PENGERTIAN MOTIVASI Dari para Ahli
PENGERTIAN MOTIVASI Dari para Ahli
Motif berasal dari bahasa latin yaitu movere yang artinya bergerak. Motif yang diistilahkan needs
adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan (Ahmadi, 1999).Perilaku manusia senantiasa
dilatarbelakangi motif dan motivasi. Beragamnya motif dan motivasi mewarnai kehidupan manusia,
misalnya makan karena lapar, ingin mendapat kasih sayang, ingin diterima lingkungan dan
sebagainya (Ahmadi, 1998). Pendapat para ahli dalam literatur yang dibaca oleh penulis, bahwa
pengertian motif dan motivasi hampir sama dan tidak ditemukan perbedaan arti yang mendasar.
Maksud dan pengertiannya sama, hanya berbeda dalam memformulasikan kalimat pada motif dan
kalimat pada motivasi saja. Sedangkan arti yang terkandung dalam motif dan motivasi sebenarnya
memiliki persamaan. Oleh karena itu dalam penjelasan berikutnya pada tulisan ini tidak dibedakan
antara motif dan motivasi. Ahmadi (1998)menjelaskan lebih lanjut, bahwa motivasi adalah suatu
kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau
berbuat. Motivasi menurut Winkel (1997) adalah sebagai daya penggerak dari dalam diri individu
dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu. Chaplin (1999)
mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-
faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan
menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran.
Murray (dalam Chaplin, 1999) juga mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai motivasi. Ia
menyebutkan motivasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau berusaha
melaksanakan sebaik dan secepat mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit Walgito (2002)
menyatakan motivasi merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan
organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu.
Sejalan dengan pendapat diatas, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri
individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu
tujuan. McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat sosial,
kebutuhan yang muncul akibat pengaruh eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan tersebut
menjadi tiga, yaitu :Kebutuhan Berkuasa (Need for Power), Kebutuhan Berprestasi (Need for
Achievement), Kebutuhan Berteman (Need for Affiliation).
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan pengertian dari motivasi yaitu suatu dorongan
dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk
memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Jadi individu akan bertingkah laku
tertentu dikarenakan adanya motif dan adanya rangsangan untuk memenuhi kebutuhan serta
mendapatkan tujuan yang diinginkan. Berarti motivasi berkaitan dengan dorongan-dorongan dan
kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan untuk berbuat
sesuatu karena ada rangsang atau stimulus yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan
individu.
MOTIVASI BERPRESTASI
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray (dalam Martaniah, 1998) yang
diistilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh Mc Clelland (1961) dengan
sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan virus mental sebab
merupakan pikiran yang berhubungan dengan cara melakukan kegiatan dengan lebih baik daripada
cara yang pernah dilakukan sebelumnya.
Jika sudah terjangkit virus ini mengakibatkan perilaku individu menjadi lebih aktif dan individu
menjadi lebih giat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari
sebelumnya. Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut Mc.Clelland adalah mereka
yang task oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-
tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan
standard tertentu (McClelland, dalam Morgan 1986). Selain itu mcClelland juga mengartikan
motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai
prestasi secara optimal (McClelland,1987). Selanjutnya menurut Haditono (Kumalasari, 2006),
motivasi berprestasi adalah kecenderungan untuk meraih prestasi dalam hubungan dengan nilai
standar keunggulan.
Motivasi berprestasi ini membuat prestasi sebagai sasaran itu sendiri. Individu yang dimotivasi untuk
prestasi tidak menolak penghargaan itu, tidak sungguh-sungguh merasa senang jika dalam
persaingan yang berat ia berhasil memenangkannya dengan jerih payah setelah mencapai standar
yang ditentukan. Individu yang mempunyai dorongan berprestasi tinggi umumnya suka menciptakan
risiko yang lunak yang bisa memerlukan cukup banyak kekaguman dan harapan akan hasil yang
berharga, keterampilan dan ketetapan hatinya yang menunjukkan suatu kemungkinan yang masuk
akal daripada hasil yang dicapai dari keuntungan semata. Jika memulai suatu pekerjaan, individu
yang mempunyai dorongan prestasi tinggi ingin mengetahui bagaimana pekerjaannya, ia lebih
menyukai aktivitas yang memberikan umpan balik yang cepat dan tepat.
