Anda di halaman 1dari 20

PENUGASAN 2

ROLEPLAY HIV 1

KONSEP PENGKAJIAN SPIRITUAL DAN KONSEP KULTURAL DENGAN LONG


TERM CARE

Nama Kelompok 4C :
1. Nindi Astri Utami 1130020107
2. M. Raihan A 1130020108
3. Rifdah Naufalita P 1130020109
4. Siti Aisyah Nur A 1130020110
5. Soffy Dian Puspita 1130020111
6. Satria Devringga 1130020112
7. Zalza Nabilla 1130020113

Dosen Fasilitator :

Erika Martining Wardani, S.Kep., Ns., M.Ked.Trop

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2022
1. Aspek Spiritual Pada Pasien HIV/AIDS

a. Pengertian Spiritual
Spiritualitas sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk
menjabarkan spritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas,
hubungan dan eksistensi. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti
sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakan serta memimpin cara
berfikir dan bertingkah laku seseorang. Faran dkk menyatakan bahwa setiap
individu akan memaknai secara unik spiritualitas atau dimensi spiritual. Definisi
Individual tentang spiritualitas dipengaruhi oleh kultur, perkembangan, pengalaman
hidup, dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Lebih lanjut Faran dkk
mengemukakan definisi fungsional spiritualitas yang merupakan komitmen tertinggi
individu yang merupakan prinsip yang komprehensif dari perintah atau nilai final
yaitu argumen yang paling kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam
hidup kita.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritualitas merupakan bagian dari
kecerdasan manusia selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Kedua tokoh penggagas SQ (Spiritual Quotion) ini, menyebutkan SQ tidak ada
hubungannya dengan agama. Meskipun orang dapat mengekspresikan SQ melalui
agama, tetapi keberagamaan seseorang tidak menjamin tingginya SQ. SQ sendiri
dimaknai sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna
dan nilai, yaitu kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.
Berbeda dengan pendapat di atas pendapat berikut ini menekankan pada
spritualitas yang berhubungan dengan adanya Tuhan. Mickley et al mendefinisikan
spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi ekstensial dan dimensia
agama. Dimensi ekstensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan
dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha
Penguasa. Hampir senada Carson menyebutkan bahwa kebutuhan spiritual adalah
kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan,
mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan.
Stoll menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi: dimensi
vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
7
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang
dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan
yang terus menerus antara dua dimensi tersebut.
Senada dengan pendapat ini, Hungelman et al menyebutkan spiritualitas
sebagai rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan
dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang
menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, sistem keyakinan mereka dengan
hubungan mereka dengan diri sendiri, dan dengan orang lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
dimensi spiritualitas adalah keharmonisan yang ada dalam diri seseorang berkaitan
dengan pemahaman tetang dirinya sendiri, hubungan dirinya dengan Tuhan dan
hubungan dirinya dengan sesama serta lingkungan. Definisi Spiritualitas inilah yang
digunakan dalam penelitian ini yang mana pengertian tersebut lebih mengikuti
pendapat Stoll mengikuti pendapat Stoll bahwa dimensi spiritualitas terdiri dari
dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
2. Indikator Spiritualitas
Spiritualitas yang dimaknai secara beragam memberikan konsekuensi lahirnya
indikator atau aspek spiritualitas yang beragam pula. Menurut Burkhardt aspek
spiritualitas meliputi :
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri. d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan
Yang Maha Tinggi.
Secara lebih rinci Patricia Potter dkk, menjelaskan bahwa spiritualitas meliputi
tujuh aspek yaitu:
a. Keyakinan dan makna hidup
Keyakinan dan makna berhubungan dengan filosofi hidup seseorang, perspektif
spiritualitasnya dan apakah padangan spiritualitasnya merupakan sebagian
bagian dari kehidupannya secara keseluruhan. Suatu pemahaman tentang

8
keyakinan dan makna mencerminkan sumber spritual seseorang memudahkan
dalam mengatasi kejadian traumatis atau menyulitkan.
b. Autoritas dan pembimbing
Autoritas dan pembimbing adalah suara dari dalam atau autoritas dari luar yang
mengarahkan seseorang untuk memilih dan menjalani keyakinannya. Autoritas
dapat berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, Pemuka agama, keluarga, teman, diri
sendiri, atau kombinasi dari sumber-sumber tersebut.
c. Pengalaman dan emosi
Pengalaman dan emosi mencangkup tinjauan tentang pengalaman keagamaan
seseorang. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah mengetahui dampak
penyakit terhadap pengalaman dan emosi religius, dan berkaitan dengan ada
tidaknya sesuatu yang mengancam spiritualitas akibat penyakit yang diderita.
d. Persahabatan dan komunitas
Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seorang individu dengan orang lain
termasuk keluarga, sahabat, rekan kerja, tetangga, komunitas masyarakat,
komunitas gereja dan tetangga. Kepedulian dan perhatian dari sahabat dan
komunitas ini merupakan sumber harapan bagi klien.
e. Ritual dan ibadat
Kebiasaan ritual dan ibadat keagamaan memberikan klien struktur dan dukungan
selama masa sulit. Kebiasaan ritual dan ibadat agama tetap dijalankan secara
teratur atau ada perubahan akibat penyakit yang diderita.
f. Dorongan dan pertumbuhan
Dorongan dan pertumbuhan berkaitan dengan sumber yang memberikan nuansa
dorongan (harapan) pada masa lalu klien. Pengkajian mencangkup tinjauan
apakah klien membiarkan keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa
keyakinan baru akan muncul. Hal ini sangat penting karena kehilangan harapan
dapat menyebabkan keputusasaan.
g. Panggilan dan konsekuensi
Panggilan dan konsekuensi menunjukkan bagaimana individu mengekspresikan
spiritualitas mereka dalam rutinitas sehari-hari. Hal ini berbeda dengan
mempraktikkan ritual. Pengekspresikan spritualitas antara lain dengan
memperlihatkan penghargaan terhadap kehidupan dalam berbagai hal yang
mereka lakukan, hidup pada saat ini dan tidak merisaukan masa mendatang,
menghargai alam dan mengekspresikan cinta yang ditunjukkan kepada orang.
9
Dengan bahasa yang lebih sederhana, karakteristik
spiritualitas antara lain:
a. Hubungan dengan diri sendiri
1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).
2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan,
harmoni atau keselarasan diri).
b. Hubungan dengan alam.
1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa dan iklim.
2) Berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan
melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain
1) Harmonis : Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik;
mengasuh anak, orang tua dan orang sakit; dan menyakini kehidupan dan
kematian.
2) Tidak harmonis : Konflik dengan orang lain dan Resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan Ketuhanan
Agamis atau tidak agamis seperti: sembahyang/berdo’a/meditasi, perlengkapan
keagamaaan, bersatu dengan alam.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa para ahli sepakat bahwa
pada dasarnya aspek dalam spiritualitas meliputi hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya.
Sedangkan indikator spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti
pendapat Patricia Potter yang menyebutkan bahwa spiritualitas dalam keperawatan
terdiri dari tujuh dimensi yaitu keyakinan dan makna hidup, autoritas atau
pembimbing, pengalaman dan emosi, persahabatan dan komunitas, ritual dan ibadah,
dorongan dan pertumbuhan, serta panggilan dan konsekuensi.
Disamping itu, indikator ini mampu menggambarkan pengertian dimensi
spiritualitas menurut Stoll yang digunakan sebagai focus kajian dalam penelitian ini.
3. Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling
Spiritualitas dalam ranah konseling menjadi kajian yang penting seiring adanya
kesadaran bahwa terapi selama ini kurang memberikan perhatian yang sempurna pada
manusia sebagai mahluk yang multidimensional. Kesadaran akan perlunya

