Anda di halaman 1dari 28

Clinical Science Session

PROGRAM PEMERINTAH TERKAIT KESEHATAN REPRODUKSI

Oleh :
Wunarti Rimadhani 1840312257

Khairunnnisa Salsabila 1840312262

Preseptor :
dr. Aladin, Sp.OG(K), MPH

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP. DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan
proses.1 Menurut Depkes RI (2000) kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan
sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental, dan kehidupan sosial yang
berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan
reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana
seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum
dan sesudah menikah
Kesehatan merupakan salah salah satu indikator kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun
1945. Setiap individu memiliki hak untuk sehat, baik dalam memperoleh akses
kesehatan, pelayanan kesehatan serta menetukan pelayanan kesehatan yang
diperlukan. 2
Indonesia adalah salah satu negara yang menyepakati hasil Konferensi
Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan sedunia International
Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo. Hal yang
menjadi fokus perhatian adalah pada kesehatan reproduksi dengan mengutamakan
kesehatan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi perorangan dalam pengelolaan
masalah kependudukan dan pembangunan. Pemenuhan kesehatan reproduksi di
regulasi oleh pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan dapat berupa
kesehatan reproduksi remaja, kesehatan sebelum kehamilan, kesehatan selama
masa kehamilan, kesehatan saat melahirkan, kesehatan seudah melahirkan,
kesehatan seksual, serta upaya-upaya reproduksi dengan bantuan, termasuk upaya
kesehatan reproduksi di masa kritis, seperti kesehatan reproduksi saat terjadinya
bencana.3.

2
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang
terintegrasi kepada semua individu sesuai usia, sejak tahun 2002 Kementerian
Kesehatan telah mengembangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
(PKRT) di pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2014 berdasarkan laporan
dari Dinas Kesehatan Provinsi, telah ada sebanyak 2.133 puskesmas PKRT
dengan cakupan kabupaten/ kota yang memiliki minimal 4 puskesmas PKRT
sebesar 237 kabupaten/kota (45%) di seluruh Indonesia.9

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan tentang Program Pemerintah Terkait Kesehatan Reproduksi

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah makalah ini membahas mengenai definisi, masalah dan
faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi, landasan hukum dan peraturan,
ruang lingkup kesehatan reproduksi, kebijakan dan strategi kesehatan reproduksi.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan
kepustakaan merujuk pada berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan
proses. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti dapat mempunyai kehidupan
seks yang aman dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi termasuk hak pria
dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara
keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang
tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang
memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan
anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. 2 Sedangkan
menurut PP RI no 61 tahun 2014 pasal 1, kesehatan reproduksi adalah keadaan
sehat secara mental, fisik, dan social secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi. 8

2.2 Masalah dan Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi


Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat
berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi :2,5
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi
Faktor ekonomi dapat mempengaruhi Kesehatan Reproduksi yaitu
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang
perkembangan seksual dan proses reproduksi, usia pertama melakukan
hubungan seksual, usia pertama menikah, usia pertama hamil. Sedangkan
faktor demografi yang dapat mempengaruhi Kesehatan Reproduksi adalah
akses terhadap pelayanan kesehatan, rasio remaja tidak sekolah,
lokasi/tempat tinggal yang terpencil.

4
b. Faktor budaya dan lingkungan
Faktor budaya dan lingkungan yang mempengaruhi praktek tradisional
yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak
anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang
membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, pandangan agama, status perempuan, ketidaksetaraan gender,
lingkungan tempat tinggal dan cara bersosialisasi, persepsi masyarakat
tentang fungsi, hak dan tanggung jawab reproduksi individu, serta
dukungan atau komitmen politik.

c. Faktor psikologis
Sebagai contoh rasa rendah diri (“low self esteem“), tekanan teman sebaya
(“peer pressure“), tindak kekerasan dirumah/ lingkungan terdekat dan
dampak adanya keretakan orang tua dan remaja, depresi karena ketidak
seimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang
membeli kebebasan secara materi.

d. Faktor biologis
Faktor biologis mencakup ketidak sempurnaaan organ reproduksi atau
cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, keadaan gizi buruk kronis, anemia, radang panggul atau adanya
keganasan pada alat reproduksi. Dari semua faktor yang mempengaruhi
kesehatan reproduksi diatas dapat memberikan dampak buruk terhadap
kesehatan perempuan, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang baik,
dengan harapan semua perempuan mendapatkan hak-hak reproduksinya
dan menjadikan kehidupan reproduksi menjadi lebih berkualitas.

2.3 Tujuan Kebijakan dan Strategi Kesehatan Reproduksi


2.3.1 Tujuan Umum
Meningkatnya kualitas hidup manusia melalui upaya peningkatan kesehatan
reproduksi dan pemenuhan hak-hak reproduksi secara terpadu, dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.4

5
2.3.2 Tujuan Khusus
a. Meningkatnya komitmen para penentu dan pengambil kebijakan dari
berbagai pihak terkait, baik pemerintah dan non-pemerintah.
b. Meningkatnya efektivitas penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi
melalui peningkatan fungsi, peran dan mekanisme kerja di pusat, provinsi
dan kabupaten/kota.
c. Meningkatnya keterpaduan pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi bagi
seluruh sektor terkait, di pusat, provinsi dan kabupaten/kota, yang mengacu
pada kebijakan dan strategi nasional kesehatan. 4

2.4 Sasaran Kesehatan Reproduksi


Terdapat dua sadaran kesehatan reproduksi yang akan dijangkau dalam
memberikan pelayanan, yaitu sasaran utama dan sasaran antara.
1. Sasaran Utama
Laki-laki dan perempuan usia subur, remaja putra dan putri yang belum
menikah. Kelompok resiko: pekerja seks, masyarakat yang termasuk
keluarga prasejahtera.
Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja.
a. Seksualitas.
b. Beresiko/menderita HIV/AIDS.
c. Beresiko dan pengguna NAPZA.
2. Sasaran Antara Petugas kesehatan : Dokter Ahli, Dokter Umum, Bidan,
Perawat, Pemberi Layanan Berbasis Masyarakat.
a. Kader Kesehatan, Dukun.
b. Tokoh Masyarakat.
c. Tokoh Agama.
d. LSM.5

2.5 Landasan Hukum dan Peraturan


1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

6
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Ratifikasi CEDAW)
3. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
4. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
5. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
6. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2014 tentang
kesehatan reproduksi

2.6 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi


Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT), dilaksanakan secara
terpadu (integrative) dan diselenggaran dalam bentuk “one stop service“
dimana klien dapat menerima semua pelayanan yang dibutuhkan. Pelayanan
PKRT harus diberikan secara terpadu dan berkualitas yang memenuhi aspek
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan memperhatikan hak
reproduksi individu/perorangan dan pelayanan terpadu tersebut harus
berorientasi pada kebutuhan klien. Dalam memenuhi prinsip
penyelenggarakaan PKRT, untuk memberi pelayanan yang baik maka setiap
kabupaten diharapkan mempunyai minimal 4 (empat) Puskesmas yang
memberikan pelayanan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu.5
Kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu mencakup semua
pelayanan yang disediakan oleh program-program yang ada dalam ruang
lingkup kesehatan reproduksi, misalnya:
1. Kesehatan Ibu dan Anak
2. Keluarga Berencana
3. Kesehatan Reproduksi Remaja
4. Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual, termasuk
HIV dan AIDS.
5. Kesehatan reproduksi pada lanjut usia

7
6. Berbagai pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, misalnya, deteksi
dini kanker leher rahim dan kanker payudara, infertilitas, kesehatan
reproduksi pada lanjut usia, dan sebagainya.

PKRT terdiri dari dua macam pelayanan kesehatan reproduksi yaitu


Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) dan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Komprehensif (PKRK).5
1. Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) yang terdiri dari :
 Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBL) termasuk penanganan
pasca keguguran.
 Keluarga Berencana (KB)
 Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
 Pencegahan dan Penanganan Penyakit Menular Seksual (PMS)
termasuk HIV/AIDS.
2. Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK)
PKRK adalah pelayanan yang diberikan sama dengan PKRE namun
ditambah dengan komponen kesehatan reproduksi lain seperti pada
menopause dan andropause pada lanjut usia, pencegahan dan penanganan
kekerasan terhadap perempuan, pencegahan dan penanganan kanker serviks
dan lain sebagainya. 5

2.7 Kebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia


Keadaan kesehatan reproduksi pada dewasa di Indonesia masih belum
seperti yang diharapkan. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara ASEAN
lainnya, Indonesia masih tertinggal dalam banyak aspek kesehatan reproduksi. Di
bawah ini beberapa keadaan dan masalah komponen kesehatan reproduksi yang
dapat memberikan gambaran umum keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia.4

