Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fajri Rosadi, S.

In
NIM : 20020818

HYBRID WARFARE (HW)

Dalam konsep peperangan, terdapat berabagai metode, strategi, dan bentuk dari
peperangan itu sendiri, mulai dari peperangan konvensional/fisik, perang asimetris, perang
ekonomi, perang politik, perang ideologi, perang politik, hingga ke perang hybrid (Hybrid
war). Hybrid lebih identik dengan kombinasi antara beberapa jenis peperangan, dan bersifat
lebih adaptif dan situasional sesuai dengan kondisi dan tujuan yang ada.

Adapun hybrid menurut Oxforddictionaries didefinisikan sebagai perbedaan dua spesies


atau varietas, hasil penggabungan dari dua hal atau lebih dari unsur yang berbeda,
perpaduan dari dua tipe sumber kekuatan (bahan bakar). Secara singkat hybrid diartikan
sebagai dua perbedaan yang sangat mendasar.

Joshua Ball memberikan penjelasan untuk lebih memahami tentang hybrid warfare sebagai
berikut:

a. Istilah "perang hibrida" menggambarkan strategi yang menggunakan kekuatan militer


konvensional yang didukung oleh taktik perang tidak teratur dan cyber.
b. Konsep-konsep perang Barat yang konvensional tidak sesuai dan secara fundamental
tidak selaras dengan realitas konflik di abad kedua puluh satu. Munculnya tatanan
dunia unipolar pasca Perang Dingin telah mengakibatkan pergeseran paradigma yang
signifikan.
c. Perubahan ini sekarang mengharuskan AS dan sekutunya untuk mengadopsi
pemahaman hukum, psikologis, dan strategis baru tentang peperangan dan penggunaan
kekuatan, terutama oleh aktor negara.
d. Istilah "perang hibrida" (lembaga militer menggunakan istilah "ancaman hibrida"
berkonotasi penggunaan kekuatan militer konvensional yang didukung oleh taktik
perang yang tidak teratur dan cyber. Dalam aplikasi praktis, konsep Rusia tentang
“konflik nonlinier” mencontohkan strategi perang hibrida. (Joshua Ball, 2019)1

Hybrid Warfare secara umum dapat didefinisikan sebagai bentuk peperangan yang tidak
harus bersifat frontal untuk melawan musuh, Adapun peperangan tersebut bisa dalam
bentuk memerangi atau diperangi dengan menggabungkan dua perbedaan sangat
mendasar, bisa dalam bentuk strategi atau operasional, metode, taktik dan teknik.

Yang menjadi perbedaan antara perang hibrida dengan perang lainnya adalah Strategi yang
digunakan, hybrid warfare tidak hanya menggunakan kekuatan fisik atau kekuatan militer
saja, akan tetapi menggabungkan kekuatan militer dengan nonmiliter secara bersamaan

1
Joshua Ball, Global Security Review tahun 2019
Nama : Fajri Rosadi, S.In
NIM : 20020818

atau bahkan non-militer saja. Perang hybrid merupakan upaya untuk memutarbalikan
keaadaan yang menciptakan situasi antara perang dan damai (Reichborn & Cullen, 2017) 2.
Tidak hanya mengandalkan kekuatan militer saja, perang hybrid memasukkan berbagai
aspek dari aspek ekonomi, sipil, politik, informasi dan teknologi. Metode perang tersebut
dapat disesuaikan dengan kapabilitas dari negara itu sendiri yang akan menjadi kelemahan
dari aktor yang dituju atau ditargetkan.
Sedangkan perang lainnya biasa didasarkan pada satu aspek kekuatan saja, misalkaan
peperangan konvensional yang menggunakan kekuatan militer, perang ekonomi yang
menggunakan power ekonomi, beitu pula ideologi dan politik yang menggunakan kekuatan
di ranahnya masing-masing. Berbeda dengan pola hybrid yang menggabungkan beberapa
jenis kekuatan secara proporsional tergantung siapa pihak yang ditargetkan untuk menjadi
pihak lawan.

Adapun sejatinya, istilah hybrid war sendiri memang baru – baru ini sering didengar,
dipergunakan, dianalisis dan dikategorikan sebagai konflik yang unik. Namun secara
konsep sebenarnya perang hibrida telah ada dan menjadi bagian integral dari lanskap
sejarah kuno dunia (Prof. DR Bantarto Bandoro. 2013). Dari hal tersebut dapat dikatakan
bahwa hybrid war bukan merupakan konsep baru, melainkan konsep yang telah ada namun
eskalasi eksistensinya baru meningkat pesat akhir-akhir ini.

Aktor Perang Hibrida

Adapun secara umum, aktor dari hybrid warfare diklasifikasikan menjadi dua, yakni state
actor dan non state actor. Kecenderungan yang terjadi dewasa ini, banyak negara yang tidak
memunculkan negaranya sebagai pihak yang berkonflik atau terlibat dalam peperangan,
baik itu peperangan terbuka maupun perang dingin. Kelompok yang tidak terlibat langsung
dalam konflik namun memiliki kepentingan dalam suatu konflik atau sering disebut konflik
kepentingan (conflict of interest) biasanya menerapkan metode dan taktik hybrid warfare,
dimana lobi politik luar negeri dan diplomasi menjadi senjata dan kekuatan utama dalam
aplikasi peperangan tersebut.

Hybrid Warfare Dalam Perspektif Ancaman Terhadap Keamanan Indonesia

Perang yang dimaksudkan dalam persfektif intelijen, adalah perang Pikiran, dimana perang
tersebut belum tentu dinyatakan bahkan tidak terlihat. Dan perang intelijen tidak selalu
diarahkan untuk melumpuhkan, justru terkadang diarahkan untuk memperkuat lawan
dengan tujuan lawan menghancurkan negaranya sendiri dengan kekuatan tersebut. Seperti
2
Dr. Patrick J. Cullen & Erik Reichborn-Kjennerud, Mcdc Countering Hybrid Warfare Project: Understanding
Hybrid Warfare 12
Nama : Fajri Rosadi, S.In
NIM : 20020818

dalam buku Economic Hitman, disebutkan salah satu Agen CIA memperkuat Indonesia
untuk melumpuhkan Indonesia. Inti dari core of intelligence adalah antisipasi ancaman,
sesuai dengan penjelasan peran dan fungsi intelijen dalam UU No. 17 Tahun 2011, tentang
Intelijen negara. Intinya adalah deteksi dini dan ancaman sebgai dubjek utama dari
pembahasan tersebut. Secara eksplisit core of the core intelligence tersebut tertuang dalam
beberapa pasal UU No. 17 Tahun 2011, diantaranya : Dalam Pasal 4, pasal 1.4, Pasal 1.1,
Pasal 5, Pasal 8, Undang Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Penjelasan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2011 alinea 10 Upaya untuk melakukan
penilaian terhadap ancaman tersebut dapat terwujud dengan baik apabila Intelijen Negara
sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang merupakan lini pertama mampu
melakukan deteksi dini dan peringatan dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman,
baik yang potensial maupun aktual. Guna mewujudkan hal tersebut, Personel Intelijen
harus mempunyai sikap dan tindakan yang profesional, objektif, dan netral. Sikap dan
tindakan tersebut mencerminkan Personel Intelijen yang independen dan imparsial karena
segala tindakan didasarkan pada fakta dan tidak terpengaruh pada kepentingan pribadi
atau golongan serta tidak bergantung pada pihak lain, tetapi semata-mata hanya untuk
kepentingan bangsa dan negara.

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai