksi hidrofobik
2)   Atraksi elektrostatik
3)   Atom dan molekul getaran yang dihasilkan dari dipol berfluktuasi frekuensi yang
sama
4)   Brown
5)   Perekrutan dan menyaring oleh polimer biofilm berinteraksi dengan glycocalyx
bakteri (kapsul)
Faktor yang mendasari Mekanisme Patogenisitas Bakteri adalah sebagai berikut :
1. Invasiveness adalah kemampuan untuk menyerang jaringan. Ini meliputi
mekanisme untuk kolonisasi (kepatuhan dan multiplikasi awal), produksi zat
ekstraselular yang memfasilitasi invasi (invasins) dan kemampuan untuk
memotong atau mengatasi mekanisme pertahanan inang.
2. Toxigenesis adalah kemampuan bakteri untuk menghasilkan racun. Bakteri
dapat menghasilkan dua jenis racun disebut exotoxins dan endotoksin.
o Exotoxins adalah racun yang dilepaskan dari sel bakteri dan dapat
bertindak  di bagian jaringan yang menghapus situs pertumbuhan bakteri.
o Endotoksin dapat dilepaskan dari pertumbuhan sel-sel bakteri hasil dari
pertahanan inang efektif (misalnya lisozim) atau kegiatan antibiotik
tertentu (Pratiwi 2017).
5. Kerentanan Inang
Kerentanan terhadap infeksi bakteri tergantung pada kondisi fisiologis dan
imunologis inang dan virulensi bakteri. Pertahanan inang terhadap infeksi bakteri adalah
mekanisme nonspesifik dan spesifik (antibodi). Mekanisme nonspesifik dilakukan oleh
sel-sel neutrofil dan makrofag. Perkembangan imunitas spesifik seperti respons antibodi
memerlukan waktu beberapa minggu. bakteri flora normal kulit dan permukaan mukosa
juga memberi perlindungan terhadap kolonisasi bakteri patogen. Pada individu sehat,
bakteri flora normal yang menembus ke tubuh dapat dimusnahkan oleh mekanisme
humoral dan seluler inang. Contoh terbaik tentang kerentanan adalah AIDS, di mana
limfosit helper CD4+ secara progresif berkurang 1/10 oleh virus imunodefisiensi (HIV).
Mekanisme resistensi dipengaruhi oleh umur, defisiensi, dan genetik. Sistem pertahanan
(baik spesifik maupun nonspesifik) orang lanjut usia berkurang. Sistem imun bayi
belum berkembang, sehingga rentan terhadap infeksi bakteri patogen. Beberapa
individu memiliki kelainan genetik dalam sistem pertahanan.
Resistensi inang dapat terkompromi oleh trauma dan penyakit lain yang diderita.
Individu menjadi rentan terhadap infeksi oleh berbagai bakteri jika kulit atau mukosa
melonggar atau rusak (terluka). Abnormalitas fungsi silia sel pernafasan mempermudah
infeksi Pseudomonas aeruginosa galur mukoid. Prosedur medis seperti kateterisasi dan
intubasi trakeal menyebabkan bakteri normal flora dapat masuk ke dalam tubuh melalui
plastik. Oleh karena itu, prosedur pengantian plastik kateter rutin dilakukan setiap
beberapa jam (72 jam untuk kateter intravena).
Banyak obat diproduksi dan dikembangkan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Agen antimikroba efektif melawan infeksi bakteri jika sistem imun dan fagosit inang
turut bekerja. Namun terdapat efek samping penggunaan antibiotik, yaitu kemampuan
difusi antibiotik ke organ nonsasaran (dapat mengganggu fungsi organ tersebut),
kemampuan bertahan bakteri terhadap dosis rendah (meningkatkan resistensi), dan
kapasitas beberapa organisme resisten terhadap multi-antibiotik (Guli 2016).
B. Contoh Patogenesis Bakteri Patogen
a. Bakteri pada Saluran Pencernaan
saluran pencernaan terdapat berbagai penyakit yang dapat terjadi. Salah satu
penyebabnya adalah bakteri. Begitu banyak bakteri yang dapat menjangkit saluran
pencernaan. Maka dari itu akan diperkenalkan bakteri-bakteri yang terdapat pada
saluran pencernaan.
