Anda di halaman 1dari 192

SYAFII

i
Penulis: Syafii
Penata Letak & Sampul: Riza Istanto

Sumber Gambar:
Festival Seni Rupa Anak Indonesia oleh Arisianto,2019

Copyright © 2019, Unnes Press, Semarang


Jl. Kelud Raya No. 2 Semarang 50237 Telp./Tax. (024)8415032

vi+182 halaman; 14.8x21 cm


ISBN: 978-602-285-213-1

ii
PRAKATA

Pendidikan Seni Rupa merupakan salah satu bagian dari


upaya untuk mencerdaskan bangsa. Barangkali sumbangan
yang besar adalah dalam rangka menanamkan kecerdasan
emosional dan kreatif anak. Berkenaan dengan itu
pemikiran-pemikiran ke arahnya menjadi sangat penting
untuk dikemukakan. Buku ini ditulis tidak secara eksplisit
menjelaskan kontribusi pendidikan seni rupa bagi
pengembangan kecerdasan anak, akan tetapi pembaca akan
dapat secara implisit menemukannya.
Buku ini ditulis terutama diperuntukkan bagi guru
atau calon guru, dan pemerhati di bidang pendidikan seni
rupa dengan memberikan wacana pemikiran-pemikiran
dalam pendidikan seni rupa, dan pendidikan seni rupa
dalam sistem pembelajaran dalam tataran teoretik maupun
empirik. Berkenaan dengan itu, ramuan buku ini
sesungguhnya merupakan gagasan-gagasan penulis yang
pernah penulis tuangkan dalam sebagian tulisan buku ajar,
modul dan berbagai artikel penelitian yang telah dimuat
dalam beberapa jurnal. Namun sebagai tulisan buku ilmiah
tampaknya di waktu yang akan datang masih perlu
pencermatan kembali dan penambahan beberapa ilustrasi
yang diperlukan.
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dekan
FBS Unnes, atas fasilitasi pembiayaannya sehingga buku ini
dapat diterbitkankan. Terimakasih juga penulis sampaikan

ii
kepada Pembantu Dekan Bidang Akademik dan staf
akademik FBS Unnes yang membantu kelancaran
administratif penulisan buku ini. Akhirnya untuk menutup
pengantar ini penulis mengucapkan
Alhamdulillahirrabbilalamin.

Semarang, September 2019

Syafii

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………….. i


Prakata ………………………………….. ii
Daftar Isi ………………………………….. iv

BAB I.
PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN SENI
RUPA
A Tinjauan Pendidikan Seni Rupa dalam Perspektif 1
Historis ………………………………………
B Pendekatan-pendekatan dalam Pendidikan Seni 6
Rupa …………………………………………...
C Fungsi dan Tujuan Pendidikan Seni Rupa ……... 15
D Lingkup dan Karakteristik Pembelajaran Seni
Rupa …………………………………………... 19

BAB II
KOMPONEN PEMBELAJARAN SENI RUPA
A Komponen Pelaku Pembelajaran Seni Rupa …… 31
B Komponen Sistem Pembelajaran Seni Rupa …… 44

iv
BAB III
SENI RUPA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
A Seni Rupa dan Cabang-cabangnya ……………... 59
B Unsur-unsur dalam Seni Rupa …………………. 80
C Prinsip Desain dalam Seni Rupa ……………….. 90

BAB IV
PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN
SENI RUPA
A Pengembangan Bahan Ajar Seni Rupa dalam
Konteks Kurikulum …………………………… 101
B Pengembangan Materi Pembelajaran Apresiasi
Seni Rupa ……………………………………… 109
C Pengembangan Materi Pembelajaran Kreasi Seni
Rupa …………………………………………... 116

BAB V
PENDIDIKAN SENI RUPA DALAM KAJIAN
EMPIRIK
A Pendidikan Seni Rupa pada Lembaga Pendidikan
Sekolah ………………………………………... 125
B Penanaman Nilai Estetik: Pendidikan Seni Rupa
di SD …………………………………………... 142
C Idealitas dan Realitas Pendidikan Seni Rupa:
Profil Pendidikan Seni Rupa SD di Jawa Tengah 154

v
Daftar Pustaka ………………………………………. 157
Lampiran ……………………………………………. 182

vi
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

BAB I
PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN
SENI RUPA

A. Tinjauan Pendidikan Seni Rupa dalam Perspektif


Historis
Seni rupa sebagai istilah di Indonesia telah mulai digunakan
setidaknya pada saat pendudukan Jepang, khususnya dalam
berita dan ulasan tentang seni lukis di surat kabar (Yuliman,
2001). Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1950
berdirilah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI –sebelum
berintegrasi menjadi Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta,
sehingga mengokohkan keberadaan istilah seni rupa di
Indonesia.
Pada awalnya istilah seni rupa dipahami sebagai
tradisi fine art sebagaimana yang berkembang di dunia barat
yang mencakupi seni lukis, seni patung, dan seni grafis.
Akhirnya pemahaman ini mulai bergeser kepada pengertian
seni rupa yang lebih luas, artinya seni rupa juga dilekatkan
pada karya-karya rupa yang memiliki nilai estetik seperti
kerajinan dan desain.

1
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Dengan berdirinya ASRI, menunjukkan telah


masuknya seni rupa dalam dunia pendidikan, khususnya di
perguruan tinggi. Sementara pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah pendidikan seni rupa baru dikenal pada tahun
1964, ketika pemerintah menyusun Kurikulum 1964.
Sebelum seni rupa dalam pengertian yang luas
tercantum dalam kurikulum sekolah, istilah yang digunakan
adalah menggambar dan pekerjaan tangan. Kedua mata
pelajaran ini telah digunakan sejak masa kolonial Belanda.
Pembelajaran menggambar ketika itu, berorientasi pada
upaya pemberian keterampilan kepada siswa yang berkaitan
dengan tugas-tugas yang akan diembannya kelak sebagai
pegawai pada pemerintahan seperti keterampilan
menggambar peta, arsitektural, dan ilustrasi. Pembelajaran
menggambar dimaksudkan sebagai latihan persiapan kerja.
Pembelajaran kerajinan tangan diajarkan di sekolah pada
masa akhir pemerintahan kolonial atas saran dan upaya
berbagai pihak. Model pembelajaran masa kolonial ini
menimbulkan ketidakpuasan kaum pribumi terpelajar yang
menginginkan pembelajaran, termasuk seni rupa lebih
berorientasi pada budaya dan tradisi sendiri. Ada dua
sekolah yang menonjol dalam pendidikan seni rupa yakni
Taman Siswa dan Indonesische-Nederlandsche School (INS)
(Salam, 2001).
Pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1975,
pada dasarnya pendidikan seni rupa masih mempertahankan
tradisi menggambar dan pekerjaan tangan. Keterampilan
koordinasi mata dan tangan amat diperlukan. Keahlian
menggambar dan membuat pekerjaan tangan perlu dikuasai

2
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

siswa dengan menekankan pada penggunaan metode


mencontoh dan drill.
Pendidikan seni rupa dilaksanakan secara lebih
sistematis di Indonesia ketika pemerintah menetapkan
Kurikulum 1975, dengan nama mata pelajaran pendidikan
kesenian. Pendidikan kesenian merupakan rumpun mata
pelajaran yang terdiri dari submata pelajaran seni rupa, seni
musik, dan seni tari. Pada jenjang SMA, di samping mata
pelajaran pendidikan kesenian sebagai mata plajaran mayor,
ada juga mata pelajaran menggambar sebagai minor
(program IPA dengan materi menggambar mistar, proyeksi
dan perspektif; sementara untuk program IPS dengan materi
menggambar reklame, dekorasi, dan sebagainya). Di samping
dalam rumpun mata pelajaran kesenian, dalam Kurikulum
1975, pembelajaran seni rupa sesungguhnya juga dapat
berlangsung dalam mata pelajaran pendidikan keterampilan
yang di dalamnya termasuk submata pelajaran kerajinan
tangan. Nama mata pelajaran dan submata pelajaran ini
dipertahankan sampai dengan ditetapkannya Kurikulum
1984. Bahkan kelebihan Kurikulum 1984 bagi pendidikan
seni rupa adalah ditetapkannya seni rupa sebagai submata
pelajaran utama dalam rumpun mata pelajaran kesenian,
sementara submata pelajaran lain termasuk fakultatif.
Ketika Kurikulum 1994 ditetapkan rumpun mata
pelajaran kesenian berubah nama menjadi Kerajinan Tangan
dan Kesenian untuk SD/MI dan SLTP, yang lazim disingkat
dengan Kertangkes, Kertakes, atau KTK. Sesuai dengan
namanya, tampaknya mata pelajaran ini merupakan
gabungan dari mata pelajaran kesenian dan keterampilan.
Sementara di SMA menggunakan nama mata pelajaran

3
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Pendidikan Seni. Pemberlakuan Kurikulum 1994 ini,


pendidikan seni rupa atau pendidikan seni secara umum,
tampak turun kewibawaannya dengan sedikit alokasi waktu
yang ada. Di SMA misalnya, pendidikan seni dialokasikan
dalam waktu 2 (dua) jam setiap minggu untuk seluruh
submata pelajaran dan hanya tersaji di kelas 1 (satu).
Kurikulum 2004 atau yang dikenal juga dengan nama
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) nama mata
pelajaran dipertahankan, dan kelebihannya mengupayakan
kembalinya posisi pendidikan seni, khususnya di SMA, untuk
diajarkan sampai di Kelas 3 (tiga). Siswa ditempatkan pada
situasi lingkungan yang dihadapi, oleh karena itu
pembelajaran seni rupa, misalnya, diawali dengan pengenalan
karya seni rupa setempat, kemudian seni rupa Nusantara,
dan akhirnya siswa diajak mengenal seni rupa mancanegara.
Materi ini tetap dipertahankan dalam pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
dicanangkan penggunaannya di sekolah mulai tahun 2006
dengan nama mata pelajaran Seni Budaya untuk SLTA dan
Seni Budaya dan Keterampilan untuk SD/MI dan SLTP.
Kondisi yang menguntungkan adalah diajarkannya mata
pelajaran Seni Budaya tersebut baik dalam satuan pendidikan
umum dan pendidikan kejuruan.
Penamaan pendidikan seni dengan label Seni Budaya
tetap dipertahankan ketika Kurikulum 2013 diberlakukan.
Kurikulum yang mengangkat kembali pentingnya
pengembangan kompetensi sikap (spiritual maupun sosial),
pengetahuan dan keterampilan, namun di pihak lain, materi-
materi yang berkaitan dengan pembelajaran seni berbasis
lokal menjadi terdegradasi. Materi seni yang bernuansa

4
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

kelokalan tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kompetensi


dasar yang dirumuskan.
Perkembangan pendidikan seni rupa dalam sistem
pendidikan nasional, tampaknya senantiasa dipengaruhi oleh
model-model pendidikan seni rupa di negara maju, dalam hal
ini dunia barat. Sampai penghujung abad ke 19 pendidikan
seni rupa diajarkan dalam bentuk kegiatan menggambar
dengan menekankan kemampuan koordinasi mata dan
tangan. Setelah memasuki abad ke-20 pendidikan seni rupa
dipahami secara lebih luas, termasuk di dalamnya apresiasi
seni rupa, desain dan kerajinan. Pada abad ke-20 inilah
banyak muncul pandangan tentang pendidikan seni rupa.
Pandangan yang muncul antara lain adalah “seni sebagai
ekspresi diri” yang menganjurkan penggunaan ekspresi
bebas, “seni terpadu dan berkorelasi” yang mengkaitkan
manfaat pembelajaran seni bagi pembelajaran lainnya, “seni
dalam kehidupan sehari-hari” yang menekankan
pembelajaran seni fungsional dalam kehidupan, “berkarya
dengan eksperimentasi material”, “seni sebagai aktivitas
perkembangan”, dan “seni sebagai perilaku kreatif”.
Menjelang akhir abad ke-20 dimunculkan gagasan “seni rupa
sebagai disiplin keilmuan” sebagai kritik atas gagalnya
metode ekspresi bebas, dan “pendidikan seni multikultural”,
sebagai jawaban model pembelajaran seni rupa yang
dianggap tidak sehat karena didominasi barat dengan
mempertimbangkan keragaman sosial dan kultural (Salam,
2001; Chapman, 1978).
Berkenaan dengan hal tersebut dapat dipahami jika
dalam dunia pendidikan seni rupa di Indonesia sebagaimana
yang diuraikan di depan dikenal pembelajaran yang

5
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

menekankan kegiatan menggambar dengan metode


mencontoh. Akhirnya metode mencontoh dicemooh karena
tidak mendidik anak menjadi kreatif, dan digantikan dengan
metode ekspresi bebas. Berikutnya, supaya muncul sifat-sifat
kreatif maka pembelajaran seni rupa ditekankan pada
kegiatan dengan eksperimentasi media. Agaknya semua ini
dipengaruhi oleh model-model pembelajaran seni rupa di
negara barat.

B. Pendekatan-pendekatan dalam Pendidikan Seni


Rupa
Sebagai mata pelajaran pendidikan seni rupa dalam dunia
pendidikan di Indonesia, pernah memiliki berbagai nama,
yakni pelajaran menggambar, pendidikan kesenian,
pendidikan seni, seni budaya, dan juga pelajaran kerajinan
tangan atau prakarya. Dalam perjalanannya lebih banyak
berintegrasi dalam satu kesatuan dengan mata pelajaran seni
yang lain (musik, tari, dan drama), kecuali ketika bernama
mata pelajaran menggambar.
Dalam Kurikikulum 1975, contohnya, di tingkat
pendidikan dasar dan menengah pendidikan seni rupa
merupakan submata pelajaran Kesenian. Demikian pula
posisi dan juga namanya dalam Kurikulum 1984. Namun
dalam Kurikulum 1994 mata pelajaran kesenian di tingkat
pendidikan dasar (SD dan SMP) berubah nama menjadi
Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertangkes), yang
tampaknya merupakan upaya penggabungan antara mata
pelajaran Kesenian dan Keterampilan yang di dalamnya
terdapat submata pelajaran Keterampilan Kerajinan Tangan.

6
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Pada jenjang pendidikan menengah nama mata pelajaran


dikenal dengan nama Pendidikan Seni.
Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan nama
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) penggunaan nama
masih tetap sama dengan Kurikulum 1994, di SD dan SMP
tetap menggunakan Kerajinan Tangan dan Kesenian,
sementara di SMA juga tetap Pendidikan Seni. Walaupun
dalam draft-draft awal ada upaya untuk mengganti nama
menjadi Pendidikan Seni dan Keterampilan, nama yang
digunakan dalam KBK adalah Kerajinan Tangan dan
Kesenian. Namun pada akhirnya ketika pemerintah
mengembangkan KTSP nama mata pelajaran pendidikan
seni diubah menjadi mata pelajaran Seni Budaya dan
Keterampilan untuk SD/MI, dan mata pelajaran Seni
Budaya untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, yang
konon berlatar belakang politis. Nama mata pelajaran Seni
Budaya ini dipertahankan dalam struktur Kurikulum 2013.
Perubahan nama dari mata pelajaran menggambar
menjadi seni rupa walaupun telah berjalan cukup lama,
namun di lapangan sebagian masih menyebut pelajaran seni
rupa dengan menggambar atau melukis. Sementara kesenian
dipersepsikan sebagai pelajaran seni musik. Oleh karena itu
banyak juga sekolah yang melaksanakan mata pelajaran
kesenian dengan hanya diisi dengan seni musik.
Sebagai mata pelajaran pendidikan kesenian di sekolah
belum pernah memperoleh alokasi waktu yang memadai.
Alokasi waktu yang diberikan pada umumnya dua (2) jam
setiap minggu. Alokasi waktu yang terbatas tersebut
operasionalisasi pembelajaran seni di sekolah menjadi tidak

7
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

sistematis, sangat bergantung pada institusi sekolah masing-


masing. Ada sekolah yang membagi waktu dua jam tersebut
dengan satu (1) jam pendidikan seni rupa dan satu (1) jam
untuk pendidikan seni musik, sementara pendidikan tari dan
drama dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler.
Sementara sekolah yang lain mengatur dengan sistem blok,
semester pertama untuk pendidikan seni rupa, sementara
semester berikutnya untuk seni musik atau tari. Pengaturan
waktu pembelajaran ini tampaknya merupakan akibat tarik
ulur antara guru dan kepala sekolah sebagai pengambil
kebijakan.
Guru pendidikan seni rupa di sekolah dikenal ada dua
kategori yakni guru kelas dan guru bidang studi/mata
pelajaran. Guru kelas dikenal di sekolah dasar dan juga
taman kanak-kanak. Sementara guru bidang studi adalah
pada jenjang SLTP dan SLTA. Pendidikan seni rupa yang
diajarkan oleh guru kelas, terutama di SD, hampir-hampir
tidak dapat berlangsung aktivitas pembelajarannya dengan
berbagai alasan. Alasan yang biasanya dikemukakan adalah
mereka (para guru) merasa tidak berbakat, tidak memiliki
kemampuan yang memadai, pelajaran seni rupa tidak
merupakan pelajaran yang penting, bukan merupakan
pelajaran inti atau core-subject, dan tidak digunakan sebagai
indikator kelulusan. Walaupun di SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK pelajaran seni rupa tidak digunakan sebagai
indikator kelulusan akan tetapi pembelajarannya masih
dapat berlangsung sesuai dengan waktu yang ada oleh karena
diampu oleh guru bidang studi.
Paling tidak ada dua pandangan tentang pendidikan
seni rupa, yang pertama adalah pendidikan seni rupa adalah

8
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

pendidikan keterampilan, oleh karena itu peserta didik


setelah melalui serangkaian proses pembelajaran haruslah
memiliki sejumlah keterampilan di bidang seni rupa. Apakah
itu keterampilan menggambar, melukis atau mematung, dan
kalau perlu laku atau layak jual. Yang kedua berpandangan
bahwa keterampilan berkarya seni rupa yang sampai pada
kategori yang layak jual itu tidak penting. Siswa cukup
diberikan sejumlah pengalaman belajar tentang berkarya seni
rupa sebagai bagian dari pendidikan secara keseluruhan. Jika
ditelusur kedua pandangan ini tampaknya dipengaruhi oleh
paham yang berkembang dalam mendekati atau menyiasati
dunia pendidikan seni rupa, yakni “pendidikan dalam seni”
dan “pendidikan melalui seni”. Kedua pendekatan ini akan
diuraikan sebagai berikut.

1. Pendidikan dalam Seni


Pendekatan pendidikan dalam seni pada awalnya
dikemukakan oleh golongan esensialis yang menganggap
bahwa secara hakiki seni sebagai materi atau disilpin ilmu
perlu dan penting diberikan kepada anak didik (Eisner,
1972). Artinya keahlian menggambar, melukis atau
mematung dalam berkarya seni rupa perlu ditanamkan
kepada anak dalam kerangka pengembangan dan pelestarian
kesenian yang ada. Kesenian yang adiluhung perlu dikenali,
dan dipelajari oleh anak, dan pada akhirnya anak tersebut
dapat menjaga, mengembangkan dan juga melestarikannya.
Pendekatan pendidikan dalam seni ini amat sejalan dengan
pandangan pendidikan sebagai proses enkulturasi (proses
pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau

9
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi


berikutnya). Oleh karena itu tidak heran jika melalui
pendidikan seni diharapkan berkembang dan lestarinya
kesenian suatu bangsa. Dengan demikian, pendekatan
pendidikan dalam seni ini merupakan upaya pendidik dan
juga institusi pendidikan dalam rangka mewariskan,
mengembangkan, dan melestarikan berbagai jenis kesenian
yang ada kepada anak sebagai peserta didik.
Beragam kekayaan seni rupa etnis dari yang tradisional
dan modern tumbuh dan berkembang di nusantara. Beragam
seni rupa itu antara lain batik, ukir, keramik, anyaman, tenun,
lukis, patung, dan desain. Kekayaan produk budaya tersebut
jika tidak diwariskan kepada anak melalui jalur pendidikan
maka dapat diduga pada gilirannya nanti anak tidak
mengenal, tidak merasa memiliki, dan tidak merasa
bertanggung jawab untuk mengembangkannya. Jika kondisi
demikian berlangsung, akhirnya beragam kesenian itu akan
punah.
Pendekatan pendidikan dalam seni disadari atau tidak
telah diterapkan di lingkungan keluarga. Keluarga yang
dimaksud adalah keluarga perajin atau perupa. Pada
umumnya orang tua yang berprofesi sebagai perajin atau
perupa akan berusaha menularkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki kepada anaknya, dengan harapan
mereka dapat meneruskan profesinya. Oleh karena itu tidak
jarang didapati seorang perajin yang pemerolehan
kemampuannya itu diperoleh dari orang tuanya atau warga
masyarakat di lingkungannya. Dengan demikian, tampaknya
pendekatan pendidikan dalam seni telah menjadi semacam
pelaziman bagi pendidikan di keluarga dan masyarakat.

10
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Pendidikan lebih diorientasikan pada penguasaan


keterampilan. Sehubungan dengan itu, khususnya pada
lembaga kursus atau sanggar, dalam proses pembelajarannya
tersaji dalam paket-paket tertentu. Metode latihan yang terus
menerus (drill), mencontoh, bahkan dikte (mengajarkan
suatu keterampilan dengan tuntunan setahap demi setahap)
acapkali digunakan agar peserta kursus atau sanggar cepat
menguasai keterampilan.
Pada jenjang pendidikan sekolah (formal), pendekatan
pendidikan dalam seni ini pembelajarannya haruslah dikemas
dengan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
menguasai bidang atau keterampilan seni tertentu. Oleh
karena itu implementasi pendekatan pendidikan dalam seni
ini hal yang berkaitan dengan keterampilan teknis disajikan
secara bertahap. Suatu tahapan tertentu tidak dapat diikuti
oleh anak manakala tahapan sebelumnya belum dikuasai.
Misalnya dalam kemampuan menggambar.
Tahapan awal anak dilatih untuk membuat garis lurus
tanpa bantuan penggaris, garis lengkung tanpa bantuan
jangka. Tahapan selanjutnya anak dilatih membuat arsiran
gelap terang untuk menyatakan kesan bentuk suatu benda,
dan seterusnya. Dengan demikian penguasaan keterampilan
seni merupakan hal yang sangat penting, maka metode
mencontoh, latihan, memola, dikte, dan penugasan adalah
hal yang biasa dalam proses pembelajaran. Di samping itu
guru yang profesional juga amat diperlukan, artinya guru
yang benar-benar memiliki kemampuan memadai di
bidangnya. Jika guru itu tidak memiliki kemampuan yang
memadai maka ia tidak dapat memberikan contoh kepada
anak didiknya, ia tidak dapat mengajarkan suatu

11
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

keterampilan tahap demi tahap. Jika guru itu tidak memiliki


kemampuan yang memadai maka dalam proses pembelajaran
seni rupa akan hanya memerintahkan kepada anak didiknya
untuk “menggambar sesuka hati” atau menggambar bebas”.
Guru yang demikian tidak tepat bagi pembelajaran seni yang
menggunakan pendekatan pendidikan dalam seni.
Dengan karakteristik demikian, maka pendekatan
pendidikan dalam seni cocok diterapkan pada lembaga
pendidikan sekolah kejuruan seni. Sekolah kejuruan seni
adalah lembaga pendidikan formal yang mengakomodasi
calon siswa untuk menjadi seniman, baik pada jenjang
menengah maupun perguruan tinggi. Jenjang sekolah
menengah kejuruan seni adalah lembaga pendidikan formal
yang menyiapkan siswanya sebagai pekerja atau pengabdi di
bidang seni sejak dini. Sebelum semua sekolah kejuruan
diubah namanya menjadi SMK (Sekolah Menengah
Kejuruan), di bidang pendidikan seni rupa dikenal SMSR
(Sekolah Menengah Seni Rupa), dan SMIK (Sekolah
Menengah Industri Kerajinan). Lulusan sekolah menengah
kejuruan seni dapat langsung bekerja terjun di masyarakat
atau melanjutkan pendidikan tinggi seni yang relevan.
Pada lembaga kursus atau sanggar seni yang lebih
berorientasi pada penguasaan keterampilan, pendekatan
pendidikan dalam seni juga lazim digunakan. Oleh karena
itu, di lembaga kursus atau sanggar seni ini dalam
kegiatannya tersaji dalam paket-paket tertentu. Metode
latihan (drill), mencontoh, bahkan dikte acapkali digunakan
agar peserta kursus cepat menguasai suatu keterampilan.

12
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Tegasnya, pendekatan pendidikan dalam seni adalah


program pendidikan yang mengharapkan anak atau siswa
terampil dalam bidang seni. Jika hal ini akan diterapkan di
sekolah umum, maka yang harus dipertimbangkan adalah
kemampuan guru dalam bidang kesenirupaan, waktu yang
cukup, dan fasilitas yang memadai.

2. Pendidikan melalui Seni


Plato, filsuf yang terkenal, menyatakan bahwa seni
seharusnya menjadi dasar pendidikan (Read, 1970). Pendapat
ini menujukkan bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan
seni memiliki peran dan fungsi yang penting bagi pendidikan
secara umum. Dengan perkataan lain, dalam perspektif
pendidikan, seni dipandang sebagai alat atau sarana untuk
mencapai sasaran pendidikan. Penggunaan istilah
pendekatan ini diterjemahkan dari “education through art” judul
buku yang ditulis oleh Herbert Read.
Pendekatan pendidikan melalui seni juga
dikemukakan oleh J. Dewey (dalam Dorn, 1994) bahwa seni
seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
bukan untuk kepentingan seni itu sendiri. Dengan
pendekatan ini, pendidikan seni berkewajiban membantu
ketercapaian tujuan pendidikan secara umum, yang
memberikan keseimbangan rasional dan emosional,
intelektualitas dan sensibilitas. Dengan kata lain pendekatan
ini, peran pendidikan seni tidak ditempatkan dalam upaya
pengembangan dan pelestarian seni sebagaimana pendekatan
pendidikan dalam seni di atas. Oleh karena itu, pendekatan

13
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

pendidikan melalui seni kiranya tepat digunakan di sekolah-


sekolah umum (TK, SD, SMP, dan SMA).
Pendekatan melalui seni ini terasa amat penting dan
jelas peranannya dapat diamati di jenjang pendidikan dasar
dan prasekolah. Ketika guru menyampaikan konsep
penjumlahan digunakanlah dengan gambar. Bilangan dua
ditambah tiga, mungkin ditampilkan dalam bentuk dua apel
dalam satu kelompok dan tiga apel dalam kelompok lainnya.
Tidak hanya apel yang tampil dalam gambar, bisa jadi
bendera, bunga, meja atau lainnya. Keterampilan
menggambar dijadikan sebagai alat atau sarana berhitung.
Dengan demikian siswa dapat belajar dengan seni.
Merujuk pada pendekatan pendidikan melalui seni itu
pada dasarnya adalah digunakannya seni sebagai media atau
alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka dalam
pelaksanaannya lebih menekankan pada segi proses daripada
hasil. Penekanan pada segi proses, dengan demikian, sasaran
belajar pendidikan seni tidak mengharapkan anak didik
menjadi pandai menggambar, melukis, atau mematung.
Pendidikan seni di sekolah umum tidak mengharapkan anak
didik menjadi seniman, melainkan sebagai wahana
berekspresi dan berimajinasi, berkreasi sekaligus berekreasi.
Jika melalui pembelajaran seni itu ternyata juga dapat
menghasilkan siswa yang terampil berkarya seni, seperti
seniman, sesungguhnya hal tersebut hanya merupakan
dampak ikutan. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan
melalui seni dalam implementasi pembelajarannya
menekankan pada eksplorasi dan eksperimentasi,
merangsang keingintahuan dan sekaligus menyenangkan bagi
anak.

14
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Dengan penekanan pada segi proses maka guru kelas


pun, sebagaimana di TK dan SD, dapat melaksanakan
pembelajaran seni rupa. Kekurangmampuan guru dapat
ditutup dengan penggunaan berbagai media pembelajaran
yang memadai, dan optimalisasi pengelolaan kelas sesuai
dengan kondisi yang diharapkan.

C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Seni Rupa


Secara tersirat berbagai fungsi pembelajaran seni rupa telah
dikemukakan pada uraian di atas. Fungsi adalah berkenaan
dengan sumbangan yang dapat diberikan pada suatu aspek
atau sistem. Sistem yang satu dapat memberikan atau sebagai
fungsi dari sistem lainnya. Jika pendidikan atau pembelajaran
seni rupa dianggap sebagai suatu sistem, maka dapat
merupakan fungsi dari sistem lainnya. Jika sistem di luar
pendidikan seni rupa itu adalah siswa, guru, masyarakat,
sekolah, bangsa atau negara, maka dapat dipertanyakan
fungsi pendidikan seni bagi siswa, guru, masyarakat, sekolah
dan seterusnya.
Berbagai buku sumber pendidikan seni rupa umumnya
menekankan pembahasan fungsi bagi siswa (lihat Lowenfeld
dan Brittain, 1984; Chapman, 1974; Lancaster, 1990; Eisner,
1972). Jarang sumber-sumber yang membicarakan fungsi
pendidikan seni dilihat dari sistem lainnya. Oleh karena itu,
dalam bahasan ini fungsi pendidikan seni rupa akan dilihat
khususnya dari dua sisi, yakni dari kebutuhan anak dan
kebutuhan institusi pendidikan.

15
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

1. Fungsi Pendidikan Seni Rupa bagi Kebutuhan


Anak
Sebagaimana yang dinyatakan berbagai sumber yang
dikemukakan di atas, pendidikan seni rupa pada dasarnya
berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan berekspresi,
berapresiasi, dan berkreasi, serta berekreasi. Dengan kata lain
pendidikan seni rupa dianggap sebagai wahana pendidikan
ekspresivitas, sensitivitas, dan kreativitas.
Berekspresi merupakan kebutuhan setiap orang,
termasuk juga anak-anak. Ekspresi adalah ungkapan yang
dikaitkan dengan aspek psikologis seseorang, perasaan,
perhatian, persepsi, fantasi atau imajinasi, dan sebagainya.
Aspek-aspek ini dapat dituangkan ke dalam proses berkarya
seni. Bagi orang dewasa, tercurahkannya aspek psikologis ini
akan dapat memuaskan dan sudah barang tentu melepaskan
ketegangan yang dihadapi, demikian juga halnya bagi anak-
anak. Anak-anak, dalam hal ini siswa, jika diberikan ruang
untuk berekspresi, berkarya seni rupa, akan merasa senang,
gembira oleh karena terpuaskan dan akhirnya melepaskan
persoalan psikologis yang dihadapi.
Sensitif artinya peka, cepat menerima rangsangan.
Sensitivitas artinya kepekaan, perihal cepat menerima
rangsangan. Pendidikan sensitivitas adalah pendidikan yang
memungkinkan siswa untuk menjadi peka atau cepat dalam
menerima rangsangan. Pendidikan seni rupa sebagai
pendidikan sensitivitas dengan demikian memungkinkan
siswa dapat menjadi peka atau cepat menerima rangsangan,
tanggap dalam merespons hal-hal yang berkaitan dengan
fenomena estetik visual. Dalam pendidikan hal ini dilakukan

16
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

melalui proses pembiasaan. Jika siswa terbiasa melihat karya-


karya seni rupa yang estetik, maka pada gilirannya akan
dengan cepat memberikan respons dalam bentuk
pertimbangan atau penilaian karya seni. Akhirnya siswa juga
akan berkembang kepekaan estetiknya dalam menghadapi
lingkungan sekitar.
Kreatif merupakan sifat yang dilekatkan pada diri
manusia dan dikaitkan dengan kemampuan atau dayanya
untuk mencipta. Kreativitas seringkali diartikan sebagai
kelenturan atau kelincahan dalam berpikir, kelancaran dalam
mengemukakan pendapat, kemampuan untuk memunculkan
gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan orang lain.
Kreativitas juga dianggap sebagai perilaku yang konstruktif,
inovatif, dan produtif yang dapat diamati melalui tindakan
atau kecakapan seseorang. Karena itu, sepanjang kehidupan
manusia, sifat kreatif ini senantiasa diperlukan untuk
mengiringi tingkah laku manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Para psikolog menyebut kreativitas
sebagai trait, sifat yang secara khusus merupakan bawaan
setiap orang. Dengan demikian, sebagaimana dalam bakat,
setiap orang sejak dilahirkan memiliki sifat kreatif, hanya
kadarnya bervariasi antara individu satu dengan yang lain.
Seseorang dapat memiliki kreativitas yang lebih tinggi atau
rendah dibandingkan dengan orang lain. Meskipun
kreativitas dinyatakan sebagai faktor bawaan, tidak berarti
mengabaikan adanya pengaruh lingkungan, salah satunya
adalah lingkungan pendidikan. Dengan demikian, melalui
pendidikan seni rupa dapat dikembangkan sifat-sifat kreatif
peserta didik. Gagasan yang senantiasa baru, gambar dan
lukisan yang dihasilkan senantiasa berubah, menghargai

17
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

perbedaan karya seni yang dihasilkan di antara para siswa


akan dapat menjadi sarana tumbuhnya kreativitas anak.
Penghargaan atas penciptaan hal baru, yang unik, pada
masing-masing anak tampaknya merupakan porsi yang besar
pada pendidikan seni. Oleh karena itu para ahli sepakat
menyatakan bahwa pendidikan seni merupakan sarana atau
media yang paling efektif bagi pengembangan kreativitas.

2. Fungsi Pendidikan Seni Rupa bagi Institusi


Pendidikan
Di samping untuk memenuhi kebutuhan anak, secara asasi
pendidikan juga dimaksudkan sebagai upaya pelestarian
sistem nilai oleh suatu masyarakat. Dalam sebuah kelompok
masyarakat sudah barang tentu mempunyai kultur tertentu.
Secara tidak langsung suatu kultur dipahami dari generasi ke
generasi secara turun temurun. Proses pemahaman kultur
atau pembudayaan ini lazim disebut sebagai enkulturasi.
Sebagai fenomena budaya visual, seni rupa juga
senantiasa berada pada lingkungan masyarakat. Masyarakat
pendukung seni rupa tertentu akan berupaya untuk
mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan
dengan berbagai upaya, salah satunya adalah melalui
pendidikan seni rupa. Dengan demikian, dalam konteks
institusi masyarakat, dalam hal ini adalah institusi
pendidikan, pendidikan seni rupa memiliki fungsi sebagai
pelestari dan pengembang khususnya hal-hal yang berkaitan
dengan fenomena budaya visual yang estetik.

18
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Banyak kekayaan budaya visual yang berkembang di


masyarakat, antara lain keterampilan membatik, mengukir,
membuat gerabah, menganyam, dan menenun. Jika hal ini
tidak dilestarikan, salah satunya melalui jalur pendidikan,
maka lama kelamaan menjadi tidak dikenal oleh generasi
berikutnya. Cara yang dapat ditempuh adalah melalui
pewarisan keterampilan itu atau paling tidak melalui kegiatan
apresiasi. Upaya pewarisan keterampilan sarana yang sangat
mungkin adalah melalui pemberian contoh, atau pemodelan.
Dengan kata lain pendidikan seni rupa dalam konteks ini
dapat menggunakan metode mencontoh, mengikuti instruksi
atau petunjuk yang diberikan oleh guru. Jika hal-hal tersebut
dapat terpenuhi maka fungsi pendidikan seni rupa bagi
institusi pendidikan, di samping sebagai pelestari dan
pengembang budaya visual estetik, juga berfungsi sebagai
pendidikan keterampilan.

D. Lingkup dan Karakteristik Pembelajaran Seni


Rupa
1. Lingkup Pembelajaran Seni Rupa
Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, tujuan
pendidikan seni rupa di sekolah adalah dalam kerangka
penanaman nilai estetis yang terwujud dalam program
pembelajaran melalui pengalaman kreatif dan apresiatif.
Menurut Linderman dan Linderman (1984) bahwa
pendidikan seni rupa sebagai pendidikan estetis dapat
dilakukan dengan jalan memberikan pengalaman perseptual,
kultural, dan artistik. Pengalaman perseptual diberikan
melalui proses penggunaan indera mata dan juga indera

19
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

lainnya, ketika siswa melakukan pengamatan dan proses


berkarya. Pengalaman kultural dapat diperoleh siswa melalui
kegiatan mempelajari dan memahami bentuk-bentuk
peninggalan seni rupa masa lampau maupun saat ini.
Sementara pengalaman artistik dikembangkan melalui
pengamatan, penghayatan dan penghargaan siswa dalam
kegiatan apresiasi dan kemampuan memanfaatkan berbagai
media seni dalam kegiatan kreatif. Dengan pernyataan yang
berbeda, Eisner (1972) menyebut bahwa dalam belajar
artistik terdapat tiga aspek utama yakni kemampuan
produktif, kritis dan kultural. Pengalaman produktif
berkenaan dengan kegiatan penciptaan berkarya seni,
pengalaman kritis berkenaan dengan pemahaman atas proses
dan produk karya seni, dan pengalaman kultural berkenaan
dengan kegiatan berapresiasi terhadap karya seni. Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa belajar artistik, dalam hal
ini adalah pendidikan seni rupa adalah berkenaan dengan
bagaimana peserta didik belajar memahami kejadian-kejadian
seni, belajar mengamati dan menghargai karya seni, dan
belajar berkreasi untuk menciptakan karya seni.
Berkaitan dengan tujuan sebagaimana yang
dikemukakan di atas, sesungguhnya secara ideal lingkup
pendidikan seni rupa di sekolah adalah meliputi aspek
pemahaman atau pengetahuan, apresiasi seni, dan
pengalaman kreatif. Sehubungan dengan itu, uraian tentang
lingkup kajian pendidikan seni rupa diarahkan pada ketiga
aspek tersebut.

20
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

a. Pengetahuan Kesenirupaan
Pengalaman belajar yang bersifat pengetahuan kesenirupaan
adalah berkenaan dengan telaah kritis terhadap substansi
seni. Pada lingkup ini pengetahuan tentang karakteristik
suatu karya seni sehingga berbeda dengan jenis seni yang lain
(lihat: misalnya pokok bahasan jenis-jenis karya seni rupa)
perlu dipahami oleh anak didik. Pembahasan karakteristik
dapat berkenaan dengan deskripsi konseptual, pemanfaatan
bahan, alat, dan teknik yang digunakan, unsur dan prinsip
desain, serta corak atau gaya suatu karya seni rupa. Sejarah
seni rupa juga merupakan aspek yang berkaitan dengan
pengetahuan seni (walaupun di dalamnya juga termuat
pengalaman apresiatif). Melalui sejarah seni rupa dapat dikaji
pola kecenderungan corak karya seni pada masanya untuk
dipahami, selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis
karya seni saat ini yang sedang berkembang dan
memprediksi kejadian seni yang akan datang.
Bantuan berbagai sumber belajar untuk pengetahuan
seni rupa amat diperlukan terutama dari buku-buku. Di
dunia pendidikan nasional saat ini, memang amat sedikit
dukungan pemerintah atas terbitnya buku-buku teks
kesenirupaan. Oleh karena itu guru perlu mencari berbagai
sumber buku kesenirupaan yang cukup banyak beredar di
pasaran. Di samping itu, pengetahuan kesenirupaan juga
dapat diperoleh dari sumber lain selain buku, misalnya dari
majalah, koran, dan media elektronik atau akses internet.

21
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

b. Apresiasi Seni Rupa


Ruang lingkup kegaiatan apresiasi berkaitan dengan respons
siswa atas karya orang lain. Karya seniman atau karya teman-
teman sekelas atau sesekolah dapat dijadikan media
pembelajaran apresiasi di sekolah. Melalui kegiatan apresiasi,
terutama, adalah siswa dapat menghargai karya orang lain
dan memperoleh pemahaman tentang kejadian atau
peristiwa yang terekam dalam karya seni.
Kegiatan apresiasi tidak hanya dilakukan ketika proses
pembelajaran pameran, akan tetapi dapat dilakukan dengan
banyak kesempatan. Kegiatan apresiasi dapat dilakukan pada
waktu responsi atas karya yang telah dihasilkan oleh anak,
melalui pajangan kelas, pengaturan kelas apresiatif melalui
pemutaran video, CD, di samping pameran itu sendiri.
Kegiatan apresiasi yang telah disebut adalah apresiasi yang
dilakukan di dalam kelas. Kegiatan apresiasi juga dapat
dilakukan di luar kelas, misalnya dengan kunjungan pada
kegiatan pameran, museum, candi dan tempat-tempat
peninggalan bersejarah yang bernilai seni, galeri, studio seni,
dan pusat seni dan industri kerajinan di masyarakat.
Idealnya setiap selesai pembelajaran kreatif atau
berkarya seni, siswa dilatih untuk menanggapi karya-karya
yang dihasilkan oleh teman sekelasnya. Bentuknya bisa
pemilihan atas karya yang disenangi, yang paling bagus dan
sebagainya. Pajangan kelas juga dapat menjadi salah satu
bentuk pembelajaran apresiatif terhadap karya seni rupa jika
secara berkala tempat itu digunakan untuk menempelkan
atau menata karya seni rupa. Pengaturan kelas apresiataif
dapat dilakukan manakala alat bantu pendidikan di sekolah

22
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

memadai, misalnya untuk pemutaran slide, film, atau CD di


kelas. Dengan alat bantu ini kegiatan apresiatif relatif mudah
dilakukan oleh karena siswa tidak perlu ke luar sekolah.
Namun, jika alat bantu tersebut belum memungkinkan guru
dapat menggunakan karya secara langsung di kelas, misalnya
gambar dan lukisan yang ditempel di papan tulis, atau patung
yang ditempatkan di depan kelas.
Kegiatan pameran memang rupa-rupanya merupakan
kegiatan atau pembelajaran dalam kurikulum yang secara
eksplisit diharapkan sebagai media apresiasi siswa. Jika
pokok bahasan pameran itu benar-benar dapat terlaksana
maka paling tidak satu semester atau setahun sekali siswa
memperoleh pengalaman apresiatif.
Pemilihan pembelajaran apresiasi melalui kunjungan di
tempat-tempat tertentu akan memberikan kesempatan
apresiasi siswa secara langsung. Acara kunjungan pameran
seni rupa yang berlangsung di sekitar sekolah cocok untuk
dipilih. Kegiatan-kegiatan darma wisata yang sering
diselenggarakan di sekolah, pemilihan objek-objek museum,
galeri, atau pusat-pusat seni perlu menjadi pilihan, agar
pembelajaran apresiasi siswa terhadap seni rupa dapat
berlangsung.

c. Pengalaman Kreatif
Lingkup pengalaman kreatif berkenaan dengan pembelajaran
penciptaan atau pembuatan karya seni rupa berlangsung.
Pada proses atau pengalaman kreatif ini berkaitan dengan

23
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

penuangan gagasan, pemanfaatan dan penguasaan media,


serta penguasaan teknik yang dilakukan oleh siswa.
Sebagai pendidikan kreatif, aktivitas pembelajaran
perlu diupayakan agar siswa dapat memunculkan gagasan
baru. Rangsangan, misalnya melalui ceritera, apresiasi seni di
kelas, pengamatan langsung dapat memunculkan gagasan
kreatif. Jika guru menampilkan bentuk yang harus dicontoh
dalam menggambar secara persis, maka gagasan baru tidak
akan muncul. Dengan seringnya siswa memunculkan
gagasan-gagasan baru pada akhirnya mereka dapat senantiasa
mencari peluang dan terobosan ketika hidup di masyarakat
kelak. Oleh karena itu perlu pemilihan materi-materi
pembelajaran yang senantiasa merangsang imajinasi siswa.
Pemanfaatan dan penguasaan media juga amat penting
dalam proses kreatif ini. Siswa akan memperoleh
pengalaman perseptual dan taktil akan bahan-bahan yang
digunakan. Misalnya, ketika siswa berkarya patung dengan
tanah liat, ia akan dapat melihat bagaimana tanah liat itu dan
merasakan bagaimana rasa sentuh yang diperoleh ketika ia
menguli. Bagaimana anak memegang pisau, gunting,
menempelkan gambar, dan sebagainya dalam berkarya seni
kolase, semua itu akan memberikan pengalaman tentang
pemanfaatan dan penguasaan media. Oleh karena itu,
pembelajaran kreatif ini perlu diupayakan dapat terselenggara
di kelas secara memadai.
Penguasaan teknik adalah berkaitan dengan langkah-
langkah atau prosedur karya seni diwujudkan. Pada tahapan
ini akan lebih baik jika guru memberikan bimbingan atas
tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam berkarya seni rupa.

24
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

Oleh karena itu metode semacam dikte atau memberikan


intruksi setahap demi setahap dapat juga digunakan.
Misalnya dalam pembelajaran berkarya patung, guru dapat
memberikan instruksi agar dibuat model secara global,
kemudian tambahan unsur lain, dan akhirnya penyelesaian
secara detail dengan alat-alat yang ada. Melalui pengalaman
penguasaan teknik ini siswa akan memperoleh pengalaman
bagaimana teknik membentuk yang baik, merangkai yang
tepat, menggores yang benar dan sebagainya.
Kelemahan yang sering ditemukan dalam lingkup
pembelajaran kreatif ini adalah cenderung memerlukan
waktu yang lama. Oleh karena itu, tampaknya perlu
pemikiran terobosan untuk menambahkan waktu belajar
kreatif dalam kegiatan ko maupun ekstrakurikuler jika
kegiatan intrakurikuler tidak lagi memungkinkan.

2. Karakteristik Pembelajaran Seni Rupa


Sebagai bagian dari pendidikan secara umum pembelajaran
seni rupa di sekolah dimungkinkan memiliki karakteristik
yang sama. Karakteristik guru dapat sama sebagaimana
penggunaan guru kelas di SD. Penggunaan ruang kelas,
pemanfaatan media, metode pembelajaran juga bisa sama
dengan pembelajaran mata pelajaran yang lain. Berikut ini
akan dicoba dibahas karakteristik pembelajaran seni rupa
yang kecil kemungkinannya terjadi dalam mata pelajaran lain.

25
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

a. Belajar Budaya Visual


Salah satu karakteristik pembelajaran seni rupa adalah
memberi kemungkinan anak untuk memperoleh pengalaman
belajar budaya visual. Banyak aktivitas dan artefak budaya
yang diungkapkan oleh suatu masyarakat, mulai dari
pemanfaatan aksara, simbol sampai dengan penggunaan
produk handphone untuk komunikasi, mulai penutup kepala
sampai dengan kaki dalam berpakaian, kebutuhan tempat
berteduh sampai dengan tempat rekreasi, kebutuhan
perlengkapan makan sampai dengan kebutuhan hiasan dan
sebagainya. Semua butuh ungkapan budaya visual.
Dalam pembelajaran seni rupa, ungkapan budaya
visual ini dapat diajarkan mulai dari ketika siswa secara
motorik menghasilkan fenomena visual yang sederhana
sampai dengan yang kompleks. Siswa dapat mulai belajar
membubuhkan titik atau noktah. Belajar membuat garis.
Garis lurus, lengkung, sigsag dan sebagainya. Berbagai garis
dapat dihasilkan dan akhirnya anak atau siswa dapat
membuat aksara atau simbol tertentu. Dari aksara dan
simbol yang sederhana akhirnya siswa dapat menampilkan
objek-objek tertentu, semakin lama semakin kompleks,
semakin lama semakin disadari kualitas estetiknya.
Dengan penyadaran pembuatan artefak budaya visual
yang bernilai estetik, anak dalam pembelajaran seni rupa
akan belajar berkarya gambar, lukis, patung, grafis, desain,
dan karya-karya kerajinan. Oleh karena itu pemahaman
tentang pemanfaatan unsur visual garis, raut, warna, tekstur,
ruang, dan gelap terang serta penyadaran penggunaan

26
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

prinsip-prinsip desain: kesatuan, keseimbangan, irama,


keselarasan, dan sebagainya perlu diupayakan sejak dini.
Pembelajaran budaya visual dapat dikemas dalam
pembelajaran kreatif dan apresiatif. Pembelajaran kreatif
artinya siswa diajak untuk memproduksi atau menghasilkan
karya, siswa memanfaatkan keterampilannya dalam
mengolah bahan dan menggunakan alat dalam menghasilkan
karya rupa. Pembelajaran apresiatif dilakukan siswa untuk
memahami dan menghargai budaya visual yang ada dan pada
gilirannya dapat digunakan sebagai variabel penggerak dalam
belajar kreatif.

b. Belajar Kreatif
Pembelajaran pada umumnya dikemas secara klasikal.
Artinya dalam satu kelas memungkinkan anak memiliki
pengalaman belajar yang sama dengan produk yang sama
pula. Dalam pembelajaran matematika misalnya, jika satu
kelas memperoleh pembelajaran penjumlahan bilangan 1
sampai 10, maka semua siswa memperoleh pengalaman
belajar yang sama, dan ketika pengukuran produk belajar
akan digunakan tes yang sama pula. Siswa yang diberi
pertanyaan 2 + 3 dikatakan benar dan berhasil jika
menjawab 5. Produk belajar akan seragam.
Pembelajaran seni rupa memungkinkan siswa dapat
memperoleh pengalaman belajar yang sama akan tetapi
produknya berbeda. Siswa yang diminta untuk menggambar
alam benda dengan model yang telah disiapkan di depan
kelas atau sekelompok siswa, tidak mungkin setiap siswa

27
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

menghasilkan gambar yang sama. Gambar akan dihasilkan


sesuai sudut pandang masing-masing siswa. Mencontoh atau
memola desain batik sekalipun akan dapat menghasilkan
gambar yang berbeda dari masing-masing siswa oleh karena
kemampuan penggunaan medium setiap siswa tidak sama.
Tegasnya dalam pembelajaran seni rupa
memungkinkan anak untuk menghasilkan produk atau karya
yang berbeda dengan temannya. Anak atau siswa menjadi
terbiasa atau mengalami proses pembiasaan untuk berbeda.
Kondisi ini dalam jangka panjang akan berkontribusi pada
penghargaan perbedaan pendapat, toleransi dan sikap dalam
berdemokrasi.
Belajar kreatif adalah belajar memecahkan masalah.
Dalam pembelajaran seni rupa siswa senantiasa dihadapkan
pada suatu masalah. Masalah dapat berkenaan dengan bahan,
alat, teknik, maupun ide. Siswa belajar menghadapi masalah
pengolahan bahan, pemilihan alat, penggunaan teknik serta
mengeksplorasi ide atau gagasannya. Jika hal ini juga telah
terbiasakan dalam pembelajarannya, kelak siswa akan dapat
dengan cepat dan tanggap menyelesaikan masalah. Masalah
akan menjadi sumber inspirasi kreatif.

c. Belajar Produktif
Pembelajaran seni rupa dalam lingkup kreatif akan
menghasilkan suatu produk atau hasil karya. Oleh karena itu
dalam pembelajaran kreatif siswa akan memperoleh
pengalaman belajar produktif dari keterampilan tangannya
dalam mengolah bahan dan menggunakan alat serta

28
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

koordinasi matanya. Jika hal ini dibiasakan siswa akan


memiliki keterampilan dalam menghasilkan karya rupa.
Karya rupa yang dihasilkan siswa dapat berupa gambar,
lukis, patung, grafis, desain atau kerajinan. Pengalaman
berkarya berbagai jenis seni rupa ini tidak menutup
kemungkinan sebagai bekal kehidupan dalam kehidupan
masyarakat kelak. Karena itu, sesungguhnya, pembelajaran
seni rupa dapat dijadikan sebagai pendidikan life skill
(kecakapan hidup) yang spesifik. Artinya dapat dijadikan
alternatif pendidikan keterampilan yang bermanfaat secara
langsung.

29
Pemikiran Tentang Pendidikan Seni Rupa

30
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

BAB II
KOMPONEN PEMBELAJARAN
SENI RUPA

A. Komponen Pelaku Pembelajaran Seni Rupa


1. Siswa dalam Pembelajaran Seni Rupa
Siswa merupakan subjek utama di samping guru dalam
proses pembelajaran. Pengertian siswa sebagai subjek
menempatkan kedudukan dan perannya yang amat penting.
Siswa turut serta atau bahkan penentu bagi keberlangsungan
dan keberhasilan proses pembelajaran. Berbeda dengan
sistem lama yang memandang siswa sebagai komponen input
yang siap diproses dan menghasilkan ouput seperti kerja
mesin. Anggapan ini menempatkan siswa sebagai objek
dalam sistem pembelajaran. Siswa merupakan bahan mentah
yang siap diolah. Oleh karena itu model ini disebut sebagai
black-box model.
Siswa tidak dapat disamakan dengan bahan mentah
sebagaimana industri pabrik. Siswa adalah manusia yang
memiliki berbagai kondisi, ciri, atau karakteristik yang
melekat pada dirinya. Siswa yang satu sangat tidak mungkin
sama kondisi, ciri atau karakteristiknya dalam semua variabel.

31
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Satu dua hal barangkali terjadi kesamaan. Dengan melihat


kenyataan demikian maka sebagai seorang guru perlu
memahami karakteristik siswa atau peserta didik yang terlibat
dalam proses pembelajaran.
Secara fisik siswa memiliki karakteristik yang
membedakan kondisi di antara siswa, antara lain jenis
kelamin, postur tubuh, berat dan tinggi badan, kesehatan dan
kebugaran. Beberapa variabel ini dapat secara khusus
dijadikan perhatian guru dalam pembelajaran. Jika ternyataa
variabel tertentu amat menentukan dalam pembelajaran
maka perlu dilakukan pengendalian. Misalnya, dalam
pembelajaran seni rupa siswa laki-laki lebih unggul dibanding
siswa perempuan maka guru dapat memberikan perlakuan
khusus dengan pengayaan pembelajaran terhadap siswa
perempuan. Demikian untuk variabel lainnya.
Dalam banyak pendapat (lihat Bloom, 1982) bahwa
kemampuan awal siswa atau peserta didik menjadi penentu
kualitas dan hasil pembelajaran. Kemampuan awal
merupakan kecakapan siswa ketika memasuki pendidikan
pada suatu satuan pendidikan tertentu. Kemampuan awal
siswa SMP dapat dilihat dari kecakapan anak ketika selesai
menjalani pendidikan di SD. Kemampuan awal siswa SMA
dapat dilihat dari kemampuan anak ketika selesai menjalani
pendidikan di SMP, dan seterusnya. Kemampuan awal siswa
ini dapat dilihat dalam penerimaan peserta didik. Biasanya
prosedur yang dilakukan adalah melalui pemerolehan nilai
ujian, wawancara, dan seleksi melalui pengujian.
Kemampuan awal khusus di bidang kesenirupaan, pada
umumnya sekolah tidak melakukannya. Oleh karena itu,
sebaiknya guru pendidikan seni rupa dalam pembelajarannya

32
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

perlu melakukan assessment (penaksiran) untuk melihat


kemampuan awal para siswanya.
Kemampuan awal dalam bidang seni rupa ini lazim
disamakan dengan bakat. Istilah bakat sering kali menjadi
bahan diskusi yang menarik. Bakat merupakan konstruk atau
trait dalam bidang psikologi. Suryabrata (1984: 167-176) telah
mendaftar empat pendapat para ahli yakni Michael (1960),
Bingham (1937), Woodworth dan Marquis (1957) dan
Guilford (1959) mengenai bakat. Dinyatakan bahwa Michael
meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu
untuk melakukan suatu tugas, yag sedikit sekali tergantung
pada latihan. Bingham menitikberatkan pada segi performan
setelah individu mendapat latihan. Woodworth dan Marquis
menanggapi bakat sebagai kemampuan (ability), yakni
kualitas kemampuan yang hanya dapat diungkap/diukur
dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu. Sementara
Guilford menyatakan bakat berkenaan dengan kemampuan
untuk melakukan sesuatu. Dalam sumber lain dinyatakan
bahwa bakat adalah kapasitas, kemampuan yang bersifat
alami atau kecenderungan mengenai pengetahuan atau
keterampilan, sebagaimana dibedakan dengan kemampuan
yang dikembangkan (Yochim, 1967: 234).
Agaknya umum mengakui bahwa bakat dapat
berkembang oleh karena adanya latihan. Demikian juga
bakat dalam seni. Dalam buku-buku evaluasi dan psikologi
bakat seni (art aptitude) disebut juga bakat artistik (artistic
aptitude). Belum ditemukan istilah yang menyatakan alat ukur
bakat menggambar atau drawing aptitude.

33
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Di antara dalam jumlah sedikit dari alat ukur bakat


artistik itu, yang mungkin dapat digolongkan ke dalam bakat
menggambar adalah Horn Art Aptitude Inventory dan Knauber
Art Ability Test. Pada Horn Art Aptitude Inventory peserta tes
harus menghasilkan gambar skets dari pola-pola garis dan
titik yang diberikan pada lembaran kertas. Evaluasi dilakukan
dengan penilaian subjektif menurut standar peneliti, akan
tetapi dapat memberikan hasil yang mendekati reliabel
walaupun dilakukan oleh orang yang bukan seniman.
Sementara itu, dalam Knauber Art Ability Test dilakukan
dengan pemberian tugas-tugas menggambar kepada peserta
yang meliputi persoalan gelap terang (bayangan), perspektif,
dan komposisi. Di samping dua yang disebut, dalam bidang
seni rupa dikenal juga alat ukur kepekaan artistik yakni Meier
Art Judgment Test dan Graves Design Judgment Test (Thorndike
dan Hagen, 1977; Eisner, 1972).
Di samping kemampuan awal siswa, guru pendidikan
seni rupa juga perlu memahami karakteristik psikologis anak,
yang antara lain meliputi perhatian, minat, persepsi dan
semangat belajar. Siswa sebagai individu juga memiliki
kecerdasan tertentu. Saat ini para ahli telah menggali bahwa
kecerdasan seseorang tidak hanya terfokus pada kecerdasan
intelektual, akan tetapi juga kecerdasan emosional, spiritual,
kreatif dan adversitas. Semua itu perlu menjadi
pertimbangan guru dalam pembelajarannya, termasuk
berbagai perkembangan psikologis, misalnya perkembangan
artistik siswa.
Perkembangan artistik, estetik, atau kreatif oleh para
ahli telah dilakukan pengkajian mulai dari masa anak-anak
sampai remaja. Pendapat yang paling dikenal adalah yang

34
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

dikemukakan oleh Lowenfeld dan Brittain (1982) bahwa


perkembangan artistik anak dapat diklasifikasikan ke dalam
masa scribling (coreng-moreng) ketika anak berusia 2-4 tahun,
preschematic (prabagan) ketika anak berusia 4-7 tahun, schematic
(bagan) ketika anak berusia 7-9 tahun, dawning realism
(realisme permulaan) ketika anak berusia 9-12 tahun, dan
psedo-naturalistic (naturalisme semu) ketika anak berusia 12-14
tahun. Masa coreng-moreng ditandai ketika anak membuat
goresan yang tak beraturan yang makin lama makin
terkontrol. Pada masa prabagan ditandai oleh kesadaran
anak untuk menciptakan bentuk-bentuk tertentu, yang
ditampilkan dengan penggunaan garis-garis yang penting
saja. Pada masa bagan pada umumnya anak menghadirkan
gagasan objek yang digambar melalui bentuk-bentuk
geometris, tidak proporsional, dan tidak realistik,
menonjolkan bagian yang penting, dan menghilangkan
detail-detail objek. Pada masa realisme permulaan gambar
yang dihasilkan anak telah mengarah ke bentuk yang realistik
dan detail, telah mengenal ruang atau kesan perspektif,
demikian juga proporsi objek telah dipertimbangkan besar
kecilnya. Pada masa naturalisme semu anak mulai tertarik
menggambarkan alam secara realistik walaupun tidak
sebagaimana orang dewasa, detail gambar, ruang, dan
proporsi semakin dipertimbangkan.
Karakteristik lingkungan asal siswa juga perlu
dipahami oleh guru pendidikan seni rupa. Karakteristik ini
meliputi kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
Kondisi lingkungan keluarga antara lain pendidikan,
penghasilan, agama yang dianut, dan status serta peran orang
tua di masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat antara lain

35
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

pendidikan, agama, kondisi ekonomi, interaksi sosial, dan


iklim budaya masyarakat.
Semua karakteristik yang melekat pada diri siswa sebagai
peserta didik dapat dianggap sebagai variabel yang dapat
menentukan atau berperan atas keberhasilan dalam proses
dan hasil pembelajaran seni rupa. Dengan kata lain
karakteristik siswa merupakan fungsi dari proses dan hasil
pembelajaran, yang senantiasa penting untuk dipahami dan
diperhatikan guru pendidikan seni rupa dalam proses
pembelajarannya.

2. Guru dalam Pembelajaran Seni Rupa


Figur guru pada umumnya dianggap sebagai manusia yang
ideal, berpengetahuan luas dengan sikap dan tingkah laku
yang tanpa cela, dan kalau perlu berpenampilan menarik.
Keadaan ideal guru yang diharapkan ini dinyatakan oleh
Pullias dan Young (tt.: 4), dalam bukunya yang berjudul “
Guru makhluk serba bisa”. Ada dua belas peran yang perlu
diemban oleh seorang guru, yaitu: guru adalah seorang
pembimbing, guru adalah seorang guru, guru adalah seorang
moderator, guru adalah seorang pemberi teladan, guru
adalah seorang peneliti, guru adalah seorang penasehat, guru
adalah seorang pencipta, guru adalah penguasa, guru adalah
seorang pembaharu, dan guru adalah seorang juru ceritera
merangkap pelaku.
Deskripsi senada dinyatakan oleh Jarolimek dan
Foster (1976) bahwa perilaku guru pada dasarnya memiliki
performan yang berkenaan dengan peran psikologis dan

36
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

instruksional. Peran psikologis meliputi performannya


sebagai suatu model sosial atau teladan, sebagai evaluator,
sebagai ensiklopedi berjalan, sebagai moderator, sebagai
peneliti, sebagai ombudsman (pengarah, pendukung, dan
pendorong), sebagai pembangun semangat belajar, sebagai
pemimpin kelompok, sebagai pengganti orang tua, sebagai
tumpuhan siswa ketika frustasi, dan sebagai seorang teman.
Sementara peran instruksional meliputi performannya
sebagai perencana, pelaksana, evaluator pembelajaran.
Wolfolk dan Nicolich (1984: 3-4) juga menyatakan bahwa
guru memiliki peran sebagai seorang ahli pengajaran,
motivator, manajer, pemimpin, konselor, pereka lingkungan,
dan sebagai model.
Makin banyak pendapat yang diterima sebagai sosok
guru yang ideal, termasuk guru seni rupa, makin sulit untuk
ditemukan. Tilaar (1991: 40-41) merumuskan sosok guru di
Indonesia dalam kerangka sistem pendidikan nasional pada
era masyarakat industri modern. Pandangannya bahwa dalam
masyarakat industri modern sosok guru bukanlah seorang
yang perlu dikasihani seperti dewasa ini karena citranya yang
agak merosot. Guru dalam masyarakat industri modern
adalah seorang profesional, karena ia mengemban misi suatu
industri strategi dasar. Guru dalam masyarakat itu adalah
seorang resi dalam arti yang modern. Ia menguasai sains dan
teknologi, ia membawa peserta didik kepada pengenalan
sains dan teknologi itu, dan lebih dari itu, ia adalah sosok
personifikasi dari moral, keyakinan dan agama. Inilah resi
masyarakat Indonesia modern, seorang profesional;
gabungan seorang saintis, ulama, dan mungkin seniman.

37
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Berbagai peran, fungsi, atau kompetensi guru


tersebut di atas merupakan gambaran idealitas yang dapat
dijadikan referensi dalam merekayasa program penyiapan
guru dengan harapan dapat membantu tugas-tugasnya di
lapangan. Sebagaimana diketahui guru memiliki tugas utama
mengajar, dan tugas tambahan dalam lingkup pendidikan
dalam arti luas, serta tugas-tugas administratif lainnya.
Persoalan mendidik dan mengajar memang banyak
dipermasalahkan orang, akan tetapi umum telah sepakat
bahwa kegiatan mengajar ruang lingkupnya lebih terbatas,
yakni dibatasi oleh aktivitas yang berlangsung di kelas dalam
suatu program tertentu, sedangkan mendidik mempunyai
pengertian yang lebih luas, tidak hanya berpedoman pada
program tertentu, akan tetapi lebih mengarah kepada
kesepakatan bersama dalam penanaman nilai yang
diharapkan dan tidak terbatas di ruang kelas (Woolfolk dan
Nicolich, 1984: 17-18).
Guru pendidikan seni rupa dalam kegiatan
intrakurikuler dibedakan atas guru kelas dan mata pelajaran
(bidang studi). Guru kelas adalah seorang guru yang
berkewajiban dan bertanggungjawab keterlaksanaan
pembelajaran pada suatu kelas secara terus menerus dalam
suatu program. Guru kelas seharusnya memiliki kemampuan
dalam berbagai mata pelajaran, termasuk seni rupa. Guru
kelas ini umumnya diterapkan di lembaga pendidikan TK
dan SD. Guru mata pelajaran di pihak lain adalah seorang
guru yang bertugas untuk mengajarkan mata pelajaran
tertentu secara khusus sesuai dengan bidang keahliannya.
Guru mata pelajaran ini umumnya dikenal di lembaga
pendidikan sekolah menengah, dan beberapa mata pelajaran

38
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

di SD. Di samping guru dalam kegiatan intrakurikuler


dikenal juga guru kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan klasifikasi guru sebagaimana yang disebut di
atas, maka guru seni rupa pastilah seorang guru mata
pelajaran, baik dalam kegiatan intra maupun ekstra kurikuler.
Guru seni rupa dapat mengampu di lembaga pendidikan
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun di SMK,
sudah barang tentu dalam mata pelajaran yang berkenaan
dengan kesenirupaan.
Guru seni rupa dalam berbagai jenjang pendidikan di
samping perlu memiliki karakteristik peran sebagaimana
yang dinyatakan di depan, artinya memiliki penampilan guru
sebagaimana pada umumnya, secara khusus juga harus
mengenal cara-cara untuk mengembangkan kebiasaan
kegiatan kreatif, berpikir imajinatif, eksploratif, dan
improvisatif, serta memungkinkan juga membantu anak
meningkatkan kemampuan untuk menemukan jawaban atas
masalah yang dihadapinya (Conrad, 1964: 224). Di samping
itu guru seni rupa harus memberikan sarana yang kondusif,
menyenangkan, akrab dengan para siswanya dan fleksibel
terhadap situasi yang dihadapinya (Lowenfeld dan Brittain,
1982: 145-147).
Pendidikan seni rupa adalah pendidikan kreatif, maka
karakteristik penampilan guru seni rupa haruslah memenuhi
persyaratan sebagaimana dinyatakan oleh Yochim (1967:
122-124) sebagai berikut. Agar guru berfungsi efektif, ia
harus memahami (1) latar belakang keluarga dan masyarakat
sebagai lingkungan yang membentuk siswa; (2) tahapan
perkembangan fisik, mental dan kreatif anak; (3) jenis dan

39
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

keluasan pengalaman murid yang diperoleh sebelumnya; (4)


kelayakan harapan untuk mencapai prestasi kreatif pada
setiap usia dan kelas tertentu; (5) peranan pendidikan seni
rupa dalam keseluruhan kerangka kurikulum; (6) kriteria
sebagai dasar penilaian estetik; (7) keragaman proses seni,
metode, dan materi yang digunakan sebagai pengalaman
belajar kreatif; (8) organisasi kelas dalam aktivitas seni rupa
dua atau tiga dimensi dengan meminimalisir
kekacauan/kegaduhan; (9) penggunaan jenis-jenis metode
dan alat bantu audio visual dalam rangka memotivasi siswa
untuk memunculkan ekspresi yang orisinal, dan (10)
pengelolaan pameran karya seni rupa yang dihasilkan oleh
siswa.
Lebih lanjut Yochim (1967: 123-124) mengemukakan
bahwa persyaratan tersebut harus dilengkapi dengan
tanggung jawab guru dalam implementasi pembelajaran seni.
Menurutnya guru harus (1) mengenal keunikan setiap murid
dan memberikan kesempatan yang sesuai dengan perbedaan
minat, kebutuhan, dan kapasitas individualnya; (2)
melibatkan siswa dalam pengalaman belajar kreatif yang
membangkitkan respons; (3) menghadapkan siswa pada
sistem pemecahan masalah yang menantang kemampuannya
untuk berpikir secara bebas dan kritis, serta membantu
menuangkan pemikirannya itu dalam bentuk (karya) visual;
(4) membantu siswa mencapai kedalaman dan keluasan
pengalaman belajar seni yang sekuensial, yang memerlukan
penggunaan pengulangan keterampilan, pemahaman, dan
apresiasi; (5) membantu mengembangkan kepercayaan dan
tanggung jawab diri murid melalui pemberian perhatian
khusus pada keberhasilan karya yang imajinatif dan unik, dan

40
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

bukannya pada hal-hal yang membosankan, imitatif, dan


tidak imajinatif; (6) memotivasi hasrat yang kuat dalam
pemenuhan kebutuhan personal melalui pengenalan nilai
intrinsik tentang aktivitas kreatif, dengan demikian, akan
membantu mengembangkan kekuatan psikis dan keberanian
siswa untuk memperoleh pengalaman kreatif yang lebih
menantang dan kompleks pada waktu mendatang; (7)
memperluas kesempatan siswa yang unggul, sehingga
mereka dapat mencari konsep, prinsip, dan prosedur baru
yang pada gilirannya potensi dan wawasan perseptualnya
dapat berkembang; dan (8) mengembangkan realisasi diri
siswa melalui suatu sintesis, kesesuaian dengan imajinasi,
kapasitas intelektual, emosional, dan manualnya yang
terintegrasi secara utuh atau komprehensif.
Persyaratan dan tanggung jawab guru pendidikan seni
rupa yang dikemukakan oleh Yochim (1967) demikian rinci.
Ada juga pendapat yang lebih sederhana sebagaimana
dinyatakan oleh Gaitskell dan Hurwitz (1975: 54). Bahwa
guru pendidikan seni rupa paling tidak memiliki pengetahuan
komposisi piktorial dan bentuk-bentuk desain, mengenal
karya seniman profesional, dan kemampuan untuk
menggunakan bahan –seperti cat, kayu, dan tanah liat--, di
samping menguasai masalah dalam pembelajaran yang
mencakupi pengelolaan dan pengendalian kelas, disiplin,
penyajian materi, membantu siswa, dan menilai kesuksesan
pembelajaran.
Dengan kalimat pendek sesungguhnya dapat
dinyatakan bahwa guru pendidikan seni rupa paling tidak
memiliki dua kompetensi utama yakni kompetensi yang
berkaitan dengan kesenirupaan, dan kompetensi yang

41
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

berkaitan dengan cara pembelajaran kesenirupaan. Namun


secara yuridis kompetensi guru pendidikan seni rupa dengan
merujuk kompetensi guru secara umum terjabar menjadi 4
(empat), yakni kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional, dan sosial. Kompetensi pedagogik adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian
yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional
adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas
dan mendalam. Sementara kompetensi sosial adalah
kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (lihat:
UU Guru dan Dosen).
Pemenuhan kompetensi guru pendidikan seni rupa
yang tercermin ke dalam penampilan di kelas tidaklah dapat
dengan mudah untuk dipenuhi. Tidak sembarang orang yang
dapat menggambar atau melukis dapat diposisikan sebagai
guru pendidikan seni rupa. Atau mempermasalahkan lagi
perlunya “guru pendidikan seni rupa yang seniman” atau
“seniman yang guru”. Oleh karena perlu disadari, sedikit
sekali seniman yang dilahirkan sebagai guru dan sebaliknya
lebih banyak yang tidak bersedia atau sanggup menjadi guru
(Fowler, 1989: 30). Jika persyaratan seniman guru atau guru
seniman yang dituntut maka akan sangat sulit untuk
dipenuhi (lihat Syafii, 1993).
Dengan demikian, kembali kepada persoalan
kompetensi guru, maka guru pendidikan seni rupa perlu
dipersiapkan melalui program pendidikan keguruan (lembaga

42
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

pendidikan tenaga kependidikan), yang secara khusus


kurikulum pendidikannya dirancang untuk itu. Idealnya di
berbagai jenjang pendidikan, materi pelajaran atau kegiatan
seni rupa perlu dilayani oleh lulusan pendidikan tinggi
kependidikan seni rupa, baik untuk TK sampai SLTA.
Kompetensi guru pendidikan seni rupa sebagaimana
yang diurai di atas dapat dikatakan sebagai karakteristik
akademik. Di samping itu, guru secara individu memiliki
karakteristik yang telah melekat pada dirinya, baik
karakteristik fisik, psikologis, maupun lainnya. Karakteristik
fisik berkaitan dengan jenis kelamin, postur tubuh, kesehatan
dan sebagainya.
Karakteristik psikologis antara lain meliputi minat,
motivasi, dan semanagat mengajar. Karakteristik lain
berkenaan dengan agama yang dianut, lingkungan budaya
asal, dan sebagainya. Secara empirik karakteristik guru yang
bermakna atau menentukan model pembelajarannya adalah
jenis kelamin, usia, latar belakang sosial ekonomi, prestasi
kependidikan (sewaktu sekolah), tingkat pendidikan,
kemampuan dan prestasi (setelah mengajar), pengalaman
mengajar, gaji, program penataran, dan sikap terhadap
profesi (World Bank, 1978: 13-36). Oleh karena itu guru
perlu menyadari karakteristik yang melekat pada dirinya dan
berusaha mengeliminir karakteristik nonakademik, sehingga
dalam pengajarannnya dapat berperan menerapkan
pembelajaran “untuk semua”, objektif dan tidak
deskriminatif.

43
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

B. Komponen Sistem Pembelajaran Seni Rupa


1. Tujuan Pembelajaran Seni Rupa
Menurut Tyler (dalam Miller dan Seller, 1985) tujuan
merupakan komponen utama dan pertama dalam
pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan ke arah
mana siswa akan dibawa. Arah belajar siswa merupakan
sasaran belajar, oleh karena itu tujuan pembelajaran lazim
disebut juga sasaran pembelajaran.
Sebagai bagian dari pendidikan secara umum atau
bagian dari sistem pendidikan nasional, maka pembelajaran
seni rupa memiliki tugas dan tanggung jawab sejajar dengan
mata pelajaran lain. Terkait dengan itu sebelum berpikir ke
arah mana tujuan pembelajaran seni rupa yang akan
dilakukan, guru perlu mencermati tujuan pendidikan
nasional dirumuskan. Rumusan tujuan pendidikan nasional
ini dapat dibaca dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional.
Tujuan pendidikan nasional ini tergolong rumusan
pendidikan yang masih umum, dalam arti luas cakupannya.
Tujuan yang lebih rendah dari tujuan pendidikan nasional
adalah tujuan institusional, artinya tujuan pendidikan pada
tingkat kelembagaan, misalnya tujuan pendidikan TK, SD,
SMP atau SMA. Tujuan-tujuan pendidikan ini pun perlu
dipahami guru dan dapat dibaca dalam peraturan-peraturan
pemerintah yang mengikuti undang-undang pendidikan
terkait.
Pada tahun 2004, sistem pendidikan nasional
menerapkan kurikulum yang disebut sebagai Kurikulum

44
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Berbasis Kompetensi (KBK), atau yang lazim disebut


Kurikulum 2004. Tujuan pendidikan atau pembelajaran
dirumuskan sebagai kompetensi yang harus dicapai oleh
siswa. Kompetensi dirumuskan sebagai kemampuan untuk
bertindak secara cerdas dan bertanggungjawab. Kompetensi
dapat juga diterjemahkan sebagai pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Asumsi dari Kurikulum 2004 adalah
bahwa dalam pendidikan/pembelajaran dapat dirumuskan
pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi,
atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan satuan
pendidikan dan sekaligus digambarkan kemampuan siswa
yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk
menjadi kompeten.
Kompetensi yang dirumuskan dalam Kurikulum 2004
terdiri atas Kompetensi Lintas Kurikulum, Tamatan, Bahan
Kajian, Rumpun Mata Pelajaran dan Dasar Mata Pelajaran.
Kompetensi Lintas Kurikulum merupakan kecakapan untuk
belajar sepanjang hayat sebagai akumulasi kemampuan
setelah siswa mempelajari berbagai kompetensi dasar yang
dirumuskan setiap mata pelajaran. Kompetensi Tamatan
adalah kemampuan yang dicapai oleh siswa ketika
menyelesaikan suatu program dalam satu satuan pendidikan.
Kompetensi Bahan Kajian merupakan kompetensi yang
diharapkan dicapai siswa secara umum dalam mempelajari
mata pelajaran. Kompetensi Rumpun Mata Pelajaran
merupakan rumusan kompetensi bagi sejumlah mata
pelajaran dalam satu kesatuan, misalnya mata pelajaran
Kerajinan Tangan dan Kesenian yang terdiri atas seni rupa,
seni musik, seni tari, dan kerajinan. Sementara Kompetensi

45
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Dasar Mata Pelajaran adalah rumusan kompetensi dalam


satuan bahasan tertentu, dalam kelas dan mata pelajaran
tertentu.
Dalam Kurikulum 2013 dikenal dengan rumusan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Sejumlah
kompetensi ingin dibangun melalui kurikulum ini yang
mencakupi kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap
sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi
keterampilan.
Rumusan kompetensi atau kemampuan tertentu
sesungguhnya merupakan rumusan tujuan. Semakin
mendekati tujuan pendidikan nasional semakin umum tujuan
itu, semakin menjauh dan operasional di dalam kelas
semakin khusus rumusan tujuan itu. Oleh karena itu ketika
guru mengembangkan kompetensi atau tujuan yang
dirancang dalam satuan pelajaran, misalnya, perlu
merumuskan ke dalam bentuk yang lebih operasional,
spesifik, dan dapat diukur. Rumusan tujuan yang operasional
ini harus menggambarkan perilaku atau kemampuan siswa
dalam kondisi dengan derajat tertentu.
Sebagai contoh berikut ini dikutipkan tujuan mata
pelajaran (lazim disebut juga tujuan kurikuler) kesenian yang
dituangkan dalam kurikulum. Tujuan pendidikan kesenian
pada Kurikulum 1975 adalah “(1) siswa memiliki
pengetahuan yang berhubungan dengan kesenian, (2)
keterampilan dalam mengapresiasi seni serta kemampuan
mengembangkan kesenian, dan (3) siswa memiliki sikap
menghargai karya seni dan berpartisipasi aktif dalam
pembinaan, pengembangan, dan usaha-usaha kesenian, baik

46
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

untuk diri sendiri maupun lingkungannya". Tujuan


pendidikan kesenian pada Kurikulum 1984 adalah “siswa
memiliki pengetahuan, pengalaman dan kemampuan dasar
berkarya dan berolah seni, serta kepekaan artistik sebagai
dasar apresiasi pada budaya bangsa”. Tujuan pendidikan
kesenian Kurikulum 1994 adalah “mengembangkan sikap
dan kemampuan siswa agar berkreasi dan menghargai
kerajinan tangan dan kesenian”. Sementara dalam
Kurikulum 2004 “mata pelajaran pendidikan seni memiliki
fungsi dan tujuan menumbuhkembangkan sikap toleransi,
demokrasi, beradab, serta mampu hidup rukun dalam
masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan
imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan
kepekaan rasa, keterampilan, serta mampu menerapkan
teknologi dalam berkreasi dan memamerkan dan
mempergelarkan karya seni”. Terakhir, ketika KTSP
digulirkan tujuan pembelajaran Seni Budaya (SMA/MA)
dirumuskan agar peserta didik memiliki kemampuan (1)
memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2)
menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3)
menampilkan kreativitas melalui seni budaya, dan (4)
menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat
lokal, regional, maupun global.
Demikianlah, sesungguhnya berbicara tentang tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan akan
memposisikan pada kemampuan siswa dalam suatu
kontinum, dari yang bersifat umum, luas, dan sulit
mengukurnya, sampai kepada yang khusus, sempit,
operasional, dan mudah diukur. Bagi guru pendidikan seni
rupa tujuan yang bersifat umum perlu digunakan sebagai

47
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

referensi dalam rangka mengembangkan rumusan tujuan


yang lebih khusus atau operasional. Kelemahan yang sering
terjadi adalah guru melupakan tujuan yang lebih umum dan
luas itu, seperti tujuan pendidikan nasional, dan institusional.

2. Materi Pembelajaran Seni Rupa


Materi pembelajaran terkait dengan pertanyaan apa yang
akan diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa dalam
konteks tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Materi
pembelajaran, oleh karena itu sering disebut isi pelajaran
(subject content), atau secara sempit disebut sebagai bahan ajar.
Materi pembelajaran atau bahan ajar adalah pesan yang perlu
disampaikan oleh penyelenggara pendidikan kepada peserta
didik. Oleh karena itu dalam bentuknya sebagai bahan ajar,
materi pembelajaran sesungguhnya merupakan bentuk rinci
atau terurai dari pokok-pokok materi yang ditetapkan dalam
kurikulum. Bentuk rinci atau terurai dari isi kurikulum ini
dapat disampikan secara sangat rinci, jelas dengan penuh
ilustrasi, atau sebaliknya dibuat seperlunya saja. Hal tersebut
sangat bergantung pada bagaimana proses pembelajaran itu
dikemas.
Sebagai pesan, materi pembelajaran dapat
disampaikan guru secara lisan ketika berinteraksi dengan
siswa. Atau sebaliknya disampaikan melalui tulisan. Atau
mungkin kedua-duanya lisan dan tulisan. Penyampaian
materi pembelajaran secara lisan telah secara rutin atau lazim
disampaikan oleh guru. Oleh karena itu kemampuan
berceramah bagi guru dianggap hal yang amat penting.

48
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Materi pembelajaran yang disiapkan secara tertulis oleh guru


untuk para siswanya, boleh dikata amat jarang, oleh karena
guru amat tergantung pada materi pembelajaran yang tertulis
pada buku teks.
Berdasarkan medianya, memang, bahan ajar dapat
dibedakan atas bahan ajar tertulis dan bahan ajar tidak
tertulis. Bahan ajar tertulis merupakan materi atau isi
pelajaran yang terkemas dalam bentuk tulisan, dapat
dilengkapi atau tanpa gambar. Bahan ajar tertulis ini
umumnya diproduksi dengan cara dicetak, oleh karena itu
dapat digolongkan ke dalam bahan ajar cetak (lihat Suciati
dan Huda, 1999). Bahan ajar tidak tertulis, dengan demikian,
adalah bahan, materi atau isi pelajaran yang disampaikan
tidak dengan tulisan, tidak tercetak, akan tetapi disampaikan
secara lisan, melalui audio atau video, dengan media radio,
atau televisi, atau bahan ajar yang memanfaatkan sumber
belajar lingkungan atau juga teknologi lainnya.
Secara ideal, guru perlu mengembangkan materi
pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum ke dalam
bahan ajar tersendiri, sehingga dapat menyesuaikan dengan
kondisi atau karakteristik siswa. Bahan ajar ini dapat
dikembangkan dengan memanfaatkan sumber-sumber
pembelajaran, terutama buku.
Materi pembelajaran seni rupa di sekolah, jika konsep
kurikulum dikembangkan berdasarkan pendekatan Discipline-
Based Art Education Approach (DBAE) maka materi itu terdiri
empat bidang cakupan yakni estetika, praktikum studio,
sejarah seni rupa, dan tinjauan/kritik seni rupa (Salam, 2001:
23). Materi estetika dapat berkaitan dengan morfologi seni

49
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

rupa, yang berbicara tentang unsur-unsur visual dan


penataannya sehingga menghasilkan karya yang indah.
Praktikum studio berkaitan dengan kegiatan kreatif dalam
proses penciptaan karya seni, yang dapat dilakukan dalam
aktivitas menggambar, melukis, mematung, mencetak,
merakit, dan seterusnya. Materi sejarah seni rupa berkaitan
dengan pemberian pengalaman kultural mahasiswa atas
karya seni rupa dari waktu ke waktu. Tinjauan/kritik seni
rupa merupakan materi yang memberikan pengalaman
belajar apresiasi sekaligus kritis dalam mensikapi suatu karya
seni.
Dalam beberapa kurikulum yang telah lalu (1975,
1984, dan 1994) dan kurikulum saat ini (Kurikulum 2004
yang dikembangkan lebih lanjut ke dalam KTSP) materi
pembelajaran seni rupa dapat dikelompokkan sebagai bahan
ajar kajian (pengetahuan), apresiasi, dan kreasi (praktik).
Bahan ajar kajian ini antara lain: Jenis-jenis karya seni rupa,
media karya seni rupa, sejarah seni rupa, wawasan seni, dan
pengertian seni. Bahan ajar apresiasi dituangkan dalam
kegiatan pameran. Sementara bahan ajar kreasi (praktik)
antara lain dituangkan dalam kegaiatan menggambar bentuk,
hiasan, huruf, ilustrasi, ekspresi, dan perspektif, membentuk,
membuat patung, mencetak, dan berkarya seni kerajinan.

3. Strategi Pembelajaran Seni Rupa


Strategi pembelajaran berkenaan dengan pertanyaan
bagaimana pencapaian sasaran pembelajaran tercapai.
Pencapaian sasaran atau tujuan pembelajaran sudah barang
tentu memerlukan upaya-upaya yang sistematik. Oleh karena

50
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

itu, strategi pembelajaran tidak hanya berkenaan dengan


metode. Metode merupakan salah satu bagian dari strategi
pembelajaran.
Perencanaan pembelajaran merupakan langkah awal
dari seorang guru dalam strategi pembelajarannya. Dalam
kegiatan ini seorang guru perlu mengkaji perangkat
kurikulum yang ada (yang biasanya terdiri atas ketentuan-
ketentuan pokok, garis besar materi, dan petunjuk
pelaksanaan) untuk kemudian diterjemahkan ke dalam
perencanaan yang lebih rinci. Perencanaan yang lazim
dikembangkan oleh guru ini adalah program tahunan,
program semester, analisis materi, silabus, dan satuan
pelajaran atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Dalam kegiatan perencanaan ini guru berusaha mencermati
sasaran belajar (standar-satandar kompetensi) untuk
diterjemahkan kepada sasaran belajar yang lebih spesifik;
mengorganisasikan materi sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan siswanya; memilih metode dan media pembelajaran,
mencari sumber-sumber belajar yang relevan dan merancang
bentuk dan jenis evaluasi yang akan dilakukan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, strategi
pembelajaran dapat dilakukan dengan mengorganisasikan
kelas, materi dan waktu, memilih metode, memanfaatkan
media dan sumber belajar. Oleh karena itu dalam kegiatan
ini guru memerlukan kiat-kiat khusus sehingga pembelajaran
dapat mencapai sasaran. Kiat dalam mengajar ini lebih
bersifat individual, taktik perorangan, agar kegiatan mengajar
yang dilakukan guru menarik siswa.

51
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Kemampuan mengorganisasikan kelas merupakan


langkah awal dalam pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan ini
merupakan pengaturan siswa. Organisasi kelas seni rupa
dapat dilakukan secara klasikal atau individual, kelompok
atau perorangan, indoor atau outdoor. Kelas klasikal adalah
organisasi kelas yang lazim dilakukan guru dalam mengajar
bagi semua siswa dalam kelas itu. Pembelajaran individual
diarahkan pada orang per orang siswa dalam suatu kelas,
misalnya digunakan bagi siswa yang memerlukan bimbingan
khusus. Pembelajaran kelompok dan perorangan umumnya
digunakan guru untuk menentukan dan mengatur belajar
siswa dalam mengerjakan tugas dan latihan, satu per satu
siswa, atau kumpulan dari beberapa siswa. Pembelajaran
indoor merupakan kegiatan belajar-mengajar dengan
memanfaatkan ruang di dalam kelas, bisa di kelas reguler
atau studio. Sementara pembelajaran outdoor merupakan
kegiatan belajar-mengajar di luar kelas, bisa jadi masih dalam
lingkungan sekolah, sekitar sekolah atau dapat juga dengan
dilakukan dengan pembelajaran traveling.
Organisasi materi dan waktu belajar merupakan
bagian inti dari proses pembelajaran. Kegiatan ini dapat
dibagi guru ke dalam bagian pendahuluan, inti, dan penutup.
Guru dalam mengajar seyogyanya mengawali kegiatan
mengajarnya dengan salam atau sapaan untuk siswanya,
membangkitkan minat, mengingatkan materi yang telah
diajarkan atau mengukur kemampuan awal siswa terkait
dengan materi yang akan disampaikan. Berikutnya baru
masuk ke dalam inti materi, sudah barang tentu dengan
pemanfaatan waktu yang lebih lama. Di bagian penutup guru
dapat memberikan beberapa penguatan pada hal yang

52
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

penting, mengukur kemampuan akhir siswa, memberi


petunjuk tugas atau latihan, dan mengakhiri dengan salam
penutup. Jika guru senantiasa mengingat bagaimana
organisasi materi dan waktu maka pembelajaran menjadi
proporsional.
Pemilihan metode dapat dikatakan sebagai salah satu
kiat guru. Dengan penggunaan metode yang tepat maka
pembelajaran menjadi lebih menarik. Pertimbangan yang
perlu diperhatikan dalam memilih metode antara lain adalah
karakteristik siswa, materi, sarana dan waktu pembelajaran.
Semua metode memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh
karena itu guru perlu memilih kesesuaian metode dengan
sasaran pembelajaran yang diharapkan. Dalam pembelajaran
seni rupa guru dapat memanfaatkan metode-metode yang
secara umum digunakan, misalnya ceramah, tanya jawab,
diskusi, dan demonstrasi, di samping metode mencontoh,
drill (latihan), memola, dikte (bimbingan setahap demi
setahap), dan ekspresi bebas.
Media pembelajaran merupakan alat bantu guru
dalam mengajar, oleh karena itu posisinya juga amat penting.
Dalam pembelajaran guru dapat memanfaatkan media yang
konvensional seperti papan tulis dan kapur dan yang
nonkonvensional (berbasis elektronik) misalnya proyektor.
Pembelajaran seni rupa sering kali memerlukan peragaan
guru, oleh karena itu diperlukan alat peraga yang berupa
karya langsung atau tidak. Semakin rendah tingkat
pendidikan, bagi peserta didik semakin memerlukan peraga
langsung.

53
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Pemanfaatan sumber juga merupakan persoalan


strategi pembelajaran. Sumber pembelajaran dapat
berbentuk orang atau benda. Seniman, kritikus merupakan
contoh orang dapat digunakan sebagai sumber
pembelajaran. Guru itu sendiri juga merupakan sumber
belajar bagi siswanya. Yang lazim dipersoalkan di sekolah
adalah berkenaan dengan buku. Buku teks seni rupa
memang merupakan salah satu sumber pembelajaran, tetapi
bukan satu-satunya. Guru dapat memanfaatkan sumber
tertulis selain buku, misalnya majalah dan koran. Guru dapat
juga memanfaatkan sumber dari media elektronik, misalnya
televisi dan akses internet. Di samping itu guru dapat juga
memanfaatkan sumber pembelajaran seperti museum dan
situs seni rupa. Termasuk juga lingkungan fisik, kekayaan
alam yang ada di lingkungan sekolah dapat menjadi sumber
pembelajaran seni rupa.

4. Evaluasi Pembelajaran Seni Rupa


Evaluasi pembelajaran dilakukan guna mengetahui
sejauhmana perubahan perilaku siswa telah terjadi, dengan
kata lain evaluasi pembelajaran dilakukan dalam rangka
mengetahui ketercapaian tujuan yang telah direncanakan.
Evaluasi pembelajaran seni rupa di sekolah menjadi hal yang
sangat unik dan pelik, oleh karena dalam proses
pembelajaran seni rupa, siswa tidak hanya terlibat dalam hal-
hal yang sifatnya kognitif, akan tetapi juga apresiatif dan
kreatif. Oleh karena itu evaluasi pembelajaran seni rupa
sesungguhnya tidak tepat jika hanya mengukur (measurement),
atau menaksir (assessment) pada aspek keterampilan (praktik).

54
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

Dengan demikian, kerepresentatifan evaluasi pembelajaran


seni rupa atas kompetensi siswa hendaknya memperhatikan
komprehensivitas materi yang diajarkan, yakni yang
berkaitan dengan pengetahuan (kognitif), apresiatif (afektif),
dan kreatif (psikomotor). Ketiga hal inilah akhirnya yang
dijadikan objek sasaran evaluasi hasil pembelajaran seni rupa.
Walaupun seringkali dinyatakan dalam kurikulum
bahwa mata pelajaran seni bertolak dari praktik sementara
teori lebur di dalamnya, hal ini tidak menutup kemungkinan
pengukuran/penaksiran terhadap aspek-aspek pengetahuan
kesenirupaan. Pengetahuan seni rupa tetap perlu diajarkan
dan dievaluasi. Kemampuan mengenal dan memahami
berbagai jenis, media, dan sejarah seni rupa yang relevan
dengan tuntutan kurikulum dapat dijadikan tolok ukur
evaluasi. Alat yang dapat dipakai adalah berbagai bentuk tes.
Tes benar-salah, isian, jawaban singkat, penjodohan, pilihan
ganda, atau esai dapat dijadikan alternatif alat pengukuran.
Respons siswa terhadap karya seni rupa juga
merupakan objek sasaran evaluasi yang amat penting dalam
pembelajaran seni rupa. Respons siswa yang diperoleh
melalui pengamatan, penghayatan, penilaian, dan
penghargaan terhadap karya seni rupa ini lazim disebut
sebagai proses evaluasi. Evaluasi yang dilakukan adalah
sejauhmana siswa mampu mengamati, menghayati, menilai,
dan menghargai karya seni rupa yang dihasilkan terutama
oleh orang lain. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan stimulus pada siswa berupa karya seni rupa
(gambar, lukisan, patung, atau karya seni rupa lainnya).
Bentuk stimulus itu antara lain dapat dilakukan dengan
penyajian karya langsung atau tidak langsung (foto, slide,

55
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

video, atau lainnya) di dalam kelas. Stimulus dapat juga


dilakukan dengan pengaturan siswa mengamati karya seni di
luar kelas, misalnya melalui kunjungan pameran, galeri,
studio atau museum seni. Alat yang digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa dalam berapresiasi ini adalah
pedoman observasi, atau dapat juga dikembangkan skala
penilaian (misalnya skala Likert atau Semantic Differential), atau
pembuatan karangan singkat.
Proses kreatif atau produktif berkenaan dengan aspek
keterampilan atau proses berkarya seni rupa. Berkenaan
dengan itu, perilaku siswa pada waktu memproduksi karya
seni dan hasil karyanya dapat dijadikan sebagai fokus atau
objek amatan dalam evaluasi. Dengan demikian dalam
proses produktif ini ada dua hal yang perlu dievaluasi, yakni
aspek proses dan hasil. Semakin rendah jenjang pendidikan
semakin mementingkan aspek proses, dan sebaliknya,
semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mementingkan
aspek hasil. Pada aspek proses hal yang dapat dijadikan
indikator pertimbangan evaluasi adalah kepuasan dan
kesungguhan. Kepuasan merupakan tahapan psikologis yang
optimal dari proses berkarya seni. Semakin tinggi kepuasan
tercapai maka pendidikan seni rupa sebagai pendidikan
ekspresif dan rekreatif semakin memenuhi fungsinya.
Kepuasan ini dapat dilihat dari raut muka, dan sikap
(tindakan) ketika siswa berkarya. Sementara kesungguhan
dapat diukur melalui intensitas pemanfaatan media dan
waktu yang digunakan.
Pada aspek hasil, dalam hal ini berupa karya seni
siswa, maka pertimbangan-pertimbangan evaluasi karya seni
secara umum dapat digunakan, antara lain struktur visual,

56
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

gagasan dan kreativitas. Karya seni yang dihasilkan oleh


siswa dalam bentuk yang paling sederhana pun dapat
dianalisis struktur visualnya. Artinya bagaimana siswa
mampu memanfaatkan unsur-unsur atau bahasa visual dan
mengorganisasikannya ke dalam bentuk karya seni yang
harmonis. Dalam struktur visual ini juga perlu
dipertimbangkan keunikan dari karya yang ditampilkan,
misalnya perspektif dalam gambar alam benda, dan
konstruksi dalam patung. Pertimbangan gagasan berkenaan
dengan penerjemahan tema yang muncul dalam subjek karya
siswa, relevan atau tidak. Di samping itu apakah gagasan
yang tampil dalam karya siswa itu berciri kreatif atau tidak.
Kreativitas dalam karya ini dapat dilihat dari kelancaran
dalam mengemukakan gagasan, memunculkan kebaruan atau
orisinalitas.
Untuk kepentingan evaluasi aspek produktif ini (lihat
Chapman, 1978) guru dapat memanfaatkan dokumen atau
catatan berupa portofolio karya dua dimensi, foto karya tiga
dimensi, catatan harian, kaset rekaman, film atau video,
format game like, pedoman observasi dan wawancara, catatan
kejadian, checklist, catatan ringkas, dan tes kertas dan pensil
(paper and pencil test). Dalam pedoman penilaian KTSP (Tim
Pustaka Yustisia, 2007) disebut berbagai teknik penilaian
yang dapat digunakan untuk menilai aspek produktif antara
lain penilaian unjuk kerja, produk, proyek, dan juga
portofolio.
Berkenaan dengan strategi yang digunakan untuk
mengukur seni rupa karya siswa adalah dengan cara yang
lazim disebut dengan teknik sortir, atau global. Langkah
yang dilakukan adalah dengan mengatur karya siswa tersebut

57
Komponen Pembelajaran Seni Rupa

sedemikian rupa sehingga terjadi peringkat dari yang paling


bagus sampai dengan yang paling jelek (lihat Lancaster,
1990). Penentuan peringkat ini selanjutnya dapat diubah ke
dalam skala penilaian (0 – 10, 0 – 100, atau A – E, dengan
deskripsi, atau simbol lainnya).
Cara lain adalah dengan merinci struktur aspek hasil
atau proses berkarya seni siswa. Sebagaimana yang telah
dikemukakan di depan, bahwa hasil karya seni rupa siswa
dapat dilihat dari struktur visual, gagasan, dan kreativitas.
Alat yang digunakan adalah pedoman pengamatan atau check
list. Guru perlu melakukan penaksiran dan memberi bobot
setiap komponen yang diukur, satu demi satu karya yang
dihasilkan siswa. Hasil penjumlahan sekor dan pembobotan
itu digunakan untuk menentukan nilai akhir siswa, berupa
angka, huruf, deskripsi, atau simbol lain.
Evaluasi sebagaimana yang diuraikan di atas adalah
berkenaan dengan hasil belajar siswa. Guru sesungguhnya
juga dapat melakukan evaluasi aspek-aspek lain, khususnya
yang berkenaan dengan proses pembelajaran yang dilakukan.
Banyak faktor yang menentukan dalam suatu proses
pembelajaran. Kondisi siswa, guru, fasilitas dan iklim
pembelajaran, dan seterusnya merupakan objek sasaran yang
dapat dijadikan evaluasi. Kegiatan ini lazim disebut sebagai
evaluasi program yang dilawankan dengan evaluasi prestasi
atau pencapaian hasil belajar.

58
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

BAB III
SENI RUPA SEBAGAI DISIPLIN ILMU

A. Seni rupa dan Cabang-cabangnya


Manusia sebagai makhluk yang mengenal keindahan (animal
aestheticum) senantiasa tidak terlepas dari dunia seni. Di mana
ada manusia di situlah ada karya seni. Dunia seni senantiasa
mengikuti dunia manusia, baik dalam keadaan sempit maupu
lapang, keadaan suka maupun duka. Oleh karena itu seni
tidak mengenal waktu dan suasana. Seni juga hadir dalam
berbagai strata dan usia manusia, miskin atau kaya, anak-
anak sampai orang tua.
Seni senantiasa berkaitan dengan dunia keindahan.
Sesuatu yang dapat mendatangkan kesenangan, kenyamanan,
dan kepuasan bagi seseorang. Oleh karena itu keindahan
dalam seni sering ditangkap secara subjektif oleh seseorang.
Namun demkian, dalam kerangka normatif terdapat acuan-
acuan guna menentukan indah atau tidaknya suatu karya
seni. Dengan demikian, dapat ditegaskan seni adalah
aktivitas manusia yang mendatangkan keindahan.
Banyak media yang digunakan oleh manusia dalam
beraktivitas seni. Berdasarkan medianya ini seni dapat

59
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

diklasifikasi ke dalam seni rupa, seni tari, seni musik, seni


drama, dan seni sastra. Seni rupa adalah jenis seni yang
menggunakan media atau unsur-unsur rupa (visual), unsur-
unsur yang dapat diindera oleh mata. Seni tari unsur
utamanya adalah gerak, seni musik unsur utamanya adalah
suara, seni drama unsur atau pesan utamanya adalah ceritera,
sedangkan seni sastra unsur utamanya adalah kata-kata.
Semua unsur atau media dalam masing-masing seni itu harus
ditata atau diatur dengan prinsip-prinsip tertentu yang
dikenal dengan prinsip seni agar karya yang dihasilkan secara
normatif indah.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa seni
rupa adalah salah satu cabang seni yang memanfaatkan unsur
rupa. Dengan kata lain seni rupa adalah karya seni yang ada
rupanya, dapat diindera dengan mata. Pada batas-batas
tertentu karya seni rupa juga dapat dinikmati dengan
perabaan, misalnya dalam seni patung. Sebagai cabang seni,
seni rupa lebih berorientasi pada produk, benda atau barang
oleh karena itu keunggulan karya seni rupa adalah dapat
dinikamti dalam waktu yang lama dan berulang, tidak
sebagaimana dalam seni tari dan musik. Karya-karya seni
rupa yang telah lama terjadi, zaman prasejarah sekalipun,
masih dapat dinikmati sampai saat ini.
Berbagai jenis karya seni rupa sering diklasifikasi
berdasarkan dimensi atau matra, fungsi atau pemanfaatan,
dan corak atau aliran. Berdasarkan dimensi atau matranya
seni rupa dapat diklasifikasi ke dalam seni rupa dua dimensi
(dwi matra) dan tiga dimensi (tri matra). Berdasarkan
fungsinya seni rupa dibedakan atas seni rupa murni (fine art),
dan seni rupa terapan (applied art). Berdasarkan corak atau

60
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

aliran lazim dibedakan atas seni rupa tradisional atau


modern, representatif atau non representatif.
Karya seni rupa dua dimensi adalah jenis karya seni
rupa yang penampilannya hanya memerlukan dua ukuran
(matra), yakni panjang dan lebar. Oleh karena itu dalam karya
seni rupa dua dimensi hanya mengenal luas permukaan.
Contoh yang paling konkit karya seni rupa dua dimensi
adalah seni gambar dan lukis. Dengan hanya memerlukan
ukuran panjang dan lebar (tidak hanya bidang persegi atau
persegi panjang, dapat juga segi tiga, lingkaran atau lainnya)
karya seni rupa dua dimensi hanya mungkin dapat dinikamti
dari satu arah, yakni depan. Berkaitan dengan itu, dalam
karya seni rupa dua dimensi ini di samping pertimbangan
ukuran juga pertimbangan penikmatan. Karya-karya seni
rupa yang hanya dapat dinikmati dari satu arah saja
walaupun memiliki ketebalan, misalnya dalam seni relief atau
kolase, dapat diklasifikasikan ke dalam seni rupa dua
dimensi.
Karya seni rupa tiga dimensi di lain pihak adalah jenis
karya seni rupa yang ditentukan oleh tiga ukuran, yakni
panjang, lebar, dan ketebalan. Karya seni rupa tiga dimensi
ini memiliki massa, volum, atau meruang. Oleh karena itu
karya seni rupa tiga dimensi memungkinkan dinikmati dari
berbagai arah. Contoh karya seni rupa tiga dimensi adalah
patung. Seni patung adalah jenis karya seni rupa yang dapat
dinikmati dari depan, samping, atau dari belakang. Bahkan
dalam keadaan tertentu seni patung dapat dinikmati dari
bawah, misalnya seni patung yang penempatannya dengan
cara digantung. Dalam batas-batas tertentu, seni patung ada
juga yang hanya cocok atau tepat dinikmati dari depan saja,

61
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

oleh karena itu patung ini sering disebut sebagai patung


frontal, misalnya patung-patung pada percandian.
Seni rupa murni adalah klasifikasi yang menunjuk
pada pemanfaatan karya yang semata-mata hanya untuk
kepentingan hiasan saja. Dengan kata lain jenis karya seni
rupa murni diciptakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan
estetis semata. Seni lukis dan patung digolongkan ke dalam
seni rupa murni. Sementara itu jenis karya seni rupa yang
diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan estetis
akan tetapi juga kebutuhan praktis tergolong seni rupa pakai
atau terapan (applied art). Contoh yang tergolong seni rupa
terapan ini adalah seni reklame dan ilustrasi. Sering kali
terjadi kesulitan untuk menetapkan apakah suatu karya itu
tergolong seni rupa murni atau terapan. Misalnya seni patung
tidak mesti tergolong seni murni, demikian juga seni
kerajinan tidak mesti dapat dikategorikan ke dalam seni rupa
terapan. Karya seni patung yang dimanfaatkan sebagai hiasan
rumah tergolong seni rupa murni, akan tetapi jika pada
patung itu dilekati fungsi lain, misalnya sebagai tiang
bangunan, maka patung itu tergolong seni rupa terapan. Seni
batik yang dimanfaatkan untuk pakaian tergolong seni rupa
terapan, akan tetapi jika batik itu dimanfaatkan untuk hiasan
(misalnya pada lukisan batik) maka akan tergolong seni rupa
murni. Dengan demikian klasifikasi ini perlu ditilik dulu
hubungannya dengan kebutuhan manusia.
Penampilan visual suatu karya seni rupa juga dapat
menjadi bahan untuk identiikasi. Penampilan visual karya
seni rupa lazim disebut sebagai corak. Corak dapat
menunjuk pada karakteristik karya secara individu atau
kelompok atau juga masa. Corak yang berkembang pada

62
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

kelompok atau masa dikenal dengan istilah aliran. Jika


seseorang mengamati lukisan Affandi, maka akan terdapat
ciri-ciri khusus yang melekat pada karya Affandi itu.
Demikian juga hasil pengamatan itu dibandingkan dengan
pengamatan atas lukisan beberapa pelukis semasa Affandi
maka akan diperoleh juga kecenderungan karya-karya itu.
Corak, aliran atau gaya dapat ditentukan dari tema atau
teknik berkarya.
Secara sederhana corak karya seni rupa dapat
diklasifikasi ke dalam seni rupa tradisional dan modern.
Karya seni rupa tradisional menunjuk pada karya seni rupa
yang berkembang pada masyarakat secara turun temurun,
dari generasi ke generasi. Karya seni rupa ini umumya relatif
tetap dalam tema maupun teknik oleh karenanya sering
disebut seni rupa konvensional, kaya akan ornamentik dan
bersifat dekoratif. Seni kerajinan berkecenderungan sebagai
seni rupa tradisional. Karya seni rupa modern di lain pihak
adalah jenis karya seni rupa yang senantiasa mencari
peluang-peluang perubahan untuk senantiasa menciptakan
hal-hal baru. Oleh karena itu unsur kreativitas, orisinalitas
senantiasa melekat pada karya seni rupa modern yang
disebut juga seni rupa non konvensional. Pengulangan tema
atau isi karya, terutama, tidak terjadi sebagaimana dalam seni
rupa tradisional.
Berdasarkan tema, isi, atau objek-objek yang
ditampilkan dalam karya seni rupa dapat dipilah menjadi
dua, yakni karya seni rupa representatif dan non
representatif. Karya seni rupa representatif artinya tema, isi,
objek-objek sebagai perwujudan visual menghadirkan
kembali suasana alam. Sementara karya seni rupa non

63
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

representatif adalah jika perwujudan visual tidak sama sekali


menghadirkan suasana alam, misalnya pada karya seni rupa
abstrak. Upaya merepresentasikan suasana atau objek alam
ini dapat benar-benar atau mendekati, menjauhi, atau
menyimpang dari alam. Dalam seni lukis khususnya, upaya
representasi alam ini dikenal berbagai gaya atau aliran,
misalnya realisme, naturalisme, impresionisme,
ekspresionisme, kubisme, dan surealisme.
Sebagai fenomena atau budaya visual seni rupa senantaiasa
berkembang. Oleh karena itu keragaman jenis yang ada di
dalamya juga berkembang sesuai dengan masanya. Bisa jadi
jenis atau cabang seni rupa tak dapat dihitung sebagai
konsekuensi dari pemaknaan seni rupa dalam konteks
budaya visual itu. Namun demikian guna memberikan
gambaran berbagai cabang yang ada berikut ini dikemukakan
yang secara lazim digunakan untuk mengklasikasi ragam seni
rupa yang dimaksud (Faulkner, 1960; Glibert, 1992; Sahman,
1993).

1. Seni Gambar
Seni gambar tampaknya merupakan karya seni rupa yang
paling instant, artinya paling mudah dan cepat untuk
dihasilkan. Gambar dapat dihasilkan dengan goresan-
goresan yang membekas pada suatu permukaan, misalnya
pensil pada kertas atau benda-benda tajam untuk dinding-
dinding gua pada masa lampau. Gambar dapat dihasilkan
dengan alat-alat yang relatif sederhana. Oleh karenanya dapat
diduga seni gambar inilah yang paling awal kemunculannya

64
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

di bidang kesenirupaan, maka tepat disebut sebagai induk


seni rupa (mother of art).
Dengan gambar, seseorang dapat merekam suatu
peristiwa atau semata-mata untuk kebutuhan berekspresi.
Suatu peristiwa atau keadaan tertentu dapat ditransfer ke
dalam gambar, misalnya keramaian pasar, kesibukan di
terminal atau aktivitas permainan anak. Bentuk meja, kursi,
gelas, botol, orang atau binatang dapat juga dituangkan
menjadi objek gambar. Melalui gambar sebagai rekaman
peristiwa atau keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai upaya
dokumentasi yang bermanfaat di masa mendatang. Melalui
gambar seseorang juga dapat menyalurkan ekspresi atau
ungkapan perasaan/emosinya. Boleh jadi, gambar sebagai
ekspresi ini tidak representatif sebagaimana gambar sebagai
rekaman peristiwa. Gambar sebagai ekpresi dapat tampil
secara lebih bebas sesuai dengan ungkapan perasaan
penggambarnya.
Gambar tergolong jenis karya seni rupa dua dimensi,
artinya hanya memiliki permukaan yang ditentukan oleh
ukuran panjang dan lebar. Oleh karena itu gambar dapat
dituangkan pada bahan-bahan yang berkarakter memiliki
permukaan, baik permukaan datar, cekung maupun timbul.
Kertas adalah bahan yang paling lazim digunakan. Berbagai
macam kertas dapat dimanfaatkan untuk menggambar.
Berbagai macam bahan gambar terutama kertas perlu
disesuaikan dengan penggunaan bahan atau media yang
dapat menghasilkan goresan-goresan. Bahan atau media itu
antara lain pensil, arang, konte, krayon, pastel dan kapur.
Berbagai macam pena dan tinta juga sering digunakan

65
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

sebagai media gambar. Oleh karena itu sering dibedakan


dalam menggambar itu penggunaan media kering dan media
basah. Pensil, krayon dan sejenisnya disebut sebagai media
kering, sementara penggunaan tinta tergolong media basah.

2. Seni Lukis
Sebagaimana dalam seni gambar, seni lukis juga tergolong ke
dalam karya seni rupa dua dimensi. Artinya karya seni lukis
senantiasa ditentukan ukuran panjang dan lebar, dengan kata
lain mengisi luas permukaan. Jika dalam gambar yang
dipentingkan adalah unsur garis, dalam seni lukis adalah
unsur warna, oleh karena itu sering disebut sebagai gambar
berwarna.
Penggunaan istilah gambar dan lukis dalam bahasa
sehari-hari sering disamaartikan atau dipertukarkan.
Seseorang yang pekerjaannya melukis sering disebut sebagai
tukang gambar, anak yang pandai melukis disebut pintar
menggambar. Perbedaan istilah gambar dan lukisan lebih
pada tataran teoretis yang disandarkan pada perbedaan
teknis. Gambar (drawing) menekankan unsur garis dan
lukisan (painting) menekankan unsur warna atau cat. Unsur
garis dalam seni lukis lebih disebabkan oleh kesan-kesan
yang melingkupi objek atau batas-batas di antara warna yang
digunakan.
Seni lukis ini pun telah berkembang sejak zaman
prasejarah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di gua-gua
prasejarah sering terdapat gambar berwarna. Di Indonesia,
gua Leang-leang di Sulawesi Selatan dapat dijadikan contoh

66
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

bukti. Pada gua itu dilukiskan seekor binatang babi yang


meloncat terkena panah dan beberapa cap-cap tangan
berwarna.
Dengan unsur warna yang merupakan faktor
penting, maka persoalannya adalah bagaimana seseorang
dapat mengekspresikan gagasan itu pada suatu permukaan.
Dalam seni lukis permukaan yang akan dilukis disebur
kanvas. Secara khusus kanvas adalah kain yang direntang
untuk seni lukis dengan bahan pewarna cat minyak. Melalui
berbagai eksperimentasi dan eksplorasi diperoleh juga
berbagai kemungkinan pemanfaatan kanvas, misalnya
dengan karung goni, bagor, tripleks, plastik, atau lainnya.
Melukis juga dapat menggunakan kanvas karton (canvas
board), atau kertas biasa. Sementara pewarna berdasarkan
karakter bahan itu umumnya dibagi atas cat air, minyak, dan
akrilik. Cat air adalah bahan pewarna yang bahan pencairnya
air dan jika kering dapat luntur terkena air. Hasil lukisannya
disebut lukisan cat air. Cat minyak adalah bahan pewarna
yang bahan pencairnya minyak cat. Hasil lukisannya disebut
lukisan cat minyak. Sementara cat akrilik adalah bahan
pewarna yang bahan pencairnya air namun jika kering tidak
lagi luntur terkena air. Hasil lukisannya disebut lukisan cat
akrilik.
Di samping penggunaan ketiga jenis cat itu, seringkali
pelukis menggunakan berbagai bahan pewarna atau bahan
lain dalam lukisan itu. Lukisan yang menggunakan campuran
berbagai bahan pewarna ini disebut dengan lukisan mix
media. Sementara itu di samping berbagai bahan cat yang
penting dalam seni lukis adalah alat yang digunakan untuk
melumurkan atau menuangkan cat atau pewarna pada bidang

67
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

kanvas. Alat yang lazim digunakan adalah kuas.


Sesungguhnya tidak hanya kuas, karena prinsipnya dalam
seni lukis adalah bagaimana cat tu dapat terlumur pada
bidang permukaan. Oleh karena itu boleh juga pelukis
menggunakan jari sebagai alatnya, mulut untuk
menyemburkan cat, atau dengan sekujur badan yang
dilumuri cat kemudian ia bergulung-gulung di atas
permukaan kanvas.
Lukisan dapat dimanfaatkan dalam berbagai
kepentingan. Pada masa prasejarah lukisan difungsikan
untuk kepentingan magis (penolak bala, lambang kesuburan
atau lainnya). Dalam bidang agama lukisan juga dapat
dimanfaatkan untuk religi, misalnya lukisan pada zaman
kejayaan gereja-gereja di Eropa, atau lukisan-lukisan
tradisional di beberapa pura di Bali. Lukisan juga dapat
digunakan untuk kepentingan politis, misalnya ketika masa
penjajahan di Indonesia untuk menentang dan mengkritik
penjajah. Di samping berbagai pemanfaatan di atas, saat ini,
yang paling menonjol adalah pemanfaatan lukisan sebagai
hiasan. Artinya lukisan yang digunakan untuk kepentingan
estetis semata.
Berdasarkan objek yang digambar dapat dikenali
antara lain (1) lukisan pemandangan (landscape), dengan
menampilkan keindahan objek seperti gunung, tumbuhan,
persawahan, laut, dan unsur-unsur lainnya, (2) lukisan alam
benda (still life) menampilkan objek benda-benda mati,
misalnya buah-buahan, bunga dan unsur-unsur
pelengkapnya, (3) lukisan potret menampilkan tokoh dengan
menekankan pada bagian wajah, (4) lukisan yang
menampilkan kehidupan manusia, binatang, dan lingkungan

68
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

hidup yang melingkupinya, dan (5) lukisan abstrak yang


menampilkan objek yang tidak dijumpai atau dikenali di alam
ini. Lukisan abstrak ini dapat berupa susunan berbagai
bidang atau raut berwarna, bertekstur atau lainnya, tanpa
mempertimbangkan objek yang senyatanya ada.

3. Seni Patung
Tidak sebagaimana dalam seni gambar dan seni lukis yang
dua dimensi, seni patung adalah jenis karya seni rupa tiga
dimensi. Artinya yang dapat dikatakan sebagai patung adalah
yang memilki persyaratan ukuran panjang, lebar dan tinggi.
Patung memiliki massa, volum atau ruang, dan ruang inilah
yang merupakan unsur paling penting dalam seni patung.
Ruang yang dipersyaratkan dalam patung adalah ruang nyata
atau aktual, tidak sebagaimana dalam gambar dan lukis.
Dalam gambar dan lukis ruang mungkin muncul hanya
sebagai ilusi, khayal atau maya. Kesan dalam atau jauh dalam
gambar atau lukisan ditampilkan melalui gelap terang tarikan
garis atau sapuan warna. Akan tetapi dalam seni patung
kesan dalam, cekung, timbul, jauh atau dekat tampil secara
nyata.
Sebagaimana seni gambar dan lukis, seni patung juga
memiliki perjalanan sejarah yang panjang, artinya pada masa
prasejarah pun telah dikenal adanya karya patung, misalnya
patung nenek moyang. Pada masa sejarah, khususnya zaman
Hindu-Budha di Indonesia perkembangan seni patung
begitu pesat. Hampir di setiap candi terpahatkan patung.
Dalam kaitan dengan candi inilah patung disebut juga
dengan arca. Perkembangan patung dari zaman dahulu

69
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

sampai saat ini dapat senantiasa dinikmati oleh karena


patung memiliki ketahanan bahan, dengan kata lain bahan
yang digunakan tahan lama.
Penampilan suatu bentuk karya patung yang memiliki
massa atau volum dapat diwujudkan melalui berbagai teknik
dan bahan. Secara teknis berkarya patung dapat dibedakan
atas teknik modeling, pahat (carving), cor (casting), konstruksi
(constructing atau assembling). Masing-masing teknik ini
diuraikan sebagai berikut.
Teknik modeling lazim disebut juga dengan teknik
membutsir, membentuk atau menguli. Teknik ini
mempersyaratkan penggunaan bahan yang lembek, lentur
ketika proses pembentukan. Bahan-bahan ini antara lain
adalah semen. Tanah liat juga dapat digunakan sebagai bahan
patung hanya kelemahannya tidak tahan lama atau mudah
pecah. Untuk menanggulanginya maka patung tanah liat ini
perlu dibakar, yang disebut dengan patung terracotta. Ketika
proses pembentukan perlu didukung dengan berbagai alat,
antara lain cetok, butsir, sudip, atau lainnya. Yang penting
dalam teknik modeling ini memungkinkan pematung
melakukan prinsip penambahan (additive) dari bahan yang
digunakan.
Teknik pahat (carving) pada prinsipnya pematung
melakukan pengurangan bahan (substractive) yang digunakan.
Bahan yang lazim digunakan adalah batu dan kayu. Alat
utama yang digunakan adalah pahat, oleh karena itu orang
awam seringkali memadankan seni patung dengan seni
pahat.

70
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Teknik cor (casting) adalah cara mematung yang


menggunakan bahan cair ketika proses akan tetapi dapat
beku dalam waktu tertentu. Bahan logam perunggu sering
menjadi pilihan teknik caor ini. Di samping itu, bahan-bahan
seperti gips, fiberglass, plastik, atau tanah liat juga dapat
dibuat patung dengan teknik cor. Yang perlu dipersiapkan
dalam mematung dengan teknik cor ini adalah alat cetak.
Alat cetak dapat dibuat secara permanen artinya dapat
digunakan secara berulang atau alat cetak yang hanya
digunakan sekali saja (cetak hilang).
Sementara teknik konstruksi adalah cara pembuatan
patung dengan menyusun, mengkonstruksi atau membangun
komponen-komponen bahan yang ada. Komponen bahan
itu bisa kayu, besi, bambu, atau lainnya. Konstruksi dengan
menggunakan bahan yang ada di lingkungan untuk dirakit
secara khusus disebut juga dengan teknik assembling. Upaya
perakitan baik pada patung konstruksi maupun assembling
sudah barang tentu memerlukan perekat, lem, las, mur, baut,
paku atau lainnya. Dalam perkembangannya penggunaan
teknik konstruksi dalam patung ini memunculkan gagasan
seni patung yang dapat bergerak atau bersifat mobile design.
Patung yang bergerak ini lebih dikenal dengan kinetic art yang
dipopulerkan oleh Alexander Calder.
Sebagaimana dalam seni lukis, seni patung juga dapat
memiliki berbagai fungsi. Patung dapat digunakan sebagai
elemen hiasan atau dekorasi, dapat juga dimanfaatkan untuk
kepentingan magis dan religi sebagaimana masa lampau.
Patung juga dapat digunakan untuk sarana peringatan
peristiwa yang disebut sebagai patung monumen.

71
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Berdasarkan penampilan bentuknya, patung dapat


dibedakan atas patung lepas (freesatnding sculpture) dan patung
relief. Patung lepas ini memungkinkan pengamat untuk
melihat dari berbagai arah termasuk dari belakang, sementara
patung relief hanya memungkinkan pengamat untuk
menikmati dari depan saja.

4. Seni Grafis
Seni grafis berkaitan dengan teknik cetak mencetak. Seni
grafis ini juga tergolong seni rupa dua dimensi sebagaimana
lukis dan gambar. Kelebihan seni grafis ini dibanding seni
lukis atau gambar adalah memungkinkannya dibuat karya
berulang, dengan kata lain memungkinkan dilakukan proses
reproduksi, seperti ketika dilakukan cap atau sidik jari dan
stempel. Jika lukisan-lukisan di gua prasejarah itu dibuat
dengan mengecapkan telapak tangan yang diberi warna, atau
menaburkan warna pada sela-sela jari jemari tangan boleh
jadi secara teknis seni grafis diawali pada zaman prasejarah
itu.
Secara garis besar teknik seni grafis itu dibedakan atas
cetak tinggi, dalam, datar dan saring. Pembedaan ini
bertolak dari posisi tinta cetak pada alat atau acuan cetak.
Disebut cetak tinggi manakala acuan cetak yang terkena tinta
adalah bagian yang tinggi. Secara khusus teknik ini disebut
dengan relief printing. Proses sederhana teknik cetak tinggi ini
adalah sebagaimana dalam cap jari atau cap stempel. Teknik
relief lazim digunakan oleh seniman grafis dengan
menggunakan cukil kayu (woodcut), dan ukir kayu
(woodengraving). Bahan-bahan yang digunakan sebagai acuan

72
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

cetak iti adalah yang dapat dicukil atau ditoreh secara


mudah.
Cetak dalam secara teknis merupakan kebalikan dari
cetak tinggi. Disebut cetak dalam jika yang terkena tinta
cetak adalah bagian yang dalam atau cekung dari acuan
cetak. Istilah yang sering digunakan untuk cetak dalam ini
adalah intaglio. Pada dasarnya teknik ini memanfaatkan acuan
cetak pada lembaran seng atau tembaga, dengan teknik
tertentu lembaran seng atau tembaga itu dapat tergores, tinta
mengisi bagian yang tergores dan selanjutnya kertas atau
bahan yang dicetak dilekatkan pada acuan cetak. Dari proses
pembuatan goresan pada lembaran seng atau tembaga ini
dikenal berbagai macam teknik yang termasuk dalam
kategori intaglio itu.
Cetak datar adalah proses cetak yang menggunakan
acuan cetak bidang datar artinya tidak ada bagian yang
dicekungkan atau ditinggikan. Bagian yang terkena tinta
cetak adalah bagian acuan cetak yang datar itu. Oleh karena
pada awalnya penggunaan cetak datar ini menggunakan batu
(litho), maka teknik ini disebut lithography. Industri percetakan
buku, koran, atau barang-barang cetak lain dicetak secara
mekanis versi litography yang lazim disebut cetak offset
lithography.
Jika tinta cetak memasuki acuan cetak yang
berlobang, maka teknik ini disebut sebagai teknik cetak
saring (screen printing). Proses stensil tergolong ke dalam
teknik cetak saring ini. Yang paling berkembang teknik cetak
saring ini adalah apa yang disebut dengan teknik sablon.
Teknik sablon menggunakan acuan cetak berupa kain nilon

73
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

dengan melalui suatu proses pemberian obat/bahan dan


penyinaran, bagian yang terkena sinar akan tetap tertutup
obat, sementara yang tidak terkena sinar akan berlobang.
Pada bagian kain yang berlobang inilah dapat dimasukkan
tinta untuk proses cetak.
Di samping keempat teknik yang utama tersebut di
atas terdapat satu teknik lagi, yang menurut Gilbert (1992)
digolongkan ke dalam teknik spesial atau khusus. Teknik
yang dimaksud adalah monoprint. Teknik mono ini tidak dapat
menghailkan karya yang banyak, atau reproduksi, akan tetapi
hanya menghasilkan satu karya atau tunggal. Teknik mono
ini dapat dibuat dengan acuan cetak lembaran kaca, plastik
atau logam dengan lumuran tinta di atasnya kemudian
kertas atau bahan yang dicetak diterakan di atasnya. Sekarang
ini juga berkembang teknologi cetak mencetak seperti dalam
penggunaan mesin fotokopi, dan print komputer. Semua ini
dapat digolongkan ke dalam teknik spesial.

5. Desain Grafis
Desain grafis lazim disebut juga desain komunikasi. Oleh
karena desain komunikasi ini menekankan pada aspek rupa
atau visual maka karya seni ini saat ini lebih dikenali sebagai
desain komunikasi visual. Secara lebih khusus penggunaan
desain komunikasi visual dalam dunia perdagangan disebut
seni reklame, advertensi, atau iklan. Intinya pada desain
grafis atau desain komunikasi visual ini ingin menawarkan
suatu produk atau jasa kepada khalayak. Berkenaan dengan
fungsi ini desain komunikasi visual atau seni reklame
tergolong ke dalam seni rupa terapan. Mengenai dimensinya

74
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

desain komunikasi visual dapat tampil dalam bentuk dua


dimensi atau tiga dimensi. Poster dan spanduk tergolong dua
dimensi, sedangkan etalase dan kemasan tergolong tiga
dimensi. Berbagai jenis desain komunikasi visual itu antara
lain adalah sebagai berikut.
a) Poster adalah gambar yang berisi ajakan dengan cara
ditempel. Poster sering disebut juga plakat. Pada karya
poster dapat tampil dengan tulisan saja, gambar saja,
tetapi yang paling sering adalah adanya unsur gambar dan
tulisan. Oleh karena dengan cara ditempel, poster sering
menggunakan bahan kertas atau lembaran plastik.
b) Spanduk padanan katanya adalah kain rentang.
Umumnya dalam spanduk berisi tulisan-tulisan sebagai
unsur utamanya, yang berisi propaganda, penawaran,
atau ucapan-ucapan.
c) Papan reklame adalah jenis reklame yang biasanya dibuat
dari lembaran seng, papan atau bahan lain berisi gambar
atau tulisan yang sering dipasang di tepi-tepi jalan. Ditilik
dari ukurannya papan reklame ini berukuran besar.
d) Papan nama adalah jenis reklame yang digunakan untuk
mengenalkan identitas atau nama suatu lembaga atau unit
usaha. Misalnya papan nama kantor atau papan nama
toko.
e) Kemasan adalah jenis reklame yang melekat pada
pembungkus suatu produk, misalnya pembungkus obat,
makanan atau lainnya. Seringkali pada botol-botol
kemasan itu ditempel identitas atau informasi yang juga
berfungsi sebagai reklame yang disebut sebagai embalase.

75
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

f) Etalase adalah jenis reklame tiga dimensional yang


menawarkan suatu produk dengan pajangan. Barang atau
produk yang ditawarkan ditata sedemikian rupa sehingga
menarik orang sebagaimana yang dilakukan di toko-toko
atau stand pameran.
g) Logo adalah juga tergolong bentuk desain komunikasi
visual yang mnampilkan identitas suatu lembaga atau unit
usaha. Logo biasanya tampil secara simbolik dalam
bentuk huruf atau gambar yang telah digayakan.

6. Seni Kerajinan
Seni kerajinan sering dipisahkan dengan seni kriya. Kedua-
duanya menitikberatkan keterampilan tangan manusia
dengan ciri fisik karya menekankan pada kerumitan dan
kehalusan. Pemisahan antara seni kerajinan dan seni kriya
disebabkan adanya pandangan bahwa seni kerajinan adalah
produk yang berkembang pada masyarakat kebanyakan atau
rakyat dan diproduksi secara masal serta menitikberatkan
pada fungsi. Sementara seni kriya adalah produk yang
awalnya berkembang di lingkungan istana atau
diciptakan/digagas oleh para seniman dan tidak dibuat
secara masal serta menitikberatkan pada kepentingan estetis.
Namun demikian, pemisahan antara keduanya saat ini sulit
dilakukan, oleh karena secara fisik dan teknis seni kerajinan
dan kriya sama.
Seni kerajinan sangat berkembang di masyarakat, oleh
karena seni kerajinan sering dimanfaatkan untuk
kepentingan praktis sehari-hari, cinderamata, dan juga

76
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

hiasan, sehingga menjangkau sebagian besar kebutuhan


estetis manusia. Perkembangan seni kerajinan ini juga
disebabkan tersedianya bahan-bahan alami yang melimpah,
misalnya kayu, tanah liat, bambu, mendong, dan rotan.
Berdasarkan penggunaan bahan inilah seringkali digunakan
untuk menyebut nama jenis kerajinan, misalnya seni
kerajinan kayu atau seni kerajinan rotan.
Di samping berdasarkan bahan, jenis seni kerajinan
sering diklasifikasi berdasarkan dari segi teknik, dan ini yang
paling populer. Klasifikasi ini antara lain meliputi seni
kerajinan ukir, keramik, anyam, tenun dan batik. Secara
singkat lazim disebut seni ukir atau keramik tanpa
menambahkan kata kerajinan.
Seni ukir secara teknis adalah jenis kerajinan yang
menekankan pada pembuatan tinggi tinggi rendah atau
berlobang suatu ornamen pada permukaan bahan dengan
prinsip pengurangan. Bahan yang digunakan antara lain batu,
kayu, bambu, tulang, gading, dan kulit. Berdasarkan jenis
bahan inilah terkadang juga digunakan untuk menyebut
nama jenis kerajinan itu, misalnya seni ukir kayu atau seni
ukir kulit.
Seni keramik adalah jenis seni kerajinan yang
menekankan pada penggunaan bahan. Bahan utama
pembuatan seni keramik adalah tanah liat. Secara teknis seni
keramik dapat dinyatakan sebagai barang yang dibuat dari
bahan tanah liat kemudian dibakar. Tahapan teknis
pembuatan seni keramik ini meliputi pembentukan,
pengeringan, dan pembekaran. Tanah liat sebagai bahan
utama dibentuk sesuai dengan keinginan, dan setelah kering

77
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

kemudian dibakar. Berdasarkan suhu pembakaran inilah


seringkali dibedakan atas keramik bakaran rendah dan tinggi.
Gerabah untuk menyebut keramik bakaran rendah dan
porselen untuk menyebut keramik bakaran tinggi.
Seni anyam merupakan jenis kerajinan yang secara
teknis ditentukan oleh rangkaian atau jalinan bahan-bahan
yang digunakan dengan prinsip tumpang-tindih. Prinsip
tumpang-tindih atau susup menyusupnya bahan maka pada
seni anyam memerlukan bahan yang kecil, pipih dan sudah
barang tentu memanjang. Bahan yang sering dipakai adalah
bambu, rotan, daun mendong, dan pandan. Di samping
bahan-bahan yang diperoleh dari alam sebagaimana yang
disebut, seni anyam juga dapat memanfaatkan bahan-bahan
buatan misalnya plastik, benang, tali, atau kertas. Bertolak
dari prinsip anyam inilah muncul kerajinan sulam dan kristik.
Keduanya menerapkan prinsip tumpang tindih dengan
menggunakan bahan benang.
Seni tenun prinsipnya sama dengan seni anyam, oleh
karena pada seni ini juga terjadi dari susup menyusup atau
tumpang tindihnya bahan yang digunakan yakni benang atau
serat tumbuhan. Perbedaannya dengan seni anyam, seni
tenun bentuk fisiknya adalah berupa kain.
Sebagaimana dalam tenun, seni batik adalah
berkenaan dengan kain. Hasil fisik keduanya mungkin sama-
sama kain yang berhias dan berwarna. Hiasan dan warna
tenun dibuat ketika proses perakitan atau penjalinan bahan,
sementara pada seni batik hiasan dan warna itu dibuat
setelah kain terproses. Artinya batik diawali ketika kain
masih berwarna putih. Seni batik dalam menampilkan hiasan

78
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

yang berwarna menggunakan prinsip tutup celup, artinya


bagian-bagian yang diinginkan tidak terkena warna ditutup
dengan lilin atau malam batik dan selanjutnya dicelup pada
bahan pewarna. Langkah tutup celup ini dilakukan beberapa
kali sesuai dengan jumlah warna yang diinginkan.

7. Seni Instalasi dan Seni Multi Media Lainnya


Kelemahan yang ada dari beberapa jenis seni dan tantangan
penggunaan media serta teknologi mendorong pemikiran-
pemikiran perupa (seniman seni rupa) untuk memunculkan
alternatif seni baru. Seni lukis yang hanya dua dimensi
dianggap kurang memuaskan, karena tidak dapat dinikmati
dari berbagai arah. Seni patung yang sudah dapat dinikmati
dari berbagai arah dianggap masih belum lengkap karena
tidak dapat bergerak, dan sebagainya. Kelemahan-kelemahan
ini mengakibatkan keterlibatan penikmat menjadi terbatas.
Penikmat tidak dapat secara bebas menikmati karya,
penikmat tidak dapat sekaligus menjadi unsur seni itu.
Sesungguhnya upaya memberi kebebasan kepada penikmat
telah diawali dengan munculnya environmental art. Seni ini
dapat memberikan kesempatan kepada penikmat yang cukup
besar untuk memasuki dan menikmati, oleh karena seni ini
berupa display lingkungan luar dan secara aktual
mentransformasikan landscape secara alami. Penggunaan
berbagai media juga dalam berbagai cabang seni telah
dilakukan, misalnya pada lukisan dikenal dengan penggunaan
mix media. Perkembangan teknologi juga mempengaruhi
keragaman kemunculan jenis seni rupa misalnya film, slide,
dan teknologi komputer.

79
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Fenomena penggunaan berbagai media dalam


berkarya seni muncul apa yang disebut sebagai seni instalasi.
Seni instalasi ini tampaknya diilhami oleh seni lingkungan
(environmental art), dilihat dari kesamaan dalam hal memberi
keleluasaan pada penikmat untuk masuk dan terlibat dalam
karya itu. Dalam seni instalasi ada kecenderungan bertolak
dari kritik sosial dan lingkungan. Oleh karena itu dapat saja
perupa menata boneka-boneka, tembok atau lantai yang
dilobangi, atau sampah yang diletakkan berserak di lantai.
Fenomena ini sesungguhnya di Indonesia telah diawali pada
dekade yang sering disebut sebagai Gerakan Seni Rupa Baru.
Penciptaan karya instalasi yang memiliki
kecenderungan secara fisik atau visual saja akhirnya
berkembang juga karya seni yang menggabungkan berbagai
media. Tidak hanya fisik, rupa atau visual saja, akan tetapi
memasukkan musik, tari, sastra, atau lainnya. Karya multi
media ini disebut sebagai performance art. Dalam
penampilannya sering menggunakan latar seni instalasi.

B. Unsur-unsur dalam Seni Rupa


Bagi orang atau paham yang memandang sesuatu secara
total, menyeluruh atau holistik tidak tertarik kepada
pembahasan tentang unsur, oleh karena unsur adalah bagian
dari sesuatu yang membentuk kesatuan sistem. Bagi
kelompok ini lebih tertarik untuk melihat sesuatu secara total
perbentukan suatu karya enak dilihat atau tidak. Akan tetapi
bagi orang atau paham formalisme atau struktural akan
menyatakan enak tidaknya suatu karya seni rupa dinikmati
adalah adanya unsur-unsur yang membentuknya.

80
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Untuk kepentingan analisis atau kritik seni


pembahasan unsur dalam seni rupa atau lebih lazim disebut
sebagai unsur rupa, unsur visual atau unsur desain memang
perlu dilakukan. Beberapa sumber terkadang menyebut
unsur rupa secara berbeda, akan tetapi dapat ditarik
simpulan pada dasarnya unsur rupa itu adalah garis, raut,
warna, tekstur, ruang dan gelap terang. Berikut ini, dengan
mendasarkan berbagai sumber (Faulkner, dkk, 1960; Sidik
dan Prayitno, 1981; Sunaryo, 2000; Gilbert, 1992) masing-
masing akan dikemukakan lebih lanjut.

1. Garis
Garis dikatakan sebagai unsur yang paling elementer di
bidang seni rupa. Dengan hanya meletakkan posisi mata
pensil di atas kertas dan selanjutnya digerakkan, maka jejak
mata pensil itu akan menghasilkan garis. Oleh karenanya ada
yang menyatakan bahwa garis adalah dua buah titik atau jejak
titik-titik yang bersambungan atau berderet. Bertolak dari
pengertian garis yang unsur pembentuknya adalah titik maka
ada yang menyebut titik atau niktah (spot) adalh juga
merupakan unsur visual atau rupa.
Dalam karya seni gambar kemunculan garis ini dapat
dengan mudah ditangkap oleh mata, oleh karena garis dalam
gambar adalah bersifat aktual atau nyata. Seseorang dapat
melihat goresan-goresan pensil, pena, atau karyon. Pada
gambar ini munculnya garis dapat berupa kontur, artinya
garis yang melingkupi atau membatasi objek, dan garis yang
digunakan untuk fungsi lain, misalnya menampilkan gelap
terang (dalam gambar bentuk disebut arsir).

81
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Di dalam seni lukis atau patung mungkin saja tidak


ditemukan unsur garis secara aktual. Garis dalam lukis dan
patung mungkin saja bersifat maya atau kesan saja. Misalnya
garis yang ditimbulkan oleh pertemuan dua permukaan atau
bidang warna pada lukis, dan batas luar suatu bentuk pada
patung.
Garis secara fisik dapat dimunculkan dengan beragam
karakter, bergantung pada alat dan arah jejak garis itu. Garis
yang dihasilkan dengan pensil berbeda dengan garis yang
dihasilkan oleh kapur. Oleh karena itu garis dapat muncul
secara rapi atau bergerigi, berbintik-bintik dan sebagainya.
Arah jejak garis dapat menimbulkan garis lurus, lengkung,
zigzag, berposisi tegak, datar atau silang. Karakter garis juga
dapat disebabkan oleh orang yang membuatnya, oleh
karenanya bisa saja garis tampil secara lancar, spontan, atau
tersendat-sendat. Karakter garis ini dapat menimbulkan
kesan-kesan tertentu bagi penikmatnya.

2. Raut
Raut adalah tampang, potongan, atau bentuk suatu objek.
Raut dapat berbentuk dari unsur garis yang melingkup
dengan keluasan tertentu sehingga membentuk bidang. Raut
juga dapat berarti perwujudan atau perawakan dari suatu
objek, dalam hal ini raut berarti bangun. Dalam pengertian
yang lain raut sering dipahami atau dikenali sebagai bidang
atau bentuk. Jika bidang dipahami sebagai permukaan yang
memiliki luas, dan bentuk dianggap sebagai perawakan atau
perwujudan maka pengertian tersebut tidak menjadi salah.
Memang kondisi raut dapt pipih dan datar seperti bidang

82
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

akan tetapi dapat juga menggumpal atau bervolum (memiliki


massa).
Raut yang pipih dan datar atau bidang lazim
diterapkan dalam seni lukis dan gambar, sedangkan yang
menggumpal atau bervolum dalam seni patung atau karya-
karya tiga dimensi lainnya. Penampilan raut dapat berwujud
sebagai (1) raut geometris seperti segi tiga, persegi atau
lingkaran, (2) raut organis atau biomorfis, yakni raut yang
terbentuk dari lengkungan-lengkungan bebas, (3) raut
bersudut, yakni raut yang terbentuk dengan banyak sudut
dan berkontur garis zigzag, dan (4) raut tak berarturan
adalah jenis raut yang terbentuk secara kebetulan seperti
tumpahan atau semburan cat, sapuan kuas secara spontan
atau gumpalan tanah liat kering yang terbentuk secara
alamiah.
Perwujudan raut dalam gambar atau lukis seringkali
tidak dibatasi atau berkontur secara tegas. Penampilan raut
dalam gambar bisa jadi timbul dari kesan perbedaan gelap
terang, penampilan objek satu dengan objek lainnya. Dalam
seni lukis raut dapat dirasakan kesannya dari perbedaan
blok-blok warna atau objek-objek yang ditampilkan.
Raut pada seni patung dapat ditangkap dari bagian-
bagian yang membentuk patung itu secara keseluruhan.
Sebagai satu kesatuan, misalnya pada patung kepala, ada
bagian mata, hidung, pipi atau rambut. Masing-masing
bagian ini memiliki raut sendiri-sendiri.
Khusus pada karya seni rupa dua dimensi, khususnya
gambar atau lukis dikenal adanya raut positif dan negatif.
Raut positif adalah raut objek yang digambar atau dilukis,

83
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

sementara raut negatif adalah bagian atau ruang yang


ditempati raut. Dalam gambar siluet hal ini amat jelas. Objek
yang diblok warna hitam, misalnya, adalah raut positif
sementara latar belakangnya adalah raut negatif.

3. Warna
Warna merupakan unsur rupa yang memberikan nuansa bagi
terciptanya karya seni. Dengan warna dapat ditampilkan
karya seni rupa yang menarik dan menyenangkan. Contoh
konkrit saja karya foto atau tayangan televisi hitam putih
menjadi tidak menarik jika dibandingkan dengan karya foto
atau tayangan televisi berwarna.
Dengan warna seseorang dapat merasakan kualitas
dari suatu objek. Garis atau raut yang sama dapat memiliki
kualitas yang berbeda jika pada objek itu memiliki warna
yang berbeda. Garis lurus hitam akan berbeda kualitasnya
dengan tarikan garis merah, kuning atau biru. Demikian juga
raut persegi merah akan berbeda kualitasnya dengan raut
persegi kuning, putih atau biru. Dengan warna ini pulalah
tampaknya perupa terutama pelukis dapat menyajikan karya
dengan memanfaatkan unsur ini secara optimal dalam
merepresentasikan objek-objek alam atau sekedar
memadukan raut-taut berwarna itu sendiri.
Warna memang merupakan unsur utama dalam seni
lukis, namun demikian bukan berarti dalam karya lain tidak
memanfaatkan warna. Semua jenis karya seni rupa
memanfaatkan unsur warna. Patung juga memiliki unsur
warna yang ditimbulkan oleh karakter bahan atau sengaja

84
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

diberikannya warna pada bahan itu. Demikian juga seni-seni


yang lain.
Dalam bidang teknologi warna dikenal adanya warna
cahaya yang disebut warna aditif dan warna bahan yang
disebut substraktif. Warna cahaya adalah bersumber dari
benda yang memancarkan cahaya misalnya sinar lampu atau
tampilan monitor komputer dan televisi. Sedangkan warna
bahan disebut juga warna pigmen adalah bersumber atau
kualitas warna yang melekat pada benda, misalnya tanah,
batu, tumbuh-tumbuhan atau cat.
Melalui berbagai kajian dan eksperimen jenis warna
diklasifikasi ke dalam jenis warna primer, sekunder, dan
tersier. Warna primer adalah jenis warna yang tak diperoleh
dari percampuran warna lain, warna pokok, atau dengan kata
lain warna yang terbebas dari unsur warna-warna lain. Warna
skunder adalah pencampuran antara dua warna primer.
Sedangkan warna tersier adalah pencampuran antara ketiga
unsur warna primer. Dalam kajian warna pigmen atau bahan
ini yang tergolong warna primer adalah merah, kuning dan
biru. Dari pencampuran merah dan kuning akan
menghasilkan warna oranye atau jingga, pencampuran biru
dan kuning akan menghasilkan warna hijau, pencampuran
merah dan biru akan menghasilkan warna ungu. Warna
oranye, hijau, dan ungu inilah yang tergolong warna
sekunder. Coklat adalah salah satu contoh warna tersier oleh
karena dalam warna coklat itu terdapat unsur merah, kuning,
dan biru.
Putih dan hitam dalam kajian warna cahaya tidak
digolongkan ke dalam warna, oleh karena putih terjadi dari

85
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

kondisi yang terang sekali atau sebagai akibat persilangan


berbagai warna, dan hitam terjadi dari kondisi yang gelap
atau tidak adanya cahaya sama sekali. Namun dalam
penggunaan pigmen warna dapat dijumpai warna putih dan
hitam. Dengan tambahan warna putih dan hitam serta tiga
warna primer dapat dihasilkan berbagai warna untuk
kepentingan penciptaan karya seni rupa.
Melalui permainan warna dapat dihasilkan kesan
kualitas suatu karya. Warna hitam atau coklat tua memiliki
kualitas gelap, sementara putih, kuning, atau oranye memiliki
kesan terang. Hijau memiliki kesan berat daripada kuning
oleh karena itu dengan permainan karakter warna seseorang
dapat menampilkan gelap terang, keseimbangan, keselarasan
atau keserasian.

4. Tekstur
Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan. Oleh karena itu
tekstur bisa halus, licin, berkerut dan sebagainya. Tegasnya
tekstur tidak hanya untuk menyebut permukaan yang kasar
atau berkerut saja. Dalam karya seni rupa apakah yang dua
dimensi seperti lukisan atau tiga dimensi seperti patung,
tekstur juga merupakan unsur yang berperanan. Di berbagai
jenis karya seni rupa tekstur mengambil peran sebagai
penentu atau pembeda dari raut. Raut yang sama (persegi
atau bulat) akan berbeda kualitasnya jika yang satu licin dan
yang lainnya kasar, dan sebagainya.
Jika seseorang menikmati suatu karya seni hanya
dengan menggunakan mata akan mendapatkan kesan

86
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

mungkin objek itu memiliki sifat halus atau kasar yang


disebut sebagai tektur visual. Akan tetapi jika penikmatan
atas suatu karya tersebut menggunakan mata dan sekaligus
perabaan maka akan ditemukan tekstur taktil. Dalam tekstur
visual boleh jadi kesan yang ditangkap oleh mata itu kasar
akan tetapi sesungguhnya halus atau sebaliknya. Dalam
tekstur taktil di samping seseorang dapat menentukan halus
kasarnya permukaan juga dapat merasakan kualitas
permukaan antara kertas, kain, kaca, batu, dan sebagainya.
Berkaitan dengan tidak selamanya ada kesesuaian kualitas
bahan dengan yang ditangkap dengan rabaan dan mata,
maka seringkali dibedakan atas tekstur semu dan nyata. Pada
tekstur semu atau ilusi kesan yang diperoleh mata tidak sama
dengan kesan yang ditangkap perabaan. Tekstur nyata atau
aktual adalah kesan kualitas yang ditangkap oleh mata adalah
sama yang diperoleh perabaan.
Dalam seni gambar dan lukis seringkali menampilkan
tekstur semu ini. Gambar atau lukisan dengan objek kaca
akan tampak licin dan mengkilat, akan tetapi sesungguhnya
kertas atau kanvas yang digunakan itu tidak licin dan
mengkilat. Tekstur pohon atau batu yang ditampilkan dalam
lukis mungkin kasar, akan tetapi dalam permukaan kertas
atau kanvas yang sebenarnya tidak ditemukan sekasar
sebagaimana tangkapan mata. Dengan demikian dalam
gambar dan lukis seniman akan berusaha memanipulasi
tekstur melalui bahan untuk menampilkan objek. Namun
dalam berbagai hal, terutama seni lukis, mencoba juga
menampilkan karakter permukaan secara nyata, misalnya
dengan menempelkan lelehan plastik, kaca, serbuk gergajian

87
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

pada kanvas, dan sebagainya, sehingga kasar yang ditangkap


mata juga sama yang ditangkap perabaan.
Sementara dalam seni patung lebih tertarik pada
permukaan tekstur nyata. Tekstur patung dari kaca atau
fiberglass akan tampak licin dan mengkilat jika dilihat, kesan
yang sama akan diperoleh jika diraba. Patung batu yang
tampak kasar dan bergerigi akan dirasakan sama jika diraba.
Oleh karena itu dalam patung lebih tertarik untuk
memaksimalkan potensi tekstur yang melekat pada bahan.
Tekstur kayu akan berbeda dengan batu, kaca, logam, dan
sebagainya, dengan kondisi ini tekstur yang telah melekat
pada bahan dalam patung seringkali digunakan dalam
merealisasikan inspirasi atau gagasan.

5. Ruang
Unsur ruang tampaknya lebih berurusan dengan bangun
yang tiga dimensi. Dalam pengertian sehari-hari ruang
diartikan sebagai hal yang melingkupi sesuatu atau rongga
yang berbatas atau terlingkung oleh bidang, misalnya kamar
yang keberadaannya ditentukan oleh empat bidang dinding.
Dalam pengertian yang kedua ruang adalah rongga yang
tidak terbatas, tempat segala yang ada. Alam semesta adalah
termasuk pengertian yang kedua.
Ruang dalam bidang seni rupa adalah unsur yang
menunjukkan kesan keluasan, kedalaman, cekungan, jauh
atau dekat. Dua bidang yang sama jenis, misalnya lingkaran,
akan memberikan kesan yang berbeda jika ukuran kedua
lingkaran itu berbeda. Lingkaran besar akan memberikan

88
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

kesan luas dan lingkaran kecil akan memberikan kesan


sempit. Jika kedua lingkaran itu berimpit akan memberikan
kesan dekat, sebaliknya jika kedua lingkaran itu diatur
berjarak akan memberikan kesan ruang yang jauh.
Penggunaan unsur ruang secara nyata adalah dalam
karya seni patung. Dengan ciri yang tiga dimensi inilah
patung itu terbangun dari ruang-ruang. Luas atau sempit,
jauh atau dekat, cekung atau timbul, padat atau berongga,
ruang dalam patung tampil secara nyata. Tidak demikian
halnya dalam seni gambar dan lukis. Ruang dalam gambar
dan lukisan lebih bersifat ilusi atau maya. Luas atau sempit,
jauh atau dekat dalam gambar atau lukisan dicapai melalui
tipuan penggunaan garis dan warna. Objek yang tampaknya
jauh pada kertas atau kanvas akan sama saja posisi jaraknya
dengan mata pengamat. Cara-cara menampilkan ilusi ruang,
khususnya dalam menampilkan karya-karya yang
representatif adalah apa yang disebut sebagai perspektif atau
gambar perspektif. Dengan gambar perspektif ini ditemukan
cara-cara untuk menampilkan jauh dekatnya benda sesuai
dengan pengamatan mata, yang lazim disebut sebagai
perspektif garis. Sementara untuk menampilkan kesan jauh
dekat benda dengan pemanfaatan warna disebut dengan
perspektif warna. Kesan jauh dekat atau ruang dalam gambar
dapat juga ditimbulkan dengan gelap terang atau bayang-
bayang.

6. Gelap Terang
Gelap terang adalah berkaitan dengan cahaya, artinya bidang
gelap berarti tidak terkena cahaya, dan yang terang adalah

89
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

bidang yang terkena cahaya. Kualitas goresan pensil yang


keras dan tebal akan memberikan kesan gelap, sementara
yang ringan-ringan saja akan memberikan kesan lebih terang.
Warna kuning akan memberikan kesan terang sementara
warna coklat akan memberikan kesan gelap, dan sebagainya.
Oleh karena itu unsur gelap terang dapat ditimbulkan oleh
nada garis atau warna yang digunakan.
Gelap terang dalam gambar dapat dicapai melalui
upaya teknik arsir, yaitu teknik mengatur jarak atau tingkat
kerapatan suatu garis atau titik. Semakin rapat akan
menghasilkan kesan semakin gelap dan semakin berjarak
akan semakin terang. Dalam seni lukis penggunaan gelap
terang ini disebabkan dari penggunaan berbagai warna. Ada
warna yang berkecenderungan gelap dan ada pula warna
yang bernada terang. Di bidang seni lukis ini khususnya
dikenal adanya teknik chiaroscuro untuk menampilkan teknik
gelap yang bergradasi halus, sebagaimana yang dilakukan
oleh pelukis Rembrant.
Pada seni patung gelap terang lebih disebabkan oleh
permainan raut dan ruang sehingga menampilkan gelap
terang. Oleh karena itu pada seni patung dapat diperoleh
kesan gelap terang yang secara nyata dipengaruhi oleh
sumber cahaya. Di samping itu pada seni patung gelap
terang juga dapat ditimbulkan oleh warna yang digunakan.

C. Prinsip Desain dalam Seni Rupa


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa unsur rupa adalah
meliputi garis, raut, warna, tekstur, ruang dan gelap terang.

90
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Unsur-unsur ini dalam perwujudannya secara total dalam


karya seni perlu diatur, disusun, atau ditata. Cara pengaturan,
penyusunan, atau penataan unsur-unsur rupa sehingga
menjadi bentuk karya seni rupa disebut dengan prinsip-
prinsip seni rupa. Prinsip memiliki padanan kata asas,
sehingga prinsip seni rupa dapat disebut pula asas seni rupa.
Kata seni rupa dalam beberapa sumber lazim disebut dengan
desain. Karena itu pula prinsip atau asas seni rupa disebut
prinsip atau asas desain. Upaya pengaturan, penyusunan,
penataan atau pengorganisasian adalah persoalan komposisi.
Dengan demikian, sebutan singkat prinsip atau asas desain
adalah komposisi.
Prinsip atau asas memiliki arti sesuatu yang dipakai
sebagai pokok pendirian. Maka prinsip desain dalam
kaitannya dengan proses penciptaan karya seni rupa
merupakan suatu pedoman atau patokan yang perlu
dipertimbangkan oleh perupa. Dengan kata lain prinsip
desain merupakan petunjuk saja, yang utama dalam berkarya
adalah tunduk menurut rasa hati seni. Oleh karena itu,
prinsip atau asas desain tidak bersifat kaku, tetapi luwes,
bersifat subjektif dan memungkinkan banyak interpretasi
dari perupa atau pengamat.
Dalam berbagai buku tentang estetika dan juga seni
rupa sering dinyatakan prinsip desain itu secara berbeda.
Akan tetapi secara umum terdapat kesamaan bahasan yang
meliputi prinsip kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan,
proporsi, dan keselarasan. Berikut ini dengan mendasarkan
berbagai sumber (Faulkner, dkk, 1960; Sidik dan Prayitno,
1981; Sunaryo, 2000; Gilbert, 1992) masing-masing prinsip
desain tersebut diuraikan lebih lanjut.

91
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

1. Prinsip Kesatuan
Kesatuan merupakan basis dari prinsip susunan dari unsur-
unsur rupa. Unsur rupa yang meliputi garis, raut, warna,
tektur, ruang, dan gelap terang harus menyatu baik dalam
bentuk (fisik visual) dan tema (isi). Untuk memperoleh kesan
kesatuan atau lazim disebut juga unity memerlukan prinsip
keseimbangan, irama, proporsi, penekanan dan keselarasan.
Oleh karena itu kesatuan sesungguhnya mendasarkan semua
prinsip yang ada.
Kesatuan terbangun dari adanya bagian-bagian.
Namun kesatuan tidak ditentukan oleh kuantitas atau jumlah
bagian, akan tetapi lebih menekankan pada kualitas
hubungan antara bagian-bagian itu. Dengan kata lain karya
seni rupa yang secara kualitatif bagian atau unsurnya telah
menyatu tidak memerlukan tambahan unsur lain atau
sebaliknya unsur yang ada di dalamnya tidak boleh
dihilangkan atau dikurangi. Bagain yang satu dengan yang
lain menjadi saling terikat, saling menentukan, mendukung
dan sistemik membentuk suatu kebulatan utuh karya seni.
Pertimbangan kesatuan ini penting oleh karena
berdasarkan teori psikologi bahwa pengamatan seseorang itu
akan memperoleh suatu kesatuan jika ada kedekatan,
ketertutupan, dan kesamaan. Dalam penerapannya pada
bidang karya seni rupa prinsip kesatuan ini menekankan
pengaturan objek atau komponen objek secara berdekatan
atau penggerombolan unsur atau bagian-bagian. Antarunsur
yang saling menutup, misalnya dua garis lengkung yang
berhadapan akan memperoleh kesatuan dibandingkan
dengan posisi yang berlawanan pada arah yang sama. Bentuk

92
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

yang sama atau relatif sama, misalnya lingkaran dengan


lingkaran, persegi dengan persegi, walaupun memiliki ukuran
yang berbeda juga akan memberikan kesan kesatuan.

2. Prinsip Keseimbangan
Keseimbangan (balance) berkaitan dengan bobot. Dalam
karya-karya seni rupa dua dimensi misalnya gambar atau
lukis penerapan prinsip keseimbangan ini lebih menekankan
pada bobot kualitatif atau disebut juga bobot visual, artinya
berat ringannya objek hanya dirasakan. Sementara pada
karya-karya seni rupa tiga dimensi, misalnya patung,
keseimbangan ini berkaitan juga dengan keseimbangan atau
bobot aktual atau sesuangguhnya. Patung yang berat di
belakang akan dapat roboh kebelakang, jika berat bagian atas
bisa jadi patung itu tidak dapat berdiri.
Penggunaan warna gelap cenderung berat sementara
yang cerah memiliki kesan ringan. Raut yang dibuat dengan
ukuran besar cenderung berkesan berat dibandingkan
dengan yang berukuran kecil. Objek yang ditempatkan di
atas memiliki kesan ringan, akan tetapi jika ditempatkan di
bawah akan berkesan berat. Dengan demikian bobot visual
ini dapat dipengaruhi oleh penggunaan warna, ukuran, atau
kedudukan raut atau objek.
Pada karya-karya seni rupa tradisional, terutama ukir
dan batik, upaya penciptaan keseimbangan ini adalah dengan
membagi bagian permukaan menjadi dua bagian yang sama.
Bagian kanan dan kiri atau atas dan bawah seolah-olah
dipisahkan oleh sebuah garis. Bagian yang satu memiliki
objek gambar yang sama secara berhadap-hadapan dengan

93
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

bagian yang lain. Dengan objek yang sama secara


berhadapan seringkali digunakan istilah setangkup, oleh
karena itu keseimbangan yang bagian kanan dan kiri sama
sebagaimana telah diuraikan disebut sebagai keseimbangan
setangkup, formal, atau keseimbangan simetris.
Kebalikan keseimbangan simetris adalah
keseimbangan asimetris atau informal. Upaya penciptaan
keseimbangan asimetris adalah tidak memperhitungkan
bentuk kanan dan kiri sebagaimana dalam keseimbangan
simetris, akan tetapi dengan memberikan variasi unsur yang
lebih kaya namun kesan yang ditimbulkan tidak berat
sebelah.
Di samping keseimbangan simetris dan asimetris
dikenal juga adanya keseimbangan radial atau memancar.
Keseimbangan ini dapat diperoleh dengan menempatkan
unsur-unsur pada sekitar bagian, sehingga unsur-unsur itu
mengelingi, mengitari, atau melingkar pada sekitar bidang
gambar.

3. Prinsip Irama
Prinsip irama ditimbulkan dari kesan gerak dari unsur yang
melekat pada karya seni. Sifat atau kesan dari irama dapat
lemah lembut, keras atau lunak secara teratur. Nafas orang,
kicau burung dan sebagainya adalah contoh-contoh irama
dalam kehidupan nyata. Sebagaimana irama dalam
kehidupan, irama dalam karya seni juga dapat timbul jika ada
pengulangan yang teratut dari unsur yang digunakan.
Dengan demikian irama dalam karya seni rupa terjadi dari

94
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

pengaturan unsur-unsur rupa baik garis, raut, warna, tekstur,


ruang dan gelap terang.
Irama dalam karya seni rupa dapat diupayakan
melalui pengulangan, pergantian, perubahan ukuran, dan
gerakan mengalun. Irama pengulangan atau disebut irama
repetitif dapat tercipta hanya dengan mengulang-ulang unsur
yang sama bentuk, ukuran, dan warnanya, misalnya menata
unsur lingkaran dengan ukuran dan warnanya sama dengan
jarak antara satu dengan yang lain juga sama.
Irama tersebut akan menghasilkan irama yang
monoton dan membosankan. Agar menimbulkan viariasi
atau sedikit kejutan irama, pengulangan unsur dapat
dilakukan secara berganti-ganti, misalnya lingkaran dengan
setengah lingkaran, segitiga dengan persegi dan sebagainya.
Oleh karena itu pengulangan yang dilakukan dengan
pergantian ini lazim disebut sebagai irama alternatif. Irama
yang dicapai dengan perubahan ukuran atau disebut juga
dengan irama progresif dicapai dengan membuat perubahan
unsur secara bertingkat, misalnya menyusun bidang segi tiga
mulai dari ukuran kecil sekali sampai dengan yang sangat
besar.
Irama progresif tampak lebih dinamis karena
perubahan dan perkembangan unsur-unsurnya yang tidak
selamanya tetap. Sementara irama gerakan mengalun atau
flowing dapat dilakukan dengan mengatur, terutama raut,
secara kontinu, dengan gerakan mengalun, bergelombang
sebagaimana gerakan ombak atau air.

95
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

4. Prinsip Penekanan
Ketika seseorang mengapresiasi karya seni rupa seringkali
menemukan atau terarah pada sesuatu yang paling menarik
perhatian. Sebagaimana jika seseorang mengamati wajah
orang lain, barang kali ada sesuatu yang menarik baginya,
bisa jadi adalah hidungnya, matanya, atau unsur lainnya.
Dalam seni, atau seni rupa khususnya bagian yang menarik
perhatian ini menjadi persoalan prinsip penekanan atau
dengan isilah yang juga sering digunakan adalah prinsip
dominasi. Walaupun ada bagian yang paling menarik
perhatian (centre of interest) pada karya seni rupa atau mungkin
wajah orang itu, bukan berarti bagian yang lain tidak menjadi
penting. Bagian yang lain tetap diperhitungkan sebagai
kesatuan.
Dominasi dalam karya seni rupa dapat dicapai melalui
berbagai alternatif. Misalnya dengan menggerombolkan
beberapa unsur sehingga berdekatan atau menyatu
sedangkan unsur-unsur lain dibiarkan memencar.
Pengaturan yang berbeda baik ukuran atau warna juga dapat
menimbulkan dominasi. Bidang lingkaran besar pada
susunan lingkaran kecil, atau gambar orang dewasa pada
sekelompok anak kecil, warna merah di antara warna kuning
dapat menimbulkan dominasi atau penekanan. Berikutnya,
dominasi dapat dilakukan dengan mengatur arah unsur,
gerakan unsur sehingga menunjuk pada pusat perhatian yang
diharapkan, misalnya jika dominasi itu diharapkan di tengah
maka unsur-unsur yang berada pada bagian yang
mengitarinya diupayakan memiliki arah ke tengah.

96
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

Penempatan bagian dominasi dalam karya seni rupa


tidak harus di tengah. Memang posisi tengah lebih
menunjukkan kestabilan, mudah ditangkap mata (karena
kecenderungan pandanga mata memang demikian). Akan
tetapi dominasi dalam karya seni rupa dapat ditempatkan di
bagian lain, misalnya bawah, atas, samping kanan atau kiri.
Yang paling penting dipertimbangkan adalah prinsip
dominasi ini jangan sampai menghilangkan kesan
menyatunya unsur-unsur.

5. Prinsip Proporsi
Proporsi adalah perbandingan ukuran antara bagian yang
satu dengan bagian lainnya, oleh karena itu disebut juga
prinsip perbandingan atau kesebandingan. Prinsip proporsi
berkenaan dengan pertimbangan besar kecil, luas sempit,
panjang pendek, atau tinggi rendahnya bagian satu denga
bagian lainnya.
Dalam seni rupa prinsip proporsi ini digunakan untuk
mempertimbangkan perbandingan bidang kertas atau kanvas
dengan objek yang digambar atau dilukis, membandingkan
patung dengan ruang yang ditempati. Kertas gambar yang
lebar dengan objek gambar yang kecil sudah barang tentu
kurang proporsional. Di samping itu, yang penting adalah
proporsi pada objek karya itu sendiri. Pada proses berkarya
perlu senantiasa mempertimbangkan perbandingan antara
bagian satu dengan yang lainnya.
Seringkali prinsip proporsi dikacaukan dengan prinsip
skala. Hal tersebut khususnya dalam kegiatan berkarya seni
rupa yang merepresentasikan kondisi nyata atau

97
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

sesungguhnya. Misalnya yang digambar adalah objek botol,


gelas, dan piring. Berdasarkan kondisi nyata botol lebih
tinggi daripada gelas dan piring. Piring memiliki ukuran lebih
lebar daripada botol dan gelas. Maka pada saat proses
menggambar dapat dilakukan penskalaan, misalnya tinggi
botol 2,5 tinggi gelas, lebar piring dua kali tinggi gelas dan
sebagainya. Ini adalah penerapan proporsi secara nyata atau
aktual.
Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali bahwa
prinsip perbandingan lebih menekankan pada variasi atau
keragaman ukuran unsur yang satu dengan yang lain akan
tetapi tetap dalam satu kesatuan, perbandingan itu bisa saja
secara aktual, atau dapat dilakukan secara menyimpang.

6. Prinsip Keselarasan
Prinsip keselarasan lazim disebut juga dengan prinsip
harmoni atau keserasian. Seuatu yang selaras, harmonis, dan
serasi adalah timbuk dengan adanya kesamaan, kesesuaian,
dan tidak adanya pertentangan. Demikian juga dalam karya
seni rupa, prinsip keselarasan ini dapat dibuat dengan cara
menata unsur yang mungkin sama, sesuai, dan tidak ada yang
berbeda secara mencolok. Bidang lingkaran lebih selaras jika
dipadukan dengan garis lengkung daripada bidang lingkaran
dipadukan denga garis lurus, oleh karena karakter lingkaran
sesuai dengan garis lengkung.
Di samping menata bentuk atau raut yang sama atau
sesuai, keselarasan dapat menunjuk pada kesesuaian warna,
tekstur dan unsur-unsur lainnya. Pemilihan warna yang

98
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

selaras biasanya dapat dicapai dengan warna yang analog


atau berdekatan satu dengan lain. Jika dalam karya gambar
atau lukis itu digunakan warna yang tampak berbeda atau
bertentangan maka perlu dicarikan warna pengikat. MIsalnya
dalam sunggingan atau pewarnaan pada wayang kulit,
walaupun dalam pewarnaan itu digunakan dengan berbagai
warna merah, biru, maupun hijau akan tetapi tetap selaras
oleh karena digunakan warna pengikat putih. Demikian juga
halnya dalam penggunaan tekstur atau unsur rupa lainnya.

99
Seni Rupa sebagai Disiplin Ilmu

100
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

BAB IV
PENGEMBANGAN MATERI
PEMBELAJARAN SENI RUPA

A. Pengembangan Bahan Ajar Seni Rupa dalam


Konteks Kurikulum
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya,
bahan Ajar adalah pesan yang perlu disampaikan oleh
penyelenggara pendidikan kepada peserta didik. Dengan kata
lain bahan ajar sering disebut sebagai materi pelajaran.
Dalam konteks lain bahan ajar merupakan isi pelajaran
(subject content). Oleh karena itu bahan ajar sesungguhnya
merupakan bentuk terurai dari isi kurikulum dapat
disampaikan secara sangat terinci, jelas dengan penuh
ilustrasi, atau sebaliknya dibuat seperlunya saja. Hal tersebut
sangat tergantung bagaimana proses pembelajaran itu
dikemas.
Berdasarkan medianya bahan ajar itu dapat dibedakan
atas bahan ajar tertulis dan bahan ajar tidak tertulis. Bahan
ajar tertulis merupakan materi atau isi pelajaran yang

101
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

terkemas dalam bentuk tulisan, dapat dilengkapi atau tanpa


gambar. Bahan ajar tertulis ini umumnya diproduksi dengan
cara dicetak, oleh karena itu dapat digolongkan ke dalam
bahan ajar cetak (lihat Suciati dan Huda, 1999: 292-314).
Bahan ajar tidak tertulis, dengan demikian, adalah
bahan,materi atau isi pelajaran yang disampaikan tidak
dengan tulisan, tidak dicetak, akan tetapi disampaikan secara
lisan, melalui audio atau video, dengan media radio, atau
televisi, atau bahan ajar yang memanfaatkan sumber belajar
lingkungan atau teknologi lainnya (baca: Sadiman, dkk.
1989).
Bahan ajar tertulis bertolak dari bentuknya,
merupakan bahan ajar yang tidak terlalu susah disiapkan oleh
pengajar, dalam hal ini adalah guru. Usaha yang perlu
dilakukan oleh guru adalah menerjemahkan isi kurikulum ke
dalam bentuk tulisan yang sengaja dirancang atau tidak.
Bahan ajar tertuls memang dapat diperoleh secara langsung,
artinya para guru tidak perlu repot-repot membuat sendiri,
seperti buku teks dan LKS. Bahan ajar yang tidak disiapkan
oleh guru ini umumnya memiliki kelrmahan berkaitan
dengan isi/pesan yang disajikan belum tentu sama persis
dengan apa yang diinginkan oleh guru, dan terkadang kurang
relevan dengan karakteristik siswa serta situasi dan kondisi
yang ada. Kendala atau kelemahan ini memang relatif dapat
dikurangi atau bahkan ditiadakan manakala bahan ajar itu
dibuat sendiri oleh guru. Hanya persoalannya adalah
produksi cetak yang terbatas, dan konsekuensinya beban
tugas menjadi bertambah bagi guru yang ingin
mempersiapkan bahan ajar itu secara lebih cermat, sistematis
dan berdaya guna.

102
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Secara tersirat dari istilah yang digunakan, jenis bahan


ajar tertulis sangat beragam, dapat berupa lembar tulisan,
seperti brosur atau poster, dapat juga berlembar-lembar
seperti koran, majalah, atau buku. Untuk memfokuskan
bahasan bahan ajar tertulis yang dikaji lebih lanjut berikut ini
adalah bahan ajar dalam bentuk buku.
Buku adalah lembar berjilid, walaupun pernah juga
ditemukan di Cina buku dalam bentuk gulungan (Baharudin,
1986: 32). Kertas berjilid itu dapat berisi tulisan, gambar,
atau kosong. Istilah lain untuk buku adalah kitab. Buku yang
berupa tulisan seringkali dibedakan atas buku fiksi dan non
fiksi, buku ilmiah, populer, dan ilmiah populer. Jika ditinjau
untuk kepentingan instruksional dikenal adanya buku ajar
dan buku referensi (buku sumber). Buku ajar adalah jenis
buku yang dirancang secara khusus untuk kepentingan
pembelajaran, di sekolah lazm disebut atau dikenal dengan
buku teks. Buku referensi merupakan buku acuan,sumber,
rujukan informasi yang disusun berdasarkan struktur dan
kaidah keilmuan. Secara politis, yang disebut buku adalah
yang secara legal dibuktikan dengan ISBN. Dengan
pertimbangan ini maka buku yang dibuat guru atau tenaga
pengajar lainnya yang tidak ber-ISBN lazim disebut sebagai
diktat.
Bagaimana struktur diktat? Sesungguhnya tidak ada
pedoman baku. Akan tetapi paling tidak yang dapat menjadi
bahan pertimbangan adalah pada setiap pokok bahasan atau
pencapaian kompetensi dasar dapat disajikan dalam satu bab.
Sebelum sajian materi pada setiap bab perlu dinyatakan
kompetensi dasar dan indikator hasil pembelajaran. Pada
akhir setiap bab akan lebih tepat jika disertakan juga latihan

103
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

atau tugas yang perlu dikerjakan oleh siswa. Pada bagian


awal sudah barang tentu berisi halaman judul, pengesahan,
prakata, daftar isi atau daftar lainnya. Sebelum memasuki
sajian dalam bab-bab sebaiknya dituliskan tinjauan mata
pelajaran, yang berisi gambaran umum terkait dengan materi
yang ditulis. Pada bagian akhir perlu ditulis daftar pustaka.
Sebagaimana telah dikemukakan bahan atau materi
pembelajaran terkait dengan pertanyaan dengan apa yang
akan diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa dalam
konteks tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Menurut
teori komunikasi materi pembelajaran merupakan pesan,
oleh karena itu dapat disampaikan secara lisan, tulisan atau
kedua-duanya. Penyampaian materi pembelajaran secara
lisan telah secara rutin atau lazim disampaikan oleh guru.
Oleh karena itu kemampuan berceramah bagi guru dianggap
hal yang amat penting. Materi pembelajaran yang disiapkan
secara tertulis oleh guru untuk para siswanya, boleh dikata
amat jarang, oleh karena guru amat tergantung pada materi
pembelajaran yang tertulis pada buku teks.
Secara ideal, guru perlu mengembangkan materi
pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum menjadi bahan
ajar tersendiri, sehingga dapat menyesuaikan dengan kondisi
atau karakteristik siswa. Bahan ajar ini dapat dikembangkan
dengan memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran.
Sumber pembelajaran yang dimaksud antara lain buku,
jurnal/majalah, CD pembelajaran atau internet.
Bahan ajar kajian memberikan pengalaman belajar
yang berkaitan dengan pengetahuan kesenirupaan. Pada
lingkup ini pengetahuan tentang karakteristik suatu karya

104
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

seni sehinga berbeda dengan jenis seni yang lain perlu


dipahami oleh anak. Pembahasan karakteristik dapat
berkenaan dengan deskripsi koneptual, pemanfaatan bahan,
alat, dan teknik yang digunakan, unsur dan prinsip desain,
serta corak atau gaya suatu karya seni rupa. Sejarah seni rupa
juga merupakan aspek yang berkaitan dengan pengetahuan
seni (walaupun di dalamnya juga termuat pengalaman
apresiatif). Melalui sejarah seni rupa dapat dikaji pola
kecenderungan corak karya seni pada masanya untuk
dipahami, selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis
karya seni saat ini yang sedang berkembang dan
memprediksi kejadian seni yang akan datang.
Lingkup kegiatan apresiasi berkaitan dengan respons
siswa atas karya orang lain. Karya seniman atau karya teman-
teman sekelas atau sesekolah dapat dijadikan media
pembelajarn apresiasi di sekolah. Melalui kegiatan apresiasi,
terutama, adalah siswa dapat menghargai karya orang lain
dan memperoleh pemahaman tentang kejadian atau
peristiwa yang terekam dalam karya seni. Kegiatan apresiasi
tidak hanya dilakukan ketika proses pembelajaran pameran,
akan tetapi dapat dilakukan dengan banyak kesempatan.
Kegiatan apresiasi dapat dilakukan pada waktu responsi atas
karya yang dihasilkan oleh anak, melalui pajangan kelas,
majalah dinding, pengaturan kelas apresiatif melalui
pemutaran CD, di samping pameran itu sendiri. Kegiatan
apresiasi yang telah disebut adalah apresiasi yang dilakukan
di dalam kelas/sekolah. Kegiatan apresiasi juga dapat
dilakukan di luar kelas, misalnya dengan kunjungan pameran,
museum, candi dan tempat-tempat peninggalan bersejarah,

105
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

galeri, studio seni, pusat seni dan berbagai industri kerajinan


di masyarakat.
Pengalaman kreatif berkenaan dengan pembelajaran
penciptaan atau pembuatan karya seni rupa. Pada proses
atau pengalaman kreatif ini berkaitan dengan pengembangan
gagasan, pemanfaatan dan penguasaan media serta
penguasaan teknik. Sebagai pendidikan kreatif, aktivitas
pembelajaran perlu diupayakan agar siswa dapat
memunculkan gagasan baru. Rangsangan misalnya melalui
ceritera, apresiasi seni di kelas, pengamatan langsung dapat
memunculkan gagasan kreatif. Jika guru menampilkan
bentuk yang harus dicontoh dalam menggambar secara
persis, maka gagasan baru tidak akan muncul. Dengan
seringnya siswa memunculkan gagasan-gagasan baru pada
akhirnya mereka dapat senantiasa mencari dan menemukan
peluang dan terobosan baru ketika hidup di masyarakat
kelak. Oleh karena itu perlu pemilihan materi pembelajaran
yang senantiasa merangsang imajinasi siswa. Pemanfaatan
dan penguasaan media juga amat penting dalam proses
kreatif ini. Siswa akan memperoleh pengalaman perseptual
dan taktil akan bahan yang digunakan.
Misalnya, ketika siswa berkarya patung dengan tanah
liat, ia akan dapat melihat bagaimana tanah liat dan
merasakan bagaimana rasa sentuh yang diperoleh ketika ia
menguli. Bagaimana anak memegang pisau, pensil, kuas,
pahat, menempel gambar, mencetak, dan sebagainya, semua
itu akan memberikan pengalaman tentang pemanfaatan dan
penguasaan media. Oleh karena itu, pembelajaran kreatif ini
perlu diupayakan dapat terselenggara di kelas secara
memadai. Penguasaan teknik adalah berkaitan dengan

106
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

langkah-langkah atau prosedur karya seni diwujudkan. Pada


tahapan ini akan lebih baik jika guru memberikan bimbingan
atas tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam berkarya seni.
Melalui pengalaman penguasaan teknik ini siswa akan
memperoleh pengalaman bagaimana teknik membentuk
yang baik, menggambar yang bagus, melukis yang indah dan
sebagainya. Kelemahan yang sering ditemukan dalam
lingkup pembelajaran kreatif ini adalah cenderung
memerlukan waktu yang lama. Berkenaan dengan itu
tampaknya perlu pemikiran terobosan untuk menambahkan
waktu belajar kreatif dalam kegiatan ko mapun
ekstrakurikuler jika kegiatan intrakurikuler tidak lagi
memungkinkan.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa pendidikan seni,
saat ini, berlabel mata pelajaran Seni Budaya. Penyebutan
nama mata pelajaran Seni Budaya, sebagaimana dipahami
bersama terkait dengan pemberlakuan oleh pemerintah
tentang pelaksanaan kurikulum di sekolah yang disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam kurikulum ini dinyatakan bahwa lingkup mata
pelajaran seni budaya meliputi seni rupa, seni musik, seni
tari, dan seni teater. Keempat aspek yang sering disebut
sebagai submata pelajaran tersebut merupakan tawaran.
Sekolah minimal mengajarkan satu bidang seni sesuai
dengan kemampuan sumberdaya manusia serta fasilitas yang
tersedia.
Jika dicermati dalam SKKD mata pelajaran seni
budaya ada dua kompetensi yang ingin dikembangkan yakni
kompetensi apresiasi dan kompetensi kreasi, pada bagian lain
disebutkan juga kompetensi konsepsi. Kompetensi konsepsi

107
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

diintegrasikan ke dalam kompetensi apresiasi. Yang


terkadang membingungkan guru adalah rumusan
kompetensi yang berbunyi “mengekspresikan diri”. Seolah-
olah ini kompetensi ekspresi. Ekspresi adalah ungkapan
perasaan atau jiwa seseorang. Ekspresi seseorang muncul
seiring dengan proses kreasi. Dengan demikian tidak tepat
jika disebut kompetensi ekspresi. Demikian juga jika dirujuk
dengan teori-teori seni yang ada. Bahwa bahasan atau
domain seni dapat dibedakan antara domain apresiasi dan
domain kreasi. Domain apresiasi merupakan kawasan
penikmat sementara domain kreasi merupakan wilayah
pencipta seni.
Dilihat dari cakupan wilayah geografisnya
pembelajaran seni rupa dalam KTSP diklasifikasikanke
dalam seni rupa daerah setempat, nusantara, dan
mancanegara. Bagaimana tiga klasifikasi tersebut dapat
dipahami bersama? Pengertian daerah setempat apakah
berhenti secara administratif wilayah kabupaten/kota atau
propinsi?, atau wilayah budaya? Seni rupa Nusantara secara
konseptual perlu dirumuskan dulu apakah nusantara itu?
Secara kultural konsep nusantara itu tidak hanya terbatas
wilayah geografis Indonesia, akan tetapi dapat meluas sampai
ke negara tetangga Malaysia. Tampaknya spirit perancang
kurikulum yang dimaksud daerah setempat adalah wilayah
yang tidak terlalu jauh dengan lokasi sekolah, oleh karena itu
sekolah yang berada di wilayah antara, misalnya Cepu, yang
berada di antara Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat
berbicara seni yang berkembang di sekitarnya misalnya
Bojonegoro. Seni rupa, khususnya seni kriya daerah
setempat Jepara, misalnya, dapat berbicara tentang seni ukir,

108
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

seni keramik Mayong, seni tenun Troso, kerajinan monel


Kriyan, seni anyam Teluk Wetan, dan sebagainya. Seni rupa
nusantara, spiritnya adalah beragam seni yang ada di wilayah
yang secara geografis dan administratif disebut Indonesia.
Oleh karena itu guru dapat memilih dan mengembangkan
materi yang cocok dan sudah barang tentu sesuai dengan
seni rupa daerah setempat. Bahasan ukir dapat dikenalkan
ukir Toraja, atau Kalimantan (Dayak), atau juga Asmat.
Bahasan tenun dapat dibahas tenun Sumatera atau Nusa
Tenggara, dan seterusnya. Seni rupa mancanegara perancang
kurikulum telah membatasi di luar Asia, dengan demikian
wilayah yang dimaksud adalah barat, dalam hal ini Eropa.
Dengan demikian seni rupa Eropa tampaknya juga perlu
dikenalkan.
Ditinjau dari pemanfaatan karya seni rupa materi
dalam KTSP itu dibedakan antara seni rupa terapan dan
murni. Juga secara tersirat pengklasifikasikan antara seni
rupa dua dimensi dan tiga dimensi. Dilihat dari karya yang
ditampilkan materi pembelajaran dikembangkan dalam
materi gambar bentuk, desain piktorial, seni kriya, kriya
tekstil, seni lukis, seni grafis, dan karya seni rupa lainnya.

B. Pengembangan Materi Pembelajaran Apresiasi Seni


Rupa
Ada dua aktivitas yang penting dalam karya seni. Pertama
adalah aktivitas kreatif dan kedua adalah aktivitas apresiatif.
Aktivitas kreatif adalah berkenaan dengan proses penciptaan
atau pembuatan suatu karya seni rupa. Sementara aktivitas
apresiatif adalah proses yang berkenaan dengan penikmatan

109
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

suatu karya seni rupa. Aktivitas atau proses kreatif dilakukan


oleh seniman atau kreator, sementara aktivitas atau proses
apresiasi dilakukan oleh penikmat atau apresiator.
Kedua-duanya, kreator dan apresiator berhadapan
dengan karya seni. Seniman sebagai kreator berusaha
menyampaikan pesan-pesan apakah itu estetik atau simbolik
melalui karya seni rupa yang dihasilkan. Apresiator berusaha
menerima pesan yang berupa karya seni itu dari seniman.
Oleh karena itu kegiatan seni sering dipahami sebagai proses
komunikasi, yakni proses penyampaian pesan dari seniman
kepada apresiator.
Penyampaian pesan atau proses komunikasi dalam
kegiatan apresiasi bisa saja tidak sambung atau
miskomunikasi manakala bentuk visual karya tidak dipahami
oleh apresiator. Hal ini dapat terjadi oleh karena seniman
tidak menyesuaikan dengan kondisi apresiator, di lain pihak
apresiator tidak berusaha belajar memahami eksitensi suatu
karya seni. Kasus semacam ini seringkali terjadi saat
pameran, di antara apresiator berkata “saya tidak tahu
lukisan yang dipamerkan”, dan kata-kata semacamnya.
Kesepahaman antara seniman dan apresiator memang tidak
selalu diharapkan, oleh karena sifat seni yang multi
interpreatitif itu.
Agar terjadi proses komunikasi yang baik antara
seniman dan apresiator tampaknya keduanya perlu sama-
sama belajar. Seniman perlu belajar karakteristik apresiator
sebagai khalayak sasaran, dan apresiator juga perlu belajar
dalam arti memahami karya seni yang dibuat seniman,
terutama dalam hal munculnya karya-karya seni rupa baru.

110
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Seringkali terjadi lompatan-lompatan seniman atau kreator


itu jauh di atas apresiator, artinya seniman senantiasa
berkreasi, menciptakan hal-hal baru, sementara apresiator
belum dapat memahaminya. Vincent van Gogh, seorang
pelukis Belanda, bunuh diri diduga gara-gara karya-karya
lukisnya tidak memperoleh apresiasi yang baik dari
penikmatnya.
Kembali ke persoalan apresiasi, bahwa kegiatan
apresiasi secara nyata dilakukan ketika pengamat berhadapan
dengan karya seni. Dalam bidang seni rupa berarti kegiatan
apresiasi dilakukan oleh penikmat dengan cara melihat atau
menginderai karya seni rupa itu, dalam bentuk lukis, gambar,
patung atau lainnya. Di samping pada karya apresiasi juga
dapat dilakukan dalam hal proses, artinya kegiatan melihat
atau menginderai tersebut dilakukan pada saat seniman
berproses dalam menciptakan karya seni.
Kegiatan melihat atau mengindera inilah seringkali
dikatakan sebagai tahapan apresiasi yang paling awal dan
elementer dalam seni rupa. Selanjutnya, tahap dari tahap
penginderaan terutama dengan mata ini, memasuki pada
proses psikologis, yakni penikmat berusaha memahami atau
melakukan penghayatan atas karya seni rupa yang dijadikan
sasaran apresiasi. Tahapan penghayatan inilah merupakan
fase yang paling pokok dalam apresiasi. Apresiator dapat
menikmati dengan sepuas-puasnya karya seni rupa yang
dihadapi. Bisa saja proses penghayatan ini berlangsung amat
lama, akan tetapi bisa juga berlangsung sesaat. Terakhir
adalah tahapan penilaian dan penghargaan. Penilaian dan
penghargaan berkenaan dengan pengambilan keputusan
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu atas sesuatu

111
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

yang bernilai atau berharga. Penilaian dan penghargaan


terhadap karya seni rupa sebagai tahapan apresiasi, berarti
fase apresiator mengambil keputusan apakah karya seni rupa
itu indah atau tidak, cocok dengan rasa mata hatinya ataukah
tidak. Dengan demikian, kegiatan atau proses apresiasi seni
rupa adalah proses pengamatan, penghayatan, penilaian dan
penghargaan atas karya seni rupa.
Proses apresiasi terhadap karya seni rupa dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Proses
apresiasi secara langsung dapat dilakukan jika pengamat
benar-benar berhadapan dengan karya seni rupa. Pengamat
dapat langsung mengenali jenis dan karakter warna, garis,
tekstur dan karakter visual lain secara nyata melalui indera
matanya, bahkan dalam kondisi tertentu misalnya pada karya
patung penikmat dapat juga melakukan peinginderaan
dengan perabaan. Pengamatan tidak langsung di lain pihak,
pengamat tidak benar-benar berhadapan dengan karya seni
rupa, dengan kata lain tidak dapat melihat karya seni yang
senyatanya, baik ukuran, dan unsur dan karakter visual yang
membentuknya.
Apresiasi secara langsung umumnya dapat dilakukan
di tempat-tempat pameran, galeri, studio seni rupa atau
pusat-pusat kerajinan. Pameran adalah suasana yang
dirancang khusus oleh penyelenggara untuk menyajikan
karya-karya seni rupa dalam waktu tertentu. Dilihat dari
jumlah seniman, pameran ini dikenal dengan pameran
tunggal (biasanya dilakukan oleh seniman-seniman ternama)
dan pameran bersama. Galeri sesungguhnya juga memiliki
fungsi yang dengan pameran, yakni menyajikan sejumlah
karya seni rupa, dengan waktu relatif tak terbatas, dengan

112
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

manajemen yang lebih berorientasi ke profit. Studio seni


adalah tempat kegiatan seniman berkreasi atau berkarya,
yang seringkali juga terpajang sejumlah karya yang dihasilkan
oleh seniman itu. Studio seni biasanya dimiliki oleh seniman
dan lembaga-lembaga pendidikan di bidang seni. Mirip
dengan studio seni rupa adalah pusat-pusat kerajinan. Pusat
kerajinan merupakan tempat sejumlah anggota masyarakat
yang berprofesi sebagai perajin beraktivitas. Di tempat ini
dapat diamati langsung produk yang dihasilkan sekaligus juga
prosesnya. Contoh pusat kerajinan ukir dapat ditemui di
Jepara, kerajinan keramik di Pleret, Klampok atau Kasongan,
kerajinan batik di Pekalongan, Surakarta atau Yogyakarta.
Di samping tempat-tempat yang telah dinyatakan di
atas apresiasi secara langsung dapat dilakukan di museum-
museum. Museum adalah tempat pameran koleksi benda-
benda yang bermanfaat bagi kepentingan umum secara
tetap. Kecenderungan museum adalah mengkoleksi benda-
benda kuno. Ada museum yang secara khusus mengkoleksi
benda-benda tertentu, misalnya museum seni rupa. Di
museum ini seseorang dapat melakukan apresiasi hanya saja
tidak dapat berlanjut sampai memiliki.
Apresiasi secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan bantuan media yang diperoleh dari berbagai sumber.
Sumber yang dimaksud adalah buku-buku, katalog pameran,
foto, slide, film atau sumber lain. Kelemahan penggunaan
media ini adalah tidak diperolehnya pengamatan atau
penghayatan secara aktual, akan tetapi diperoleh juga
keuntungan yakni dapat dengan mudah dilakukan, oleh
karena apresiator tidak harus melakukan kunjungan di
tempat pameran, galeri atau studio.