Menurut Herman (Linda, 2004) motivasi berprestasi ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari,
karena motif berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengatasi tantangan atau rintangan dan
memecahkan masalah seseorang, bersaing secara sehat, serta akan berpengaruh pada prestasi
kerja seseorang. Atkinson (Martaniah, 1998) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dalam
perilaku individu mengandung dua kecenderungan perilaku, yaitu : a. Individu yang cenderung
mengejar atau mendekati kesuksesan b. Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan.
Free Choise, adalah bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai
aktivitas-aktivitas atas keberhasilannya sehingga selalu berusaha untuk meningkatkan
segala kemungkinan untuk berprestasi oleh karena kemampuan pengalaman
keberhasilannya yang lebih banyak sehingga kendati mengalami kagagalan masih tetap
tersirat untuk berhasil.
Persistence Behaviour, adalah suatu anggapan individu yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi menganggap bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya usaha, oleh sebab
itu harapan dan usaha untuk berhasil selalu tinggi.
Intensity of performance,adalah suatu intensitas dalam penampilan kerja, artinya individu
yang motivasi berprestasinya tinggi selalu berpenampilan suka kerja keras dibandingkan
seseorang yang motivasi berprestasinya rendah.
Risk preference, adalah suatu pertimbangan memilih risiko yang sedang artinya tidak mudah
dan tidak juga sukar.
Menurut Herman dalam Martaniah (1998) ciri-ciri yang menonjol untuk memilih motivasi berprestasi
berprestasi tinggi antara lain :
1. Mempunyai inspirasi yang tingkatannya sedang, hal ini terjadi karena individu tersebut
memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi sehingga individu tersebut tidak ingin melakukan
sesuatu yang berbeda diluar jangkauannya atau tidak ingin membuang waktu yang banyak
untuk mengerjakan sesuatu diluar kemampuan dirinya.
2. Memiliki tugas yang memiliki risiko yang sedang daripada yang tinggi.
3. Persperktif waktunya berorientasi kedepan.
4. Mempunyai keuletan dalam melakukan tugas yang belum selesai.
5. Mempunyai dorongan untuk melakukan tugas yang belum selesai.
6. Memiliki pasangan kerja atas dasar kemampuannya.
7. Usaha yang dilakukannya sangat menonjol.
Berdasarkan uraian diatas dapat dismpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi mempunyai ciri-ciri antara lain, memiliki rasa percaya diri yang besar, berorientasi kemasa
depan, suka pada tugas yang memiliki tingkat kesulitan sedang, tidak membuang-buang waktu,
memilih teman yang berkemampuan baik dan tangguh dalam mengerjakan tugas-
tugasnya.Heckhausen (Monks dan Haditono,1999) mengatakan bahwa individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah memiliki perbedaan.
Atkinson (Linda,2004) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang tidak memiliki motivasi berprestasi
antara lain :
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah
memiliki ciri-ciri antara lain, bersikap pesimis, orientasi pada masa lampau, menganggap
keberhasilan sebagai nasib mujur, menghindari kegagalan, suka memakai cara yang lama, tidak
menyenangi pekerjaan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab serta tidak berusaha untuk
mencari umpan balik dari pekerjaannya. II.C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Berprestasi Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi pada seseorang. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah :
1. Kemampuan Intelektual Menurut Gebhart dan Hoyt (Linda, 2004) dengan kelompok
kemampuan intelektual yang tinggi ternyata menonjol dalam achievement, exhibition,
autonomy dan dominance, sedangkan dengan kelompok kemampuan intelektual rendah
ternyata menonjol dalam order, abasement, dan nurturance.
2. Tingkat Pendidikan Orang tua Sadli (Linda,2004) menyatakan cara ibu mengasuh anak
dapat menimbulkan motivasi berprestasi yang tinggi dan juga dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan karena ibu yang berpendidikan tinggi akan mempunyai aspirasi dan motivasi
untuk mendorong anak agar berprestasi setinggi-tingginya.
3. Jenis Kelamin Adi Subroto, Watson, Lingren, Martaniah (Linda, 2004) menemukan adanya
perbedaan motivasi berprestasi antara pria dan wanita, pria mempunyai motivasi berprestasi
yang lebih tinggi daripada wanita.
4. Pola Asuh Dari penelitian didapat bahwa motivasi berprestasi terbentuk sejak masa kanak-
kanak dan dipengaruhi oleh cara ibu mengasuh anaknya (Suroso dalam Linda, 2004).
Motivasi berprestasi yang terjadi pada masa anak-anak tidak hanya ditentukan oleh orang tua saja,
tetapi juga dapat berubah karena proses pendidikan, latihan-latihan dan adanya faktor kematangan
dan proses belajar pada masa selanjutnya (Mc Clelland dalam Martaniah, 1984). Motivasi
berprestasi merupakan suatu hal yang dipelajari, oleh karena itu pembentukannya sangat ditentukan
oleh faktor lingkungan terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat. Selain itu karena terbentuk
dari lingkungan maka kebutuhan berprestasi bisa berubah sejalan dengan perkembangan yang
dialami individu yaitu melalui latihan, pendidikan, kematangan dan proses belajar.
Locke (Kumalasari, 2006) menjelaskan bahwa pengalaman atau kematangan, wawasan diri dan
usia individu berpengaruh terhadap motivasi berprestasi individu. Kemudian Mc Clelland (1961)
yang mengemukakan bahwa ada enam aspek motivasi berprestasi pada diri individu, yaitu :
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain pendidikan, masa kerja, lingkungan dan keluarga, disamping faktor yang berasal dari dalam diri
individu yaitu kemampuan diri, adanya kemampuan besar untuk madiri serta bersedia berkorban
untuk mencapai tujuannya. Kemudian ada beberapa aspek kebutuhan berprestasi dalam diri
individu yaitu bertanggung jawab dan kurang suka mendapat bantuan dari orang lain, mencapai
prestasi dengan sebaik-baiknya, memperhitungkan kemampuan diri dengan risiko yang sedang,
ingin hasil yang konkrit dari usahanya, tidak senang membuang-buang waktu serta
memilikiantisipasi yang berorientasi kedepan.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan
persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa etnis atau suku merupakan suatu kesatuan
sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga
dapat dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini digunakan untuk
mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria
kebudayaan.
Konsep yang sangat mendasar dalam organisasi kekerabatan adalah marga. Marga adalah
kelompok-kelompok orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis
keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal (Verbouwen dalam Ihromi, 1986).
Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecilnya,
dan nama marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannya masih
mempunyai kakek yang sama, dan ada satu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan
nama marga sama terjalin oleh hubungan darah, dan salah satu konsekuensinya adalah larangan
menikah bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama.
Dalam beberapa konsep berfikir ini, kemudian tumbuhlah suatu ketetapan pandangan hidup dan
kemudian berkembanglah menjadi suatu ajang filsafat hidup yang menjadi dasar praktek sistem
kepercayaan orang Batak. Suku bangsa Batak adalah penduduk yang menghuni kabupaten
Tapanuli, propinsi Sumatera Timur maupun yang berdiam diluarnya, yaitu orang-orang perantauan
yang berasal dari daerah tersebut. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa suku, antara lain suku
Toba yang mendiami bagian tengah daerah Batak yang meliputi Habinsaran, Silindung, Dataran
Tinggi Toba, Barus, Sorkam dan Sibolga. Di sebelah utara berdiam suku Karo, bagian Barat suku
Pakpak, bagian timur suku Simalungun dan dibagian selatan suku Angkola dan Mandailing, dan
suku Gayo dan Alas berdiam dibagian selatan Aceh. Selain daripada itu penduduk yang berdiam di
daerah Rokan, Bila, Pane dan Kotapinang termasuk juga dalam suku Batak (L.S.Diapari, 1987)
Prinsip kehidupan orang Batak bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua. Dimana kewajiban
anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada
orang tua., begitu juga dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika
hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan hubungan suami istri. Kalau
ketiga dasar fondasi hubungan dalam keluarga inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka
hubungan sosial dalam masyarakat sekelilingnya akan lebih baik dan harmonis juga. Dimana etika
hubungan sosial dalam keluarga ini terutama kewajiban-kewajiban anak-anak dalam pengabdian
kepada orang tua dan anak laki-laki tidak boleh membuat susah orang tua (Payung dalam
Koentjaraningrat, 2007).
Adanya kemauan yang keras dalam diri mereka memacu mereka untuk berorientasi kedepan
sehingga kalau ditelusuri bahwa disetiap ibukota diseluruh Indonesia dapat dijumpai etnis Batak.
