Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sediaan apus darah tepi adalah cara yang digunakan untuk evaluasi

morfologi dari sel darah salah satunya leukosit, yaitu mengevaluasi

ukuran, bentuk, warna sitoplasma, granula, kromatin inti sel leukosit.

Prinsip pemeriksaan hapusan darah tepi adalah suatu apusan darah tipis

dibuat dengan meletakkan setetes (kecil saja) darah pada objek, diratakan

sedemikian sehingga terbentuk apusan yang tipis (hanya selapis)

(Chairlan, 2011).

Eosinofil merupakan sel granulosit (sel yang berisi granula)

ukurannya 12-15 µm dengan inti biasanya terdiri dari 2 lobus,

sitoplasmanya sempit, mengandung banyak granula yang besar , bulat ,

terwarnai merah-jingga (oranye) dan tersusun padat-berkelompok

(Chairlan, 2011).

Pada laboratorium banyak ditemukan morfologi eosinofil yang

berbeda-beda pada granula dan warna sitoplasmanya yang dapat

mempersulit identifikasi eosinofil. Perbedaan hasil pewarnaan tersebut

dapat dipengaruhi oleh perbedaan pH buffer. Larutan buffer adalah larutan

yang terdiri dari asam lemah dan basa lemah, kedua komponen itu harus

ada. Buffer sangat penting dalam sistem kimia dan biologi, dalam referensi

disebutkan bahwa pH idealnya 6,4 (Gandasoebrata, 2011). Terlalu asam

1
atau berlebih basanya dapat menyebabkan perbedaan gambaran morfologi

sel darah, khususnya eosinofil. (Gandasoebrata, 2011).

Adanya penggunaan pH buffer pada beberapa literatur yang

berbeda-beda membuat peneliti tertarik untuk mendeskripsikan morfologi

eosinofil dengan variasi pH buffer pengecatan yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada perbedaan morfologi eosinofil pada pengecatan Giemsa

dengan variasi pH buffer phosphate?

C. Tujuan Penelitian

1. Umum

Mengetahui morfologi eosinofil pada sedian apus darah tepi yang di

cat dengan Giemsa dalam pH yang berbeda.

2. Khusus

a. Mengidentifikasi morfologi eosinofil yang menggunakan pH buffer

phosphate 5,6.

b. Mengidentifikasi morfologi eosinofil yang menggunakan pH buffer

phosphate 6,0.

c. Mengidentifikasi morfologi eosinofil yang menggunakan pH buffer

phosphate 6,4.

d. Mengidentifikasi morfologi eosinofil yang menggunakan pH buffer

phosphate 6,8.

e. Mengidentifikasi morfologi eosinofil yang menggunakan pH buffer

phosphate 7,2.

2
f. Menganalisis perbedaan morfologi eosinofil pada variasi pH buffer

phosphate.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Hematologi.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademik

Memberi tambahan referensi penelitian di bidang hematologi terutama

mengenai morfologi eosinofil.

2. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan bagi peneliti yang dapat menjadi bekal dalam

dunia kerja nantinya, khususnya mengenai pewarnaan sediaan apus darah

tepi.

3
F. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah asli, yaitu penelitian untuk mengetahui

gambaran morfologi eosinofil pada pengecatan Giemsa dengan variasi pH

buffer phosphate. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah :

Tabel 1 Keaslian Penelitian


No Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
Peneliti
1 Adianto, Perbedaan Morfologi Sel Darah Gambaran morfologi sel pada
2013, Pada Pengecatan Giemsa Yang Di Giemsa yang diencerkan dengan
UNIMUS Encerkan Menggunakan Aquadest buffer lebih baik dibandingkan
Dan Buffer pH 6,8 dengan Giemsa yang diencerkan
dengan aquadest.
2 Bakthi S, Pengaruh pH Buffer Pada Ada perbedaan gambaran
2013 , Pengencer Giemsa Terhadap mikroskopis sediaan apus
UNIMUS Gambaran Mikroskopis Sediaan malaria dengan pengencer buffer
Apus Malaria 6, 7 . 8.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah di penelitian ini lebih

memperhatikan penggunaan variasi pH larutan buffer dalam pengecatan

Giemsa, dengan pembuatan sediaan apus darah tepi yang diencerkan dengan

variasi pH buffer phosphate. Penggunaan pH buffer jarang diperhatikan

sehingga memungkinkan pembuatan sediaan apus darah tepi bisa merubah

morfologi eosinofil apabila pH buffer dalam keadaan asam atau basa.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Eosinofil

a. Definisi eosinofil

Eosinofil adalah sel darah putih dari kategori granulosit yang

berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit dan

beberapa infeksi. Bentuk dan ukuran sama dengan neutrofil dan

sitoplasma bergranula kasar, berwarna kemerah-merahan oleh zat warna

yang bereaksi yaitu eosin dan jauh lebih menyolok. Eosinofil dapat

bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam dan bertahan lebih lama

sekitar 8-12 hari di dalam jaringgan apabila tidak terdapat stimulasi

(Nurhayati, 2012).

Gambar 2.1 Eosinofil


Sumber : (Adianto, 2013)

5
b. Morfologi eosinofil
Menurut Chairlan (2011), morfologi eosinofil sebagai berikut :

 Ukuran : 12-15 µm

 Inti : biasanya terdiri dari 2 lobus

 Sitoplasma : sempit, mengandung banyak granula yang

besar, bulat, terwarnai merah-jingga (orange), dan tersusun

padat berkelompok.

 Kadang-kadang sel tampak rusak dengan granula-granula yang

berserakan.

c. Fungsi eosinofil :

Fungsi eosinofil adalah sebagai salah satu antibody untuk

melawan alergi dan bibit parasit di dalam tubuh. Sel eosinofil paling

banyak jumlahnya selama dalam keadaan alergi, sel darah ini

membantu tubuh mengatasi berbagai zat beracun dalam usus.

Berhubungan dengan inflamasi akibat respon imunologik, eosinofil

mampu melakukan fagositosis tetapi tidak mampu membunuh kuman.

Selain berfungsi melindungi tubuh dari benda asing juga berfungsi

mengakhiri reaksi alergi, sel ini juga banyak di jumpai pada infeksi

parasit (Yazhid, 2016).

6
d. Granulopoesis

Granulopoesis adalah proses pembentukan leukosit granular yaitu

basofil, netrofil dan eosinofil.

Gambar 2.2 Proses granulopoesis


Sumber : (Modul Praktikum Hematologi, 2016)

Menurut Yazhid (2016), keterangan pada gambar 2.2 adalah :

A. Myeloblast

Sel termuda dengan inti bulat yang berwarna biru

kemerahan. Memiliki satu atau lebih anak inti.

Kromatin halus.  Sitoplasma berwarna biru.

B. Promielocyte / Proagranulocyte

Sitoplasma telah memperlihatkan granula berwarna

biru tua. Berbentuk bulat tidak teratur. Granula tampak

menutupi inti. Inti bulat besar. Kromatin kasar. Anak

inti masih ada tapi tidak jelas.

7
C. Basophilic Myelocyte

Pada fase ini, granula sudah mengalami diferensiasi

menjadi basofil, netrofil, atau eusinofil. Inti sel bulat

atau lonjong pada satu sisi. Anak inti tak tampak lagi.

Kromatin menebal. Sitoplasma sel lebih banyak

D. Basophilic Metamyelocyte

Proses pematangan. Inti sel membentuk lekukan

sehingga berbentuk seperti kacang merah. Kromatin

menggumpal. Sitoplasma mengandung granula kecil

kemerahan. Jika lekukan melebihi setengah ukuran inti,

akan terbentuk netrofil batang. Lalu akan berubah

menjadi netrofil segmen

E. Basophilic Band

F. Basophilic segmented

G. Neutrophilic Myelocyte

Pada fase ini, granula sudah mengalami diferensiasi

menjadi basofil, netrofil, atau eusinofil. Inti sel bulat

atau lonjong pada satu sisi. Anak inti tak tampak lagi.

Kromatin menebal. Sitoplasma sel lebih banyak

H. Neutrophilic Metamyelocyte

Proses pematangan. Inti sel membentuk lekukan

sehingga berbentuk seperti kacang merah. Kromatin

menggumpal. Sitoplasma mengandung granula kecil

kemerahan. Jika lekukan melebihi setengah ukuran inti,

8
akan terbentuk netrofil batang. Lalu akan berubah

menjadi netrofil segmen

I. Neutrophilic Band

J. Neutrophilic segmented

K. Eosinophilic Myelocyte

Pada fase ini, granula sudah mengalami diferensiasi

menjadi basofil, netrofil, atau eusinofil. Inti sel bulat

atau lonjong pada satu sisi. Anak inti tak tampak lagi.

