Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN VEKTOR PENYAKIT PADA DAERAH PESISIR

Disusun oleh :
Jihadatul kholilah : H1AP15040
Ghufran Nur Adli Fariz : H1AP20012
Stevany Gracia Dandra : H1AP20055
Tiara Ayoe Andita : H1AP20059
Miftahul Haniyah : H1AP20047
Shella Sharon : H1AP20054

Pembimbing :
dr. Ahmad Azmi Nasution, M. Biomed

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Nama Mahasiswa :Jihadatul kholilah (H1AP15040)


Ghufran Nur Adli Fariz (H1AP20012)
Stevany Gracia Dandra (H1AP20055)
Tiara Ayoe Andita (H1AP20059)
Miftahul Haniyah (H1AP20047)
Shella Sharon (H1AP20054)
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Judul : Perkembangan Vektor Penyakit pada Daerah Pesisir
Bagian : Ilmu Kedokteran Komunitas
Pembimbing : dr. Ahmad Azmi Nasution, M. Biomed

Telah menyelesaikan tugas Tinjauan Pustaka Kesehatan Pesisir dan Gawat


Bencana dalam rangka kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

Bengkulu, 7 Mei 2021


Pembimbing,

dr. Ahmad Azmi Nasution, M. Biomed

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
1.3. Tujuan........................................................................................................2
1.4. Manfaat......................................................................................................2
1.4.1. Manfaat Bagi Masyarakat.................................................................. 2
1.4.2. Manfaat Bagi Penulis.........................................................................2
1.4.3. Manfaat Bagi Instansi Pendidikan..................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1.1 Jenis-Jenis Vektor Penyakit.................................................................... 4
2.2. Pesisir........................................................................................................5
2.2.1 Definisi Pesisir........................................................................................ 5
2.2.3. Fisiografi Pesisir.................................................................................... 7
2.2.3. Karakteristik Masyarakat Pesisir........................................................... 8
2.2.4. Strategi Pencegahan Penularan dan Perkembangan Vektor Penyakit. 10
2.3 Perkembangan Vektor Penyakit pada Daerah Pesisir dan Pengaruh
Perubahan Iklim................................................................................................. 14
2.4 Strategi Pencegahan Penularan dan Perkembangan Vektor Penyakit.........19
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 23

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Zona Wilayah Pesisir 6

Gambar 2.2 Metode pengendalian vektor 12

Gambar 2.3 Keterkaitan antara berbagai perubahan lingkungan global 14


utama yang mempengaruhi

Gambar 2.4 Alur dampak perubahan iklim terhadap kejadian infeksi 15

Gambar 2.5 Faktor risiko kesehatan menurut Permenkes nomor 35 Tahun 16


2012

Gambar 2.6 Strategi adaptasi perubahan iklim kesehatan (Strategi APIK) 19

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penyakit umum yang ditularkan oleh vector dan vektornya 5
Tabel 2.2 Dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan 17

v
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial


kemasyarakatan, bahkan merupakan salah satu unsur penentu atau determinan
dalam kesejahteraan penduduk. Di mana lingkungan yang sehat sangat dibutuhkan
bukan hanya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga untuk
kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja dan belajar.Interaksi
masyarakat dengan sesama maupun dengan vektor penyakit terjadi di
lingkungan.1
World Health Organization mendefinisikan kesehatan lingkungan sebagai
dampak langsung pada kesehatan baik oleh agen kimia, fisik, dan biologi, dan
yang memiliki dampak pada lingkungan sosial dan fisik. Interaksi masyarakat
dengan sesama maupun dengan vektor penyakit terjadi di lingkungan.2
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau
dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Di sepanjang garis pantai ini
terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit tetapi memiliki potensi sumber daya
alam hayati dan non-hayati; sumber daya buatan; serta jasa lingkungan yang
sangat penting bagi kehidupan masyarakat.3 Secara umum wilayah pesisir
adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut . Sebagai wilayah
peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki
kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).4
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi
rendah, Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap perubahan
iklim. Dampak perubahan iklim global telah dirasakan di Indonesia seperti cuaca
yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Perubahan pola curah hujan di
Indonesia akan mengarah pada terlambatnya awal musim hujan dan
kecenderungan lebih cepat berakhirnya musim hujan.5

1
2

Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan efek tidak langsung
terhadap kesehatan manusia, misalnya peningkatan kejadian penyakit pencernaan
akibat kurangnya penyediaan air besih, penyakit malaria, demam berdarah
dengue, chikungunya, dan penyakit yang ditularkan melalui rondent seperti
leptospirosis.6
Secara geografis wilayah Kota Bengkulu terletak antara 300 45’ – 300 59’
Lintang Selatan dan 102°14’ - 102°22’ Bujur Timur dengan luas wilayah 539,3
km2 terdiri dari luas daratan 151,7 km2 dan luas laut 387,6 km2. Sebagian besar
wilayah Bengkulu merupakan lingkungan pesisir pantai yang terbuka dan
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga gelombang dan arus
berpengaruh besar terhadap kondisi wilayah pesisir.7
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari masyarakat kota Bengkulu
tergolong sebagai masyarakat pesisir yang rentan untuk mengalami penyakit
infeksi yang ditularkan melalui vektor (Vector-Borne Disease) sehingga pada
makalah ini penulis akan membahas tentang perkembangan vektor penyakit pada
daerah pesisir.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana perkembangan vektor


penyakit pada daerah pesisir.