Ada falsafah etnis Batak yang mengatakan bahwa ada tiga yang menjadi tujuan mereka hidup yang
lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Menikah dan Keturunan) dan
Hasangapon (Nama Baik). Selama mereka tumbuh dan berkembang orangtua selalu menekankan
falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung memiliki karakter atau sifat yang
pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan. Adanya sifat pejuang membuat mereka
menjadi pemberani, selalu berusaha untuk sukses (Togatorop dalam Kartika, 2004).
Salah satu karakter etnis Batak yang menonjol adalah tahan dalam segala situasi dalam lingkungan
yang menghimpit dan mau berjuang, hal ini sesuai dengan pendapat Mc Clelland (Martaniah,1998)
yang mengatakan bahwa orang yang memiliki motif berprestasi tinggi cenderung memiliki kemauan
untuk maju dan mengambil resiko yang sedang. Tambunan (Kartika, 2004) mengatakan bahwa etnis
Batak adalah etnis yang sangat memandang tinggi derajat manusia, karena pada mereka ada
sistem marga yang mengatur kedudukan dan sosial dimasyarakat yang membuat mereka saling
menghargai satu sama lain.
Unsur motif berprestasi inilah yang didistribusikan oleh Weiner (Martaniah,1998) sebagai suatu
usaha sukses dalam mencapai tujuan yang sudah diorientasikan sebelumnya sebab dalam motif
berprestasi tersebut mengandung unsur usaha. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa etnis
Batak memiliki karakter yang menunjukkan bahwa mereka memiliki motif berprestasi. Hal ini didasari
oleh pola asuh orang tua yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui
pendidikan yang tinggi. II.E. 3. Etnis Tionghoa
Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perdagangan orang
Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada didalam kebudayaan suku
bangsa Hokkian telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang
Tionghoa di Indonesia. Diantara pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling
berhasil. Hal ini juga disebabkan karena sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin.
Orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak
terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.
Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial)
disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural
berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan dapat dipahami.
Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan cirri khas manusia Tionghoa dengan
yang lain (Vasanty dalam Hariyono,2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan bila
ditelusuri stereotip-stereotip diatas ternyata saling berkaitan, memiliki akar budayanya yang tunggal
pada sistem kepercayaannya.
Pada etnis Tionghoa sisitem kepercayaan dan tradisi yang dianut secara cukup luas terdapat pada
agama Konfusius, disamping terdapat juga agama Tao dan Budha. Ajaran Konfusius selama
berabad-abad sempat menjadi ajaran wajib disekolah-sekolah negeri Cina pada zaman dahulu.
Internalisasi yang cukup lama ini membekas pada manusia Tionghoa sampai generasi-generasi
berikutnya. Meskipun ajaran ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh orang Tionghoa di Indonesi
namun sisa-sisa nilai yang terbentuk masih tampak pada manusia Tionghoa dalam berbagai gradasi
internalisasi yang berbeda-beda. Selain itu secara internal ajaran Konfusius memiliki kekuatan akan
pewarisan nilai-nilai, karena salah satu nilai yang cukup menonjol, yaitu nilai patuh kepada orang tua
dan pengabdian kepada keluarga memungkinkan segala sesuatu, merupakan media internalisasi
yang ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada generasi berikut (Vasanty dalam Hariyono,
2006).
Banayak orang Cina yang dikirim ke Jawa untuk memberi rangsangan pada orang Tionghoa di Jawa
untuk berorientasi kepada Negara leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998). Allers (Martaniah,
1998) mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa ini suka bekerja, berani berspekulasi, penuh
inisiatif dan materialistik. Golongan keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun
kerajinannya. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa sifat orang Tionghoa yang kaya dan
orang Tionghoa yang miskin berbeda.
Orang Tionghoa yang miskin cenderung memiliki sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistis,
rajin dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya lebih cenderung memiliki sifat yang suka
dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impulsif, boros dan tidak hati-hati. Seiring dengan
perkembangan zman bahwa di tanah air masih tetap terlihat banyak. Sekolah-sekolah yang
mayoritas pelajarnya keturunan Tionghoa dan juga beberapa perusahaan didominasi etnis Tionghoa
dan tentunya kebudayaan yang mereka anut serta nilai-nilainya masih kuat. Pada umumnya etnis
Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan negri leluhurnya, sangat sukar berhenti sebagai orang
Tionghoa (Mitchison dalam Martaniah, 1998).
Hubungan kekeluargaan orang Tionghoa begitu erat sehingga sukar bagi mereka untuk melepaskan
diri dari kebudayaan dan nilai-nilai keluarganya. Disisi lain, Amy Chua (Hariyono, 2006)
menyebutkan bila dalam suatu Negara demokrasi kelompok etnis minoritas menguasai pasar, bukan
tidak mungkin suatu saat memiliki potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial. Dalam
persoalan etnis Tionghoa di Indonesia, persoalan sosio-kultural dan persoalan ekonomi muncul
seperti sekeping mata uang dengan dua sisinya. Secara sederhana dapat dikatakan, perilaku
manusia Tionghoa perantauan umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.
Tetapi aktivitas ekonomi etnis Tionghoa dilakukan dalam referensi sosil-kultural (dan politik)nya. Dan
ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat masyarakat
Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat (Suryadinata dalam Wibowo,
2000). Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orangorang etnis
Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan
maupun nilai-nilai Negara asalnya yang memberikan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk
menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.
1. Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan kehormatan
(keluarga).
2. Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada orang Tionghoa yang sempat menjadi
stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian orang Tionghoa merupakan cambuk
untuk menunjukkan prestasi (kerja) yang lebih baik sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa
tidak seburuk yang dikatakan orang.
3. Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif
berprestasi.
Akibat mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan menunjukkan dan mengerahkan
segala kemampuannya, sehingga muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas
yang pada akhirnya menunjukkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006).
Crawford (Martaniah, 1998) orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja, berspekulasi, penuh
inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan dan kegigihan mereka
dalam bekerja. Hidayat (Martaniah, 1998) berpendapat bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak
dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus mengembangkan kecakapan
dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.
Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu memberikan keyakinan bahwa
mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat hidup
kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat supaya tingkat
kehidupannya menonjol. Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan menurut
kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu karena
orang-orang Batak dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Napitupulu dalam
Kartika, 2004).
Secara kepribadian orang Batak memiliki sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan terkadang
dominan dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri
dalam tingkah laku seolah-olah menunjukkan sifat dan ciri khas. Terdorong oleh keadaan itu
menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi berhubungan dengan orang lain. Sejajar
dengan pengaruh Kristen pada pertengahan abad ke-19 yang lalu masuklah sistem pendidikan
sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk pengaruh dari luar dengan kecepatan yang amat
besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub suku bangsa adalah bahwa mereka
itu memiliki suatu organisasi berdasarkan agama yang kuat ialah HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan).
Organisasi ini mempersatukan semua orang Batak yang beragama Kristen, dapat melakukan
penyebarluasan terhadap adat istiadat Batak, dapat menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang
kolot dan menghambat kemajuan serta dapat mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok
untuk pembangunan (Koentjaraningrat, 2007). Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) mengatakan
bahwa konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem
kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi
dan definisi terhadap realitas.
Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu dapat menjadi potensi yang didayagunakan
untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang dipahami dan
diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep
religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada ihot (konsep tiga dalam
satu) yang mencakup kehidupan spiritual, sosial, moral dan material. Dalihan Nan Tolu tidak hanya
dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga ditengah masyarakat Batak lainnya (P.L.
Situmeang, 2007) Dari paparan diatas, pada dasarnya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan
Etnis Batak.
Namun terdapat faktor –faktor seperti dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa (Suryadinata,
1984) yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi dengan etnis
Tionghoa. Menurut Wilmoth (Martaniah, 1998) etnis Tionghoa dibandingkan dengan warga pribumi
lebih kompetitif, mempunyai usaha yang besar dan sangat mengusahakan prestasi dan memiliki
tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam pengasuhan
anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada
anaknya untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar,
mereka tidak menekankan permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar penemuan itu
Wilmoth (Martaniah,1998) berpendapat bahwa etnis Tionghoa memiliki need achievement yang
tinggi.
Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial terdapat
kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis Tionghoa,
sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para ahli dan temuan-temuan dalam
penelitian dapat dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis Tionghoa
seharusnya tidak memiliki perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti tertarik untuk
membuktikan tentang sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di Citi Fianancial
tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya.