Anda di halaman 1dari 13

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

TEORI BELAJAR

OLEH :
KELOMPOK III
MUHAMMAD ILHAM (20500120084)
NUR JURANA (20500120053)
JUWAERIA NUR APRILYANTI (20500120062)
AYU ASTUTI BAHAR (20500120076)
SITTI MUTMAINNAH (20500120059)
SISKAWATI (20500120064)

Jurusan Pendidikan Biologi


Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2022
A.Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi
antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi
stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan
tingkah laku. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha
giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat
menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau Input yang berupa stimulus dan keluaran atau
Output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada siswa, misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk
membantu belajar siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori
behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon.
oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan
(positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, begitu juga bila penguatan dikurangi
(negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.
Kelebihan Teori Behavioristik:
(1) Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar.
(2) Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika
murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan.
(3) Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku
yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak.
(4) Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan
bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam
satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang
berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
(5) Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang
tertentu.
(6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons
yang diinginkan muncul.
(7) Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
(8) Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-
bentukpenghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik:
(1) Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
(2) Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
(3) Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar
dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
(4) Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap
sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
(5) Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yangdiberikan oleh guru.
(6) Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan
mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara
temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
(7) Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif,
tidak produktif,dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
(8) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher cenceredlearning) bersifat
mekanistik danhanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
(9) Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid.
Prinsip Aplikasi Teori Behavirostik Dalam Pembelajaran
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan
respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk
meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses
pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika
diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan
terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya
percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks
pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan
(1997: 23), beberapa prinsip tersebut adalah:
(1) Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah
laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
(2) Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus
dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya
dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
(3) Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons,
merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila
reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah
timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan
dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk
memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
(1) Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada
siswa.
(2) Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
(3) Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar
sesuai dengan apayang diharapkan, maka guru harus mampu :
(a) Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable).
(b) Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
(c) Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara
eksplisit atau jelaskebermaknaannya (eksplisit).
(d) Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah
laku siswa,maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).

Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan


tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi
sebagaimana telah dirumuskan), guruperlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:
(1) Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai
subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini
dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal
apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah
pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran).
Selain itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal
mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran. Ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis
terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu:
(a) Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan
awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat (prerequisite) bagi bahan baru yang
akan disampaikan.
(b) Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah
dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat memberikan
bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi
siswa.
(c) Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk
latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-
lain.
(d) Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik
jasmaniah maupunrohaniah.
(e) Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
(f) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
(g) Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa
sebelumnya.
(h) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa (Oemar
Hamalik, 2002:38 -40).
(2) Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru
tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan
tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain
belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk
dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati
idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing
kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu siswa,
(a) menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru
melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa
mengikuti pelajaran), atau
(b) materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997:108).
Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan
siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan
tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite test ini dapat
menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori,
yakni:
a) sudah cukup paham dan mengerti, serta
b) belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan
menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus
dipisah. Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi
pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping
memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah,
atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis
tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui
adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah
banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang
lain sebagian besar siswabelum atau tidak mengerti dan paham.
Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi
pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa
dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan
membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil
diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan
terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum
diketahui oleh siswa,pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara

penuh di dalam kelas. Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam
menerapkan teoribehaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
(1) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
(2) Melakukan analisis pembelajaran.
(3) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar.
(4) Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
(5) Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll).
(6) Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu).
(7) Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan
sejenisnya).
(8) Mengamati dan menganalisis respons pembelajar.
(9) Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif,

TEORI BELAJAR SOSIAL (Albert Bandura)

