فصل ف التوكل
(Pasal Tentang Tawakkal)
Penulis / مؤلف
يشفي فخرالنساء فوزية
i
Terakhir, saran dan kritik apapun dari kalian sekalian orang yang di rahmati
Allah, akan saya terima dengan senang hati, seperti apa yang dikatakan Umar Bin
Khattab rahimahullah, salah seorang sahabat nabi
“Saya sangat suka dengan seseorang yang menunjukan kepada saya kesalahan
saya”
Dan saya tutup dengan meminta kemudahan kepada Allah dalam penulisan ini.
Bit taufiq wal hidayah
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar / مقدمة............................................................................................ i
BAB I ............................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ............................................................................................ iv
BAB II .............................................................................................................. iv
PEMBAHASAN ................................................................................................ iv
2.1. Definisi Tawakkal Secara Umum ............................................................. iv
2.2. Makna Bertawakkal Kepada Allah secara khusus ..........................................2
2.3. Manfaat Dan Faidah dari Bertawakkal kepada Allah ..................................... 3
a) Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan ................................3
b) Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha ................................................ 4
c) Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang ................................. 6
d) Tawakkal yang Termasuk Syirik ............................................................ 7
2.4. Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal ........................................................ 8
2.5. Keutamaan Tawakkal .............................................................................. 8
2.6. Cara Merealisasikan Tawakkal .................................................................. 9
a) Bersandarnya hati pada Allah. ...............................................................10
b) Tawakkal Haruslah dengan Usaha ........................................................ 10
c) Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar ............................. 12
2.7. Tawakkal yang Keliru ............................................................................ 14
2.8. Ketika sudah bertawakkal dan akhirnya Mendapat Kegagalan ......................14
2.9. Rukun Tawakkal .................................................................................. 15
2.10. Beberapa gambaran keadaan Tawakkal ................................................... 18
2.11. Perilaku orang-orang yang bertawakkal ..................................................19
BAB III ............................................................................................................ 25
PENUTUP ...................................................................................................... 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Mengenai Tawakkal, ini sebuah kosa kata yang sudah masuk kedalam bahasa
indonesia, yang sudah beredar di lisan kaum muslimin, dan ini adalah kosakata yang
salah satu menjadi penentu indeks kebahagaiaan. Kalau kita meminjam istilah kata ini
yang pernah dipublikasikan media barat, katanya media barat pernah merilis survey
kebahagiaan, mereka keheranan dan kaget bahwa negara maju itu memiliki indeks
kebahagiaan yang minim, dan malah penduduk yang muslim mereka tidak mengalami
kemajuan di bidang ekonomi dan tidak begitu menggiurkan apalagi pluto, pendapatan
mereka tidak
Insyaallah pada pembahasan kali ini saya akan menukil dan mengutip berkenaan
dengan keseluruhan konsep dan ruang lingkup dari “Tawakkal”, yang mana memiliki
banyak sisi dan arti tersendiri yang berbeda-beda dari setiap permasalahannya , dan ini
pun hanya catatan yang isinya saya kumpulkan dari berbagai sumber terpercaya yang
mengikuti pemahamannya nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam dan para
sahabatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tawakkal Secara Umum
iv
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara bisa kita lihat juga dari zaman sekarang contohnya seseorang, ada
yang salah paham dalam melakukan tawakkal. Dia enggan berusaha dan bekerja, tetapi
hanya menunggu. Orang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak perlu belajar, jika
Allah menghendaki pandai tentu menjadi orang pandai. Atau tidak perlu bekerja, jika
Allah menghendaki menjadi orang kaya tentulah kaya, dan seterusnya.
Semua itu sama saja dengan seorang yang sedang lapar perutnya, sekalipun ada
berbagai makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah menghendaki ia kenyang, tentulah
kenyang. Jika pendapat ini dipegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri.
1
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha
atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya -- menurut ajaran Islam -- ialah
menyerah diri kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan
bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia
tetapkan.
Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang yang meletakkan
sepeda di muka rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Akan tetapi jika
dilihat pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ada seorang sahabat yang
meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat,
ia menjawab, "Saya telah benar-benar bertawakkal kepada Allah". Nabi shalallahu alaihi
wa salam yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, "Ikatlah dan setelah itu
bolehlah engkau bertawakkal."1
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Tawakal
2
2.3. Manfaat Dan Faidah dari Bertawakkal kepada Allah
Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa
mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk
lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh
untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai
pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan
Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak
akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat
dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika
Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau
mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah menjadi penolong
kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang diungkapkan
oleh Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau,
Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka
waspadalah engkau terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir.
