Anda di halaman 1dari 4

SUNGAI BULUS

Oleh: Mohammad Atho'illah


Masyarakat datang berduyun-duyun memadati bantaran sungai Galunggung di tengah
hari. Batuan besar tajam yang permukaannya timbul ke atas sungai, terlihat sangat sesak
dipenuhi kaki-kaki yang kotor oleh tanah pasir berlumpur. Bukan hanya itu, kebun jagung
yang membentang di sebelah kiri sungai, juga tampak ramai oleh puluhan kepala. Semuanya
memasang raut tegang. Berita yang tertiup angin tengah hari ini, benar-benar menggegerkan
masyarakat dusun kami.

Sungai Galunggung adalah sungai yang mengalir panjang dari puncak gunung Kawi.
Airnya yang jernih dan tawar melewati hampir tiga kabupaten dengan titik hilir pantai selatan
pulau Jawa. Lebar dari sungai ini bermacam-macam, tergantung kondisi daerah yang
dilaluinya. Namun jika berbicara tentang kedalaman, maka sungai Galunggung termasuk
sungai yang dangkal, enam belas kaki kurang lebih. Titik terdalam sungai ini berada di sungai
Trimurti, sungai yang terletak di sebelah dusun kami.

Hingga menjelang sore hari, aku masih terduduk di antara kumpulan banyak orang.
Sepuluh anggota tim SAR bergantian naik turun ke dalam. Menyisir dengan teliti sepanjang
bantaran sungai. Beruntungnya hari ini tidak hujan, sehingga tidak terlalu menyulitkan
pencarian.

“Terakhir pagi tadi sekitar pukul sembilan, tidak ada orang yang pergi ke sungai ini.
Benar-benar sepi. Setelah membilas saya juga langsung pergi” ujar ibu paruh baya di hadapan
microphone seorang reporter berita. Aku melihat pria berseragam rapi itu sibuk dengan
pulpen dan buku catatannya. Ia menghampiri banyak lidah untuk mencari saksi mata yang
aktual dan terpercaya. Anak-anak dusun yang tidak tahu malu seraya melambaikan
tangannya, terlihat berlalu lalang mengikuti arah sorotan kamera.

Tanpa berputus asa, pria berseragam itu masih terus berkeliling tempat kejadian
perkara. Dengan wajah penuh lelah, ia kembali membuka bicara, “Lantas bagaimana
tanggapan bapak atas kejadian hilangnya anak di sungai ini?”

“Kasus semacam ini terbilang sudah lima kali terjadi. Sungai Galunggung bukanlah
sungai biasa. Kata orang pintar, sungai ini memiliki gerbang gaib yang menuju dimensi ke
alam yang berbeda. Konon sungai ini ditunggu oleh seekor penyu raksasa, masyarakat sini
sering menyebutnya dengan istilah bulus” terdengar sulit dipercaya pemaparan dari bapak tua
itu. Dengan rasa percaya diri, ia mengaitkan kejadian ini dengan suatu hal yang bukan-bukan.
Belum usai reporter itu menanyainya, sebuah tangan menarikku kencang. Aku terperanjat,
kaget bukan kepalang.

“Ayah! Kita akan pergi ke mana?”

Tidak ada jawaban dari ayah. Langkahnya sangat panjang, sepadan dengan tubuhnya
yang tinggi menjulang. Ayah menyuruhku untuk naik ke atas motor tuanya, sedang aku
hanya menurutinya tanpa sepatah kata.

“Kau sudah makan?” Ayah membuka pembicaraan

“Belum Ayah, ibu belum masak tadi pagi. Jadi Umar pergi bermain ke sungai
bersama teman-teman” hening kembali menyelimuti perjalananku dengan Ayah, dan aku
sangat membencinya. Akhirnya aku kembali berujar untuk mengisi kekosongan. “Ayah sejak
kapan pulang dari perantauan? Kok Umar tidak pernah melihat Ayah?”