Teori belajar sosial (social learning theory) adalah pandangan psikologi yang
menengkankan tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor utama dalam
perkembangan .
Ahli teori belajar sosial mengatakan bahwa kita bukanlah robot yang tidak punya pikiran,
yang berespon secara mekanis pada orang lain dalam lingkungan kita. Kita juga bukan
seperti petunjuk angin. Bertingkah laku seperti komunis dihadapan orang komunis dan
bertingkah liberal didepan liberal. Akan tetapi, kita berfikir, bernalar, membayangkan,
merancakan, mengharapkan, mengintrepretasi, percaya, menilai, dan membandingkan.
Psikologi Amerika Bandura dan Walter mischel adalah arsitek utama dari versi teori
belajar sosial kontemporer, yang disebut teori belajar sosial kognitif oleh mischel .
Bandura percaya bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang
lain. Melalui belajar observasi (juga disebut modeling atau imitasi). Ahli teori belajar
sosial percaya bahwa kita memperoleh sejumlah besar tingkah laku, pikiran dan perasaan
dengan mengobservasi tingkah laku orang lain; observasi tersebut menjadi bagian penting
dari perkembang kita.
Model belajar dan perkembangan bandura yang paling mutakhir mencakup tingkah laku,
manusia dan kognisi, dan lingkungan . Tingkah laku ,faktor manusia dan kognisi dan
pengaruh lingkungan beroperasi secara interaktif. Tingkah kognitif individu dapat
mempengaruh lingkungan pengaruh lingkungan dapat proses pikiran individu, dan
seterusnya.

Teori Kognitif Menurut Jean Piaget

Jean Piaget merupakan ahli Biologi dan Psikologi yang merumuskan teori yang
dapat menjelaskan fase-fase perkembangan kemampuan kognitif. Menurut Piaget,
teori perkembangan kognitif mengemukakan asumsi tentang perkembangan cara
berfikir individu dan kompleksitas perubahannya melalui perkembangan
neurologis dan perkembangan lingkungan. Dalam teori Piaget ini, perkembangan
kognitif dibangun berdasarkan sudut pandang aliran struturalisme dan konstruktivisme.
Padaa tahun 1969 ia menerima hadiah sebagai tanda terima kasih atas
sumbangannya yang monumental dan unik dalam liter-atur Psikologi. Selanjutnya
Piaget memperoleh hadiah di Kota Amsterdam yakni hadiah Erasmus dari tangan
pangeran Bernhard. Piaget menerima kurang lebih 12 tanda penghargaan. Sampai
saat meninggal Piaget bekerja terus mencari fakta-fakta dan berdasar-kan fakta-
fakta itu ia secara terus menerus memperdalam pema-hamannya.
Teori pengembangan kognitif Piaget fokus pada perkembangan pikiran peserta didik
secara alami mulai dari anak-anak sampai dewasa. Jean Piaget melakukan penelitian dan
menemukan bahwa anak-anak membangun kognitif mereka secara aktif. Ada empat
faktor yang memengaruhi perkembangan kognitif, yakni: (a) lingkungab fisik; (b)
kematangan; (c) pengaruh sosial; dan (d) proses pengendalian diri. Menurut Piaget,
pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi antara individu dan lingkungan, namun
informasi tidak sekedar dituangkan ke dalam pikiran mereka. Piaget menggunakan
dua istilah sebagai representasi struktur kognitif individu. Kedua istilah tersebut
adalah skema dan adaptasi. Skema (struktur kognitif) adalah cara atau proses yang men-
gorganisasi atau merespon berbagai pengalaman.
Menurut Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri tiga tahapan, yakni tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Adapun penjelasannya, sebagai berikut:
a. Proses asimilasi, merupakan proses pengintegrasian informasi baru ke struktur
kognitif yang sudah ada. Dengan kata lain, asimilasi merupakan suatu proses di mana
individu mengintegrasikan persepsi, konsep, informasi atau pengalaman baru ke dalam
skema yang dimilikinya, sehingga pengertian dan skemanya berkembang.
b. Proses akomodasi, merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru, anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah
diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru dapat disesuaikan dengan lebih baik.
Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang tersebut.
c. Proses ekuilibrasi, merupakan penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Jika tahapan ini berjalan dengan baik atau berhasil, akan diperoleh
keseimbangan. Proses penyeimbangan ini diperlukan agar seseorang dapat menambah
dan mengembangkan sekaligus menjaga stabilitas mental dirinya
Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap
perkembangannya sesuai dengan umurnya, usia untuk tahapan perkembangan kognitif
menurut Piaget, sebagai berikut:
1) Tahap sensori motoris (umur 0 sampai 2 tahun)
2) Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
3) Tahap operasi konkret (7-11 tahun)
4) Tahap operasi formal (11-15 tahun)
Proses belajar yang dialami setiap anak pada masing-masing tahapan akan berbeda.
Secara umum, semakin tinggi tahapan perkembangan kognitif seseorang akan semakin
teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya

TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME OLEH VYGOTSKY

Lev Vygotsky (17 November [K.J.: 5 November] 1896 – 11 Juni, 1934) adalah seorang
psikolog asal Rusia yang dikenal atas kontribusinya . Teori konstruktivisme adalah salah
satu dari banyak teori belajar yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran
matematika. Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme dapat
diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu
eksakta. Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji
coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu telah
banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi perkembangan,
modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai pendekatan seperti
pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran kontekstual, dan lain-lain merupakan
hasil inovasi dan modifikasi dari teori pembelajaran.
menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan
pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya,
sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada
pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri
pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan
untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak
tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan
siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme
adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari
arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-
idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa
ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri
tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif
dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting,
tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam
proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh
pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya
terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif,
dan keyakinan yang dimiliki.

Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal,


akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian”
tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam
atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:


- Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
- kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
- siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
- kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
- menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan
intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang
dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan
(Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema
baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme
ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran,
kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin,
1997).Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang
kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai
hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia
(Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992)
menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi
dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa
mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik
pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky:


1. Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide
utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari
konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada
sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk
membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian
perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar
menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
2. Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif
antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-
strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan
terdekat/proksimal masing-masing.Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran
menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin
dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi
perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis
manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin
(2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-
tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas
peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan
aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat
diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang
lain.

Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme


Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1. Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam
dunia sebenarnya.
2. Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai
panduan merancang pengajaran.
3. pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4. kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5. & menerima daya usaha & autonomi murid.
6. murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
8. proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:
a) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c) Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
d) Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
e) Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
f) Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g) mencari dan menilai pendapat siswa.
h) Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan
tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu
mereka mencapai tingkat penemuan.

TEORI HUMANISTIC

A. Pengertian teori belajar humanistic


Teori humanistic tujuan untuk memanusiakan manusia, oleh sebab itu teori belajar
humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati kajian filsafat, teori kepribadian
dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistic cenderung
bersifat efektif, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya
tercapai. Teori belajar humanistic paling cocok untuk diterapkan dalam materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan pribadi, hati nurani, perubahan sikap, analisis
terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilannya adalah siswa merasa senang,
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola piker perilaku atas
kemauannya sendiri.
Pertumbuhan yang bersifat jasmaninya tidak memberikan perkembangan tingkah laku.
Perubahan atau perkembangan hanya disebabkan oleh proses pembelajaran seperti
perubahan habit atau kebiasaan, berbagi kemampuan dalam hal pengetahuan, sikap
maupun keterampilan. Persfektif humanistic (humanistic perspective) menuntut potensi
peserta didik dalam proses tumbuh kembang, kebebasan menemukan jalan hidupnya.
Humanistic menganggap peserta didik sebagai subjek yang merdeka guna menetapkan
tujuan hidup dirinya.

Hirarki kebutuhan Meslow, pemuasan kebutuhan seseorang dimulai dari yang terendah
yaitu :
1. Kebutuhan fisiologis (Physiological Needs)
Kebutuhan fisiologis terdiri dari kebutuhan pokok, yang bersifat mendasar. Kadang kala
disebut kebutuhan biologis ditempat kerja serta kebutuhan untuk menerima gaji, cuti,
dana pensiunan, masa-masa libur, tempat kerja yang nyaman, pencahayaan yang cukup
suhu ruangan yang baik.
2. Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs)
Sesudah kebutuhan fisiologis tercukupi, maka timbul kebutuhan akan rasa aman. Manusia
yang beranggapan tidak berada dalam keamanan membutuhkan keseimbangan dan aturan
yang baik serta berupaya menjauhi hal-hal yang tidak dikenal dan tidak diinginkan.
3. Kebutuhan untuk diterima (Social Needs)
Sesudah fisiological dan rasa aman tercukupi, maka focus individu mengarah pada
keamanan akan mempunyai teman, rasa cinta dan rasa diterima.
4. Kebutuhan untuk dihargai (Self Esteem Needs)
Pada tingkat selanjutnya dalam teori heirarki. Nampak kebutuhan untuk dihargai, disebut
juga kebutuhan “Ego”.
5. Kebutuhan Aktualisasi – Diri (Self Actualizations)
Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan akan pemenuhan diri pribadi,
termasuk level kebutuhan teratas.

Anda mungkin juga menyukai