Disusun Oleh:
Kelompok 1
Dosen Pengampu:
Azyyati Ridha Alfian, S.K.M, M.K.M.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Epidemiologi Penyakit Akibat Pencemaran
Udara” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Dosen
Pengajar Ibu Azyyati Ridha Alfian, S.K.M, M.K.M. pada bidang mata kuliah Epidemiologi
Lingkungan dan Kesehatan Kerja. Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan
dan pengalaman mengenai penyebab dan pengendalian penyakit akibat pencemaran udara bagi
para pembaca dan juga penulis.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Azyyati Ridha Alfian,
S.K.M, M.K.M. yang telah memberikan arahan dan pengetahuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga untuk para anggota kelompok 1 yang telah
bekerja sama dengan baik dan saling dukung satu sama lain. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Makalah Epidemiologi Penyakit Akibat Pencemaran Udara ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap ada kritik dan saran
yang sifatnya membangun guna bertujuan untuk menyempurnakan makalah ini dan menjadi
acuan dalam menyusun makalah selanjutnya.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 5
2.7 Studi Kasus Nasional Pencemaran Udara bagi Kesehatan Masyarakat .................... 13
2.8 Studi Kasus Internasional Polusi Udara dan Kesehatan di Sri Lanka ....................... 14
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 17
Permasalahan global yang menjadi ancaman bagi kesehatan dan iklim di belahan dunia
yaitu pencemaran udara. Pencemaran udara mempengaruhi hampir semua negara yang ada
di dunia, baik negara yang berpenghasilan rendah, menengah, atau tinggi. Berdasarkan data
kualitas udara terbaru dunia dalam WHO “Air pullution”, tahun 2018, 97 persen kota di
negara penghasilan rendah dan menengah dengan >100.000 penduduk tidak memenuhi
standar kualitas udara WHO (10μg / m3). Di tahun 2016, lebih kurang 7.000.000 kematian
secara dunia (18 % dari semua kematian global) disebabkan oleh pencemaran udara dalam
dan luar ruangan (Amirullah, 2019).
Pencemaran udara diakibatkan dari partikel debu dengan jumlah yang berlebih. Dalam
pencemaran ini terdapat zat atau bahan di udara yang menyebabkan perubahan susunan
udara. Dampak dari polusi udara bisa terjadi pada berbagai kehidupan. Polusi tersebut akan
mempercepat pemanasan global dan menyebabkan hujan asam. Dilihat dari sisi ekonomi,
polusi akan meningkatkan biaya pemeliharaan alat serta biaya perawatan penyakit akibat
tercemar pajanan. Pentingnya meningkatkan edukasi bahaya polusi udara ini merupakan
salah satu bentuk langkah preventif. Disamping itu juga harus selalu memperhatikan
penggunaan APD.
Data kematian di Indonesia yang diakibatkan oleh polusi udara ambien pada tahun 2010
adalah berjumlah 1.210.581 orang menderita asma bronkial, 173.487 orang dari
bronkopneumonia, 2.449.986 orang dari infeksi pernapasan akut, 336.273 orang dari
pneumonia, 153.724 orang dari penyakit paru obstruktif kronik dan 1.246.130 orang dari
arteri koroner penyakit (World Health Organization & United Nations Framework
Convention on Climate Change, 2015). Setiap jenis bahan pencemar mempunyai dampak
spesifik pada kesehatan manusia. Upaya pemantauan kualitas udara yang telah dilakukan
hanya menghasilkan data informasi udara di daerah yang terincikasi mengalami
pencemaran udara. Namun demikian dampaknya terhadap kesehatan masyarakat sekitar
belum dapat terdeteksi secara jelas.
