Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

EKOSISTEM AGROFORESTRI

Disusun Oleh : Kelompok 4

Wirda Kilkoda 202106126


Abuhari Rumarubun
Jumra Mony 202106110
Kusmawati Latuconsina

FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM AMBON
TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang kiranya pantas
penulis ucapkan karena atas Berkat, Rahmat serta Hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah Ekosistem Agroforestri ini dalam waktu yang telah di
tentukan. Penulis menyadari, dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan. Hal ini di sebabkan keterbatasan pengetahuan penulis, sebelumnya
penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah sehingga penulis
mendapat teori dan bekal pengetahuan dalam membuat makalah ini. Penulis,
berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis sendiri.

Ambon. Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................4
1.1...............................................................................Latar Belakang 4
1.2............................................................................................Tujuan 4
BAB II. PEMBAHaSAN..........................................................................5
2.1. Pengertian ekosistem ………………………………………….5
2.2 Pengertian Agroforestri..............................................................6
2.3. Pengertian Ekosistem Agroforestery ………………………….8
2.4. Perkembangan Agroforestri.....................................................13
2.4. Ruang Lingkup Agroforestri...................................................15
2.5. Aspek Ekonomi Pengembangan Agroforestri.........................23
BAB III. PENUTUP...............................................................................24
3.1. Kesimpulan..............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan

kelangsungan fungsi hutan. Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat

diperlukan peran serta masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan. Untuk itu

keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh keberhasilan

pembangunan masyarakat sekitar terutama untuk peningkatan kesejahteraan.

Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan

kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Di daerah

Sumberjaya, masyarakat telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal

perkebunan kopi sebagai mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60%

daerah ini masih dalam keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya

sekitar 15% hutan yang masih tertinggal (Agus et al., 2002). Alih fungsi lahan hutan

menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan

kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan

perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu

sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan

usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin

dapat ditawarkan untuk mengatasinya.

I.2. Tujuan

4
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah Mahasiswa mengetahu

tentang ekosistem agroforestri.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.Ekosistem bisa

dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap

unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Ekosistem merupakan

penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik

antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu

struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme

dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.

Ekosistem secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu hubungan timbal

balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (seperti tanah, udara, air, dan lain

sebagainya).Ekosistem adalah suatu proses yang terbentuk karena adanya hubungan

timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya, jadi kita tahu bahwa ada

komponen biotik (hidup) dan juga komponen abiotic(tidak hidup) yang terlibat

dalam suatu ekosistem ini, kedua komponen ini tentunya saling mempengaruhi,

contohnya saja hubungan hewan dengan air. Interaksi antara makhluk hidup dan

tidak hidup ini akan membentuk suatu kesatuan dan keteraturan. Setiap komponen

yang terlibat memiliki fungsinya masing-masing, dan selama tidak ada fungsi yang

terngganggu maka keseimbangan dari ekosistem ini akan terus terjaga.

6
2.2 Pengertian Agroforestri
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu

sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan,

perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula

dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan

lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara

tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan

pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman

tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya.

Penyebarluasan agroforestry diharapkan bermanfaat selain mencegah

perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatnya

mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari diversifikasi silvikultur

(Hariah et al, 2003).

2.3 Pengertian Ekosistem Agroforestry


Ekosistem adalah hubungan antara kumpulan beberapa populasi disuatu

tempat yang mengadakan interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung

dengan lingkungan abiotik dan hubungannya adalah timbal balik.

Ekosistem agroforesatery adalah hubungan antara kumpulan beberapa

populasi baik itu binatang dan tumbuh-tumbuhan yang hidup dalan lapisan dan

dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan serta membentuk suatu kesatuan

ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis yang mengadakan

7
interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungannya dan

antara yang satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

2.4 Perkembangan Agroforestri


Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian

sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam

sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak

dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam

mempertahankan eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke

bercocok tanam dan beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang

pohon, membakar serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini

lahirlah pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.

Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan,

pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu

dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan.

Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanam  menjadi

tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada

pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir

Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau

dikombinasikan dengan tanaman pertanian.

Kelebihan sistem ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi

juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang

memang sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai

tumpangsari. Banyak ahli yang berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal

8
agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan

lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern.

Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau pohon

komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat

lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa

liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al, 2003).

2.5 Ruang Lingkup Agroforestri


Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu :

kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat

berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja

sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau

kelompok produk yang serupa. Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen

tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi

yakni:

1.  Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana

penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil

pertaniandan kehutanan.

2. Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan

pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil  kayu dengan,

dan sekaligus pemeliharaan ternak.

3. Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang rumput

(makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk

9
memproduksi  hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan

sekaligus memelihara hewan ternak.

4. Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.

5. Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada

komponen kehutanan.

6. Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada

komponen kehutanan.

Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana tani

yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De foresta dan

Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkan

menjadi dua sistem yakni :

1. Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan

ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman

semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak

lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola

lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk

lorong/pagar.

2. Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang

melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja

ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan

dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai

hutan,  contohnya hutan dan kebun.

10
2.6 Aspek Ekonomi Pengembangan Agroforestri
Terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk

menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu:

Kelayakan (feasibility)

Keuntungan (profitability)

Kelayakan (Feasibility)

Faktor kelayakan mencakup aspek apakah petani mampu mengelola

agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka punyai, apakah

mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber

daya dan teknologi tersebut.

1. Sumber Daya yang Tersedia Status ekonomi Hutan merupakan sistem

penggunaan lahan yang ‘tertutup’ dan tidak ada campur tangan manusia. Masuknya

kepentingan manusia secara terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk

subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan

ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin

intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk

penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau perkebunan. Gangguan

terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah

Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan (menurut ukuran

lokal) dan status lahan.  Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang

menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula

jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit daripada jumlah

pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas). Rumah tangga miskin yang

11
menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman

pangan atau tanaman perdagangan  daripada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan

Riley, 1987).

Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan

berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan

(timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.

Luas lahan Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri

dari komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan

sebagainya dinamakan ‘lahan’. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan

manusia sehingga bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemilikan lahan yang

sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohonpohon Peningkatan kepadatan

penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga

petani lebih memilih tanaman-tanaman  yang lebih intensif (Berenschot  et al., 1988;

Pengaruh luas lahan terhadap pilihan praktek agroforestri tergantung pada faktor

lainnya, misalnya ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi keluarga dan pola

komposisi jenis tanaman menurut intensitas waktu panen.

Kualitas lahan Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Peru –

Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan

tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian

campuran yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu),

budi daya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan ternak sapi.

Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja terbatas.  

Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan

12
lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting dan  

memberikan keuntungan ganda bagi peternak. Dengan penggunaan lahan cara

agroforestry akan meningkatkan produktivitas tanah salah satunya dipengaruhi oleh

sifat fisik tanah sehingga pengolahan tanah yang baik dan teratur dapat

meningkatkan kesuburan fisik tanah (Nawawi, 2001).tersedianya unsur hara dalam

tanah akibat dari serasah yang terurai akan meningkatkan bahan organik di dalam

tanah atau lahan dan kualitas lahanpun terjamin untuk meningkatkan produksi.

Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan

(environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam

mendukung DAS (daerah aliran sungai),mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di

atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran

agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas

rumah kaca diatmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh

tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka

agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat”

(Widianto, et al. 2003).

Tenaga kerja dan alokasinya Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu

organisasi sosial.  Pada tingkat keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian

kerja antara laki-laki dan  perempuan, orang tua dan anak-anak.  Pengelolaan

agroforestri oleh suatu keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari

keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga.  Ketersediaan

tenaga kerja dan pola  pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga

mempengaruhi pilihannya untuk mengembangkan agroforestri. Pengaruh faktor

13
ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budi daya pohon pohon ditunjukkan oleh

kasus di pedesaan Jawa (Berenschot et al.,1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987)

dan Afrika bagian Timur (Warner, 1995).  Rumah tangga yang kekurangan tenaga

kerja pada musim-musim tertentu karena  kegiatan migrasi cenderung

membudidayakan pohon-pohon karena budi daya pohon-pohon membutuhkan

masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.

Paolisso et al. (1999) berdasarkan penelitiannya di Yuscaran – Honduras,

menjelaskan bahwa respon rumah tangga petani terhadap degradasi lahan

dipengaruhi oleh gender dan struktur demografi rumah tangga.  Kultur  masyarakat

Yuscaran menekankan bahwa pertanian adalah pekerjaan laki-laki.  Namun kondisi

degradasi lahan pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan

pertanian.  Curahan waktu kerja laki-laki pada  budidaya jagung secara positif

dipengaruhi oleh kualitas lahan dan secara negatif oleh kemudahan (kepekaan) erosi

lahan.  Tenaga kerja laki-laki pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marjinal

(miskin) dan peka erosi  cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor

non-pertanian (offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung

bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi

melainkan juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan pertaniannya.

Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga kerja anak

dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita.