“Ayah pulang dari Kalimantan tiga hari lalu, hanya saja Ayah mengunjungi rumah
Nenek terlebih dahulu, dan pagi tadi Ayah baru pulang ke rumah. Eh, Umar tidak ada di
rumah” aku tidak melanjutkan percakapanku dengan Ayah, sebab roda motornya berbelok ke
sebuah warung pedagang kaki lima.

Sebuah warung yang berdinding anyaman bambu ini, berdiri di bibir sungai
Galunggung. Terbilang sangat ramai untuk sebuah warung makan yang buka di sore hari,
karena pada umumnya warung makan hanya akan dipenuhi pembeli saat pagi hari. Aku
memilih duduk di atas kursi yang ditata rapi mengikuti bentuk meja panjang. Ayah memilih
duduk di sampingku, itu artinya kami berdua duduk menghadap ke arah sungai Galunggung.

Seakan menjadi pemandangan bagi siapapun yang makan di warung ini, gemercik air
sungai yang mengalir deras akan senantiasa menemani pembeli saat menunggu atau
menyantap pesanannya. Sepertiku saat ini. Sayangnya ketenangan tersebut hanya bisa
kunikmati sesaat. Sebab hampir bersamaan dengan pesananku yang datang, sorak sorai tim
SAR yang menyisir sungai sangat nyaring terdengar.

“Ayo semangat! Jangan sampai ada sedikit pun bagian sungai yang tidak terselusuri”
ucap seorang pria bertubuh gempal dari atas perahu karet. Kalimat tersebut lantas ditimpali
oleh anggota lainnya dengan suara yang tak kalah lantang, “Semangat!! Allahuakbar!”
Seporsi nasi jagung telah tersedia di hadapanku. Sambal terong, ikan yang telah
dipindang, tahu tempe lengkap dengan kerupuknya tersusun menyebar di atas kebulan asap
dari nasi yang berwarna jingga itu. Tanganku menengadah untuk melantunkan do'a, namun
anehnya tangan ayah menepukku, ia seakan melarangku untuk membaca do'a sebelum
makan. “Hentikan!” matanya menyorot tajam ke arahku, alisnya terangkat, ini bukan seperti
kebiasaan ayah yang sesungguhnya. Melihat kejadian itu, aku tidak terlalu
mempermasalahkannya, kurasa ayah hanya sedang bergurau canda, dan aku tetap merapalkan
do'a di dalam hati tanpa mengangkat kedua tangan.

Kami berdua makan dengan lahapnya. Aku yang tipikal orang yang tidak suka pedas,
berulang kali meneguk air putih dari teko besar. Sialnya, tanganku tanpa sengaja menyenggol
segelas air bekas minumku. “Astaghfirullah” kalimat istighfar reflek terujar dari mulutku dan
Ayah kembali melotot ke arahku.

“Hati-hati” nadanya tinggi

Aku melanjutkan makan, sedang Ayah berdiri untuk beranjak keluar. Dari luar
jendela, pasukan berseragam jingga seirama masih terlihat sibuk mengaduk-aduk muara
sungai. “Allahu Akbar Allahu Akbar” Telingaku menangkap sebuah suara adzan. Sangat
merdu namun samar-samar alunannya. Sedikit membuatku kaget, sebuah tangan menarikku
dengan sigap. “Ikutlah denganku !”.

“Kau siapa?” jantungku tidak henti-hentinya berdegup cepat tatkala kutahu bahwa
tangan yang menarikku dan menggenggamku kini bukan tangan Ayah.

“Ayah kau dimana Ayah?” berulang kali kuserukan nama itu. Anehnya Ayah yang
sebelumnya duduk di sampingku tiba-tiba menghilang entah kemana. “Kau siapa? Lepaskan
tanganku!”

“Kau jangan takut, aku tidak akan menecelakaimu. Ikutlah bersamaku! Niscaya
dirimu akan mendapatkan kebahagiaan”.

Anda mungkin juga menyukai