Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MATA KULIAH EKONOMI MAKRO MADYA

Pengaruh Inflasi terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia

Oleh
Leni Kurnia Optari
NIM 200820201006

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inflasi dan pengangguran adalah masalah jangka pendek dalam perekonomian.
Inflasi sendiri diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan sebagai inflasi
kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang
lainnya. Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa inflasi yang terjadi pada suatu negara dapat digunakan sebagai indikator
baik buruknya perekonomian suatu negara. Bagi negara yang perekonomiannya baik,
tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Tingkat inflasi
yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah. Tingkat
inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi. Inflasi yang
sangat tinggi tersebut disebut hiperinflasi (hyper inflation).
Tujuan negara membangun adalah untuk kesejahteraan rakyat, maka masalah
pengangguran yang tinggi merupakan kondisi yang sangat tidak dikehendaki oleh suatu
negara di manapun. Inflasi dan pengangguran adalah dua masalah ekonomi yang utama
yang sering dihadapi oleh masyarakat suatu negara. Jika masalah inflasi dan pengangguran
tidak terkendali, maka kedua masalah tersebut dapat mewujudakan efek buruk baik yang
bersifat ekonomi, sosial, politik serta lingkungan dan budaya. Untuk menghindari berbagai
efek buruk yang mungkin ditimbulkan oleh kedua masalah tersebut, secara sederhana
yakni secara ekonomi makro diperlukan berbagai kebijakan ekonomi yang komprehensif.
Dalam teori kurva Phillips, pengangguran yang tinggi memang akan cenderung
mengurangi inflasi. Namun yang menarik di Indonesia fenomena yang sering terjadi
adalah ketika pengangguran tinggi tingkat inflasi juga masih tetap tinggi. Padahal, tujuan
yang selalu dikehendaki untuk kedua masalah tersebut adalah rendah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditunjukkan bahwa belum adanya konsensus
mengenai pola hubungan tingkat inflasi dan pengangguran serta masih terbatasnya
literatur tentang kedua variabel ini di Indonesia, menyebabkan kesimpulan mengenai
keberadaan kurva Phillips dalam perekonomian Indonesia masih perlu dikaji.
Permasalahan yang menjadi pijakan dalam studi ini adalah: apakah terdapat hubungan
antara inflasi dan pengangguran dalam perekonomian Indonesia?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus
menerus (Sukirno, 2004). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang
saja tidak bisa disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan
kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2011). Kenaikan harga
barang-barang itu tidak harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan
harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang
dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak secara
bersamaan.
Namun inflasi pasti merupakan kenaikan harga umum barang-barang secara terus
menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali
saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi. (Nopirin,
2000).
Menurut Milthon Friedman, inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang
selalu terjadi dimanapun dan tidak dapat dihindari. Inflasi dikatakan sebagai fenomena
moneter hanya jika terjadi peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-
menerus. Pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004)

2.2 Pengangguran
Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak
memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam empat
minggu terakhir untuk mencari pekerjaan (Kaufman dan Hotchkiss,1999). Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) dalam indikator ketenagakerjaan (www.bps.go.id), pengangguran
adalah penduduk yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan atau sedang
mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena
sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.
Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh
pekerjaan tersebut (Sukirno, 2004). Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh
ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlahtenaga
kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta.
Menurut Sadono Sukirno (2004), pengangguran adalah suatu keadaan di mana
seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum
dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari
pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Faktor utama yang menimbulkan
pengangguran adalah kekurangan pengeluaran agregat.
Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk mencari
keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh apabila para pengusaha dapat
menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan, semakin besar pula
barang dan jasa yang akan mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan
menambah penggunaaan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat
diantara tingkat pendapatan nasional yang dicapai (GDP) denganpenggunaan tenga kerja
yang dilakukan. Semakin tinggi pendapatan nasional (GDP), semakin banyak penggunaan
tenaga kerja dalam perekonomian.

3.3 Kurva Philips


Paul Samuelson dan Robert Solow merupakan peneliti pertama yang mendukung
hipotesis Phillips. Samuelson dan Solow (1970) menguji hubungan antara dua variabel
makroekonomi dalam konteks Amerika Serikat. Kesimpulan dari hasil penelitiannya
adalah bahwa terdapat hubungan terbalik antara pengangguran dan tingkat inflasi di
Amerika Serikat. Selain itu, Solow (1970) dan Gordon (1971) membenarkan adanya
hubungan trade-off negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi menggunakan data
makroekonomi AS. Temuan empiris telah dikenal sebagai “Solow-Gordon affirmation”
dari kurva Phillips.
Meskipun William Phillips mendasarkan hipotesis pada landasan teoritis yang
kuat, perdebatan tentang apakah kurva Phillips benar-benar ada tetap terjadi seperti
halnya pada periode 1960-an. Islam et al. (2003) mencatat: Sejak awal, hipotesis kurva
Phillips telah terbuka bagi perdebatan. Misalnya, Milton Friedman (1968) dan Edmund
Phelps (1967) secara terbuka mengkritik hipotesis dan mempertahankan bahwa tidak ada
hubungan trade-off antara pengangguran dan inflasi.
Selain itu, Robert Lucas (1976) menentang keras usulan dari keberadaan kurva
Phillips. Dia berargumen bahwa bisa ada hubungan trade-off antara pengangguran dan
inflasi jika pekerja tidak berharap bahwa para pembuat kebijakan akan mencoba untuk
menciptakan situasi buatan di mana tinggi inflasi dikupas dengan pengangguran rendah.
Jika tidak, para pekerja akan meramalkan inflasi yang tinggi di masa depan dan akan
menuntut kenaikan upah dari majikan mereka. Dalam hal ini, mungkin ada koeksistensi
pengangguran tinggi dan tingkat inflasi yang tinggi yang dikenal sebagai “Lucas
critique”. Pada 1970-an, ekonom mulai kehilangan minat dalam melakukan penelitian
pada kurva Phillips.
Debelle dan Vickery (1998) menyatakan Kurva Phillips jatuh ke dalam periode
yang tidak diperhatikan di kalangan akademisi selama 1980, meskipun ini merupakan alat
penting bagi para pembuat kebijakan. Namun, tahun 1990-an terjadi kebangkitan
kepentingan akademis dalam kurva Phillips dan kurva Phillips telah kembali menjadi
subyek perdebatan yang intensif (misalnya, simposium dalam Journal of Economic
Perspectives).
Umumnya, temuan empiris telah menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa
peneliti menemukan hubungan trade-off yang signifikan antara tingkat pengangguran dan
tingkat inflasi sedangkan lainnya tidak. Di antara studi penelitian yang dilakukan pada
1990-an, Alogoskoufis dan Smith (1991) menunjukkan bukti empiris untuk mendukung
Lucas critic yang menyangkal adanya hubungan trade-off. Sebaliknya, Raja dan Watson
(1994) menguji keberadaan kurva Phillips menggunakan data makroekonomi AS pasca-
perang. Temuan mereka memberikan dukungan empiris tentang adanya hubungan trade-
off antara pengangguran dan inflasi di Amerika Serikat selama periode yang diteliti. King
dan Watson (1994) menyimpulkan bahwa terdapat kurva Phillips jika noise jangka
panjang dan jangka pendek dikeluarkan dari data.
BAB III

PEMBAHASAN

Inflasi dan pengangguran sudah sejak lama menjadi permasalahan yang dihadapi
oleh banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Fluktuasi inflasi pada
tingkat yang rendah biasanya dapat merangsang laju pertumbuhan ekonomi, akan tetapi
pada tingkat yang tinggi akan mengganggu stabilitas ekonomi karena merepresentasikan
iklim ekonomi yang kurang baik untuk investasi. Sedangkan pengangguran di suatu
Negara akan menimbulkan banyak gejolak politik yang dapat mengganggu pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dikarenakan pengangguran dapat menurunkan daya beli masyarakat
karena berkurangnya produktivitas kinerja dan penghasilan.
Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami fluktuasi seiring dengan
krisis moneter tahun 1997-1998 dan krisis ekonomi 2006-2007. Tingkat pengangguran
teringgi terjadi pada tahun 2005 dan 2006 yang mencapai angka lebih dari 10 persen.
Namun setelah 2007 terus mengalami penurunan yang signifikan sampai 2013. Sejak
2015, meski kecenderungannya masih menurun, namun penurunannya melambat.
Grafiknya dapat dilihat pada Gambar 1.