1.    Escherichia coli
a)     Ciri-ciri:
 Berbentuk batang
 Bakteri gram negatif
 Tidak memiliki spora
 Memiliki pili
 Anaerobik fakultatif
 Suhu optimum 370C
 Flagella peritrikus
 Dapat memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan gas
 Patogenik, menyebabkan infeksi saluran kemih (Aliviameita and Puspitasari
2020).
b) Habitat
Habitat utama Escherichia coli adalah dalam saluran pencernaan manusia tepatnya
di saluran gastrointestinal dan juga pada hewan berdarah hangat. Bakteri ini termasuk
umumnya hidup pada rentang 20-40 derajat C, optimum pada 37 derajat. Total bakteri
ini  sekitar 0,1% dari total bakteri dalam saluran usus dewasa (Aliviameita and
Puspitasari 2020).
c) Virulensi dan Infeksi
Penyebab diare dan Gastroenteritis (suatu peradangan pada saluran usus). Infeksi
melalui konsumsi air atau makanan yang tidak bersih. Racunnya dapat menghancurkan
sel-sel yang melapisi saluran pencernaan dan dapat memasuki aliran darah dan
berpindah ke ginjal dan hati. Menyebabkan perdarahan pada usus, yang dapat
mematikan anak-anak dan orang tua. E. coli dapat menyebar ke makanan melalui
konsumsi  makanan dengan tangan kotor, khususnya setelah menggunakan kamar
mandi. Solusi untuk penyebaran bakteri ini adalah mencuci tangan dengan sabun (Alami
and Typus 2018).
d) Patogenesis
Untuk Escherichia coli, penyakit yang sering ditimbulkan adalah diare. E. coli
sendiri diklasifikasikan berdasarkan sifat virulensinya dan setiap grup klasifikasinya
memiliki mekanisme penularan yang berbeda-beda. Contohnya :
 E· Coli Enteropatogenik (EPEC)
E. coli ini menyerang manusia khususnya pada bayi. EPEC melekatkan
diri pada sel mukosa kecil. Faktor yang diperantarai oleh kromosom akan
menimbulkan pelekatan yang kuat.  Pada usus halus, bakteri ini akan
membentuk koloni dan menyerang pili sehingga penyerapannya terganggu.
Akibatnya adalah adanya diare cair yang biasanya sembuh diri tetapi dapat juga
menjadi kronik. EPEC sedikit fimbria, ST dan LT toksin, tetapi EPEC
menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang sel
usus. Sel EPEC invasive (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang.
 E· Coli Enteroagregatif (EAEC)
Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara
berkembang. Bakeri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya pada sel
manusia. EAEC menproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan
ETEC (Pratiwi 2017).
e) penularan
Penularan pada bakteri ini adalah dengan kontak dengan tinja yang terinfeksi secara
langsung, seperti :
 makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau kontaminasi oleh tangan yang kotor
 Tidak mencuci tangan dengna bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja yang terinfeksi, sehingga kontaminasi perabotan dan alat-
alat yang dipegang.
2. Salmonella sp.
a) Ciri-ciri:
 Batang gram negatif
 Terdapat tunggal
 Tidak berkapsul
 Tidak membentuk spora
 Peritrikus
 Aerobik, anaerobik fakultatif
 Patogenik, menyebabkan gastroenteritis
b) Habitat
Terdapat pada kolam renang yang belum diklorin, jika terkontaminasi melalui kulit,akan
tumbuh dan berkembang pada saluran pencernaan manusia.
c) Infeksi
Masuk ke tubuh orang melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini.
Akibat yang ditimbulkan adalah peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya
dinding usus. Penderita akan mengalami diare, sari makanan yang masuk dalam tubuh
tidak dapat terserap dengan baik sehingga penderita akan tampak lemah dan kurus.
Racun yang dihasilkan bakteri salmonella menyebabkan kerusakan otak, organ
reproduksi wanita, bahkan yang sedang hamilpun dapat mengalami keguguran. Satwa
yang bisa menularkan bakteri salmonella ini antara lain primata, iguana, ular, dan
burung.
d) Patogenesis
–     Menghasilkan toksin LT.
–     Invasi ke sel mukosa usus halus.
–     Tanpa berproliferasi dan tidak menghancurkan sel epitel.
–     Bakteri ini langsung masuk ke lamina propria yang kemudian menyebabkan
infiltrasi sel-sel radang.
e)    Penularan
Melalui makanan yang erat kaitannya dengan perjamuan makanan. Terjadi sakit perut
yang mendadak. Jadi, melalui kontar makanan yang terjangkit atau terkontaminasi
bakteri.
3. Clostridium perfringens
a) Ciri-ciri:
 Batang gram positif
 Terdapat tunggal, barpasangan, dan dalam rantai
 Berkapsul
 Sporanya ovoid (melonjong), sentral sampai eksentrik
 Anaerobik
 Menghasilkan eksotoksin, menyebabkan kelemayuh (suatu infeksi jaringan
disertai gelembung gas dan keluarnya nanah)
Spesies bakteri ini dibagi menjadi enam tipe, A sampai F, berdasarkan pada toksin-
toksin yang secara antigenik berbeda, yang dihasilkan oleh setiap galur. Tipe A adalah
galur yang menyebabkan keracunan makanan oleh perfingens. Peracunan disebabkan
oleh sel-sel vegetatif pada waktu membentuk spora di rongga usus. Spora akan
menghasilkan eksotoksin yang enterostatik sehingga menyebabkan penyakit.
b) Habitat
Bakteri ini tersebar luas di lingkungan dan sering terdapat di dalam usus manusia,
hewan peliharaan dan hewan liar. Spora organisme ini dapat bertahan di tanah, endapan,
dan tempat-tempat yang tercemar kotoran manusia atau hewan.
c) Infeksi dan virulensi
Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan makanan ´perfringens´ yang merupakan
istilah yang digunakan untuk keracunan makanan yang disebabkan oleh C. perfringens .
Keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang mulai
terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C.
perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan. Keracunan perfringens
didiagnosis dari gejala-gejalanya dan waktu dimulainya gejala yang agak lama setelah
infeksi. Lamanya waktu antara infeksi dan timbulnya gejala merupakan ciri khas
penyakit ini. Diagnosis dipastikan dengan memeriksa adanya racun dalam kotoran
pasien. Konfirmasi secara bakteriologis juga dapat dilakukan apabila ditemukan sangat
banyak bakteri penyebab penyakit di dalam makanan atau di dalam kotoran pasien.
Dalam sebagian besar kasus, penyebab sebenarnya dari keracunan oleh C.
perfringens adalah perlakuan temperatur yang salah pada makanan yang telah
disiapkan. Sejumlah kecil organisme ini seringkali muncul setelah makanan dimasak,
dan berlipat ganda hingga tingkat yang dapat menyebabkan keracunan selama proses
pendinginan dan penyimpanan makanan. Daging, produk daging, dan kaldu merupakan
makanan-makanan yang paling sering terkontaminasi.
Keracunan perfringens paling sering terjadi dalam kondisi pemberian makan
bersama (misalnya di sekolah, kantin, rumah sakit, rumah-rumah perawatan, penjara,
dll.) di mana sejumlah besar makanan disiapkan beberapa jam sebelum disajikan
(Winda Safitri 2012).
d)  Patogenesis
 Menghasilkan toksin LT
 Toksin merangsang enzim adenilat siklase pada dinding usus yang
mengakibatkan bertambahnya konsentrasi cAMP sehingga hipersekresi air dan
klorida dalam usus.
 Hal ini mengakibatkan reabsorpsi Na terhambat dan menyebabkan diare.
Peracunan disebabkan oleh sel-sel vegetatif  pada waktu membentuk spora di rongga
usus. Pengobatannya hanya menghilangkan gejala karena tidak ada pengobatan lain
yang khusus.
e)    Penularan
          Menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja dimana makanan
tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman
berkembangbiak.
b. Bakteri Patogen Saluran Urogenital
1.  Treponema pallidum
a)    Karakteristik
Mikroorganisme ini halus, berpilin ketat dengan ujung meruncing dan terdiri
dari 6 sampai 14 spiral; berukuran lebar 0,25 sampai 0,3 um dan panjang 6 sampat 15
um. Organisme ini dapat dikenali paling jelas pada suatu spesimen klinis yang berasal
dari luka sifilitik stadium primer dan sekunder dibawah mikroskop medan gelap ; ini
jelas terlihat dari bentuk spiral dan pergerakannya yang seperti putaran pembuka
sumbat.
Treponema pallidum mempunyai membran luar, atau selongsong yang disebut
periplas yang melingkungi komponen-komponen dalam sel (keseluruhannya disebut
silinder protoplasma). Suatu filamen aksial, yang terdiri dari tiga sampai enam fibril,
terletak diantara periplas dan silinder protoplasma.
T. pallidum yang virulen belum berhasil di biakkan secara in vitro. Galur-galur
T.pallidum yang non virulen (tidak patogenik), seperti galur Reiter dan Noguchi, telah
berhasil dibiakkan invitro dan menjadi sumber antigen untuk uji-uji diagnostik
laboratoris.
b)  Patogenitas
Sifilis disebabkan oleh bakteri yang disebut spiroketa. Penyebarannya tidak
seluas gonorea, tetapi lebih menakutkan karena kerusakan yang mungkin
ditimbulkannya lebih besar. Seperti gonorea, penyakit ini disebarkan melalui kontak
langsung dengan luka-luka pada orang yang ada pada stadium menular. Spiroketa,
seperti gonokokus, adalah mikrobe yang tidak tahan berada di luar tubuh manusia,
sehingga kemungkinan tertulari dari benda mati sangat kecil.
Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh sewaktu terjadi hubungan kelamin
melalui luka-luka goresan yang amat kecil pada epitel, dengan cara menembus selaput
lendir yang utuh ataupun mungkin melalui kulit yang utuh lewat kantung rambut. Masa
inkubasi sifilis berkisar 10-90 hari (rata-rata 21 hari) setelah infeksi. Bila tidak diobati,
sifilis dapat timbul dalam beberapa stadium penyakit.
Sifilis berjangkit secara alamiah hanya pada manusia dan terutama ditularkan
lewat hubungan kelamin atau dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya (sifilis bawaan
atau sebelum lahir) lewat ari-ari. Pada kasus yang tidak diobati 25% di antara janin
meninggal meninggal sebelum lahir 25-30% meninggal segera setela dilahirkan yang
lain menunjukkan gejala komplikasi lanjut (misalnya menjadi tuli).Sejumlah besar
treponema dalarn darah dan jaringan musnah selama sifilis sekunder. Penisilin adalah
adalah antibiotik yang dipilih untuk pengobatan sifilis (Winda Safitri 2012).
c)   Diagnosa 
Diagnosa sifilis biasanya dapat ditentukan dari gabungan informasi mengenai
gejala, sejarah eksposi, dan uji darah yang positif atau dengan pemeriksaan mikroskop
medan gelap.
Hasil positif pengamatan luka dengan mikroskop medan gelap (untuk sifat morfologis
dan pergerakan spiroketa) adalah cara satu-satunya untuk membuat diagnosis sifilis
primer yang pasti. Untuk sifilis sekunder juga, diagnosis yang pasti bergantung kepada
pemeriksaan dengan mikroskop medan gelap terhadap eksudat dari luka basah pada
kulit dan bukan pada mulut. (Rongga mulut mungkin banyak mengandung spiroketa
yang bukan penyebab sifilis). Uji-uji serologis sifilis reaktif atau dapat diandalkan pada
stadium kedua penyakit ini.

d)   Epidimologi
Sejak 1962, kasus-kasus sifilis di Amerika Serikat yang dilaporkan bertambah
setiap tahunnya sekurang-kurangnya 4,7%. Seperti gonorae, jumlah sifilis dini (kasus
primer, sekunder dan laten dini) yang dilaporkan tidak merupakan indikasi insiden yang
sebenamya, karena kebanyakan kasus tidak dilaporkan.
e)    Pencegahan
Tidak ada vaksin terhadap sifilis. Untuk perseorangan penggunaan kondom sangat
efektif. Untuk masyarakat, cara utama pencegahan sifilis ialah melalui pengendalian
yang meliputi pemeriksaan serologis dan pengobatan penderita. Sifilis bawaan dapat
dicegah dengan perawatan prenatal (sebelum kelahiran) yang semestinya (Aliviameita
and Puspitasari 2020).
2. Leptospira interoogans
a)   Klasifikasi
Kingdom       : Monera
Phylum          : Spirochaetes
Class              : Spirochaetes
Order             : Spirochaetales
Family           : Leptospiraceae
Genus            : Leptospira
Species          : Leptospira  interoogans

b)    Karakteristik
Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di air tawar
selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yang mampu
menyebabkan penyakit (patogen) bagi manusia adalah Leptospira interrogans.
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk spiral termasuk genus Leptospira,
famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung
tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Setiap spesies leptospira
terbagi menjadi puluhan serogrup dan terbagi lagi menjadi puluhan, bahkan ratusan
serovar. Saat ini, Leptospira interrogans yang bersifat patogen telah dikenal lebih dari
200 serovar. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal host dan dikeluarkan melalui
air kencing (urin) saat berkemih. Host tersebut antara lain tikus, babi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, kelelawar, tupai dan landak. Tikus sering menjadi host bagi
berbagai serovar leptospira. Akan tetapi, Leptospirosis akan mati apabila masuk ke air
laut, selokan, dan air kemih manusia.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya
adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Resevoar paling
utama adalah binatang pengerat dan tikus adalah yang paling sering ditemukan di
seluruh belahan dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus,
binatang buas dan kucing (Tanzil 2013).
c)    Penularan
Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing,
serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering
melalui binatang tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam
tubuh manusia melalui: permukaan kulit yang terluka, selaput lender mata dan hidung.
Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urine tikus yang
terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia. Urine tikus yang
mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau
makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman.
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
Penyebab leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda,
babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan
leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus. Leptospirosis tidak menular langsung dari
pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada
di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan
gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan
migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis
interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya
disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi
sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfunsi hepatocellular. Leptospira juga dapat
menginvasi otot skletal menyebabkan edema, vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal.
Muscular Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler
dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat
“disseminated vasculitic syndrome” akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler.
Gangguan paru adalah meknisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular
interstitial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi humor
akuos mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan
uveitus kronis dan berulang. Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang
berat tettapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon
imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi
gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan “secondary end-organ injury” (Alami and
Typus 2018).
d)        Gejala
Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang
asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40%
penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan. serologi
positif. Pada leptospirosis umumnya terdapat riwayat terpapar hewan terinfeksi, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Masa inkubasi berlangsung selama 7-12 hari,
disusul fase leptospiremia selama 4-7 hari. Pada fase ini dijumpai gejala mirip flu (Flu
Like Syndrome) berupa demam, menggigil, sakit kepala hebat, mual, muntah, nyeri otot
(terutama betis, pinggang, atau punggung belakang). Kadang-kadang nyeri tenggorokan
dan terdapat gejala paru berupa batuk, nyeri dada, maupun hemoptisis (batuk darah).
Kemudian setelah fase ini, pasien masuk kedalam fase bebas / asimptomatik (gejala
hilang) selama 2 hari. Lalu kemudian gejala akan muncul kembali, dan penderita masuk
ke dalam fase imun, dimana telah timbul antibody, dan leptospira tidak ada di darah
tetapi ada di ginjal, urine, dan aqueous humor. Fase ini biasanya berlangsung selama 4-
30 hari, dimana gejalanya mirip fase awal, namun biasanya demam tidak setinggi fase
awal, juga nyeri otot tak seberat fase pertama. Pada fase ini dapat dijumpai meningitis,
uveitis, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta kelainan di paru-paru.
Terdapat varian leptospirosis yang lebih berat, yang biasanya disebut Weil
Syndrome. Gejalanya adalah leptospirosis ditambah ikterus (mata kuning), perdarahan,
gangguan jantung, paru, dan neurologik, serta mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
Penyebabnya adalah infeksi leptospira serovarian icterohemoragika / copenhagoni.
Pada permulaan, penyakit berjalan seperti biasa, namun setelah 4-9 hari timbul ikterus,
disfungsi hati dan ginjal, ikterus berwarna kemerahan (rubinic jaundice) dan memberi
warna oranye pada kulit, kencing warna gelap, hepatomegali (pembesaran hati),
peningkatan bilirubin dan alkali fosfatase, serta peningkatan ringan SGOT dan SGPT.
Gangguan fungsi ginjal biasanya berlangsung pada minggu kedua, yang timbul sebagian
akibat hipovolemia, dan penurunan perfusi ginjal yang kadang-kadang sampai
memerlukan dialisis (cuci darah). Namun bila penyebab sudah teratasi, fungsi ginjal
dapat pulih kembali (Aliviameita and Puspitasari 2020).
e)    Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui
sejauh mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.
 Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan   tubuh
penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik
untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal
penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang
peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek
 Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan          
kuman leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan
waktu diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu
beberapa bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut.
 Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi
diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil
saat 1-2 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2
minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic
agglutination test(MAT).
 Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer
MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada
mikroskopi lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan
cukup bermakna (Aliviameita and Puspitasari 2020).

f)    Pengobatan
Pengobatan awal memegang peranan penting; penggunaan pencilin dan
streptomisin dianjurkan. Pengobatan tidak berguna bila terjadi kerusakan pada ginjal.
Streptomisin pada dosis yang tinggi dapat mencegah “carrier”.
g)   Pencegahan
Bila leptospirosis merupakan wabah maka pencegahan utama yang dilakukan
adalah pengendalian tikus dan pencemaran air. Leptospira dapat bertahan dalam air
yang bersifat basa selama beberapa hari, namun hanya dapat bertahan dalam sampah
selama 12 jam; mikroorganisme ini sangat peka terhadap kering dan panas.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara vaksinasi. Perlindungan yang
ditimbulkan kira-kira satu tahun.

 C. Berbagai Macam Cara Pengendalian Penyakit Bakteri


1. Cara Pengendalian Penyakit HDB dengan Varietas Tahan
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri yang selama ini dianggap paling
efektif adalah dengan varietas tahan. Namun teknologi ini dihambat oleh adanya
kemampuan bakteri patogen membentuk patotipe (strain) baru yang lebih virulen yang
menyebabkan ketahanan varietas tidak mampu bertahan lama. Adanya kemampuan
pathogen bakteri Xoo membentuk patotipe baru yang lebih virulen juga menyebabkan
pergeseran dominasi patotipe pathogen ini terjadi dari waktu ke waktu. Hal ini
menyebabkab varietas tahan disuatu saat tetapi rentan di saat yang lain dan tahan di
suatu wilayah tetapi rentan di wilayah lain. Sehubungan dengan sifat -sifat yang
demikian ini maka pemantauan dominasi dan komposisi patotipe bakteri Xoo di suatu
ekosistem padi (spatial dan temporal) menjadi sangat diperlukan sebagai dasar
penentuan penanaman varietas tahan di suatu wilayah. Peta penyebaran patotipe dapat
digunakan sebagai dasar penentuan penanaman suatu varietas disuatu wilayah
berdasarkan kesesuaian sifat tahan varietas terhadap patotipe yang ada di wilayah
tersebut.
Mengingat tahan terhadap patotipe tertentu bisa jadi tidak tahan (rentan)
terhadap patotipe yang lain. Pada daerah yang dominan HDB patotipe III disarankan
menanam varietas yang tahan terhadap patotipe III, daerah dominan patotipe IV
disarankan menanam varietas tahan patotipe IV dan dominan patotipe VIII disarankan
menanam varietas tahan patotipe VIII.
2. Bacteral Leaf Streak (x. Oryzae pv. oryzicola)
Penyakit dari bakteri ini, dapat dikendalikan dengan kultur teknis, varietas tahan,
dan perlakuan benih (seed treatment) dengan kemikalia. Jerami dan turiang yang
tertinggal di lapangan sesudah tanaman dipanen sebaiknya dihilangkan untuk
menghindari penyebaran penyakit untuk tanaman berikutnya. Jarak tanam lebar juga
sangat membantu menekan penyakit ini. Varietas tahan merupakan komponen yang
praktis untuk mengendalikan penyakit ini.

3. Red Stripe
Pengendalian Penyakit bakteri ini, sangat sulit untuk disembuhkan. Yang dapat
dilakukan adalah menghambat perkembangan dan penyebaran penyakit, melalui kultur
teknis. Bila sudah terlihat gejala, penyakit dapat ditekan dengan menurunkan
kelembapan dalam kanopi tanaman dan meningkatkan self defense tanaman melalui
pemupukan kalium. Sebaiknya pertanaman tidak digenang terus menerus, karena di
samping tidak perlu, juga akan menyebabkan kelembapan dalam kanopi tanaman
mendekati 100%. Untuk itu maka, pertanaman perlu dikeringkan (untuk lahan yang
mudah dikeringkan) atau dibuka kanopinya (disuai), agar kelembapan dan suhu dalam
kanopi berkurang. Unsur kalium berfungsi aktif dalam hampir semua proses fisiologi
tanaman. Dalam kaitannya dengan ketahanan dari dalam diri tanaman (self defense),
proses fisiologi ini sangat menentukan. Pupuk kalium yang cukup meningkatkan
ketahanan tanaman dan menekan beberapa penyakit penting pada tanaman padi,
termasuk red stripe. Sampai saat ini belum dikembangkan varietas yang tahan terhadap
penyakit ini, terutama berkaitan dengan patogen yang belum teridentifikasi. Namun
demikian, satu sumber ketahanan terhadap penyakit ini, yaitu varietas Lusi, telah
tersedia sebagai bahan persilangan. Beberapa fungisida, seperti Carbendazim, Benlate,
campuran Copper-benlate, dan Triphenyltin efektif untk mengendalikan penyakit ini
(Yunita 2011).