Kromatin menebal. Sitoplasma sel lebih banyak

L. Eosinophilic Metamyelocyte

Proses pematangan. Inti sel membentuk lekukan

sehingga berbentuk seperti kacang merah. Kromatin

menggumpal. Sitoplasma mengandung granula kecil

kemerahan. Jika lekukan melebihi setengah ukuran inti,

akan terbentuk netrofil batang. Lalu akan berubah

menjadi netrofil segmen

M. Eosinophilic Band

N. Eosinophilic segmented

e. Kelainan eosinofil

Eosinofil akan meningkat jumlahnya dalam darah pada

peristiwa alergi dan infeksi parasit (terutama cacing) dalam tubuh.

Dengan pemberian steroid jumlah eosinofil akan menurun. Peningkatan

eosinofil terdapat pada peristiwa alergi, infeksi parasit, kanker pada

tulang, otak, testis dan ovarium. Penurunan eosinofil ditemukan pada

9
hiperfungsi adrenokortikal, stress, shock dan luka bakar. Nilai normal

eosinofil adalah 1-4% (Sutedjo, 2012).

2. Sediaan apus darah tepi

a. Definisi sediaan apus darah tepi

Sediaan apus darah tepi adalah suatu cara yang digunakan pada

pemeriksaan di laboratorium yang digunakan untuk evaluasi morfologi

dari sel darah tepi (eritrosit, leukosit, trombosit).

b. Prinsip pembuatan sediaan apus darah tepi

Suatu sediaan apus darah tepi dibuat dengan meletakkan setetes

darah pada kaca objek glass, diratakan sedemikian sehingga terbentuk

apusan darah tipis (hanya selapis) selanjutnya sediaan apusan darah

tepi tersebut di cat dengan pewarna Giemsa (Chairlan, 2011).

1. 2.

3 . 4.

Gambar 2.3 Langkah Pembuatan Sediaan Apus Darah Tepi


Sumber : Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan Ed.2, 2011

10
c. Ciri-ciri sediaan yang baik antara lain :

Sediaan yang baik tidak melebar sampai pingir kaca objek,

panjangnya 1/2 sampai 2/3 panjang kaca. Pada sediaan harus ada

bagian yang cukup tipis untuk di periksa, pada bagian tersebut eritrosit

terletak berdekatan tanpa bertumpukan dan tidak menyusun gumpalan

atau rouleaux. Pinggir sediaan rata dan sediaan tidak boleh berlubang-

lubang atau bergaris-garis. Penyebaran leukosit tidak boleh buruk,

leukosit-leukosit itu tidak boleh berhimpun pada pinggir-pingggir atau

ujung-ujung sediaan (Gandasoebrata, 2011).

Gambar 2.4 Preparat sediaan apus darah tepi

Sumber : (google.com)

Menurut Chairlan (2011), hal- hal yang harus diperhatikan


untuk mencegah terbentuknya endapan yang tampak seperti bintik-
bintik berwarna hitam, harus hati-hati saat membilas pulasan. Beberapa
hal yang harus diperhatikan supaya pulasan tidak terlalu biru, terlalu
pink, atau terlalu gelap antara lain :
1. Pakailah peralatan gelas yang benar-benar bersih, cuci

peralatan. Jangan mencucinya dengan asam, bersihkan

endapan zat warna dengan methanol.

11
2. Pakailah air netral/air dapar untuk membilas. Air yang

asam akan menghasilkan pulasan yang terlalu merah, air

yang basa akan menghasilkan pulasan yang terlalu biru.

Karena air netral akan menjadi asam kalau dibiarkan lama

di udara.

3. Pengecatan Giemsa

a. Definisi Giemsa

Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen

azur memberi warna merah muda pada sitoplasma dan metilen biru

pada inti leukosit ketiga jenis zat warna ini dilarutkan dengan metil

alkohol. Larutan ini dikemas dalam botol coklat (100cc, 500cc dan

1000cc) dan dikenal sebagai Giemsa stock yang mempunyai pH 7

(Adianto, 2013).