10
pendekatan holistik dalam konseling menuntut manusia dipandang sebagai mahluk
yang utuh yaitu mahluk biologis, mahluk psikologis, mahluk sosiologis, mahluk
berbudaya dan mahluk spiritual atau religius. Hal ini berimplikasi pada landasan yang
menjadi dasar pelayanan konseling yang meliputi landasan historis, filosofis, social
budaya, psikologis, dan religius.
Seseorang yang membutuhkan konseling atau klien pada dasarnya adalah
individu yang mengalami kekurangan “psichological strenght” atau “daya psikologis”
yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam
keseluruhan hidupnya termasuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
Daya psikologis mempunyai tiga dimensi yaitu need fulfilment (pemenuhan
kebutuhan), intrapersonal competencies (kompetensi interpersonal), dan
interpersonal competencies (kompetensi intrapersonal).
Tugas konselor adalah tiga dimensi daya psikis ini, sehingga diharapkan klien
dapat meningkatkan psichological strenght. Namun seiring dengan kesadaran bahwa
manusia adalah mahluk spiritual atau religius, tentunya pelayanan konseling tidak
hanya memenuhi kebutuhan psichological strength klien semata, namun mampu
memenuhi kebutuhan spiritual/religius. Perhatian terhadap dimensi spiritual ini
semakin dikembangkan dengan adanya konsep “wellness” dalam konseling. Kondisi
“wellness” klien merupakan tujuan dari keseluruhan proses konseling.
Sementara menurut Ronaldson (2000), aspek spiritual ditekankan pada
penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya, sehingga pasien HIV akan dapat
menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah.
Aspek spiritual yang perlu diberikan kepada pasien adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan.
Harapan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan seseorang. Seseorang
yang tidak memiliki harapan akan menjadi putus asa bahkan muncul keinginan
untuk bunuh diri. Harapan harus ditumbuhkan pada pasien agar ia memiliki
ketenangan dan keyakinan untuk terus berobat.
b. Pandai mengambil hikmah. Peran konselor dalam hal ini adalah mengingatkan
dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berpikir positif terhadap cobaan
yang dialaminya. Di balik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepda
Tuhan dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus, agar pasien
memperoleh ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati. Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan
ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai
kepribadian yang kuat akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu
tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada pasien HIV. Konselor dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata atau mengutip kitab
suci bahwa Tuhan tidak memberikan cobaan kepada umatNya, melebihi
kemampuannya (Al Baqarah, 2 : 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua
cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang sangat penting dalam
kehidupannya. Dimensi spiritual atau religiusitas dalam aktivitas konseling
menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang fokus
pada upaya membantu (building relationship) individu atau klien dengan segala
potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Sementara dimensi spiritual/religius berfungsi sebagai radar yang mengarahkan
pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada
diriindividu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta
menyadarkan bahwa apek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam
kehidupan itu sendiri.

b. Aspek Kultural Pada Pasien HIV/AIDS


Perubahan sosial dialami setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam
cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan
dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan
tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada
spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan
kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan
alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.

Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan


nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang
juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai
budaya tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari masyarakat umum
terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu
sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama
tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya
tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini.
Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam
kehidupan masyarakat.

Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan


orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga.
Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di
luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak
wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi
orang kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam
aspek budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
Dalam catatan Departemen Kesehatan misalnya pada pertengahan tahrm 1995
terungkap kasus bahwa seorang anak sekolah berusia 18 tahun di Irian Jaya
dinyatakan meninggal karena AIDS. Ini manunjukkan betapa wabah AIDS ini sudah
merambah usia anak sekolah dan mencapai wilayah Indonesia paling timur juga.
Kasus tersebut terjadi bukan akibat transfusi darah atau jarum suntik namun tertular
melalui hubugan seks yang tidak aman, bisa jadi dari seorang pekerja seks komersial.
Ada lagi beberapa laporan tentang kasus kasus penyakit menular seksual yang terjadi
pada remaja SMA Secara retrospektif diperkirakan bahwa pemuda tersebut terinfeksi
HIV di usia remaja yang sangat dini (Kartono Muhamad 1998). Suatu penelitian pada
layanan pemeriksaan kehamilan di Jakarta dan Surabaya di tahum 1998 menunjukkan
bahwa 23,3 % ibu rumah tangga hamil yang datang ke klinik tidak menyadari
bahwasanya mereka terkena penyakit menular seksual. Tanpa perhatian serius
masalah ini akan menjadi lebih berat lagi dengan datangnya epidemi HIV.
Indonesia memiliki semua faktor yang akan membuat HIV mudah menyebar,
diantaranya:
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang besar dengan
status pendidikan relatif rendah.
2. Perekonomiannya tumbuh dan selalu diikuti oleh urbanisasi kaum mudanya ke
perkotaan sehingga terpisah dari orang tua dan masyarakat asalnya.
3. Masyarakat banyak yang tergiring oleh arus konsumerisme sebagai akibat iklan di
media yang sangat gencar.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial/ budaya sebenarnya satu-satunya cara untuk
mengurangi atau menganggulangi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan mengubah
perilaku
individu atau kelompok sasaran. Sebab kebanyakan program-program preventif itu
memfokuskan pada pengetahuan, sikap dan perilaku beresiko. Disamping itu cara lain
bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan
bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut
pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat.
Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua
menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka,
jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan
meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi
PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya.
Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek budaya, dan budaya adat
seperti ini seharusnya dihapuskan.
Dalam catatan Departemen Kesehatan misalnya pada pertengahan tahrm 1995
terungkap kasus bahwa seorang anak sekolah berusia 18 tahun di Irian Jaya dinyatakan
meninggal karena AIDS. Ini manunjukkan betapa wabah AIDS ini sudah merambah usia
anak sekolah dan mencapai wilayah Indonesia paling timur juga. Kasus tersebut terjadi
bukan akibat transfusi darah atau jarum suntik namun tertular melalui hubugan seks yang
tidak aman, bisa jadi dari seorang pekerja seks komersial. Ada lagi beberapa laporan
tentang kasus kasus penyakit menular seksual yang terjadi pada remaja SMA Secara
retrospektif diperkirakan bahwa pemuda tersebut terinfeksi HIV di usia remaja yang
sangat dini (Kartono Muhamad 1998). Suatu penelitian pada layanan pemeriksaan
kehamilan di Jakarta dan Surabaya di tahum 1998 menunjukkan bahwa 23,3 % ibu rumah
tangga hamil yang datang ke klinik tidak menyadari bahwasanya mereka terkena penyakit
menular seksual. Tanpa perhatian serius masalah ini akan menjadi lebih berat lagi dengan
datangnya epidemi HIV.
Indonesia memiliki semua faktor yang akan membuat HIV mudah menyebar,
diantaranya:
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang besar dengan
status pendidikan relatif rendah.
2. Perekonomiannya tumbuh dan selalu diikuti oleh urbanisasi kaum mudanya ke
perkotaan sehingga terpisah dari orang tua dan masyarakat asalnya.
3. Masyarakat banyak yang tergiring oleh arus konsumerisme sebagai akibat iklan di
media yang sangat gencar.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial/ budaya sebenarnya satu-satunya cara untuk
mengurangi atau menganggulangi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan mengubah
perilaku individu atau kelompok sasaran. Sebab kebanyakan program-program preventif
itu memfokuskan pada pengetahuan, sikap dan perilaku beresiko. Disamping itu cara lain
adalah dengan mengubah persepsi-persepsi masyarakat yang kurang tepat terhadap cara
penularan, kekebalan, perilau penderita dan lain-lain.
Persepsi-persepsi masyarakat yang tidak benar mengenai penyakit AIDS sering kali
menimbulkan tindakan penyembuhan yang tidak benar. Hal ini sering kali tercermin dari
adanya orang-orang awam yang menganjurkan olahraga, berdoa, dan lain-lain sebagai
metode dalam penyembuhan AIDS.
Pada konteks sosial, strategi utama dalam upaya pencegahan dan mengurangi
kemungkinan transmisi seksual dari HIV di kalangan remaja adalah dengan memberikan
kesamaan wewenang (power equality) dan akses informasi yang lebih baik (better
acces to information). Secara garis besar upaya tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
1. Tidak melakukan kegiatan seks sebelum menikah terutama bagi remaja.
2. Setia pada pasangan yang dinikahinya, yakni bagi suami/istri untuk tidak
berganti ganti pasangan.
3. Menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual
4. Mencegah penularan melalui kontak darah dan produk darah
5. Menyertakan semua sumber daya, baik nasional maupun internasional
untuk kegiatan-kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
seksual termasuk HIV/AIDS
Adapun cara penanggulangan HIV/AIDS dalam konteks sosial-budaya adalah
dengan :
1. Mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, bersih dan teratur sesuai
dengan norma-norma dan budaya yang ada.
2. Mengubah persepsi dan kepercayaa yang salah tentang penyakit AIDS
3. Memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya AIDS dengan program
penyuluhan yang intensif dan berkesinambungan dengan menyertakan peran aktif
masyarakat
4. Memberikan dukungan sosial yang efektif dan efisien terhadap penderita,
sehingga penderita bisa hidup wajar dan tidak terisolasi serta tidak berbuat yang
merugikan orang lain, keluarganya, masyarakatnya dan dirinya sendiri.

c. Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS


Perawatan terbagi menjadi tempat perawatan berbasis keluarga,
masyarakat, puskesmas, dan rumah sakit

. Keluarga: Anggota keluarga perlu peduli dan bekerja sama dengan relawan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gizi, tata cara perawatan di rumah,
dan pemulasaran jenazah
2. Masyarakat: Dukungan social dari tetangga dan komunitas social
3. Puskesmas: Mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan pengobatan sederhana
4. Rumah sakit: Mendapatkan pelayanan rawat inap untuk perawatan infeksi
oportunistik (infeksi penyerta), pelayanan preventingnmother to child transmission
(PMTCT), dan pengobatan
Program ini dimulai sejak seseorang didiagnosis HIV dan setuju untuk
didampingi oleh relawan atau petugas lapangan (manager kasus) yang baisanya berasal
dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kegiatan ini meliputi:
1. Dukungan psikologis, spiritual, hokum dan HAM, serta dukungan sosio-ekonomi
a. Psikologis: Upaya manager kasus untuk mendampingi dan memberi dukungan
moral untuk meningkatkan rasa percaya diri klien serta pendampingan untuk
mendapatkan akses perawatan dan pengobatan di rumah sakit
b. Spiritual: Manager kasus bekerja sama dengan tokoh agama untuk memberi
nasihat dan dukungan melalui forum regular
c. Hokum dan HAM: Upaya untuk mengurangi diskriminasi dan stigma negative
dari keluarga dan masyarakat sekitar, menjaga kerahasiaan status klien dari
keluarga dan masyarakat selama klien belum sanggup untuk membuka diri,
serta mendampingi klien untuk pembelaan terhadap kasus hokum dan
pelanggaran HAM
d. Sosio-ekonomi: Upaya untuk mendapatkan dukungan dari swasta dan
pemerintah mengenai bantuan usaha ekonomi untuk peningkatan pendapatan
klien, kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan pemberdayaan klien,
dukungan finansial dari sumber yang memungkinkan terutama untuk biaya
pengobatan dan usaha ekonomi, usaha pencarian solusi untuk anak ODHA
yang yatim piatu

Dukungan pada penderita AIDS:

1. Mula-mula penderita membutuhkan kepercayaan, kasih saying dan dukungan


2. Mereka sangat membutuhkan informasi tentang masalah yang akan mereka hadapi
dan cara untuk mengatasinya
3. Memegang penderita AIDS adalah penentraman hati yang penting dan tidak
membahayakan
4. Komunikasi yang teratur, terutama secara personal (menjenguk atau menelpon),
adalah penting. Buatlah janji dahulu sebelum menjenguk karena AIDS
menyebabkan kelelahan dan penjenguk tidak selalu diharapkan
5. Komunikasi yang terbuka dan jujur adalah penting. Berbicara terbuka dan jujur
akan membantu penderita AIDS terbuka dengan anda. Bicarakan tentang
penyakitnya bila hal ini yang diinginkan. Banyak orang menyesali penyakitnya
dan merasa lebih baik bila ada seseorang yang dapat berbagi rasa
6. Pergilah ke luar bersama dan mengunjungi orang lain
7. Tawarkan bantuan pada suatu hal yang mungkin menyulitkan penderita
8. Bila anda berada di tempat lain, pertahankan hubungan dengan menulis surat atau
menelpon

Merawat penderita AIDS:

1. Perawatan di rumah sakit: Penderita AIDS yang sakit berat paling baik dirawat
oleh perawat yang telah berpengalaman. Pengobatan di rumah sakit ditunjukkan
pada penyakit yang timbul akibat AIDS. Belum pernah ditemukan penderita AIDS
dapat sembuh. Merawat penderita AIDS adalah aman. Kadang-kadang penjenguk
terlalu melelahkan penderita, tetapi dilain waktu, penjenguk memberi dukungan
dan penenteraman hati.tanyakan pada perawat kapan waktu terbaik untuk
menjenguk
2. Perawatan di rumah: orang yang merawat penderita AIDS perlu hati-hati dan
suportif. Orang yang merawat penderita AIDS membutuhkan tindakan sederhana
untuk memotong resiko infeksi. Merawat penderita AIDS bukan aktivitas beresiko
tinggi, hidup normal serumah tidak beresiko
Pencegahan di rumah:
1. Gunakan selalu sarung tangan untuk tugas-tugas di rumah bila diperlukan. Cuci
tangan setelah setiap tugas, walaupun sudah menggunakan sarung tangan
2. Cucilah sarung tangan dalam air dan detergen yang cukup panas
3. Gunakan kain pembersih lantai untuk dapur dan kamar mandi yang berbeda
4. Gunakan selalu plester atau pembalut kedap air pada luka atau luka sayat
5. Sikat gigi dan alat cukur jangan digunakan bergantian
6. Harus digunakan sarung tangan bila membersihkan tumpahan darah, muntahan dan
sebagainya, dan buang dalam kloset7. Lantai atau permukaan yang tertumpah
cairan seperti darah, muntahan dan sebagainya sebaiknya diseka dengan larutan
pengelantang; 1 bagian pengelantang dan 9 bagian air
8. Pakaian yang kotor dan berdarah harus dicuci dengan air panas

Untuk mencegah penularan jasad renik pada penderita AIDS:

1. Bila masak, pastikan makanan telah dimasak dengan baik


2. Cuci tangan setelah memegang binatang kesayangan dan tempat sampah
3. Batasi kontak dengan penderita AIDS bila anda menderita flu berat, gangguan
lambung atau penyakit lain

Hubungan seks dan penderita AIDS

1. Penderita AIDS harus menghindari hubungan seks yang tidak aman


2. Jangan melakukan hubungan seks tanpa pelindung, gunakan selalu kondom
3. Beritahukan pasangan anda bahwa anda menginginkan hubungan seks yang aman
4. Anda dapat melakukan onani, pelukan dan pijatan
5. Gunakan kondom ekstra kuat bila melakukan hubungan seks lewat dubur
6. Gunakan selalu kondom seks melalui vagina
7. Jangan memakai alat kelamin buatan secara bergantian
8. Gunakan selalu pelindung yang aman, misalnya kondom untuk hubungan seks
lewat mulut.
Pengkajian Spiritual dan Pengkajian Kultural dengan long term care
Pengkajian spiritual
” Assalamualaikum wr.wb kami dari kelompok 4 HIV akan mempraktekkan pengkajian
spiritual dan pengkajian kultural dengan long term care. Yang beranggotakan dari A
perawat 1, B sebagai perawat 2, C sebagai perawat 3, D sebagai perawat 4 , E sebagai
perawat 5, F sebagai keluarga dan G sebagai pasien ."

Perawat 1 : "assalamualaikum pak”

Pasien : "waalaikumussalam sus"

Perawat 1 :"perkenalkan saya perawat A, saya perawat disini saya shift pagi pak.
Sebelumnya benar dengan bapak Y?"

Pasien : “iya benar sus”

Perawat 1 : "berumur 40 tahun ya pak?"

Pasien : "iya sus"

Perawat 1 : "boleh saya lihat identitas nya dulu pak?"

Pasien : : "boleh silahkan sus"

Perawat 1 : "permisi ya pak, umur bapak 40 tahun ya , agama islam . Begini bapak tujuan
saya kesini untuk menanyakan keaadan spiritual dan kultural pada bapak yang alami
dalam kondisi saat ini. Nanti saya akan bertanya-tanya kepada bapak apakah bapak
bersedia ?”

Pasien : “iya sus”


Perawat 1 : “mungkin mebutuhkan waktu 10 sampai 15 menit pak”

Pasien : “iya sus tidak masalah”

Perawat 1 : “apakah ada pertanyaan kepada saya pak”

Pasien : “tidak ada sus”

Perawat 1: “apakah ada gejala flu atau demam pada bapak untuk saat ini “

Pasien : “ 5 hari yang lalu ada sus demam dan untuk sekarang tidak ada sus , sudah baik-baik
saja”

Perawat 1: “baik pak sudah di anjurkan minum obat yang rutin ya pak”

Pasien : “iya sus sudah”

Menutup tirai dan mencuci tangan dengan anti septik

Perawat 2 : “baik bapak seperti yang sudah jelaskan tadi saya melakukan beberapa
pertanyaan kepada bapak yang ingin saya tanyakan kepada bapak sesuai dengan agama bapak
agama islam yaitu bagaimana bapak menilai keadaan kondisi saat ini ? ”

Pasien:”saya merasa dan berpikir bahwa ini sebuah teguran dan ujian dari allah kepada saya
atas kesalahan yang khilaf saya lakukan dulu”

Perawat 2: “baik jadi ini bapak berpikir bahwa ini ujian dari allah untuk bapak ya, kemudian
bagaimana sikap bapak melalui ujian ini ”

Pasien : “iya sus pada sakit ini memang ibadah harus dilakukan dan wajib setiap waktu agar
saya di permudahkan dalam ujian sakit ini sus”
Perawat 2: “baik bapak jadi bapak sudah punya pandangan yang baik buat melewati penyakit
ini dan bapak jadikan ini hal yang positif dan usaha- usaha yang baik agar cepat melewati
penyakit ini dengan baik”

Perawat 2: “dan kemudian apakah bapak sebelum penyakit ini menimpa bapak apakah bapak
terlibat aktif dalam keagamaan di masyarakat seperti pengajian atau pengurus masjid seperti
itu”

Pasien : sebelum saya terkena penyakit ini saya rutin pengajian di masjid juga di rumah-
rumah tetangga dan setelah saya terkena penyakit ini saya jarang datang dan hampir tidak
pernah karena saya di rawat di rumah sakit

Perawat 2: “jadi yang rutin yang pengajian ya , dan untuk sholat nya apakah bapak rajin
sholat 5 waktu”

Pasien : “iya sus saya rajin sholat 5 waktu”

Perawat 2: “apakah ada ibadah lain yang sering di lakukan”

Pasien: “ada sus seperti sholat dhuha tetapi saya tidak sering dan baca al-qur’an”

Perawat 2: “baik itu saja ya ibadah yang sering bapak lakukan”, dan yang terakhir kami dari
petugas Kesehatan kira-kira apa yang harus kami lakukan untuk membantu bapak saat di
rumah sakit misalnya perubahan dalam keagaman dan memaknai hidup bapak apa ada
perubahan ”

Pasien: “selama saya sakit saya ibadah cuma di atas betres dan saya masih bingung dengan
tata cara sholatnya dan wudhu nya sebelum sakit saya biasa ibadah dengan berdiri sus jadi
banyak perubahannya”

Perawat 2 : “baik bapak mungkin kami nanti bisa membantu bapak agar bisa sholat seperti
sebelumnya agar bapak lebih yakin beribadah. Seperti bapak sholatnya masih dalam keadaan
tidur nanti akan di jelaskan lebih lanjut”, “apakah bapak perlu di datangkan kerohanian”
Pasien : “iya sus perlu”Perawat 2: baik bapak jika perlu nanti saya koordinasikan lebih lanjut
dan bapak nanti jika ada kerohanian bisa bertanya tentang ibadah yang baik seperti apa saat
di tempat tidur dan berwudhu seperti apa yang baik jika tidak ada air jadi bapak bisa bertanya
senyaman hati bapak.
Pasien : “iya sus baik terima kasih”

Pengkajian kultural
Perawat 3 & 4: “Assalamualaikum”

Ibu/bapak/pasien: “waalaikumussalam”

Perawat 3: “bagaimana keadannya pak?”

Pasien: “alhamdulillah sus, saya merasa baikan”

Perawat 3: “alhamdulillah pak, bapak juga terlihat lebih segar ya sekarang”. keluarga Tn. S
sudah berkumpul ya. Kalo begitu bagaimana kalo kita berbincang-bincang sebentar?”

Ibu: “oh iya sus, boleh”

Perawat 3: “Tempatnya mau dimana?”

Bapak: “ di ruang keperawatan saja ya sus”

Perawat 3: “mau berapa lama kita berbincang-bincang?”

Bapak: “gimana kalo seberesnya saja ya sus”

Perawat 3: “baik, mari kita pergi ke depan”

Perawat 4: “Ibu/bapak, apakah sudah siap? sekarang saya akan mulai menjelasakan ya
bu/pak”

Ibu/bapak: “iya sus”

Perawat 4: “ibu bapak, mohon maaf sebelumnya kan anak ibu dan bapak terkena penyakit
HIV/AIDS ya, ibu/bapak sudah tau belum apa itu HIV/AIDS?”

Ibu & Bapak: “saya kurang tau sus”


Perawat 4: “kalo begitu saya akan jelaskan ya, jadi HIV adalah virus yang menyerang dan
merusak sistem kekebalan tubuh sehingga bila sistem tubuh kita suda lemah atau rusak, kita
akan mudah terserang penyakit. Sedangkan AIDS itu sendiri adalah sekumpulan gejala yang
disebabkan oleh berkurangnya sistem kekebalan tubuh tadi. Nah seperti itu apa ibu dan
bapak paham?”

Ibu: “sudah sus, sus apakah benar penyakit HIV AIDS itu bisa menular?

Perawat 3: “benar bu, saya jelaskan ya. HIV hanya bisa hidup di dalam cairan tubuh seperti
darah, cairan vagina, cairan sperma, dan ASI. Penularan HIV bisa melalui hubungan seks
dengan orang yang positif HIV aids, bergonta ganti pasangan, penggunaan jarum suntik
secara bersamaan, dan ibu yang posistif hiv kepada bayinya. HIV AIDS tidak menular
dengan bersalaman, berpelukan, makan bersama, dan tinggal bersama, jadi ibu dan bapak
tidak perlu khawatir. Ibu / Bapak: “iya sus”

Perawat 4: “sekarang saya lanjutkan yaaaa, ibu dan bapak harus terus memberikan dukungan
kepada anak bapak, jangan biarkan anak bapak menghadapi masalah ini sendiri. Terus
berinteraksi dengannya, jangan membedakan dia hanya karena penyakitnya sekarang, jangan
menjauhinya karena itu akan membuat mereka merasa malu, minder dan merasa tidak
berguna lagi dalam masyarakat, ajak dia untuk bersosialiasasi dengan lingkungannya seperti
sediakala”.

Ibu/ Bapak: “baik sus”

Perawat 3: “sampai sini apakah ibu dan bapak mengerti?”

Bapak: “iya sus, kami paham”


Perawat 3: “kalau begitu, boleh gak saya bertanya kepada bapak dan ibu mengenai apa yang
telah saya jelaskan”

Ibu/ Bapak: “boleh sus”

Perawat 3: “nah bisa ibu atau bapak sebutkan lagi, lewat apa saja HIV bisa ditularkan?”

Ibu: “lewat darah, sperma, cairan vagina, dan ASI sus”


Perawat 3: “wah! Iya betul sekali, ternyata ibu dan bapak sudah paham. Jadi, saya harap ibu
dan bapak jangan sampai mengucilkan Ny. N serta selalu berikan motivasi. Apakah sampai
sini ada yang ditanyakan ?

Ibu/ Bapak: “sudah cukup sus”

Perawat 3: “baik kalau begitu. kami pamit, terima kasih atas kerja samanya jika perlu apa-apa
silahkan pencet bel yang ada di sebelah tempat tidur atau bisa panggil perawat di ruangan
perawat ya”

Ibu/bapak: “iya sus terima kasih”

Anda mungkin juga menyukai