Anda di halaman 1dari 31

Karya Tulis Ilmiah

‫فصل ف التوكل‬
(Pasal Tentang Tawakkal)

Dosen Pebimbing / ‫الشراف معلمة‬


‫الستاذة رائدة لينا‬

Penulis / ‫مؤلف‬
‫يشفي فخرالنساء فوزية‬

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta


Prodi Pendidikan Bahasa Arab
Tahun Pelajaran 2021/2022
Kata Pengantar / ‫مقدمة‬

‫بسم ا الرحن الرحيم‬


Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam, yang tiada tuhan yang berhak
disembah selain Dia, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada
kekasihnya, imamnya para nabi, penyampai risalah wahyu yang terakhir, Nabi
Muhammad shalallahu alaihi wa salam, Alhamdulillah dengan segala nikmat dan karunia
yang Allah berikan sehingga saya bisa menyelesaikan amanah tugas dari Ustadzah
Rowaidah Lina Lc.Mm hafidzahallah yang telah membimbing saya untuk menjadi lebih
baik lagi dengan setiap kata-kata beliau yang membangun setiap kali saya mendengarnya
di kelas pelajaran dan biidznillah dengan manfaat dari ilmu pengetahuan yang beliau
tekuni hingga saya bisa belajar dari nya dalam kehidupan sehari hari, Tak luput juga
disebutkan , saya berterima kasih kepada penulis buku matan ta’lim muta’allim ini
syeikh imam Az-zarnuji rahimahullah, yang buah dari karya beliau telah dicermati oleh
berbagai kalangan penuntut ilmu di seluruh dunia hingga bisa diambil hikmah dan
faidahnya oleh kami selaku penuntut ilmu.
Saya memohon ampun kepada Allah subahanallahu wa ta’ala atas segala
kesalahan atau cantuman rancu yang mungkin bisa jadi terkandung di dalam makalah ini
dan meminta perlindungan Allah atas segala was-was syaithan yang senantiasa mengajak
kepada keburukan entah itu berbentuk dalam niat yang jelek dari penulisan makalah ini
atau juga dari rasa bangga diri setelahnya, dan sungguh saya tidak punya andil apapun
dalam segala hal melainkan itu semua atas kebaikan dan kehendak Allah azza wa jalla.
Saya juga meminta pertolongan dan keridhoan Allah dari penulisan makalah ini yang
mana semoga menjadi bermanfaat bagi semua orang.
Hakikat ilmu atau Penyusunan rangkaian catatan yang akan saya buat ini
inshaallah berkenaan dengan “Pasal Tawakkal” yang merupakan salah satu sub-bab dari
Buku Ta’lim Muta’allim karya asy syeikh az zarnuji , jadi metode yang akan saya
gunakan itu ialah kombinasi dari metodologi penelitian karya ilmiah kualitatif dan
deskriptif. Dan saya harap dari penyusunan karya tulis ilmiah ini dapat menjadi rujukan
bagi sebagian orang yang hendak mencari referensi aktual lainnya dengan sumber
informasi yang inshaallah sudah dipastikan akurat dan terpercaya juga.

i
Terakhir, saran dan kritik apapun dari kalian sekalian orang yang di rahmati
Allah, akan saya terima dengan senang hati, seperti apa yang dikatakan Umar Bin
Khattab rahimahullah, salah seorang sahabat nabi
“Saya sangat suka dengan seseorang yang menunjukan kepada saya kesalahan
saya”
Dan saya tutup dengan meminta kemudahan kepada Allah dalam penulisan ini.
Bit taufiq wal hidayah

Bantul, 31 Mei 2022

Seorang hamba yang amat sangat butuh


akan ampunan-Nya.
Yasfi Fakhrunnisa Fauziah

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar / ‫ مقدمة‬............................................................................................ i
BAB I ............................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ............................................................................................ iv
BAB II .............................................................................................................. iv
PEMBAHASAN ................................................................................................ iv
2.1. Definisi Tawakkal Secara Umum ............................................................. iv
2.2. Makna Bertawakkal Kepada Allah secara khusus ..........................................2
2.3. Manfaat Dan Faidah dari Bertawakkal kepada Allah ..................................... 3
a) Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan ................................3
b) Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha ................................................ 4
c) Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang ................................. 6
d) Tawakkal yang Termasuk Syirik ............................................................ 7
2.4. Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal ........................................................ 8
2.5. Keutamaan Tawakkal .............................................................................. 8
2.6. Cara Merealisasikan Tawakkal .................................................................. 9
a) Bersandarnya hati pada Allah. ...............................................................10
b) Tawakkal Haruslah dengan Usaha ........................................................ 10
c) Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar ............................. 12
2.7. Tawakkal yang Keliru ............................................................................ 14
2.8. Ketika sudah bertawakkal dan akhirnya Mendapat Kegagalan ......................14
2.9. Rukun Tawakkal .................................................................................. 15
2.10. Beberapa gambaran keadaan Tawakkal ................................................... 18
2.11. Perilaku orang-orang yang bertawakkal ..................................................19
BAB III ............................................................................................................ 25
PENUTUP ...................................................................................................... 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Mengenai Tawakkal, ini sebuah kosa kata yang sudah masuk kedalam bahasa
indonesia, yang sudah beredar di lisan kaum muslimin, dan ini adalah kosakata yang
salah satu menjadi penentu indeks kebahagaiaan. Kalau kita meminjam istilah kata ini
yang pernah dipublikasikan media barat, katanya media barat pernah merilis survey
kebahagiaan, mereka keheranan dan kaget bahwa negara maju itu memiliki indeks
kebahagiaan yang minim, dan malah penduduk yang muslim mereka tidak mengalami
kemajuan di bidang ekonomi dan tidak begitu menggiurkan apalagi pluto, pendapatan
mereka tidak

Apa yang menyebabkan indeks kebahagiaan negara kaum muslim yangdivonis


kemajuan ekonominya dibawah negara yang maju tapi memiliki indeks kebahagiaan
yang lebih tinggim inilah salah satu konsep luarbiasa inshaallah setelah khatam ini bahwa
ternayata ketenanganan itu bukan di dapatkan dari hiburan, dari berita saya lihat di
media katanya ada salah satu kota di jawa barat katanya meskipun zona merah bakalan
membuka bioskop , alasannya apa ?demi kesehatan mental, tetapi sebenarnya
ketenangan atau kesehatan mental itu ada pada hal bukan itu tapi sebenarnya pada hati
kaum muslimin itu sendiri, jadi kita galau bukan karena piknik tapi kurang tawakkal,
kurang ibadah kepada Allah

Insyaallah pada pembahasan kali ini saya akan menukil dan mengutip berkenaan
dengan keseluruhan konsep dan ruang lingkup dari “Tawakkal”, yang mana memiliki
banyak sisi dan arti tersendiri yang berbeda-beda dari setiap permasalahannya , dan ini
pun hanya catatan yang isinya saya kumpulkan dari berbagai sumber terpercaya yang
mengikuti pemahamannya nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam dan para
sahabatnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tawakkal Secara Umum

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Tawakkal Secara Umum

Tawakkal berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan.


Seperti dalam kalimat disebutkan “‫”وكك ملت َ ملم ىري إى لَ فالَن‬,
‫ ل‬aku menyerahkan urusanku pada
fulan. Sedangkan yang dimaksud dengan tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah,
Hakekat tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla
untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan
dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan
sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya,
dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.

Menurut Abu Zakaria Ansari, tawakkal ialah "keteguhan hati dalam


menyerahkan urusan kepada orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul
rasa percaya kepada orang yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai
sifat amanah (tepercaya) terhadap apa yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa
aman terhadap orang yang memberikan amanat tersebut.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari
keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini
bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia
yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya
untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram
serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Sementara bisa kita lihat juga dari zaman sekarang contohnya seseorang, ada
yang salah paham dalam melakukan tawakkal. Dia enggan berusaha dan bekerja, tetapi
hanya menunggu. Orang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak perlu belajar, jika
Allah menghendaki pandai tentu menjadi orang pandai. Atau tidak perlu bekerja, jika
Allah menghendaki menjadi orang kaya tentulah kaya, dan seterusnya.
Semua itu sama saja dengan seorang yang sedang lapar perutnya, sekalipun ada
berbagai makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah menghendaki ia kenyang, tentulah
kenyang. Jika pendapat ini dipegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri.

1
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha
atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya -- menurut ajaran Islam -- ialah
menyerah diri kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan
bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia
tetapkan.
Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang yang meletakkan
sepeda di muka rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Akan tetapi jika
dilihat pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ada seorang sahabat yang
meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat,
ia menjawab, "Saya telah benar-benar bertawakkal kepada Allah". Nabi shalallahu alaihi
wa salam yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, "Ikatlah dan setelah itu
bolehlah engkau bertawakkal."1

Tawakkal juga adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah


Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik
menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan
keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)

2.2. Makna Bertawakkal Kepada Allah secara khusus

Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal,


diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah
menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul
Qadir, 5/311).
Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna
percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti
memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau
menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali
mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah
Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia
maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah
sebab disiapkan.”