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai setelah menyusun
makalah ini, sebagai berikut:
Epidemiologi adalah studi tentang distribusi frekuensi dan determinan kesehatan dan
penyakit pada populasi manusia (Mary A. Nies, 2015). Tantangan yang dihadapi ahli
epidemiologi termasuk polusi udara, air, dan tanah, masalah global, pertumbuhan
penduduk, kemiskinan dan masalah sosial, serta kerusuhan dan kekerasan sosial. Oleh
karena itu, studi epidemiologi sering digunakan untuk mempelajari atau menyelidiki
berbagai masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Udara merupakan hal penting bagi kehidupan makhluk hidup agar dapat bertahan hidup
secara optimal. Pencemaran udara merupakan sebuah kondisi dimana kualitas udara rusak
dan tercemar zat-zat, baik yang berbahaya maupun tidak bagi kesehatan. Kadar pencemaran
udara ditentukan oleh adanya zat-zat seperti karbon dioksida, debu/partikel, sulfur dioksida
(SO2), nitrogen oksida (NO2), hidrokarbon dan hidrogen sufida (H2S) serta partikel
lainnya. Pencemaran udara biasanya terjadi di perkotaan dan kawasan industri dengan
kepadatan tinggi yang menghasilkan gas-gas yang mengandung zat di atas batas normal.
Pada umumnya pencemar udara berupa gas beracun (hampir 90%) dari partikel padat.
Polusi udara bertanggung jawab atas 4,5 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun
penyebab pneumonia (12%), stroke (34%), penyakit jantung iskemik (26%), penyakit paru
obstruktif kronik (22%). ), dan kanker paru-paru (6%).
Pencemaran udara berasal dari beberapa sumber, seperti gas pembakaran kendaraan
bermotor, kegiatan industri dan perumahan, ataupun dari kegiatan sehari-hari manusia.
Penyumbang utama pencemaran udara yaitu gas emisi dari kendaraan, terkhusus pada
kendaraan yang pembakaran pada mesin tidak sempurna sehingga menghasilkan gas
karbon monoksida. Karbon monoksida ialah gas yang tidak berwarna, berbau, dan berasa
menurut Wardhana (2004). Gas karbon monoksida bisa berbentuk cairan pada suhu di
bawah -1920 celcius. Sebagian besar gas karbon monoksida berasal dari pembakaran bahan
bakar fosil dengan udara, berupa gas buangan. Di sebuah kota besar yang padat penduduk
lalu lintasnya akan banyak menghasilkan gas karbon monoksida sehingga kadar karbon
monoksida dalam udara relatif tinggi dibanding daerah pedesaan. Disamping itu gas karbon
monoksida bisa juga terbentuk dari proses industri. Secara alamiah gas karbon monoksida
juga dapat terbentuk, walaupun jumlahnya relatif sedikit, seperti gas hasil kegiatan gunung
berapi, proses biologi dan sebagainya menurut Diken et al., 2017.
Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 yang menganalisis pengukuran polusi udara
PM2.5 di 117 negara dari statiun pemantauan udara di 6.475 kota, menemukan bahwa
hanya 3% kota dan tidak ada satu negara yang memenuhi pedoman kualitas udara tahunan.
Menurut IQAir pada tahun 2021 lima besar negara yang termasuk pada kualitas udara
sangat tercemar adalah Bangladesh, Chad, Pakistan, Tajikistan, dan India. Sementara itu,
polusi udara Indonesia menduduki peringkat ke-17 dunia pada tahun yang sama,
menjadikannya yang paling parah di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya. Jakarta
menempati urutan ke-12 dengan tingkat polusi 39,2. Sedangkan lima kota yang paling
bersih menurut IQAir adalah Palangkaraya Kalimantan Tengah, Monokwari Paua Barat,
Bnada Aceh, Matur Sumatra Barat dan Kayu Agung Sumatera Selatan.
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyatakan, sumber
polusi udara di ibu kota adalah transportasi darat sebesar 75%, pembangkit listrik dan
pemanas sebesar 9%, pembakaran industri sebesar 8%, dan pembakaran domestik sebesar
8%. Prtikulat PM2 merupakan penyebab maslah kesehatan paling banyak dari semua
polutan yang tersuspensi di atmosfer. Partikel halus ini terhirup jauh ke dalam paru-paru,
meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, penyakit paru-paru, dan penyakit paru-paru
akut lainnya yang secara dramatis mengurangi harapan hidup.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa polusi udara bertanggung jawab
atas 3,8 juta kematian dini di seluruh dunia. Penyebab kematian tersebut adalah pneumonia
(27%), stroke (18%), penyakit paru obstruktif kronik (20%), penyakit jantung iskemik
(27%), dan kanker paru-paru (8%) (Kementerian Kesehatan, 2021). Berbagai penelitian
menemukan bahwa paparan polutan udara memiliki dampak signifikan terhadap kecacatan
perkembangan dan stunting pada anak, selain pada kualitas air, sanitasi, dan kesehatan
masyarakat (Sheela S Sinharoy, 2020). Dari 44 kabupaten di Jakarta, 16 kabupaten
melaporkan "infeksi saluran pernapasan atas" sebagai penyebab paling umum. Hampir
2.000 bayi berat lahir rendah dan lebih dari 7.000 penduduk Jakarta meninggal sebelum
waktunya karena terus-menerus terpapar udara yang tercemar.
Ada 3 jalur pajanan bahan pencemaran udarama kedalam tubuh manusia, yaitu melalui
inhalasi, ingestasi, dan penetrasi kulit. Namun pada tempat kerja, jalur pajanan toksikan
terutama terjadi melalui inhalasi dan kontak kulit.
a. Inhalasi
Inhalasi pada umumnya merupakan jalur pajanan yang berwujud debu/partikel, gas,
asap, atau uap. Ketika bahan polutan masuk lewat pernafasan, maka dapat menetap
dalam saluran pernapasan tersebut dan menimbulkan gangguan. Ukuran dan bentuk
partikel juga mempengaruhi dalam proses penimbunaan pencemaran di paru-paru.
b. Ignestasi
Bahan pencemar udara berdiameter cukup besar tidak jarang masuk ke saluran
pencernahaan(ignestasi), Ketika makan atau minum, seperti juga halnya di paru-paru,
maka bahan pencemar yang masuk kedalam pencernaan dapat menimbulkan efek local
dan dapat juga menyebar keseluruh tubuh melalui peredaran dara
c. Penetrasi Kulit
Permungkaan kulit dapat juga menjadi pintu masuk bahan pencemar dari udara,
sebagian besar pencemar hanya menimbulkan akibat buruk pada bagian permungkaan
kulit seperti dermatitis dan alergi saja, tetapi Sebagian lain khususnya pencemar organic
dapat melakukan penetrasi kulit dan menimbulkan efek sistemink
Akibat-akibat yang timbul pada tubuh manusia karena bahan pencemar udara
dipengaruhi beberapa factor, seperti jenis bahan pencemar, toksisitasnya dan ukuran
partikelnya. Berikut contohnya :
1. Bahan Oksidan seperti ozon dan PAN (Peroxyacetylnitrate) dapat mengiritasi mukosa
saluran pernafasan, yang berakibat pada peningkatan insiden penyakit saluran
pernafasan kronik yang non spesifik (CNSRD “Chronic non Spesific respiratory
disease”), seperti asma dan bronchitis.
2. Bahan Organik berupa partikel debu dapat menyebabkan pneumoconiosis.
3. Bahan Biologis seperti virus, bakteri, dan jamur dapat menimbulkan infeksi dan reaksi
alergi.
4. Bahan pencemar lainnya, seperti Oksida nitrogen (NOx) dan sulfur dioksida (SO2) juga
mengakibatkan CNSRD
Aktivitas industri, transportasi jalan, pembakaran sampah luar ruangan, biogenik, debu,
dan sumber domestik dalam ruangan sangat menentukan tingkat keparahan polutan udara
dan emisi ke lingkungan yang akan menyebabkan berbagai penyakit seperti:
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ialah infeksi saluran pernapasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung, paru-paru dan berlangsung sekitar 2 minggu.
Meskipun ISPA mempengaruhi struktur saluran atas laring, sebagian besar gangguan
ini mempengaruhi stimulan saluran atas dan bawah, atau secara berurutan (Muttaqin,
2008). Terjadinya ISPA dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kondisi
lingkungan (polusi seperti asap kebakaran hutan, polusi udara, perubahan iklim,
kepadatan penduduk, rumah yang sempit, rumah yang lembab, pencahayaan yang
buruk, dan ventilasi yang kurang dari 10% luas lantai). Berdasarkan data WHO, ISPA
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian akibat penyakit menular di seluruh
dunia. Sekitar 4 juta orang meninggal karena ISPA setiap tahun, 98% di antaranya
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Salah satu penyebabnya adalah
polusi udara. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi ISPA yang didiagnosis oleh
tenaga kesehatan tertinggi di Provinsi Papua, yaitu 10,5% penduduk menderita ISPA.