2.7.1 Kesehatan Ibu dan Anak


Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Besarnya AKI
menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran perilaku hidup bersih dan

8
sehat, status gizi dan status kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan untuk
ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas, serta kondisi kesehatan lingkungan.4
Penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Penyebab langsung
Penyebab langsung kematian ibu terjadi pada umumnya sekitar persalinan
dan 90 % terjadi oleh karena komplikasi. Penyebab langsung kematian ibu
menurut SKRT adalah perdarahan, eklampsia, infeksi, komplikasi
puerperium, abortus, trauma obstetrik, emboli obstetrik, partus lama/macet
serta lainnya.
2. Penyebab tidak langsung
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi,
rendahnya status kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu,
diantaranya kurang energi kronis (KEK), anemia gizi besi (AGB). Selain
itu juga terdapat keadaan “4 terlalu” yaitu kehamilan terjadi pada ibu
berumur kurang dari 18 tahun (terlalu muda), terjadi pada ibu berumur
lebih dari 34 tahun (terlalu tua), persalinan terjadi dalam interval waktu
kurang dari 2 tahun (terlalu sering) dan ibu hamil mempunyai paritas lebih
dari 3 (terlalu banyak).4

Penyebab kematian pada masa perinatal/neonatal pada umumnya berkaitan


dengan kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam kandungan
dan proses pertolongan persalinan yang diterima ibu/bayi, yaitu asfiksia,
hipotermia karena prematuritas/ BBLR, trauma persalinan dan tetanus
neonatorum.4
Penyebab kematian bayi terbanyak di Indonesia adalah karena gangguan
perinatal, gangguan pada saluran nafas, diare, gangguan saluran cerna, penyakit
syaraf, tetanus dan gangguan lainnya. Sedangkan penyebab kematian balita adalah
sebagai berikut: gangguan saluran nafas, diare, penyakit syaraf, tifus, gangguan
saluran cerna serta gangguan lainnnya.4
a. Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak

9
1. Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat
serta bayi lahir sehat.
2. Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal.4

b. Strategi Kesehatan Ibu dan Anak


1. Pemberdayaan perempuan, suami dan keluarga.
a. Peningkatan pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan,
persalinan, nifas, bayi dan balita (health seeking care).
b. Penggunaan buku KIA
c. Konsep SIAGA (Siap, Antar, Jaga)
d. Penyediaan dana, transportasi, donor darah untuk keadaan darurat
e. Peningkatan penggunaan ASI eksklusif
2. Pemberdayaan Masyarakat
a. Pemantapan GSI
b. Penyelenggaraan Polindes, Posyandu, Tempat Penitipan Anak (TPA)
3. Kerjasama lintas sektor, mitra lain termasuk pemerintah daerah dan
lembaga legislatif.
a. Advokasi dan sosialisasi ke semua stakeholders.
b. Mendorong adanya komitmen, dukungan, peraturan, dan kontribusi
pembiayaan dari berbagai pihak terkait.
c. Peningkatan keterlibatan LSM, organisasi profesi, swasta dan
sebagainya
4. Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak
secara terpadu dengan komponen KR lain.
a. Pelayanan antenatal.
b. Pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan neonatal esensial.
c. Penanganan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal
d. Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan
komplikasi pasca keguguran.
e. Manajemen Terpadu Bayi Muda dan Balita Sakit.

10
f. Pembinaan tumbuh kembang anak.
g. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan
kelengkapan sarananya.
h. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan.4

c. Target yang akan dicapai


1. Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak tiga perempat dari
kondisi tahun 1990.
2. Menurunkan Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB) dan Angka Kematian Bawah lima tahun (AKBalita) sebanyak
dua pertiga dari kondisi tahun 1990.
3. Cakupan pelayanan antenatal menjadi 95%.
4. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 90%.
5. Penanganan kasus komplikasi obstetri dan neonatal 80%.
6. Cakupan pelayanan neonatal 90 %.
7. Cakupan program kesehatan bagi balita dan anak prasekolah 80%.4

Tantangan penurunan AKI telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah.


Oleh karena itu, pada tanggal 1 Agustus 2012, presiden memberikan instruksi
agar kementerian kesehatan bersama lintas sektor terkait merumuskan strategi dan
rencana aksi untuk mempercepat penurunan AKI. Menindak lanjuti instruksi
presiden tersebut, Direktorat Bina Kesehatan Ibu bersama lintas program dan
lintas sektor terkait telah merumuskan sasaran strategis dalam upaya percepatan
penurunan AKI, yaitu: 6
a. Menyediakan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar
b. Menyediakan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan
pertolongan persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hari seminggu.
c. Seluruh Puskesmas Perawatan, Puskesmas PONED dan RS PONEK 24
jam 7 hari seminggu berfungsi sesuai standar.
d. Terlaksananya rujukan efektif pada kasus komplikasi

11
e. Penguatan pemda Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi
program kesehatan (regulasi, pembiayaan).
f. Meningkatkan kemitraan lintas sektor dan swasta
g. Meningkatkan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui
pemahaman dan pelaksanan P4K serta Posyandu.

Terdapat dua indikator pemenuhan komponen kesejahteraan Ibu dan anak yaitu : 6
1. Penanganan Tenaga Medis pada Proses Persalinan
Pada tahun 2000, Pemerintah RI mencanangkan kebijakan Making
Pregnancy Safer (MPS) dengan 3 pesan kunci dalam upaya percepatan
penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir yaitu :
 Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
 Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pertolongan yang
adekuat
 Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca
keguguran
2. Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia
Pokok-pokok kegiatan imunisasi : 6
a. Imunisasi rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatsn imunisasi yang dilaksanakan
secara rutin dan terus-menerus, yang harus dilaksanakan pada periode
waktu tertentu yang telah ditentukan.
Vaksin untuk imunisasi rutin yang diwajibkan adalah :
1. BCG (diberikan sekali pada bayi usia 0-11 bulan)
2. DPT (diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu
antar pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi
pada umur 18 bulan dan 5 tahun.
3. Polio (imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir, dilanjutkan
pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio diberikan
saat berumur 4 hingga 6 tahun)

12
4. Campak (satu kali pada bayi usia 9-11 bulan)
5. Hepatitis B (diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi dilahirkan, 7
hari setelahnya, 1 bulan kemudian, dan 6 bulan setelah pemberian
pertama)

b. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin
dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil
pemantauan atau evaluasi.
Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan :
1. Backlog fighting
Adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1-3 tahun, dilakukan setiap dua tahun sekali.
2. Crash program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi
cepat karena masalah khusus, seperti :
a. Angka kematian bayi tinggi, angka kematian PD3I tinggi
b. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang
c. Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum
mendapatkan pada saat imunisasi rutin
3. Imunisasi dalam penanganan Kejadian Luar Biasa (Outbreak respons)
Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemologis penyakit.
4. Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam
wilayah yang luas dan waktu tertentu, dalam angka rangka pemutusan
mata rantai penyakit, antara lain :
a. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus
kehidupan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin
polio kepada setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa

13
mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian
imunisasi dilakukan 2 kali, masing-masing 2 tetes dengan selang
waktu 1 bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN,
disamping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai
booster atau imunisasi ulangan polio.

b. Sub PIN
Merupakan suatu upaya untuk memutus rantai penelaran polio bila
ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas (kabupaten)
dengan pemberian dua kali imunisasi polio dalam interval waktu
satu bulan secara serentak pada seluruh sasaran berumur kurang
dari satu tahun.

c. Catch up campaign Campak


Merupakan suatu upaya untuk pemutusan transmisi penuluran virus
campak pada anak sekolah dan balita.Kegiatan ini dilakukan
dengan pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak SD
tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian
imunisasi campak pada saat catch up campaign campak di samping
untuk memutus transmisi, juga berguna sebagai booster atau
imunisasi ulangan (dosis kedua).6

2.7.2 Keluarga Berencana


Indonesia memiliki penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah Republik
Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat. Indonesia masuk 5 besar negara
di dunia dalam hal kontribusi pertambahan penduduk dunia (setelah
China,India,Brasil dan Nigeria).5

14
Tabel 2.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk di Indonesia Tahun 1971-2014.5

Promosi KB dapat ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan ibu


sekaligus kesejahteraan keluarga. Keluarga berencana bukan hanya sebagai
upaya/strategi kependudukan dalam menekan pertumbuhan penduduk agar sesuai
dengan daya dukung lingkungan tetapi juga merupakan strategi bidang kesehatan
dalam upaya peningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan jarak dan jumlah
kelahiran.4
Akseptor KB menurut sasarannya, meliputi: 5
1. Fase Menunda Kehamilan
Masa menunda kehamilan pertama sebaiknya dilakukan oleh pasangan
yang istrinya belum mencapai usia 20 tahun.Karena usia di bawah 20
tahun adalah usia yang sebaiknya menunda untuk mempunyai anak dengan
berbagai alasan.Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi
dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan
dapat terjamin 100%. Hal ini penting karena pada masa ini pasangan
belum mempunyai anak, serta efektifitas yang tinggi. Kontrasepsi yang
cocok dan yang disarankan adalah pil KB, AKDR.
2. Fase Mengatur/Menjarangkan Kehamilan
Periode usia istri antara 20 - 30 tahun merupakan periode usia paling baik
untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran
adalah 2 - 4 tahun.Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu efektifitas
tinggi, reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya
anak lagi.Kontrasepsi dapat dipakai 3-4 tahun sesuai jarak kelahiran yang
direncanakan.

15
3. Fase Mengakhiri Kesuburan
Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30
tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan
kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi
kegagalan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko
tinggi bagi ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak
mengharapkan untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang cocok dan
disarankan adalah metode kontap, AKDR, implan, suntik KB dan pil KB.
Ruang lingkup program KB,meliputi: 5
1. Komunikasi informasi dan edukasi
2. Konseling
3. Pelayanan infertilitas
4. Pendidikan seks
5. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan
6. Konsultasi genetik
Langkah-langkah konseling keluarga berencana : 5
Sebelum menerapkan langkah-langkah konseling KB, konselor hendaknya
memperhatikan beberapa sikap yang baik selama konseling, sikap ini dikenal
sebagai SOLER yaitu:

Tabel 2.2 SOLER 5


Pada konseling KB terdapat enam langkah konseling yang sudah dikenal
dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan langkah konseling KB SATU TUJU
tersebut tidak perlu dilakukan secara berurutan karena petugas harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan klien. beberapa klien membutuhkan lebih

16
banyak perhatian pada langkah yang satu dibanding dengan langkah yang lainnya.
Langkah konseling KB SATU TUJU yang dimaksud adalah sebagai berikut: 5
SA SApa dan SAlam kepada klien secara terbuka dan sopan. Berikan
perhatian sepenuhnya kepada mereka dan berbicara ditempat yang
nyaman serta terjamin privasinya. Yakinka klien untuk membangun rasa
percaya diri. Tanyakan kepada klien apa yang dapat dibantu serta jelaskan
pelayanan apa yang dapat diperolehnya.
T Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya. Bantu klien untuk
berbicara mengenai pengalaman KB dan kesehatan reproduksi serta yang
lainnya. Tanyakan kontrasepsi yang diinginkan oleh klien. Dengan
memahami kebutuhan, pengetahuan dan keinginan klien, kita dapat
membantunya
U Uraikan kepada klien mengenai pilihannya dan jelaskan mengenai
kontasepsi yang mungkin diingini oleh klien dan jenis kontasepsi yang ada
TU BanTUlah klien menentukan pilihannya. Bantulah klien berfikir mengenai
apa yang paling sesuai dengan keadaan kebutuhannya. Dorong klien untuk
menunjukan keinginannya dan mengajukan pertanyaan. Tanggapi secara
terbuka dan petugas mempertimbangkan kriteria dan keinginan
klienterhadap setiap jenis kontrasepsi. Tanyakan apakah pasangannya
akan memberikan dukungan dengan pilihannya tersebut.
J Jelaskan secara lengkap bagaimana menggunakan kontrasepsi pilihannya.
Setelah klien memilih jenis kontrasepsinya, jika diperlukan, perlihatkan
alat/obat kontasepsinya. Jelaskan bagaimana alat/obat tersebut digunakan
dan cara penggunaannya. Lalu pastikan klien untuk bertanya atau
menjawab secara terbuka.
U Perlunya dilakukan kunjungan Ulang. Bicarakan dan buat perjanjian
kepada klien untuk kembali lagi melakukan pemeriksaan lanjutan atau
permintaan kontrasepsi jika dibutuhkan.
Tabel 2.3 SATU TUJU 5

a. Kebijakan Keluarga Berencana


1. Memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB.

17
2. Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan pelayanan lain
dalam komponen kesehatan reproduksi
3. Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin.
4. Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan.
5. Meningkatnya peran serta LSOM, swasta dan organisasi profesi.
6. Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja.
7. Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan.4
b. Strategi Keluarga Berencana
1. Prinsip integrasi artinya dalam pelaksanaannya tidak hanya bernuansa
demografis tapi juga mengarah pada upaya meningkatkan kesehatan
reproduksi yang dalam pelaksanannya harus memperhatikan hak-hak
reproduksi serta kesetaraan dan keadilan gender.
2. Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program keluarga berencana
perlu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan institusi daerah sesuai
dengan UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000.
3. Prinsip pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas kepemimpinan
dan kapasitas pengelola dan pelaksana program nasional KB dengan
memberdayakan institusi masyarakat, keluarga dan individu dalam rangka
meningkatkan kemandirian.
4. Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraan yang tulus
dan setara serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerjasama
internasional.
5. Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan pada keluarga rentan,
perhatian khusus pada segmen tertentu berdasarkan ciri-ciri demografis,
sosial, budaya dan ekonomi dan keseimbangan dalam memfokuskan
partisipasi dan pelayanan menurut gender.4
c. Target yang akan dicapai
1. Penurunan Unmet Need KB sebesar 6%.
2. Cakupan pelayanan KB pada PUS 70%.
3. Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50 % dari angka pada
tahun 1997.
4. Penurunan kejadian komplikasi KB.

18
5. Penurunan angka drop out.4

2.7.3 Kesehatan Reproduksi Remaja


Masalah reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan
kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak
hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga,
masyarakat dan bangsa pada akhirnya.4
Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai
berikut: 4
1. perilaku berisiko
2. kurangnya akses pelayanan kesehatan
3. kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan
4. banyaknya akses pada informasi yang salah tanpa tapisan
5. masalah IMS termasuk infeksi HIV/AIDS,
6. tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan
transaksi seks komersial,
7. kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi,
dan
8. kehamilan yang tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi
yang tidak aman dan komplikasinya. Menurut Biran (1980) kehamilan
remaja kurang dari 20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih
tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun.

a. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja


1. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan lingkungan
yang kondusif agar remaja dapat berperilaku hidup sehat untuk menjamin
kesehatan reproduksinya.
2. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan
kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk pelayanan
informasi dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

19
3. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja
dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang.
4. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para
tenaga pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang
ada.
5. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan
berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait
serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan
kemandirian remaja.4

b. Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja


1. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan
proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif
dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks
pranikah.
2. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan terpadu
lintas program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor swasta serta
LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing
sektor sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional
Komisi Kesehatan Reproduksi.
3. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui pola intervensi
di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan di luar sekolah
dengan memakai pendekatan “pendidik sebaya” atau peer conselor.
4. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Integratif di tingkat pelayanan dasar yang
bercirikan”peduli remaja” dengan melibatkan remaja dalam kegiatan
secara penuh.

20
5. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi
materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan
kegiatan ekstrakurikuler seperti: bimbingan dan konseling, Pendidikan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
6. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar
sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di
masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok
anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok
Bina Keluarga Remaja (BKR).4
c. Target yang akan dicapai
1. Penurunan prevalensi anemia pada remaja menjadi kurang dari 20%.
2. Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%, dan
melalui jalur luar sekolah 20%.
3. Prevalensi permasalahan remaja secara umum menurun.4

Pelaksanaan promosi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) termasuk


pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno
Deficiency Syndromes (AIDS), Infeksi Menular Seksual (IMS), dan bahaya
Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan
perlindungan hak-hak reproduksi.7
Kementerian kesehatan telah mengembangkan model Pelayanan Kesehtan
Peduli Remaja (PKPR). Ciri khas pelayanan kesehatan peduli remaja adalah
pelayanan konseling dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan
pendidikan dan keterampilan hidup sehat.7
PKPR dapat terlaksana dengan optimal bila membentuk jejaring dan
terintegrasi dengan lintas program, lintas sektor, organisasi swasta, dan LSM
terkait kesehatan remaja. Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) dapat
dilaksanakan di dalam gedung fasilitas kesehatan dan diluar gedung fasilitas
kesehatan. PKPR dapat dilaksanakan puskesmas, rumah sakit, sekolah, karang
taruna, tempat ibadah atau tempat – tempat lain dimana remaja berkumpul. PKPR
sangat erat terkait dengan kegiatan usaha kesehtan sekolah (UKS) yang juga
dibina oleh puskesmas setempat.7

