Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PERBEDAAN ULAMA TENTANG ASPEK KEMUKJIZATAN AL QUR’AN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Makalah

Mata Kuliah: I’jaz Al Qur’an

Dosen Pengampu: Dr. H. Ahmad Atabik, LC., M.S.I.

Oleh Kelompok 2 :

1. Muhammad Nurul Ilmi 2030110002


2. Muhammad Yusrul Falah 2030110015
3. Alan Maula Fathus Saddam 2030110025

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS USHULUDDIN

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

TAHUN 2022

BAB I

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makalah ini akan membahas tentang aspek-aspek kemukjizatan Alquran apa saja
yang disepakati ulama dan yang diperselisihkan. Maksud aspek kemukjizatan yang
disepakati ulama adalah sisi itu banyak didiskusikan dan dibicarakan dalam kitab-kitab
mereka. Hampir mereka tidak ada yang mengingkari aspek tersebut. Mereka
mengakuinya dan membenarkan kemukjizatan Alquran ditinjau dari sisi tersebut.
Berbeda halnya dengan aspek kemukjizatan Alquran yang masih diperselisihkan
di antara mereka. Para ulama ada yang setuju dan mengakui sisi kemukjizatan itu.
Namun, tidak sedikit dari mereka yang tidak setuju. Bahkan mereka benar-benar ingkar
dan tidak mengakui eksistensi aspek kemukjizatan itu. Mereka memberikan argumentasi
bahwa Alquran terbersih dari aspek tersebut. Ini mereka lakukan demi menjaga
kesakralan Alquran sehingga tidak mudah dianalisis dan dijamah dengan teori-teori baru
buatan manusia yang profan dan rentan terjadi perubahan di masa mendatang.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek Kemukjizatan Yang Disepakati Ulama ?
2. Bagaimana Aspek Kemukjizatan Yang Diperselisihkan Ulama ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Aspek Kemukjizatan Yang Disepakati Ulama.
2. Untuk Mengetahui Aspek Kemukjizatan Yang Diperselisihkan Ulama.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek Mukjizat Yang Disepakati

Aspek kemukjizatan Alquran yang disepakati ulama adalah indahnya kebahasaan


Alquran. Baik dari segi uslûb (gaya bahasanya), pilihan derivasi kata yang
digunakan, Morfologi dan sintaksisnya, ataupun dari sisi susunan bahasa yang
digunakannya. Para ulama setuju dengan sisi ini. Karena Alquran sendiri memberikan
jaminan sisi bahasa ini.2

1
Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), vol. 2, p. 381.
2
Abdul Wahhab Khollaf, ‘Wujuh I’jaz Alquran’, Majallah Kunuz Alquran, 04.05–06 (1952), p. 4.

2
Misalnya dalam QS. Az-Zumar: 28 menjamin bahasa Alquran itu ghoiro ‘iwajin
(tidak serampangan). QS. AsySyu’arâ’: 195 menjelaskan Alquran itu berbahasa Arab
yang mubîn (benar-benar menjelaskan). Ini artinya Alquran adalah satu-satunya kitab
yang mampu memberikan hal baru bagi orang Arab. Nuansa justifikasi kemukjizatan
bahasanya sangat nampak dalam ayat tersebut.

Ini dikuatkan dengan QS. Yâsîn: 69 yang mempertegas Alquran itu bukan buku
syair melainkan penjelas. Tentunya ini memberi pengertian bahwa Alquran itu
penjelas dengan bahasa yang indah, sebab narasinya dia dibandingkan dengan syair.
Ini pula yang dijelaskan dalam QS. Ath-Thûr: 29-30.

Di antara aspek kemukjizatan yang disepakati dalam Alquran adalah ikhbâr al-
mâdhi wa al-mustaqbal (menceritakan masa lalu dan masa depan). Artinya, Alquran
bisa menceritakan hal-hal gaib yang belum ada saat orang Arab mendengarkannya.
Aspek kemukjizatan ini disetujui oleh para ulama karena realitasnya memang
Alquran banyak memberikan informasi-informasi masa lalu yang terbukti ada artifak-
artifak peninggalan bersejarah tersebut. Adapun untuk masa depannya, Alquran juga
terbukti benar dalam memprediksinya dan tidak melesat satupun. Ini akan
didiskusikan lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.3

B. Aspek Mukjizat Yang Diperselisihkan


Para ulama berselisih pendapat mengenai ada tidaknya kemukjizatan Alquran dari
sisi sains dan bilangan. Kemukjizatan dari aspek sains sering disebut sebagai i’jaz ‘ilmi
dan kemukjizatan dari aspek bilangan disebut i’jaz raqmi. Ada ulama yang setuju dan ada
yang tidak. Masingmasing mereka memiliki argumentasi dan dalil untuk menguatkan
pendapatnya.
I’jaz Ilmi sering didefinisikan para ulama sebagai
Berikut ini:4
‫اإلعجاز العلمي هو إخبار القرآن أو السنة النبوية بحقيقة أثبتها العلم التجريبي وثبت عدم إمكانية إدراكها بالوسائل‬

‫أخب به عن ربه‬
ّ ‫البشرية في زمن ال رسول محمد مما يظهر صدقه فيما‬

3
Abdul Wahhab Khollaf, Ushûl Al-Fiqhi (Mesir: Maktabah Dakwah, 2009), p. 28.
4
Hamza Hassan, ‘Qadhaya Al-I‘Jaz Al-‘Ilmi Wa At-Tafsir Al-‘Ilmi Li AlQur’an Al-Karim’, El Harakah, 21.1
(2019), 179 (p. 182) https://doi.org/10. 18860/el.v21i1.6583

3
Terjemah: “I’jaz ilmi adalah pemberitaan dari Alquran maupun hadis mengenai
sesuatu yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan empiris padahal sudah sangat jelas hal itu
tidak mungkin bisa diketahui dengan alat teknologi buatan manusia di masa Nabi
Muhammad saw sehingga menguatkan kebenaran ajaran yang Dibawanya dari Allah
swt…”
Misalnya adalah temuan modern tentang ilmu embriologi. Yaitu ilmu pengetahuan
empiris tentang perkembangan janin di dalam kandungan ibunya. Empat belas abad tahun
yang lalu, Allah swt sudah mengabarkan tentang perjalanan janin dari air sperma, berubah
menjadi segumpal darah yang melekat di dinding rahim dan disebut sebagai ‘alaq, berubah
menjadi segumpal daging, lalu berubah menjadi susunan tengkorak dan tulang yang
diselimuti daging.5
Hal itu seirama dengan penemuan ilmu empiris kedokteran modern yang memang
melihat perkembangan embrio benar seperti yang diwartakan oleh Alquran tersebut.
Sehingga para ulama yang setuju adanya i’jaz Alquran memberikan kesimpulan bahwa
informasi-informasi tentang embrio itu sesungguhnya sudah ada di dalam Alquran yang
tidak mungkin itu murni dari Baginda Nabi saw. Sebab, beliau adalah bangsa Arab yang
notabene sebagai kaum ummi yang tidak bisa membaca apalagi menulis.
Padahal perjalanan embrio yang begitu detail dalam Alquran itu memerlukan
analisis panjang, tulisan dan pengumpulan data, bantuan teknologi canggih serta modern
untuk mendapatkan kesimpulan hasil penelitian yang luar biasa tersebut. Dengan
demikian, sisi kemukjizatan Alquran dalam bidang teknologi dan sains itu sesungguhnya
adalah nyata adanya.6
Namun, ulama yang tidak setuju dengan adanya i’jaz Alquran itu menolaknya.
Alasannya adalah penemuan-penemuan modern itu bersifat profan dan riskan untuk terjadi
kesalahan. Misalnya saja, ketika teori geosentris menggema dan mengemuka dalam kajian
sains maka hampir seluruh orang berpendapat demikian. Yaitu matahari sebagai jagad
raya ini sebenarnya berputar mengelilingi bumi. Jadi, bumi hanya terdiam saja dan yang
bergerak adalah mata hari.
Andaikan hal demikian dikait-kaitkan dengan ayatayat Alquran yang secara
lahiriah teks-teksnya memang menyebut bumi terbentang, matahari yang berputar dari

5
Bahrum Subagiya, Didin Hafidhuddin, and Akhmad Alim, ‘Internalisasi Nilai Penciptaan Manusia Dalam Al-
Quran Dalam Pengajaran Sains Biologi’, Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam, 11.2 (2018), 190–210 (pp. 190–
92).
6
Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Anfus Al-Qur’an Dan Embriologi (Ayat-Ayat Tentang Penciptaan
Manusia) (Indonesia: Tiga Serangkai, 2006), p.45.

4
ufuk timur ke barat, matahari berjalan dan sejenisnya, maka teori tersebut akan
berlawanan dengan pendapat dan penemuan sains modern. Yaitu menyebut bahwa yang
benar adalah heliosentris. Artinya adalah bumi yang mengelilingi matahari, bukan
sebaliknya. Mereka pun mengemukakan penemuan-penemuan dan data-data baru tentang
kebenaran teori mereka ini.
Dengan demikian, teori pertama terbantahkan dengan teori kedua. Jika ayat
Alquran dianggap mendukung, cocok, dan dipastikan ada kaitannya dengan teori pertama,
maka akan menimbulkan kesan bahwa Alquran itu tidak lagi ilmiah, ketinggalan zaman,
dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Hal itu akan mengurangi kesakralan dan
kehebatan Alquran. Padahal kemunculan teori itu murni dari manusia, tidak secara
langsung jelas dan terang disebutkan oleh Alquran. Maka, kelompok yang kedua ini tidak
setuju dengan adanya i’jaz Alquran dari aspek sains tersebut.7
Argumentasi lain adalah bahwa redaksi yang digunakan Alquran itu memakai
balâghah (seni sastra) tingkat tinggi. Sehingga pilihan diksi yang digunakan itu benarbenar
sempurna. Orang-orang Arab juga sudah mengetahui makna yang terkandung di dalamnya
dan mengakui kehebatannya. Andaikan I’jâz Ilmi itu benar-benar ada, niscaya ada makna
baru yang tidak dipahami oleh orang-orang Quraisy. Dan itu akan menghilangkan
kekuatan muk jizat Alquran itu sendiri. Sebab, ada makna yang tidak dipa hami oleh orang
Quraisy. Dan itu sangat tidak mungkin. Ada pendapat ketiga dari kalangan pertengahan.
Menurut mereka, i’jaz Alquran dari sisi sains itu tidak bisa ditinggalkan. Karena
terbukti penemuan-penemuan modern itu membenarkan isi-isi Alquran. Maka, keuntungan
bukti baru itu menjadi penguat dari kemukjizatan Alquran. Namun, penemuan tersebut
hanya bersifat dzanni (asumtif) semata. Dia tidak bisa diyakini secara kuat bahwa Alquran
memang memaksudkan demikian. Penemuan itu sebatas praduga sebagaimana tafsir-tafsir
lainnya. Sehingga jika kelak kemudian hari ada pembatalan atau pembaharuan maka tidak
boleh dikaitkan dengan kesahihan Alquran.8
I’jaz Raqmi juga sama. Ada ulama yang setuju dan tidak. I’jaz raqmi banyak
didefinisikan sebagaimana berikut:
‫اإلعجاز العددي في القرآن هو أخذ بعض التكرارات واألرقام وأماكن الجمل أو اآليات والخروج بعملية حسابية معينة‬

7
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi, Dirasat Fi Ulum Al-Qur’an al-Karim (Riyadh: Maktabah al-
Malik Fahd al-Wataniyah, 2005), p. 291. 46 Mahmud Syaltut, Tafsir Alquran (Kairo: Dar Syuruq, 1999), pp.
13– 14.
8
Zaglul an-Najjar, ‘Min Ayat Al-I’jaz al-Ilmi Fi Alquran’, Majallah AlQafilah, 7.43 (1994), p. 131.

5
Terjemah: “I’jaz ‘adadi di dalam Alquran adalah membidik berapa kali
pengulangan, angka-angka, berapa jumlah kata maupun ayat, lalu menghitungnya dengan
ilmu matematika tertentu…”
Ulama yang tidak setuju dengan i’jaz raqmi ini me nyebut bahwa tradisi ini tidak
pernah dilakukan oleh Bagin da Nabi Muhammad saw. Konsentrasi tersebut
dikhawatirkan akan mengeluarkan tujuan utama Alquran sebagai kitab hidayah (guidance
book) untuk umat manusia. Nanti mereka akan lebih tertarik Alquran sebagai ilmu eksak
dan tidak merasakan kehadiran Alquran sebagai alat komunikasi Tuhan dengan manusia.
Di samping itu, i’jaz raqmi ini tidak memiliki kaidah umum dan pakem yang jelas
untuk dijadikan patokannya. Bisa saja, bilangan yang dihitung oleh satu ulama itu akan
memiliki hasil yang berbeda oleh penghitungan ulama yang berbeda pula. Dan jika
masing-masing kubu membela pendapatnya dengan mengaitkannya pada ayat-ayat
Alquran maka kesan yang timbul adalah Alquran sebagai alat kepentingan masing-masing
pihak. Padahal Alquran jauh dari hal tersebut. Sedangkan ulama yang setuju adanya i’jaz
raqmi di dalam Alquran menyimpulkan bahwa seringkali ayat-ayatnya mengajak umat
manusia untuk berpikir, menghitung, dan menjumlahkan atau mengurangi bilangan
tertentu. Semisal ketika membicarakan mengapa ada perbedaan kondisi pada rembulan di
setiap harinya?
Maka, Alquran menjawab untuk menjadi bahan renungan umat manusia dalam
menentukan bulan, hari, minggu dan tahun. Sehingga momen kegiatan mereka bisa diingat
dan dicatat dengan baik. Maka, perlu juga mengungkap sisi i’jaz raqmi di dalam Alquran.
Alhasil, ada perbedaan pendapat para ulama mengenai ada tidaknya, boleh atau tidaknya
melihat sisi kemukjizatan Alquran dari aspek angka dan ilmu hitungnya. Penda pat yang
lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak mem perbolehkan dengan alasan-alasan seperti
di atas.9

9
Musthafa Mu’tamad as-Sisi, ‘Al-I’jaz al-’Adadi Fi al-Qur’an al-Karim Baina al-Qabul Wa Ar-Rafdhi’,
Majallah Kulliyah Ad-Dirasah al-Islamiyyah, 04.01 (2020), p. 127-130.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Maksud aspek kemukjizatan yang disepakati ulama adalah sisi itu banyak
didiskusikan dan dibicarakan dalam kitab-kitab mereka. Di antara aspek kemukjizatan
yang disepakati dalam Alquran adalah ikhbâr al-mâdhi wa al-mustaqbal (menceritakan
masa lalu dan masa depan). Artinya, Alquran bisa menceritakan hal-hal gaib yang belum
ada saat orang Arab mendengarkannya. Para ulama berselisih pendapat mengenai ada
tidaknya kemukjizatan Alquran dari sisi sains dan bilangan. Kemukjizatan dari aspek
sains sering disebut sebagai i’jaz ‘ilmi dan kemukjizatan dari aspek bilangan disebut i’jaz
raqmi. Akhirnya, ada perbedaan pendapat para ulama mengenai ada tidaknya, boleh atau
tidaknya melihat sisi kemukjizatan Alquran dari aspek angka dan ilmu hitungnya. Penda
pat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak memperbolehkan dengan alasan-
alasan seperti di atas.

B. Saran
Demikian makalah ini penulis susun, penulis menyadari dalam pembuatan karya
tulis ini masih banyak kekurangan dalam penyusunannya, maka dari itu penulis
memberikan saran bukan hanya membaca dan pahami dari makalah ini saja melainkan
membaca dari sumber-sumber lainnya juga, supaya pemahaman kalian bisa meluas tidak
berpatokan pada pembahasan yang ada di makalah ini.

7
DAFTAR PUSTAKA

Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),

Abdul Wahhab Khollaf, ‘Wujuh I’jaz Alquran’, Majallah Kunuz Alquran, 04.05–06
(1952).

Abdul Wahhab Khollaf, Ushûl Al-Fiqhi (Mesir: Maktabah Dakwah, 2009).

Hamza Hassan, ‘Qadhaya Al-I‘Jaz Al-‘Ilmi Wa At-Tafsir Al-‘Ilmi Li AlQur’an Al-


Karim’, El Harakah, 21.1 (2019), 179 (p. 182)
https://doi.org/1018860/el.v21i1.6583

Bahrum Subagiya, Didin Hafidhuddin, and Akhmad Alim, ‘Internalisasi Nilai


Penciptaan Manusia Dalam Al-Quran Dalam Pengajaran Sains Biologi’,
Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam, 11.2 (2018).

Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Anfus Al-Qur’an Dan Embriologi (Ayat-Ayat


Tentang Penciptaan Manusia) (Indonesia: Tiga Serangkai, 2006).

Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi, Dirasat Fi Ulum Al-Qur’an al-Karim
(Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2005).

Mahmud Syaltut, Tafsir Alquran (Kairo: Dar Syuruq, 1999).

Zaglul an-Najjar, ‘Min Ayat Al-I’jaz al-Ilmi Fi Alquran’, Majallah AlQafilah, 7.43
(1994).

Musthafa Mu’tamad as-Sisi, ‘Al-I’jaz al-’Adadi Fi al-Qur’an al-Karim Baina al-Qabul


Wa Ar-Rafdhi’, Majallah Kulliyah Ad-Dirasah al-Islamiyyah, 04.01 (2020).

Anda mungkin juga menyukai