Anda di halaman 1dari 10

Laporan Kasus

TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS


YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII

dr. Riana Miranda Sinaga, SpKK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i


PENDAHULUAN ....................................................................................................................1
LAPORAN KASUS ..................................................................................................................2
DISKUSI ...................................................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................8

Universitas Sumatera Utara


TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS
YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII

PENDAHULUAN

Dermatofitosis atau tinea merupakan suatu infeksi superfisial pada kulit, kuku dan rambut
yang disebabkan oleh dermatofita Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.1,2,3 Dimana
penyakit ini dapat mengenai semua umur baik pria maupun wanita.1
Adapun faktor predisposisi yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah iklim yang
panas dengan kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk, adanya sumber penularan di
sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan sitostatika serta adanya penyakit
kronis dan penyakit sistemik lainnya.4
Penularan dermatofitosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau
binatang, secara tidak langsung dapat melalui bulu binatang, pakaian atau benda-benda yang
terkontaminasi, dan dapat pula terjadi karena autoinokulasi dan infeksi pada bagian tubuh
lainnya.1,5
Gambaran klinis dari dermatofitosis bermacam-macam, tergantung dari spesies
penyebabnya, lokasi infeksi dan status imun penderita. Dermatofitosis ini diklasifikasikan
berdasarkan bagian tubuh yang terkena, antara lain adalah tinea korporis dan tinea kruris.1
Tinea korporis merupakan suatu infeksi dermatofita yang mengenai kulit glabrosa yaitu
kulit di daerah badan, tungkai dan lengan.1,6Tinea korporis paling sering disebabkan oleh
Trichophyton rubrum, Microsporum canis dan Trichophyton mentagrophytes. Sedangkan tinea
kruris adalah infeksi dermatofita yang mengenai daerah lipat paha, genital, daerah pubis,
perineum, kulit perianal dan kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus dan perut bagian
bawah. Penyebab terbanyak dari tinea kruris adalah Trichophyton rubrum, Epidermophyton
floccosum dan Trichophyton mentagrophytes.1,2,6,7
Diagnosis banding untuk tinea korporis adalah erythema annulare centrifugum, dermatitis
numularis, granuloma anulare, psoriasis, liken planus, sifilis sekunder, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea dan pitiriasis rubra pilaris. Sedangkan tinea kruris dapat didiagnosis banding
dengan dermatitis seboroik, eritrasma, kandidiasis kutis, psoriasis dan liken simpleks kronis.1,6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10% dan kultur. 1,2,6
Penatalaksanaan tinea korporis maupun tinea kruris adalah dengan menghindari faktor
predisposisi sekaligus pemberian obat antijamur topikal maupun sistemik.6 Untuk obat antijamur
topikal antara lain golongan imidazol seperti : mikonazol 2% dan ketokonazol 2%, golongan
alilamin seperti terbinafin 1%. Pengobatan sistemik diberikan bila lesi luas dan gagal dengan
pengobatan topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol,
griseofulvin, flukonazol dan terbinafin6,8
Pada tulisan ini dilaporkan satu kasus tinea korporis et kruris yang disebabkan oleh
Trichophyton schoenleinii.

Universitas Sumatera Utara


LAPORAN KASUS

Seorang wanita berusia 21 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP
H.Adam Malik Medan dengan keluhan utama timbul bercak kehitaman yang gatal pada ketiak,
perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas, bokong dan bercak
kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas. Hal ini telah dialami penderita sejak
± 2 tahun yang lalu. Awalnya bercak yang timbul hanya berukuran kecil di daerah kedua sela
paha yang semakin lama semakin meluas sehingga hampir mengenai seluruh tubuh. Sebelumnya
penderita pernah berobat ke puskesmas dan diberi obat dalam bentuk salep dan tablet, keluhan
dikatakan berkurang tetapi kemudian muncul kembali dan semakin meluas. Menurut penderita,
selama ini ia sering memakai pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta
sering saling bertukaran menggunakan handuk dengan teman-teman sekamarnya.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas
dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus yang terdapat
pada regio aksilaris dekstra et sinistra, regio hipogastrium, regio pubis, regio inguinalis dekstra et
sinistra, regio glutealis dekstra et sinistra dan 1/3 bagian atas dari regio femoralis dekstra et
sinistra. Sedangkan pada regio thorakalis, regio mammalis dekstra et sinistra, regio
infraskapularis dekstra et sinistra dan regio brachialis dekstra et sinistra dijumpai plak eritem
berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun polisiklik dan
pada permukaan lesi ditutupi skuama halus.
Pada pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit dijumpai adanya hifa dan spora, dan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan kultur jamur. Pasien didiagnosis banding dengan tinea
korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dengan diagnosis sementara tinea
korporis et kruris.
Penatalaksanaan untuk pasien ini diberikan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2%
krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari, sedangkan pengobatan sistemik yang diberikan
ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan Mebhidrolin napadisilat tablet tiga kali 50 mg sehari.
Pengobatan direncanakan diberikan selama ± 4 minggu. Dan pasien dianjurkan mengusahakan
agar daerah lesi selalu kering dengan memakai pakaian yang menyerap keringat dan menghindari
pakaian yang ketat, serta menghindari penggunaan handuk secara bersamaan dengan orang lain
dan tetap menjaga kebersihan diri.
Dua minggu kemudian hasil pemeriksaan kultur jamur ditemukan Trichophyton
schoenleinii, kemudian ditegakkan diagnosa kerja tinea korporis et kruris yang disebabkan
Trichophyton schoenleinii.
Pada saat kontrol ulang 1 minggu kemudian tampak plak sudah mulai menipis, eritema
dan skuama sudah berkurang dan keluhan gatal berkurang. Penatalaksanaan masih tetap
dilanjutkan dengan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2
kali sehari dan pengobatan sistemik dengan ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan
antihistamin bila perlu.