Pengecatan Giemsa adalah pulasan yang terdiri dari eosin,

metilen azur dan metilen biru berguna untuk mewarnai sel darah dan

melakukan fiksasi dengan metil alkohol. Kualitas Giemsa

mempengaruhi hasil pewarnaan sediaan apusan darah. Zat pulas

Giemsa yang telah diencerkan tidak tahan lama lebih dari satu hari

(Gandasoebrata, 2011).

b. Prinsip pengecatan

Prinsip pengecatan preparat darah adalah sediaan apusan darah

difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan digenangi dengan zat

warna Giemsa yang sudah diencerkan dibiarkan 20 menit setelah itu

12
dibilas dengan aquadest dan dibiarkan sampai mengering

(Gandasoebrata ,2011).

c. Faktor yang menentukan mutu pengecatan Giemsa

Menurut Suryanta (2013), Faktor yang menentukan mutu

pengecatan Giemsa antara lain:

a. Kualitas Giemsa baik dan tidak tercemar air

b. Pengencer Giemsa dengan perbandingan tepat

c. Waktu pewarnaan

d. Ketebalan pewarnaan

e. Kebersihan sediaan

Pembuatan atau pengenceran larutan Giemsa harus

diperhatikan lama waktu atau inkubasi dari setiap konsentrasi

larutan Giemsa yang digunakan dalam pewarnaan, hal ini sangat

penting karena akan menentukan hasil analisa pada setiap sampel

yang akan diamati (Gandasoebrata, 2011).

d. Pedoman Penggunaan Giemsa

Menurut Adianto (2013), pedoman penggunaan Giemsa adalah :

1. Giemsa stock baru boleh diencerkan dengan aquadest atau

larutan buffer sesaat akan digunakan agar diperoleh efek

pewarnaan yang optimal.

2. Mengencerkan Giemsa sebanyak yang dibutuhkan, sebab bila

berlebih terpaksa harus dibuang.

3. Pengambilan Giemsa stock dari botolnya, menggunakan pipet

khusus agar Giemsa stock tidak dicemari.

13
4. Methanol dapat menarik air dari udara, sebab itu Giemsa stock

harus di tutup rapat dan tidak boleh sering dibuka. Pisahkan

giemsa dibotol tetes atau botol kecil dari stock.

5. Pewarnaan Giemsa adalah pewarnaan lambat, sehingga hasil

baik bila menggunakan Giemsa encer.

6. Tolak ukur sebagai dasar perhitungan :

a. 1 cc sama dengan 20 tetes.

b. Seluruh permukaan kaca sediaan dapat ditutupi cairan

sebanyak 1 cc.

c. Berdasarkan tolak ukur ini dapat dihitung banyaknya

Giemsa encer yang harus dibuat sesuai dengan

kebutuhan terutama bila melakukan pewarnaan.

7. Takaran pewarnaan

Untuk melakukan pewarnaan individu pada kegiatan stock

Giemsa 1 tetes tambah pengencer sepuluh tetes dengan lama

pewarnaan 15 – 20 menit (Giemsa 10%) atau stock Giemsa 1

tetes ditambah pengencer 1 cc (20 tetes) dengan lama

pewarnaan 45 – 60 menit (Giemsa 5%).

8. Gunakan pengencer yang mempunyai pH 6,8-7,2.

e. Kriteria kualitas pewarnaan yang baik secara mikroskopis

Menurut Putri (2015), Kriteria kualitas pewarnaan yang baik secara

mikroskopis adalah :

a. Zona I : masih terdapat tumpukan eritrosit, berdesakan,

tidak beraturan.

14
b. Zona II : lebih tipis, eritrosit masih bertumpuk, tidak rata.

c. Zona III : tebal, eritrosit bergerombol, rouloux.

d. Zona IV : sama seperti zona III, tipis.

e. Zona V : sel darah tidak tertumpuk, penyebaran satu-satu.

f. Zona VI : sangat tipis, lebih longgar dan jarang.

4. Pengaruh pH buffer terhadap pengecatan Giemsa

a. Definisi dan Fungsi Larutan Buffer

Larutan buffer adalah larutan yang memiliki kemampuan

untuk mempertahankan pH pada penambahan asam atau basa. Fungsi

dari larutan buffer adalah menjadi zat yang mempertahankan keadaan

pH ssat sejumlah kecil basa atau asam dimasukkan dalam larutan,

pengencer Giemsa idealnya mempunyai pH 6,4 (Gandasoebrata,

2011). Referensi lain disebutkan bahwa pH idealnya 6,8 sampai 7,2

(Dacie and Lewis, 2006). Terlalu asam atau berlebih basanya dapat

menyebabkan perbedaan gambaran morfologi sel darah, khususnya

eosinofil (Gandasoebrata, 2011).

b. Buffer Phosphate

Buffer yang digunakan dalam larutan Giemsa biasanya adalah

buffer phosphate. Buffer phosphate sebagai larutan buffer karena

memiliki sifat isotonis dan mampu menahan perubahan pH ketika ion-

ion hidrogen atau hidroksida ditambahkan atau ketika larutan itu

diencerkan disebut larutan penyangga. pH yang rendah

mengakibatkan sel darah banyak mengambil pewarna eosin atau asam,

15
sehingga akan memperlihatkan bagian-bagian inti yang kurang jelas

(Adianto, 2013).

c. Faktor yang mempengaruhi pH larutan buffer :

Penambahan garam-garam netral ke dalam larutan buffer dapat

mengubah pH larutan dengan berubahnya kekuatan ion, temperatur

juga berpengaruh terhadap pH larutan buffer, pengenceran,

penambahan air dalam jumlah cukup, jika tidak mengubah pH dapat

mengakibatkan penyimpangan positif atau negatif sekalipun kecil

sekali karena air juga dapat bertindak sebagai asam lemah atau basa

lemah (Anggraini, 2014).

A. Kerangka Teori :

 Kualitas Giemsa
 Kebersihan objek stock
glass  pH buffer
 Ketrampilan  Lama pengecatan

Kualitas pembuatan Pewarnaan sediaan Morfologi sel


sediaan apus darah tepi apus darah tepi eosinofil

Gambar 2.5 Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep

pH buffer Morfologi
phosphate eosinofil

Gambar 2.6 Kerangka konsep

C. Hipotesa

“Ada perbedaan morfologi eosinofil pada pengecatan Giemsa dengan variasi

pH buffer phosphate.”

16
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental

laboratorium yaitu percobaan yang berupa perlakuan terhadap suatu variabel

dalam ruang lingkup bidang Analis Kesehatan bagian Hematologi.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan

jenis penelitian eksperimental laboratorium. Kriteria penelitian adalah analitik

dengan jenis studi lintang potong (cross sectional), yaitu penelitian yang

dilakukan pada satu waktu dan satu kali. Penelitian ini memperlakukan setiap

sampel mendapat lima perlakuan.

P1 H1

P2 H2

S1 P3 H3

P4 H4

P5 H5
Gambar 3.1 Desain Penelitian
Keterangan :

S1 : Sampel darah

17
P1 : Perlakuan pengamatan morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 5,6.

P2 : Perlakuan pengamatan morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,0.

P3 : Perlakuan pengamatan morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,4

P4 : Perlakuan pengamatan morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,8

P5 : Perlakuan pengamatan morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 7,2

H1 : Hasil morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 5,6.

H2 : Hasil morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,0.

H3 : Hasil morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,4

H4 : Hasil morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 6,8

H5 : Hasil morfologi eosinofil dengan pH buffer phosphate 7,2

Tabel 2 Rancangan Percobaan

Jenis pH buffer phosphate


Sampel Morfologi
5,6 6,0 6,4 6,8 7,2
1
2
3
-
-
-
N
Keterangan : N = Jumlah sampel.

18
Alur penelitian :

Pengambilan sampel darah vena + EDTA

Pembuatan sediaan apus darah tepi

Pengecatan sediaan apus darah tepi

pH buffer pH buffer pH buffer pH buffer pH buffer


phosphate phosphate phosphate phosphate phosphate
5,6 6,0 6,4 6,8 7,2

Pengamatan morfologi eosinofil secara mikroskopis


pada perbesaran 1000x

Data diolah secara deskriptif

Penyajian hasil penelitian

Gambar 3.2 Alur Penelitian

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (independent variable)

Variasi pH Buffer Phosphate

b. Variabel terikat (dependent variable)

Morfologi eosinofil

19
2. Definisi Operasional

Tabel 2 Definisi Operasional


Variabel Definisi operasional

Larutan buffer phosphate Larutan yang di gunakan untuk


pengenceran cat Giemsa pada pembuatan
sediaan apus darah dengan variasi pH yaitu
5,6 , 6,0 , 6,4 , 6,8 dan 7,2 berfungsi
mempertahankan keadaan asam basa suatu
larutan yang di ukur menggunakan pH
meter.

Morfologi eosinofil morfologi sel eosinofil yang di khususkan


pada granula dan warna sitoplasma yang
diamati secara mikroskopis dengan
perbesaran 1000x.

D. Sampel dan Unit Penelitian


1. Sampel

Sampel penelitian yang digunakan sebanyak 5 Mahasiswa Tingkat 3

Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang. Teknik pengambilan

sampel dilakukan dengan cara probability sampling dengan menggunakan

metode simple random sampling yaitu pengambilan sampel anggota

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada

dalam populasi.

Jumlah ulangan dalam penelitian ini diperoleh menggunakan rumus

Federer, perhitungannya adalah sebagai berikut :

(t1) (r1) ≥ 15 Keterangan :

(51) (r1) ≥ 15 t : Jumlah perlakuan

4 (r1) ≥ 15 r : Jumlah ulangan

4r – 4 ≥ 15

20
4r ≥ 15 + 4

4r ≥ 19 (3.1)

r ≥ 4,75 ≈ 5

2. Unit Penelitian

Berdasarkan perhitungan, penelitian ini dilakukan dengan lima kali

pengulangan menggunakan rumus Federer yang akan dikalikan dengan

lima perlakuan sampel (pH buffer phosphate) sehingga diperoleh 25 unit

penelitian.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hematologi Poltekkes Kemenkes

Semarang.

2. Waktu Penelitian

a. Penyusunan Proposal : November 2016 – Januari 2017

b. Pelaksanaan penelitian : Februari 2017

c. Analisis data : Maret 2017

d. Penyusunan hasil penelitian : Juni  Juli 2017

F. Instrumen Penelitian

1. Informed consent

2. Alat dan bahan

a. Alat :

1. Spuit 4. Mikroskop

2. Torniquet 5. Tissue

3. Objek glas 6. Pipet tetes

21
7. Tabung vacum 13. Rak tabung reaksi

8. pH meter 14. Labu ukur

9. Pipet volume 15. Mikropipet

10. Ball pipet 16. Yellow tip

11. Tempat limbah 17. Beaker glass

12. Label

b. Bahan : 5. Methanol

1. Darah vena 6. Buffer phosphate

2. Kapas alkohol 70 % dengan variasi pH

3. Giemsa stock 7. Minyak imersi

4. Aquadest

G. Prosedur Pemeriksaan

a. Prosedur pengambilan darah vena

1. Memasang tourniquet pada lengan atas. Pembendungan vena tidak

perlu erat, sebaiknya hanya cukup erat untuk memperlihatkan dan agak

menonjolkan vena.

2. Membersihkan tempat atau bagian yang akan diambil darahnya dengan

kapas alkohol 70%.

3. Kulit ditegangkan diatas vena itu dengan jari – jari tangan kiri supaya

vena tidak dapat bergerak.

4. Kulit ditusuk dengan jarum dan semprit dengan tangan kanan sampai

ujung jarum masuk kedalam lumen vena.

22
5. Tourniquet dilepas dan perlahan – lahan tarik penghisap semprit sampai

jumlah darah yang dikehendaki didapat.

6. Kapas kering diletakkan diatas jarum, kemudian jarum tersebut ditarik.

Tempat tusukan ditekan beberapa menit dengan kapas kering sampai

darh tidak keluar lagi.

7. Masukkan darah ke dalam tabung vacum.

b. Prosedur pembuatan larutan buffer phosphate

Larutan A (Na2HPO4 0,1 M) :

1. Disodium hydrogen phosphate (Na2HPO4) 17,799 gram

2. Aquadest 250 ml

3. Masukkan ke dalam labu ukur 1000 ml dengan menambahkan

aquadest sampai tanda batas.

4. Homogenkan

Larutan B (NaH2PO4 0,1 M) :

1. Sodium dihydrogen phosphate (NaH2PO4) 15,601 gram

2. Aquadest 250 ml

3. Masukkan ke dalam labu ukur 1000 ml dengan menambahkan

aquadest sampai tanda batas.

4. Homogenkan

c. Prosedur pembuatan buffer phosphate pH 5,6 :

1. Pipet larutan A sebanyak 5,1 ml

2. Pipet larutan B sebanyak 94,9 ml

3. Homogenkan

23
d. Prosedur pembuatan buffer phosphate pH 6,0 :

1. Pipet larutan A sebanyak 12,3 ml

2. Pipet larutan B sebanyak 87,7 ml

3. Homogenkan

e. Prosedur pembuatan buffer phosphate pH 6,4 :

1. Pipet larutan A sebanyak 26,7 ml

2. Pipet larutan B sebanyak 73,3 ml

3. Homogenkan

f. Prosedur pembuatan buffer phosphate pH 6,8 :

1. Pipet larutan A sebanyak 49,1 ml

2. Pipet larutan B sebanyak 50,9 ml

3. Homogenkan

g. Prosedur pembuatan buffer phosphate pH 7,2 :

1. Ambil larutan A sebanyak 72,0 ml

2. Ambil larutan B sebanyak 28,0 ml

3. Homogenkan

h. Prosedur penggunaan pH meter :

1. Menyiapkan sampel yang akan di cek pH nya.

2. Membuka penutup plastik elektroda, bilas dengan aquabides dan

keringkan dengan tissue.

3. Menyalakan pH meter dengan menekan tombol ON/OFF.

4. Memasukkan elektroda, kemudian putar agar larutan homogen.

5. Menekan tombol MEAS untuk memulai pengukuran, pada layar

akan muncul tulisan HOLD yang berkelip.

24
6. Membiarkan sampai tulisan HOLD pada layar berhenti berkelip.

7. Nilai pH yang ditunjukan pada layar adalah nilai pH larutan yang

di cek.

8. Mematikan pH meter dengan menekan kembali tombol ON/OFF.

i. Prosedur pengenceran Giemsa

Menurut Depkes RI (2007) prosedur pengenceran Giemsa sebagai berikut :

1. Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian giemsa + 19 bagian

buffer phosphate pH 5,6.

2. Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian giemsa + 19 bagian

buffer phosphate pH 6,0.

3. Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian giemsa + 19 bagian

buffer phosphate pH 6,4.

4. Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian giemsa + 19 bagian

buffer phosphate pH 6,8.

5. Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian giemsa + 19 bagian

buffer phosphate pH 7,2.

j. Prosedur pembuatan sediaan apusan darah

1. Kaca objek yang di pakai harus kering, bebas debu dan bebas lemak.

2. Untuk menggeserkan darah kepada kaca pakailah kaca objek lain yang

sisi pendeknya rata sekali.

3. Tulis nama penderita dan tanggal pada bagian froasted.

4. Teteskan satu tetes darah di atas objek glass

5. Tangan kanan diletakkan objek glass lain disebelah kiri tetes darah

tadi dan di tegakkan ke kanan hingga mengenai tetes darah.

25
6. Tetes darah akan menyebar pada sisi kaca objek penggeser. Tunggu

sampai darah itu mencapai titik kira-kira 1/2 cm dari sudut kaca

penggeser.

7. Segera gesekkan kaca itu ke kiri sambil memegangnya miring dengan

sudut antara 30 dan 45 derajat. Jangan menekan kaca penggeser itu ke

bawah.

8. Biarkan sediaan itu kering di udara.

k. Prosedur pengecatan Giemsa

1. Meletakkan sediaan yang akan di lakukan pewarnaan di atas

rak/jembatan pewarnaan.

2. Genangi sediaan dengan methanol, sehingga bagian yang terlapis

darah tertutup seluruhnya. Biarkan selama 5 menit atau lebih lama.

3. Tuang kelebihan methanol dari sediaan.

4. Genangi sediaan tadi dengan Giemsa yang telah diencerkan dengan

pH buffer phosphate. Biarkan selama 30 menit.

5. Bilas dengan aquadest.

6. Letakkan sediaan dalam posisi vertikal dan biarkan mengering di

udara.

l. Prosedur identifikasi eosinofil pada sediaan apus darah

1. Letakkan preparat sediaan apus darah tepi di atas meja objek

mikroskop.

2. Pengamatan pertama kali dengan pembesaran lensa objektif 10x dan

lensa okuler 10x.

3. Pilih bagian zona baca untuk identifikasi eosinofil (zona baca)

26
4. Mulai identifikasi sel dalam 10 lapang pandang dengan perbesaran

1000x menggunakan minyak imersi.

H. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer yaitu hasil yang didapat

oleh peneliti sendiri berupa pengamatan morfologi eosinofil pada pengecatan

Giemsa dengan variasi pH buffer phosphate. Setiap perlakuan dibuat 2

apusan darah tepi, kemudian apusan darah yang sudah jadi dicat

menggunakan giemsa yang kemudian diamati menggunakan mikroskop.

Pengamatan morfologi eosinofil pada sediaan apusan darah tepi meliputi

warna pada sitoplasma, pembacaan dilakukan pada zona v dalam 10 lapang

pandang.

Perhitungan presentase hasil dilakukan dengan cara :

jumlah warna granula eosinofil


% warna granula= X 100% (3.2)
Total slide perlakuan

I. Pengolahan dan Analisis Data

Pemeriksaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perbedaan

morfologi eosinofil pada pengecatan Giemsa dengan variasi pH buffer

phosphate. Data yang diperoleh, diuji kenormalannya dengan menggunakan

uji Saphiro Wilk karena sampel yang digunakan < 30. Jika hasil dari uji

kenormalan diperoleh data berdistribusi normal maka data diuji menggunakan

uji Independent T. Jika hasil dari uji kenormalan diperoleh data berdistribusi

tidak normal, maka diuji menggunakan uji U Mann Whitney. Tingkat

kepercayaan yang digunakan adalah 95%, sehingga tingkat presisi atau batas

ketidak akuratan sebesar (α) = 5% = 0,05.

27
Rumusan hipotesa :

a. Ho adalah tidak ada perbedaan morfologi eosinofil pada pengecatan

Giemsa dengan variasi pH buffer phosphate.

b. Ha adalah ada perbedaan perbedaan morfologi eosinofil pada pengecatan

Giemsa dengan variasi pH buffer phosphate.

J. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang

diterapkan dalam kegiatan penelitian dari proposal penelitian, sampai dengan

publikasi hasil penelitian (Notoatmodjo, 2010). Etika penelitian ini bertujuan

untuk melindungi dan menjamin kerahasiaan responden.

Komponen etika dalam penelitian ini adalah :

1. Lembar Persetujuan (informed consent)


Lembar persetujuan akan di berikan kepada responden

yang akan diteliti, peneliti akan menjelaskan maksud dan

tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang

mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data.

Jika responden tidak bersedia maka peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.

2. Tanpa Nama (anonimity)

Identitas responden tidak dicantumkan secara

langsung pada data hasil penelitian, tetapi peneliti

menggunakan kode angka dalam proses penelitiannya.

28
3. Kerahasiaan

Kerahasiaan yang diberikan kepada respoden di

jamin oleh peneliti. Informasi yang telah dikumpulkan oleh

peneliti dijamin kerahasiaanya. Hanya pada kelompok

tertentu saja yang peneliti sajikan atau laporkan sebagai

hasil penelitian.

29
Daftar Pustaka

Adianto, Malaya, 2013. Perbedaan Morfologi Sel Darah Pada Pengecatan


Giemsa Yang Diencerkan Menggunakan Aquadest Dan Buffer pH 6,8.
Karya Tulis Ilmiah . Universitas Muhammadiyah Semarang.

Anggraini S, (September, 2014). pH Dan Dapar. Retrived Januari, 2016, from


http://sriatmi.blogspot.co.id/2014/09/ph-dan-dapar.html?m=1

Ardhea,J., Indriati, R.,Bayu,R., Dian.Y.P.,Umi,R. (2016). Modul Praktikum


Hematologi III. Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang.
AY. Sutedjo. (2012). Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta : Amara Books.

Bain BJ, Lewis SM, Bates I. Basic Haemotology Techniques. In : Dacie and
Lewis Practical Haematology. 10th ed. Churchill Livingstone.
Philadelphin 2006.

Bhakti, S, W, 2013. Pengaruh pH Buffer Pada Pengencer Giemsa Terhadap


Gambaran Mikroskopis Sediaan Apus Malaria. Karya Tulis Ilmiah.
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Chairlan , Lestari E (2011). Pedoman teknik dasar untuk laboratorium kesehatan


(manual of basic techniques for a health laboratory). 2 ed. Buku
kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan RI (2007). Pedoman Pengambilan, Penyimpanan,
Pengemasan dan Pengiriman Spesimen Darah. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Gandasoebrata R.(2011). Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.
Nurhayati, 2012. Gambaran Jumlah Eosinofil Pada Penderita Asma Di RS. Dedi
Jaya Brebes. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Semarang.

30
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, (pp. 202-203).
Jakarta : Rineka Cipta.
Putri R. DE., et al. (2015). Modul Praktikum Hematologi I. Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Semarang.
Yazhid B, LD, (2016). Makalah Eosinofil. Retrieved Desember, 2016, from
http://www.atlm.web.id/2016/12/makalah-eosinofil.html?=1

Lampiran 1

INFORMED CONSENT

31
Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat : :

Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya menandatangani dan

menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan judul “GAMBARAN

MORFOLOGI EOSINOFIL PADA PENGECATAN GIEMSA DENGAN

VARIASI pH BUFFER PHOSPHATE”

Semarang, Februari 2017

Peneliti, Sampel penelitian,

Amalia Nur Islami (.............................)


P1337434114069

32

Anda mungkin juga menyukai