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Tawakal

2
2.3. Manfaat Dan Faidah dari Bertawakkal kepada Allah

a) Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan

Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa
mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk
lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh
untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai
pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan
Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak
akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat
dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika
Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau
mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah menjadi penolong
kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang diungkapkan
oleh Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau,
Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka
waspadalah engkau terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir.
Lihat Fathul Bari VIII/77)
Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim
ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong
kami dan Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)
Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki
sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-
Hakim)
Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki.
Bagaimana tidak, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang
tidak pernah mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, “Hadist ini merupakan tonggak
tawakkal. Tawakkal kepada Allah itulah faktor terbesar dalam mencari riqzi.” Karena itu,
barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan
mencukupinya. Allah berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata

3
mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala sesuatu yang membuat sempit
manusia.”

b) Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha

Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan


hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh
anggota badan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah
Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada
Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari
penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita
datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang
hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal
dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan
pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik
perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal
kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan-


telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata:
“Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha,
sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi
maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam
bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan
(rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan
mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul
Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di
rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku
datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal
ilmu. Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah
telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak
perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal
kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana
yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi).
Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja

4
dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari,
11/305-306)

Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal
itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-
tujuannya. Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya
tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak
bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa
rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-
Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”
(Murqatul Mafatih, 5/157)

Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim


bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia
tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus
meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia
semata.2

Allah Subhanallahu wa ta’ala pernah berfirman tentang tawakkal dan bagaimana


seseorang itu bisa mendapatkan begitu banyak faidah dari usaha ini

‫ا‬ ‫وف َلو فلا ىرقاوه كن ىملعر ل‬


‫فلىِ لذا بَل مْن َلجلِ كن فلألم ىس اُ ى ل‬
‫وف لوَل مش ىِ ادوا لذ لو مْ لَ مد لٍ ىّمن اُ مم‬ ‫ا ما‬ ‫وه كن ملمعار م‬
‫ل ل لا م ا‬
‫َّل لمج لعل‬‫اِ ىر لولمن يلَت ىكِ ك‬ ‫َّ وَلميَوىِ مٍَء ى‬
‫ُ بىىِۦ من لكا لن يَؤىمن بى كى‬
‫ا‬ َ‫و‬‫ي‬ ‫م‬ُ‫ا‬ ‫وَلقىيم اوا َلش ذكِ لد لة ىكى‬
‫ّ ذلذلى‬
‫ل لم ل‬ ‫ام ا‬ ‫ل‬ ‫مال‬ ‫ل‬ ‫ل ا‬
‫لكِاۥ خلملر ججا‬
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan
memberinya rizki dari arah yang tidak disangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65] :
2-3).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,”Seandainya semua manusia
mengambil nasehat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya
manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi
urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).
Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak

2
Indra Pratomo, “Tawakkal”, 2019,.https://muslim.or.id/30-tawakkal.html

5
disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakkal dan Dia-lah
Rabb ‘Arsy yang agung.

Sebagian orang menganggap bahwa tawakkal adalah sikap pasrah tanpa


melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang
keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka
tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk
dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka
mengatakan, ”Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”
Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakkal?! Semoga pembahasan kali
ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakkal yang sebenarnya dan
apa saja faedah dari tawakkal tersebut.

c) Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah,
sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki.
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya
dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya
duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa
sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang ini tidak
tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan
rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung
tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki.
(Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan,”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan
lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu
bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan
melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena
burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita
untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8,
Maktabah Syamilah)

6
d) Tawakkal yang Termasuk Syirik

Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba


tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan
rizki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi
Allah Ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakkal adalah amalan hati yaitu ibadah hati
semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib
ditujukan kepada Allah semata. Barangsiapa yang menujukan satu ibadah saja kepada
selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila
seseorang bertawakkal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang
dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.
Tawakkal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat
mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakkal (bersandar) pada makhluk
pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah Ta’ala. Seperti
bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan
di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para
penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati
mereka, padahal tidak ada satu makhluk pun yang mampu mengabulkan hajat mereka
kecuali Allah Ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakkal kepada selain Allah
dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini
termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan
(ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar
sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada
majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rizkinya, semacam ini
termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab
tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah
sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal
ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh
Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29).3

3
Muhammad Abdul Tuasikal, “Tawakkal yang sebenarnya”. 2019. https://rumaysho.com/68-tawakkal-yang-
sebenarnya.html

7
2.4. Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal

Jalan meraih sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada
Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah
firman Allah Ta’ala,
‫( ويَرزقمِ ىمن حيُ لل لحت ىسُ ومن يَتَوككل َلى كى‬2) ‫اّ لجعل لِ خلمرجا‬
‫اّ فلَ اِ لو‬ ‫ل ل م ا ا م ل م ا مل ا ل ل م لل ل م ل‬ ‫لولم من يلَت ىكِ كل م ل م ا ل ج‬
‫لح مسُاِا‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.
Ath Tholaq: 2-3)

2.5. Keutamaan Tawakkal

Pertama: Tawakkal sebab diperolehnya rizki


Ibnu Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh
rizki”.[2] Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
‫ومن يَتَوككل َلى كى‬
‫اّ فلَ اِ لو لح مسُاِا‬ ‫ل ل م لل ل م ل‬
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).

