Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal merupakan suatu kondisi

yang dapat mengancam jiwa seseorang, hal ini dapat terjadi selama

kehamilan, ketika kelahiran bahkan saat hamil. Sangat banyak sekali penyakit

serta gangguan selama kehamilan yang bisa mengancam keselamatan ibu

maupun bayi yang akan dilahirkan. Kegawatan tersebut harus segera

ditangani, karena jika lambat dalam menangani akan menyebabkan kematian

pada ibu dan bayi baru lahir (Walyani & Purwoastuti, 2015).

Kejadian kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah

kesehatan yang sangat penting yang dihadapi di Negara-negara berkembang.

Berdasarkan riset World Health Organization (WHO) pada tahun 2017

Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia masih tinggi dengan jumlah 289.000

jiwa. Beberapa Negara berkembang AKI yang cukup tinggi seperti di Afrika

Sub-Saharan sebanyak 179.000 jiwa, Asia Selatan sebanyak 69.000 jiwa, dan

di Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa. AKI di Negara – Negara Asia

Tenggara salah satunya di Indonesia sebanyak 190 per 100.000 kelahiran

hidup, Vietnam sebanyak 49 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand sebanyak

26 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei sebanyak 27 per 100.000 kelahiran

hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2017).

Hasil dari data tersebut, menyampaikan bahwa AKI di Indonesia

masih tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Tingginya

1
2

AKI selama tahun 2010-2013 disebabkan oleh perdarahan saat bersalin,

selain itu juga ada 4 penyebab utama dari kematian ibu, janin, dan bayi baru

lahir (BBL) yaitu dapat disebabkan oleh adanya perdarahan saat bersalin,

infeksi sepsis, hipertensi dan preeklampsia atau eklampsia, dan persalinan

macet atau distosia (Walyani & Purwoastuti, 2015). Berdasarkan Data yang

telah disampaikan oleh Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, bahwa di

Indonesia AKI pada tahun 1991 sampai dengan 2007 mengalami penurunan

dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup, sejak tahun 2012

menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan jumlah 359 kematian ibu

per 100.000 kelahiran hidup, namun pada tahun 2015 jumlah AKI

menunjukkan penurunan dari 359 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup

(Kemenkes, 2016). AKI ini belum memenuhi target Millinium Development

Goals (MDGs). Target Millinium Development Goals (MDGs) tahun 2015

menurunkan angka kematian ibu dengan jumlah 102 per 100.000 kelahiran

hidup (Kemenkes, 2017). Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya di

RSUP Dr. Kariadi Semarang menyatakan bahwa, kejadian penyakit jantung

yang menyertai kehamilan ditahun 2005-2009 antara 0,4%-4,1% dengan

11.199 persalinan. Terdapat 109 kasus dan 17 kasus penyakit jantung yang

dapat disebabkan oleh preeklampsia, serta ada 1 kasus disebabkan karena

adanya penyakit tiroid (0,9%), 5 kasus belum diketahui penyebabnya (Wiyati

& Wibowo, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa, tercatat 63

kelahiran dari 59 ibu yang hamil disertai penyakit jantung. Terdapat 47 kasus
3

(74,6%) lahir di sertai dengan komplikasi. Komplikasi didalam kehamilan

paling banyak ditemui pada prematur 24 kejadian IUFD (Intra Uterine Fetal

Death) atau 6 kasus (9,5%) dan tanpa kejadian stillbirth. Selain itu sebanyak

5 kasus (7,9%) terjadi kematian dalam 7 hari setelah bayi lahir yaitu sebanyak

4 bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1000 gram dan terdapat 1 bayi

lahir dengan nilai asfiksia berat (Wiyati & Wibowo, 2014).

Berdasarkan hasil riset Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) pada tahun 2012, kejadian meninggalnya ibu sebesar 19 per 1.000

kelahiran hidup, hal ini memberikan kontribusi sebesar 59% dari kematian

bayi. Hasil survei penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2015, bahwa jumlah

AKB sebanyak 22,23 per 1.000 jumlah kelahiran hidup, hal ini sudah sesuai

dengan target Millinium Development Goals (MDGs) yaitu sebesar 23 per

kelahiran hidup AKB merupakan jumlah kematian bayi dalam rentang usia 0

– 11 bulan pertama kehidupan (Kemenkes, 2017).

AKB terjadi karena disebabkan adanya kehamilan yang beresiko

tinggi. Kehamilan yang beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2017 seperti

umur ibu <18 tahun dan >34 tahun, jarak kelahiran kurang dari 2 tahun, dan

jumlah anak yang terlalu banyak >3 (BKKBN, 2017). Penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya pada bulan Maret-Juni 2015 di Kabupaten Mojokerto

menyatakan bahwa 75% responden berusia 20-35 tahun, <20 dan >35 tahun

sebesar 25%. Kejadian komplikasi kehamilan pada ibu dengan usia beresiko

mempunyai proporsi yang sama yaitu 20% dan 31,4%. Usia ibu yang tidak

beresiko mengalami komplikasi kehamilan sebesar 80% dan 68,6%. Ibu


4

dengan kehamilan < 20 dan > 35 tahun beresiko tinggi akan mengalami

komplikasi kehamilan. Hal ini dikarenakan kehamilan diusia < 20 tahun

kondisi ibu fisik ibu yang belum siap dalam menghadapi kehamilan. Namun

kehamilan ini lebih aman ketika ibu berusia diatas 20-35 tahun, resiko akan

mengalami peningkatan kembali saat usia ibu lebih dari 35 tahun (Syalfina,

2017).

Menurut Data Program Kasga Provinsi Jawa Tengah tahun 2016

menjelaskan bahwa, AKI menggambarkan resiko yang dialami ibu dari

kehamilan sampai pasca bersalin yang telah dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya, status gizi ibu saat kehamilan, kondisi sosial ekonomi juga dapat

menunjang tidaknya kesehatan ibu dalam melakukan pemeriksaan kehamilan,

keadaan kesehatan, adanya komplikasi selama kehamilan dan persalinan

(perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, infeksi, gangguan sistem peredaran

darah, gangguan metabolisme, dan lainnya) serta ketersediaan fasilitas

kesehatan. Biasanya angka kematian ibu yang tinggi dikarenakan kurangnya

fasilitas pelayanan yang memadai termasuk pelayanan prenatal dan postnatal

serta keadaan sosial ekonomi ibu yang rendah. Tingginya kasus kematian ibu

di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 602 kasus atau setara dengan 109,65 per

100.000 kelahiran hidup dengan prosentase 63,12 % diakibatkan oleh

kematian maternal waktu nifas, 22,92% pada waktu hamil dan 13,95 pada

waktu bersalin (Dinkes Jateng, 2017).

Data yang diambil dari Seksi Kesga Bidang Kesmas 2015

menyatakan bahwa, angka kematian ibu ditahun 2015 mengalami penurunan


5

dari tahun 2014 yaitu dari 115,7% menjadi 88,22 %. Angka kematian ini

sejumlah 15 ibu yang teridi dari 2 kematian ibu hamil, dan 13 kematian ibu

saat nifas. Penyebab kematian ibu antara lain pendarahan dengan jumlah 5,

preeklampsia sejumlah 3, dan 4 kematian ibu yang disebkan oleh gangguan

peredarah darah (jantung, stroke) serta 3 kematian ibu karena kanker dan

ileus. Berbeda dengan data AKI yang mengalami penurunan, AKB ditahun

2015 mengalami peningkatan dari 11,09% menjadi 12,94%. Terdapat 220

AKB di Kabupaten Klaten, 121 berada dalam usia 0-6 hari (perinatal), 34

berada pada rentan umur 7-28 hari (neonatal), dan 65 berada dalam rentan 29

hari 11 bulan. Peningkatan angka kejadian kematian bayi menurut Millinium

Development Goals (MDGs) di Kabupaten Klaten masih dibawah target. Dari

220 kasus kematian bayi diantaranya paling banyak disebabkan oleh Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 100, asfiksia sebanyak 27 (Dinkes

Klaten, 2016).

Peneliti melakukan penelitian di RS PKU Muhammadiyah Delanggu

dengan alasan karena pertolongan persalinan ibu hamil dengan penyakit

penyerta tidak mungkin dilakukan di Pelayanan Kesehatan (PK) tingkat I

seperti di Klinik, Praktik Bidan Mandiri, ataupun di Puskesmas. Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Delanggu merupakan PK tingkat 2 yang dekat dengan

masyarakat dan juga semua pelayanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial) berada pada PK tingkat 2. Berdasarkan Studi pendahuluan yang telah

dilakukan peneliti di RS PKU Muhammadiyah Delanggu pada tanggal 1

Agustus 2018 data dari 3 bulan terakhir yaitu Mei sampai dengan bulan Juli
6

2018 jumlah ibu hamil sebanyak 1.225 ibu hamil dan sebanyak 37 ibu hamil

dengan penyakit penyerta.

Dari penjabaran diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Penyakit Penyerta pada Kehamilan dengan Status Lahir

Bayi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten.

Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak,

jarak, dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,

perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan

keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan dilakukan dengan

menggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi. Pelayanan kontrasepsi adalah

pemberian atau pemasangan kontrasepsi maupun tindakan – tindakan lain yang

berkaitan kontrasepsi kepada calon dan peserta Keluarga Berencana yang

dilakukan dalam fasilitas pelayanan KB. Penyelenggaraan pelayanan

kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari

segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan (Kemenkes RI, 2014).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil dari masalah yang diuraikan di atas maka dapat dibuat

rumusan masalah adalah “Bagaimana pelayanan kegawat daruratan pelayanan

keluarga berencana ”
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi

1. Pengertian keluarga berencana dan pelayanan kontrasepsi

Pelayanan KB yang berkualitas dan merata memiliki kedudukan yang

strategis, yaitu sebagai bagian dari upaya komprehensif yang terdiri dari

upaya kesehatan promotif dan preventif perorangan. Implementasi pendekatan

life cycle/siklus hidup dan prinsip continuum of care merupakan salah satu

bagian dari pelayanan KB dalam upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan

anak (KIA). Jenis dan sasaran yang dituju dari pelayanan KB diberikan sesuai

dengan kebutuhan melalui konseling dan pelayanan dengan tujuan

merencanakan dan menjarangkan atau membatasi kehamilan, yaitu bagi

remaja, ibu hamil, ibu nifas, wanita usia subur (WUS) yang tidak sedang

hamil. Suami dan istri memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama

dalam melaksanakan KB (Kemenkes RI, 2013).


8

Wanita usia subur (WUS) adalah wanita yang berusia antara 15 sampai 49

yang belum menikah, menikah dan sudah pernah menikah/janda dan wanita pada

usia ini memiliki potensi untuk mempunyai keturunan (BKKBN, 2012).

Pemilihan kontrasepsi pada WUS dibagi menjadi 3 fase. Fase menunda kehamilan

yaitu pada usia kurang dari 20 tahun. Fase menjarangkan kehamilan yaitu pada

usia antara 20 sampai 35 tahun. Fase tidak hamil lagi yaitu pada WUS dengan usia

lebih dari 35 tahun (BKKBN, 2012). Kategori yang memenuhi syarat untuk

akseptor kontrasepsi menurut medical eligibility criteria for contraceptive use

(MEC) (2015) :

a. Suatu kondisi yang mana tidak ada larangan untuk penggunaan metode

kontrasepsi. Artinya metode tersebut dapat digunakan pada setiap keadaan.

b. Suatu kondisi dimana keuntungan dari penggunaan metode ini secara umum

lebih besar daripada teori atau risiko yang telah terbukti. Artinya secara umum

metode tersebut dapat digunakan.

c. Suatu kondisi dimana teori atau risiko yang telah terbukti biasanya lebih besar

daripada keuntungan menggunakan metode tersebut. Artinya penggunaan metode

tersebut biasanya tidak direkomendasikan kecuali tidak ada metode lain yang

tersedia atau dapat diterima klien.

d. Suatu kondisi yang menunjukkan resiko kesehatan yang tidak dapat diterima

jika metode kontrasepsi ini digunakan. Artinya, metode tersebut tidak dapat

digunakan.

2. Jenis – jenis kontrasepsi

Pelayanan kontrasepsi diberikan dengan menggunakan metode kontrasepsi

baik hormonal maupun non hormonal. Menurut jangka waktu pemakaiannya


9

kontrasepsi dibagi menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non-MKJP) (Kemenkes RI, 2014). Jenis –

jenis kontrasepsi menurut Affandi dan Albar (2011):

a. Kontrasepsi non-hormonal, terdiri dari:

1) Kontrasepsi tanpa menggunakan alat/obat yaitu senggama terputus dan

pantang berkala.

2) Kontrasepsi sederhana untuk laki – laki adalah kondom.

3) Kontrasepsi sederhana untuk perempuan yaitu pessarium dan kontrasepsi

dengan obat – obat spermitisida

b. Kontrasepsi hormonal, terdiri dari:

1) Metode hormonal kombinasi (estrogen dan progesteron) yaitu pil kombinasi

dan suntik kombinasi (cyclofem)

2) Metode hormonal progesteron saja yaitu pil progestin (minipil), implan,

suntikan progestin (Depo Medroksiprogesterone Asetat/DMPA).

c. Kontrasepsi mantap terdiri dari tubektomi dan vasektomi.

3. Suntik progestin

a. Jenis suntik progestin

Metode kontrasepsi suntik merupakan metode kontrasepsi yang paling

banyak digunakan (Kemenkes RI, 2016). Salah satu metode suntik yang menjadi

pilihan adalah metode suntik DMPA. Metode kontrasepsi progestin dengan

menggunakan progestin, yaitu bahan tiruan dari progesteron tersedia dalam 2 jenis

kemasan, yakni:

1) Depo medroksiprogesteron asetat mengandung 150 mg DMPA, diberikan

setiap 3 bulan dengan suntikan intramuskular di bokong;


10

2) Depo noretisteron enantat mengandung 200 mg noretindron enantat, diberikan

setiap 2 bulan dengan cara disuntik intramuskular (Kemenkes RI, 2014)

b. Waktu memulai untuk suntik progestin yaitu:

1) Suntikan pertama diberikan dalam waktu 7 hari siklus haid

2) Pada ibu yang tidak haid, suntikan pertama dapat diberikan setiap saat asal

dipastikan ibu tidak hamil, namun selama 7 hari setelah suntikan tidak boleh

melakukan hubungan seksual

3) Pada ibu menyusui: setelah 6 minggu pasca persalinan, sementara pada ibu

tidak menyusui dapat menggunakan segera setelah persalinan (Kemenkes RI,

2014).

c. Cara kerja suntik progestin yaitu mencegah ovulasi, mengentalkan lendir

serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput

lendir rahim tipis dan atrofi, serta menghambat transportasi gamet oleh tuba

(Saifuddin, 2011).

d. Mekanisme kerja hormon progesteron

Sistem neuroendokrin untuk fungsi reproduksi memiliki sistem bertingkat

yaitu central nervous system (CNS) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh stimuli

internal dan eksternal. Sistem ini berefek positif atau negatif terhadap sekresi

gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menuju ke sirkulasi

portal hipofisis. Sekresi hormon ini akan menstimulasi kelenjar hipofisis anterior

untuk menyekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone

(LH) (Anwar, 2011).

Pengaruh hormon FSH dan LH yaitu pada tingkat ovarium untuk memacu

perkembangan folikular dan ovulasi pada perempuan. Progesteron terutama


11

diproduksi di ovarium oleh sel luteal dan oleh sel granulosa dalam jumlah sedikit

pada saat sebelum terjadinya lonjakan LH. Hormon ini penting untuk

menginduksi perubahan sekretoris pada endometrium dan memelihara kehamilan

(Anwar, 2011). Bila progesteron terlalu lama memengaruhi endometrium akan

terjadi degenerasi endometrium sehingga tidak cocok menerima nidasi. Pada

serviks, pengaruh progesteron mengurangi getah serviks, molekul besar

menjadi tebal, sehingga porsio dan serviks menjadi sangat sempit dan getah

serviks menjadi ketat (Saifuddin, 2011).

Rahim tipis dan atrofi dan menghambat transportasi gamet oleh tuba. Hal

ini terjadi karena kadar Folikel Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing

hormone (LH) menurun serta tidak terjadi lonjakan LH. Kondisi hipoestrogenik

yang juga terjadi merupakan faktor signifikan menyebabkan dispareunia (Walker

dan Shawky, 2013). Pada pemakaian DMPA, endometrium menjadi menjadi

dangkal dan atrofis dengan kelenjar – kelenjar yang tidak aktif. Pemakaian jangka

lama DMPA menyebabkan endometrium bisa menjadi semakin sedikit sehingga

hampir tidak didapatkan jaringan bila dilakukan biopsi, tetapi perubahan tersebut

akan kembali normal dalam waktu 90 hari setelah suntikan DMPA berakhir (Veisi

dan Zangeneh, 2013).

e. Keuntungan

Keuntungan dari suntik progestin diantaranya adalah sangat efektif, tidak

menekan produksi ASI, dapat digunakan oleh perempuan usia lebih dari 35 tahun

sampai perimenopause. Suntik progestin memiliki efektivitas yang tinggi, dengan


12

kehamilan 0,3 kehamilan per 100 perempuan/tahun, asal penyuntikannya

dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah ditentukan (BKKBN, 2012).

f. Keterbatasan dan efek samping

Keterbatasan pada metode ini adalah klien sangat bergantung pada tempat

sarana pelayanan kesehatan untuk suntikan ulang, tidak dapat dihentikan sewaktu-

waktu, lambat kembalinya kesuburan setelah penghentian pemakaian, rata-rata 4

bulan. Efek samping DMPA yaitu berat badan meningkat, nyeri tulang, vagina

kering, penurunan mood, spotting, amenore (BKKBN, 2012).

g. Peringatan pemakaian

Peringatan lain yang perlu diperhatikan yaitu:

1) Setiap terlambat haid harus dipikrkan adanya kemungkinan kehamilan.

2) Nyeri abdomen bawah yang berat kemungkinan gejala kehamilan ektopik

terganggu.

3) Timbulnya abses atau perdarahan tempat injeksi.

4) Sakit kepala migrain, sakit kepala berulang yang berat, atau kaburnya

penglihatan.

5) Perdarahan berat yang 2 kali lebih panjang dari masa haid atau 2 kali lebih

banyak dalam satu periode masa haid.

B. Gangguan Fungsi Seksual Wanita

1. Pengertian gangguan fungsi seksual

a. Definisi gangguan fungsi seksual


13

Gangguan fungsi seksual disebut sebagai disfungsi seksual merujuk pada

masalah yang terjadi selama siklus respons seksual yang menghambat seseorang

untuk merasakan kepuasan dari aktivitas seksualnya (Chen et al, 2013). Istilah

disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek

fungsi seksual (Pangkahila, 2007). Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder V menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual atau

di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan dan kesulitan

hubungan antar manusia.

b. Siklus respon seksual (Master dan Johnson, 1966 dalam Rahmawati, 2011):

1) Fase bangkitnya gairah (Excitement)

Fase ini merupakan fase pertama dari siklus respon seksual yang ditandai

dengan bangkitnya gairah untuk melakukan aktivitas seksual (peningkatan libido)

dan fantasi seksual. Perubahan yang terjadi pada fase ini ditandai dengan

perubahan fisiologi seksual, yakni adanya lubrikasi pada vagina selama 10-30

detik, genetalia eksterna membesar, 1/3 bagian bawah vagina menyempit, 2/3

bagian atas vagina memanjang dan vagina membesar. Ukuran klitoris meningkat

dan menjadi sensitif. Respon sistemik pada fase ini yaitu peningkatan denyut

jantung, respirasi dan tekanan darah.