Lihat Fathul Bari VIII/77)
Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim
ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong
kami dan Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)
Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki
sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-
Hakim)
Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki.
Bagaimana tidak, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang
tidak pernah mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, “Hadist ini merupakan tonggak
tawakkal. Tawakkal kepada Allah itulah faktor terbesar dalam mencari riqzi.” Karena itu,
barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan
mencukupinya. Allah berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata
3
mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala sesuatu yang membuat sempit
manusia.”
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di
rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku
datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal
ilmu. Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah
telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak
perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal
kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana
yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi).
Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja
4
dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari,
11/305-306)
Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal
itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-
tujuannya. Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya
tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak
bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa
rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-
Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”
(Murqatul Mafatih, 5/157)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,”Seandainya semua manusia
mengambil nasehat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya
manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi
urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).
Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak
2
Indra Pratomo, “Tawakkal”, 2019,.https://muslim.or.id/30-tawakkal.html
5
disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakkal dan Dia-lah
Rabb ‘Arsy yang agung.
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah,
sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki.
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya
dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya
duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa
sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang ini tidak
tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan
rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung
tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki.
(Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan,”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan
lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu
bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan
melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena
burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita
untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8,
Maktabah Syamilah)
6
d) Tawakkal yang Termasuk Syirik
3
Muhammad Abdul Tuasikal, “Tawakkal yang sebenarnya”. 2019. https://rumaysho.com/68-tawakkal-yang-
sebenarnya.html
7
2.4. Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal
Jalan meraih sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada
Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah
firman Allah Ta’ala,
( ويَرزقمِ ىمن حيُ لل لحت ىسُ ومن يَتَوككل َلى كى2) اّ لجعل لِ خلمرجا
اّ فلَ اِ لو ل ل م ا ا م ل م ا مل ا ل ل م لل ل م ل لولم من يلَت ىكِ كل م ل م ا ل ج
لح مسُاِا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.
Ath Tholaq: 2-3)
Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3
mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya
4
HR. Ahmad, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubro. Dalam sanad hadits ini terdapat inqitho’ (terputus) sehingga hadits ini
adalah hadits yang lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jami’ no. 6372 mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.
Namun makna hadits ini shahih (benar) karena memiliki asal dari ayat al Qur’an dan hadits shahih.
8
dan menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-
Nya.”6
Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3
dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah
akan beri kecukupan pada urusannya.”
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa menyerahkan urusannya
pada Allah, maka Allah akan berikan kecukupan pada urusannya.”
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan pula, “Barangsiapa yang
menyandarkan diri pasa Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat
dan terlepas dari kemudhorotan, dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka
Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang
Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (AL
‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara
lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan
waktu yang pas.”
Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari orang yang
bertawakkal.
6
Tafsir Ath Thobari (Jami’ Al Bayan fii Ta’wili Ayil Qur’an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, 23/46, Dar Hijr.
7
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
9
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah
terpenuhi dua unsur:
وُ بىُلااج اّ ح كِ وَوككلى ىِ لرزقل اُم لكما يَرز اُ الُكَ وَْدو ى
ى
رَ
لا الوو ا
ج اصلم مل ل م ا ل مو َلّك اُ مم ولَتلَ لوككلاو لن لَلى ك ل ل ل ل ل م ل ل م ا
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi
pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”8
Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar
dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah
yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan
bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan
berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk
mencari rizki.”9
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi
mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha
untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk
8
HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan
bahwa hadits ini hasan.
9 Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
10
mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang
dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada
Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka
akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan
lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak
hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan
mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi
tawakkal.”10
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya
duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah
berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam
Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah bersabda,
اّ لج لع لل ىرمزقىي لمحت ىِ ّل ارمىحي
إى كن ك
”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”11
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-
betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana
burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar
dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa
burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka
mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut
dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak
meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,
10
Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, 1/335, Asy Syamilah
11
HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581.
Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
11
c) Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar
12
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
13
HR. Muslim dalam Kitab Keutamaan Para Sahabat, Bab Keutamaan Abu Dzar, no. 4520.
14
HR. Abu Daud Ath Thoyalisiy dalam musnadnya no. 459. Dikeluarkan pula oleh Al Haitsamiy dalam Majma’ Az Zawa-id,
3/286 dan Al Hindiy dalam Kanzul ‘Ummal, 12/34769, 3480.
12
Secara qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian
ilmiah itu terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang
merupakan cara halal dan ada pula yang haram.
Contoh: Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS
(Ujian Akhir Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya
menjalani ujian sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َِّ ىم ى
ّ فلَلمي ل
لم من لغ ك
“Barangsiapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”
Misalnya lagi, memperoleh harta dengan cara korupsi. Ini adalah cara yang
haram. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ى
َ فلَ اِ لو غالا ة
ٍو استلَ مع لم ملنلاُا لَلى لَ لم لل فلَلرلزقمَنلاُا ىرمزقجا فل لما َ ل
لِ لُ بلَ مع لد لذل ل لم ىن م
“Siapa saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta yang dia
dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah harta yang berstatus ghulul
(baca:korupsi)”.
15
HR. Tirmidzi no. 2072. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
13
ف لسنل لة اِ واألر ى ىى اّ م لق ىاِير م ى
ن َللم ل اخلَلئ ىِ قلَمُ لل َل من لخملا لِ ال كس لم لو ل م ل
ِ ِل ممس ل ُ كا ل ل لكتل ل
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.”16
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang
semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap
kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan
setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.”
Dari penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
Pertama: Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari
sebab. Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh
Sahl At Tusturi di atas.
Kedua: Melakukan usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan
menyandarkan diri pada sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti memakai jimat,
agar dilancarkan dalam urusan atau bisnis.
Ketiga: Sebab yang dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman.
Misalnya, meraih dengan jalan korupsi.
Ketika itu sudah berusaha dan menyandarkan diri pada Allah, maka ternyata
hasil yang diperoleh tidak sesuai yang diinginkan maka janganlah terlalu menyesal dan
janganlah berkata “seandainya demikian dan demikian” dalam rangka menentang takdir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
16
HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.
14
اّ ىمن المم مؤىم ىن الْكعى ى ْ َِ وَلح ك ى ى ى
َ ْ لَلى لما يلَمنَ لفعا ل يف لوىِ اك لّل لِ مَة م
اح ىر م ُ إ لَ ك ل ا الم ام مؤم ان الم لق ىو ك ل مة ل ل
لول ىُ من قا مل.ت لكا لن لك لُا لولك لُا ى و ى ى
َّ لش مىءة فلَل ولَ اق مل ل مو َى
لِ فلَ لع مل ا استلع من ىَ كّ لولل ولَ معِ مَ لوإى من َ ل
لصابل ل لم
اّ وما لشاء فلَعل فلىِ كن لو ولَ مفتلُ َمل الشكيُل ى
ان ى
م ا لل ل م قل لد ار ك ل ل ل ل ل
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal
yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku
lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi
takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law
(seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”17
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.18
Sebagian orang ada yang salah paham dengan tawakal. Sebelumnya, perlu
diketahui ada dua rukun tawakal:
2. Berdoa memohon bantuan kepada Allah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah
serta ridha dengan apapun yang Allah takdirkan nanti
Inilah yang sering salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami tawakal dengan
“pasrah” saja. Tidak melakukan sebab atau usaha dengan apapun.
Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan
kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah
Berikut pembahasannya:
17
HR. Muslim no. 2664
18
M Abduh Tuasikal, “Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal”, 2010. https://rumaysho.com/847-kiat-meraih-
sukses-dengan-tawakkal.html
15
Hal ini tidak dibenarkan, karena Allah telah menciptakan sebab dan akibatnya.
Manusia harus menempuh sebab dan melakukan usaha untuk mendapatkan hasilnya
nanti.
Seekor burung tidak tahu letak di mana biji-bijian dan makanan yang akan
didapatkan, bisa jadi di tempat kemarin yang ia dapatkan, sekarang telah habis
persediaan biji tersebut.
ﻕﺯرلﺍ ُلُ ىلَ ﻝدي ام ِيف لب ُسُلﺍ ﻙرو ىلَ ﻝدي ام ُيدﺤلﺍ يف َيل
“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh
sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul
Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)
Jadi, menempuh sebab (melakukan usaha) itu juga penting dan diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat
unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil
bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan
kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah
16
Kita adalah seorang hamba Allah dan jangan sampai melupakan Allah sebagai
pencipta kita dan yang memberikan kita kemampuan serta Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Orang yang terlalu mengandalkan sebab atau usaha sangat berpotensi untuk stres
dan depresi ketika ia tidak bisa mencapai target atau hasil yang ia inginkan, padahal ia
sudah giat dan bersusah payah. Seorang yang bertawakal tidak akan stres atau depresi
karena ia berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang Allah takdirkan adalah yang terbaik
bagi seorang hamba. Inilah menakjubkannya urusan seorang muslim sebagaimana
dalam hadits.
19
Raehanul Bahraen, “Salah Paham tentang Memahami Tawakkal”, 2021. https://muslim.or.id/42819-salah-
paham-tentang-memahami-tawakal.html
17
2.10. Beberapa gambaran keadaan Tawakkal
Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan,
“Wakkala Fulan amruhu ila Fulan”, artinya Fulan yang pertama menyerahkan
urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.
Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di
tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun
dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat
dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena
adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali oang
yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga
menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu
sudah ditutup rapat-rapat.
Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan
kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan
engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah bahwa
keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan:
18
Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan
anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan
mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya
sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam
hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, “Ibu..!” Siapa yang
pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti
keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan
tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang
yang bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada
selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang
pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni
dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal
ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti
ditawakali.
Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di
tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan
dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak
dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju
ibunya.
Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang
yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.20
Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak
perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup
menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas
papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram
dalam syariat.
19
mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga
menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba
tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:
Gambaran pertama:
Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang
memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan
yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu,
sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan
ke makan itu seraya berkata, “Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah
meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu
pula mengunyah dan menelannya”. Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan
sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa
kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang
dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah
dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu
Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah
menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa
berjima’, maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini
bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat
keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang
menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah
yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati
dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan.
Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau
boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan
ke makanan tidak menafikan tawakal.
20
bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala
hijrah ke Madinah.
Gambaran kedua:
21
Gambaran ketiga:
Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran,
menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,
Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka
dia gembira dan berkata, “Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah
bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang.” Kalau pun makanan itu pun tidak ada,
maka dia tetap gembira dan berkata, “Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan
itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku.”
Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit
terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-
barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha’ dan menghalalkan barang-barangnya
bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh
jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama,
karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu
berkata, “Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada
memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat
macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada orang-orang Muslim?”
Gambaran keempat:
22
Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit
dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi
tiga macam:
Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan
lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.
Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk
sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati
orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan
api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam
sabda beliau, “Tidak menyundut dengan api”, ialah cara yang biasa dilakukan semasa
Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh
tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang
berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As’ad bin Zararah Radhiyallahu Anhu.
Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-
orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu
menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, “Aku suka sakit jika tidak ada yang
menjengukku.” Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Bagaiman
keadaanmu?” Al-Iman Ahmad berjawab, “Baik-baik.” “Apakah semalam engkau
demam?” tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, “Jika sudah kukatakan kepadamu
bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang
kubenci.” Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu
23
diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka
berkata, “Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku.” Jadi dia
menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas
penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku sakit demam seperti dua orang di
antara kalian yang sakit demam”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)21
21
Admin Salafy.or.id, “ Tawakkal kepada Allah dan keutamaannya ii”, 2003. https://salafy.or.id/tawakkal-kepada-
allah-taala-dan-keutamaannya-ii/
24
BAB III
PENUTUP
Diantara hal yang perlu kita perhatikan ketika kita memiliki rencana adalah
tawakalkan rencana tersebut pada Allah dan ridha pada semua keputusan Allah setelah
menyelesaikan rencana. Sebagaimana penjelasan syaikul islam Ibnu
Taimiyyah radhiyallahu ‘anhu ketika seorang manusia memiliki rencana maka
didepannya ada takdir, bagaimana sikap yang tepat agar tidak selalu memikirkan rencana
agar hati kita tidak bergantung dengan sebab yang kita milikidan hati kita tidak merasa
kehilangan ketika mengalami kegagalan:
Jika seseorang bisa menyeimbangkan dua hal ini setiap dia memiliki rencana
maka insyaallah dia tidak akan terlalu bergantung dengan sebab dan tidak akan merasa
kehilangan ketika dia mengalami kegagalan.
Ingatlah bahwa tawakkal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja.
Tawakkal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam
urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakkal dalam urusan akhiratnya,
untuk meraih apa yang Allah ridhoi dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga
25
bertawakkal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii
sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakkal yang paling
agung adalah tawakkal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap
teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad
melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan
bahwa inilah tawakkal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
26