Kedua: Diberi kecukupan oleh Allah


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3
kepada Abu Dzar Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
‫لِ اُ موا ىهلا ل لُ لفمتَ اِ مم‬
‫كاَ اكلك اِ مم َ ل‬
‫ل مو َل كن الن ل‬
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi
mereka.”4 Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.5

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3
mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya

4
HR. Ahmad, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubro. Dalam sanad hadits ini terdapat inqitho’ (terputus) sehingga hadits ini
adalah hadits yang lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jami’ no. 6372 mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.
Namun makna hadits ini shahih (benar) karena memiliki asal dari ayat al Qur’an dan hadits shahih.

5 Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 516.

8
dan menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-
Nya.”6
Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3
dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah
akan beri kecukupan pada urusannya.”
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa menyerahkan urusannya
pada Allah, maka Allah akan berikan kecukupan pada urusannya.”
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan pula, “Barangsiapa yang
menyandarkan diri pasa Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat
dan terlepas dari kemudhorotan, dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka
Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang
Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (AL
‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara
lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan
waktu yang pas.”
Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari orang yang
bertawakkal.

Ketiga: Masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab


Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫كى‬ ‫ى ى ى ل‬ ‫ي مدِل م ى‬
‫ اه ام الُ ل‬، ٍ‫اْلنكةل م من َاكم ىِ لسمَُعاو لن َللم جفا بْل مَ ح لسا‬
، ‫ لولل يلَتلُلكَاو لن‬، ‫ين لل يل مس ل مرقاو لن‬ ‫ل اا‬
‫لو لَلى لرّهىى مم يلَتلَ لوككلاو لن‬
“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka
adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu
bertawakkal pada Rabbnya.”[9]

2.6. Cara Merealisasikan Tawakkal

“Dalam merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan


melakukan berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah
menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan).
Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan bertawakkal pada-
Nya,” demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya7

6
Tafsir Ath Thobari (Jami’ Al Bayan fii Ta’wili Ayil Qur’an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, 23/46, Dar Hijr.

7
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.

9
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah
terpenuhi dua unsur:

a) Bersandarnya hati pada Allah.

Inilah cara merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan


sebagian orang yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati pada
Allah, tanpa melakukan usaha atau melakukan usaha namun tidak maksimal. Tawakkal
tidaklah demikian.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota
badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan
bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan.”

b) Tawakkal Haruslah dengan Usaha

Berikut di antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti


meninggalkan usaha, namun haruslah dengan melakukan usaha yang maksimal.
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫وُ بىُلااج‬ ‫اّ ح كِ وَوككلى ىِ لرزقل اُم لكما يَرز اُ الُكَ وَْدو ى‬
‫ى‬
‫ر‬َ
‫لا ا‬‫ل‬‫و‬‫و‬ ‫ا‬
‫ج‬ ‫اص‬‫ل‬‫م‬ ‫مل ل م ا‬ ‫ل مو َلّك اُ مم ولَتلَ لوككلاو لن لَلى ك ل ل ل ل ل م ل ل م ا‬
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi
pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”8
Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar
dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah
yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan
bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan
berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk
mencari rizki.”9
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi
mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha
untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk

8
HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan
bahwa hadits ini hasan.
9 Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah

10
mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang
dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada
Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka
akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan
lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak
hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan
mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi
tawakkal.”10
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya
duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah
berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam
Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah bersabda,
‫اّ لج لع لل ىرمزقىي لمحت ىِ ّل ارمىحي‬
‫إى كن ك‬
”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”11
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-
betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana
burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar
dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa
burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka
mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut
dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak
meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,

‫استلُل معتا مم ىم من قاَ كولة لوىم من ىرلَ ىِ م‬


‫اخلمي ىل‬ ‫ى‬
‫لوَلَ كدوا لهامم لما م‬
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).
Juga firman-Nya,
‫ْ ىل كى‬
ّ‫ا‬ ‫ِ لوابمَتلَْاوا ىم من فل م‬
‫ص لَةا فلاّمَتل ىشاروا ىف ماأ ملر ى‬ ‫ْي ى‬
‫ت ال ك‬ ‫ى ى‬
‫فلِ لذا قا ل‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat jelas bahwa
kita dituntut untuk melakukan usaha.

10
Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, 1/335, Asy Syamilah
11
HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581.
Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

11
c) Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar

Sahl At Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha


(meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah
tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia
telah meninggalkan keimanan.”12
Dari keterangan Sahl At Tusturi ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita
meninggalkan sebab. Namun dengan catatan kita tetap bersandar pada Allah ketika
mengambil sebab dan tidak boleh bergantung pada sebab semata.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengambil sebab ada tiga kriteria
yang mesti dipenuhi. Satu kriteria berkaitan dengan sebab yang diambil. Dua kriteria
lainnya berkaitan dengan orang yang mengambil sebab.
Kriteria pertama: Berkaitan dengan sebab yang diambil. Yaitu sebab yang
diambil haruslah terbukti secara syar’i atau qodari.
Secara syar’i, maksudnya adalah benar-benar ditunjukkan dengan dalil Al
Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh: Dengan minum air zam-zam, seseorang bisa sembuh dari penyakit.
Sebab ini adalah sebab yang terbukti secara syar’i artinya ada dalil yang menunjukkannya
yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,
‫إى كَلا امُل لارلك ة إى كَلا ُل لع ااِ ُا مع لم‬
“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah
makanan yang mengenyangkan.”13
Ditambahkan dalam riwayat Abu Daud (Ath Thoyalisiy) dengan sanad jayyid
(bagus) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
‫لو ىش لفاءا اس مق لم‬
“Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).”14
Begitu pula disebutkan dalam hadits lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ى‬
‫لماءا لزمملَلِ ل لما اش ىر ل‬
‫ٍ لِا‬
“Khasiat air zam-zam sesuai keinginan orang yang meminumnya.”

12
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
13
HR. Muslim dalam Kitab Keutamaan Para Sahabat, Bab Keutamaan Abu Dzar, no. 4520.
14
HR. Abu Daud Ath Thoyalisiy dalam musnadnya no. 459. Dikeluarkan pula oleh Al Haitsamiy dalam Majma’ Az Zawa-id,
3/286 dan Al Hindiy dalam Kanzul ‘Ummal, 12/34769, 3480.

12
Secara qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian
ilmiah itu terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang
merupakan cara halal dan ada pula yang haram.
Contoh: Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS
(Ujian Akhir Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya
menjalani ujian sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِّ‫َ ىم ى‬
‫ّ فلَلمي ل‬
‫لم من لغ ك‬
“Barangsiapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”
Misalnya lagi, memperoleh harta dengan cara korupsi. Ini adalah cara yang
haram. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ى‬
‫َ فلَ اِ لو غالا ة‬
ٍ‫و‬ ‫استلَ مع لم ملنلاُا لَلى لَ لم لل فلَلرلزقمَنلاُا ىرمزقجا فل لما َ ل‬
‫لِ لُ بلَ مع لد لذل ل‬ ‫لم ىن م‬
“Siapa saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta yang dia
dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah harta yang berstatus ghulul
(baca:korupsi)”.

Kriteria kedua: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu


hendaklah ia menyandarkan hatinya pada Allah dan bukan pada sebab. Hatinya
seharusnya merasa tenang dengan menyandarkan hatinya kepada Allah, dan bukan pada
sebab. Di antara tanda seseorang menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir
ketika tidak berhasil, maka ia pun menyesal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ‫لم من ولَ لعلك لِ لشميًَجا اوكى لل إىلمي ى‬
“Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan
dia selalu bergantung pada barang tersebut.”15 Artinya, jika ia bergantung pada selain
Allah, maka Allah pun akan berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada
selain Allah.

Kriteria ketiga: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab,


yaitu meyakini takdir Allah. Seberapa pun sebab atau usaha yang ia lakukan maka semua
hasilnya tergantung pada takdir Allah (ketentuan Allah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

15
HR. Tirmidzi no. 2072. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

13
‫ف لسنل لة‬ ‫اِ واألر ى ى‬‫ى‬ ‫اّ م لق ىاِير م ى‬
‫ن َللم ل‬ ‫اخلَلئ ىِ قلَمُ لل َل من لخملا لِ ال كس لم لو ل م ل‬
‫ِ ِل ممس ل‬ ‫ُ كا ل ل‬ ‫لكتل ل‬
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.”16
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang
semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap
kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan
setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.”

2.7. Tawakkal yang Keliru

Dari penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
Pertama: Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari
sebab. Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh
Sahl At Tusturi di atas.

Kedua: Melakukan usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan
menyandarkan diri pada sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti memakai jimat,
agar dilancarkan dalam urusan atau bisnis.

Ketiga: Sebab yang dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman.
Misalnya, meraih dengan jalan korupsi.

Keempat: Meyakini bahwa sebab tersebut memiliki kekuatan sendiri dalam


menentukan hasil, maka ini adalah syirik akbar (syirik besar). Keyakinan semacam ini
berarti telah menyatakan adanya pencipta selain Allah. Misalnya, memakai pensil ajaib
yang diyakini bisa menentukan jawaban yang benar ketika mengerjakan ujian. Jika
diyakini bahwa pensil tersebut yang menentukan hasil, maka ini termasuk syirik akbar.

2.8. Ketika sudah bertawakkal dan akhirnya Mendapat Kegagalan

Ketika itu sudah berusaha dan menyandarkan diri pada Allah, maka ternyata
hasil yang diperoleh tidak sesuai yang diinginkan maka janganlah terlalu menyesal dan
janganlah berkata “seandainya demikian dan demikian” dalam rangka menentang takdir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

16
HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.

14
‫اّ ىمن المم مؤىم ىن الْكعى ى‬ ‫ْ َِ وَلح ك ى ى‬ ‫ى‬
َ ‫ْ لَلى لما يلَمنَ لفعا ل‬ ‫يف لوىِ اك لّل لِ مَة م‬
‫اح ىر م‬ ‫ُ إ لَ ك ل ا‬ ‫الم ام مؤم ان الم لق ىو ك ل مة ل ل‬
‫ لول ىُ من قا مل‬.‫ت لكا لن لك لُا لولك لُا‬ ‫ى‬ ‫و ى ى‬
ّ‫َ لش مىءة فلَل ولَ اق مل ل مو َى‬
‫لِ فلَ لع مل ا‬ ‫استلع من ىَ كّ لولل ولَ معِ مَ لوإى من َ ل‬
‫لصابل ل‬ ‫لم‬
‫اّ وما لشاء فلَعل فلىِ كن لو ولَ مفتلُ َمل الشكيُل ى‬
‫ان‬ ‫ى‬
‫م ا لل ل م‬ ‫قل لد ار ك ل ل ل ل ل‬
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal
yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku
lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi
takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law
(seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”17
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.18

2.9. Rukun Tawakkal

Sebagian orang ada yang salah paham dengan tawakal. Sebelumnya, perlu
diketahui ada dua rukun tawakal:

1. Menempuh dan melakukan sebab/usaha

2. Berdoa memohon bantuan kepada Allah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah
serta ridha dengan apapun yang Allah takdirkan nanti

Ada dua sikap ekstrim (berlebihan) terkait tawakal:

Pertama: Tidak melakukan sebab atau usaha sama sekali

Inilah yang sering salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami tawakal dengan
“pasrah” saja. Tidak melakukan sebab atau usaha dengan apapun.

Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan
kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah

Berikut pembahasannya:

Pertama: Tidak melakukan sebab sama sekali

17
HR. Muslim no. 2664
18
M Abduh Tuasikal, “Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal”, 2010. https://rumaysho.com/847-kiat-meraih-
sukses-dengan-tawakkal.html

15
Hal ini tidak dibenarkan, karena Allah telah menciptakan sebab dan akibatnya.
Manusia harus menempuh sebab dan melakukan usaha untuk mendapatkan hasilnya
nanti.

Perhatikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai “tawakalnya burung”.

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah


akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung
yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi,
hasan shahih)

Seekor burung tidak tahu letak di mana biji-bijian dan makanan yang akan
didapatkan, bisa jadi di tempat kemarin yang ia dapatkan, sekarang telah habis
persediaan biji tersebut.

Yang penting bagi burung adalah:


1. Berusaha keluar sarang dulu, yang penting berusaha (tidak meninggalkan sebab dan
usaha)
2. Tidak stress dulu di sangkar terlalu lama memikirkan nasibnya
3. Optimis dengan rezeki dari Allah, untuk memenuhi kebutuhannya

Syaikh Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan,

‫ﻕﺯرلﺍ ُلُ ىلَ ﻝدي ام ِيف لب ُسُلﺍ ﻙرو ىلَ ﻝدي ام ُيدﺤلﺍ يف َيل‬

“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh
sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul
Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)

Jadi, menempuh sebab (melakukan usaha) itu juga penting dan diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat
unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil
bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

‫إى مَ ىق مل لِا لوولَ لوكك مل‬


“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no.
2517, hasan)

Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan
kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah

16
Kita adalah seorang hamba Allah dan jangan sampai melupakan Allah sebagai
pencipta kita dan yang memberikan kita kemampuan serta Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

‫فاللتفاِ اَ اأسُاٍ شرك ِ التوحيد و حو اأسُاٍ َن وُون َسُاَ ّقض ِ العقل و‬


‫اأَراِ َن اأسُاٍ الأمور ها قدُ ِ الشرع فعلى العُد َن يُون قلُِ متعمدا َلى ا‬
‫ل َلى سُُ من اأسُاٍ و ا ييسر لِ من اأسُاٍ ما يصلﺤِ ِ الدّيا و اأِرة‬
“Mengandalkan (terlalu memperhatikan) sebab atau usaha itu menodai
kemurnian tauhid. Tidak percaya bahwa sebab adalah sebab adalah tindakan merusak
akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang
memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah,
bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk
melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat”
(Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)

Orang yang terlalu mengandalkan sebab atau usaha sangat berpotensi untuk stres
dan depresi ketika ia tidak bisa mencapai target atau hasil yang ia inginkan, padahal ia
sudah giat dan bersusah payah. Seorang yang bertawakal tidak akan stres atau depresi
karena ia berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang Allah takdirkan adalah yang terbaik
bagi seorang hamba. Inilah menakjubkannya urusan seorang muslim sebagaimana
dalam hadits.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َ لذ لاك ىأ لل لح لد إىلك لىمل ام مؤىم ىن‬ ‫ك‬ ‫ى ى ى ىك‬


‫ لولمي ل‬،‫َ لُِجا أ ملمر الم ام مؤمن إن َ ململرُا اكلِا لِ مَة‬: ‫إى من َ ل‬
‫لصابلَمتِا لسكراءا لش لُلر ل‬
‫ص للر فل لُا لن لِ م جَا لِا‬
‫ضكراءا ل‬ ‫ لوإى من َ ل‬،‫فل لُا لن لِ م جَا لِا‬
‫لصابلَمتِا ل‬
“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya
adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang
Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan
baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya”
(HR. Muslim)19

19
Raehanul Bahraen, “Salah Paham tentang Memahami Tawakkal”, 2021. https://muslim.or.id/42819-salah-
paham-tentang-memahami-tawakal.html

17
2.10. Beberapa gambaran keadaan Tawakkal

Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan,
“Wakkala Fulan amruhu ila Fulan”, artinya Fulan yang pertama menyerahkan
urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.

Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang


diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah dia
bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati, kekuatan dan
petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka bandingkanlah dengan tawakal
kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa berbuat
kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya
sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di belakang ilmu-Nya
tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat lain, berarti hatimu sudah
bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok kepada selain-Nya. Jika
engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti ini di dalam dirimu, maka ada satu di
antara dua sebab, entah karena lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena
ketakutan hati yang disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati
menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan, sekalipun masih tetap ada
keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang
madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.

Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di
tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun
dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat
dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena
adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali oang
yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga
menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu
sudah ditutup rapat-rapat.

Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan
kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan
engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah bahwa
keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan:

Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan


pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk
sebagai wakilnya.

18
Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan
anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan
mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya
sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam
hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, “Ibu..!” Siapa yang
pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti
keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan
tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang
yang bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada
selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang
pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni
dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal
ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti
ditawakali.

Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di
tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan
dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak
dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju
ibunya.

Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang
yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.20

2.11. Perilaku orang-orang yang bertawakkal

Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak
perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup
menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas
papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram
dalam syariat.

Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak


dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa
berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan,
ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk
20
Admin Salafy.or.id, “Tawakkal kepada Allah dan Keutamaannya”.2003. https://salafy.or.id/tawakkal-kepada-
allah-taala-dan-keutamaannya-i/

19
mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga
menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba
tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:

Gambaran pertama:

Mendatangkan manfaat. Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat


ada tiga tingkatan:

Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang
memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan
yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu,
sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan
ke makan itu seraya berkata, “Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah
meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu
pula mengunyah dan menelannya”. Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan
sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa
kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang
dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah
dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu
Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah
menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa
berjima’, maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini
bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat
keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang
menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah
yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati
dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan.
Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau
boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan
ke makanan tidak menafikan tawakal.

Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal


dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi. Misalnya orang yang meninggalkan tempat
tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali
dilewati manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang memadai. Orang seperti
ini sama dengan orang yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia
diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

20
bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala
hijrah ke Madinah.

Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab,


tanpa disertai keyakinan yang riel, seperti orang yang membuat pertimbangan secara
terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan
syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan
orang-orang yang ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah.
Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini
merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan dengan
sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Orang yang bertawakal ialah yang
menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah.”

Gambaran kedua:

Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang. Siapa yang mendapatkan


makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan yang serupa
akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak mengeluarkannya
dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang harus diberi
nafkah.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu


Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani
Nadhir, lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama
satu tahun.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?”.

Jawabnya: Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika
dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-
orang yang semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan)
memang tidak selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka
celaan tertuju pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada
masalah menyimpan harta yang halal.

21
Gambaran ketiga:

Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat. Bukan termasuk syarat


tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya,
tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang
akan runtuh. Semua ini dilarang.

Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran,
menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,

“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan


menyandang senjata”. (An-Nisa’:102)
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah
aku melepasnya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah”.
(Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan
pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya
dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun
mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.

Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka
dia gembira dan berkata, “Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah
bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang.” Kalau pun makanan itu pun tidak ada,
maka dia tetap gembira dan berkata, “Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan
itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku.”

Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit
terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-
barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha’ dan menghalalkan barang-barangnya
bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh
jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama,
karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu
berkata, “Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada
memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat
macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada orang-orang Muslim?”

Gambaran keempat:

22
Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit
dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi
tiga macam:

Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan
lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.

Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum urus-urus dan lain-


lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim
juga melakukannya, namun ada pula di antara mereka yang tidak mau berobat karena
alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu Anhu, tatkala dia ditanya, “Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib
untuk mengobatimu?” Dia menjawab, “Tabib sudah melihatku.”, “Apa katanya?”,
tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, “Katanya, ‘Aku dapat berbuat apa pun yang
kukehendaki’.” Al-Mushannif Rahimahullah berkata, “Yang perlu kami tegaskan
bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya
dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang
diterimanya, atau mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap
dari tanda-tanda tertentu.” Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah
dihamparkan Allah di bumi ini.

Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk
sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati
orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan
api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam
sabda beliau, “Tidak menyundut dengan api”, ialah cara yang biasa dilakukan semasa
Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh
tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang
berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As’ad bin Zararah Radhiyallahu Anhu.
Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-
orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu
menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, “Aku suka sakit jika tidak ada yang
menjengukku.” Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Bagaiman
keadaanmu?” Al-Iman Ahmad berjawab, “Baik-baik.” “Apakah semalam engkau
demam?” tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, “Jika sudah kukatakan kepadamu
bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang
kubenci.” Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu

23
diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka
berkata, “Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku.” Jadi dia
menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas
penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku sakit demam seperti dua orang di
antara kalian yang sakit demam”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)21

(Dinukil dari “Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin


Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin, Jalan
Orang-orang yang Mendapat Petunjuk”.)

21
Admin Salafy.or.id, “ Tawakkal kepada Allah dan keutamaannya ii”, 2003. https://salafy.or.id/tawakkal-kepada-
allah-taala-dan-keutamaannya-ii/

24
BAB III

PENUTUP

Diantara hal yang perlu kita perhatikan ketika kita memiliki rencana adalah
tawakalkan rencana tersebut pada Allah dan ridha pada semua keputusan Allah setelah
menyelesaikan rencana. Sebagaimana penjelasan syaikul islam Ibnu
Taimiyyah radhiyallahu ‘anhu ketika seorang manusia memiliki rencana maka
didepannya ada takdir, bagaimana sikap yang tepat agar tidak selalu memikirkan rencana
agar hati kita tidak bergantung dengan sebab yang kita milikidan hati kita tidak merasa
kehilangan ketika mengalami kegagalan:

1. Tawakal pada Allah ketika kita memiliki rencana


2. Ridha pada semua keputusan Allah setelah melakukan rencana

Jika seseorang bisa menyeimbangkan dua hal ini setiap dia memiliki rencana
maka insyaallah dia tidak akan terlalu bergantung dengan sebab dan tidak akan merasa
kehilangan ketika dia mengalami kegagalan.

Bersemangatlah dan jangan malas dalam ikhtiar dengan mengambil sebab,


namun sebagai insan yang beriman pada takdir Allah kita tidak boleh hanya bergantung
pada sebab. Ketika sudah melakukan sebab maka bertawakallah kepada Allah dan sabar
serta ridha dalam menyikapi hasil yang diberikan oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫ى‬ ‫اح ىرْ َلى ما يَمنَ لفعَ و ى ى‬


‫ت لكا لن‬
‫لِ فلَ لع مل ا‬ّ‫َ لش مىءة فلَل ولَ اق مل ل مو َى‬ ‫استلع من ىَ كّ لولل ولَ معِ مَ لوإى من َ ل‬
‫لصابل ل‬ ‫م م ل ل ل ال لم‬
‫ لك لُا لولك لُا‬. ‫ان‬ ‫اّ وما لشاء فلَعل فلىِ كن لو ولَ مفتلُ َمل الشكيُل ى‬ ‫ول ىُن قال قل لدر كى‬
‫م ا لل ل م‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل م م ا‬
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan
janganlah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan
‘seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi
katakanlah ‘Qaddarullah wa maa sya’a fa’ala’. Karena perkataan ‘seandainya’ akan
membuka pintu syetan”. (HR. Muslim)

Ingatlah bahwa tawakkal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja.
Tawakkal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam
urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakkal dalam urusan akhiratnya,
untuk meraih apa yang Allah ridhoi dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga

25
bertawakkal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii
sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakkal yang paling
agung adalah tawakkal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap
teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad
melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan
bahwa inilah tawakkal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

26

Anda mungkin juga menyukai