21
Kegiatan pelayanan reproduksi remaja juga terdapat dalam program
generasi berencana (GenRe) yang dilaksanakn oleh BKKBN. Program GenRe
dilaksanakan melalui pendekatan dari dua sisi yaitu pendekatan kepada remaja itu
sendiri dan pendekatan pada keluarga yang memiliki remaja. Pendekatan kepada
remaja dilakukan melalui pengembangan pusat iformasi dan konseling
remaja/mahasiswa (PIK R/M) sedangkan pendekatan kepada keluarga dilakukan
melalui pengembangan kelompok bina ketahanan remaja (BKR).7

2.7.4 Pencegahan Infeksi Menular Seksual, Termasuk Hiv/Aids

Gambar 2.2 Perkiraan Kelompok rawan yang tertular HIV.4


Orang-orang yang beresiko tertular HIV adalah: 4
1. Perilaku seks berisiko (tidak hanya terbatas pada kelompok perempuan
penjaja seks dan pelanggannya saja)
2. Perilaku Pengguna Napza suntik yang menggunakan jarum suntik tidak
steril.
3. Tingkat penularan yang tinggi terjadi pada kelompok waria penjaja seks.
a. Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS

22
1. Penanggulangan dilaksanakan dengan memutuskan mata rantai penularan
yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak terlindungi, penggunaan
jarum suntik tidak steril pada pengguna Napza suntik, penularan dari ibu
yang hamil dengan HIV (+) ke anak/ bayi.
2. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi profesi,
masyarakat bisnis, LSM, organisasi berbasis masyarakat, pemuka agama,
keluarga dan para Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
3. Setiap orang mempunyai hak untuk untuk memperoleh informasi yang
benar tentang HIV/AIDS.
4. Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya.
5. Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS.
6. Adanya hak memperoleh pelayanan pengobatan perawatan dan dukungan
tanpa diskriminasi bagi ODHA.
7. Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk pelayanan
pengobatan, perawatan dan dukungan terhadap ODHA dan
mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang telah tersedia.
8. Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan sukarela dan
didahului dengan memberikan informasi yang benar, pre dan post test
konseling.
9. Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan jaringan
transplan harus bebas dari HIV.4

b. Strategi Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS


1. Pelaksanaan mengikuti azas-azas desentralisasi sedangkan pemerintah
pusat hanya menetapkan kebijakan nasional.
2. Koordinasi dan penggerakan di bentuk KPA di pusat dan di daerah/
kabupaten/ kota, pelaksanaan Program melalui jejaring (networking) yang
sudah dibentuk di masing-masing sektor terkait.
3. Suveilans dilakukan melalui laporan kasus AIDS, surveilans sentinel HIV,
SSP dan surveilans IMS
4. Setiap prosedur kedokteran tetap memperhatikan universalprecaution atau
kewaspadaan universal.

23
5. Melengkapi PP - UU menjamin perlindungan ODHA.
6. Pembiayaan pencegahan dan penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS
terutama akan menggunakan sumber-sumber dalam negeri. Pemerintah
mengupayakan Bantuan Luar Negeri.
7. Melakukan monitoring dan evaluasi program dilakukan berkala,
terintegrasi dengan menggunakan indikator-indikator pencapaian dalam
periode tahunan maupun lima tahunan.4
c. Target yang akan dicapai
1. Puskesmas melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS
2. Puskesmas yang menjalankan pencegahan umum terhadap infeksi.4

2.7.5 Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut


Masalah kesehatan reproduksi pada usia menopause adalah terjadi
penurunan atau hilangnya estrogen yang akan menyebabkan perempuan
mengalami banyak keluhan dan gangguan yang seringkali dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari bahkan menurunkan kualitas hidupnya.4
Gangguan kesehatan yang akan timbul pada masa menopause antara lain
nyeri tulang dan sendi, nyeri waktu sanggama, meningkatnya insiden penyakit
jantung koroner, insiden keganasan, dementia tipe Alzheimer, dan banyak lagi
gangguan kesehatan lainnya sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap
kesehaatn reproduksi yang dapat mengganggu produktivitas lanjut usia.4
Pada laki-laki gangguan kesehatan yang terjadi pada masa andropause
yang berkaitan dengan penurunan fungsi hormon androgen dan testosteron adalah
impotensi, keluhan tulang dan sendi, pembesaran kelenjar ataupun kanker kelenjar
prostat.4
a. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut
1. Meningkatkan dan memperkuat peran keluarga dan masyarakat dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi usia lanjut dan menjalin
kemitraan dengan LSM, dunia usaha secara berkesinambungan.

24
2. Meningkatkan koordinasi dan integrasi dengan LP/LS di pusat maupun
daerah yang mendukung upaya kesehatan reproduksi usia lanjut.
3. Membangun serta mengembangkan sistem jaminan dan bantuan sosial
agar usia lanjut dapat mengakses pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Meningkatkan dan memantapkan peran kelembagaan dalam kesehatan
reproduksi yang mendukung peningkatan kualitas hidup usia lanjut.4

b. Strategi Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut


1. Melakukan advokasi, sosialisasi untuk membangun kemitraan dalam
upaya kesehatan reproduksi usia lanjut baik di pusat, provinsi dan
kabupaten/kota.
2. Memantapkan kemitraan dan jejaring kerja dengan LP/LS, LSM dan dunia
usaha untuk dapat meningkatkan upaya kesehatan reproduksi usia lanjut
yang optimal.
3. Mendorong dan menumbuhkembangkan partisipasi dan peran serta
keluarga dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut
dalam bentuk pendataan, mobilisasi sasaran dan pemanfaatan pelayanan.
4. Peningkatan profesionalisme dan kinerja tenaga serta penerapan kendali
mutu pelayanan melalui pendidikan/pelatihan, pengembangan standar
pelayanan dll.
5. Membangun sistem pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut melalui
pelayanan kesehatan dasar dan rujukannya serta melakukan pelayanan pro
aktif dengan mendekatkan pelayanan kepada sasaran.
6. Melakukan survei/penelitian untuk mengetahui permasalahan kesehatan
reproduksi usia lanjut dan tindak lanjutnya untuk pemantapan pelayanan
kesehatan reproduksi usia lanjut.4

c. Target yang akan dicapai


1. Cakupan pelayanan kepada usia lanjut minimal 50%.
2. Puskesmas yang menjalankan pembinaan kesehatan reproduksi kepada
usia lanjut 60 %.4

25
BAB 3
KESIMPULAN

Persoalan kesehatan reproduksi mencakup beberapa kelompok masalah


yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan infeksi menular
seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan reproduksi remaja, kesehatan reproduksi
usia lanjut, gender dan kekerasan terhadap perempuan. Berfungsinya sistem
reproduksi dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang terkait pada
setiap tahap dalam lingkungan hidup. masa kanak-kanak, remaja, pra-nikah,
reproduksi baik menikah maupun lajang dan menopause yang pada masa tersebut
akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi.
Pada saat yang bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis
yang menyertai perubahan itu, seprti faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik
yang brkaitan dengan kebijakan pemerintah. Peran pemerintah sangat penting
dalam pembuatan berbagai program yang berlaku secara masal terkait kesehatan
reproduksi untuk mengatasi berbagai permasalahan reproduksi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

26
27
DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap, Juliandi (2003). Kesehatan reproduksi. Bagian Kedokteran


Komunitas dan Kedokteran Pencegahan. Naskah Publikasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi
4. Harahap, Juliandi (2003). Kesehatan reproduksi. Bagian Kedokteran
Komunitas dan Kedokteran Pencegahan. Naskah Publikasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi.
6. Kementrian Kesehatan RI (2005). Kebijakan dan strategi nasional
kesehatan reproduksi di indonesia. Jakarta: Kemkes RI.
7. Kementrian Kesehatan RI (2016). Kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana. Jakarta: Kemkes RI.
8. Prasetyawati, Arsita Eka (2011). Ilmu kesehatan masyarakat untuk
kebidanan holistik. Yogyakarta : Nuha Medika.
9. Yanti (2011). Buku ajar kesehatan reproduksi. Yogyakarta : Pustaka
Rihama.
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2014 tentang
kesehatan reproduksi. Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 5559. 2014
11. Kementerian Kesehatan RI (2015). Pedoman pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai