PP Kesehatan Reproduksi - CSS
PP Kesehatan Reproduksi - CSS
Oleh :
Wunarti Rimadhani 1840312257
Preseptor :
dr. Aladin, Sp.OG(K), MPH
2
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang
terintegrasi kepada semua individu sesuai usia, sejak tahun 2002 Kementerian
Kesehatan telah mengembangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
(PKRT) di pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2014 berdasarkan laporan
dari Dinas Kesehatan Provinsi, telah ada sebanyak 2.133 puskesmas PKRT
dengan cakupan kabupaten/ kota yang memiliki minimal 4 puskesmas PKRT
sebesar 237 kabupaten/kota (45%) di seluruh Indonesia.9
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan
proses. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti dapat mempunyai kehidupan
seks yang aman dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi termasuk hak pria
dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara
keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang
tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang
memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan
anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. 2 Sedangkan
menurut PP RI no 61 tahun 2014 pasal 1, kesehatan reproduksi adalah keadaan
sehat secara mental, fisik, dan social secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi. 8
4
b. Faktor budaya dan lingkungan
Faktor budaya dan lingkungan yang mempengaruhi praktek tradisional
yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak
anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang
membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, pandangan agama, status perempuan, ketidaksetaraan gender,
lingkungan tempat tinggal dan cara bersosialisasi, persepsi masyarakat
tentang fungsi, hak dan tanggung jawab reproduksi individu, serta
dukungan atau komitmen politik.
c. Faktor psikologis
Sebagai contoh rasa rendah diri (“low self esteem“), tekanan teman sebaya
(“peer pressure“), tindak kekerasan dirumah/ lingkungan terdekat dan
dampak adanya keretakan orang tua dan remaja, depresi karena ketidak
seimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang
membeli kebebasan secara materi.
d. Faktor biologis
Faktor biologis mencakup ketidak sempurnaaan organ reproduksi atau
cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, keadaan gizi buruk kronis, anemia, radang panggul atau adanya
keganasan pada alat reproduksi. Dari semua faktor yang mempengaruhi
kesehatan reproduksi diatas dapat memberikan dampak buruk terhadap
kesehatan perempuan, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang baik,
dengan harapan semua perempuan mendapatkan hak-hak reproduksinya
dan menjadikan kehidupan reproduksi menjadi lebih berkualitas.
5
2.3.2 Tujuan Khusus
a. Meningkatnya komitmen para penentu dan pengambil kebijakan dari
berbagai pihak terkait, baik pemerintah dan non-pemerintah.
b. Meningkatnya efektivitas penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi
melalui peningkatan fungsi, peran dan mekanisme kerja di pusat, provinsi
dan kabupaten/kota.
c. Meningkatnya keterpaduan pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi bagi
seluruh sektor terkait, di pusat, provinsi dan kabupaten/kota, yang mengacu
pada kebijakan dan strategi nasional kesehatan. 4
6
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Ratifikasi CEDAW)
3. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
4. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
5. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
6. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2014 tentang
kesehatan reproduksi
7
6. Berbagai pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, misalnya, deteksi
dini kanker leher rahim dan kanker payudara, infertilitas, kesehatan
reproduksi pada lanjut usia, dan sebagainya.
8
sehat, status gizi dan status kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan untuk
ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas, serta kondisi kesehatan lingkungan.4
Penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Penyebab langsung
Penyebab langsung kematian ibu terjadi pada umumnya sekitar persalinan
dan 90 % terjadi oleh karena komplikasi. Penyebab langsung kematian ibu
menurut SKRT adalah perdarahan, eklampsia, infeksi, komplikasi
puerperium, abortus, trauma obstetrik, emboli obstetrik, partus lama/macet
serta lainnya.
2. Penyebab tidak langsung
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi,
rendahnya status kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu,
diantaranya kurang energi kronis (KEK), anemia gizi besi (AGB). Selain
itu juga terdapat keadaan “4 terlalu” yaitu kehamilan terjadi pada ibu
berumur kurang dari 18 tahun (terlalu muda), terjadi pada ibu berumur
lebih dari 34 tahun (terlalu tua), persalinan terjadi dalam interval waktu
kurang dari 2 tahun (terlalu sering) dan ibu hamil mempunyai paritas lebih
dari 3 (terlalu banyak).4
9
1. Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat
serta bayi lahir sehat.
2. Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal.4
10
f. Pembinaan tumbuh kembang anak.
g. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan
kelengkapan sarananya.
h. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan.4
11
e. Penguatan pemda Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi
program kesehatan (regulasi, pembiayaan).
f. Meningkatkan kemitraan lintas sektor dan swasta
g. Meningkatkan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui
pemahaman dan pelaksanan P4K serta Posyandu.
Terdapat dua indikator pemenuhan komponen kesejahteraan Ibu dan anak yaitu : 6
1. Penanganan Tenaga Medis pada Proses Persalinan
Pada tahun 2000, Pemerintah RI mencanangkan kebijakan Making
Pregnancy Safer (MPS) dengan 3 pesan kunci dalam upaya percepatan
penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir yaitu :
Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pertolongan yang
adekuat
Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca
keguguran
2. Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia
Pokok-pokok kegiatan imunisasi : 6
a. Imunisasi rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatsn imunisasi yang dilaksanakan
secara rutin dan terus-menerus, yang harus dilaksanakan pada periode
waktu tertentu yang telah ditentukan.
Vaksin untuk imunisasi rutin yang diwajibkan adalah :
1. BCG (diberikan sekali pada bayi usia 0-11 bulan)
2. DPT (diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu
antar pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi
pada umur 18 bulan dan 5 tahun.
3. Polio (imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir, dilanjutkan
pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio diberikan
saat berumur 4 hingga 6 tahun)
12
4. Campak (satu kali pada bayi usia 9-11 bulan)
5. Hepatitis B (diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi dilahirkan, 7
hari setelahnya, 1 bulan kemudian, dan 6 bulan setelah pemberian
pertama)
b. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin
dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil
pemantauan atau evaluasi.
Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan :
1. Backlog fighting
Adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1-3 tahun, dilakukan setiap dua tahun sekali.
2. Crash program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi
cepat karena masalah khusus, seperti :
a. Angka kematian bayi tinggi, angka kematian PD3I tinggi
b. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang
c. Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum
mendapatkan pada saat imunisasi rutin
3. Imunisasi dalam penanganan Kejadian Luar Biasa (Outbreak respons)
Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemologis penyakit.
4. Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam
wilayah yang luas dan waktu tertentu, dalam angka rangka pemutusan
mata rantai penyakit, antara lain :
a. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus
kehidupan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin
polio kepada setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa
13
mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian
imunisasi dilakukan 2 kali, masing-masing 2 tetes dengan selang
waktu 1 bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN,
disamping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai
booster atau imunisasi ulangan polio.
b. Sub PIN
Merupakan suatu upaya untuk memutus rantai penelaran polio bila
ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas (kabupaten)
dengan pemberian dua kali imunisasi polio dalam interval waktu
satu bulan secara serentak pada seluruh sasaran berumur kurang
dari satu tahun.
14
Tabel 2.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk di Indonesia Tahun 1971-2014.5
15
3. Fase Mengakhiri Kesuburan
Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30
tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan
kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi
kegagalan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko
tinggi bagi ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak
mengharapkan untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang cocok dan
disarankan adalah metode kontap, AKDR, implan, suntik KB dan pil KB.
Ruang lingkup program KB,meliputi: 5
1. Komunikasi informasi dan edukasi
2. Konseling
3. Pelayanan infertilitas
4. Pendidikan seks
5. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan
6. Konsultasi genetik
Langkah-langkah konseling keluarga berencana : 5
Sebelum menerapkan langkah-langkah konseling KB, konselor hendaknya
memperhatikan beberapa sikap yang baik selama konseling, sikap ini dikenal
sebagai SOLER yaitu:
16
banyak perhatian pada langkah yang satu dibanding dengan langkah yang lainnya.
Langkah konseling KB SATU TUJU yang dimaksud adalah sebagai berikut: 5
SA SApa dan SAlam kepada klien secara terbuka dan sopan. Berikan
perhatian sepenuhnya kepada mereka dan berbicara ditempat yang
nyaman serta terjamin privasinya. Yakinka klien untuk membangun rasa
percaya diri. Tanyakan kepada klien apa yang dapat dibantu serta jelaskan
pelayanan apa yang dapat diperolehnya.
T Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya. Bantu klien untuk
berbicara mengenai pengalaman KB dan kesehatan reproduksi serta yang
lainnya. Tanyakan kontrasepsi yang diinginkan oleh klien. Dengan
memahami kebutuhan, pengetahuan dan keinginan klien, kita dapat
membantunya
U Uraikan kepada klien mengenai pilihannya dan jelaskan mengenai
kontasepsi yang mungkin diingini oleh klien dan jenis kontasepsi yang ada
TU BanTUlah klien menentukan pilihannya. Bantulah klien berfikir mengenai
apa yang paling sesuai dengan keadaan kebutuhannya. Dorong klien untuk
menunjukan keinginannya dan mengajukan pertanyaan. Tanggapi secara
terbuka dan petugas mempertimbangkan kriteria dan keinginan
klienterhadap setiap jenis kontrasepsi. Tanyakan apakah pasangannya
akan memberikan dukungan dengan pilihannya tersebut.
J Jelaskan secara lengkap bagaimana menggunakan kontrasepsi pilihannya.
Setelah klien memilih jenis kontrasepsinya, jika diperlukan, perlihatkan
alat/obat kontasepsinya. Jelaskan bagaimana alat/obat tersebut digunakan
dan cara penggunaannya. Lalu pastikan klien untuk bertanya atau
menjawab secara terbuka.
U Perlunya dilakukan kunjungan Ulang. Bicarakan dan buat perjanjian
kepada klien untuk kembali lagi melakukan pemeriksaan lanjutan atau
permintaan kontrasepsi jika dibutuhkan.
Tabel 2.3 SATU TUJU 5
17
2. Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan pelayanan lain
dalam komponen kesehatan reproduksi
3. Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin.
4. Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan.
5. Meningkatnya peran serta LSOM, swasta dan organisasi profesi.
6. Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja.
7. Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan.4
b. Strategi Keluarga Berencana
1. Prinsip integrasi artinya dalam pelaksanaannya tidak hanya bernuansa
demografis tapi juga mengarah pada upaya meningkatkan kesehatan
reproduksi yang dalam pelaksanannya harus memperhatikan hak-hak
reproduksi serta kesetaraan dan keadilan gender.
2. Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program keluarga berencana
perlu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan institusi daerah sesuai
dengan UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000.
3. Prinsip pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas kepemimpinan
dan kapasitas pengelola dan pelaksana program nasional KB dengan
memberdayakan institusi masyarakat, keluarga dan individu dalam rangka
meningkatkan kemandirian.
4. Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraan yang tulus
dan setara serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerjasama
internasional.
5. Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan pada keluarga rentan,
perhatian khusus pada segmen tertentu berdasarkan ciri-ciri demografis,
sosial, budaya dan ekonomi dan keseimbangan dalam memfokuskan
partisipasi dan pelayanan menurut gender.4
c. Target yang akan dicapai
1. Penurunan Unmet Need KB sebesar 6%.
2. Cakupan pelayanan KB pada PUS 70%.
3. Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50 % dari angka pada
tahun 1997.
4. Penurunan kejadian komplikasi KB.
18
5. Penurunan angka drop out.4
19
3. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja
dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang.
4. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para
tenaga pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang
ada.
5. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan
berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait
serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan
kemandirian remaja.4
20
5. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi
materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan
kegiatan ekstrakurikuler seperti: bimbingan dan konseling, Pendidikan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
6. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar
sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di
masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok
anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok
Bina Keluarga Remaja (BKR).4
c. Target yang akan dicapai
1. Penurunan prevalensi anemia pada remaja menjadi kurang dari 20%.
2. Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%, dan
melalui jalur luar sekolah 20%.
3. Prevalensi permasalahan remaja secara umum menurun.4
21
Kegiatan pelayanan reproduksi remaja juga terdapat dalam program
generasi berencana (GenRe) yang dilaksanakn oleh BKKBN. Program GenRe
dilaksanakan melalui pendekatan dari dua sisi yaitu pendekatan kepada remaja itu
sendiri dan pendekatan pada keluarga yang memiliki remaja. Pendekatan kepada
remaja dilakukan melalui pengembangan pusat iformasi dan konseling
remaja/mahasiswa (PIK R/M) sedangkan pendekatan kepada keluarga dilakukan
melalui pengembangan kelompok bina ketahanan remaja (BKR).7
22
1. Penanggulangan dilaksanakan dengan memutuskan mata rantai penularan
yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak terlindungi, penggunaan
jarum suntik tidak steril pada pengguna Napza suntik, penularan dari ibu
yang hamil dengan HIV (+) ke anak/ bayi.
2. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi profesi,
masyarakat bisnis, LSM, organisasi berbasis masyarakat, pemuka agama,
keluarga dan para Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
3. Setiap orang mempunyai hak untuk untuk memperoleh informasi yang
benar tentang HIV/AIDS.
4. Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya.
5. Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS.
6. Adanya hak memperoleh pelayanan pengobatan perawatan dan dukungan
tanpa diskriminasi bagi ODHA.
7. Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk pelayanan
pengobatan, perawatan dan dukungan terhadap ODHA dan
mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang telah tersedia.
8. Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan sukarela dan
didahului dengan memberikan informasi yang benar, pre dan post test
konseling.
9. Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan jaringan
transplan harus bebas dari HIV.4
23
5. Melengkapi PP - UU menjamin perlindungan ODHA.
6. Pembiayaan pencegahan dan penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS
terutama akan menggunakan sumber-sumber dalam negeri. Pemerintah
mengupayakan Bantuan Luar Negeri.
7. Melakukan monitoring dan evaluasi program dilakukan berkala,
terintegrasi dengan menggunakan indikator-indikator pencapaian dalam
periode tahunan maupun lima tahunan.4
c. Target yang akan dicapai
1. Puskesmas melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS
2. Puskesmas yang menjalankan pencegahan umum terhadap infeksi.4
24
2. Meningkatkan koordinasi dan integrasi dengan LP/LS di pusat maupun
daerah yang mendukung upaya kesehatan reproduksi usia lanjut.
3. Membangun serta mengembangkan sistem jaminan dan bantuan sosial
agar usia lanjut dapat mengakses pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Meningkatkan dan memantapkan peran kelembagaan dalam kesehatan
reproduksi yang mendukung peningkatan kualitas hidup usia lanjut.4
25
BAB 3
KESIMPULAN
26
27
DAFTAR PUSTAKA
28