1.3. Tujuan

Tujuan pada makalah ini adalah mengetahui tentang perkembangan vektor


penyakit pada daerah pesisir.

1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Bagi Masyarakat


Memberikan referensi kepada masyarakat terkait perkembangan vektor
penyakit pada daerah pesisir.
3

1.4.2. Manfaat Bagi Penulis


Memberikan gambaran profil tentang perkembangan vektor penyakit pada
daerah pesisir sehingga dapat menjadi informasi yang memadai dalam upaya
meningkatkan kesehatan masyarakat pesisir.

1.4.3. Manfaat Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai bahan acuan untuk pengembangan penelitian mengenai


perkembangan vektor penyakit pada daerah pesisir
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vektor Penyakit


Vector Bourne Disease (VDB) didefinisikan sebagai penyakit menular pada
manusia dan hewan yang disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri,
helminthes, protozoa dan virus yang ditularkan oleh vektor seperti artropoda yaitu
nyamuk, serangga triatomine, lalat hitam, lalat tsetse, lalat pasir, dan kutu
hematofagus. Vektor merupakan organisme hidup yang berpotensi menularkan
penyakit antar manusia atau dari hewan ke manusia.8 Salah satu vektor yang dapat
menularkan penyakit contohnya adalah serangga penghisap darah yang memakan
mikroorganisme patogen selama menghisap darah dari inang yang terinfeksi
kemudian menginfeksi inang baru dengan memasukkannya ke inang baru saat
proses menghisap darah.9
Lebih dari 80% populasi dunia terancam terkena demam berdarah, penyakit
Chagas, ensefalitis Jepang, leishmaniasis, filariasis limfatik (LF), malaria, dan
demam kuning dan secara tidak proporsional mempengaruhi populasi pada
golongan menengah kebawah yang tinggal di daerah tropis dan subtropis. Vector
Bourne Disease memiliki kontribusi besar terhadap beban penyakit global yaitu
sebesar 17% dari total beban global dari semua penyakit menular.10
Demam berdarah merupakan infeksi virus yang paling banyak ditularkan
oleh nyamuk Aedes. Lebih dari 3,9 miliar orang di lebih dari 129 negara berisiko
tertular demam berdarah, dengan perkiraan 96 juta kasus bergejala dan sekitar
40.000 kematian setiap tahun. Vector Bourne Disease dapat dicegah, melalui
tindakan perlindungan, dan mobilisasi komunitas.9

2.1.1 Jenis-Jenis Vektor Penyakit


Kumpulan daftar penyakit yang ditularkan melalui vektor (VBD) dapat
dilihat pada tabel dibawah ini. Daftar tersebut juga menggambarkan jenis patogen
penyebab penyakit pada manusia.11

4
5

Tabel 2.1. Penyakit Umum yang Ditularkan melalui Vektor dan Vektornya

Kejadian penyakit yang ditularkan melalui vektor (VBD) paling banyak


terjadi di daerah tropis dan subtropis. Peningkatan penyebaran penyakit yang
ditularkan melalui vektor dapat diakibatkan karena urbanisasi (pembangunan)
yang tidak terencana, implementasi program pengendalian vektor yang tidak
efisien karena kapasitas sumber daya manusia, sumber daya alam, infrastruktur
yang tidak memadai, pasokan air yang tidak efisien dan pembuangan limbah yang
tidak efektif. Dapat disimpulkan bahwa distribusi VBD dipengaruhi oleh faktor
demografis, lingkungan, dan sosial yang kompleks.12

2.2. Pesisir
2.2.1 Definisi Pesisir
Pesisir pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor,
seperti faktor geologi serta faktor kontinental dan kelautan. Pesisir adalah zona
transisi antara komponen terestrial murni dan komponen laut murni di permukaan
6

Bumi. Kerangka geologi termasuk aset stratigrafi dan tektonik suatu daerah dan
biasanya menentukan pembentukan garis pantai berbatu atau dataran pantai
rendah. Daerah pesisir adalah hasil dari proses pertemuan daratan dan lautan yang
bersatu dan saling berinteraksi, yang ditandai oleh beberapa komponen
lingkungan biogeokimia.10

Undang-Undang (UU) No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan bahwa wilayah pesisir adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan yang
terjadi di darat dan laut. Peneliti Kay dan Alder menyatakan bahwa pesisir
merupakan wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah
pesisir merupakan tempat pertemuan antara darat dan laut. Menurut Dahuri, dkk
(2013) wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Dapat dilihat dari gambar 2.1 apabila ditinjau dari garis pantai (coastalline), maka
suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas tegak lurus terhadap garis pantai
(cross-shore).13

Gambar 2.1. Zona Wilayah Pesisir 13


7

Luas wilayah pesisir tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh
topografi wilayah yang membentuk wilayah pesisir tersebut. Daerah pesisir sangat
dipengaruhi oleh perubahan iklim terutama akibat pemanasan global. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya tinggi permukaan air laut, tinggi gelombang dan
suhu air laut 14.

2.2.2 Geologi Pesisir


Bentuk wilayah pesisir yang terletak di antara daratan dan lautan selain
ditentukan oleh kekerasan (resistivity) batuan, pola morfologi, juga ditentukan
oleh tahapan tektoniknya apakah labil atau stabil. Indonesia memilik garis pesisir
dengan panjang ±81.000 km, wilayah pesisirnya mempunyai ekosistem
mempunyai ekosistem yang sangat beragam. Bentuk pantai landai, selain
dikontrol oleh jenis batuan alasnya yang relatif lunak juga terletak di daerah yang
retatif stabil dari kegiatan tektonik atau daerah tingkat pasca tektonik (post
tectonic stage), sehingga proses erosi pengangkutan-pengendapan berjalan tanpa
gangguan kegiatan tektonik.
Gambaran relief (topografi) dasar laut perairan Nusantara Indonesia
merupakan yang terunik di dunia. Selain itu semua tipe topografi dasar laut
terdapat di perairan Indonesia seperti paparan (shelf) yang dangkal, depresi yang
dalam dengan berbagai bentuk (basin, palung), berbagai bentuk elevasi berupa
punggung (rise, ridge), gunung bawah laut (sea mount), dan terumbu karang.14
2.2.3. Fisiografi Pesisir
Secara tektonik Indonesia terletak di dalam kawasan aktif (tidak stabil)
yang didominasi oleh gerakan konvergensi, khususnya subduksi, antara lempeng
Australia dan lempeng Eurasia. Ketidak stabilan tersebut disebabkan oleh adanya
aktivitas vulkanik dan perubahan pada lempeng bumi, hal ini menyebabkan
terjadinya pergeseran garis pantai setiap tahun. Kondisi iklim dan interaksinya
terhadap permukaan laut, juga memegang peranan penting dalam penentuan ciri
atau sifat pesisir di kepulauan Indonesia.14
8

2.2.3. Karakteristik Masyarakat Pesisir


Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir tersebut
memiliki ciri-ciri yang saling terkait antara satu denganyang lainnya. Adapun ciri-
ciri tersebut adalah sebagai berikut:15
1. Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang
ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka sehingga terjadi
hubungan yang sangat erat antara satu dan lainnya. Hal tersebut
membangun hubungan kekeluargaan yang berdasarkan atas simpati dan
bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang berorientasi kepada
untung dan rugi.
2. Dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan
saling membantu. Hal tersebut ditandai dengan mekanisme menangkap
ikan baik dalam cara penangkapan maupun dalam penentuan daerah
operasi. Dalam UU No. 27 tahun 2007, menjelaskan bahwa masyarakat
pesisir merupakan suatu kelompok masyarakat adat atau masyarakat lokal
yang bermukim atau tinggal di wilayah pesisir dan memiliki adat atau cara
tersendiri dalam mengelola lingkungannya secara turun menurun.
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang
pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur
masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat
perkotaan dan pedesaan karenastruktur masyarakat pesisir sangat plural sehingga
mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya
dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.
Masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir masih
melakukan secara tradisional, bersifat lokal dan struktur masyarakat serta
aktivitasnya secara sederhana. Beberapa sifat dan karakteristik usaha-usaha
masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut:16
a. Bergantung pada Musim
Sifat dan karakteristik yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir
khususnya masyarakat nelayan, yaitu mereka sangat bergantung pada musim
penangkapan para nelayan sangat sibuk berlaut, sebaliknya pada saat musim
9

paceklik kegiatan berlaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang


menganggur. Kondisi ini memiliki implikasi yang besar terhadap kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat pesisir secara umum dan khususnya terhadap kelompok
nelayan. Pendapatan nelayan memang sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan
yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground) sehingga
pendapatan dapat sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada daerah yang padat
penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi kelebihan
tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan para
nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
pendapatan mereka.17

b. Ketergantungan pada Pasar

Masyarakat pesisir biasanya bermukim di daerah dekat dengan wilayah


pesisir atau bibir pantai identik dengan istilah kampung nelayan. Kampung yang
mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, mayoritas
penduduk menggantungkan hidup dari kegiatan menangkap ikan namun masih
ada bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau,
pedagang perantara/ eceran hasil tangkapan nelayan, dan usaha–usaha lainnya
yang berhubungan dengan laut dan pesisir.18
Ketergantungan pada pasar merupakan karakteristik dari usaha perikanan
yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini,hal ini disebabkan karena komoditas
yang dihasilkan oleh mereka itu harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi
keperluan hidup. Tidak seperti petani padi, para nelayan dan petani tambak ini
sangat tergantung pada keadaan pasar. Jika petani padi yang bersifat tradisional
bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual sedikit saja, maka
nelayan dan petani tambak harus menjual sebagian besar hasilnya demi memenuhi
kebutuhan hidup, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah.
Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang
ikan (pengencer) baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Sementara itu,
anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Halinilah yang
menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak bersekolah. Karakteristik di
10

atas mempunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat perikanan


sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat
mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat perikanan.17

2.2.4. Strategi Pencegahan Penularan dan Perkembangan Vektor Penyakit


Vector Borne Disease (VDB) adalah penyakit menular pada manusia dan
hewan yang disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri, helminthes, protozoa
dan virus yang ditularkan oleh vektor seperti artropoda yaitu nyamuk, serangga
triatomine, lalat hitam, lalat tsetse, lalat pasir, dan kutu. Vector Borne Disease
berkontribusi secara signifikan terhadap beban penyakit global, terhitung 17%
dari perkiraan beban global dari semua penyakit menular. Penyakit Malaria,
Demam Berdarah Dengue, penyakit Chagas, Japanese ensefalitis, Leishmaniasis,
Limfatik Filariasis (LF) mengancam lebih dari 80% populasi dunia dan secara
tidak proporsional mempengaruhi populasi termiskin yang tinggal di daerah tropis
dan subtropis. Kebanyakan VBD bersifat ko-endemik, dan diperkirakan lebih dari
setengah populasi dunia tinggal di daerah yang terdapat 2 atau lebih VBD. 18
Upaya pemberantasan dan pengendalian penyakit menular seringkali
mengalami kesulitan dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran
penyakit menular tersebut. Lingkungan hidup di daerah tropis yang lembab dan
bersuhu hangat menjadi tempat hidup ideal bagi vektor penyakit untuk
berkembangbiak. Selain dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan vektor
pembawa penyakit, keberadaan serangga juga dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan rasa aman bagi masyarakat.
Integrated vector management (IVM) adalah pendekatan strategis untuk
pengendalian vektor yang dipromosikan oleh WHO Integrated vector
management merupakan proses pengambilan keputusan yang rasional untuk
penggunaan sumber daya yang optimal untuk pengendalian vektor. IVM
mempertimbangkan lima elemen kunci dalam proses manajemen, yaitu:
 Mobilisasi dan legislasi sosial advokasi - promosi prinsip-prinsip ini
dalam kebijakan pembangunan semua lembaga, organisasi dan masyarakat
11

sipil terkait; pembentukan atau penguatan kontrol regulasi dan legislatif


untuk kesehatan masyarakat; dan pemberdayaan masyarakat;
 Kolaborasi dalam sektor kesehatan dan dengan sektor lain - pertimbangan
semua opsi untuk kolaborasi di dalam dan antara sektor publik dan
swasta; perencanaan dan pengambilan keputusan didelegasikan ke tingkat
administrasi serendah mungkin; dan memperkuat komunikasi di antara
pembuat kebijakan, pengelola program untuk pengendalian penyakit yang
ditularkan melalui vektor, dan mitra utama lainnya;
 Pendekatan terpadu untuk pengendalian penyakit - memastikan
penggunaan rasional dari sumber daya yang tersedia melalui penerapan
pendekatan pengendalian multi-penyakit; integrasi metode pengendalian
vektor non-kimia dan kimia; dan integrasi dengan tindakan pengendalian
penyakit lainnya;
 Pengambilan keputusan berbasis bukti - adaptasi strategi dan intervensi ke
ekologi vektor lokal, epidemiologi dan sumber daya, dipandu oleh
penelitian operasional dan tunduk pada pemantauan dan evaluasi rutin;
 Peningkatan kapasitas- pengembangan infrastruktur penting, sumber daya
keuangan dan sumber daya manusia yang memadai di tingkat nasional dan
lokal untuk mengelola program IVM.18
Pengendalian vektor adalah metode utama yang tersedia untuk mengontrol
berbagai penyakit menular akibat vektor. Pengendalian vektor bertujuan untuk
membatasi penularan patogen dengan cara mengurangi atau menghilangkan
kontak manusia dengan vektor. Terdapat pengendalian secara kimia dan non-
kimia diantaranya yaitu (WHO, 2020) :
 Menargetkan vektor yang belum matur bertindak dengan membunuh
tahap yang belum matang (menggunakan larvasida kimia atau biologis dan
predator) atau dengan menghilangkan habitat vektor yang sesuai
(misalnya, modifikasi atau manipulasi habitat).
 Menargetkan vektor dewasa berfungsi dengan mematikan vektor
(Penyemprotan residual dalam ruangan , penyemprotan ruang) dan / atau
mengurangi kontak vector dengan inang reservoir manusia dan atau
12

hewan (misalnya repellan topikal, skrining rumah, kelambu


berinsektisida, kalung anjing berinsektisida).
 Menggunakan beberapa alat pengendalian vektor baru yang sedang
dikembangkan, misalnya, manipulasi genetik nyamuk, infeksi bakteri vektor
(misalnya, Wolbachia), dan tabung atap berinsektisida.

Gambar 2.2 Metode Pengendalian Vektor.17

 Menggunakan insektisida sintesis (kimia) namun dalam jangka waktu


yang lama juga akan memberikan dampak negatif. Dampak negatif yang
disebabkan oleh insektisida yaitu berupa pencemaran lingkungan yang
dikarenakan residu yang ditinggalkan sangat sulit terurai di alam.
Sehingga penggunaannya dapat digantikan nsektisida nabati (biolarvasida)
adalah insektisida yang terbuat dari berbagai macam tumbuhan, bersifat
mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif
aman untuk manusia dan ternak karena residunya mudah terurai.19
 Melakukan pemberdayaan masyarakat yakni melakukan pemberantasan
vektor nyamuk yaitu memberantas sarang nyamuk, menguras tempat
penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air sedemikian
13

rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, dan mengubur
barang bekas yang sudah tidak terpakai.20
2.3 Perkembangan Vektor Penyakit pada Daerah Pesisir dan Pengaruh
Perubahan Iklim

Perubahan lingkungan global termasuk perubahan iklim dan cuaca


merupakan tantangan yang dapat memperburuk masalah kesehatan di Indonesia.
Perubahan-perubahan tesebut dapat mempengaruhi kesehatan manusia
diantaranya yaitu perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, degradasi lahan,
berkurangan sumber daya air, perubahan fungsi ekosistem, dan kehilangan
keanekaragaman hayati. 21

Gambar 2.3 Keterkaitan Antara Berbagai Perubahan Lingkungan Global Utama yang
Mempengaruhi Kesehatan Manusia, Termasuk Perubahan Iklim

Bagan diatas menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.


Perubahan iklim akan mempengarahi cuaca, curah hujan, angin, kekeringan, dan
debu. Perubahan iklim ini berpengaruh besar dalam terjadinya kerentanan
terhadap paparan dari penyakit infeksi. Hal ini disebankan karna faktor
lingkungan, kekurangan gizi.

14
15

Gambar 2.4 Alur Dampak Perubahan Iklim terhadap kejadian infeksi

Bahaya perubahan iklim di Indonesia ke depan ditandai dengan (1) kenaikan


temperatur permukaan rata-rata. (2) peningkatan curah hujan yang cukup signifi
kan pada bulan-bulan tertentu dengan peningkatan variabilitas di daerah tertentu,
(3) penurunan curah hujan di bulan-bulan kering, sementara pada bulan-bulan
musim basah curah hujan meningkat, Bahaya perubahan iklim mempengaruhi
kesehatan melalui jalur kontaminasi mikroba dan transmisi dinamis. Selain itu
bahaya perubahan iklim mempengaruhi agro-ekosistem dan hidrologi, serta sosio-
ekonomi dan demografi . Proses tersebut dipengaruhi juga oleh modulasi berupa
kondisi sosial, ekonomi dan pembangunan. Dampak kesehatan yang dapat terjadi
dari proses tersebut diantaranya efek peningkatan temperatur terhadap kesakitan
dan kematian, bencana akibat cuaca ekstrim, peningkatan pencemaran udara,
penyakit bawaan air dan makanan, dan penyakit bawaan vektor dan hewan
pengerat.22
16

Gambar 2.5 . Faktor Risiko Kesehatan menurut Permenkes nomor 35 tahun 2012

Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2012 pasal 1 tentang Pengaturan


Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim bertujuan
untuk memberikan acuan bagi petugas /aparatur kesehatan di lingkungan
Kementerian Kesehatan, provinsi, dan kabupaten/kota, serta pemerhati perubahan
iklim dan kesehatan dalam rangka identifikasi faktor risiko kesehatan yang
diakibatkan oleh terjadinya perubahan iklim. Pasal 2 menyebutkan bahwa Identifikasi
Faktor Risiko Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan terhadap
faktor risiko berupa penyakit tular vector (vectorborne disease), penyakit tular air dan
makanan (water and foodborne disease), penyakit tular udara (airborne disease),
penyakit tidak menular.
17

Tabel 2.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan


18

Pengaruh perubahan iklim khususnya suhu, curah hujan dan kelembaban


telah menampakan pengaruh terhadap daya tahan hidup/bionomik vektor nyamuk
dan laju transmisi penyakit ditularkan nyamuk terutama Malaria dan Demam
Berdarah Dengue maupun Filariasis. Penyakit parasitik misalnya demam berdarah
dan malaria sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit berbahaya.23
Pengaruh lingkungan fisik seperti suhu, curah hujan, kelembaban, salinitas,
pencahayaan sangat berperan dalam peningkatan penyebaran vektor Malaria.
Rata-rata suhu tahunan sebesar 26oC, dan kelembaban relatif sebesar 90%
merupakan kondisi yang sangat kondusif dalam transmisi Penyakit Malaria.
Perubahan suhu, kelembaban dan kecepatan angin dapat meningkatkan populasi,
memperpanjang umur dan memperluas penyebaran vektor sehingga berdampak
terhadap peningkatan kasus penyakit menular seperti: malaria, dengue, yellow
fever, schistosomiasis, filariasis dan pes.23
Kemampuan vektor dalam menularkan malaria ditentukan oleh interaksi
yang kompleks dari beberapa faktor, antara lain: host, vektor, zat patogen dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan (abiotik) yang banyak berperan adalah
faktor iklim. Suhu (temperatur) berpengaruh terhadap kepadatan, frekuensi
menggigit, lamanya menggigit nyamuk, dan periode inkubasi ekstrinsik
plasmodium. Curah hujan akan menyediakan genangan air sebagai tempat (media)
menempatkan telur dan mengembangkan jentik, serta dapat menambah kerapatan
tumbuhan (vegetasi) yang memungkinkan bertambahnya perindukan nyamuk.
Faktor iklim lainnya adalah meningkatnya kelembaban udara dapat
memperpanjang hidup nyamuk (longevity).23
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jastam 2013, menunjukkan bahwa
daerah pemukiman pantai, persawahan, selokan hingga dataran tinggi dapat
menjadi tempat perkembangbiakan spesies Anopheles. Dan juga daerah tambak
yang sudah tidak terurus dapat menjadi tempat perkembangbiakan spesies
Anopheles.23
19

Perubahan iklim global berpotensi meningkatkan penularan nyamuk


melalui vektor penyakit seperti malaria, filariasis limfatik, dan demam berdarah di
banyak bagian dunia. Adanya perubahan suhu, curah hujan, dan mempengaruhi
perkembangbiakan nyamuk, lama hidup, patogen yang tertelan nyamuk
berkembang lebih cepat dan pada suhu yang cukup tinggi nyamuk menjadi lebih
sering menghisap darah.23
Perluasan daerah yang mengandung air garam dan payau (air dengan <0,5
ppt atau 0,5–30 ppt dan> 30 ppt garam masing-masing disebut air segar, payau,
dan salin) terjadi akibat dri pemanasan global yang menyebabkan kenaikan
permukaan laut di daerah pesisir. Dampak perubahan iklim global pada penularan
penyakit yang ditularkan nyamuk di zona pantai mengacu pada persamaan Ross-
McDonald dan studi pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu perluasan
daerah air payau di zona pantai dapat meningkatkan toleransi nyamuk terhadap
salinitas contohnya pada nyamuk Anopheles sundaicus dan Culex sitiens, dan
terjadi adaptasi vektor nyamuk air tawar seperti Anopheles culicifacies,
Anopheles stephensi, Aedes aegypti, dan Aedes albopictus terhadap salinitas.23

2.4 Strategi Pencegahan Penularan dan Perkembangan Vektor Penyakit

Menurut Permenkes Nomor 1018 tahun 2011 Strategi Adaptasi Perubahan


Iklim Kesehatan (Strategi APIK) dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu Menyiapkan
peraturan perundang - undangan, Sosialisasi dan advokasi, Pemetaan populasi dan
daerah rentan, Meningkatkan sistem tanggap perubahan iklim, Meningkatkan
kemitraan, Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Meningkatkan pengendalian
dan pencegahan penyakit, Meningkatkan surveilans dan sistem informasi,
Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, Meningkatkan keterjangkauan
pelayanan kesehatan.
20

Gambar 2.6 . Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Kesehatan (Strategi APIK)

Penyakit yang ditularkan melalui vektor menyumbangkan lebih dari 17%


dari semua penyakit menular, menyebabkan lebih dari 700.000 kematian setiap
tahun. Penyakit ini dapat disebabkan oleh parasit, bakteri, atau virus. Banyak
penyakit yang ditularkan melalui vektor sebenarnya dapat dicegah melalui
tindakan perlindungan, dan mobilisasi komunitas. Perlunya strategi untuk
mencegah penularan dan perkembangan vektor penyakit terutama untuk vektor
penyakit di daerah pesisir.23
Peningkatan penularan penyakit yang ditularkan nyamuk di zona pesisir
berhubungan dengan perubahan iklim. Naiknya permukaan laut berbanding lurus
dengan perubahan iklim global yang mengakibatkan terjadinya peningkatan
penularan penyakit oleh nyamuk. Hal ini menyebabkan perlunya perhatian khusus
untuk memantau kejadian penyakit dan pengendalian perkembangan preimaginal
vektor nyamuk di daerah pesisir buatan dan alami habitat payau / salin. Penting
bagi lembaga kesehatan nasional dan internasional menyadari peningkatan risiko
penyakit yang ditularkan nyamuk di zona pesisir dan melakukan pencegahan dan
strategi mitigasi. Penerapan langkah-langkah yang tepat bisa sangat mengurangi
potensi peningkatan penularan penyakit akibat nyamuk karena perubahan iklim
dan kenaikan permukaan laut di pesisir.23
21

Global Vector Control Response (GVCR) 2017–2030 telah disetujui oleh World
Health Organization pada tahun 2017. GVCR ini memberikan panduan strategis
kepada negara-negara dan mitra pembangunan untuk segera memperkuat
pengendalian vektor sebagai pendekatan mendasar untuk mencegah penyakit dan
menanggapi wabah. Untuk mencapai hal ini diperlukan penyelarasan kembali
program pengendalian vektor, didukung oleh peningkatan kapasitas teknis,
peningkatan infrastruktur, penguatan sistem pemantauan dan pengawasan, dan
mobilisasi masyarakat yang lebih besar. Pada akhirnya, hal ini akan mendukung
penerapan pendekatan komprehensif untuk pengendalian vektor yang akan
memungkinkan pencapaian tujuan nasional dan global khusus penyakit dan
berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals) dan Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health
Coverage).24
Sekretariat WHO menyediakan panduan strategis, normatif dan teknis untuk
negara-negara dan mitra pembangunan untuk memperkuat pengendalian vektor
sebagai pendekatan mendasar berdasarkan GVCR untuk mencegah penyakit dan
menanggapi wabah. Secara khusus WHO menanggapi penyakit yang ditularkan
melalui vektor dengan:24
1. Memberikan panduan berbasis bukti untuk mengendalikan vektor
dan melindungi masyarakat dari infeksi.
2. Memberikan dukungan teknis kepada negara-negara sehingga
dapat secara efektif mengelola kasus dan wabah.
3. Mendukung negara-negara untuk meningkatkan sistem pelaporan
dan menangkap masalah sebenarnya dari penyakit.
4. Menyediakan pelatihan (peningkatan kapasitas) tentang
manajemen klinis, diagnosis dan pengendalian vektor dengan beberapa
pusat kerja sama di seluruh dunia.
22

5. Mendukung pengembangan dan evaluasi alat baru, teknologi dan


pendekatan untuk penyakit yang ditularkan melalui vektor, termasuk
pengendalian vektor dan teknologi manajemen penyakit.
Elemen penting dalam pengendalian penyakit yang ditularkan melalui vektor adalah
perubahan perilaku sehingga perlu diberikan pendidikan dan meningkatkan kesadaran
sehingga masyarakat tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan komunitas
mereka dari nyamuk, kutu, serangga, lalat dan vektor lainnya. 23
BAB III. KESIMPULAN

Wilayah pesisir merupakan zona transisi antara lautan dan daratan dan
saling berinteraksi. Daerah pesisir sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim
terutama akibat pemanasan global. Hal ini mengakibatkan meningkatnya tinggi
permukaan air laut, tinggi gelombang, dan suhu air laut. Struktur masyarakat
pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan
pedesaan sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan
akulturasi budaya.

Peningkatan penularan penyakit di zona pesisir berhubungan dengan


perubahan iklim misalnya pada penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Perubahan
suhu, kelembaban, dan kecepatan angin dapat meningkatkan populasi,
memperpanjang umur, dan memperluas penyebaran vector sehingga berdampak
terhadap peningkatan kasus penyakit menular seperti: malaria, dengue, yellow
fever, schistosomiasis, filariasi, dan pes. Penyakit yang ditularkan melalui vector
menyumbang lebih dari 17% dari semua penyakit menular, menyebabkan lebih
dari 700.000 kematian setiap tahun.

Hal ini menyebabkan perlunya perhatian khusus untuk memantau kejadian


penyakit dan pengendalian perkembangan preimaginal vektor nyamuk di daerah
pesisir buatan dan alami habitat payau / salin. Penerapan langkah-langkah yang
tepat bisa sangat mengurangi potensi peningkatan penularan penyakit akibat
nyamuk karena perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut di pesisir.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Siswanto, H. 2009. Pengarusutamaan Kesehatan Lingkungan dalam


Peningkatan Kualitas Hidup Manusia. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 19(2), 156330.
2. Coussens, C., & Harrison, M. (Eds.). 2007. Global environmental health in
the 21st century: From governmental regulation to corporate social
responsibility: Workshop summary. National Academies Press.
3. Rudyanto, A. 2004. Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Laut. Makalah Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program
MFCDP, 22.
4. Trinanda, T. C. 2017. Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia dalam Rangka
Pembangunan Berbasis Pelestarian Lingkungan. Matra Pembaruan: Jurnal
Inovasi Kebijakan, 1(2), 75-84.
5. Joesidawati, M. I. 2016. Studi perubahan Iklim dan kerusakan sumberdaya
pesisir di Kabupaten Tuban (Doctoral dissertation, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember).
6. Keman, S. 2007. Perubahan Iklim Global, Kesehatan Manusia dan
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Unair, 3(2),
3934.
7. Zamdial, D. H., Bakhtiar, D., & Nofridiansyah, E. 2018. Studi Identifikasi
Kerusakan Wilayah Pesisir Di Kota Bengkulu. Jurnal Enggano Vol, 3(1), 65-
80.
8. Hernández DA, Á., & Rivera A, S. 2020. An Introduction to Vector-Borne
Diseases. Austin Journal of Vector Borne Diseases.
https://www.researchgate.net/publication/322684544_An_Introduction_to_V
ector-Borne_Diseases.
9. Wilso, A. Et. al., The importance of vector control for the control and
elimination of vector-borne diseases. 2020. PLOS Neglected Tropical
Diseases | https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0007831 January 16, 2020.

24
25

10. Crossland, CJ. Et. al., The Coastal Zone – a Domain of Global Interactions.
2016. In book: Coastal Fluxes in the Anthropocene (pp.1-37) DOI:
10.1007/3-540-27851-6_1
11. Baxter, Richard & Contet, Alicia & Krueger, Kathryn. 2017. Arthropod
Innate Immune Systems and Vector-Borne Diseases. Biochemistry. 56.
10.1021/acs.biochem.6b00870.
12. Roiz, David & Wilson, Anne & Scott, Thomas & Fonseca, Dina & Jourdain,
Frederic & Müller, Pie & Velayudhan, Raman & Corbel, Vincent. (2018).
Integrated Aedes management for the control of Aedes-borne diseases.
PLOS Neglected Tropical Diseases. 12. e0006845.
10.1371/journal.pntd.0006845.
13. Lautetu, L., Kumurur, V., dan Warouw, F. 2019. Karakteristik Permukiman
Masyarakat Pada Kawasan Pesisir Kecamatan Bunaken. Jurnal Spasial. Vol
6 (1).
14. Yonvitner, et. al., Pengertian, Potensi, dan Karakteristik Wilayah Pesisir.
2017. Jakarta:Erlangga
15. Fama, A., 2016. Komunitas Masyarakat Pesisir di Tambak Lorok, Semarang.
Sabda. Vol. 11 (2).
16. Wahyudin, Yudi. 2015. Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Pesisir. 10.13140/RG.2.1.2522.6965.
17. Wilson I, A.L., Courtenay, O., Louise A et al. 2020. The importance of
vector control for the control and elimination of vector-borne diseases. PLOS
Neglected Tropical Diseases, pp. 1-31.
18. Dimitra, S. & N. Yuliastuti. 2012. Potensi Kampung Nelayan Sebagai Modal
Permukiman Berkelanjutan di Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas.
Semarang, Jurnal Perencanaan Vol 1 No. 1.
19. Kemenkes. 2018. ASPIRATOR. Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor.
Vol 10 (1).
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pelaksanaan
Pemberantsan Sarang Nyamuk 3M Plus dengan Gerakan Satu Rumah Satu
Jumantik, 1(021), pp. 2–4.
26

21. World Health Organization. Vector-borne diseases. WHO.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/vector-borne-diseases.
Published 2020.
22. Kesehatan IS. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap ICCSR.; 2010.
23. Jastam MS. Distribusi Spasial Spesies Larva Anopheles Di Daerah Pesisir
Kota Makassar Tahun 2013. Al-Sihah Public Heal Sci J. 2014;VI(2):410-
423.
24. Ramasamy R, Surendran SN. Global climate change and its potential impact
on disease transmission by salinity-tolerant mosquito vectors in coastal
zones. Front Physiol. 2012;3(June):1-14.

Anda mungkin juga menyukai