Universitas Sumatera Utara


Pada kontrol setelah 2 minggu kemudian tampak banyak perbaikan dan rasa gatal tidak
ada lagi. Pengobatan dilanjutkan dengan topikal ketokonazol 2% krim yang dioleskan 2 kali
sehari pada lesi yang masih tampak.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, quo ad sanationam
dubia ad bonam.

DISKUSI

Diagnosis tinea korporis et kruris pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis,


gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH 10% dan pemeriksaan
kultur jamur.
Dari anamnesis diketahui bahwa penderita mengeluhkan timbulnya bercak kehitaman
yang gatal pada ketiak, perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas,
bokong dan bercak kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas, sesuai dengan
kepustakaan bahwa hal ini merupakan daerah predileksi serta keluhan pada penderita tinea
korporis et kruris.1,6
Pasien sering menggunakan pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta
sering saling bertukaran menggunakan handuk. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa
kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk dan faktor lain merupakan faktor predisposisi
infeksi dermatofita.4
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas
dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus dan dijumpai
plak eritem berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun
polisiklik dan pada permukaan lesi ditutupi skuama halus. Menurut kepustakaan, umumnya lesi
berupa makula atau plak eritem dan berskuama dengan bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian
tengah lebih tenang dimana pada tepi lesi ditemukan papul-papul eritem. Pada tinea korporis
yang menahun tanda-tanda aktif akan menghilang dan selanjutnya akan tampak daerah
hiperpigmentasi, kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama tinea kruris.7 Lesi tinea kruris bisa
unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris.2 Bila kelainan menahun, maka yang tampak
hanya makula hiperpigmentasi, disertai skuamasi dan likenifikasi.7
Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan
dermatitis seboroik. Dimana diagnosis banding psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dapat
disingkirkan dengan dijumpainya elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dan
pemeriksaan kultur, yang tidak ditemukan pada psoriasis vulgaris maupun dermatitis seboroik.
Pada hasil pemeriksaan kultur ditemukan Trichophyton schoenleinii. Trichophyton
schoenleinii adalah jamur antropofilik pada manusia. Pada penyebab antropofilik biasanya
terdapat di lokasi yang tertutup/oklusif atau daerah trauma.6 Pada agar Saboroud, Trichophyton
schoenleinii menunjukkan koloni berwarna krem, kuning sampai coklat.2 Menurut kepustakaan,
Trichophyton Schoenleinii biasanya menyebabkan tinea favosa.6 Tinea favosa pada kulit
glabrosa berupa lesi vesikular, papular atau lesi papuloskumosa serta lesi skutula yang khas, kulit

Universitas Sumatera Utara


pada daerah yan terlibat dapat atrofi, yang tidak tampak pada tinea korporis biasa.3 Namun pada
kasus ini tidak ditemukan gambaran tinea favosa.
Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita berupa pengobatan topikal dengan
ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari dan pemberian oral antijamur
ketokonazol 200 mg sekali sehari serta antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dimana pada
kepustakaan dikatakan bahwa anti jamur sistemik merupakan terapi pilihan untuk lesi yang luas,
kronis atau bila gagal dengan pengobatan topikal.1,2,8 Ketokonazol oral diberikan selama kurang
lebih 4 minggu sedangkan pengobatan topikal antijamur digunakan selama 2-4 minggu, satu atau
dua kali sehari dan dioleskan sampai 2,5 cm diluar batas lesi dan diteruskan selama 1-2 minggu
setelah lesi menyembuh.2,6
Selain diberikan pengobatan, penderita juga diberikan penjelasan mengenai penyakit ini
bahwa infeksi jamur ini dapat menular sehingga untuk mencegah terjadinya penularan
disarankan agar penderita tidak memakai pakaian, handuk ataupun bantal bersama-sama dengan
anggota keluarganya yang lain, serta dianjurkan untuk menghindari faktor-faktor predisposisi,
seperti mengusahakan daerah lesi untuk selalu kering dan memakai baju yang dapat menyerap
keringat. Mencegah atau menghilangkan sumber penularan merupakan hal penting untuk
mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut kepada manusia.6

Pasien datang:

Universitas Sumatera Utara


Kontrol I (1 minggu setelah pengobatan):

Universitas Sumatera Utara


Kontrol II (2 minggu setelah pengobatan) :

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

1. Verma S, Heffernan MP.Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onychomycosis,


Tinea nigra, Piedra.In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-
Hill Inc.,2008.p.1807-20
2. Weeks J, Moser SA, Elewski BE. Superficial cutaneous fungal infections. In: Dismukes
WE, Pappas PG, Sobel JD, editors.Clinical Mycology.New York: Oxford University
Press,2003;p.367-86
3. Cutaneous infections. Dermatophytosis and Dermatomycosis. In : Rippon JW. Medical
Mycology. 3th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1988;p.169-269
4. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia. Dalam: Budimulja U,
Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis
Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit
FKUI,2001.h.1-5
5. High AW, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agent. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Inc.,2008.p.2116-21
6. Goedadi M, Suwito H. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadi,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis.
Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.29-33
7. Siregar RS. Mikosis superfisialis. Dalam : Penyakit jamur kulit. Edisi 2. Cetakan I.
Jakarta : EGC, 2005;h.8-43
8. Kuswadji, Widaty S. Obat Antijamur. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok
Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.99-107

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai