Disusun oleh:
Sevi Linda Wati 2021406403004
LAMPUNG
2022
i
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Kajian Drama dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berusaha dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini
dapat selesai tepat waktu dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Oleh karena itu, penulis sangat menerima
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2021406403004
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Tujuan ................................................................................................................................. 2
Kesimpulan ......................................................................................................................... 7
Saran ...................................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sastra adalah suatu seni yang hidup bersama-sama dengan bahasa. Tanpa bahasa
sastra tidak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan,
maupun tertulis. Walaupun perwujudan sastra menggunakan bahasa, kita tidak dapat
memisahkan sastra dari bahasa, ataupun membuangnya dari peradaban bahasa itu sendiri.
Drama adalah salah satu jenis karya sastra yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
karya sastra jenis lain, yaitu unsur pementasan yang mengungkapkan isi cerita secara
langsung dan dipertontonkan di depan umum. Oleh karena itu setiap tokoh mempunyai sifat-
sifat kritis sebagai penyampai amanat dari pengarangnya, misalnya satire, humor, ambiguitas,
sarkasme ataupun kritik-kritik sosial lainnya yang tergambar melalui dialog-dialog
antartokoh. Unsur paling pokok dalam sebuah drama ada empat, yaitu lakon (naskah drama),
pemain (aktor atau aktris), tempat (gedung pertunjukan), dan penonton. Pada hakekatnya
Prosa Fiksi dalam bentuk naskah drama adalah suatu cerita rekaan yang didalamnya terdapat
struktur yang di bangun oleh unsur-unsur sastra.
Pada sebuah naskah drama terdapat beberapa pendekatan-pendekatan. Setiap naskah drama
dapat di analisis dan dikaji melalui pendekatan drama. Yaitu: Pendekatan Objektif,
Pendekatan Mimesis, Pendekatan Ekspresif, Pendekatan Pragmatik, Pendekatan
Posmodernisme, Pendekatan Studi Kultural, dan Pendekatan Feminisme.
Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan drama?
1
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu drama.
3.Untuk mengetahui pendekatan apa yang digunakan oleh penulis dalam Mengkaji Naskah
Drama “Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang”
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Drama
Drama adalah sebuah genre sastra dengan penampilan fisiknya memperlihatkan
secara verbal adanya dialog atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain itu,
lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk
pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang
dilakukan oleh tokoh (Wahyudi, 2006: 95). Drama (karya sastra) merupakan sebuah struktur.
Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling
menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau
tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling
terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung.
Jenis-jenis Drama
Pada umumnya drama di bagi menjadi 6 bagian, yaitu:
1)Drama Tragedi
2)Drama Komedi
3)Drama Tragedi-Komedi
4)Drama Opera
5)Drama Pantonim
6)Drama Bangsawan
Pendekatan Drama
Dalam sebuah drama memiliki 6 pendekatan yaitu:
6. Pendekatan Studi Kultural (suatu proyek yang mengasikkan yang mengisahkan kepada kita
cerita tentang dunia yang tengah berubah dengan harapan agar kita dapat memperbaikinya)
7. Pendekatan Feminisme.
Hasil Mengkaji Naskah Drama “Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang”
Dengan Pendekatan Objektif.
1) Tema
Tema yang saya dapatkan dari naskah drama ini adalah bagaimana pemikiran orang
masa kini yang hanya memikirkan logika tanpa melihat realita yang terjadi.
2) Latar atau Setting
Latar tempat:(Latar tempat peristiwa tersebut berada di pegunungan)
Yang dapat dilihat pada dialog berikut:
Orang tua: Apa kau kira hakikat tiang gantungan ini?( dikejauhan terdengar tembakan
disusul suara-suara salah satunya menyerukan perintah) Mat! Kau tempuh jalan yang
mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki, mungkin ia mmenempuh itu, begitu
kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu dilereng sana. (suara laumnya)
Latar waktu:(latar waktu pada drama ini adalah saat petang atau hari menuju maghrib)
hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut:
“Perempuan: selamat petang!
Orang tua:selamat…..
Latar suasana:(sedih,bahagia,tegang,mengharukan)
Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut:
“Suara sepatu mendekat,tembakan,pergulatan. Lantas senyap. Panggung terang. Pada
tiang gantungan terayun-ayun mayat berpaaian dinas, lengkap dengan senjatanya.
3) Alur
Alur dalam drama ini adalah alur maju.
4) Penokohan
a.Orang tua
Sebagai tokoh utama yang digambarkan dengan keputus asaan dan ketidak
berdayaannya menjalani kehidupannya. Sehingga berniat untuk bunur diri.
b. Anak muda
sebagai tokoh yang terpengaruhi oleh orang tua bahwa kehidupan adalah pilihan untuk
mati dan dimatikan.
c. Perempuan
Perempuan ini mencari suaminya yang sudah lama tidak kembali. Ia berusaha dengan
5
penuh kesabaran mencari suaminya yang ternyata sudah dibunuh oleh orang tua.
d. Gembala : Sebagai tokoh yang memberikan informasi kepada orang tua tentang hal
apa yang baru saja ia saksikan.
5)Sudut Pandang
Menggunakan sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga
6) Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam naskah drama ini menggunakan majas pleonasme, personifikasi,
hiperbola.
-Ia terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia.
7) Amanat
Jadilah seseorang yang mampu membentengi diri sendiri agar tidak terjerumus pada
perbuatan yang tidak benar.
6
BAB III
PENUTUP
Simpulan
*Drama adalah salah satu jenis karya sastra yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
karya sastra jenis lain yaitu unsur pementasan yang mengungkapkan isi cerita secara
langsung dan dipertontonkan didepan umum.
*Pendekatan dalam drama ada tujuh yaitu: pendekatan objektif, pendekatan mimesis,
pendekatan ekspresif, pendekatan pragmatik, pendekatan posmordenisme, pendekatan studi
kultural, dan pendekatan feminism.
*Jenis-jenis drama ada enam yaitu: drama tragedi, komedi, tragedi-komedi, opera, pantonim,
dan bangsawan.
*Naskah drama “Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang” dikaji oleh penulis dengan
pendekatan objektif.
Dalam menganalisis naskah ini menggunakan pendekatan objektif yaitu analisis yang
menyangkut tentang unsur intrinsik seperti tema,latar,alur,penokohan,sudut pandang,gaya
bahasa,dan amanat.
Saran
“jadilah seseorang yang mampu membentengi diri sendiri agar tidak terjerumus pada
perbuatan yang tidak benar”
7
DAFTAR PUSTAKA
https://www.detik.com
https://teaterkkunimed-wordpress-com
LAMPIRAN
Sinopsis dari naskah drama Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang
Dalam drama ini menceritakan bagaimana keinginan dan kematian itu sejalan. Apa yang kita
inginkan tidak bisa terlepas dari mati. Kembali saya sebagai pembaca karya sastra Iwan
Simatupang dibuat bingung dan tidak mengerti dari buah pikiran yang dituangkannya ini.
Mungkin itu sesuatu yang wajar bila dilihat dari psikologis pengarang, kesusastraan Iwan
memang bermula dari filsafat ilmu yang selalu memunculkan sesuatu yang baru. Sesuatu
yang lain dan terkadang tak sampai pada akal dan pikiran kita sebagai pembacanya.
Bagaimana mungkin dan tidak habis pikir, jika menafsirkan melalui judul saja saya sebagai
pembaca dibuat pusing dan tak mengerti. Kisah ini menceritakan tentang tokoh yang bernama
orang tua yang selama hidup akhirnya berhasil mencapai keinginannya membangun tiang
gantung sesuai keinginannya selama ini. Tokoh orang tua menganggap sebuah tiang gatung
itu adalah sebuah penentu awal dan akhir, apakah kita yang akan dimatikan atau mematikan
dalam tiang itu. Pada hari itu datang pula tokoh anak muda yang heran melihat tiang besar itu
dan menganggap orang tua sebagai musuh. Anak muda mencoba membunuhnya, namun
tokoh orang tua mencoba melawan dengan cara meyakinkan dan mempengaruhi pikiran anak
muda. Keinginan anak muda pun sirna ketika ia mendengarkan dan menafsirkan kata-kata
yang terucap dari mulut orang tua, ia menjadi terpengaruhi bahwa kehidupan adalah pilihan
untuk mati dan dimatikan. Dari pengaruh yang telah dilakukannya itu tokoh orang tua
berhasil menghasut dan membuat anak muda menjadi pelengkap dari tiang gantungan
barunya, menjadi akhir kehidupan bagi tokoh anak muda.
Berlanjut ke adegan yang ke-2, setelah terbunuhnya anak muda yang merupakan prajurit
perang kemudian datanglah tokoh perempuan yang sedang mencari kekasihnya, bertemu
tokoh orang tua dan bertanya mengenai keberadaan pacarnya. Orang tua yang tak merasa
bersalah menjelaskan keberadaannya bahwa pacarnya telah tiada. Tokoh perempuan yang
tidak bisa menerima keadaan akhirnya bunuh diri dan begitu pula dengan tokoh orang tua
yang juga mengakhiri hidupnya.
Naskah Drama Bulan Bujur Sangkar
ADEGAN 1
Kau siap. Betapa megah. Hidupku seluruhnya kusiapkan untuk mencari jenis kayu termulia
bagimu. Mencari jenis tali termulia. Enam puluh tahun lamanya aku mengelilingi bumi,
pegunungan, lautan, padang pasir. Harapan nyaris tewas. Enam puluh tahun bernapas hanya
untuk satu cita-cita. Akhirnya kau ketemu juga olehku. Kau kutemukan jauh di permukaan
laut. Setangkai lumut berkawan sunyi yang riuh dengan sunyinya sendiri. Kau kutemui jauh
tinggi. Sehelai jerami dihimpit salju ketinggian, yang bosan dengan putihnya dan tingginya.
Kau siap! Kini kau bisa memulai faedahmu!
ORANG TUA :Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing.
Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan atau yang
dimatikan.
ORANG TUA :Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan.
ORANG TUA :Tunggu dulu! Jangan tergesa. Tiap laku harus mentaati suatu gaya.
ANAK MUDA :Laku? Gaya? Persetan semuanya! Yang penting bagiku adalah kesudahan
lakon. Berakhir! Alangkah bahagianya aku bila aku tahu, akulah pembuat keakhiran itu.
ANAK MUDA :Lakon Bapak berakhir kini! Kini! Akulah yang mengakhirinya.
ORANG TUA :Lakon tak dapat diakhiri, tapi mengakhiri diri sendiri. Tenaga lakon sudah
hadir dalam dirinya, sejak semula. Adegan demi adegan, babak demi babak.
ORANG TUA :Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan? Pengarang melukiskan
pada akhir lakonnya kata-kata “layar turun”. Apa nyatanya? Layar turun, ruang pertunjukan
terang kembali. Barulah lakon sesungguhnya mulai bagi penonton. Ia pulang ke rumah,
meletakkan dirinya di ranjang untuk menggoreskan titik ke dalam kelam biliknya. Apa
selanjutnya terjadi, sesudah layar turun untuk kali penghabisan tadi?
ANAK MUDA :Tanya yang bukan tanya; bila “tamat” berarti “mati”. Ha ha ha. Apa yang
terjadi sesudah mati? Tentu tak apa-apa, sebab mati adalah keakhiran mutlak.
(MENYERGAP).Mutlak!
ORANG TUA :Alangkah simpelnya, menganggap mati sebagai keakhiran mutlak. Kata
siapa? Lihat setiap agama, satu per satu mereka memperoleh rangsang asasinya dalam rumus
“Maut sebagai Awal mutlak”.
ANAK MUDA :Kita. Bapak, aku. Aku yang hendak bunuh Bapak.
ANAK MUDA :Kelanjutan waktu mengantar Bapak ke taraf di mana kematian bagi Bapak
bukan tak mungkin menjadi kenyataan. PAUSE. Tapi karena taraf itu ikut dalam kelanjutan
waktu, maka kematian Bapak itu mengantar dirinya sendiri ke muka. Di sini ia sudah bukan
kematian lagi.
ORANG TUA :Lalu?
ORANG TUA :Kematianku menjadi kehidupan? Oh, alangkah indahnya kematian kalau
begitu.(MEREKA BERPELUKAN).
ORANG TUA :Dari mana kau menarik kesimpulan bahwa aku punya sangkut paut tertentu
dengan hukum, dengan hukuman, dan terlebih dengan hukuman mati?! Aku tak
menyukainya!
ANAK MUDA :Saya tak mengerti lagi. Bapak dirikan tiang gantungan. Tentu maksud
Bapak nanti akan ada seseorang atau lebih yang digantung di sini, hingga mati. Bukankah
begitu? Saya tak dapat menerima anggapan, Bapak dirikan tiang gantungan di kaki gunung
sini sekadar iseng saja atau sekadar menggantung orang hingga separuh mati saja.
ORANG TUA :Tentu saja tidak. Tiang gantungan ini merupakan mahkota cita-cita yang
dianut sepanjang suatu hidup penuh, 60 tahun. Dari semula sudah sejelasnya tafsiran ini pada
diri saya.
ORANG TUA :Bahwa pada mulanya, pada akhirnya, hidup adalah maut juga.
ANAK MUDA :Jadi penganut cita yang Basi? Adakah ini sesuai dengan apa yang disebut
sebagai Cita?
ORANG TUA :Tidak. Oleh sebab itulah aku merencanakan sesuatu yang asli padanya.
ANAK MUDA :Caranya?
ANAK MUDA :Ha ha ha. Apakah ini juga Asli? Saya khawatir, Bapak sedemikian
menggolongkan diri ke dalam barisan pembunuh-pembunuh yang memenuhi penjara-penjara.
Sedangkan Bapak adalah Seniman. Seorang seniman besar!
ORANG TUA :Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka. Tidak. Sungguh
tepat penamaan yang kauberi tadi. Pembunuhan yang kurencanakan ini adalah seni. Ya, aku
seniman. Seniman besar.
ORANG TUA :Pada saat ia, yang hidup, yang akan kumatikan, menyatakan kehadirannya
padaku.
ANAK MUDA :Ia Bapak gantung begitu saja.
ORANG TUA :Maksudmu?
ANAK MUDA :Tanpa basa-basi lebih dulu? Tanpa tanya apa rela ia dimatikan?
ORANG TUA :Tentu! Tentu. Ia tak akan menolak. Segalanya punya taraf.
ORANG TUA :Tentu
ORANG TUA :Oleh sebab itu ia, seperti kukatakan tadi, dari semula adalah maut.
ANAK MUDA :Ia pasti tak akan ajukan protes? Protes terhadap subtitusi kedua kondisinya
itu?
ORANG TUA :Aku tak melihat alasan kuat yang menyebabkan ia mesti protes terhadap
kematiannya.
ORANG TUA :Ya atau Tidak, sama saja bagiku. Yang penting nilainya! Kematian berguna
bagi aku. Sederhana, bukan?
ANAK MUDA ;Bapak ingin memaksa saya? Ini membunuh saya namanya. Sedang rencana
Bapak itu bertolak dari kemauan bebas.
ORANG TUA :Ah, sama saja. Lagipula bagaimana mungkin Maut dapat digambarkan
sebagai sifat Semula?
ANAK MUDA :Sungguh suatu Soal. Itulah hakikat cita Bapak itu. Oleh sebab ituh saya
protes terhadapnya. Ia dapat dijadikan dalil kesewenangan.
ORANG TUA :Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan
rambut panjang kusut begini, dengan pakaian rimba, dengan senjata pencabut nyawa, dengan
dua mata yang menyinarkan keadaan di perbatasan dua bumi, dengan nada-nada suara yang
mendambakan penjungkiran seluruh alam. Bukankah ini tampang seorang anarkis?
ANAK MUDA :Dapatkah penampikan batas dicerca, bila batas sudah tidak dapat lagi
dialami sebagai jaminan mungkinnya keyakinan dan khayal?
ORANG TUA :Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di
tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak, nak. Aku tak ada
melihat kebulatan caramu itu. Pada hakikatnya kau adalah pengnut batas juga. Penganut tata
tertib, tata krama, tata negara.
(Di kejauhan terdengar tembakan, disusul suara-suara. Salah satunya menyerukan perintah)
“Mat! Kau tempuh jalan yang mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki. Mungkin ia
menempuh itu. Begitu kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu di lereng sana.”(Suara lain)
“Saya, Pak.”
ORANG TUA :Mengapa batas yang kaucari itu, tak ingin kautemui saja pada tali ini. Ia
terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia. Lekas! Waktu
tak banyak lagi bagi kau.
ANAK MUDA :Tidak, Pak! Pun tali ini terlalu lurus. Terlalu licin seperti tata tertib, tata
krama, tata negara. Batas yang kau cari itu menolak tiap yang lurus, yang licin, yang bagus,
yang sopan, yang indah, yang beradab, yang berkebudayaan.
ANAK MUDA :Jangan menangis, Algojo; ingat, tingkah laku harus sesuai dengan….
ANAK MUDA :Bagus! Bagus! Buat apa menangis; Ayo berpestalah! Berhari besarlah!
Rayakan keberangkatan suatu watak ke kerajaannya. Kerajaan dari tiada batas.
ADEGAN II
ORANG TUA :Hari Besar. Hari ini aku merayakan berangkatnya suatu watak besar ke
kerajaan tiada batas. Watak kecil harus selamat tinggal. Peranannya terdiri atas cuma
mengucapkan kata-kata “Selamat tinggal!” saja. Sesudah itu ia mesti menghilang lagi. Lari ke
belakang layar, terus ke jalan raya. Di situlah wajahnya. Sesekali ia memperkenankan dirinya
libur ke kakilima-kakilima, menyorakkan “eli eli lama sabachtani” kepada setiap orang yang
lalu, yang berangkat.
(Pause).
Itulah duka ceritamu, Pahlawan. Kau tak lagi puas dengan ukuranmu yang kecil. Kau ingin
memperbesarnya dengan menyatukan diri dengan pengertian-pengertian, seperti “mengejar”,
“memburu”. Darimana kauperoleh hak berbuat demikian, sedang “mengikut” saja tak pernah
kaulakukan? Tidak, Pahlawan. Mengejar, bahkan mengikuti dari belakang adalah hak-hak
istimewa yang hanya dikaruniakan dewa-dewa kepada mereka yang sudah mengalami
kenikmatan berangkat. Dari mengucapkan “selamat tinggal”. Tahukah kau, bagaimana sikap
seseorang yang berangkat? Ia menjabat tangan-tangan kerdil kotor dan berbau kesetiaan
harian dari mereka yang tinggal. Bila perlu, ini dilakukannya dengan iringan senyum palsu di
mulutnya. Senyum ini perlu untuk menenteramkan mereka agar sabar dengan hasilnya.
Kedok seperti ini perlu bagi mereka yang tinggal. Sebab segera ia berangkat, manusia-
manusia yang tinggal ini meletuskan perang saudara. Kedok itu mereka perebutkan. Bila
Magrib tiba, pulanglah mereka ke rumahnya masing-masing. Sambil membaca mantera-
mantera dan jampi-jampi, mereka gulung sobekan-sobekan kedok tadi menjadi azimat.
Azimat baru! Bila anjing melengkingkan gonggongan terakhirnya, mengantar binatang
berangkat dini hari, dengan rahasia digoreskannyalah sebuah kata pada azimat itu.
(Kepada mayat.)
Tahukah kau, Pahlawan! Kata apa? “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. “Selamat Tinggal!” Tapi
aku telah hindarkan penggulungan azimatmu.(Memegang jari mayat).
Tangan dan jari-jayang kaubikin kasar bentuknya dengan kesibukan mengejar dan mencabut
nyawa ini, tidak perlu kausiksa lebih lama lagi dengan memegang kalam untuk menuliskan
“Selamat Tinggal!” Ha ha ha. Aku telah muncul di panggung. Berangkatmu dari bumi adalah
berangkat tanpa selamat tinggal. Berangkat yang human, humanitis, psikologis, social
paedagogis, sosiologis, ekonomis; berangkat yang prosais, puitis, liris, ritmis.
(Pause)
Berangkat yang hina. Tanpa rasa puas dari seorang yang telah memperolokkan orang lain;
memperolokkan masyarakat; memperolokkan umat manusia. Berangkatmu adalah persis
jatuhnya cangkir yang sudah punya retak, diletakkan tak hati-hati di pinggir meja. Kau jatuh
berserakan. Nyonya rumah menjawab tuan rumah “O, hanya mangkok yang sudah retak itu,
Pak; ia toh sudah lama hendak kubuang saja.” Tahu apa kata tuan rumah? “Bagus. O, Mien.
Bawakan aku lagi teh secangkir, tapi dalam mangkok porselin yang baru kita beli itu, hmm?”
Kau dicampakkan dalam tong sampah oleh seorang babu pengomel. Ha ha ha. Tong sampaj!
Selamat tinggal. Ha ha ha.
PEREMPUAN :… petang!
PEREMPUAN :Aku?
ORANG TUA:A….
PEREMPUAN:… ku!
DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSAN-LETUSAN SENAPAN, SAHUT MENYAHUT.
SESUDAH MITRALIUR BERUNTUN, IA TAMPAK LEGA. SAMBIL MENGUCAPKAN
SYUKUR, IA TERISAK-ISAK. MENANGIS.
ORANG TUA :Syukurlah, ia masih hidup. Teriakannya yang terakhir tadi belum akhir
baginya. Akhirnya ia sampai juga ke kerajaannya.
ORANG TUA :Siapa tak mengenalnya!? Itulah cacat dari tiadanya batas. Garis yang
membulatkan diri kita tak ada. Kita hanya lobang saja di udara.
ORANG TUA :Di mana dia tak singgah? Lobang ada di segala, ada di tiada. Baginya tak ada
perairan. Teritorial. Ia dapat berlabuh di mana ia suka. Yang penting baginya adalah singgah.
Itu pengertian gaib antara Tiba dan Berangkat.
PEREMPUAN :Ia baru saja dari sini. Baunya masih mengendap di sini. Bagaimana rupanya
kini, Pak? Kuruskah? Gemukkah? Masih utuhkah tubuhnya? Belum pincang? Tuli? Buta?
Adakah masih tahi lalat pada keningnya atas alis matanya sebelah kiri? Tahi lalat sebesar biji
delima? Tahi lalat berwarna ungu tua, sandaran bibirku di kala rindu. Tahi lalat, bukit dalam
impianku, dari balik mana Bulan Bujursangkar terbit. Tapi kini, kebun belakang rumah kami
habis dirusak babi hutan berturunan dari pegunungan. Delima habis mereka injak-injak,
bijinya berserakan. Bulan Bujursangkar tak muncul lagi. Ke mana bibirku harus
kusandarkan?
ORANG TUA :Apa kurangnya bibir yang tak punya sifat-sifat yang kausebut itu?
PEREMPUAN :Adakah yang lebih jelek daripada Garis Lurus? Bibir yang mencari
sandaran pada tiang gantungan adalah Garis Lurus.
PEREMPUAN :Bibir mayat. Hendak ke mana segalanya yang serba lurus ini mengunjuk?
ORANG TUA :Hampir lupa aku, kau adalah tunangannya.(Menunjuk gunung di kejauhan).
Tunangan seorang penantang yang serba lurus.
PEREMPUAN :Kata siapa? (Orang tua hendak menjawab). Cinta di seberang sana dari
Maut.
ORANG TUA :Coba sebutkan perasaan besar manusia, yang bukan tegak di seberang sana
dari maut.
PEREMPUAN :Sebaiknya? Adakah tiang gantungan ini bapak dirikan berasas Susila yang
dikandung pengertian “Sebaiknya” ini juga? Saya kuatir, sampai kiamat tak akan ada orang
yang Bapak gantung.
ORANG TUA :Jadi, menurut pendapat kau, akulah pembunuh pahlawan kita yang mencoba
melakukan tugasnya ini? Begitulah jadinya, kalau kau terlalu lama jadi ditelan filsafat.
ORANG TUA :Persetan sarjana. Kesarjanaan! Ha ha ha. Mari kita bangun kembali peristiwa
ini. (Menunjuk mayat). Ia datang ke mari untuk apa?
PEREMPUAN :Melakukan kewajibannya.
ORANG TUA :Bagus. Bagaimana ia kini?
PEREMPUAN :Adakah penolakan terhadap kesarjanaan itu berarti Bapak lalu menganut
kepura-puraan.
ORANG TUA :Persetan Sofisme. Pahlawan kita ini harus berterima kasih padaku. Ia telah
kubebaskan dari peranannya yang pelik. Yakni mempunyai kewajiban. Kewajiban membuat
kita terlalu sadar akan diri sendiri. Kita menjadi angkuh. Bila ukuran watak yang
mendukungnya tak seberapa, maka celakalah. Kewajiban itu lalu menjadi bentuk tertentu dari
kesewenangan. Ya, tunanganmu tadi menolak dalilku yang menyatakan bahwa
kesewenangan sama saja dengan Anarki.
PEREMPUAN :Tapi….
ORANG TUA :Tunggu. Ha ha ha. Mengapa aku hampir lupa, cinta kadang-kadang berarti
kesamaan-kesamaan. Dalilku tak mengandung arti meremehkan Anarki maupun
kesewenangan. Aku hanya ingin mengemukakan hierarki dari pengertian-pengertian saja.
Anarki hanyalah sebagian kecil dari kesewenangan.
ORANG TUA :Tidak. Hingga kini, anarki hanya dapat mempertahankan dirinya lewat rasa
tal puas, lapar, rapat-rapat rahasia, sabotase, peledakan-peledakan bom waktu, dan
penyebaran pamflet-pamflet gelap. Penghadapan wajah ke bawah tanah inilah yang
senantiasa tak dapat kusetujui. Bagaimana bahagia di atas tanah dapat diperjuangkan di
bawah tanah? Tidak! Bahagia adalah juga masalah sinar matahari. Masalah harmoni.
ORANG TUA :Karena harmoni yang kukatakan itu? Aku bahkan terus bertarung melawan
klasikisme. Aku ingin memancungnya bila saja, di mana saja kutemui.
PEREMPUAN :Mengapa?
ORANG TUA :Karena ia memperkenankan dirinya menciptakan pada manusia kini rasa
asing terhadap dirinya sendiri. Masa kita kini adalah masa yang justru mengabdi kepada yang
serba tak harmonis. Disharmoni. Demikian ibadah zaman baru. Lihat saja seni … musik
modern, sastra modern, drama modern.
ORANG TUA :Seorang gembala cilik. Tiap hari ia ke lereng gunung ini menjagai domba-
dombanya. Anak haram jadah?!
ORANG TUA:Ya, setiap kali ia kudengar, aku selalu dan seolah dihadapkan dengan sebuah
lukisan yang oleh suatu prasangka tertentu dalam diriku tak kusukai.
ORANG TUA:Tidak.
ORANG TUA :Sorga.
PEREMPUAN:Alasan Bapak.
ORANG TUA:Tanpa konflik. (Suara serunai. Sesekali gembala menyeru dombanya. Orang
tua gelisah).
Stop! Hentikan!
ADEGAN III
Ke mana ia pergi? Mengapa ia pergi? Bodoh aku ini. Kubiarkan ia pergi. Sedang
kesempatan sudah begitu bagusnya. Aku ngomong saja tentang lobang, peraturan teritorial,
tahi lalat, warna ungu tua, bulan bujursangkar, delima, celeng, ilmu ukur baru. Ia perempuan
cantik. Begitu cantik. Buah dadanya, buah dadanya! Ia akan kurebahkan di sini. Ah, peduli
apa kalau pun ada orang melihatnya. Dan apabila ia meronta? Tentu saja ia meronta Ronta
keperawanan. Tiap terjang tumitnya di dadaku ini, merupakan medali cinta tertinggi bagiku.
Kebetinaan harus ditemui di balik kerusakan. Di balik kutang dan celana sutra yang dirobek
paksa. Di balik rintih penyerahan tubuh dengan paksa. Tanpa kekerasan segalanya hanya
akan menjadi masalah garis lurus. Mengapa aku harus enggan memperkosanya? Aku, yang
sudah berusia 60 tahun. Yang tak pernah berani membuka hatiku kepada kejelitaan jenis
betina dari umat manusia. 60 tahun adalah usia yang patut diakhiri. Atas kehendak bebasku,
siapa sanggup melarangnya? Seperti juga, siapa yang sanggup melarang aku memperkosa
perempuan tadi, andai ia masih di sini sekarang. Dan mesti dia orangnya. Gadis, remaja,
jelita, cendekia, jenial, setia, penuh cita-cita. Pendeknya perempuan sempurna. Dan dia ini
tunangan dari pemuda sempurna. Laki-laki sempurna. Gagah, tampan, jujur, berani,
berperadaban jasmani dan rohani yang tinggi, suka malam sunyi dengan gonggong anjing di
kejauhan. Suka memandangi bintang-bintang. Suka puisi, suka drama, suka segala yang
indah. Pendeknya laki-laki sempurna, Perempuan sempurna dengan laki-laki sempurna.
Akhirnya ia berhenti juga. Akhirnya ada manusia yang mematuhi aku. Berhentiiii. (Gaung
Bersahutan).
Nah, aku kini beroleh titik mula. Hai bimbang, enyah kau! Serunai dan gembala telah
tunduk. Aku kini mulai dengan babak pertama pelaksanaan citaku. Apa kata filsuf Perancis
yang kenes itu? Cogito… Persetan bahasa latin. Biar kucoba dengan bahasa ibuku sendiri.
Aku membunuh oleh sebab itu aku ada!!! Nah, itu dia. Aku membunuh oleh sebab itu aku
ada! Ayo para sarjana, catat filsafat baru ini. Lekas tulis buku-buku pengantar tentangnya.
Filsafat sekarang adalah “Filsafat pengantar filsafat” saja. Itulah daya maksimum manusia –
pengantar. Mengantar hingga sampai pintu tertutup saja. Apa di balik pintu tertutup itu?
Kamar kosong. Pada kuncinya tersangkut sobekan kertas karton kecil dengan tulisan eli eli
lama sabachtani. Ha ha ha. Eli eli lama sabachtani.
ORANG TUA :Pemuda? Rambutnya panjang? Pakaiannya macan loreng? Tahi lalat atas alis
sebelah kiri? Berwarna ungu tua? Di mana ia sekarang?
ORANG TUA :Telanjang?
ORANG TUA: (Berbisik). Babi hutan berturunan dari pegunungan. Buah delima habis
mereka injak-injak. Bulan bujursangkar tak terbit lagi. Tak terbit lagi. PAUSE. Aku
membunuh, oleh sebab itu aku ada. Aku yang menyumbangkan bab terakhir pada ilmu
filsafat. Haai sarjana-sarjana filsafat, catat ini Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.
ORANG TUA MENGAKHIRI HIDUPNYA. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.