OLEH :
(………………….……………..) (………………….……………..)
2. Etiologi
a) Riwayat SC
Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap sebagai kontraindikasi
untuk melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi rupture uteri. Risiko ruptur
uteri meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya, klien dengan jaringan
perut melintang yang terbatas disegmen uterus bawah, kemungkinan mengalami
robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya. Wanita yang
mengalami ruptur uteri berisiko mengalami kekambuhan, sehingga tidak menutup
kemungkinan untuk dilakukan persalinan pervagina, tetapi dengan beresiko ruptur
uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan janin.
b) Indikasi Ibu :
Panggul sempit
Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Stenosis serviks uteri atau vagina
Plassenta praevia
Disproporsi janin panggul
Rupture uteri membakat
Partus tak maju
Incordinate uterine action
c) Indikasi Janin
1. Kelainan Letak :
Letak lintang
Letak sungsang ( janin besar,kepala defleksi)
Letak dahi dan letak muka dengan dagu dibelakang
Presentasi ganda
Kelainan letak pada gemelli anak pertama
2. Gawat Janin
3. Indikasi Kontra (relative)
Infeksi intrauterine
Janin Mati
Syok/anemia berat yang belum diatasi
Kelainan kongenital berat
4. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya plasenta
previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture
uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks,
dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu
tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan klien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah
intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan
menyebabkan klien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri klien secara
mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada klien. Selain itu,
dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding
abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh
darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang
pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri
akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan
menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan
menimbulkan masalah risiko infeksi.
7. Komplikasi
a) Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari
dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis
dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan
sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya
setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi
dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada SC transperitonealis profunda.
b) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c) Komplikasi-komplikasi lain seperti :
Luka kandung kemih
Embolisme paru – paru
Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya
perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan
sesudah sectio caesarea klasik.
8. Pemeriksaan Penunjang
a) Hemoglobin atau hematokrit (Hb/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
b) Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c) Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d) Urinalisis / kultur urine
e) Pemeriksaan elektrolit
9. Penatalaksanaan
a) Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila
kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b) Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10
jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
c) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, klien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d) Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
e) Pemberian obat-obatan
1. Antibiotik. Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
f) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
g) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
h) Perawatan payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan
tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa
nyeri. (Manuaba, 1999)
10. Prognosis
Prognosis pada penderita perdarahan postpartum sangat bergantung pada
penatalaksanaan yang diberikan. Jika tatalaksana yang diberikan cepat dan tepat
maka tentu saja prognosis pada penderita dengan perdarahan akan baik pula.
Namun apabila tatalaksana yang diberikan tidak adekuat, maka mortalitas akan
meningkat.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat,
status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik,
yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
b) Keluhan utama
f) Pemeriksaan Fisik
Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kontribusi rambut,
warna rambut, ada atau tidak adanya edem, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva,
dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kunuing.
Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga.
Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung.
Leher
Pembesaran kelenjar limfe dan tiroid, adanya abstensi vena jugularis.
Dada dan payudara
Bentuk dada simetris, gerakan dada, bunyi jantung apakah ada bisisng
usus atau tiak ada. Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya
hiperpigmentasi areola mamae dan papila mamae
Abdomen
Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
Ginetelia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila
terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam
kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur,
adanya hemoroid.
Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit
jantung atau ginjal.
Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi
cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia
terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan respons dari
seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (NANDA, 2015).
Diagnosa:
a) Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
b) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada abdomen post
operasi SC
c) Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan, luka post operasi
d) Cemas berhubungan dengan koping yang tidak efektif
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam
proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan
dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau untuk
memenuhi kebutuhan pasien (Setiadi, 2012).
Pada tahap perencanaan, ada empat hal yang harus diperhatikan:
a. Menentukan prioritas masalah.
b. Menentukan tujuan.
c. Menentukan kriteria hasil.
d. Merumuskan intervensi dan aktivitas perawatan.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi.Tindakan mandiri (independen) adalah
aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan
bukann merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti
dokter dan petugas kesehatan lain.
5. Evaluasi
Menurut Damayanti (2013). Evaluasi adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan
dan kriteria hasil yang perawat buat pada tahap perencanaan. Evaluasi
perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi adalah
tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah
berhasil dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini. 2008. Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Post Sectio Caesaria.
Surakarta : UMS.
Gulardi , Wiknjosastro, Hanifa, 2006, Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Jakarta :
YBP-SP.
Mansjoer, Arif, 2002, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. . Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro. 2010. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Edisi 1. Cet. 12. Jakarta : Bina Pustaka