12.00
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

10.00

8.00

6.00

4.00

2.00

-
96 98 00 02 04 06 08 10 12 14 16 18
19 19 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Gambar 1. Tingkat Pengangguran di Indonesia, 1996 – 2018


Sumber: BPS, 2018

Penelitian A.W. Phillips pada tahun 1958 memaparkan adanya hubungan atau
trade off antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Hubungan tersebut digambarkan
dalam kurva yang dikenal dengan kurva Phillips. Berdasarkan kurva ini, ketika tingkat
inflasi rendah maka tingkat pengangguran akan tinggi dan sebaliknya. Keberadaan kurva
Phillips hingga kini masih menjadi perdebatan, karena tidak semua negara
perekonomiannya dapat digambarkan sesuai dengan teori tersebut.

90.00

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

-
96 97 9 8 9 9 0 0 01 0 2 0 3 04 05 06 0 7 0 8 09 10 11 1 2 13 14 1 5 1 6 17 18
1 9 1 9 19 19 20 2 0 20 20 2 0 2 0 2 0 20 20 2 0 2 0 2 0 20 2 0 2 0 20 20 2 0 2 0

TPT (%) Inflasi (%)

Gambar 2. Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia


Sumber: BPS, 2018

Studi empiris tentang hubungan antara inflasi dan pengangguran telah dilakukan
diberbagai negara untuk membuktikan keberadaan kurva Phillips. Berdasarkan hasil
penelitian kurva Phillips di negara-negara maju, berhasil dibuktikan adanya hubungan
negatif antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. DiNardo dan Moore (1999)
mengkonfirmasi keberadaan kurva umum Phillips di negara-negara OECD. Turner dan
Seghezza (1999) menyimpulkan bahwa hasil keseluruhan memberikan dukungan kuat bagi
keberadaan kurva umum Phillips di antara 21 negara anggota yang dipilih dari OECD.
Studi penelitian dan perekonomian Thailand, pada paruh periode yang sama (1993-
1996), tidak terbukti adanya kurva Phillips (Bhanthumnavin, 2002). Beberapa studi
mengenai keberadaan di Indonesia, menghasilkan kesimpulan yang beragam, diantaranya
penelitian Furuoka dan Munir, 2005 di lima negara ASEAN, termasuk Indonesia,
menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan negatif antara inflasi dan
pengangguran. Peneliti lain menghasilkan kesimpulan yang berbeda, Solikin (2004)
menyimpulkan terdapat kurva Phillips di Indonesia, namun kurva ini berubah dari waktu
ke waktu.
Pada beberapa tahun, tingkat pengangguran di Indonesia berpengaruh negatif
terhadap Inflasi seperti pada tahun 2011, dimana pada saat inflasi turun dari 6,9% menjadi
3,79% sedangkan tingkat pengangguran naik dari 6,2% menjadi 6,49%. Hasil ini sesuai
dengan teori Kurva Phillips yaitu tingkat pengangguran memiliki hubungan negatif
terhadap Inflasi. Hal ini bisa terjadi misalnya karena kebijakan ekspansif pemerintah.
Kebijakan ekspansif akan menyebabkan peningkatan produksi oleh perusahaan, akibatnya
tingkat pengangguran akan menurun karena perusahan merekrut tenaga kerja lebih
banyak. Hal ini menyebabkan keuntungan perusahaan, upah pekerja, dan pendapatan
masyarakat yang naik. Tentu dengan bertambahnya uang yang beredar di masyarakat akan
meningkatkan inflasi.
Namun apabila dilihat dari Gambar.2 hubungan antara tingkat inflasi dan
pengangguran di Indonesian sebagian besar bukan lagi sebuah tradeoff melainkan berjalan
searah, artinya inflasi yang tinggi juga diikuti dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amierrudin Saliem dengan data
inflasi dan pengangguran Indonesia tahun 1976 hingga 2006 yang juga menunjukkan
hubungan yang positif antara pengangguran dan inflasi. Inflasi sebagai bentuk kenaikan
harga-harga di semua sektor, maka perusahaan-perusahaan akan mengambil kebijakan
mengurangi biaya untuk memproduksi barang atau jasa dengan cara mengurangi pegawai
atau tenaga kerja. Akibatnya, angka pengangguran yang tinggi tidak dapat dihindari dan
berakibat perekonomian negara tersebut mengalami kemunduran. Oleh karena itu, inflasi
sangat berkaitan erat dengan tingkat pengangguran.
Adanya kenaikan harga-harga atau inflasi pada umumnya disebabkan karena
adanya kenaikan biaya produksi misalnya naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan
karena kenaikan permintaan. Kenaikan harga BBM ini pada akhirnya akan meningkatkan
harga akibat kelangkaan pasokan dan gangguan distribusi di berbagai daerah. Dengan
alasan inilah maka hubungan antara perubahan tingkat pengangguran dengan inflasi di
Indonesia menyimpang dari teori kurva phillips. Alasan lainnya adalah bahwa dalam
kurva Phillips hanya terjadi dalam jangka pendek tetapi tidak dalam jangka panjang.
Karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku “sticky price” sedangkan pada
jangka panjang berlaku harga fleksibel. Dengan kata lain pengangguran akan kembali
pada tingkat alamiahnya sehingga hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran
akan positif.
Kurva Phillips tidak berlaku di Indonesia karena inflasi di Indonesia tidak
disebabkan oleh permintaan agregat melainkan kenaikan harga, misalnya akibat kenaikan
BBM. Selain itu kebanyakan perusahaan di Indonesia menerapkan padat modal bukan
padat karya, sehingga pertumbuhan lapangan kerja lebih kecil dibandingkan dengan
pertumbuhan angkatan kerja. Suatu perekonomian negara dikatakan baik jika pada suatu
ketika tingkat inflasi dan pengangguran yang terjadi lebih rendah dibanding tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Tujuan utama dari kebijakan ekonomi makro adalah
untuk memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan
untuk memecahkan masalah pengangguran. Jadi kebijakan ekonomi makro harus dapat
mencapai sasarannya, yaitu menciptakan stabilitas harga dan dalam waktu bersamaan
menciptakan kesempatan kerja.
Hal ini sesuai dengan kritik dari Milton Friedman pada tahun 1976 yang
mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek,
tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku
(sticky price), sedangkan pada jangka panjang berlaku harga fleksibel. Begitu juga dengan
tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan kembali pada tingkat alamiahnya.
Tanggapan ini juga dikenal dengan Natural rate hypothesis atau Accelerationist hypothesis
(Samuelson, 2004). Hubungan positif jangka panjang antara inflasi dan pengangguran
dapat terjadi misalnya karena ada kebijakan ekspansif pemerintah yang menyebabkan
produksi naik lalu mengakibatkan pengangguran turun karena perusahaan merekrut tenaga
kerja lebih banyak. Lalu yang terjadi adalah keuntungan perusahaan akan naik yang
menyebabkan upah dan pendapatan pekerja naik. Setelah itu dengan naiknya inflasi,
perusahaan dan pekerja akan berharap inflasi dan upah akan semakin naik (tingkat
ekspektasi inflasi meningkat). Ketika inflasi terlalu tinggi pemerintah akan melakukan
kebijakan kontraktif yang menyebabkan produksi menurun dan pengangguran meningkat.
Sehingga dalam jangka panjang inflasi lebih tinggi dan tingkat pengangguran kembali
naik. Hubungan positif ini juga dikemukakan oleh Kurihara dimana antara inflasi dan
tingkat pengangguran memiliki hubungan yang positif.
BAB IV

KESIMPULAN

Tiga masalah utama dan mendasar dalam perekonomian Indonesia secara makro
ekonomi adalah persoalan ketenagakerjaan atau pengangguran dan inflasi yang tinggi serta
pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dan belum berkualitas. Penanggulangan atau
kebijakan pada dua masalah ini pun tidak dapat diprioritaskan mana yang akan
diselesaikan terlebih dahulu, semuanya bergantung pada kondisi struktural perekonomian.

Kurva Phillips tidak berlaku di Indonesia karena inflasi di Indonesia tidak


disebabkan oleh permintaan agregat melainkan kenaikan harga, misalnya akibat kenaikan
BBM. Selain itu kebanyakan perusahaan di Indonesia menerapkan padat modal bukan
padat karya, sehingga pertumbuhan lapangan kerja lebih kecil dibandingkan dengan
pertumbuhan angkatan kerja. Suatu perekonomian negara dikatakan baik jika pada suatu
ketika tingkat inflasi dan pengangguran yang terjadi lebih rendah dibanding tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Tujuan utama dari kebijakan ekonomi makro adalah
untuk memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan
untuk memecahkan masalah pengangguran. Jadi kebijakan ekonomi makro harus dapat
mencapai sasarannya, yaitu menciptakan stabilitas harga dan dalam waktu bersamaan
menciptakan kesempatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Alogoskoufis, G. and Smith, R. 1991. The Phillips Curve: The Persistence of Inflation,
and the Lucas Critique: Evidence from Exchange-Rate Regime. American
Economic Review, 81, pp.1254-1275.
Arsana, I Gede Putra. 2004. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi Ilmu
Ekonomi FEUI. Jakarta.
Blanchard, Olivier. 2011. Macroeconomics. Fifth Edition. Perason. USA.
Debelle, G. and Vickery J. 1998. Is the Phillips Curve: Some Evidence and Implications
for Australia. The Economic Record, 74, pp.384-398.
DiNardo, J. and Moore, M. 1999. The Phillips Curve is Back? Using Panel Data
toAnalyze the Relationship Between Unemployment and Inflation in an Open
Economy. NBER Working Paper 7328, pp.1-27.
Friedman, M. 1968. The Role of Monetary Policy. American Economic Review, 58, pp1-
17.
Furuoka, Fumitaka dan Qaiser Munir. 2005. Phillips Curve in Selected ASEAN Countries:
New Evidence from Panel Data Analysis. Sunway Academic Journal 6: 89 – 102,
University Sabah Malaysia.
Gordon, R.J. 1971. Price in 1970: The Horizontal Phillips Curve. Brookings Papers on
Economic Activities, 3, pp.449-458.
Gujarati, Damodar. 2003. Basic Economsetrics fourth edition. McGraw Hill. Singapure.
Phillips, A.W. 1958. The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of
Money Wage Rates in the United Kingdom. Economica, 25, pp.258-299.
Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia: Keberadaan, Pola
Pembentukan Ekspektasi dan Linieritas. Buletin Ekonomi dan Perbankan, Maret
2004: 41-75.
Sadono, Sukirno. 2002. Pengantar Teori Makroekonomi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Umaru, Aminu dan Anono Abdulrahaman Zubairu. 2012. An Empirical Analysis of the
Relationship between Unemployment and Inflation in Nigeria from 1977-2009.
Economics and Finance Review Vol. 1(12) pp. 42 – 61, February, 2012.
Wimanda, Rizki E., Paul M. Turner dan Maximilian J.B. Hall. 2012. Monetary Policy
Rules for Indonesia: Which Type is the Most Efficient?. Journal of Economic
Studies, Vol. 39 Iss: 4 pp. 469 - 484

Anda mungkin juga menyukai