2. Teknologi pendukung

Banyak penelitian yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan

pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola agroforestri.  

14
Kenyataannya, banyak petani yang tidak melaksanakan apa yang direkomendasikan

oleh peneliti.  Alasan utama yang menyebabkan penolakan adopsi inovasi di tingkat

petani:

a) Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku

teknologi

Hasil rekomendasi yang diberikan seringkali didasarkan pada sudut pandang atau

pengetahuan peneliti.  Rekomendasi yang diberikan adalah apa yang seharusnya

dilakukan bila dilihat dari sudut pandang ilmiah.  Namun para  petani memiliki

pertimbangan dan pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan

tidak selalu sesuai dengan rekomendasi atau tawaran teknologi yang diberikan oleh

peneliti.

b) Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi

Rekomendasi teknologi seringkali dikemas dengan bahasa ilmiah.  Bahasa ilmiah

sangat berbeda dengan bahasa petani.  Bahasa ilmiah seringkali sulit dicari

padanannya dalam bahasa sehari-hari.  Hambatan komunikasi antara penyedia

dengan pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan

sarana dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana

pelaku teknologi dapat bertanya tentang masalah  agroforestri pada lahannya.

Terbinanya komunikasi yang lebih intim antara penyedia dan pelaku teknologi dapat

meningkatkan kepekaan peneliti akan masalah yang dihadapi dilapangan.

c) Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai bentang

lahan

15
Bentang lahan yang berbeda akan mempunyai sifat dan ciri yang berbeda pula,

sehingga setiap sistem agroforestri pada bentang lahan yang berbeda akan

memerlukan penanganan dan teknologi yang berbeda.

3. Orientasi produksi

Alasan utama yang mendasari keputusan rumah tangga petani untuk

menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial dari hasil pohon. Namun

banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang

dapat disediakan dari sistem agroforestri merupakan pendorong utama sebagian besar

rumah tangga petani untuk menanam pohon.  Perubahan pertanian dari yang semula

subsisten menjadi semakin komersial menyebabkan penanaman pohon pada skala

petani menjadi lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi.  Kemudahan akses ke pasar

untuk menjual hasil  pohon menciptakan peluang terciptanya sumber penghasilan,

dan memberikan peluang untuk menukar input yang semula tersedia dari pohon

dengan input lain, misalnya pupuk.

a. Dari subsisten ke komersial

Orientasi produksi agroforestri dapat dibedakan menjadi subsisten dan

komersial.  Orientasi ekonomi masyarakat berburu-meramu (hunting dan gathering),

peladang berpindah (ladang gilir-balik = shifting cultivation atau  swidden

agriculture), dan petani kecil (peasant) adalah subsisten, artinya kegiatan

ekonominya diorientasikan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga

(konsumsi), bukan untuk meningkatkan modal (kapital) melalui investasi ulang

(reinvestation).  Sedangkan petani besar yang mengusahakan tanaman perdagangan

cenderung berorientasi komersial.  Pengertian subsisten dan  komersial dalam tulisan

16
ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi produksi

agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan dimaksudkan

untuk menggambarkan  adanya model produksi kapitalis (the capitalist mode of

production).  Orientasi subsisten mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman untuk

dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan orientasi komersial mengarahkan pilihan-

pilihan jenis  tanaman yang dapat dipasarkan.  Perubahan orientasi pasar dari

subsisten ke komersial seringkali merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem

agroforestri.

b. Kehidupan yang semakin konsumtif

Layanan lingkungan sebagai salah satu peran penting agroforestri menjadi

tidak begitu penting.  Hal ini terjadi pada daerah yang mengalami

1) integrasi yang lebih besar ke dalam suatu ekonomi pasar, yang

mengutamakan  kebutuhan konsumsi pribadi jangka pendek di atas kebutuhan hidup

komunal  dalam jangka panjang, atau 2) kemiskinan begitu ekstrim hingga hanya

bisa menjamin kelangsungan hidup sehari-hari (Rhoades, 1988 dalam Reinjtjes et al.,

1992). Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat industri/kota,

dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk

industri, atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif.

c. Pemenuhan kebutuhan

Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya

kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi bahan pertimbangan penting. Kemudahan

akses ke pasar dan harga pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan

menentukan apakah petani memilih menanam  pohon di lahan mereka atau tidak.

17
4. Pengetahuan lokal petani

Diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri seringkali

merupakan isu yang agak sensitif.  Dalam mempromosikan teknik agroforestri,

peneliti dan pakar harus menyadari dan peka terhadap peran dan pengetahuan petani

akan  lahan mereka sendiri.  Mereka juga harus peka terhadap berbagai faktor yang

mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani.  Petani  telah

mempraktekkan agroforestri selama berabad-abad.  Tidak jarang mereka

berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan

dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang

luar).  Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestri jika  mereka terbiasa dengan

penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon

ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain.

Memang, risiko kegagalan akan lebih  besar pada petani dengan teknik ilmiah baru

daripada dengan teknik tradisional.  Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik

tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestri.

5. Kebijakan pendukung

Kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong agroforestri ke arah

kegagalan  atau keberhasilan.  Beberapa kebijakan yang menghambat produksi dan

penjualan atau pemasaran produk agroforestri sedapat mungkin diperbaiki.  Sebagai

contoh, perubahan kebijakan penanaman cendana di Nusa Tenggara  Barat.

Perubahan kebijakan pada tahun 1999 mendorong petani untuk menerapkan

agroforestri dengan cendana sebagai salah satu komponennya. Sebelumnya, petani

18
menganggap cendana sebagai ‘kayu pembawa bencana’. Kebijakan kenaikan harga

bahan bakar minyak misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input

produksi tanaman pangan.  Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi pupuk

sampai ke tingkat harga yang tidak  terjangkau petani.  Di pihak lain, pada lahan-

lahan yang kualitas kesuburannya rendah, kebutuhan pupuk semakin besar jika

petani ingin mempertahankan tingkat produksi.  Kondisi ini dapat dimanfaatkan

sebagai pendorong bagi penerapan dan pengembangan agroforestri.

Keuntungan (Profitability)

Agroforestri lebih menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan

yang lain, perlu diingat bahwa sistem produksi agroforestri memiliki suatu kekhasan,

di antaranya:

Menghasilkan lebih dari satu macam produk lahan yang sama ditanam

paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

Produk-produk  yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur

(intangible)

Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan

pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama. Analisis ekonomi

terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciri ciri sistem agroforestri

tersebut di atas.

1) Konsep ekonomi

Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan apabila

a. dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan

menggunakan jumlah  input yang sama, atau

19
b. membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan

tingkat output yang sama.  Kondisi ini dicapai apabila ada  interaksi antar komponen

yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi.  Interaksi

biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi,

apabila output fisik per satuan lahan diubah  menjadi nilai uang per satuan biaya

faktor produksi.  Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi antar

komponen dalam sistem agroforestri dapat bersifat menguntungkan, netral, maupun

kompetitif.  Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif, yang

akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula Kenaikan output pada tingkat

sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah output fisik atau

kenaikan harga per satuan output.  Yang  pertama mungkin disebabkan interaksi

biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau waktu panen

yang tepat.  Demikian juga penurunan biaya input dapat disebabkan oleh penurunan

jumlah output yang  dibutuhkan, atau penurunan harga per satuan input.  Pada

umumnya, interaksi  biofisik yang positif akan menghasilkan penurunan biaya input,

misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain. Adanya

naungan  pohon dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga kebutuhan tenaga

kerja berkurang.  Dengan adanya berbagai komponen dengan waktu panen yang

berbeda, distribusi tenaga kerja menjadi merata.  Contoh yang lain, di Costa Rica

kopi yang ditanam di bawah naungan Cordia alliodora mengalami panen raya 2,5

minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa naungan  (Hoekstra, 1990).

Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar yang relatif tinggi, karena terhindar

dari surplus produksi pada saat yang bersamaan.

20
a)      Kurva kemungkinan produksi

Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan

ciriciri sistem agroforestri. Hal itu dapat dijelaskan dengan penggunaan kurva

kemungkinan produksi bagi kombinasi produksi tanaman setahun dan tanaman

tahunan/pohon.

Pada kondisi nyata di lapangan, produksi dari suatu sistem agroforestri

membutuhkan jangka waktu lama untuk dapat menghasilkan produk dari spesies

tanaman tahunan. Selain itu manfaat keberadaan sistem agroforestri terhadap

lingkungan tidak bisa dilihat dalam waktu pendek. Oleh karena itu analisis jangka

panjang dianggap lebih tepat untuk melihat keseluruhan  keuntungan yang dapat

diberikan oleh suatu sistem agroforestri.  Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva

kemungkinan produksi jangka panjang yang berbentuk tiga dimensi.

Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem pertanaman monokultur

tanaman semusim/pangan dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya penurunan

kesuburan lahan yang akhirnya mengakibatkan penurunan  produksi tanaman dari

tahun ke tahun.

b)      Cara melakukan analisis ekonomi terhadap sistem agroforestri

Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk kesinambungan

produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah

terjadinya penurunan output dari sistem produksi masa kini. Salah satu karakteristik

agroforestri adalah terjadinya penundaan memperoleh sebagian keuntungan,

sedangkan biaya produksi harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan. Oleh karena itu,

21
analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari

sesungguhnya, dan hasilnya seolah-olah tidak ekonomis.

Evaluasi 'dengan' atau 'tanpa' agroforestri Pendekatan dengan

membandingkan antara sistem ‘dengan’ dan ‘tanpa’ agroforestri dianggap sesuai

untuk evaluasi ekonomi dari suatu sistem agroforestri, karena antara lain: Tidak

seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk  kesinambungan

produksi.  Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah

terjadinya penurunan output dari sistem  produksi masa kini.

22
BAB III
PENUTUP
I.3. Kesimpulan
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.
Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil
suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan
memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara
lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak
adanya pencemaran lingkungan. Di tingkat petani, keputusan untuk menerapkan dan
mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari
sekedar  analisis untung-rugi.  Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari bagaimana
sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan,  papan,
dan penghasilan tunai.  Sayangnya, sistem penggunaan lahan yang potensial
seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain, seperti kebijakan yang berlaku,
infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan sosial budaya, ketersediaan  sumber daya,
kemudahan akses terhadap informasi, dsb.  Kesemua faktor tersebut mempengaruhi
apakah suatu sistem agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik
secara ekonomi maupun dari segi  biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai
dengan sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.

23
DAFTAR PUSTAKA
Suharjito, Didik, Leti Sundawati, Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2018. Aspek Sosial
Ekonomi dan Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Suyanto S, Khususiyah N, Permana RP and MD Angeles.  2010.  The Role of
Land Tenure in Improving Sustainbale Land Management and
Environment in Forest Zone.  Draft report of CIFOR/ICRAF fire
project.
Schoorl JW.  1970.  Muyu Land Tenure.  New Guinea Research Bulletin No. 38:
34-41.  The New Guinea Research Unit, The Australian National
University. Canbera.
Suharjito D dan S Sarwoprasodjo. 2016.  Organisasi Keluarga dan Status Wanita
(Studi Kasus Peranan Wanita Pada Keluarga Penyadap Getah Pinus
dan Keluarga Petani Hutan Rakyat).  Penelitian OPF.  Pusat Studi
Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D, Mugniesyah SM, Guhardja S dan Sri Hartoyo.  2017.  Hubungan
Perilaku Manusia dan Lingkungan Binaan (Studi Kasus Gender dalam
Pembinaan Program Penghijauan di DAS Cimanuk Hulu, Propinsi
Jawa Barat).  Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar-Ditjen DIKTI.  Pusat
Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D.  2019.  Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi
Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi-
Jawa Barat.  Disertasi, Program Studi Antropologi Universitas
Indonesia.
Suryanata K.  2002.  Dari Pekarangan menjadi Kebun Buah-Buahan: Stabilisasi
Sumber daya dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa.  Dalam Murray Li T
(Penyunting). Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia.
Teluma, D.L.  2002.  Pengembangan Program Wanatani.  Dalam Roshetko JM et
al. (editor).  Wanatani di Nusa Tenggara.  ICRAF dan Winrock
International.  Bogor.

24
Van der Poel P and H van Dijk.  2000.  Household Economy and Tree Growing in
Upland Central Java.  Agroforestry Systems No. 5: 169-184.
Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Wijayanto N.  2001.  Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan
kemasyarakatan. Disertasi S3, PPS-IPB.  Bogor.
Hamdani. 2007. Bagan Rantai Makanan dalam Ekosistem Hutan Hujan. Avaiable at :
http://en.forkus.com/l/contoh-bagan-rantai-makanan-dalam-ekosistem-
hutanhujan. htm. Accesed march 22022.
Kirana Candra, Pramudyanti IR. 2016. Kreatif : Biologi untuk Kelas XI. Klaten : CV
Viva Pakarindo.
Praweda. 2006. Biologi : Rantai Makanan. Aviable at :
http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/bebas/v12/sponsor/Sponsorpendamping/
Praweda/Biologi/0030%20Bio%201-7a.htm. Accesed march 2022.
Sartifa Ulfa. 2009. Lingkungan : Ekosistem. Aviable at : http://hendlearning.
blogspot.com/2009/05/ekosistem.html. Accesed march 2022
Surata SPK. 2009. Ekologi Umum : Sebuah Pendekatan Lokal.Pelawa Sari.

25

Anda mungkin juga menyukai