Anda di halaman 1dari 18

PARADIGMA TEOLOGI MISI

“UNSUR-UNSUR PARADIGMA MISI OIKUMENIS YANG SEDANG MUNCUL”

Dosen:
Pdt. Dr. Linda Patricia Ratag. M.th. MAICS

Kelompok 7 :

Aurelia Rintjap
Aprilia Mangundap
Desinta Korompis
Timothy Dimpudus
Yesaya Rambing

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


FAKULTAS TEOLOGI JURUSAN TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN
YAYASAN DS. A.Z.R. WENAS
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan
kemurahan-Nya kami kelompok 5 boleh menyelesaikan makalah paradigma teologi Misi
mengenai Unsur-unsur Paradigma Misi Oikumenis yang sedang muncul dengan baik.
Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Pdt. Dr. Linda
Patricia Ratag, MAICS dalam mata kuliah Paradigma Teologi Misi. Makalah ini juga dibuat
dengan harapan agar dapat menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini, kami kelompok tentu menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami memohon maaf bila terdapat kesalahan baik
dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Kami kelompok mengharapkan agar pembaca
dapat memberi kritik ataupun saran yang membangun bagi kami untuk dapat
memperbaikinya ke depan.

April, 2022
Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5

MISI SEBAGAI GEREJA-DENGAN-YANG LAINNYA...................................................5

Gereja dan Misi......................................................................................................................5

Pergeseran dalam Pemikiran Misioner...................................................................................5

“Pada Hakikatnya Misioner”..................................................................................................5

Umat Allah yang Berziarah....................................................................................................6

Sakramen, Tanda dan Alat.....................................................................................................6

Gereja dan Dunia....................................................................................................................6

Menemukan Kembali Gereja Lokal.......................................................................................7

Ketegangan yang Kreatif........................................................................................................8

Misi sebagai Missio Dei.........................................................................................................8

MISI SEBAGAI PERANTARA KESELAMATAN...........................................................10

Penafsiran-penafsiran Tradisional tentang Keselamatan......................................................10

Keselamatan dalam Paradigma Modern...............................................................................12

Krisis dalam Pemabaman Modern tentang Keselamatan.....................................................14

Menuju Keselamatan yang Utuh..........................................................................................15

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
Paradigma misi Oikumenis yang sangat dipengaruhi oleh sejarah masa lalu didasarkan
pada kerusuhan sosial, terutama konflik dan masalah ekonomi dan sosial yang lebih luas.
Singkatnya, isu-isu ini memunculkan prinsip-prinsip kesatuan gereja, integritas kreatif, dan
prinsip-prinsip khusus konteks lainnya yang menjadi pokok dari paradigma misi universal.
Menurut David J. Bosch, faktor terpenting dalam memahami sifat misi adalah bahwa
kegiatan misi bukan terutama pekerjaan gereja, tetapi sebagai gereja yang bekerja, tugas yang
terkait dengan seluruh gereja, karena Tuhan adalah Tuhan dari misi, dan Tuhan Orang-orang
juga misionaris.1

Gereja dan misi terjalin sejak awal, dan gereja tanpa misi dan misi tanpa gereja adalah
kontradiktif. Dimensi misionaris dalam kehidupan gereja lokal akan terwujud, terutama jika
itu adalah komunitas ibadat sejati; ia mampu menyambut orang luar dan membuat mereka
betah; ini adalah gereja di mana pendeta tidak memiliki monopoli, dan anggota lebih dari
gembala anggotanya mampu memenuhi misinya di masyarakat; fleksibel dan inovatif dalam
struktur; dan tidak menjunjung tinggi hak-hak kelompok khusus. Dimensi misionaris gereja
ini membangkitkan intensionalitasnya untuk terlibat langsung dalam masyarakat; sebenarnya
melampaui tembok gereja dan terlibat dalam "titik fokus" misionaris seperti penginjilan,
keadilan, dan perdamaian.

1
https://text-id.123dok.com/document/6zk0d3n8y-paradigma-misi-ekumenis-1-akar-oikumene.html , diakses
pada tgl 27-4-2022, 19:00
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini, kelompok menggunakan buku Transformasi Misi Kristen oleh David
Bosch, khususnya pada bagian Bab 12 sebagai acuan.

MISI SEBAGAI GEREJA-DENGAN-YANG LAINNYA


Gereja dan Misi
Situasinya pada hakikatnya tidak berbeda di kalangan Ortokodoks Timur. Kaum
Prostestan pada pihak lain (kecuali kaum Anglikan dan sejumlah kaum Lutheran) cenderung
mempunyai padangan yang rendah tentang gereja. seirng kali orang membedakan antara
"gereja sejati" - ecclesiola atau gereja kecil - di dalam ecclesia, gereja yang besar dan
nominal; ecclesiola ini, bukan gereja yang resmi, yang cenderung dipandang sebagai
pengemban sejati misi. disi terdapat bahkan penghargaan yang lebih sedikit terhadap gagasan
tentang gereja sebagai pengemban misi. "Prinsip sukarela diikuti secara luas. kelompok-
kelompok individu - kadang-kadang anggota-anggota dari sebuah denominasi; kadang-
kadang orang-orang percaya yang setia dari denominasi - berkumpul bersama dalam
perhimpunan-perhimpunan misioner yang mereka anggap sebagai pengemban misi.
Akan tetapi, perlahan-lahan muncul pergeseran yang dasariah dalam persepsi-persepsi
mengenai hubungan antara gereja dan misi. Baik dalam Katolikisme maupun Protestanisme.
Pergeseran dalam Pemikiran Misioner
Untuk memahami pergeseran-pergeseran dalam pemikiran Protestan mengenai hubungan
antara gereja dan misi, sumbangan dari konferensi-konferensi misi sedunia sangatlah penting.
Hal ini niscaya memberikan dampak yang mendalam terhadap persepsi gereja dan misi.
Untuk pertama kalinya pengakuan bahwa gereja dan misi menyatu dan tidak terpisah mulai
disadari dalam cara yang tidak dapat lagi diabaikan. Pada tahun 1948 Dewan Gereja-gereja
se-Dunia terbentuk, dan dengan segera, dan dengan segera terasa kesenjangan antara suatu
dewan gereja-gereja dan dewan misi yang hadir berdampingan. Karya penyelamatan Allah
mendahului baik gereja maupun misi. Kita tidak boleh meletakan misi di bawah gereja,
ataupun gereja di bawah misi. Sebaliknya, keduanya harus diangkat ke dalam misio Dei, yang
kini menjadi konsep yang memayunginya.
Vatikan II juga mencerminkan suatu pertemuan antara pandangan-pandangan Katolik dan
Protestan tentang sifat misioner gereja, meskipun orang harus segera menambahkan bahwa
dokumen-dokumen Katolik memperlihatkan konsistensi dan kejelasan yang jauh lebih besar
daripada yang dihasilkan oleh konferensi-konferensi Protestan.
“Pada Hakikatnya Misioner”
Dalam eklesiologi yang muncul, gereja pada hakikatnya dipandang misioner. Karena Allah
adalah Allah yang misioner (seperti yang diperdebatkan dalam bagian tentang misio Dei),
umat Allah adalah umat yang misioner. Semua ini tidak bermaksud mengatakan bahwa gereja
selalu dan dimana-mana secara terbuka dan terlibat dalam proyek-proyek misi. Dimensi
misioner dari kehidupan sebuah gereja lokal menampakkan diri, antara lain, bila sungguh-
sungguh merupakan suatu komunitas yang beribadah; ia mampu menyebut orang luar dan
membuat mereka merasa betah; ini adalah gereja di mana sang pendeta tidak memegang
monopoli dan anggota-anggotanya dilengkapi untuk melaksanakan panggilan di dalam
masyarakat; secara struktur ia lentur dan inovatif; dan ia tidak membelah hak-hak istimewa
dari sebuah kelompok khusus (bnd. Gensichen 1971:170-172). Namun, dimensi misioner
gereja ini membangkitkan intensional, yakni keterlibatan langsung-nya di dalam masyarakat;
ia sesungguhnya bergerak melampaui tembok-tembok gereja dan terlibat di dalam “titik-titik
konsentrasi” misioner (Newbigin) seperti penginjilan dan karya keadilan dan perdamaian.
Umat Allah yang Berziarah
Gereja dipandang sebagai umat Allah dan, implikasinya sebagai gereja yang berziarah. Tipe
dasar (archetype) alkitabiahnya di sini ialah umat Allah yang mengembara, yang begitu
mencolok dalam Surat kepada orang-orang Ibrani. Gereja adalah peziarah bukan semata-mata
karena alasan praktis bahwa dalam zaman modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah
dan di mana-mana menemukan dirinya dalam situasi diaspora (merujuk pada penyebaran
kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun dengan
sukarela); sebaliknya, menjadi peziarah di dalam dunia yang hakikatnya tergolong pada
posisi gereja yang eks-sentris. Ia adalah ecclesia, “yang dipanggil keluar” dari dunia, dan
diutus kembali ke dalam dunia.
Umat Allah yang berziarah hanya membutuhkan dua hal: dukungan selama perjalanan dan
tujuan akhir (Power 1970:56). Gereja tidak mempunyai tempat yang tetap di sini; dunia
adalah sebuah paoikia, sebuah alamat sementara. Gereja terus-menerus berada dalam
perjalanan. Menuju akhir dunia dan akhir zaman (bnd. Hoekendijik 1967b:30-38). Bahkan
kalaupun ada perbedaan yang tidak terjembatani antara gereja dan tujuan akhirnya –
pemerintahan Allah – ia terpanggil untuk mewujudkannya. Bahkan di sini dan sekarang juga,
sesuatu dari kondisi-kondisi yang harus berlaku dalam pemerintahan Allah. Sambil
memberitakan kesementaraannya gereja berziarah menuju masa depan Allah.
Sakramen, Tanda dan Alat
Istilah yang baru ini, mungkin dapat dipahami, dipergunakan jauh lebih luas di kalangan
Katolik daripada di kalangan Protestan. Vatikan II adalah katalisator. Gassmann (1986) telah
menunjukkan bahwa istilah yang sama semakin dipergunakan pula di kalangan Protestan,
khususnya dalam Komisi Iman dan Tata Gereja (FO). Hal ini terjadi terutama sejak Sidang
Raya DGD di Uppsala (1968), meskipun acuan-acuan dasarnya sudah dapat ditemukan dalam
pertemuan FO tahun 1927 di Lausanne dan di Oxford tahun 1937. Gambaran-gambaran ini
mengungkapkan gagasan, yang demikian baik dirumuskan oleh Uskup Agung William
Temple (bnd Neill 1968:76) bahwa gereja adalah satu-satunya perhimpunan di dunia yang
hadir demi mereka yang bukan anggotanya. Ungkapan klasik dari persepsi tentang gereja ini
adalah pernyataan “gereja untuk orang lain”
“Gereja untuk orang lain” adalah suatu pernyataan sangat kuat dan sangat menarik dan
diterima secara luas dan dengan antusias (bnd Sundermeier 1986:62), khususnya karena ia
dengan jelas menggemaskan gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus, khususnya sebagai
Dia yang membasuh kaki murid-murid-Nya.
Gereja dan Dunia
Pemahaman gereja tentang sakramen, tanda dan alat membawa ke suatu persepsi baru tentang
hubungan sebagai dunia. Misi dipandang sebagai tindakan “Allah berpaling kepada dunia”
(bnd judul buku Schmitz 1971). Hal ini mewakili suatu pendekatan yang secara hakiki baru
dalam teologi. Selama berabad-abad konsepsi yang statis tentang gereja telah berlaku: dunia
di luar gereja dipandang sebagai kekuatan yang memusuhi (Berkhof 1979:411). Dengan
membaca tulisan-tulisan teologis dari abad-abad yang lalu, orang mendapatkan kesan bahwa
yang ada hanyalah gereja, dunia tidak. Dengan kata lain, gereja adalah sebuah dunia sendiri.
Di luar gereja yang ada hanyalah “gereja yang palsu”. Pelayanan dan kehidupan Kristen
didefinisikan semata-mata dalam pengertian penderitaan, ibadah publik, penggembalaan dan
amal.
Namun, pelan-pelan perubahan mulai terjadi. Karl Barth (1961:18) memandang hal ini
sebagai pemulihan doktrin jabatan kenabian Kristus dan gereja. Perkembangan-
perkembangan berikutnya mengungkapkan pertemuan antara pandangan-pandangan Katolik
dan Protestan yang merujuk tentang hubungan yang tidak terelakkan antara gereja dan dunia
serta pengakuan akan aktivitas-aktivitas Allah di dalam dunia, di luar gereja.
Bagaimanakah pandangan yang baru ini dipahami?
Pertama, dikatakan bahwa, bila gereja tidak dapat dipandang sebagai dasar misi, ia pun
tidak dapat dipandang sebagai tujuan misi – jelas bukan tujuan satu-satunya.
Kedua, gereja bukanlah kerajaan Allah. Gereja “di muka bumi, adalah benih dan
permulaan dari kerajaan tersebut”.
Ketiga, keterlibatan misioner gereja menunjukkan lebih dari daripada sekedar memanggil
individu-individu ke dalam gereja sebagai sebuah ruang tunggu untuk kehidupan yang
akan datang.
Keempat, gereja harus dipandang sebagai pneumatologis, sebagai “tempat tinggal Allah
di dalam roh (Ef 2:22), sebagai gerakan Roh menuju dunia di dalam perjalanan ke masa
depan (Memorandum 1982:461 dyb).
Kelima, bila gereja berusaha memutuskan dirinya dari keterlibatan di dalam dunia dan
bila struktur-strukturnya demikian rupa sehingga mereka menghalangi kesempatan
apapun untuk memberikan pelayanan yang relevan kepada dunia, struktur-struktur
semacam itu harus dianggap sesat.
Terakhir, karena keterkaitannya yang integral dengan dunia, gereja tidak boleh berfungsi
sebagai pengawal perbatasan yang ketakutan, melainkan selalu sebagai dia yang
membawa kabar baik (Berkouwer 1979:162).
Menemukan Kembali Gereja Lokal
Gereja di dalam misi, terutama sekali, adalah gereja lokal di segala tempat di dunia.
Perspektif ini, serta anggapan bahwa tak satu pun gereja lokal yang boleh berdiri dalam posisi
lebih berwibawa terhadap gereja lokal lainnya. Kedua-duanya adalah dasariah bagi Perjanjian
Baru (bnd Kis. 13:1-3 dan surat-surat Paulus) lebih kurang diabaikan di dalam bagian sejarah
Kristen. Penemuan kembali gereja setempat sebagai agen misi yang utama telah membimbing
ke penafsiran yang pada hakikatnya yang baru tentang maksud dan peranan para misionaris
dan perhimpunan-perhimpunan pada misi. Pada tahun 1969 Paus Paulus VI berkata kepada
orang-orang Kristen di Kampala, Uganda “Engkau adalah misionaris kepada dirimu sendiri!”
dan pada tahun 1985 Yohanes Paulus II berkata kepada orang-orang percaya di tempat-
tempat yang saling terpisah dan sangat berbeda seperti Kamerun dan Sandinia, “Seperti
keseluruhan Gereja, engkau berada dalam keadaan misi (bnd Gomez 1986:47 dyb).
Ketegangan yang Kreatif
Paradigma yang baru telah membawa pada ketegangan yang kekal antara dua pandangan
tentang gereja yang tampaknya sama sekali tidak dapat dipertemukan. Di ujung spektrum
yang satu, gereja memandang dirinya sebagai pengemban tunggal berita keselamatan yang
dimonopolinya; di ujung yang lain, gereja memandang dirinya paling-paling, sebagai suatu
ilustrasi – dalam perbuatan dan kata-kata – dari keterlibatan Allah dengan dunia.
Pertanyaannya ialah apakah kedua gambaran tentang gereja ini harus saling eksklusif.
Beberapa refleksi tentang pokok ini mungkin dibutuhkan. Masalahnya, demikian agaknya,
muncul ketika seseorang tidak mampu mengintegrasikan kedua visi itu dengan cara
sedemikian rupa sehingga ketegangan di antaranya kedua menjadi kreatif dan bukan
destruktif.
Dalam model “keberhasilan” dalam bidang misi atau penginjilan sering kali di ukur semata-
mata dalam pengertian kegiatan-kegiatan “keagamaan” atau surgawi atau perilaku dalam
tingkat etis-mikro, seperti tidak mengonsumsi tembakau atau tidak mengucapkan kata-kata
kotor. Barangkali harus diharapkan bahwa identifikasi yang nyaris total antara gereja dan
panggilannya dengan dunia dan agendanya niscaya menyebabkan rasa malu dan frustrasi atas
ketidakmampuan gereja untuk melaksanakan agenda dunia tersebut sehingga banyak orang
yang merasa kecewa dengan gereja dan menganggapnya dapat disingkirkan. Misi Kristen
salalu bersifat kristologi dan pneumatologi yang tidak bersifat gerejawi (bnd Kramm
1979:212, 218; Memorandum 1982:461). Misi tertambat pada ibadah gereja tersebut, pada
perhimpunannya di sekitar Firman dan Sakramen. “Perhimpunan yang kelihatan dari umat
yang kelihatan di sebuah tempat khusus untuk melakukan sesuatu yang khusus (Otto Weber)
berdiri di pusat gereja. Tanpa prosedur yang sungguh-sungguh kelihatan dari perhimpunan
bersama itu, tidak ada gereja (Moltmann 1977:334).
Misi sebagai Missio Dei
Selama sekitar setengah abad terdapat suatu pergeseran yang akhirnya tetap menuju pada
pemahaman tentang misi sebagai misi Allah. Kadang misi ditafsirkan terutama dalam
pengertian soteriologis: sebagai penyelamatan individu dari hukuman yang kekal. Atau dalam
pengertian budaya sebagai usaha memperkenalkan orang-orang dari Timur dan Selatan
dengan berkat-berkat dan hak-hak istimewa dunia Barat yang Kristen. Sering kali juga misi
dipahami dalam kategori-kategori gerejawi sebagai perluasan gereja (atau suatu denominasi
tertentu). Dalam sejarah keselamatan misi didefinisikan sebagai proses yang dengannya
dunia- secara evolusioner atau melalui suatu peristiwa yang dahsyat akan ditransformasikan
menjadi kerajaan Allah.
Setelah perang dunia I, para misiolog mulai mencatat perkembangan-perkembangan mutakhir
dalam teologi biblika dan sistematika. Dalam sebuah makalah yang dibacakan pada
Konferensi Misi di Brandenburg pada 1932, Karl Barth menjadi salah satu teolog pertama
yang mengartikulasikan misi sebagai suatu aktivitas Allah sendiri. Beberapa tahun kemudian,
pada pertemuan IMC di Tambaram (1938), sebuah pernyataan dari delegasi Jerman menjadi
pendorong lain dalam perkembangan suatu pemahaman baru tentang misi. Delegasi itu
mengakui bahwa hanya “melalui suatu tindakan kreatif Allah, Kerajaan-Nya akan digenapi
dalam pembentukan terakhir sebuah langit yang baru dan bumi yang baru” dan “ kami yakin
hanya sikap eskatologis inilah yang dapat mencegah gereja menjadi sekular”.
Secara keseluruhan Barth sangat berpengaruh, Barth dapat disebut sebagai eksponen yang
jelas pertama tentang sebuah paradigma teologis baru yang secara radikal meninggalkan
pendekatan pencerahan terhadap teologi. Pengaruhnya terhadap pemikiran misi mencapai
puncaknya pada konferensi IMC di Willingen (1952). Disinilah gagasan missio Dei pertama
kali muncul dengan jelas. Misi dipahami berasal dari hakekat Allah sendiri. Dengan demikian
misi diletakkan dalam konteks doktrin Tritunggal, bukan eklesiologi atau soteriologi. Doktrin
klasik tentang missio dei sebagai Allah Bapa yang mengutus anak-Nya dan Allah Bapa dan
Anak mengutus Roh, Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia. Gambaran Willingen
tentang misi adalah misi sebagai partisipasi di dalam pengutusan oleh Allah. Misi kita tidak
mempunyai kehidupannya sendiri: hanya di dalam tangan Allah yang mengutuslah misi dapat
benar-benar disebut misi, khususnya karena inisiatif misioner itu datang dari Allah sendiri.
Tetapi, misi tidak dipandang dalam kategori-kategori triumfalistik. Willingen mengakui
hubungan yang erat antara missio Dei dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang
menjelma dan disalibkan.
Willingen mengadakan pertemuan dan ceramah-ceramahnya memberikan penegasan bahwa
misi adalah misi Allah sendiri, penekanan pada salib mencegah setiap kemungkinan akan
rasa berpuas diri misioner. Dalam citra yang baru misi bukanlah pertama-tama aktivitas
gereja, melainkan suatu ciri Allah. Allah adalah Allah yang misioner. “Bukanlah gereja yang
mempunyai misi keselamatan yang harus digenapi di dalam dunia; ini adalah misi sang Anak
dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikutsertakan dunia”. Dengan demikian misi
dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia; gereja dipandang sebagai sebuah
alat untuk misi tersebut. Gereja ada karena misi, bukan sebaliknya. Ikut serta di dalam misi
berarti ikut serta di dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber
dari kasih yang mengutus.
Bagi missiones ecclesiae (kegiatan-kegiatan missioner gereja), misi dalam bentuk tunggal,
tetap merupakan yang utama; “misi-misi”, dalam bentuk plural, merupakan sesuatu yang
muncul dari padanya. Dari sini kita harus membedakan antara misi dan misi-misi. Kita tidak
dapat langsung mengklaim bahwa apa yang kita lakukan itu identik dengan missio Dei;
kegiatan-kegiatan misioner kita hanyalah otentik sejauh mereka mencerminkan partisipasi di
dalam misi Allah. “Gereja melakukan pelayanan terhadap usaha Allah dalam membalikkan
dunia”. Maksud utama dari missiones ecclesiae karenanya tidak dapat sekadar menanam
gereja-gereja ataupun menyelamatkan jiwa-jiwa; sebaliknya, ia harus merupakan pelayanan
kepada missio Dei, yang mewakili Allah di dalam dunia dan dalam berhadap-hadapan dengan
dunia, menunjuk kepada Allah, menjunjung Allah Anak di hadapan mata seluruh dunia dalam
perayaan Pesta Penampakan (Epifania) yang tidak habis-habisnya. Dalam misinya, gereja
bersaksi demi kepenuhan janji pemerintah Allah dan berpartisipasi dalam perjuangan yang
terus-menerus antara pemerintahan tersebut dan kuasa-kuasa kegelapan dan jahat.
Setelah Willingen, bahkan Willingen sendiri dalam laporan Amerika, konsep missio Dei
perlahan-lahan mengalami modifikasi, konsep ini ditelusuri dengan terinci oleh Rosin (1972).
Keprihatinan Allah ditujukan kepada seluruh dunia, maka yang seharusnya seluruh dunia
menjadi cakupan missio Dei. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia
sehubungan dengan ciptaan, pemeliharaan, penebusan, penggenapan. Misi Allah sendiri lebih
besar daripada misi gereja, namun misi gereja ialah misi yang berpusat pada Allah. Missio
Dei adalah kegiatan Allah, yang merangkul baik gereja maupun dunia, dan di dalamnya
gereja mendapat hak untuk menjadi bagian dalam misi ini.
Dalam Goudium et Spes, yakni “Konstitusi penggembalaan tentang Gereja di dalam Dunia
Modern” dari Vatican II, memiliki pemhaman yang lebih luas tentang misi ini yang diuraikan
pneumatologis daripada kristologis. Sejarah dunia bukan hanya sekedar sejarah tentang kuasa
jahat, melainkan tentang kasih, sejarah di mana pemerintahan Allah diusahakan melalui karya
Roh. Dan dengan demikian, dalam menjalankan misi itu, gereja mendapati bahwa
keselamatan Allah sudah bekerja, melalui roh. Dengan kasih karunia Allah, hal ini dapat
melahirkan sebuah dunia yang lebih manusiawi yang tidak hanya dipandang sebagai suatu
produk manusiawi, karena pelaku yang sesungguhnya dari sejarah yang manusiawi ini ialah
Roh Kudus.
Dan tidak dapat diragukan bahwa perkembangan yang lebih luas tentang missio Dei ialah
suatu perkembangan yang bertentangan dengan maksud dari Barth dan Hartenstein, harapan
merekan yaitu untuk melindungi misi terhadap sekulerisasi dan horisontalisasi, dan
mencadangkannya secara khusus bagi Allah, namun hal ini tidak terjadi. Mereka yang
mendukung pemahaman yang lebih luas tentang konsep ini cenderung meradikalkan
pandangan bahwa missio Dei menyisihkan keterlibatan gereja. Ada pengaruh yang
tampaknya membuat gereja kini tidak diperlukan bagi missio Dei. Akan tetapi, dalam analisis
terakhir, ‘missio Dei’ berarti bahwa Allah mengartikulasikan diri-Nya, tanpa kebutuhan
apapun untuk menolong-Nya melalui usaha-usaha-usaha misioner.
Perkembangan-perkembangan seperti ini telah mendorong Hoedemaker untuk menantang
konsep ini. Pada satu pihak, tidak dapat disangkal bahwa pemahaman missio Dei telah
meolong mengartikulasikan keyakinan bahwa baik gereja maupun manusia manapun sekali-
kali tidak dapat dianggap sebagai penggerak atau pengemban misi. Misi, pertama-tama dan
pada akhirnya adalah karya Allah Tritunggal, Pencipta, Penebus dan Pengudus. Asal-usul
misi adalah di dalam hati Allah. Allah adalah sumber kasih yang mengutus, dan inilah
sumber misi yang terdalam. Sangat tidak mungkin untuk mendapatkannya lebih dalam lagi.
Misi ada, karena Allah mengasihi manusia
MISI SEBAGAI PERANTARA KESELAMATAN
Penafsiran-penafsiran Tradisional tentang Keselamatan
Beberapa tahun lalu, jurnal Katolik Studia Missionalia mempersem. bahkan dua
terbitannya berturut-turut (vol. 29, 1980, dan vol. 30. 1981) untuk membahas tema
"keselamatan dalam agama-agama dunia". Keselamatan sungguh-sungguh adalah suatu
keprihatinan dasariah dari setiap agama. Bagi orang-orang Kristen, keyakinan bahwa Allah
telah secara pasti mengerjakan keselamatan bagi semua orang di dalam dan melalui Yesus
Kristus, berada pada pusat kehidupan mereka. Bukankah nama Yesus sendiri berarti
"Juruselamat”
Dari keyakinan ini muncullah gerakan misioner Kristen yang telah dimotivasi, dalam
sepanjang sejarahnya, oleh kehendak untuk memperantarai keselamatan bagi semua orang.
"Motif soteriologis' ini barangkali memang dapat disebut sebagai "jantung yang berdebar dari
misiologi” karena ia berkaitan dengan "pertanyaan yang terda. lam dan paling dasariah dari
umat manusia” (Gort 1988:203 – lerj. saya). Karenanya sungguh masuk akal bahwa
konferensi-konferensi misi internasional dipergunakan keseluruhannya untuk membahas
vema ini. Orang mungkin teringat, misalnya, akan Konferensi CWME di Bangkok, yang
temanya adalah "Keselamatan Masa Kini". Yang lebih mutakhir, Oktober 1988, Kongregasi
untuk Penginjilan Bangsa. bangsa, dari gereja Katolik Roma, berkumpul di Universitas
Urbana di Roma, untuk mengadakan konsultasi satu minggu tentang pokok yang sama.
Bahwa semua ini adalah konsultasi-konsultasi misioner menunjukkan suatu pengertian yang
mencolok, karena teologi misi seseorang selalu erat bergantung pada teologinya tentang
keselamatan; karenanya tepatlah bila kita mengatakan bahwa cakupan keselamatan –
betapapun kita mendefinisikan keselamatan itu – menentu. kan cakupan usaha misioner.
Seperti halnya telah terjadi pergeseran pergeseran paradigma per hubungan dengan
pemahaman tentang hubungan antara gereja dan misi, telah terjadi pula pergeseran-
pergeseran dalam pemahaman tentang sifat keselamatan yang harus diperantarai gereja dalam
misi. mengungkapkan bahwa keselamatan ditafsirkan dalam pengertian. Refleksi-refleksi kita
tentang misi dalam gereja mula-mula telah mengatakan bahwa semua pengarang Perjanjian
Baru mempunyai pengertian yang komprehensif. Ini tidak berarti bahwa saya ingin
menggunakan "bahasa keselamatan" dalam hubungannya dengan pemahaman yang persis
sama dalam hubungan ini. Lukas, misalnya, hapusan kemiskinan, diskriminasi, penyakit,
kerasukan roh jahat, suatu spektrum keadaan-keadaan manusia yang sangat luas pengetahuan
atau seperti dikatakan oleh Scheffler (1988), sehubungan dengan penderitaan-penderitaan
ekonomi, sosial, politik, fisik, psikologis dan rohani. Dalam Paulus, tekanannya tampaknya di
tempat lain; ia memberikan penekanan yang lebih besar pada hakikat keselamatan yang
belum berbentuk keselamatan baru mulai dalam kehidupan ini (bnd. Stanley 1980:63-69).
Keselamatan adalah sebuah proses yang dimulai oleh perjumpaan seseorang dengan Kristus
yang hidup, tetapi keselamatan yang sempurna masih belum terpenuhi. Roh Kudus adalah
karunia pertana Allah kepada kita (Rm. 8:23). Kita diselamatkan di dalam pengharapan
(8:24). Pendamaian (sebuah konsep kunci dalam Paulus) memang terjadi di sini dan sekarang
juga, tetapi Paulus biasanya mengacu pada keselamatan dalam bentuk waktu yang akan
datang: "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian
Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh
hidup-Nya." (Rm. 5:10). Nuansa-nuansa yang halus ini jelas berkaitan dengan kenyataan
bahwa Paulus berpikir dalam kategori-kategori apokaliptik dan ingin menekankan bahwa
keselamatan yang menyeluruh baru akan terjadi dengan kemenangan Allah yang akan datang
(Beker 1984). Untuk sementara ini, Paulus masih menantikan Yesus Kristus sebagai
Juruselamat (Flp. 3:20). Namun, penantian ini tidak membelok kan kita dari realitas
pembaruan yang radikal-baik pribadi maupun sosial- yang telah dapat dialami oleh orang-
orang percaya di sini dan sekarang juga (bnd Rm. 8:14 dyb. dan 2 Kor. 5:17). Hal ini pun
tidak hanya berlaku bagi kehidupan "keagamaan" orang percaya.
Sementara keselamatan dipahami sebagai sebuah progresi "peda. gogis” di kalangan
gereja Bizantium, gereja-gereja Barat (Katolik dan Protestan) menekankan akibat dosa yang
menghancurkan serta pemulihan dari individu yang telah jatuh ke dalam dosa melalui suatu
pengalaman krisis yang diperantarai oleh gereja. Bukan pra-eksistensi dan inkarnasi Kristus,
melainkan kematian-Nya sebagai pengganti pada kayu salib (doktrin yang disempurnakan