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Patogenesis adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.
Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi
dengan jaringan inang.
Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari permukaan kulit,
saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia.  Mikroorganisme patogen
dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai macam jalan, misalnya melalui membran
mukosa, kulit ataupun rute parental. Banyak bakteri dan virus memiliki akses memasuki
tubuh inang melalui membran mukosa saluran pernapasan, gastrointestinal, saluran
genitourinari, konjungtiva, serta membran penting yang menutupi bola mata dan
kelopak mata.
Untuk Escherichia coli, penyakit yang sering ditimbulkan adalah diare. E. coli
sendiri diklasifikasikan berdasarkan sifat virulensinya dan setiap grup klasifikasinya
memiliki mekanisme penularan yang berbeda-beda. Contohnya Coli Enteropatogenik
(EPEC). E. coli ini menyerang manusia khususnya pada bayi. EPEC melekatkan diri
pada sel mukosa kecil. Faktor yang diperantarai oleh kromosom akan menimbulkan
pelekatan yang kuat.  Pada usus halus, bakteri ini akan membentuk koloni dan
menyerang pili sehingga penyerapannya terganggu. Akibatnya adalah adanya diare cair
yang biasanya sembuh diri tetapi dapat juga menjadi kronik. EPEC sedikit fimbria, ST
dan LT toksin, tetapi EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk
mengikat inang sel usus. Sel EPEC invasive (jika memasuki sel inang) dan
menyebabkan radang.
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri yang selama ini dianggap paling efektif
adalah dengan varietas tahan. Namun teknologi ini dihambat oleh adanya kemampuan
bakteri patogen membentuk patotipe (strain) baru yang lebih virulen yang menyebabkan
ketahanan varietas tidak mampu bertahan lama. dan juga pengendalian penyakit yang di
sebabkan oleh bakteri sanagat sulit disembuhkan yang dapat dilakukan adalah
menghambat perkenbangan dan penyebaran penyakit, melalui kultur teknis.

B.     Saran
Bakteri makhluk kecil yang jarang kita sadari keberadaanya. Maka jika terjangkit salah
satu penyakit dari bakteri kita jangan meremehkan gejala awal yang dialami karena
umumnya gejala awalnya sangat biasa. Karena jika diremehkan bisa saja menjadi akut.
Harus mengikuti tahap-tahap pencegahan yaitu dengan menjaga kebersihan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Alami, Antimikroba, and Penyakit Typus. 2018. “3 Bakteriologie.” Hygiene,


Infektiologie, Mikrobiologie. doi: 10.1055/b-0038-162604.
Aliviameita, Andika, and Puspitasari. 2020. Buku Ajar Mata Kuliah.
Guli, Musjaya M. 2016. “Patogenesitas Penyakit Kolera Pada Manusia.” Jurnal
Biocelebes 10(2):17–24.
Normaidah, Id. 2020. “Review : Patogenesis Dan Diagnosa Laboratorium Demam
Tifoid.” Klinikal Sains : Jurnal Analis Kesehatan 8(2):51–61. doi:
10.36341/klinikal_sains.v8i2.1409.
Pratiwi, Rina Hidayati. 2017. “Mekanisme Pertahanan Bakteri Patogen Terhadap
Antibiotik.” Jurnal Pro-Life 4(3):418–29.
Sibero, Hendra Tarigan, Ahmad Sirajudin, and Dwi Anggraini. 2019. “Prevalensi Dan
Gambaran Epidemiologi Akne Vulgaris Di Provinsi Lampung The Prevalence and
Epidemiology of Acne Vulgaris in Lampung.” Jurnal Farmasi Komunitas 3(2):62–
68.
Susanto, A. 2020. Buku Ajar" Bakteriologi (Carrier Penyakit Typus).
Tanzil, Kunadi. 2013. “Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks.” Jurnal Ilmiah WIDYA
Kesehatan Dan Lingkungan 1.
Winda Safitri, Titiek H. Ahadiah. 2012. “Diagnosis Dan Penatalaksanaan Trombosis
Sinus Lateralis.” 5(9):1689–99.
Yunita, Rina. 2011. “Patogenesis Infeksi Streptococcus Pyogenes.” Universitas
Sumatera Utara 1–17.

Anda mungkin juga menyukai