2. Asma atau Asthmatic Bronchiale
Asma adalah jenis penyakit saluran napas jangka panjang atau kronis yang
ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas yang menyebabkan sesak
napas dan kesulitan bernapas. Penyempitan saluran nafas ini menyebabkan gejala asma
seperti sesak napas, batuk, dan sesak dada. Orang dengan asma memiliki saluran nafas
yang lebih sensitif daripada mereka yang tidak. Berdasarkan hasil penelitian, Dandan
et al. (2022) pemicu asma adalah faktor lingkungan seperti alergen, asap rokok, polusi
udara, dan perubahan cuaca yang bila masuk ke saluran pernapasan menimbulkan
reaksi alergi dan gejala asma. Tidak hanya masuk ke saluran napas tetapi juga masuk
ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman. Bisa juga disebabkan oleh faktor lain
yaitu perubahan hormonal yang disebabkan oleh stress, emosi yang berlebihan, dan
faktor psikologis yang dapat menyebabkan gejala asma.
Survei Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa prevalensi asma di
Indonesia mencapai 2,5% dari populasi, dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar
1.017.290. Asma mempengaruhi kecacatan dan kematian dini, terutama pada anak-
anak berusia 10 hingga 14 tahun dan orang tua berusia 75 hingga 79 tahun. Asma
sekarang menjadi salah satu dari 14 penyakit teratas yang menyebabkan kecacatan di
seluruh dunia (Riskesdas, 2018).
3. Paru-paru Basah atau Pneumonia
Pneumonia atau radang paru-paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
yang menyebabkan peradangan pada kantung udara atau bagian alveoli paru-paru, atau
keduanya. Pneumonia disebabkan oleh serangan virus, jamur, atau bakteri (infeksi) di
saluran udara. Penyakit ini diawali dengan gejala seperti demam, batuk, dan kesulitan
bernapas. Pneumonia dapat menyerang tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-
anak dan orang tua.
Faktor risiko yang diketahui meningkatkan kejadian pneumonia meliputi laki-
laki usia 2 bulan, malnutrisi, berat badan lahir rendah, ASI tidak mencukupi, polusi
udara, kepadatan penduduk, vaksinasi yang tidak memadai, defisiensi vitamin A, dan
penyapihan dini. Pneumonia adalah pembunuh menular utama anak-anak di seluruh
dunia. Pada tahun 2019, 740.180 anak di bawah usia lima tahun meninggal karena
pneumonia. Ini menyumbang 14% dari semua kematian pada anak di bawah usia 5
tahun, tetapi 22% dari semua kematian pada anak berusia 1 hingga 5 tahun (WHO,
2021). Berdasarkan data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat
468.172 balita menderita pneumonia, dan angka kematian balita sebesar 551 kasus.
Prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan menurut provinsi
adalah Papua dengan jumlah kasus tertinggi (3,6%), kasus tersebut meningkat 2,9%
kasus dibandingkan tahun 2013 di provinsi yang sama.
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu kondisi yang ditandai
dengan obstruksi saluran udara yang ireversibel. Hambatan udara ini bersifat progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel berbahaya dan gas
beracun. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit tidak menular (PTM).
Penyakit ini disebabkan oleh paparan faktor risiko seperti merokok dan polusi udara
dalam dan luar ruangan. Pasien PPOK menderita sesak napas, batuk, kelelahan saat
berjalan dan aktivitas sehari-hari.
Penderita PPOK sering mengeluh sesak napas setelah olahraga berat. Itu
cenderung dibiarkan selama bertahun-tahun dan semakin memburuk. Keluhan sesak
napas yang lebih lama dengan aktivitas ringan atau aktivitas sehari-hari seperti
pekerjaan rumah tangga. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), prevalensi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Indonesia sebesar 3,7%, dengan prevalensi
lebih tinggi pada laki-laki, dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi
tertinggi 10,0%. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensinya mencapai
3,1%, dan di Provinsi Sumatera Utara sendiri prevalensinya mencapai 2,1%.
5. Kanker Paru
Kanker paru-paru adalah penyakit di mana sel-sel paru-paru (organ yang
membawa oksigen ke dalam darah saat Anda menarik napas dan mengeluarkan karbon
dioksida saat Anda bernapas) tumbuh di luar kendali. Tingginya angka kejadian kanker
paru-paru disebabkan oleh kanker paru-paru yang dikaitkan dengan merokok, yang
merupakan faktor risiko utama terjadinya kanker paru-paru. Faktor risiko lain untuk
kanker paru-paru adalah paparan lingkungan terhadap bahan kimia karsinogenik seperti
polusi udara (asap pembakaran dan knalpot mobil). Selain itu, faktor genetik, asupan
makanan, dan infeksi pernapasan bertanggung jawab atas 10-15% kanker paru-paru.
Kanker paru-paru merupakan penyebab kematian akibat kanker paling umum pada
tahun 2020, dengan total 1,8 juta kematian. Di sisi lain, kejadian kanker paru di
Indonesia adalah 25.322 pasien laki-laki dan 9.374 pasien perempuan (WHO).
Indeks yang digunakan untuk mengetahui besarnya pencemaran udara dan kualitas
udara adala Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ISPU adalah nilai ukur, dan
tidak ada satuan untuk menggambarkan kualitas udara ambien suatu lokasi tertentu. Alat
yang digunakan untuk menghitung ISPU mengukur partikulat (PM10), sulfur dioksida
(SO2), karbon monoksida (CO), oksigen (O3) berupa ozon, dan nitrogen dioksida (NO2)
dibawah 10 µm.
Selain itu ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk dijadikan solusi
menghadapi pencemaran udara, sebagai berikut:
1. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya udara bersih bebas polusi
2. Menegakkan peraturan atau undang-undang lingkungan
3. Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik atau energi
lainnya. Hal ini karena bahan bakar fosil dapat menghasilkan polutan yang
berkontribusi signifikan terhadap polusi udara
4. Untuk mengurangi potensi pencemaran yang dapat merusak dan membahayakan
lingkungan, membuang gas buang ke dalam air laut atau larutan pengikat sebelum
dilepaskan ke atmosfer
5. Menggunakan peralatan dan bahan yang lebih ramah lingkungan dalam kehidupan
sehari-hari
6. Mengurangi jumlah kendaraan pribadi, membiasakan diri menggunakan angkutan
umum atau memulai hidup lebih sehat dengan bersepeda
7. Mobil beralih ke bahan bakar ramah lingkungan seperti biogas
8. Menjaga kelestarian hutan
9. Melakukan reboisasi di sekitar rumah dan di pinggir jalan
10. Mengembangkan teknologi yang lebih hijau
11. Mengurangi penggunaan pestisida yang berlebihan karena dapat mencemari tanah
12. Mendorong petani dan pengusaha agribisnis untuk menghindari penggunaan hutan
untuk lahan pertanian dan perkebunan
2.8 Studi Kasus Internasional Polusi Udara dan Kesehatan di Sri Lanka
Judul : Air Pollution and Health in Sri Lanka: A Review of Epidemiologic Studies
Penulis : Nandasena YL, Wickremasinghe AR, Sathiakumar N
Jurnal : BMC Public Health. 2010 Jun 2;10:300
Metode yang digunakan yaitu database PUBMED dan Medline, jurnal lokal dan
prosiding konferensi dicari untuk studi epidemiologi yang berkaitan dengan polusi udara
dan efek kesehatan di Sri Lanka. Berdasarkan penelitian dan tingkat kualitas udara yang
dilaporkan, polusi udara dianggap sebagai masalah kesehatan yang diabaikan di Sri Lanka.
Dampak kesehatan polusi udara pada suatu komunitas tertentu tidak dapat secara langsung
digeneralisasikan dari hasil studi di pengaturan lain. Meskipun polusi udara diakui sebagai
masalah baru kesehatan masyarakat di negara berkembang, sebagian besar negara-negara
ini tidak memiliki data yang memadai untuk mengevaluasi besarnya masalah yang
sebenarnya. Perbandingan lain dari beberapa kota di seluruh dunia melaporkan bahwa
PM10 dan tingkat SO2 di Kolombo tidak lebih sehat daripada kota-kota seperti Hong Kong,
Singapura, Bangkok, Taipei dan Tokyo.
Sumber utama polusi udara ambien di Sri Lanka adalah emisi kendaraan, yang
berkontribusi terhadap over 60% dari total emisi di Kolombo. Langkah-langkah telah
diambil untuk mengurangi polusi udara luar ruangan karena emisi kendaraan. Penghapusan
bensin bertimbal secara bertahap pada Juni 2002, pengenalan diesel belerang rendah pada
Januari 2003, melarang impor Kendaraan Roda Tiga Dua Tak pada tahun 2008, dan inisiasi
program uji emisi kendaraan di tahun 2008 adalah beberapa langkah untuk mengendalikan
polusi udara luar perkotaan di Sri Lanka.
Tingkat NO2 di kota Kolombo selama beberapa tahun terakhir telah menunjukkan
tren yang meningkat meskipun kadarnya tidak melebihi standar Sri Lanka. Banyak kritik
telah telah diungkapkan dengan mengacu pada stasiun pemantauan Benteng Kolombo yang
meremehkan kualitas udara di wilayah kota Kolombo. Organisasi Riset Gedung Nasional
Sri Lanka membentuk jaringan pemantauan kualitas udara pasif. Manawadu dan
Wijesekara menunjukkan bahwa kualitas udara antara struktur, sistem bangunan, sumber
dalam ruangan kota Kolombo secara signifikan berhubungan dengan kualitas udara
daratan. Kekuatan, penghilangan dan laju pengendapan dalam struktur, kepadatan
transportasi, populasi dan kepadatan bangunan menurut pencampuran dalam ruangan dan
reaksi kimia, perabotan, pemodelan kualitas udara di kota Kolombo, menggunakan data
lingkungan luar, dan praktik dan dari jaringan pemantauan kualitas udara sampling pasif.
Konsentrasi polutan yang tinggi dapat terjadi di dalam lingkungan tertutup dalam ruangan.
Ketika jendela terbuka dan kecepatan angin sedang atau tinggi, konsentrasi polutan udara
di dalam ruangan mungkin sama dengan di luar ruangan. SO2 dan NO2 di dalam dan di
luar ruangan dari 30 rumah tangga berpenghasilan rendah di lima lokasi berbeda di
Kolombo melaporkan bahwa tingkat polutan dalam ruangan lebih tinggi daripada di luar
ruangan di semua rumah tangga.
Penggunaan obat nyamuk bakar secara teratur oleh 12% rumah tangga dapat
menjadi sumber IAP lainnya terutama di rumah yang berventilasi buruk; dampak kesehatan
dari paparan ini belum diselidiki di Sri Lanka. The National Authority on Tobacco and
Alcohol (NATA) melarang merokok di institusi layanan kesehatan, institusi pendidikan,
fasilitas pemerintah, universitas, kantor dalam ruangan, dan tempat kerja dalam ruangan
lainnya. The Global Youth Tobacco Survey (GYTS) melaporkan bahwa tidak ada
pengurangan yang nyata pada perokok pasif di tempat umum setelah penerapan Undang-
Undang NATA. GYTS selanjutnya melaporkan bahwa ada penurunan prevalensi perokok
orang tua dari 1999 (50,8%, 95% CI = 47,8% -53,8%) hingga 2007 (29,9%, 95% CI =
25,6% -34,5%). Dengan hampir sepertiga orang tua saat ini merokok, perokok pasif di
rumah tangga mungkin masih tinggi dan perlu dieksplorasi secara kuantitatif.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di pinggiran kota Kolombo
melaporkan bahwa penggunaan kayu bakar untuk memasak merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk gejala pernapasan. Kesehatan pernapasan sebuah studi kasus-kontrol
berbasis rumah menemukan bahwa keberadaan debu di rumah merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk asma. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di pinggiran kota
Kolombo melaporkan bahwa penggunaan kayu bakar untuk memasak merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk gejala pernapasan. Sebuah studi cross-sectional juga
melaporkan bahwa ketersediaan dapur terpisah, menggunakan bahan bakar memasak
kurang bersih, dan tidak memiliki ventilasi yang memadai di area memasak adalah
prediktor signifikan dari rendah berat lahir di distrik Kegalle dan Kalutara.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pencemaran udara diakibatkan dari partikel debu dengan jumlah yang berlebih. Dalam
pencemaran ini terdapat zat atau bahan di udara yang menyebabkan perubahan susunan
udara. Dampak dari polusi udara bisa terjadi pada berbagai kehidupan. Polusi tersebut akan
mempercepat pemanasan global dan menyebabkan hujan asam. Dilihat dari sisi ekonomi,
polusi akan meningkatkan biaya pemeliharaan alat serta biaya perawatan penyakit akibat
tercemar pajanan. Pentingnya meningkatkan edukasi bahaya polusi udara ini merupakan
salah satu bentuk langkah preventif. Disamping itu juga harus selalu memperhatikan
penggunaan APD.
3.2 Saran
Adapun saran penulis kepada pembaca agar dapat memahami dengan baik penyebab
dari pencemaran udara dan dampaknya, serta dapat melakukan upaya pencegahan dan
pengendalian agar tidak mengalami cacat akibat gas karbon monoksida berlebih.
Mengurangi menggunakan kendaraan bermotor, menggunakan bahan bakar yang lebih
ramah lingkungan, dan menggunakan masker ketika berkendara merupakan bentuk langkah
preventif yang dapat meminimalisir pencemaran udara. Selain daripada itu, penulis mohon
maaf apabila banyak terdapat kesalahan, sebab masih dalam proses belajar. Dan juga
penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi wacana yang membuka pola
pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Raharjo. Mursid, Suhartono. (2021). Dampak Polusi Udara Dalam Ruangan Pada
Kejadian Kasus Pneumonia: Sebuah Review. Jurnal LINK, 17 (2), 2021, 100 - 104 DOI:
10.31983/link.v17i2.6833
Budiyono, A. (n.d.). Pencemaran Udara : Dampak Pencemaran Udara Pada Lingkungan. 21–
27.
Ertiana, Evita Della. (2022). Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Masyarakat:
Literatur Review. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Volume 12
Nomor 2, April 2022.
Factor, D., Respiratory, A., Among, I., & Home, I. (2018). Faktor determinan ispa pada
daerah home industri. 7(1), 27–31.
Dandan, Jeconiah Gabriello. Parhusip, Mual Bobby E. Frethernety, Agnes. (2022). Literature
Review: Gambaran Faktor – Faktor Pencetus Asma Pada Pasien Asma. Jurnal
Kedokteran Universitas Palangka Raya, Vol 10 (2): 1-5
Dewi, R., et al. (2022). Pembinaan Masyarakat Tentang Penyakit Dan Latihan Jalan Kaki
Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Desa Desa Kolam Kecamatan
Percut Sei Tuan. Jurnal Ilmiah Pengabdian Kepada Masyarakat (Ji-SOMBA) Vol.1,
No.2, Mei 2022, pp.30-35
Ditjen PPM & PLP, (1984) Menanggulangi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak-
anak, Depkes
Jurnal, J., Elektro, T., Iot, P. M. B., Salamah, I., Tapera, R., & Hadi, I. (2022). Alat Penjernih
Udara dengan Sensor Radar RCWL dan Monitoring. 8(2), 349–359.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI
Nandasena, Y. L. S., Wickremasinghe, A. R., & Sathiakumar, N. (2010). Air pollution and
health in Sri Lanka : a review of epidemiologic studies.
Nurfitriani. Ariesta, Devi Mulia. (2021). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Pada Pasien Poliklinik Paru Di Rsud Meuraxa.
Jurnal Sains Riset. Volume 11, Nomor 2.
Sompotan, D. D., Sinaga, J., Surabaya, U. B., Alkitab, S., & Sabda, M. (2022). Pencegahan
pencemaran lingkungan. 1, 6–13.
Sri Idariani, N. K. (2019). Gambaran Sanitasi Rumah Penderita ISPA pada Balita di Desa Mas
Kecamatan Ubud KABUPATEN Gianyar Tahun 2019. (Doctoral Dissertation,
Politeknik Kesehatan Denpasar)., 53(9), 1689–1699.