dalam teori Anselmus tentang vicaria satisfactio) kini berada di tengah-tengah (bnd. Beinert
1983:203-205). Keselamatan adalah penebusan jiwa-jiwa individu sesudah hidup yang
sekarang, yang akan berlaku pada kesempatan apokalips mini, yakni kematian masing-
masing orang percaya.
Dalam rancangan ini "pribadi" dan "pekerjaan" Kristus semakin saling dipisahkan.
Akhirnya kristologi dibuat lebih rendah daripada soteriologi (Lowe 1982:219; Greshake
1983:72 dyb.; Beinert 1983: 202, 205, 208). Dengan proses yang sama, kegiatan-kegiatan
"penyelamatan” Allah semakin dibedakan dari kegiatan-kegiatan "pemeliharaan-Nya”
sehubungan dengan kesejahteraan individu dan masyarakat Jadi, meskipun misalnya
sepanjang berabad-abad sejarah misi Kristen pelayanan yang luar biasa telah selalu diberikan
sehubungan dengan pemeliharaan orang-orang sakit, orang miskin, anak yatim dan korban-
korban lainnya dalam masyarakat serta sehubungan dengan pendidikan, pengajaran pertanian
dan semacamnya, semua pelayanan ini hampir selalu dipandang sebagai "pelayanan-
pelayanan tambahan" dan bukan sebagai pelayanan misioner itu sendiri. Maksud semua itu
adalah untuk membuat orang terbuka terhadap Injil, "memperlunak mereka", dan dengan
demikian mempersiapkan jalan bagi karya sang misionaris yang sebenarnya, yakni, dia yang
memberitakan firman Allah tentang keselamatan kekal.
Definisi tentang keselamatan yang semakin berkurang ini niscaya menyebabkan
pengutamaan perhatian pada kegiatan-kegiatan gerejawi yang didefinisikan secara sempit,
yang pada gilirannya, dengan hebat memperumit keterlibatan orang-orang percaya dalam
masyarakat karena keterlibatan itu tidak berhubungan dengan keselamatan yang dapat
memperoleh jalan ke dalam keselamatan yang sesungguhnya.
Keselamatan dalam Paradigma Modern
Konstelasi teologis yang baru saja diuraikan di atas hanya dapat bertahan selamat bila
orang terus hidup di dalam konteks Dunia Kristen Christendom) dan merasakan diri mereka
sepenuhnya tergantung pada kegiatan Allah yang menyeluruh dan transenden sebagai satu-
satunya penjelasan bagi segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia. Dengan datangnya
Pencerahan keseluruhan penafsiran tentang keselamatan ini mendapatkan tekanan yang luar
biasa, dan akibatnya, soteriologi yang tradisional semakin ditantang. Gagasan tentang
keselamatan yang berasal dari luar, dari Allah, yang sama sekali tidak terjangkau oleh daya
dan kemampuan manusia, menjadi semakin problematis.
Para kritikus modern terhadap agama mengambil titik berangkat mereka di sini. Agama
sebagai ungkapan ketergantungan total terhadap Allah dan sebagai keselamatan kekal dalam
hidup yang akan datang adalah suatu anakhronisme dan sisa-sisa dari periode kanakkanak
umat manusia. Keselamatan kini berarti pembebasan dari takhyul keagamaan, perhatian
terhadap kesejahteraan manusia dan peningkatan moral umat manusia. Muncul suatu
soteriologi alternatif suatu pemahaman dimana manusia menjadi agen-agen yang aktif dan
bertanggung jawab yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna menghasilkan
perbaikan-perbaikan material dan mendorong perubahan sosial-politik di masa kini. Dalam
hubungan ini, para pengkritik agama, pada hakikatnya, menjadi pengkritik setoriologi.
Reaksi gereja dan misi terhadap tantangan modernisme adalah secara umum saja bersisi
ganda. Reaksi pertama dalam kalangan-kalangan Katolik maupun Protestan mendefinisikan
keselamatan dalam pengertian-pengertian tradisional, sambil seolah-olah mengabaikan
tantangan-tantangan Pencerahan, dan berjalan terus seolah-olah tak suatupun yang berubah.
Reaksi kedua adalah berusaha menghadapi tantangan-tantangan tentang keselamatan. Salah
satu cara di mana Kekristenan "diselamatkan" adalah dengan menolak pandangan yang
mengatakan bahwa Yesus mati sebagai ganti umat manusia dan dengan demikian telah
memuaskan Allah. Yesus, sebaliknya, adalah manusia bukan pribadi Yesus yang berada di
pusat melainkan perjuangan yang ideal, teladan yang harus ditiru, seorang guru moral. Di
sina Yesus; cita-cita, bukan Dia yang mewakili cita-cita tersebut, pengajaran (khususnya
Khotbah di Bukit), bukan sang Guru itu sendiri kerajaan Allah, tetapi tanpa sang Raja. Jadi,
dalam paradigma ini, kesalahan dan keselamatan tidaklah pertama-tama memisahkan dan
mempersatukan Allah dan umat manusia, melainkan umat manusia dengan sesamanya.
Teriakan Luther, "Di manakah aku dapat menemukan Allah yang penuh belas kasih?" diubah
menjadi "Bagaimana kita dapat berbelas kasih kepada sesama kita?" Kedatangan Allah yang
"vertikal” ke dalam dunia ini mewujudkan dirinya dalam hubungan-hubungan yang berubah,
yang baik, "horisontal": hubungan yang menyelamatkan antara manusia dengan Allah
dijadikan konkret dalam pertobatan seseorang kepada sesama saudaranya.
Pada Konferensi Gereja dan Masyarakat di Geneva (1966), baik Emmanuel Mesthene dan
Richard Shaull menggunakan kategori-kategori Hoekendijk tentang keselamatan, meskipun
mereka melakukannya dalam cara-cara yang sangat berbeda. Keduanya setuju bahwa dunia
ini adalah arena utama aktivitas Allah dan tempat (satu-satunya?) di mana keselamatan dapat
diberlakukan. Sementara kerangka acuan Mesthene adalah dunia Barat modern yang
mengalami industrialisasi dan sekularisasi, dan sementara ia melihat jawaban-jawaban atas
masalah-masalah dunia dalam kemajuan teknologi, kerangka acuan Shaull adalah Dunia
Ketiga, khususnya pengalamannya dengan ketidakadilan, penghisapan dan kemiskinan.
Teologi Mesthene berusaha menjawab tantangan-tantangan Pencerahan, Shaull berusaha
menjawab tantangan-tantangan Karl Marx dan penghisapan kolonial. Bagi Mesthene,
keselamatan berarti ekspansi besar-besaran pembangunan teknologi sehingga semuanya dapat
memperoleh bagian kekayaan Barat; bagi Shaull, keselamatan berarti pembebasan, yang
dapat dicapai hanya dengan menggulingkan tatanan yang ada.
Sidang Raya DGD di Uppsala (1968) berusaha, dalam pengertian tertentu,
mempertemukan kedua posisi ini, sebagaimana diperlihatkan oleh kedua laporan tentang
"Struktur-struktur bagi Jemaat-jemaat Misioner" (WCC 1967). Namun, barulah konferensi
CWME berutnya (Bangkok, 1973, dengan tema "Keselamatan Masa Kini") dipercayai untuk
menetukan sekali dan untuk selalma-lamanya apa arti keselamatan itu. Seksi II
menggambarkan keselamatan dalam empat dimensi (1) demi keadilan ekonomi dalam
melawan penghisapan; (2) demi harkat manusia dalam melawan penindasan. (3) demi
solidaritas dalam melawan keterasingan. (4) demi pengharapan dalam melawan keputusan
dalam hidup sehari-hari. Dalam "proses keselamatan", kita harus menghubungkan keempat
dimensi ini (satu dengan yang lainnya).
Pemikiran misioner Katolik tentang keselamatan sejajar dengan Protestanisme, khususnya
setelah Paus Yohanes XXIII mengumumkan diselenggarakannya Konsili Vatican II pada
1959. Seperti dalan Protestanisme, diyakini bahwa keselamatan tidak dapat. didefinisikan
dalam pemahaman-pemahaman "keagamaan” (atau "gerejawr’) saja tetapi juga dalam
pemahaman-pemahaman tentang apa yang terjadi di tempat lain. Gaudium et Spes
memberikan perhatian yang khusus terhadap hal ini. Lebih jauh, khususnya dalan teologi
pembebasan Katolik Romalah muncul penafsiran yang lebih luas tentang keselamatan.
Tidak dapat diragukan bahwa penafsiran tentang keselamatan yang telah muncul dalam
pemikiran dan praktek misioner yang mutakhir, telah memperkenalkan unsur-unsur ke dalam
definisi tentang keselamatan. Tanpa unsur-unsur tersebut pemahaman itu akan menjadi
berbahaya dan sempit serta kekurangan darah, Dalam sebuah dunia di mana orang saling
tergantung dan setiap orang berada dalam jaringan hubungan antar-manusia, sama sekali
tidak mungkin kita membatasi keselamatan kepada individu dan hubungan pnbadinya dengan
Allah. Kebencian, ketidakadilan, penindasan, perang dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya
adalah perwujudan-perwujudan dari kuasa jahat; keprihatinan tentang kemanusiaan, tentang
usaha untuk mengalahkan kelaparan, penyakit dan ketidakbermaknaan adalah bagian dari
keselamatan yang kita harapkan dan perjuangkan. Orang Kristen berdoa agar pemerintahan
Allah datang dan ke hendak Allah berlaku di bumi seperti di dalam sorga (Mat. 6:10); dan
sini kita simpulkan bahwa bumi adalah locus dari panggilan dan pengudusan Kristen.
Krisis dalam Pemabaman Modern tentang Keselamatan
Namun, selama tahun 1970-an, definisi-definisi “sekularis” maupun “liberasionis”
mendapatkan tekanan. Hal yang lebih kurang sama pun terjadi bagi Katolisisme sejak Sinode
para Uskup 1974 dan penerbitan Evangelii Nuntiandi (1975). Perlahan-lahan menjadi jelas
bahwa model “horisontalis” diwarnai oleh inkonsistensi, baik teologis maupun praktis.
Adalah suatu penipuan diri sendiri bila kita mulai berpikir dan bertindak seolah-olah
keselamatan terletak di dalam genggaman kita, ada di tangan kita, atau merupakan sesuatu
yang kita dapat hadirkan. Kita mulai menyadari sekali lagi bahwa, meskipun kita mempunyai
kesadaran sesat yang sangat mendalam bahws kita dapat menghadirkan keselamatan melalui
karya-karya baik kita, bahkan orang Kristen pengampunan tidak mempunyai jawaban-
jawaban yang siap pakai bagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, Orang Kristen terlalu
banyak menjanjikan diri sendiri, misalnya di Uppsala dan Medellin (keduanya pada 1968),
ketika pernyataan-pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga dalam masa depan yang fapat
dilihat semua ketidakadilan, semua kemiskinan dan semua bentuk perhambaan akan menjadi
sejarah dan bahwa keselamatan ada di ambang pintu.
Memang, rasa gembira karena telah menemukan sebuah terobosan yang telah dialami
oleh para anggota delegasi Persidangan Bangkok pada waktu itu menyesatkan. Pernyataan-
pernyataan yang berdering tentang makna keselamatan sesungguhnya membangkitkan lebih
banyak pertanyaan daripada yang dijawab. Hal ini lebih jauh ditekankan ketika, selama dua
dekade terakhir, kita disadarkan akan “batas-batas pertumbuhan”. Perkembangan teknologi
yang tidak dibatasi telah menjadi sesuatu yang tidak masuk akal, karena sumber-sumber bumi
yang tidak dapat diperbarui sedang dikuras, sementara yang kaya menjadi semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin. Meskipun misalnya manusia dapat hidup hanya dengan roti
saja, sama sekali tidak ada lagi cukup roti untuk semua orang karena struktur-struktur yang
tampaknya tidak dapat diubah.
Sementara itu, mimpi-mimpi tentang “surga masa depan' melenyap dalam asap
peperangan yang tidak habis-habisnya dan yang lebih parah lagi, dalam angin radio-aktif
ledakan-ledakan nuklir yang mengancam menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi.
Optimisme dan kegembiraan tahun 1960-an tidak lagi menjadi bagian dari pengalaman kita.
Selain itu, orang Kristen dipaksa bertanya apakah kecenderungan untuk membiarkan
teologi dan misi tenggelam dalam etika sosial niscaya takkan membawa ke relativisasi atas
pribadi Yesus Kristus. Beinert dengan tepat mengatakan, “Unsur kristologis yang tak boleh
dihilangkan dari soteriologi tidak (selalu) dinyatakan dengan cukup Jelas” (1983:125 — terj.
saya). Akibat yang tidak terelakkan dan banyak paradigma modern ialah bahwa kebutuhan-
kebutuhan dan pemecahan-pemecahan dunia digambarkan dalam pengertian yang, sampai
batas tertentu, terlepas dari Yesus Kristus (Lowe 1982:22) Namun, gereja terpanggil dalam
misinya untuk memberikan kesaksian terhadap apa yang Allah "telah lakukan sekali untuk
selama-lamanya, sama sekali baru, dan tidak dapat diulangi serta terakhir sekali, di dalam
Yesus Kristus, demi keselamatan dunia ini” (Glauk 1979:160 — terj. saya). Yesus Knstus
inilah yang "menggenapi semua keselamatan. Tak seorangpun yang dapat menyelesaikan
karya-Nya bila Ia sendiri tidak menyelesaikannya” (Memorandum 1982:459).
Sebagai kesimpulan, keselamatan dan kesejahteraan, bahkan kalaupun mereka saling
terkait erat, tidak sepenuhnya bertumpang tindih. Iman Kristen adalah sebuah faktor kritis,
pemerintahan Allah adalah sebuah kategori kritis dan Injil Kristen tidaklah identik dengan
agenda gerakan-gerakan emansipasi dan pembebasan dunia. Namun, kita tidak dapat begitu
saja kembali ke penafsiran klasik tentang keselamatan, meskipun misalnya posisi tersebut
menjunjung dan membela unsur-unsur yang tetap tidak dapat disingkirkan bagi suatu
pemahaman Kristen tentang keselamatan.
Menuju Keselamatan yang Utuh
Tantangan-tantangan dunia modern terhadap misi gereja sehubungan dengan penafsiran
tentang keselamatan sama sekali tidak dapat dabaikan. Tantangan-tantangan baru menuntut
jawaban yang baru. Kita dipaksa oleh keadaan-keadaan untuk merefleksikan kembali
keseluruhan masalah ini. Barangkali dengan membaca kembali pemahaman-pemahaman
Alkitab tentang keselamatan, yang dilakukan dari perspektif kesadaran bahwa ternyata
penafsiran-penafsiran tadisional maupun modern tentang keselamatan tidaklah memadai,
akan menolong kita di sini.
Untuk pemahaman tentang keselamatan, model pertama — dari misi Patristik Yunani —
diorientasikan ke asal-usul dan permulaan kehidupan Yesus — pra-eksistensi dan
inkarnasiNya. Orientasi misi Barat adalah pada akhir kehidupan Yesus — kematian-Nya pada
salib (yang secara klasik dirumuskan dalam teori pemuasan Anselmus). Dalam kedua contoh
tersebut keselamatan ditempatkan pada ujung-ujung kehidupan Yesus (Wiederkeher 1976:34;
Beinert 1983: 211). Model ketiga, yakni penaisiran etis tentang keselamatan, diorientasikan
kepada kehidupan dan pelayanan Yesus di dunia. Harus diakui bahwa model ini
memperkenalkan suatu unsur yang lebih dinamis ke dalam pemahaman kita tentang
keselamatan, akan tetapi dalam cara sedemikian rupa sehingga, dalam analisi terakhirnya, ia
membuat Kristus sendiri jadi berlebihan.
Oleh karena itu masuk akallah bahwa di kalangan misionaris sekarang ini, tetapi juga di
tempat-tempat lain, penyampaian keselamatan yang "komprehensif’, "terpadu’”, "total”, atau
“universal” semakin diidentifikasikan sebagai maksud misi, hingga dengan demikian
mengatasi dualisme yang tidak terkandung dalam model-model yang tradisional dan yang
lebih mutakhir (bnd. mis. judul-judul buku Wa. denfels 1977; Miller 1978; dan Weber 1978).
Literatur misi, tetapi juga praktek misi, menekankan bahwa kita harus menemukan sebuah
cara yang mengatasi setiap posisi skizofrenis dan melayani masyarakat dalam kebutuhan total
mereka, bahwa kita harus melibatkan individu serta masyarakat, tubuh dan jiwa, masa kini
dan masa mendatang dalain pelayanan keselamatan kita. Tidak pernah sebelumnya dalam
sejarah penderitaan sosial masyarakat demikian meluas seperti yang terjadi pada abad ke-20.
Tetapi tidak pernah sebelumnya orang-orang Kristen berada dalam posisi yang lebih baik
daripada sekarang ini untuk melakukan sesuatu tentang kebutuhan ini. Kemiskinan,
penderitaan, penyakit, kriminalitas, dan kekacauan sosial telah mengambil proporsi yang
tidak pernah terdengar sebelumnya.
Silat keselamatan yang terpadu ini menuntut bahwa cakupan misi gereja harus lebih
komprehensif daripada yang selama ini biasanya terjadi. Keselamatan itu sama koheren, luas,
dan mendalamnya dengan kebutuhan dan tuntutan-tuntutan keberadaan manusia. Karenanya
misi berarti terlibat di dalam dialog yang terus-menerus berlangsung antara Allah, yang
menawarkan keselamatan-Nya dan dunia, yang - terlibat dalam segala bentuk kejahatan -
merindukan keselamatan tersebut (Gort 1988:209). "Misi berarti diutus untuk Memberitakan
dalam perbuatan dan kata-kata bahwa Kristus mati dan bengkit demi kehidupan dunia, bahwa
la hidup untuk mengubah hiduu manusia (Rm. 8:2) dan untuk mengalahkan maut”.
Dari ketegangan antara "yang sudah” dan belum dari pemerintahan Allah, dari
ketegangan antara keselamatan yang indikatif (keselamatan yang sudah menjadi reahtas’) dan
keselamatan yang subjungtif (keselamatan komprehensif yang masih akan datang!)
muncullah keselamatan yang imperatif ~ Terlibatlah di dalam pelayanan keselamatan! (Gort
1988:214). Mereka yang mengetahui bahwa Allah suatu hari kelak akan menghapuskan
setiap air mata tidak akan menerima dengan sabar air mata mereka yang menderita dan yang
tertindas sekarang juga. Setiap orang yang mengetahui bahwa harinya akan tiba ketika semua
penyakit lenyap dapat dan harus secara aktif mengharapkan penaklukan atas penyakit di
dalam diri individu dan masyarakat sekarang juga. Dan setiap orang yang percaya bahwa
musuh Allah dan umat manusia akan dimusnahkan sudah akan melawannya sekarang juga
dalam rencana-rencana busuknya dalam keluarga dan masyarakat. Karena semua ini
berkaitan dengan keselamatan.
BAB III

KESIMPULAN

Dari pemaparan materi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur paradigma misi
oikumenis pada era Oikumenis, Missio Dei dipahami sebagai misi Allah Bapa mengutus
Yesus Kristus, Anak-Nya ke dalam dunia. Sekaligus juga dipahami sebagai Allah Bapa dan
Anak mengutus Roh Kudus. Bahkan dalam perkembangannya, gagasan ini diperluas menjadi
misi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia. Pada Era Oikumenis
muncullah teologi-teologi kontekstual. Konteks budaya dihargai sedemikian rupa dan
masalah-masalah ketidakadilan menjadi titik tolak teologi. Teologi-teologi kontekstual
bertujuan agar injil dapat lebih berbicara dalam konteks masyarakatnya yang unik.
DAFTAR PUSTAKA

Bosch, David. J. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah
dan Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

https://text-id.123dok.com/document/6zk0d3n8y-paradigma-misi-ekumenis-1-akar-
oikumene.html

Anda mungkin juga menyukai