Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak


terhitung, berusaha memenuhinya adalah wajar. Semakin baik kebutuhan-
kebutuhan ini dipenuhi semakin baik pulalah dia. Kehidupan yang
dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa aman.
Dan kondisi jiwa semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang
sehat, bermoral dan cocok spiritual. Tidak satu kemajuan material dan
pembangunan ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan
kemajuan moral dan spiritual. Betapapun juga semua kemajuan semacam itu,
bila diperoleh dengan cara yang baik dan di pertahankan, merupakan
sumbangan terhadap moralitas yang sehat dan spiritualitas yang benar.

Oleh karenanya kami akan membahas adab-adab dalam memenuhi


kebutuhan-kebutuhan itu, yaitu hal-hal yang harus diperhatikan dalam
membelanjakan hartanya (konsumsi). Diantaranya adalah konsumsi dalam
perspektif Islam, prinsip-prinsip konsumsi dan sasaran konsumsi.

B. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan Konsumsi dalam Islam
B. Biografi Imam Muslim
C. Hikmah Hadits Konsumsi
C.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsumsi dalam Islam

Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka


memenuhi kebutuhan. Konsumsi meliputi keperluan, kesenangan dan
kemewahan. Kesenangan atau keindahan diperbolehkan asal tidak berlebihan,
yaitu tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak pula
melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Ajaran Islam sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan umat manusia


agar membelanjakan harta sesuai kemampuannya. Pengeluaran tidak
seharusnya melebihi pendapatan dan juga tidak menekan pengeluaran terlalu
rendah sehingga mengarah pada kebakhilan. Manusia sebaiknya bersifat
moderat dalam pengeluaran sehingga tidak mengurangi sirkulasi kekayaan dan
juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyarakat akibat pemborosan. 1

‫ ِه‬, ِ‫اش َم ِة َو ْال َموْ ُشو َم ِة َوآ ِك ِل ال ِّربَا َو ُمو ِكل‬


ِ ‫ب َوثَ َم ِن ال َّد ِم َونَهَى ع َْن ْال َو‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬
َ ِ‫َرسُو َل هللا‬
َ ‫َولَ َعنَ ْال ُم‬
.ُ‫ص ِّور‬

Artinya :

“Nabi melarang hasil usaha dari anjing,darah,pentato dan yang di tato,


pemakan dan yang membayar riba, dan melaknat pembuat gambar”.2

Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia
mendapatkan harta dan bagaimana ia menggunakannya. Mereka tidak
peduli meskipun hartanya hasil dari pencurian, suap, kegiatan ribawi, atau
gaji dari pekerjaan haram. Padahal pada hari kiamat, ia akan ditanya
tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana menggunakannya.
Di sana ia tentu akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.3

Sementara orang-orang yang masuk dalam kegiatan riba tidak mengetahui


bahwa semua pihak yang berperan dalam kegiatan riba, baik yang secara
langsung terjun dalam kegiatan riba, perantara, atau para pembantu
kelancaran kegiatan riba adalah orang-orang yang dilaknat melalui lisan
Nabi Muhammad SAW.

1 Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h. 55.

2 Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h.61
3 Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa (Jakarta: Darul Haq,
2003) h. 102.
.‫ا ِه َد ْي ِه‬,‫هُ َو َش‬,َ‫هُ َو َكاتِب‬,َ‫ا َو ُمَؤ ِّكل‬,,َ‫ َل ال ِّرب‬,‫ آ ِك‬:‫لَّ َم‬,‫ ِه َو َس‬,‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬,‫ص‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
َ  ِ‫وْ ُل هللا‬,‫ لَ َعنَ َر ُس‬:‫ال‬ ِ ‫ع َْن َجابِ ِر َر‬
.‫ هُ ْم َس َوا ٌء‬:‫َوقَا َل‬

Artinya:

Dari Jabir r.a. berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi
riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya.” Ia berkata,
“mereka itu sama saja”. (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, maka setiap umat Islam tidak


diperkenankan bekerja sebagai sekretaris, petugas pembukuan, penerima
uang nasabah, nasabah, penyetor uang nasabah, satpam dan pekerjaan
lainnya yang mendukung kegiatan riba.

Pengharaman riba berlaku umum, tidak dikhususkan hanya antara


sikaya dan si miskin. Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan
dalam semua keadaan.4

B. Bografi Imam Muslim (204-261 H)
    Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Husain Muslim Bin Al-
Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi. Beliau dinisbatkan dengan kota Naisabur
dimana beliau dilahirkan disana,  sebuah kota kecil di sebelah timur laut
Negara Iran (sekarang). Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan tahun
kelahiran beliau, namun menurut pendapat yang kuat, Imam
Muslim dilahirkan pada tahun 204 H/802 M.5
Ia juga belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah
mendengar dari guru-guru Al-Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang
yang menerima hadis dari Imam Musli, termasuk ulama-ulama pada masanya.
Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat.
Yang paling bermanfaat adalah kitab sahihnya yang dikenal dengan Sahih
Muslim. Kitab ini, disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Bisa disebut dengan As-Shohihaini., yang berarti dua orang tua,

4 Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa (Jakarta: Darul Haq,


2003) h. 71-73.
5 M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta, L Kis 2007) hal 70
maksudnya dua ulama tokoh ahli hadis. Imam Ghozali dalam kitab Ihya
Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua
meriwayatkannya.
Ia belajar hadis sejak usia dini, yaitu saat berusia 16 tahun, yaitu mulai
tahun 218 H. ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan Negara-negara lainnya.
  Di Khurasan ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih, di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu
‘Ansan; di Irak, ia belajar hadis kepada Imam Ahmaddan Abdullah bin
Maslamah; di Mesir, ia berguru kepada ‘Amr bin Sawad, Harmalah bin
Yahya, dan kepada ulama ahli hadis yang lain.6
  Ia berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-
ulama ahli hadis, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. Ketika Imam
Bukhari datang ke Naisabur, ia sering dating kepadanya untuk berguru, sebab
ia mengetahui jasa dan ilmunya.dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan
antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung dengan Bukhari sehingga hal ini
menjadi terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahih-nya
maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima
dari Az-Zihli padahal Az-Zihli adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap
Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam Shahih-nya, yang diterimanya
dari Bukhari, padahal Bukharipun gurunya. Tampaknya menurut Muslim,
yang lebih baik adalah tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari
kedua gurunya itu ke dalam Shahih-nya, namun tetap mengakui mereka
sebagai guru.
 Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlajnya,
diantaranya Al-Fami’Ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih
Muslim, Al-Musnad Al-Kabir, (kitab yang menerangkan nama-nama para
rawi hadis), kitab Al-Asma wal-Kuna, Kitab Al-Ilal, Kitab Al-Aqran,
Kitab Su’alat Ahmad bin Hanbal, Kitab Al-Intifa’ bi Uhubis-Siba’, Kitab Al-

6 Agus, Ulumul Hadis, hal 234


Muhadaramin, Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, Kitab Auladih-
Shahabah, Kitab Auham Al-Muhadditsin.7
  Di antara karya-karya tersebut, yang termasyhur adalah Ash-Shahih,
yang judul lengkapnya adalah Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-
Sunan bi Naql Al-‘Adl’an Rasul Allah. Menurut perhitungan M.Fuad ‘Abd
Al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadis
  Dari perjalanan panjang hidupnya, rihlah ilmiyah, perjuangannya
dalam ‘mencari’ hadis, memberikan kontribusi besar bagi ummat Islam lewat
sekian banyak karya, akhirnya pada usia 57 tahun Imam
Muslim (rahimahullahu ta’ala) menutup usia, tepatnya pada hari minggu 4
rajab tahun 261 H / 859 M, beliau dikebumikan pada hari senin tanggal 5 rajab
tahun 261 H di kota kelahirannya, Naisabur.8

C. Hikmah yang dapat diambil dari hadits

Jika kita ingin kehidupan kita lebih sejahtera, konsumsi harus berjalan
sebagaimana konsumsi dalam ajaran islam, yaitu salah satunya adalah
barang yang kita konsumsi haruslah barang halal. Karna apabila kita
mengkonsumsi barang haram, maka akan berdampak pada tubuh kita.

BAB III

PENUTUP

7 Ibid, hal 235


8 Dinukil dari perkataan Ibn Katsir. Lihat Syekh Khalil Ma’mun dalam Muqaddimah: al Minhaj
syarh Sohih Muslim karya Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) hal 98
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat kami


sampaikan adalah sebagai berikut:

Dalam ajaran Islam, konsumsi yang diperbolehkan adalah konsumsi yang


sesuai dengan prinsip-prinsip konsumsi. Prinsip konsumsi yang pertama yaitu,
barang yang dikonsumsi adalah barang yang halal dan akan lebih baik jika
menjauhi syubhat pula. Kedua, makanan tersebut adalah makanan yang bergizi,
sehingga dapat memberikan pengaruh baik bagi kesehatan manusia. Ketiga,
makan dan minum secukupnya, karena makan makanan yang berlebihan akan
menjadikan kesehatan manusia menurun. Keempat, tidak mengandung riba, tidak
kotor, dan tidak menjijikkan. Kelima, bukan dari hasil suap, karena suap
merupakan hal yang diharamkan oleh Allah, sehingga segala sesuatu yang
dihasilkan darinya akan menjadi haram pula.

Sasaran konsumsi yang paling utama adalah konsumsi untuk diri dan
keluarga. Namun, lebih dari itu Islam juga mengajarkan untuk menafkahkan harta
di jalan Allah, seperti untuk orang-orang yang membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008)
h. 55.

Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008)
h.61

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa


(Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 102.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa


(Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 71-73.

M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta, L Kis 2007) hal


70

Agus, Ulumul Hadis, hal 234

Ibid, hal 235

Dinukil dari perkataan Ibn Katsir. Lihat Syekh Khalil Ma’mun dalam
Muqaddimah: al Minhaj syarh Sohih Muslim karya Imam Muhyi ad Din an
Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) hal 98

Anda mungkin juga menyukai