113
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa proses


apresiasi adalah berkenaan dengan pengamatan,
penghayatan, penilaian dan penghargaan penikmat atas suatu
karya seni atau secara lebih singkat proses apresiasi adalah
tanggapan seseorang atas suatu karya. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa aspek utama dalam apresiasi adalah
karya seni itu sendiri, dalam hal ini adalah karya seni rupa. Di
samping itu, jika seseorang ingin melakukan apresiasi secara
komprehensif, menyeluruh, holistik atau total maka aspek
yang diapresiasi juga melibatkan faktor-faktor yang
melingkupi karya seni rupa itu, dalam hal ini proses dan latar
belakang seni rupa itu dibuat. Dengan kata lain aspek ini
berkenaan dengan seniman dan latar belakangnya.
Pada persoalan aspek karya seni rupa dapat
ditanggapi hal-hal yang berkenaan dengan jenis, fungsi,
media, dan aspek-aspek visual yang melekat pada karya. Jenis
berdasarkan klasifikasi umum atas karya: lukis, patung, atau
gambar; bercorak tradisional ataukah modern, representatif
atau abstrak. Persoalan fungsi menunjuk pada kontribusi
yang diberikan oleh karya seni itu pada hal lain, hanya
sekedar hiasan, benda pakai, hiburan, ataukah ada pesan-
pesan tersembunyi dari karya seni itu. Persoalan media
adalah berkenaan dengan bahan dan alat serta teknik yang
digunakan oleh seniman untuk mewujudkan karya seni rupa
itu. Pada gambar mungkin berkenaan dengan kertas dan
pensil; lukis berkenaan dengan kanvas, cat dan kuas; patung
berkenaan dengan kayu dan pahat, dan sebagainya.
Sementara aspek-aspek visual berkaitan dengan kualitas
objektif yang ada pada karya. Pada tanggapan aspek-aspek
visual ini kajian unsur visual dan prinsip desain menjadi

114
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

penting. Tanggapan tentang unsur visual berkenaan dengan


bagaimana unsur garis, raut, warna, tekstur, ruang dan gelap
terang melekat atau ada pada karya itu. Tanggapan prinsip
desain bertalian dengan bagaimana pada karya itu terjadi
kesatuan, keseimbangan, irama, dominasi, proporsi, dan
keselarasan antarunsur visual yang ada.
Persoalan apresiasi yang paripurna sudah barang
tentu tidak hanya terfokus pada persoalan karya saja, akan
tetapi juga latar belakang lahirnya karya. Dalam hal ini dapat
berkaitan dengan seniman sebagai pencipta, tempat seni itu
diciptakan, waktu dan latar belakang karya seni rupa itu
dibuat. Pemahaman atas seniman, misalnya berkenaan
dengan usia, pendidikan, gaya hidup, gagasan dan
pandangannya. Tempat seni itu dibuat, di studio, luar studio,
atau lainnya. Waktu berkenaan dengan kejadian karya itu
dibuat, lampau atau kini, dalam suasana tenang atau perang.
Sementara latar belakang berkenaan dengan pemahaman atas
kondisi terutama sosial budaya masayarakat ketika karya seni
rupa itu dibuat atau dihasilkan. Pemahaman kondisi sosial
budaya amat penting dalam proses apresiasi oleh karena
karya seni pada umumnya, termasuk seni rupa,
sesungguhnya merupakan cermin dari kehidupan sosial
budaya masyarakat menurut perspektif seniman.
Berangkat dari persoalan apresiasi tersebut,
selanjutnya bagaimana materi pembelajaran apresiasi seni
rupa dikembangkan di sekolah. Pemahaman siswa akan
konsep-konsep seni rupa yang mencakupi tentang berbagai
jenis karya seni rupa, fungsi, dan berbagai media tampaknya
perlu dipelajari oleh siswa. Demikian juga perkembangan
seni rupa dari waktu ke waktu dalam konteks kelokalan,

115
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

nasional, maupun global juga perlu dipahami oleh siswa


sekaligus berapresiasi atas karya-karya yang mewakili
kronologi waktu. Berbagai sumber buku, jurnal, dan lainnya
dapat dijadikan referensi.
Pengembangan apresiasi terhadap karya seni rupa
setempat, yang pada umumnya langka sumber belajarnya
dapat dilakukan oleh guru atau bersama siswa untuk
melakukan kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian dapat
diarahkan pada kajian proses yang meliputi bahan, alat,
teknik, dan tahapan berkarya, dan kajian pada kualitas atau
bentuk estetik karya seni yang dihasilkan. Kegiatan ini tepat
bagi siswa dalam menerapkan prinsip dan kegaiatan ilmiah
mulai dari merumuskan masalah, memahami konsep,
mengumpulkan data, menganalisis data, dan menarik
simpulan.

C. Pengembangan Materi Pembelajaran Kreasi Seni


Rupa
Pembelajaran kreasi menekankan pada aspek produksi karya.
Artinya siswa dihadapkan pada persoalan eksplorasi atau
eksperimentasi melalui penggunaan bahan, alat dan teknik
untuk menghasilkan karya seni rupa sebagaimana yang
diharapkan, dalam hal ini sesuai tujuan atau sasaran
pembelajaran. Dalam hal penggunaan bahan berkarya seni
rupa dapat diperoleh langsung dari alam atau bahan buatan.
Bahan alam antara lain tanah liat, kayu, batu, ubi-ubian, biji-
bijan, atau daun-daunan. Bahan buatan, misalnya plastik,
kertas, sabun, lilin, dan cat. Demikian juga dengan alat. Alat
yang lazim dapat dibeli di toko, antara lain kuas, penggaris,

116
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

pahat atau pisau. Akan tetapi alat-alat juga dapat dibuat atau
memanfaatkan dari alam, misalnya ranting pohon untuk
menoreh, atau batu untuk memukul. Dalam hal teknik,
berkarya seni rupa sangat terbuka. Artinya memberi peluang
untuk senantiasa munculnya teknik baru walaupun secara
umum masing-masing cabang seni memiliki karakteristik
teknik tersendiri.
Alternatif pengembangan materi pembelajaran kreasi
seni rupa antara lain dapat dituangkan dalam berkarya
gambar, lukis, grafis dan patung yang diuraikan berikut.
Pengembangan materi belajar lain masih memungkinkan
untuk dikembangkan oleh karena sesungguhnya pengalaman
belajar yang dikembangkan melalui berbagai aktivitas
berkarya seni rupa sesungguhnya tidak terbatas.

1. Berkarya Seni Gambar


Berkarya seni gambar adalah jenis pengalaman belajar seni
rupa yang paling elementer. Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa modal kemampuan menampilkan goresan/garis
dengan alat pada suatu permukaan akan menghasilkan karya
yang disebut sebagai gambar. Dengan demikian yang perlu
dipersiapkan dalam menggambar adalah alat dan bahan
untuk membuat goresan, permukaan untuk menampilkan
goresan, dan sudah tentu gagasan gambar.
Alat atau bahan yang digunakan untuk menghasilkan
goresan antara lain adalah pensil, krayon, pastel, kapur, atau
arang. Sementara itu permukaan untuk menampilkan
goresan pada umumnya adalah kertas, plastik, atau bahan-
bahan lain yang sifatnya memiliki permukaan.

117
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Dalam pembelajaran di kelas sudah barang tentu perlu


disesuaikan dengan kondisi siswa. Pensil, pena, krayon,
pastel atau kapur tampaknya merupakan alat dan bahan yang
mudah diperoleh. Demikian juga dengan kertas. Oleh karena
itulah pengembangan materi belajar berkarya gambar juga
mudah dan praktis untuk dilaksanakan.
Berbagai pengalaman belajar dapat dilaksanakan
antara lain melalui aktivitas berkarya gambar ekspresi,
gambar bentuk, gambar ilustrasi dan gambar imajinasi.
Berbagai jenis gambar ini memiliki kekhususan terutama
terkait dengan fungsi atau tujuan pembelajaran.
Gambar ekspresi merupakan istilah yang dikenal
dalam dunia pendidikan seni rupa di Indonesia. Ekspresi
artinya ungkapan. Oleh karena itu gambar ekspresi artinya
sama dengan gambar ungkapan atau gambar berungkap.
Ungkapan seseorang itu akan berbeda dengan orang lain,
ungkapan siswa yang satu berbeda dengan siswa yang lain.
Hal tersebut disebabkan oleh faktor pengalaman, perasaan,
dan kemampuan. Dengan demikian gambar ekspresi lebih
mencerminkan dan mengakomodasi kebebasan siswa dalam
menuangkan goresan pada suatu permukaan. Dengan
demikian gambar ekspresi merupakan sarana yang tepat
dalam mengakomodasi kebutuhan berekspresi. Gambar
ekspresi dapat dihasilkan dengan pengamatan langsung atau
ingatan seseorang. Yang penting dalam proses menggambar
tersebut siswa menafsirkan secara subjektif atas objek-objek
yang ditangkap yang tidak perlu menampilkan semirip
mungkin sebagaimana dalam gambar bentuk.

118
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Gambar bentuk juga merupakan istilah yang dikenal


dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jika dalam gambar
ekspresi siswa diberi kebebasan untuk menafsirkan objek
yang digambar, tidak demikian halnya dalam gambar bentuk.
Dalam gambar bentuk siswa dituntut untuk menghasilkan
gambar semirip mungkin dengan model atau objek yang
digambar. Oleh karena itu hakikatnya melalui gambar bentuk
dapat memberikan pengalaman belajar dengan
mengkoordinasikan kemampuan mata menangkap model
atau objek dengan kemampuan motorik siswa dalam
menarik garis-garis. Gambar bentuk yang baik adalah jika
gambar yang dihasilkan oleh siswa sama persis atau
mendekati model atau objek yang digambar.
Gambar ilustrasi adalah jenis gambar yang memiliki
fungsi berceritera. Oleh karena itu gambar ilustrasi dapat
disebut sebagai gambar berceritera. Ceritera baik yang
mentradisi, masa kini, pengalaman pribadi yang nyata
maupun khayalan dapat menjadi sumber gagasan dalam
berkarya ilustrasi. Tampilan gambar ilustrasi juga tidak harus
representatif dapat juga dilakukan dengan melalui
penggayaan sebagaimana dalam ilustrasi kartun atau
karikatur. Fungsi yang dapat dibangun melalui pembelajaran
gambar ilustrasi adalah pengembangan kemampuan siswa
untuk berkomunikasi, menceriterakan pengalamannya
kepada orang lain.
Gambar imajinasi adalah jenis gambar yang
gagasannya berawal dari imajinasi seseorang atau siswa.
Gagasan yang dimaksud adalah khayalan yang dibangun dari
imajinasi anak-anak. Khayalan ini memungkinkan
pengembangan kreativitas anak. Dalam gambar imajinasi

119
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

anak bisa menampilkan objek manusia yang dapat terbang


seperti capung, atau ular bersayap, matahari tersenyum,
pohon menari atau lainnya. Artinya melalui gambar
imajinatif anak dapat berpikir secara alternatif tidak
sebagaimana sewajarnya.

2. Berkarya Seni Lukis


Jika dalam pembelajaran gambar siswa dituntut untuk
menampilkan goresan permukaan, maka dalam berkarya seni
lukis siswa diberi pengalaman belajar menampilkan gagasan
melalui pelumuran warna. Lumuran warna yang dihasilkan
itu mungkin akan menghasilkan lukisan yang menyerupai
alam sehingga disebut representatif, atau sama sekali yang
tidak menyerupai alam yang disebut dengan lukisan abstrak.
Cat, tinta, pewarna makanan, atau warna-warna yang
diperoleh dari alam dapat digunakan untuk aktivitas berkarya
seni lukis. Alat yang digunakan untuk melumurkan cat pada
permukaan yang dilukis (kertas, kanvas) umumnya adalah
kuas, akan tetapi dapat juga digunakan alat lain sejauh upaya
pelumuran cat itu terpenuhi.
Berkarya seni lukis dapat dilakukan dengan jari untuk
melumurkan pewarna pada bidang lukis. Teknik ini lazim
disebut dengan finger painting. Dalam pembelajaran pewarna
ini lazim digunakan dengan adonan bubur berwarna. Siswa
dapat berekpresi sesuai kebutuhannya untuk menampilkan
objek (umumnya abstrak) pada bidang kertas. Pengalaman
belajar ini lazim dipilih bagi siswa pada jenjang pendidikan
TK dan SD.

120
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Berkarya seni lukis dapat dilakukan dengan teknik


inkblot. Cara ini dilakukan dengan meneteskan tinta atau
pewarna pada permukaan kertas. Sebelum tinta atau
pewarna itu diteteskan, kertas yang akan digunakan dilipat
dengan posisi tertentu. Tinta atau pewarna itu diteteskan
pada salah satu permukaan (dapat juga keduanya).
Selanjutnya kertas dilipat seperti semula. Dengan cara ini
akan diperoleh raut berwarna yang tidak terduga. Teknin
inkblot ini dapat juga dilakukan dengan tidak perlu melipat
ketas, akan tetapi meniup tinta atau pewarna setelah
diteteskan. Cara ini juga akan menghasilkan raut yang tak
diduga atau raut yang sengaja diinginkan melalui
keterampilan meniup. Siswa dapat diminta untuk
mengimajinasikan raut yang dihasilkan ke dalam objek yang
dikenali, oleh karena itu pengalaman belajar ini dapat disebut
sebagai melukis imajinatif dengan teknik inkblot.
Berkarya lukis dapat juga dilakukan dengan teknik
tarikan benang dalam rangka pelumuran warna. Benang
dicelupkan pada tinta atau pewarna kemudian diletakkan
pada permukaan kertas dan ditarik atau digerakkan sesuai
dengan kemauan. Dapat juga dilakukan dengan melipat
kertas yang dilukis, dengan benang yang telah dicelupkan
pewarna itu ditempatkan sedemikian rupa di antaranya.
Selanjutnya lipatan kertas ditekan dengan tangan atau alat
bantu lain dan benang ditarik. Dengan proses ini juga akan
dihasilkan raut berwarna dan irama garis berwarna yang
dapat dimajinasikan oleh siswa.
Pengalaman belajar melukis juga dapat dilakukan
dengan mix media atau media campuran. Pertama siswa
diminta untuk menggambar atau menuangkan gagasannya

121
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

pada kertas dengan media pastel, krayon, atau lilin.


Selanjutnya gambar yang dihasilkan tersebut dilumuri bahan
tinta atau pewarna lain. Cara melukis ini akan dapat
menggugah rasa keingintahuan siswa yang ternyata bahan-
bahan tersebut tidak tertutup oleh tinta. Bahan-bahan
tersebut ternyata menjadi perintang tinta atau warna, karena
itu teknik dapat disebut melukis dengan teknik rintang
warna. Secara prinsip sama dengan proses batik. Permukaan
bidang lukis digambar dengan media yang mengandung lilin
dan selanjutnya dicelup atau dilumuri pewarna.
Pengalaman belajar melukis dengan menggunakan
kuas sudah barang tentu merupakan proses belajar dari
kebanyakan yang dilakukan pelukis. Pewarna yang dapat
digunakan adalah cat air, cat minyak, atau cat akrilik. Cat air
adalah cat yang bahan pencairnya air. Cat minyak adalah cat
yang bahan pencairnya minyak cat, sementara cat akrilik
adalah cat yang bahan pencairnya air akan tetapi setelah
kering tidak luntur sebagaimana cat air. Jika siswa
memungkinkan belajar dengan menggunakan berbagai media
ini maka pengalaman belajar melukis dapat lebih terbuka
lagi. Namun jika bahan-bahan pewarna ini tidak
memungkinkan diadakan dapat digantikan dengan pewarna
alternatif, misalnya pewarna makanan, atau bahan-bahan
pewarna alami.

3. Berkarya Seni Grafis


Pembelajaran seni grafis ini sesungguhnya amat menarik bagi
anak. Oleh karena anak akan terbawa ke alam imajinasi
berkenaan dengan gambar apa yang muncul atau dapat

122
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

terbentuk dari proses mencetak itu. Proses seni grafis


prinsipnya adalah menerakan gambar atau acuan cetak pada
suatu permukaan.
Dalam kehidupan sehari-hari juga dapat dijumpai
anak senang membuat jejak kaki atau tangan pada lantai atau
tembok. Berkaitan dengan itu, pembelajaran seni grafis
perlu diupayakan dengan memanfaatkan bahan dan alat yang
mudah diperoleh anak di lingkungan sekitar. Kegiatan
alternatif yang dapat dilakukan antara lain adalah cetak
penampang, cetak mono, dan cetak saring.
Cetak penampang pada dasarnya adalah penerapan
dari prinsip cetak tinggi. Artinya hasil cetakan terbentuk dari
teraan permukaan atau penampang yang meninggi pada
acuan cetak. Permukaan atau penampang yang memiliki
bagian-bagian yang meninggi inilah yang dalam proses cetak
harus terkena bahan pewarna,
Alat atau acuan cetak dapat diperoleh langsung dari
alam atau buatan. Alat yang langsung dari alam misalnya
irisan tangkai pelepah pisang, irisan tangkai daun pepaya,
atau daun-daunan. Acuan cetak juga dapat dibuat dengan
membentuk sebagaimana yang diinginkan dari ubi-ubian
seperti ubi ketela, wortel atau kentang. Acuan cetak juga
dapat dibuat dengan karet penghapus atau bahan lain yang
mudah ditemukan dan sudah barang tentu murah didapat.
Acuan cetak juga dapat dibuat dengan menempelkan sesuatu
(kertas, benang atau benda-benda lainnya) pada permukaan
acuan cetak. Oleh karena acuan cetak diperoleh dari proses
tempel-menempel kegiatan ini biasa disebut sebagai kolagraf.

123
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

Teknik cetak mono atau lazim disebut monoprint pada


dasarnya merupakan teknik cetak spesial yang
mengembangkan dari teknik cetak datar. Proses cetak ini,
acuan cetak merupakan bidang yang mendatar, tidak ada
bagian yang meninggi atau tenggelam. Disebut monoprint atau
cetak spesial oleh karena hasil dari kegiatan mencetak tidak
dapat diulang, dengan kata lain tidak akan dapat
menghasilkan karya yang sama. Satu kali mencetak selesailah
tugas acuan cetak itu. Dalam pembelajaran teknik cetak ini
dapat digunakan acuan cetak berupa lembaran plastik, kaca,
atau logam. Pada lembaran tersebut dilumurkan tinta atau
cat sebagai acuan cetak baru kemudian diterakan pada kertas.
Permukaan air juga dapat digunakan sebagai acuan cetak.
Caranya adalah pada permukaan air yang relatif keluasannya,
misalnya ditempatkan dalam baki atau baskom, kemudian
dituangkan tinta atau cat minyak yang sifatnya tidak dapat
bercampur dengan air. Tinta atau cat itu akan mengapung di
atas permukaan air yang dapat diterakan pada permukaan
kertas.
Teknik cetak tembus dalam industri grafis sering
disebut sablon. Teknik ini pada dasarnya adalah mengenakan
tinta cetak pada acuan cetak yang berlobang, dengan kata
lain tinta menembus pada acuan cetak yang berlobang, atau
alat cetak yang berlobang-lobang itu menyaring tinta cetak.
Untuk menembuskan tinta dapat dilakukan dengan busa
yang dikenakan pada tinta, atau meneteskan tinta dengan
cara-cara tertentu (misalnya dengan sprayer).

124
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

4. Berkarya Seni Patung


Seseorang dalam proses berkarya patung dituntut untuk
menampilkan bentuk, figur atau sosok yang memiliki massa
atau volum. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya bahwa seni patung dapat diwujudkan
dengan beraneka bahan, dan juga teknik (modeling, carving,
casting, dan assembling atau constructing). Walaupun beraneka
bahan dan teknik memungkinkan untuk diwujudkan dalam
berkarya patung namun tetap perlu dipikirkan ketepatan
dalam hal pemberian pengalaman belajar bagi para siswa.
Pengalaman belajar berkarya patung memungkinkan
terlaksana dengan mudah adalah dengan teknik modeling,
carving, dan assembling.
Mematung dengan teknik modeling disebut juga
dengan membutsir atau membentuk. Ciri utama teknik ini
adalah bahan yang digunakan adalah lembek (bisa jadi
setelah kering menjadi keras), dan proses pembentukannya
menggunakan prinsip penambahan atau additive. Bahan yang
cocok digunakan berkarya patung teknik ini dalam
pembelajaran adalah tanah liat, bubur kertas, atau plastisin.
Berkarya patung dengan teknik carving atau pahat
dalam kehidupan sehari-hari dibuat dengan bahan yang
relatif keras, misalnya kayu dan batu, atau bahan yang dapat
dikeraskan, misalnya gips. Prinsip pengerjaan teknik pahat
ini adalah kebalikan dari teknik modeling yakni mengurangi
atau substractive. Berkenaan dengan prinsip mengurangi ini
maka alat yang digunakan adalah yang dapat memenuhi
fungsi itu, antara lain adalah pahat atau pisau. Penggunaan
alat tersebut dapat didukung dengan palu, gergaji, atau

125
Pengembangan Materi Pembelajaran Seni Rupa

lainnya sesuai kebutuhan. Pembelajaran di kelas perlu


dipikirkan bahan dan alat yang mudah dan tidak terlalu
beresiko bagi siswa. Bahan gips dan sabun batangan
tampaknya memungkinkan untuk digunakan dengan pisau
sebagai alat pahatnya.
Pemanfaatan teknik assembling atau constructing dalam
berkarya patung mempersyaratkan bahan-bahan yang dapat
digabung, disusun atau dikonstruksi. Bahan-bahan logam
sering menjadi pilihan seniman untuk berkarya patung
dengan teknik ini. Bahan logam tersebut dapat berupa
lempengan, pipa, limbah barang logam, atau lainnya. Bahan
kayu dan bambu juga dapat dijadikan alternatif patung
konstruksi. Pembelajaran mematung dengan teknik assembling
atau konstruksi ini perlu disederhanakan atau disesuaikan
dengan kondisi siswa. Bahan karton, limbah kayu, bekas
kemasan, lidi, sedotan minuman, stick bambu atau kawat
dapat dijadikan alternatif. Bahan-bahan tersebut sudah
barang tentu memerlukan perekat yang sesuai seperti lem,
benang, kawat atau lainnya.

126
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

BAB V
PENDIDIKAN SENI RUPA DALAM
KAJIAN EMPIRIK

A. Pendidikan Seni Rupa pada Lembaga Pendidikan


Sekolah
1. Pendahuluan
Seni memiliki hubungan yang reciprocal bagi kehidupan
manusia. Seni tak dapat muncul tanpa ada unsur manusia.
Sebaliknya, tidak ada manusia yang tidak bersentuhan
dengan seni. Dalam kondisi apapun seni senantiasa
menyertai kehidupan manusia. Betapapun sulitnya
kehidupan suatu masyarakat, mereka tetap menyisihkan
waktunya untuk bersentuhan dengan seni, mereka tidak akan
menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mencari
makan dan perlindungan semata. Sebaliknya mereka yang
hidup di lingkungan yang lebih menguntungkan dengan
segala kemudahannya, sudah barang tentu, akan lebih
banyak menyisihkan waktu bagi karya-karya yang
mengungkapkan rasa keindahan (Budhisantoso, 1981/1982:

125
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

23). Tegasnya, di mana ada manusia di situ ada juga kesenian


(Driyarkara, 1980: 2).
Makin longgar waktu manusia semakin memberi
peluang munculnya karya seni. Makin sejahtera kehidupan
manusia semakin memperbesar kebutuhan manusia itu akan
seni. Seni bagi manusia merupakan kebutuhan yang paling
tinggi yang menunjukkan harkat dan martabat seseorang.
Jika merujuk pendapat Maslow dalam Warga (1983: 48-49)
maka kebutuhan akan seni merupakan salah satu bentuk
aktualisasi diri manusia dalam hal berekspresi, berimajinasi
dan berapresiasi.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman kesenian.
Dalam bidang seni rupa gejalanya telah diawali pada zaman
mesolitikum akhir dan setidak-tidaknya pada zaman
neotitikum awal (Soedarso, 1972: 2). Kepandaian bangsa
Indonesia dalam bidang seni rupa pada zaman prasejarah itu
antara lain diwujudkan dalam bentuk kapak batu, patung
nenek moyang, dan lukisan di gua-gua. Dalam masa
selanjutnya kepandaian tersebut makin memuncak,
sebagaimana tercermin pada karya bangunan candi, keraton,
masjid dan benda-benda kerajinan yang berkembang di
masyarakat (batik, ukir, keramik, dan sebagainya).
Kepandaian dalam bidang seni rupa tersebut bagi
masyarakat dan bangsa yang menjunjung tinggi nilai budaya
sudah barang tentu perlu upaya pelestarian. Di samping itu
juga agar tidak terjadi perjalanan yang statis, dan guna
mengimbangi tantangan serta tandingan perkembangan
situasi sosial budaya, terutama globalisasi, kepandaian

126
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

tersebut perlu pengembangan. Upaya pelestarian dan


pengembangan seni rupa dan desain itu sebagai sarana yang
dipandang efektif adalah melalui pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud adalah pendidikan seni rupa.
Sebagaimana dimaklumi bahwa proses pendidikan
dapat berlangsung melalui jalur sekolah dan luar sekolah.
Dalam tulisan ini sengaja dibatasi pembahasannya
pendidikan seni rupa pada jalur sekolah, dengan
pertimbangan bahwa pada jalur ini memiliki kejelasan dalam
hal program untuk dievaluasi dan direkomendasi. Tulisan
secara utama mendasarkan dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan secara sistematik dan pengamatan awal yang
empirik. Secara berturut-turut tulisan ini mengetengahkan:
(1) tinjauan konseptual pendidikan seni rupa, (2) pendidikan
seni rupa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, (3)
pendidikan seni rupa pada jenjang pendidikan tinggi, dan
diakhiri penutup.

2. Tinjauan Konseptual Pendidikan Seni Rupa


Seni rupa dalam konteks pendidikan, secara umum
pembahasannya dapat dipilah menjadi dua kategori. Kategori
pertama adalah pandangan yang melihat seni rupa sebagai
materi yang harus diajarkan, dan kategori kedua adalah
pandangan yang menempatkan pendidikan seni rupa sebagai
alat atau sarana pendidikan. Kategori pertama menggunakan
konsep “pendidikan dalam seni” (education in art), sementara
kategori kedua menggunakan konsep “pendidikan melalui
seni” (education through art).

127
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Konsep pendidikan dalam seni awalnya digagas oleh


golongan esensialis yang menganggap bahwa materi seni
rupa itu amat penting diberikan kepada anak sebagai upaya
pewarisan nilai dan keterampilan seni (Eisner, 1972: 2).
Keahlian melukis, menggambar, mematung, dan
keterampilan berkarya seni rupa perlu dilakukan pengkajian,
pelestarian dan pengembangan. Oleh karena itu pendidikan
keahlian kesenirupaan merupakan keniscayaan. Pendidikan
dalam seni ini sejalan dengan konsep pendidikan sebagai
proses enkulturasi, yakni pembudayaan yang dilakukan
dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari
generasi tua kepada generasi berikutnya. Dengan demikian,
pandangan pendidikan dalam seni ini merupakan upaya
pendidik dan lembaga pendidikan dalam rangka mewariskan,
melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian
yang ada kepada anak sebagai peserta didik.
Pada jenjang pendidikan sekolah (formal),
pendekatan pendidikan dalam seni ini memberi kesempatan
kepada anak didik untuk menguasai bidang seni atau
keterampilan seni tertentu. Oleh karena itu pada
implementasinya pendekatan pendidikan dalam seni ini hal
yang berkaitan dengan keterampilan-keterampilan teknis
disajikan secara bertahap. Suatu tahapan tertentu tidak dapat
diikuti oleh anak manakala tahapan sebelumnya belum
dikuasai. Misalnya keterampilan dalam menggambar.
Pada tahapan awal anak dilatih untuk membuat garis
lurus tanpa bantuan penggaris, berikutnya garis lengkung
tanpa bantuan jangka. Selanjutnya, tahapan berikutnya anak
dilatih membuat gelap terang untuk menyatakan kesan
kedalaman (ruang) suatu benda (lihat; Chapman, 1978: 6-7).

128
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Oleh karena penguasaan keterampilan seni merupakan hal


yang sangat penting bagi pendekatan ini maka latihan terus
menerus (drill), mencontoh, memola, dikte, dan penugasan
adalah hal yang biasa dalam proses pembelajaran seni rupa
bagi anak. Di samping itu dalam proses pembelajarannya
diperlukan guru yang profesional, artinya guru yang benar-
benar memiliki kemampuan memadai di bidang seni rupa.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan dalam seni ini
kiranya cocok digunakan untuk kepentingan pendidikan di
sekolah kejuruan seni, pendidikan seni di lingkungan
keluarga, sanggar dan sejenisnya.
Pendidikan melalui seni, di lain pihak, didasari oleh
pandangan kontekstualis, yang pada dasarnya melihat seni
rupa itu pada konteksnya, dapat difungsikan pada bidang
tertentu, termasuk dalam bidang pendidikan (Eisner, 1972:
2). Pendapat yang paling populer berkenaan dengan
pandangan atau pendekatan ini adalah sebagaimana yang
dilontarkan oleh Read (1970) dalam buku yang berjudul
“Education through Art”. Dengan pandangan ini seni rupa
sesungguhnya merupakan materi dan kegiatan pembelajaran
yang dapat membawa siswa ke arah tujuan pendidikan secara
umum. Melalui pendidikan seni rupa dapat ditanamkan
perilaku siswa yang kreatif, imajinatif, terampil, dan memiliki
kepekaan estetis yang tinggi. Kepandaian menggambar,
melukis, atau mematung bukan menjadi tujuan utama. Jika
dalam pembelajarannya ternyata anak memiliki kepandaian
menggambar, melukis atau mematung hal tersebut semata-
mata merupakan efek ikutan (nurture effect). Pandangan inilah
yang mengilhami pelaksanaan pendidikan seni rupa di
sekolah-sekolah umum.

129
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Berkenaan dengan pandangan pendidikan melalui


seni ini, Linderman dan Linderman (1984: 4-9) menyatakan
bahwa dengan pendidikan seni rupa siswa akan memperoleh
pengalaman estetik yang meliputi pengalaman perseptual,
kultural dan artistik. Pengalaman perseptual akan diperoleh
siswa melalui kegiatan berpikir, pengamatan atau
penginderaan, penciptaan, imajinasi, dan ekspresi kreatif.
Pengalaman kultural dapat diperoleh siswa melalui
kegiatan mempelajari dan memahami bentuk-bentuk seni
masa lampau maupun saat ini. Sementara itu pengalaman
artistik dikembangkan melalui pemahaman dan keterampilan
siswa dalam menggunakan media seni dan menghargai
(mengapresiasi) karya seni yang dihasilkan oleh orang lain.
Dengan kalimat yang berbeda pengalaman estetik ini oleh
Eisner (1972: 65) disebut sebagai kemampuan produktif,
kritis, dan kultural. Dengan demikian, sebagaimana pendapat
Eisner (1972) bahwa melalui belajar artistik (pendidikan seni
rupa) menuntut adanya bagaimana peserta didik belajar
berkreasi dalam mengungkapkan bentuk-bentuk visual yang
mempunyai karakter estetik dan ekspresif, bagaimana peserta
didik belajar melihat bentuk-bentuk visual dari karya seni
dan alam, serta memahami kejadian atau peristiwa-peristiwa
seni. Oleh karena itu, dalam struktur program pembelajaran
seni rupa di sekolah, menurut Eisner (1972: 71-81) setidak-
tidaknya meliputi segi ekspresi dan produksi. Segi ekspresi
menekankan pada aspek-aspek estetik dan kekuatan ekspresi
anak, sementara aspek produksi menekankan pada aspek
keterampilan dalam proses pembuatan karya seni.

130
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

3. Pendidikan Seni Rupa pada Jenjang Penidikan


Dasar dan Menengah
Pendidikan dasar secara administratif meliputi jenjang
pendidikan di SD dan SLTP, tidak termasuk TK yang lazim
disebut sebagai pendidikan prasekolah. Untuk
menyederhanakan organisasi tulisan ini pembahasan
pendidikan seni rupa di TK dikelompokkan pada jenjang
pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan menengah,
tulisan ini hanya difokuskan pada pendidikan menengah
umum atau lebih sering disebut SMA.
Pendidikan seni rupa pada jenjang TK, sebagaimana
mata ajaran lainnya diselenggarakan secara terpadu. Dengan
model pembelajaran terpadu ini di TK tidak dikenal istilah
mata pelajaran atau bidang studi, akan tetapi bidang-bidang
pengembangan yang dalam pelaksanaannya difokuskan pada
tema pembelajaran tertentu. Bidang pengembangan yang
memiliki muatan ajaran pendidikan seni rupa adalah bidang
pengembangan daya cipta. Melalui bidang pengembangan ini
anak-anak dilatih dengan pendekatan belajar sambil bermain
antara lain dalam bentuk kegiatan menggambar, membentuk,
dan melipat-memotong-menempel (M3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seni
rupa sebagai bidang pengembangan daya cipta di TK dapat
berjalan sebagaimana yang diharapkan walaupun yang
mengajar bukan guru mata pelajaran. Umumnya guru tidak
merasa kesulitan untuk mengembangkan materi
pembelajaran. Guru merasa tidak terbebani dengan
pembelajaran seni rupa, sehingga pembelajaran menjadi
wajar. Dengan menggunakan pendekatan belajar sambil

131
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

bermain, pembelajaran seni rupa sebagai pengembangan


daya cipta menjadi kegiatan yang amat menarik bagi anak
(Syafii, 1994).
Pada jenjang SD pendidikan seni rupa merupakan
bagian dari mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian
(Kertangkes). Dalam struktur kurikulum mata pelajaran
Kertangkes ini diselenggarakan 2 (dua) jam pelajaran setiap
minggu mulai kelas I sampai VI. Mata pelajaran Kertangkes
di SD merupakan rumpun mata ajaran seni rupa, musik, tari,
kerajinan, dan sebagian keterampilan keluarga. Dengan
demikian porsi pendidikan seni rupa di SD amatlah kecil.
Secara matematis dengan alokasi waktu 2 (dua) jam dengan
pengembangan 5 (lima) mata ajaran maka pendidikan seni
rupa memiliki alokasi waktu 0,25 jam pelajaran. Itu pun tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pendidikan seni rupa
di SD, sebagaimana tanggapan guru, sekedar berfungsi untuk
memenuhi formalitas kurikulum, pengisi waku luang, dan
pelepas lelah. Dengan iklim belajar yang terkonsentrasi pada
keberhasilan ebtanas, maka pembelajaran pendidikan seni
rupa di SD sering diabaikan oleh guru. Tidak jarang jam
mata pelajaran yang mestinya untuk pembelajaran seni rupa
digantikan dengan mata pelajaran lain yang di-ebtanas-kan.
Keberlangsungan pembelajaran seni rupa akhirnya amat
begantung pada kemauan dan kemampuan guru serta
berjalan ala kadarnya. Pendidikan seni rupa menjadi mata
pelajaran yang dinomorduakan, dianaktirikan, dan
termarjinalkan (Syafii, 1992; 1993; dan 2000).
Ketidakberlangsungan pembelajaran seni rupa di SD
di samping terbentuk oleh iklim belajar yang berorientasi
pada keberhasilan ebtanas, tampaknya juga terdorong oleh

132
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

faktor ketidakmampuan guru SD. Guru SD merasa


terbebani dengan pembelajaran seni rupa oleh karena
menurut anggapan mereka, guru yang mengajarkan seni rupa
perlu berbakat. Guru SD beranggapan pendidikan seni rupa
bermuatan mata ajaran menggambar, oleh karena itu mereka
beranggapan harus dapat memberikan contoh gambar di
papan tulis.
Sebetulnya peluang penyelenggaraan pendidikan seni
rupa di SD masih cukup besar. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan upaya menambah jam intrakurikuler yang telah
ditetapkan dengan jam muatan lokal. Muatan lokal
sebagaimana ketentuan kurikulum dapat dikembangkan
dengan mata ajaran kesenian --termasuk seni rupa—yang
sesuai dengan kondisi daerah setempat. Hanya saja peluang
ini tidak dapat dimanfaatkan oleh sekolah oleh karena
kebijakan pendidikan belum berpihak pada pendidikan
kesenian. Penerapan guru mata pelajaran pendidikan seni
rupa di SD tampaknya juga merupakan alternatif yang baik.
Kelemahan selama ini dengan status guru kelas yang harus
menguasai sejumlah mata pelajaran, dan guru merasa tidak
mampu atau berbakat seni dapat tertanggulangi.
Iklim pembelajaran pendidikan seni rupa di SLTP
sebetulnya tidak begitu berbeda dengan di SD. Artinya,
pembelajaran pendidikan seni rupa juga tidak memperoleh
perhatian yang cukup dari kepala sekolah, pengawas, dan
para birokrat lainnya, termasuk oleh sebagian guru itu
sendiri. Mereka beranggapan bahwa pendidikan seni rupa
sebagai submata pelajaran Kertangkes tidak memberikan
kontribusi pada keberhasilan peserta didik dalam mengikuti

133
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

ebtanas. Hanya saja keadaan ini tertolong dengan penerapan


guru mata pelajaran.
Dengan guru mata pelajaran setidak-tidaknya
pendidikan seni rupa dapat berjalan sebagaimana mestinya,
walaupun jam pelajarannya terpaksa harus rebutan dengan
guru pendidikan seni musik, tari dan juga PKK. Sayangnya,
guru mata pelajaran pendidikan seni rupa tidak mesti berlatar
belakang pendidikan tinggi kependidikan seni rupa. Guru
seperti ini dapat diduga akan mengajar sesuai dengan
kemauan dan kemampuannya. Guru yang berlatar belakang
pendidikan seni rupa pun kurang memperoleh pembinaan
lewat penataran atau sejenisnya. Upaya peningkatan
kemampuan diri melalui studi lanjut oleh para guru sendiri
pun terkadang di antara mereka lebih memilih program studi
lain daripada program studi pendidikan seni rupa dengan
berbagai alasan.
Ditinjau dari alokasi waktu belajar pendidikan seni
rupa (Kertangkes) di SLTP dan SD tidak memperlihatkan
perbedaan, yakni 2 (dua) jam pelajaran setiap minggu dari
kelas I sampai dengan kelas III. Dengan alokasi waktu
tersebut untuk mencapai tujuan kurikuler mengembangkan
sikap dan kemampuan siswa agar berkreasi dan menghargai
kerajianan tangan dan kesenian (lihat Depdikbud, 1993)
amatlah sangat kurang. Kekurangan waktu ini, sebetulnya
jika pihak terkait memberi dukungan, sebagaimana di SD
dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan mata pelajaran
muatan lokal. Di samping itu, jika guru cukup partisipatif
dalam pengembangan pendidikan seni rupa di sekolah,
program ekstra kurikuler juga dapat menjadi alternatif.

134
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Pendidikan seni rupa di SMA ditinjau dari alokasi


waktu belajar sebagaimana yang tertuang dalam struktur
program sesungguhnya lebih memprihatinkan dibanding
dengan SD atau SLTP. Pendidikan seni rupa yang berpayung
mata pelajaran pendidikan seni dengan waktu belajar 2 (dua)
jam pelajaran terpaksa diselenggarakan beramai-ramai
dengan guru pendidikan seni tari dan musik. Lebih tragis
lagi, sesuai dengan struktur program mata pelajaran
pendidikan seni hanya diberikan di kelas I.
Barangkali dengan persyaratan administratif guru
harus mengajar dalam setiap minggu, hal tersebut akan
menjadikan keruwetan bahkan boleh jadi keributan dalam
pelaksanaannya. Pembelajaran pendidikan seni rupa menjadi
kurang intens, walaupun telah tertolong oleh guru mata
pelajaran yang paling tidak berpendidikan D3 di sebagian
sekolah –sebagian lainnya terkadang pendidikan seni rupa
diajar oleh guru yang tidak relevan dengan latar belakang
pendidikannya. Dengan pembelajaran seni rupa yang hanya
sampai pada catur wulan III di kelas I maka mata pelajaran
pendidikan seni rupa menjadi terputus atau terhenti. Bagi
siswa yang memiliki minat dan kemampuan di bidang seni
rupa terpaksa harus menunggu setelah mereka lulus dan
melanjutnkan ke perguruan tinggi seni rupa jika di
sekolahnya tidak menyelenggarakan pendidikan kegiatan
ekstrakurikuler seni rupa.
Dengan membaca kondisi empirik pelaksanaan
pendidikan seni rupa mulai TK sampai dengan SMA,
tampaknya perlu dilakukan upaya perencanaan yang lebih
memadai. Aspek tujuan, materi, dan penyajian perlu disusun
secara berkelanjutan. Guru pendidikan seni rupa pada setiap

135
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

jenjang pendidikan semestinya adalah orang yang profesional


di bidangnya. Iklim belajar perlu diciptakan agar tidak
terkonsentrasi pada mata pelajaran yang di-ebtanas-kan. Jika
hal tersebut dapat terpenuhi pada gilirannya lulusan SMA
akan siap menjadi anggota masyarakat yang apresiatif
terhadap karya seni rupa dan siap pula menjadi masukan
yang memiliki kemapuan memadai pada perguruan tinggi
seni rupa.

4. Pendidikan Seni Rupa pada Jenjang Pendidikan


Tinggi
Pendidikan Tinggi (PT) di Indonesia pada dasarnya dapat
digolongkan ke dalam 2 (dua) jalur, yakni pendidikan
akademik dan pendidikan profesional. Jalur pendidikan
akademik adalah PT yang mengutamakan peningkatan mutu
dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan
diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
Sementara jalur pendidikan profesional mengutamakan
peningkatan kemampuan penerapan ilmu pengetahuan dan
diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi,
institut, dan universitas. Pendidikan akademik terdiri dari
program sarjana, magister, dan doktor. Sementara
pendidikan profesional meliputi program diploma dan
spesialis.
Ditinjau dari bidang yang digeluti PT di Indonesia
dibedakan PT kependidikan dan PT non kependidikan.
Klasifikasi ini secara lebih khusus digunakan dalam program
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). PT
kependidikan adalah lembaga PT yang menyiapkan tenaga-

136
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

tenaga kependidikan guru atau bukan guru. Tenaga


kependidikan guru yang disiapkan oleh PT kependidikan
adalah tenaga guru TK sampai dengan perguruan tinggi.
Pengadaan guru TK dipersiapkan melaluli program
Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK), tenaga guru
SD melalui program Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD), tenaga guru SLTP dan SMTA melalui program
Pendidikan Tenaga Kependidikan Sekolah Menengah
(PTKSM). Sementara tenaga dosen dipersiapkan melalui
program magister dan doktor kependidikan. Pada PT
tertentu juga menyelenggarakan program guru sekolah luar
biasa.
Adapun tenaga non guru yang disiapkan oleh PT
kependidikan antara lain adalah bidang kurikulum dan
teknologi pendidikan, psikologi pendidikan dan bimbingan,
dan pendidikan luar sekolah. Lulusan PT non kependidikan
di lain pihak terutama disiapkan mengisi lapangan pekerjaan
di luar lingkungan pendidikan. Tenaga dokter, ahli kimia,
kehutanan, sampai dengan perbankan semuanya disiapkan
oleh PT non kependidikan. Tidak jarang antara PT
kependidikan dan non kependidikan melalui nama
jurusan/program studi yang sepintas sama, misalnya
Pendidikan Matematika dan Matematika, Pendidikan Biologi
dan Biologi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris dan Sastra
Inggris. Keduanya sesungguhnya memiliki kewenangan yang
berbeda walaupun penyerapan lulusan terkadang saling
bertukar.
Berbicara pendidikan seni rupa di PT, sebagaimana
jenis PT yang diuraikan di depan, dikenal pendidikan seni

137
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

rupa pada lembaga PT kependidikan dan pendidikan seni


rupa pada lembaga PT non kependidikan. Pendidikan seni
rupa pada lembaga kependidikan disiapkan dalam rangka
mengisi tenaga guru terutama di tingkat SLTP dan SLTA
(yang sampai saat ini menerapkan sistem guru mata
pelajaran). Sementara itu pendidikan seni rupa pada lembaga
PT non kependidikan diarahkan pada pengadaan lulusan
yang berprofesi sebagai seniman dan desainer.
Pendidikan seni rupa pada PT non kependidikan
diselenggarakan oleh suatu fakultas pada universitas, institut,
dan sekolah tinggi. Fakultas pada universitas dan institut ini
bernama Fakultas Seni Rupa dan Desain. Pada umumnya
fakultas atau sekolah tinggi ini menyelenggarakan program
studi seni rupa murni (dengan konsentrasi seni lukis, seni
patung, dan seni grafis), program studi fotografi, program
studi kriya seni (dengan konsentrasi kriya kayu, logam, kulit,
tekstil, dan keramik), dan program studi desain yang meliputi
desain produk, desain komunikasi visual, dan desain interior
(lihat: SK Mendikbdud RI Nomor: 0312/U/1994).
Pendidikan seni rupa murni diharapkan mampu bekerja
mandiri atau bekerja sama dengan berbagai disiplin lainnya
dalam mengembangkan apresiasi seni masyarakat melalui
kemampuannya sebagai seniman yang ahli di bidangnya, atau
dengan perkataan lain program seni rupa murni akan
menghasilkan sarjana yang seniman atau seniman sarjana.
Pendidikan sarjana fotografi akan menghasilkan tenaga
sarjana seni yang ahli di bidang fotografi. Pendidikan sarjana
kriya seni akan menghasilkan tenaga seni yang ahli dalam
bidang kriya kayu, logam, kulit, tekstil atau keramik.
Pendidikan sarjana desain produk akan menghasilkan sarjana

138
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

desain untuk produk-produk kebutuhan manusia.


Pendidikan sarjana desain komunikasi visual akan
menghasilkan tenaga sarjana desain bagi komunikasi
antarkelompok dalam masyarakat. Sementara itu program
studi desain interior bagi akan menghasilkan tenaga sarjana
desain interior bangunan, mulai dari interior bagi fasilitas
hunian hingga fasilitas umum (lihat SK Mendikbud RI
Nomor: 0312/U/1994; Buku Panduan ITB, 1998: Buku
Panduan STISI, 1999; dan Petunjuk Teknis Kurikulum dan
Silabi Mata Kuliah FSRD Universitas Trisakti, 1997).
Pendidikan seni rupa pada PT kependidikan, di lain
pihak, umumnya diselenggarakan oleh LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) –IKIP, STKIP, dan
fakultas-fakultas keguruan di universitas. Program yang
sampai sekarang masih diselenggarakan adalah program
studi Pendidikan Seni Rupa dengan jenjang sarjana (S1) yang
dapat diselesaikan oleh mahasiswa kurang lebih 8 (delapan)
semester. Program ini pada umumnya disiapkan untuk
mengajar di sekolah menengah. Oleh karena itu program-
program perkuliahan yang diberikan terutama bertujuan
menyiapkan tenaga guru yang memiliki kemampuan
personal, sosial, dan profesional. Lulusan yang dihasilkan
adalah tenaga guru yang menguasai bidang studi seni rupa,
khususnya sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sekolah
dan mampu pula mengajarkannya.
Tugas dan tanggung jawab PT kependidikan bidang
seni rupa ternyata berkembang sesuai dengan tuntutan
zaman. Tenaga guru pendidikan seni rupa dengan jenjang S1
atau bergelar sarjana ternyata tidak hanya dimanfaatkan di
SMA dan SLTA umum lainnya, akan tetapi juga di TK atau

139
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

SD (yang telah menerapkan guru mata pelajaran atas inisiatif


sekolah), SLTP, SMK bidang seni dan desain, bahkan
perguruan tinggi. Di luar tenaga guru ternyata lulusan
LPTK/PTKSM bidang seni rupa bisa memiliki peluang yang
sama dengan lulusan PT non kependidikan. Mereka mampu
bersaing pada bidang desainer dan kesenimanan. Di
samping itu di antara mereka juga ada yang berprofesi
sebagai tenaga teknis pada instansi bidang pembinaan
kesenian dan kebudayaan. Lulusan pendidikan seni rupa
Universitas Negeri Semarang (UNNES) menunjukkan hal
yang demikian. Bertolak dari fenomena tersebut dan
kemauan konsorsium bidang pendidikan, sejak tahun 1993
PT kependidikan, sementara program studi pendidikan seni
rupa PT tertentu (sebut saja UNNES) menerapkan
kurikulum PTKSM dengan program fleksibilitas. Artinya
lulusan pendidikan seni rupa tidak hanya disiapkan untuk
menjadi guru bidang studi pendidikan seni rupa di SMA
yang profesional, akan tetapi juga disiapkan untuk menjadi
profesi lain.
Program fleksibilitas tenaga guru pendidikan seni
rupa disiapakan dalam bentuk program fleksibiltas vertikal
dan horisontal. Dengan program fleksibiltas vertikal
diharapkan lulusan pendidikan seni rupa dapat mengisi
tenaga guru untuk mata pelajaran pendidikan seni rupa pada
jenjang TK, SD, SMP, dan SMA, bahkan mungkin juga
perguruan tinggi. Dengan program flesibiltas horisontal
lulusan pendidikan seni rupa dapat mengisi formasi tenaga
guru pada sekolah yang setingkat dengan SMA, antara lain
MA (Madrasah Aliyah), dan SMK (Sekolah Menengah
Kejuruan) rumpun seni, desain, dan kerajinan. Di samping

140
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

penerapan program fleksibiltas vertikal dan horisontal,


program studi pendidikan seni rupa PT tertentu (misalnya
UNNES) juga menerapkan program fleksibilitas profesional.
Artinya, di samping disiapkan untuk menjadi guru lulusan
pendidikan seni rupa PT kependidikan dapat memiliki
profesi atau keahlian alternatif sebagai seniman di bidang
lukis, patung, grafis, atau keramik; desainer di bidang
komunikasi visual dan dekorasi; keahlian di bidang ukir,
sablon dan fotografi; serta tenaga teknis pada lembaga
pemerintah dan swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
pembinaan seni dan budaya.
Demikianlah program-program pendidikan seni rupa
yang ditawarkan PT. Problem-problem pelaksanaan
sebagaimana di tingkat pendidikan dasar dan menengah
tidak ditemukan. Namun demikian, pada setiap PT seni rupa
akan menampakkan perbedaan yang tergambar dari kualitas
atau unjuk kerja lulusannya sebagai tenaga kependidikan di
bidang kesenirupaan, seniman dan desainer yang kreatif.

5. Penutup
Sebagai pengakhir dapat ditegaskan bahwa secara konseptual
pendidikan seni rupa dan desain pada lembaga pendidikan
sekolah amat besar perannya dalam mremberikan
pengalaman estetik siswa. Pada gilirannya dengan perolehan
pengalaman tersebut akan terjadi dua kemungkinan,
pertama, lulusan menjadi penikmat yang apresiatif, dan
kedua, lulusan menjadi seniman atau desainer kreatif.
Penikmat yang apresiatif perlu penyiapan program yang
terencana dalam lembaga pendidikan sekolah dengan

141
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

kurikulum dan daya tampung yang memadai dengan


dibarengi pengadaan guru yang profesional. Di lain pihak,
calon seniman dan desainer perlu disiapkan oleh lembaga PT
seni rupa agar dapat menghasilkan karya-karya yang kreatif.
Pada akhirnya akan terjadi kesadaran, kesepahaman,
hubungan yang reciprocal (timbal balik yang menguntungkan)
antara seniman/desainer dan masyarakat penikmat.

B. Penanaman Nilai Estetik: Pendidikan Seni Rupa di


SD
1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Salah satu isu pendidikan yang menarik dan perlu dipikirkan
bagi bagi lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
adalah lemahnya profesionalisme guru di tingkat pendidikan
Sekolah Dasar (SD). Kemampuan professional guru SD saat
ini, masih terikat pada petunjuk atasan (Kompas, 1991).
Kemampuan mengajar yang demikian itu, berarti juga, guru
tidak kreatif dan inovatif, dan hanya memikirkan kesuksesan
pekerjaannya manakala ada penilaian atasan.
Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) adalah salah satu
tolok ukur atau penilaian atasan dan juga masyarakat atas
keberhasilan proses belajar bagi murid dan mengajar yang
dilakukan oleh guru. Akan tetapi untuk kepentingan
mengejar keberhasilan Ebtanas itu, guru mengutamakan
bidang studi yang di-ebtanas-kan, materi belajar disajikan
secara penuh, dan bahkan diberi tambahan di luar jam
efektif sekolah, dan sebagainya. Di lain pihak terjadi korban

142
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

bidang studi lain yang tidak di-ebtanas-kan, dan oleh karena


dianggap bukan merupakan bagian yang penting, salah satu
di antaranya adalah Pendidikan Seni Rupa.
Sementara itu juga, Pendidikan Seni Rupa masih
dianggap oleh guru sebagai pelajaran menggambar. Mereka
tidak mampu mengubah kea rah misi yang diharapkan yakni
Pendidikan Seni Rupa sebagai pendidikan estetik.
Barangkali kesenjangan antara harapan dan kenyataan
pelaksanaan pendidikan, khususnya Pendidikan Seni Rupa
yang tepat adalah bukan hanya diakibatkan oleh guru yang
dijadikan sorotan sentral, akan tetapi keseluruhan subsistem
dalam sistem pendidikan -- termasuk sifat komunitas yang
mendukung sistem-- akan lebih dapat dan tepat menjawab
permasalahan yang ada. Dengan demikian, tegasnya,
diperlukan penelitian yang holistik guna menjelaskan
masalah itu, dan menemukan model penanaman
(pendidikan) nilai estetik sebagaimana yang diharapkan.
Berangkat dari pemikiran awal yang diuraikan di atas,
masalah penelitian ini adalah bagaimana proses penanaman
nilai estetik bagi siswa SD di Kota Semarang melalui
Pendidikan Seni Rupa sebagai lingkup kajian. Dalam hal ini
pula, secara khusus, bagaimana dan mengapa peranan pada
dimensi siswa, guru, dan iklim belajar terjadi dalam kerangka
sistem penanaman nilai estetik menjadi fokus penelitian ini.

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan ingin mendeskripsikan, menganalisis,
dan menemukan model tentang gejala-gejala atau faktor yang

143
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

menentukan proses penanaman nilai estetetik siswa, yang


secara mendalam dikaji dari sekolah yang telah berhasil dan
belum berhasil. Bagi sekolah yang belum berhasil
menanamkan nilai estetik melalui Pendidikan Seni Rupa,
kajian seperti ini akan ditemukan masalah yang pernah dan
sedang dialami, serta sebabnya dalam konteks yang ada.
Sebaliknya bagi sekolah yang telah berhasil menanamkan
nilai estetik melalui pendidikan seni rupa, penelitian ini akan
dapat memberikan penjelasan bagaimana masalah yang
dihadapi telah berhasil dipecahkan. Kajian seperti ini pada
gilirannya akan dapat memberikan simpulan dan
menemukan model penanaman nilai estetik bagi siswa
melalui pendidikan seni rupa.
Berkaitan dengan tujuan yang diharapkan itu, dapat
diperoleh manfaat yang bersifat informasi dan evaluasi.
Manfaat informasi, dalam penelitian ini, dapat menunjukkan
faktor pendorong dan kendala dalam proses penanaman nilai
estetik melalui pendidikan seni rupa, upaya memanfaatkan
faktor pendorong itu, dan upaya memecahkan kendala yang
ada. Manfaat evaluasi, dalam penelitian ini, dapat
menunjukkan gambaran pelaksanaan pendidikan seni rupa di
lapangan. Pada gilirannya, melalui penelitian ini, akan dapat
digunakan dalam mempertimbangkan dan mengembangkan
sistem pelaksanaan pendidikan seni rupa bagi pelaksana
lapangan, maupun perencana dan pengembang pendidikan.

3. Deskripsi Konsep, Teori dan Model Penelitian


Sistem nilai budaya, pada umumnya, dipandang sebagai
pedoman bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1985:

144
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

25), yang pada gilirannya ingin dilimbahkan oleh satu


generasi kepada generasi berikutnya. Proses pelimpahan
sistem nilai budaya itu, dapat dilakukan melalui
pembudayaan atau penanaman nilai, yang dapat
disepadankan dengan enkulturasi menggunakan pranata
pendidikan sebagai wahananya.
Pendidikan Seni Rupa, khususnya, sebagai salah satu
bidang studi di sekolah mempunyai tanggung jawab dalam
penanaman nilai, khususnya nilai estetik yang dilakukan
dengan memberikan pengalaman estetika visual bagi siswa
(Conrad, 1964: 2). Menurut Linderman dan Linderman
(1984: 4-9) pengalaman estetik itu meliputi pengalaman
perseptual, kultural, dan artistik. Pengalaman perseptual
dapat dibangkitkan dari kegiatan proses berpikir, mencipta,
berimajinasi, dan ekspresi kreatif. Pengalaman kultural
diperoleh dari kegiatan mempelajari dan memahami bentuk
seni mulai dari kebudayaan lampau sampai saat ini.
Sementara pengalaman artistik dapat dikembangkan melalui
pemahaman dan keterampilan menggunakan media seni dan
sekaligus menghargai (mengapresiasi) karya seni. Dengan
istilah lain, ketiga pengalaman ini, Eisner (1972: 65)
menyebut sebagai belajar kritis, kultural, dan produktif.
Persoalan nilai sebagai materi belajar anak menunjuk
pada sesuatu yang berharga, mengacu pada kepentingan atau
makna yang dilekatkan pada aktivitas atau objek (Aiken,
1981: 2), atau setiap hal yang dianggap penting oleh karena
pertimbangan psikologi, sosial, moral dan estetik (AECT,
1977: 208). Oleh karena itu, sesungguhnya, persoalan
penanaman nilai estetik adalah bagaimana dan mengapa

145
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

usaha para pendidik dalam menyampaikan sesuatu yang


dilekati sifat estetik kepada anak didik.
Estetik pada umumnya dikenakan pada objek yang
mempunyai nilai indah atau tidak indah, dan sering
dipertukarkan dengan istilah seni (art) (Moris, 1985: 324).
Terkadang juga digunakan istilah beauty, yang lebih
menekankan pada manifestasi dari kebaikan, atau kebajikan
(goodness) (Horovitz, dkk., 1967: 50). Telah banyak konsep
estetik yang ditelaah melalui kajian filsafat, yang berawal dari
pemikiran teori seni indah, bahwa seni adalah sesuatu yang
indah, yang indah adalah sesuatu yang menyenangkan (Read,
1967: 16). Banyaknya konsepsi estetik itu menimbulkan
keragaman teori dalam memandangnya (The Liang Gie,
1983: 41-50).
Dalam penelitian ini konsep nilai estetik akan dikaji
dengan penekanan dari sudut pandang psikologis. Bertolak
dari pandangan tersebut, dengan demikian, penanaman nilai
estetik adalah proses dan upaya kegiatan dalam belajar (The
Liang Gie, 1983: 27) , dalam hal ini adalah belajar tentang
sesuatu yang dapat menampilkan nilai keindahan.
Belajar estetik sebagai pencerminan penanaman nilai
estetik tidak akan terlepas kiranya apa yang dinyatakan oleh
Bloom (1992: 10-11) bahwa dalam belajar terdapat tiga
variable yang interdependen, yakni kemampuan awal siswa,
kualitas pengajaran, dan hasil belajar siswa. Kemampuan
awal siswa dalam belajar seni dapat bersifat kognitif maupun
afektif, atau mungkin juga kemampuan emosional,
intelektual, fisik, perceptual, sosial, estetik, dan kreatif, serta
muatan lingkungannya --fisik, sosial, dan budaya(Lihat:

146
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Lowenfeld dan Brittain, 1982: 54-64), demikian juga


pengalaman estetik yang telah diperoleh sebelumnya. Ketiga
aspek ini dipandang sebagai gejala atau dimensi siswa dalam
kerangka sistem penanaman nilai estetik yang akan dikaji
dalam penelitian ini.
Kualitas pengajaran (termasuk proses penanaman
nilai estetik) sebagai kajian sentral yang tepat adalah
menempatkan perilaku guru dalam sistem institusi itu.
Perilaku guru yang dimaksud adalah berkait dengan
karakteristik (antara lain jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, dan prestasi pada waktu menempuh pendidikan
(World Bank, 1978: 13-36), dan lingkungan fisik-sosial-
budaya asal maupun tempat tinggal akan menentukan
sistem pengajaran guru (Grant dan Sleester, 1985: 209).
Sistem pengajaran itu meliputi perencanaan, implementasi,
dan evaluasi pengajaran yang dilakukan oleh guru (Davies,
1981: 12-13; Jacobson, dkk., 1989: 9). Ketiga hal itu
(karakteristik, lingkungan, dan system pengajaran) pada
gilirannya akan menentukan dan membentuk model perilaku
guru dalam system penanaman nilai estetik.
Iklim sekolah merupakan satu gejala yang agaknya
dapat mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh gejala
perilaku siswa di satu sisi dan perilaku guru pada sisi yang
lain. Oleh karena itu juga, dalam penelitian ini, iklim sekolah
akan dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini. Anderson
(1982: 388-405) mengembangkan model interaktif iklim
belajar yang dimaksudkan itu, yakni ekologi, milliu, sistem
sosial, dan kultur sekolah tempat belajar itu berlangsung.

147
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Sehubungan dengan itu, terdapat tiga gejala yang


dikaji dalam penelitian ini, yakni perilaku siswa, perilaku
guru, dan iklim belajar dalam suatu sistem penanaman nilai
estetik siswa melalui pendidikan seni rupa. Gejala dalam
sistem itu akan dilihat bagaimana dan mengapa keterkaitan
dengan sistem di luar sistem itu sendiri dalam konteks
penanaman nilai estetik sebagai lingkup kajian.

4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang
secara khusus menggunakan model etnografi sebagaimana
yang diajukan oleh Spradley (1979: 9; 1980: 28-35), dengan
latar kajian SD yang berdasarkan informasi awal sebagai
sekolah yang berhasil dan yang belum berhasil menanamkan
nilai estetik bagi para siswa di Kota Semarang. Indikator
penentuan kriteria tersebut adalah keberhasilan sekolah
dalam pelaksanaan pendidikan seni rupa.
Selanjutnya, sesuai dengan masalah penelitian yang
telah dikemukakan, sasaran kajian penelitian ini adalah
perilaku guru, perilaku siswa, iklim belajar, dan keterkaitan
ketiga gejala tersebut dalam proses penanaman nilai estetik.
Secara khusus sasaran tersebut dikaji dalam lingkup
pendidikan seni rupa.
Observasi berpartisipasi dan wawancara mendalam
dipakai untuk menjolok data sebagaimana sasaran yang
dimaksud. Observasi berpartisipasi dan wawancara
mendalam dipedomani dan dikembangkan sebagaimana
yang diajukan oleh Spradley (1979: 60; 1980: 33), yakni

148
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

dalam observasi dilakukan secara deskriptif, terfokus, dan


diakhiri dengan observasi selektif berkenaan dengan latar
(setting), pelaku, dan aktivitas dalam situasi pendidikan seni
rupa. Bersamaan dengan proses observasi, dilakukan
wawancara deskriptif, struktural, dan diakhiri dengan
pertanyaan kontras. Pertanyaan itu, secara khusus. Ditujukan
kepada informan terpilih (informan kunci) yang didasarkan
atas penilaian peneliti terhadap calon informan yang paling
mengetahui tentang gejala-gejala yang diteliti. Dalam rangka
menyokong pemerolehan data melalui observasi dan
wawancara tersebut, studi dokumen juga dilakukan, yang
berkenaan dengan rekaman peristiwa maupun rekaman data
administratif.
Bersamaan dengan proses pengumpulan data tersebut
dilakukan analisis dengan mereduksi, dan atau membuat
klasifikasi dengan analisis domain, taksonomik, dan
komponensial, serta penemuan tema sebagaimana yang
dinyatakan oleh Spradley (1979: 135; 1980: 34). Hasil analisis
ini digunakan untuk mendeskripsikan secara menyeluruh dan
menampilkan makna penanaman nilai estetik yang menjadi
sasaran penelitian dengan pembahasan interaksi perspektif
emik dan etik atau sebaliknya etik dan emik.

5. Hasil Penelitian: Penanaman Nilai Estetik melalui


Pendidikan Seni Rupa
Pendidikan Seni Rupa di SD sebagai salah satu mata ajaran,
pelaksanaannya diserahkan kepada guru kelas, bukan guru
bidang studi --di SD secara umum dikenal guru bidang studi
Pendidikan Agama dan Olahraga. Dengan demikian,

149
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

penanaman nilai estetik melalui pendidikan seni rupa


sepenuhnya merupakan tanggung jawab guru kelas yang nota
bene memiliki beraneka tugas administratif di samping
edukatif sebagai tugas utamanya.
Guru kelas sebagai pelaksana pendidikan seni rupa di
sekolah dapat diidentifikasi dalam tiga kelompok yakni guru
yang menganggap pendidikan seni rupa sebagai beban,
sebagai kewajiban, dan sebagai harapan. Kelompok guru
yang menanggapi sebagai beban berpandangan bahwa
pendidikan seni rupa dalam pengajarannya di kelas
mempersyaratkan keahlian secara khusus, dengan kata lain
diperlukan guru yang berbakat. Oleh karena itu, kelompok
guru yang terbebani ini dengan berbagai alasan dan cara
memperlakukan pendidikan seni rupa tidak perlu diajarkan
kepada anak dan berpandangan kalau perlu dihapus dari
struktur kurikulum. Pandangan ini dapat dipahami, memang
kelompok guru yang demikian dalam pengajarannya
ditemukan beberapa kesalahan konsep, yang menunjukkan
ketidakmampuannya dalam bidang pendidikan seni rupa, di
samping itu pandangan yang keliru bahwa pendidikan seni
rupa dipahami sebagai pelajaran mengambar.
Kelompok kedua, guru yang menanggapi pendidikan
seni rupa sebagai kewajiban dapat juga disebut sebagai
kelompok pelaksana. Kelompok ini beranggapan pendidikan
seni rupa perlu diajarkan kepada anak karena merupakan
tuntutan kurikulum. Kelompok guru pelaksana ini sebagian
di antaranya telah memiliki keterampilan mengajar
pendidikan seni rupa secara memadai. Sementara kelompok
guru yang menanggapi pendidikan seni rupa sebagai harapan
berpandangan bahwa pendidikan seni rupa tidak hanya

150
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

penting bagi siswanya tetapi juga dapat menjadi saluran


minat dan kebutuhan guru dalam berkarya seni.
Siswa di SD sebagai subjek penerima nilai estetik
dalam pendidikan seni rupa menanggapi mata pelajaran seni
rupa merupakan hal yang menyenangkan. Meskipun
kesenangan siswa terhadap pendidikan seni rupa itu lebih
disebabkan oleh pemahamannya bahwa pendidikan seni
rupa adalah menggambar tidak atau belum termasuk
aktivitas lain (oleh karena guru dalam mengajar juga hanya
menggambar). Dalam aktivitas menggambar dan tampilan
hasil karya siswa dapat dipahami sebagai hal yang universal
yakni spontanitas dalam berkarya, dan pengalaman sebagai
manifestasi ungkapan yang berbeda masing-masing anak.
Iklim belajar di sekolah yang sesungguhnya dapat
dijadikan suasana dan motor penggerak pendidikan seni
rupa, keadaan senyatanya sangat memprihatinkan.
Pendidikan seni rupa dianggap tidak penting oleh semua
pelaku pendidikan di sekolah termasuk di dalamnya para
pengawas dan siswa, walaupun dalam kegiatan menggambar
siswa merasa senang. Hal tersebut sangat mungkin
disebabkan penempatan pendidikan seni rupa sebagai bidang
studi non inti, dan perlakuan-perlakuan padanya. Pendidikan
seni rupa dengan tekanan keadaan menempati bidang studi
marginal dan peripheral. Hal ini merupakan akibat tak langsung
telah terlanjurnya pembuatan dikotomi bidang studi core
subjects dan bukan core subjects, dengan istilah lain mata
pelajaran inti dan non inti. Bidang studi inti adalah pelajaran
yang di-ebtanas-kan, yang keberhasilannya dianggap akan
menentukan kualitas sekolah. Sementara bidang studi non

151
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

inti adalah pelajaran yang diujikan oleh sekolah sendiri,


berhasil tidaknya tidak akan menentukan kualitas sekolah.
Berangkat dari kondisi masing-masing gejala tersebut
--guru, siswa, dan iklim sekolah--, pendidikan seni rupadi
SD, menjadi sungguh menyedihkan. Pendidikan seni rupa
diajarkan tanpa persiapan yang memadai dari guru.
Pendidikan seni rupa berlangsung sepenuhnya diserahkan
kepada siswa, karena kecenderungan guru untuk meminta
siswanya menggambar bebas. Kalau tidak demikian, siswa
diberikan contoh gambar oleh guru di papan tulis, agar siswa
menjadi lebih tenang duduk di tempat masing-masing. Hal
demikian sejalan dengan keinginan kepala sekolah agar kelas
selalu tenang, dan tidak ingin kelas ramai oleh karena siswa
beraktivitas berkarya seni.
Akhirnya, penanaman nilai estetik yang tercermin
melalui pelaksanaan seni rupa, walaupun secara konseptual
diinginkan melalui kegiatan berekspresi dan berapresiasi
dengan berbagai macam jenis karya dan cara, secara empirik,
harus melebur menjadi aktivitas menggambar. Kegiatan
menggambar tampaknya dianggap tidak memerlukan
kesusahpayahan guru maupun siswa, artinya fasiltas yang
tersedia begitu mudah, atau dapat dilakukan dengan
peralatan seadanya.

6. Rekomendasi
Bertolak dari kenyataan empirik sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, rekomendasi penelitian dikemukakan
sebagai berikut. Saratnya tugas guru kelas --baik yang

152
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

edukatif maupun administratif--, pendidikan seni rupa yang


dianggap beban oleh sementara guru, dan tidak dikuasainya
substansi materi pendidikan seni rupa secara memadai,
agaknya diperlukan model pendidikan seni rupa di SD yang
menggunakan sistem guru bidang studi, sebagaimana dalam
Pendidikan Agama dan Olahraga yang telah berjalan selama
ini. Dengan cara ini akan memperbesar peluang
terselenggarakannya pendidikan seni rupa di kelas secara
lebih layak.
Agar perlakukan guru kelas dalam seluruh bidang
studi proporsional, dengan kata lain pendidikan seni rupa
berdiri sesuai posisi dan proporsinya, perlu dihilangkan
dikotomi bidang studi inti dan non-inti. Langkah yang tepat
adalah meninjau ulang sistem ebtanas. Ebatanas ditiadakan
atau seluruh bidang studi di-ebtanas-kan dapat dijadikan
acuan model kedua pendidikan seni rupa di SD.
Rekomendasi terakhir adalah apabila model pertama
dan kedua sulit dilaksanakan. Perlu disusun model
pendidikan seni rupa di SD yang secara intensif dan
terprogram memberikan pembinaan guru kelas melalui
kegiatan penataran dan latihan. Hal ini dapat dilakukan
melalui kerjasama antardepartemen yang terkait dengan
pembinaan guru.

153
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

C. Idealitas dan Realitas Pendidikan Seni Rupa: Profil


Pendidikan Seni Rupa SD di Jawa Tengah
1. Pendahuluan
Pembahasan dalam dunia pendidikan tampaknya tidak
mengenal surut sepanjang kehidupan manusia. Problem-
problem pendidikan senantiasa muncul silih berganti
berkaitan dengan suasana maupun kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh pemerintah. Tuntutan dan perwujudan
pendidikan masa lalu berbeda dengan masa sekarang ini.
Demikian juga dalam hal kebijakan, aturan-aturan
pendidikan yang berlaku sekarang ini sudah barang tentu
berbeda dengan masa silam. Tegasnya dunia pendidikan
senantiasa berubah dan berkembang dan memiliki hubungan
yang reciprocal dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat.
Perubahan dan pengembangan dunia pendidikan itu
senantiasa dilakukan oleh penyelenggara pendidikan --
khususnya pemerintah-- adalah guna menjawab tantangan
pembangunan yang berlangsung. Perubahan dan
pengembangan yang dimaksud bertolak dari pemikiran
bahwa produk pendidikan tampaknya selalu ketinggalan
dengan kebutuhan di lapangan (lihat: Depdiknas, 1993,
2001a). Di sisi lain, tampaknya belum pernah dilakukan
perubahan dan pengembangan pendidikan dengan
berorientasi pada rekontruksi masyarakat masa depan, yang
menurut Buchori (2001) disebut sebagai model pendidikan
antisipatoris.
Upaya perubahan dan pengembangan dunia
pendidikan di Indonesia yang paling tampak menonjol

154
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

adalah dengan revisi kurikulum. Hal tersebut dapat dipahami


oleh karena dalam arti sempit sesungguhnya merupakan blue-
print dunia pendidikan. Kurikulum seringkali dipandang
sebagai program pendidikan, dengan kata lain disebut
sebagai plan for learning. Kurikulum menjadi perangkat
pendidikan yang pada umumnya berupa dokumen tertulis
yang berupa ketentuan-ketentuan pokok (Landasan,
Program, dan Pengembangan), Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP), dan berbagai petunjuk pelaksanaan.
Saat ini di tingkat pendidikan dasar dan menengah
dicobakembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai
upaya pengganti Kurikulum 1994 yang dianggap tidak sesuai
lagi dengan tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Beberapa hal yang
dilakukan antara lain penggantian beberapa nama mata
pelajaran, menggabungkan mata pelajaran yang serumpun,
dan yang paling menonjol jika dibedakan dengan kurikulum-
kurikulum sebelumnya adalah dikenalnya standar-standar
kompetensi –mulai standar lintas kurikulum sampai dengan
kompetensi dasar.
Dalam konteks ideal perubahan kurikulum
diharapkan akan membawa perbaikan nuansa proses dan
kualitas produk pendidikan. Akan tetapi, beberapa penelitian
mengindikasikan, khususnya di tingkat SD, perubahan atas
Kurikulum 1984 menjadi 1994 tidak menggambarkan
kondisi sebagaimana yang diharapkan. Kurikulum dapat
berubah, tetapi suasana dan hasil pembelajaran tetap berjalan
seperti biasa (Ismiyanto, dkk, 1998). Suasana dan hasil
pembelajaran tetap berfokus pada mata pelajaran yang
tergolong inti atau core subject. Mata pelajaran inti ini di SD,

155
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

ketika itu, digunakan sebagai mata uji dalam evaluasi hasil


belajar tahap akhir nasional (ebtanas).
Ebatanas pada saat itu memang merupakan alat ukur
yang digunakan oleh pemerintah dan masyarakat guna
menjamin sekaligus memonitor kualitas pendidikan. Akan
tetapi demi kepentingan mengejar keberhasilan ebtanas itu,
guru-guru di sekolah dalam pembelajarannya senantiasa
mengutamakan mata-mata pelajaran yang di-ebtanas-kan,
disajikan secara maksimal bahkan diberi tambahan waktu di
luar intrakurikuler, dan perlakuan-perlakuan istimewa
lainnya. Di lain pihak, adanya ebtanas tersebut, terjadi
korban mata pelajaran yang tidak di-ebtanas-kan, satu di
antaranya adalah Pendidikan Seni Rupa. Walaupun menurut
struktur kurikulum dan jadwal pelajaran Pendidikan Seni
Rupa itu harus diajarkan dalam setiap minggu oleh guru,
namun amat sedikit (nyaris tidak ada) guru yang
melaksanakannya. Alasan yang dinyatakan guru mengapa
tidak dilaksanakan pembelajaran seni rupa di kelas adalah
karena aktivitas seni rupa (menggambar) amat memerlukan
bakat dan kemampuan memberikan contoh kepada anak di
depan kelas (Syafii, 1992; 1993).
Kenyataan tersebut menunjukkan betapa sangat besar
peran guru dalam upaya operasionalisasi kurikulum. Sering
kali apa yang diidealkan dalam kurikulum tidak
dioperasionalkan oleh guru karena disebabkan
ketidakmampuan dan kemauannya. Hal tersebut diduga
karena kurangnya keterlibatan guru dalam penyusunan
kurikulum (lihat: Depdiknas, 2001b: 4). Kurikulum sekolah
umumnya tampak seperti datang dari “atas”. Kurikulum
disusun oleh orang yang dianggap ahli, guru sebagai

156
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

pelaksana menunggunya disosialisasi dalam kegiatan


penataran.
Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini
diarahkan untuk mengumpulkan informasi dari guru
berkenaan dengan profil pendidikan seni rupa di SD. Profil
yang dimaksud berkaitan dengan kondisi realitas atau
pendidikan seni rupa dalam tataran operasional, dan kondisi
idealitas artinya pendidikan seni rupa dalam tataran harapan
guru. Informasi guru tentang realitas pendidikan seni rupa
akan memberikan gambaran kondisi empirik
penyelenggaraannya di sekolah, baik berkenaan dengan
fungsi, materi, strategi dan kondisi pembelajarannya.
Sebaliknya, informasi idealitas pada aspek-aspek yang sama
akan memberikan gambaran sejauhmana pemahaman guru
tentang pendidikan seni rupa di sekolah. Dua hal inilah yang
dijadikan fokus penelitian ini. Pada gilirannya, atas informasi
idealitas dan realitas profil pendidikan seni rupa akan dapat
dibangun suatu kerangka pemahaman dan upaya
penanggulangan yang mungkin terjadi, termasuk pemikiran
implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang saat ini
berlangsung.

2. Tinjauan Pustaka
Kajian seni rupa dalam konteks pendidikan, secara umum
dapat dikelompokkan atas dua pandangan yang akhirnya
melahirkan dua pendekatan. Pertama adalah pandangan yang
meletakkan posisi seni rupa sebagai materi belajar dalam
pendidikan, pendidikan dalam seni (education in art), dan
kedua, adalah pandangan yang memposisikan seni rupa

157
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

sebagai alat atau sarana pendidikan, pendidikan melalui seni


(education through art).
Pendidikan dalam seni ini pada awalnya digagas oleh
kalangan esensialis yang berpandangan bahwa secara hakiki
materi seni rupa itu penting diberikan kepada anak (Eisner,
1972: 2). Keahlian melukis, menggambar, mematung, dan
keterampilan seni rupa lain perlu dilakukan pengkajian dan
pengembangan dan juga pelestarian. Oleh karena itu
pendidikan keahlian kesenirupaan merupakan keniscayaan.
Siswa perlu belajar tentang seni.
Pendidikan melalui seni, di lain pihak, didasari oleh
pandangan kalangan kontekstualis, yang pada intinya
memposisikan seni rupa sebagai fungsi pada bidang tertentu
(Eisner, 1972: 2). Dalam bidang pendidikan pandangan ini
melahirkan pemikiran bahwa seni rupa digunakan sebagai
alat/media atau sarana pendidikan, sebagaimana pendapat
Read (1970) ”education through art”. Melalui pembelajaran seni
rupa dapat membawa siswa ke arah ketercapaian tujuan
pendidikan secara umum, dapat ditanamkan perilaku kreatif,
imajinatif, terampil, dan memiliki kepekaan estetis yang
tinggi. Tujuan pendidikan melalui seni yang penting adalah
mengekspresikan perasaan dan membangun komunikasi,
serta mengembangkan dorongan spontanitas dan kekuatan
kreatif siswa (Salam, 2001: 22). Siswa dapat belajar melalui
seni atau belajar dengan seni.
Apabila dikaitkan dengan tujuan asasi pendidikan
(Wilber, 1962: 3) maka pendidikan seni rupa dapat dikatakan
sebagai upaya dan kegiatan pendidikan dalam rangka
melestarikan, meningkatkan, dan memanfaatkan, serta

158
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

menenuhi kebutuhan individu peserta didik akan nilai estetik


yang kasat mata (yang antara lain meliputi seni lukis, patung,
grafis, ilustrasi dan dekorasi). Oleh karena itu dalam tataran
operasional, lembaga pendidikan dapat menerapkan
pendekatan belajar tentang seni dalam rangka melestarikan
dan mengembangkan berbagai keragaman karya seni rupa,
yakni pendekatan belajar melalui atau dengan seni rupa yang
lebih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan peserta
didik. Pendekatan belajar tentang seni, belajar melalui seni
dan belajar dengan seni digagas dan dicobaterapkan untuk
Kurikulum Berbasis Kompetensi di berbagai jenjang
pendidikan sekolah umum saat ini.
Linderman dan Linderman (1984: 4-9) berpendapat
bahwa pendidikan seni rupa pada dasarnya bertujuan
menanamkan nilai estetik pada siswa dengan jalan
memberikan pengalaman perseptual, kultural, dan artistik.
Pengalaman perseptual ditanamkan melalui berbagai
kegiatan yang memungkinkan untuk menggunakan
inderanya. Pengalaman kultural dapat diperoleh siswa
melalui kegiatan mempelajari dan memahami bentuk-bentuk
seni dari kebudayaan lampau maupun saat ini, yang
dihasilkan masyarakat manca atau sendiri. Sementara
pengalaman artistik dikembangkan melalui pemahaman dan
keterampilan siswa dalam menggunakan media seni dan
menghargai (mengapresiasi) karya seni. Pendidikan seni rupa
menuntut adanya bagaimana peserta didik belajar untuk
berkreasi membuat bentuk-bentuk visual yang estetik dan
ekspresif, bagaimana peserta didik belajar untuk melihat
bentuk-bentuk visual dalam seni dan alam, serta memahami

159
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

bagaimana proses kejadian atau penciptaan seni (Eisner,


1972: 65).
Berbagai harapan kemampuan anak dalam bidang
seni rupa yang secara konseptual dinyatakan di atas dalam
operasionalnya tercermin dalam struktur program
pengajaran sebagai materi belajar yang tersistem. Menurut
Eisner (1972: 71-81) setidak-tidaknya materi pendidikan seni
rupa di sekolah meliputi segi ekspresi dan produksi. Segi
ekspresi menekankan pada aspek estetik dan kekuatan
ekspresi anak, sementara aspek produksi menekankan pada
aspek keterampilan dan proses pembuatan karya.
Penyampaian materi belajar kepada siswa sudah
barang tentu banyak variabel yang terlibat. Persoalan intinya
adalah dalam penyampaian materi belajar diperlukan strategi
pembelajaran yang tepat. Apabila meminjam model yang
dikembangkan oleh Davies (1981: 12-13) maka strategi
pembelajaran itu berkenaan dengan persoalan perencanaan,
implementasi, dan evaluasi yang dilakukan oleh guru.
Kontribusi yang sangat besar dalam persoalan strategi
pembelajaran adalah aspek iklim atau kondisi sekolah. Iklim
atau kondisi pembelajaran di sekolah menurut Anderson
(1982: 388-406) ditentukan oleh faktor ekologi, millieu,
sistem sosial, dan kultur.
Dalam proses pembelajaran guru mempunyai peran
penting. Guru sebagai manusia sesuai kodratnya memiliki
beberapa aspek psikologis yang berbeda. Satu di antara
sekian aspek psikologis itu adalah tanggapan. Tanggapan
dapat muncul ketika seseorang melakukan penginderaan,
apakah dengan mata, telinga, hidung ataupun kulit. Oleh

160
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

karena itu Bigot, dkk dalam Suryabrata (1990: 36)


menegaskan bahwa tanggapan adalah bayangan yang tinggal
dalam ingatan setelah seseorang melakukan pengamatan.
Pengamatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan
demikian, akan menggambarkan dimensi realitas.
Pengamatan realitas merupakan penggambaran kondisi yang
sebenarnya. Dalam istilah lain tanggapan atas pengamatan
sering disebut sebagai persepsi, suatu proses untuk
menemukan dan menginterpretasi informasi (Zanden, 1984:
33). Dalam pengamatan realitas, seseorang seringkali
membandingkan dengan kondisi yang diharapkan, atau
tanggapan antisipasi (Suryabrata, 1990: 36-37). Dengan
perkataan lain seseorang dapat melakukan tanggapan
idealitas, artinya apa yang diharap atau dicitakan.
Berdasarkan paparan di atas tanggapan realitas yang
dimaksud adalah persepsi atas kondisi faktual yang dihadapi
oleh guru berkenaan dengan fungsi, materi, strategi dan
kondisi pembelajaran seni rupa. Sementara tanggapan
idealitas adalah harapan atau gagasan yang dicitakan oleh
guru atas fungsi, materi, strategi dan kondisi pembelajaran
seni rupa.

3. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang dipilih adalah kualitatif yang
diharapkan dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran
secara relatif mendalam tentang tanggapan guru berkenaan
dengan kondisi ideal dan realitas profil pendidikan seni rupa
di SD. Untuk kepentingan tersebut, secara khusus

161
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

responden dan informan penelitian, dala hal ini guru, dipilih


dan ditentukan secara purposive, yakni guru yang terlibat
dalam program penyetaraan D2 Pendidikan Guru Kelas
Sekolah Dasar (PGKSD) UNNES yang tersebar di sebagian
wilayah Jawa Tengah pantai utara. Di samping itu sebagai
pemerkaya data digunakan juga informan guru peserta
penataran di LPMP Jawa Tengah, serta guru-guru yang
mengikuti program tutorial Universitas Terbuka UPBJJ
Semarang, yang secara umum tersebar di Jawa Tengah.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua
langkah. Langkah pertama adalah dengan angket yang
mengungkap tanggapan guru tentang fungsi, materi, strategi,
dan kondisi pembelajaran seni rupa. Angket dibuat dalam
bentuk terbuka agar responden dapat secara luas dan
mendalam dapat menyampaikan informasi. Langkah kedua
adalah wawancara mendalam terhadap informan terpilih
(guru yang menyampaikan informasi dalam angket
dipandang lebih mengetahui, dan dapat memberikan
penjelasan memadai) dan wawancara sambil lalu (casual
interview) terhadap guru yang tanpa diduga dalam berbagai
kesempatan (penataran dan tutorial) dapat memberikan
informasi. Di samping melalui angket dan wawancara,
penelitian ini juga berusaha mengumpulkan dokumen
kurikulum, laporan administratif guru dan sekolah yang
berkenaan dengan proses pembelajaran seni rupa, serta
laporan-laporan penelitian sejenis yang mendahului.
Sejalan dengan pendekatan yang digunakan, maka
analisis data penelitian adalah kualitatif. Analisis data yang
dimaksud mengikuti model alir (flow model) sebagaimana yang
diajukan oleh Miles dan Huberman (1984) dengan langkah-

162
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan


kesimpulan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


4.1. Tanggapan Guru SD atas Realitas Pendidikan
Seni Rupa di Jawa Tengah
Pendidikan seni rupa di SD merupakan submata pelajaran
Kerajinan Tangan dan Kesenian atau sering disingkat oleh
para guru dengan KTK atau Kertangkes. Pengenalan
pendidikan seni rupa sebagai mata pelajaran KTK ini sejak
berlakunya Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Sebelumnya
dalam kurikulum SD 1984 pendidikan seni rupa berumpun
pada mata pelajaran kesenian yang terpisah dengan
pendidikan keterampilan. Bagi anak-anak atau siswa,
pendidikan seni rupa lebih dikenali dengan pelajaran
menggambar. Hal ini barangkali karena perlakuan guru yang
setiap sat pembelajaran seni rupa diisi dengan kegiatan
menggambar, walaupun dalam kurikulum terdapat beberapa
aktivitas yang beragam.
Sejak berlakunya ketentuan ebtanas (Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional) yang mengukur kemampuan dasar
akademik siswa, di SD terjadi pengelompokkan mata
pelajaran ebtanas dan non ebtanas, core subject dan core subject,
inti dan non inti. Sejak ketentuan ebtanas diberlakukan ada
lima mata pelajaran yang diebtanaskan yakni Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Selebihnya, mata pelajaran Pendidikan Agama,

163
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Olahraga, Muatan Lokal, dan Kerajinan Tangan dan


Kesenian dilakukan dengan ebta (Evaluasi Tahap Akhir)
atau ujian sekolah.
Perlakuan atas sekelompok mata pelajaran yang di-
ebtanas-kan dan yang tidak ini menyebabkan perlakuan
sekolah (guru) berkonsentrasi hanya kepada mata pelajaran
ebtanas saja, sementara mata pelajaran yang non ebtanas
dikesampingkan. Hal tersebut dilakukan oleh karena dengan
keberhasilan ebtanas status sekolah akan meningkat.
Sebaliknya dengan hasil ebtanas yang rendah status sekolah
merosot, dicap sebagai SD yang tidak bermutu dan tidak
favorit. Akhirnya, guru dengan ringan saja mengatakan ada
dikotomi mata pelajaran, penting dan tidak penting.
Pendidikan seni rupa merupakan pelajaran yang tidak
penting bagi guru. Pendidikan Seni Rupa di SD menjadi
pelajaran peripheral atau marginal, pelajaran yang terpinggirkan.
Saat ini ebtanas di SD sudah dihapus diganti dengan
ujian sekolah. Namun demikian, suasana dan perlakuan
pembelajaran seni rupa dapat dikatakan tidak berubah, masih
seperti dulu. Ebatanas yang diubah menjadi Ujian Akhir
Sekolah (UAS) tidak dapat mengubah persepsi dan
perlakuan guru atas pembelajaran seni rupa.
Sesungguhnya di mata siswa pendidikan seni rupa
adalah pelajaran yang menyenangkan. Para guru pun
mengetahui hal tersebut. Tidak ada guru yang memberi
informasi dalam penelitian ini yang para siswanya tidak
senang dalam proses pembelajaran seni rupa. Setiap
pembelajaran seni rupa diselenggarakan, siswa menyambut

164
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

dengan gembira, mereka dengan antusias dan berasyik-ria


melakukan aktivitas kreatif.
Dengan situasi yang dinyatakan di atas, pembelajaran
seni rupa bukannya dioptimalkan penyelenggaraannya oleh
para guru, malah sebaliknya dimanfaatkan sebagai pelajaran
pengisi waktu luang atau pelepas lelah. Ketika terjadi kelas
kosong ditinggal guru, maka penanggulangan yang dilakukan
adalah pelajaran seni rupa dengan aktivitas menggambar
bebas. Ketika guru sudah lelah mengajar seharian, tibalah
saatnya pelajaran seni rupa sebagai pengendor suasana.
Hal yang dinyatakan di atas tampaknya masih dalam
fungsi yang positif, dengan kata lain cukup lumayan.
Walaupun pendidikan seni rupa hanya diberikan ketika
terjadi kelas kosong atau pelepas lelah guru, eksistensinya
masih berjalan. Yang memprihatinkan adalah pendidikan
seni rupa secara formal hanya digunakan oleh guru untuk
pengisian rapor. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh para
guru dengan menyelenggarakan pembelajaran satu kali dalam
bentuk latihan sebelum tes caturwulan atau semester,
selanjutnya materi yang dilatihkan tersebut digunakan
sebagai materi tes akhir caturwulan atau semester.
Garis-garis Besar Program Pengajaran yang berisi
sejumlah pokok bahasan/kegiatan yang semestinya dapat
dikembangkan para guru, akhirnya hanya menjadi barang
dokumen beku. Sebagian besar guru memperlakukan
pembelajaran seni rupa hanya sebagai mata pelajaran
menggambar --itu pun dipersempit menjadi menggambar
bebas-- terkadang disebut juga melukis. Materi
menggambar/melukis ini pun tidak dikelola dengan baik,

165
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

dalam arti tidak dirancang, dan dilaksanakan sebagaimana


mestinya. Menurut bahasa di antara para guru pembelajaran
seni rupa berjalan acak-acakan. Materi menggambar/melukis
menjadi menggambar/melukis bebas sebebas-bebasnya.
Siswa beraktivitas tanpa bimbingan dan arahan guru.
Materi menggambar/melukis bebas menjadi pilihan
guru, dengan demikian, strategi pembelajaran yang
digunakan guru adalah ekspresi bebas. Artinya guru
memberikan kebebasan dan keluasan yang sebesar-besarnya
kepada siswa untuk menuangkan gagasannya ke dalam
gambar/lukisan. Sesungguhnya, jika penggunaan strategi
pembelajaran ekspresi bebas ini dikelola secara tepat, artinya
dirancang dengan berbagai pertimbangan dan persiapan yang
memadai, akan memberikan kontribusi yang besar pada
perkembangan kreativitas, imajinasi, dan daya temu siswa
(Lowenfeld dan Brittain, 1984). Akan tetapi sebagaimana
yang telah dikemukakan, pendidikan seni rupa dilaksanakan
oleh para guru dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga
nilai-nilai positif tersebut lepas dari gapaian.
Metode mencontoh dan memola juga sering menjadi
pilihan di antara para guru. Kedua metode ini dipilih oleh
para guru dengan harapan siswa tidak lagi banyak bertanya,
karena apa yang digambar sudah ada di hadapan siswa. Pada
sisi ketepatan objek yang digambar kedua metode tersebut
memang positif, akan tetapi dalam hal pengembangan
kreativitas, imajinasi, dan daya temu, metode mencontoh
dan memola tidak dapat mengakomodasi. Dalam hal sasaran
yang diharapkan melatih keterampilan teknis siswa (misalnya
menggambar orang, binatang, pohon atau ornamen) metode
mencontoh dan memola juga positif. Akan tetapi,

166
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

tampaknya, para guru belum dapat menentukan jenis metode


atau strategi pembelajaran yang tepat atas materi yang
disajikan. Menggambar bentuk yang mestinya dilakukan
siswa dengan mengamati langsung objek yang digambar,
diubah oleh guru dengan meniru gambar buatannya di papan
tulis (Syafii, 1992). Menggambar ekspresi yang mestinya
tepat digunakan dengan metode ekpresi bebas juga
digunakan metode mencontoh dan memola agar para siswa
tidak ribut dan banyak bertanya.
Realitas pendidikan seni rupa SD di Jawa Tengah
berdasarkan tanggapan guru, dalam kondisi yang
memprihatinkan. Fungsi pendidikan seni rupa sebagaimana
dinyatakan oleh para guru tidak atau belum memenuhi
fungsi yang diharapkan. Pendidikan seni rupa di sekolah
sekedar sebagai “pajangan” kurikulum, sebagai mata
pelajaran “formalitas”, pengisi waktu luang, dan pelepas
lelah guru. Pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum
sebagian besar tidak dilaksanakan. Hanya sebagian kecil guru
menyajikan materi pelajaran sesuai kurikulum, dan sebagian
lagi sesuai kurikulum dengan pengembangan atau
perubahan. Strategi pembelajaran amat bergantung kepada
kemampuan dan kemauan gur, yang umumnya cenderung
pada penggunaan satu metode saja, yakni mencontoh atau
ekspresi bebas. Pembelajaran seni rupa di SD kurang
mendapat perhatian guru. Guru umumnya menerapkan
prinsip pembelajaran “asal jalan”.

167
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

4.2. Tanggapan Guru SD atas Realitas Pendidikan


Seni Rupa di Jawa Tengah
Pada tataran ideal, sesungguhnya pendidikan seni rupa di SD
dapat dikatakan telah dipahami oleh para guru, baik
berkenaan dengan fungsi, materi, strategi, maupun konsisi
pembelajarannya. Bagi guru, persoalan seni yang di dalamnya
termasuk seni rupa berkaitan dengan bakat, oleh karena itu
respons terbanyak tentang fungsi pembelajaran seni rupa di
SD adalah sebagai pengembangan bakat anak. Di samping
itu pembelajaran seni rupa juga dapat digunakan sebagai
pengembang kreativitas, sensitivitas (kepekaan cita rasa)
estetik, komunikasi, apresiasi, bermain/rekreatif, serta
pembinaan dan pembentukan kepribadian dan juga sebagai
pendidikan keterampilan. Bagi guru, fungsi ideal pendidikan
seni rupa, secara singkat mereka nyatakan sebagaimana
amanat atau harapan kurikulum.
Ada juga sementara guru yang berpendapat bahwa
pendidikan di SD sebagai “pendidikan terminal”. Artinya,
siswa setelah lulus memiliki bekal keterampilan untuk hidup
di tengah-tengah masyarakat. Salah satu bekal yang dapat
diharapkan untuk kepentingan tersebut keterampilan dalam
bidang seni rupa. Melalui pendidikan seni rupa diharapkan
dapat membekali siswa dengan berbagai macam
keterampilan yang bermanfaat. Pendidikan seni rupa dapat
memberi bekal anak untuk berkarya atau menciptakan
lapangan kerja sebagai wiraswasta untuk bekal hidup,
sebagaimana pernyataan seorang informan.
Dalam hal materi yang diidealkan oleh para guru
berdasarkan analisis data terdapat dua kelompok tanggapan.

168
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

Pertama adalah kelompok guru yang menginginkan materi


pembelajaran disajikan sesuai dengan GBPP. Dengan kata
lain sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kelompok kedua
adalah guru yang tidak secara eksplisit menggunakan GBPP
akan tetapi secara umum mereka menyatakan perlunya
penyesuaian materi dengan perkembangan dan bakat anak,
serta pemanfaatan lingkungan. Materi pembelajaran seni
rupa agar disusun lebih sederhana, terstruktur secara lebih
rinci, dengan penggunaan bahan dan alat yang mudah
didapat, murah dan jika mungkin siswa tidak perlu mmbeli.
Dalam hal penggunaan strategi pembelajaran seni
rupa di SD yang ideal, guru mengusulkan beragam strategi.
Strategi yang seyogyanya digunakan adalah pembelajaran
terpadu, bimbingan guru, pemberian latihan/tugas disertai
dengan demonstrasi dan contoh, ekspresi bebas dan terarah,
belajar sambil bermain, dan motivasi dengan nyanyian atau
ceritera.
Pemanfaatan strategi pembelajaran terpadu dalam
pendidikan seni rupa diharapkan oleh para guru guna
menunjang mata pelajaran lain, dengan kata lain dapat
digunakan sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan
konsep-konsep dalam bidang IPA, IPS, atau lainnya. Strategi
bimbingan dinyatakan oleh sebagian guru sebagai jawaban
atas keterlantaran pembelajaran seni rupa selama ini. Dengan
bimbingan guru anak-anak akan menjadi anak yang terampil
dan kreatif. Pembelajaran seni rupa harus banyak kegiatan
praktik, demikian usulan salah seorang informan. Kegiatan
praktik ini harus disertai demonstrasi guru dan penggunaan
berbagai contoh karya. Dengan contoh yang ditampilkan
guru, siswa akan tergugah atau terbangun motivasinya,

169
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

timbul minatnya untuk berkarya seni rupa, demikian


informan lain menambahkan.
Pemanfaatan ekpresi bebas selama ini yang oleh para
guru dirasa tidak memberikan kontribusi yang positif bagi
siswa, membuat tanggpan ideal guru perlunya pemanfaatan
strategi yang lebih terkendali. Oleh karena itu diusulkan
penggunaan strategi yang tidak hanya ekpresi bebas akan
tetapi juga terarah. Menurut bahasa di antara informan,
penggunaan ekspresi bebas dapat memberikan kebebasan
untuk memlih alat, bahan, dan tema yang digunakan.
Sementara dengan ekspresi terarah adalah adanya
pengendalian yang berupa usaha guru dalam rangka
memberikan arahan dalam berbagai aspek yang diperlukan,
baik dalam hal alat, bahan, teknik, atau tema.
Melalui belajar sambil bermain, sebagaimana
tanggapan guru, akan dapat tercipta suasana santai, sehingga
anak leluasa dalam mengembangkan ide dan gagasannya.
Dengan belajar sambil bermain akan tercipta suasana rileks,
kebebasan suasana kejiwaan yang akan merangsang
berkembangnya daya fantasi, imajinasi, dan kreativitas anak.
Terciptanya suasana belajar yang menyenangkan dan
bangkitnya motivasi anak dapat juga diawali dengan kegiatan
menyanyi atau ceritera. Demikian antara lain gagasan guru
untuk menciptakan pembelajaran seni rupa yang rekreatif.
Guna menunjang semua gagasan tersebut, informan
penelitian mengusulkan agar diterapkan guru mata pelajaran
pendidikan seni rupa, mendapat penataran yang intensif, dan
memperoleh sarana yang memadai. Guru SD yang bertindak
sebagai guru kelas merasa terbebani, karena di samping

170
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

konsentrasi pembelajarannya terarah pada mata pelajaran


inti, juga mereka merasa tidak memiliki kemampuan di
bidang seni rupa. Oleh karena itu perlu “guru mata
pelajaran”. Jika guru mata pelajaran ini tidak segera
terpenuhi, mereka mengusulkan penataran yang intensif,
artinya kegiatan penataran dengan nara sumber di bidangnya.
Di samping pemenuhan ruang belajar, bahan dan alat (jika
mungkin disediakan sekolah atas bantuan pemerintah),
buku-buku pegangan guru yang baku, serta papan pajangan
atau tempat pameran untuk memajang karya sebagai sarana
apresiasi. Guna merangsang iklim kompetisi, para guru
mengusulkan adanya lomba di bidang kesenirupaan agar
frekuensinya ditambah. Artinya tidak hanya pada saat lomba
bidang studi, akan tetapi ditambah dengan memanfaatkan
event-event tertentu.

5. Penutup
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat diambil
simpulan sebagai berikut.
Pertama, realitas pendidikan seni rupa SD di Jawa
Tengah dalam kondisi yang memprihatinkan. Pendidikan
seni rupa tidak atau belum memenuhi fungsi yang
diharapkan, hanya sekedar sebagai pajangan kurikulum,
pengisi waktu luang, dan pelepas lelah guru. Sebagian besar
guru menyajikan materi tidak sesuai kurikulum, sebagian
lainnya sesuai, dan sebagian lagi dengan pengembangan atau
perubahan. Strategi pembelajaran amat bergantung pada
kemauan dan kemampuan guru, yang umumnya
berkecenderungan pada penggunaan satu metode saja, yakni

171
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

mencontoh atau ekspresi bebas. Kondisi pembelajaran


kurang mendapat perhatian guru dengan prinsip asal jalan.
Kedua, pada tataran ideal pendidikan seni rupa
telah dipahami oleh guru SD di Jawa Tengah. Fungsi
pendidikan seni rupa yang diharapkan guru adalah
sebagaimana yang tertuang dalam kurikulum. Fungi tersebut
antara lain sebagai pengembang bakat, kreativitas,
sensitivitas, media komunikasi, apresiasi, dan
bermain/rekreatif, serta pembinaan/pembentukan
kepribadian dan pendidikan keterampilan. Materi
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum merupakan hal
yang diidealkan oleh para guru, di samping ada yang
mengharapkan untuk lebih disederhanakan dengan
memanfaatkan potensi lingkungan secara optimal. Strategi
pembelajaran yang diharapkan adalah digunakannya berbagai
metode yang bervariasi. Sementara kondisi pembelajaran
yang diharapkan adalah adanya guru mata pelajaran seni
rupa. Jika mempertahankan guru kelas untuk mengajar
pendidikan seni rupa maka perlu dilakukan kegiatan
penataran secara intensif. Pemenuhan fasilitas pembelajaran
juga merupakan hal yang amat diharapkan oleh guru
terutama ruang belajar, buku teks yang baku, serta bahan dan
alat.
Saran yang dapat dikemukakan berkenaan dengan
kesenjangan kondisi realitas dan idealitas pendidikan seni
rupa sebagaimana tanggapan guru SD di Jawa Tengah
adalah sebagai berikut.
Pertama, dalam rangka menanggulangi
pelaksanaan pembelajaran seni rupa yang memprihatinkan

172
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

oleh karena amat bergantung kepada kemauan dan


kemampuan guru perlu kiranya dipikirkan penerapan guru
mata pelajaran. Dengan upaya ini secara substansial
pendidikan seni rupa dapat berjalan sebagaimana mestinya
dan secara aktual tidak lagi menjadi mata pelajaran yang
termarjinalkan.
Kedua, jika penerapan guru mata pelajaran
sebagaimana yang diinginkan para guru tidak terpenuhi,
tampaknya memang perlu dilakukan kegiatan penataran yang
intensif bagi guru kelas. Penguasaan atas konsep-konsep dan
keterampilan kesenirupaan sebagaimana yang tercantum
pada kurikulum yang berlaku merupakan materi yang perlu
dilatihkan.
Ketiga, keluhan guru tentang kelangkaan sarana
pembelajaran perlu pemenuhan. Sarana yang dimaksud
meliputi ruang belajar, buku teks, serta bahan dan alat yang
disediakan oleh sekolah. Sudah barang tentu, semua itu atas
bantuan pemerintah dan masyarakat.

173
Pendidikan Seni Rupa dalam Kajian Empirik

174
DAFTAR PUSTAKA

AECT. (1977). Educational Technology, Definitions and Glossary of


Term. Washington, D.D.: AECT.

Aiken, L.N. (1981). “Attitude Measurement and Research”.


Dalam D.A. Payne (Ed.). Recent Development in Affective
Measurement. Sam Francisco: Josesey-Boss Inc.

Anderson, C.S. (1982). “The Search for School Climate: A


Review of the Research”. Dalam Review of Educational
Research. 52,368-420.

Bloom, B. S. (1982). Human Characteristics and School Learning.


New York: McGraw-Hill.

Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta:


Kanisius.

Budhisantoso, S. (1981/1982). “Kesenian dan Nilai-nilai


Budaya”. Dalam Analisis Kebudayaan, 2 (2), 23-27.

Budimansyah, D. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian


Berbasis Portofolio. Bandung: Genesindo.

Chapman, L. (1978). Approachs to Art in Education. New


York: Harcourt Brace Jovanovich.

175
Conrad, G. (1964). The Process of Art Education in the
Elementary School. Englewood, N.J.: Prentice-Hall.

Davies, I.K. (1981). Instructional Technique. New York:


McGraw-Hill.

Dorn, C. M. (1994). Thinking in Art: A Philosophical Approach


to Art Education. Reston, VA: NAEA.

Depdiknas. (1993). Landasan, Program dan Pengembangan


Kurikulum 1984. Jakarta: Depdiknas.

-------. (2001a). KBK: Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar


dan Menengah. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas.

-------.(2001b). KBK: Pendidikan Seni SD. Jakarta: Puskur


Balitbang Depdiknas.

Kemdikbud., (2013). Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud.

Driyarkara. (1980). Driyarkara tentang Kebudayaan. Yogyakarta:


Kanisius.

Eisner, W.E. (1972). Educating Artistic Vision. New York:


Macmillan.

Fowler, C. (1989). “Conditioning Artist for Teaching”.


Dalam Design for Arts in Education. 90. Hal. 14-18.

176
Gaitskell, C. D dan Hurwitz, A. (1975). Children and their Art.
New York: Harcourt Brace Jovanovich.

Gilbert, R. (1992). Living with Art. New York: MCGraw-Hill.

Grant, C.A. dan Sleeter, C.E. (1985). “Who Determines


Teacher Work: The Teacher, The Organization, or
Both?”. Dalam Teaching & Teacher Education, I, 209-
220.

Ismiyanto, dkk, (1998). Ekspresi Gambar Anak-anak SD: Studi


Kasus di Daerah Pedesaan Dati II Semarang. Laporan
Penelitian, Lemlit IKIP Semarang.

Jacobsen, D. et al. (1989). Methods for Teaching: A Skill


Approach. Ohio: Merill Publishing.

Jarolimek, J. dan Foster, C.D. (1976). Teaching and Learning in


the Elementary School. New York: Macmillan.

Joyce, B. dan Weil, M. (1986). Models of Teaching. Englewood,


N.J.: Prentice-Hall.

Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas dan


Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kompas. (1991). “Kemampuan Mengajar Guru Masih


Terikat Petunjuk Atasan”. 4 Maret.

Lancaster, J. (1990). Art in the Primary School. New York:


Routledge.

177
Linderman, E. W. dan Linderman, M. M. (1984). Art &
Crafts for the Classroom. New York: Macmillan.

Lowenfeld, V. dan Brittain, W. L. (1982). Creative and Mental


Growth. New York: Macmillan.
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. (1984). The Qualitative Data
Analysis. New York: Sage.

Miller, J. P dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspective and


Practice. New York & London: Longman.

Morris, J.W. (1985). “Art, Attitude towards”. The International


Encyclopedia of Education. New York: Pergamon Press.

Pullias, E.V. dan Young, J. D. (tt.). Guru Makhluk Serba Bisa.


Dalam Anang, I. (Terj.). Bandung: Al Ma*arif.

Read, H. (1970). Education through Art. London: Faber and


Faber.

Salam, S. (2001). Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar.


Makassar: UNM.

Soedarso SP. (1972). Pengantar Sejarah Seni Rupa Indonesia.


Yogyakarta: STSRI-ASRI.

Spradley, J.P. (1979). The Ethnographic Interview. New York:


Holt, Rinehart and Winston.

178
------. (1980). Participant Observation. New York: Holt,
Rinehart and Winston.

Suciati dan Huda, N. (1999). “Bahan Belajar Universitas


Terbuka”. Dalam Belawati, T., dkk. (Eds.). Pendidikan
Terbuka dan Jarak Jauh. Jakarta: Universitas Terbuka.

Suparman, A. (1997). Desain Intruksional. Jakarta: Depdikbud.


Suryabrata, S. (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.

Syafii. (1992). Penanaman Nilai Estetik: Pendidikan Seni Rupa di


SD Simpang Baru dan Karang Blukang Kotamadia
Semarang. Tesis tidak dipublikasikan, IKIP Jakarta.

-------. (1993). Enkulturasi Nilai Estetik: Pendidikan Seni Rupa


di Kotamadia Semarang. Laporan Penelitian, Puslit IKIP
Semarang.

-------. (1994). Kinerja Guru dalam Upaya Pendidikan Kreatif


melalui Pendidikan Seni Rupa di TK Kotamadya Semarang.
Laporan Penelitian, Puslit IKIP Semarang.

-------. (2000). Idealitas dan Realitas Pendidikan Seni Rupa: Kajian


Tanggapan Guru SD di Jawa Tengah/ Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian Unnes.

-------. (2003). “Pembelajaran Seni Rupa”. Dalam Penataran


Guru Kertangkes (Seni Rupa) SMP Se-Jawa Tengah, BPG
Semarang.

179
------.(2007). Konsep dan Model Pembelajaran Seni Rupa.
Semarang: Jurusan Seni Rupa FBS Unnes.

Syafii, dkk. (2002). Materi dan Pembelajaran Kertakes SD.


Jakarta: Universitas Terbuka.

The Liang Gie. (1983). Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan).


Yogyakarta: Super Sukses.

Thorndike, R. L. dan Hagen, E.P. (1977). Measurement and


Evaluation in Psychology and Education. New York: John
Wiley & Sons.

Tilaar, H. A. R. (1991). Sistem Pendidikan Nasional yang


Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern
Berdasarkan Pancasila. Jakarta: LIPI.

Undang-undang Guru dan Dosen. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Universitas Trisakti. (1997). Petunjuk Teknis Fakultas Seni


Rupa dan Desain, Jakarta: FSRD Trisakti.

Yuliman, S. (2001). “Seni Rupa dalam Kehidupan Kita


Sekarang”. Dalam Hasan, A. (Ed.). Dua Seni Rupa:
Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Kalam.

Warga, R.G. (1983). Personal Awarenness. Boston: Houghton


Miflin.

Wilber, G.O. (1962). Industrial Arts in General Education.


Pennsylvania: Haddon Craftman.

180
Woolfolk, A. E. dan Nicolich, L.M. (1984). Educational
Psychology for Teachers. Englewood, N.J.: Prentice-Hall.

World Bank. (1978). Teacher Training and Student Achievement in


Less Developed Countries. Washington, DC: World
Bank.
Zanden, J.W.V. (1984). Social Psychology. New York: Random
House.

181
BIODATA SINGKAT PENULIS

Drs. Syafii, M.Pd.

Merupakan dosen Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan


Seni Universitas Negeri Semarang. Lahir di Jepara 23
Agustus 1959. Selepas menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah kejuruan ukir di Jepara tahun 1979 melanjutkan
studi di Jurusan Seni Rupa IKIP Semarang dan lulus tahun
1983. Sejak tahun 1985 meniti karier sebagai dosen Jurusan
Seni Rupa dengan jabatan Lektor Kepala. Pada Tahun 1987
menulis buku Ornamen Ukir bersama Prof. Dr. Tjetjep
Rohendi Rohidi, M.A. serta buku berjugul The Kalpataru
Relief on Prambanan Temple: A Study of Visual Language yang
ditulis secara kelompok. Sempat menjadi tutor di Universitas
Terbuka antara tahun 2002-2014 dan menulis Modul Materi
dan Pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian di tahun
2002.

182

Anda mungkin juga menyukai