2) Fase Plateau

Fase kedua terjadi ketika seseorang mencapai gairah tingkat tinggi untuk

waktu sementara waktu. Skala 1 sampai 10 dengan skala 10 untuk orgasme, maka

fase plateau akan berada pada skala 8. Perempuan mengalami pembengkakan

pada areola payudara dan bagian dalam vagina. Otot – otot yang mendukung

terjadinya
14

kontraksi rahim yang menyebabkan rahim terangkat dan hal ini akan membuka

area belakang vagina.

3) Fase orgasme

Orgasme adalah keadaan ketika tubuh penuh degan respon sistemik yang

mencakup perubahan dalam aliran darah, ketegangan otot, dan otak. Fase ini

disebut puncak tertinggi dari kenikmatan seksual, ditandai dengan vasokongesti

dan diikuti dengan pelepasan involunteri dan tegangan seksual serta kontraksi

ritmik otot – otot perineal, uterus, 1/3 vagina bawah, disertai peningkatan denyut

jantung, respirasi dan tekanan darah.

4) Fase resolusi

Pada fase ini perempuan mengalami relaksasi seluruh tubuh dan perasaan

nyaman. Tanda yang terjadi yaitu kembalinya fungsi tubuh ke keadaan pre

excitement, aliran darah dari genital kembali ke sirkulasi umum.

2. Etiologi disfungsi seksual

Etiologi disfungsi seksual pada wanita bersifat multifaktoral yaitu faktor

biologis, psikoseksual, dan kontekstual. Faktor biologis umumnya meliputi

masalah – masalah organik, kondisi neurologis, penyakit metabolik, dan gangguan

afektif. Faktor psikoseksual meliputi faktor emosional, afektif, dan psikologis.

Faktor kontekstual meliputi hal – hal yang bersifat kekinian seperti masalah

kesehatan dan fungsi seksual pasangan (Graziottin, Serafini, dan Palacios, 2009).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada fungsi

seksual wanita. Hal tersebut dikarenakan fungsi seksual wanita sebagai suatu

interaksi kompleks dari faktor neurovascular dan endokrin (Fourcroy, 2003).

Patofisiologi dari keinginan/gairah seksual yang rendah merupakan hal yang


15

kompleks dan seharusnya dipertimbangkan dalam konteks pendekatan

biopsikososial (Kingsberg dan Woodard, 2015).

Faktor biologis bisa berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung,

yang terdiri dari kondisi medis termasuk perawatan yang diterima (hipertensi dan

diabetes mellitus), umur atau penuaan serta perubahan sistem neuroendokrin

(perubahan tidak langsung dari penurunan estrogen) (Kingsberg dan Woodard,

2015).

Faktor psikologis yang berperan dalam penurunan hasrat seksual yaitu

kondisi psikiatris seperti depresi dan kecemasan. Faktor sosial yang berpengaruh

terhadap hasrat seksual juga seharusnya dipertimbangkan. Kebudayaan, sosial,

nilai agama dan moral bisa berpengaruh secara negatif pada hasrat seksual

terutama perempuan yang dibesarkan pada budaya dan agama yang bersifat

membatasi (Kingsberg dan Woodard, 2015).

Faktor hubungan dengan pasangan juga mempengaruhi penurunan hasrat

seksual seperti konflik, atau disfungsi seksual pada pasangan, tekanan finansial,

karir, serta tanggung jawab keluarga (Kingsberg dan Woodard, 2015). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

disfungsi seksual pada wanita dengan variabel umur, tingkat pendidikan,

hubungan pertalian darah dan penggunaan obat – obatan (Jafarzadeh Esfehani et

al, 2016).

3. Macam – macam disfungsi seksual

Klasifikasi disfungsi seksual menurut Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder V (2013) dari American Psychiatric Association, yakni :


16

a. Female sexual interest/arousal disorder (gangguan ketertarikan seksual/gairah

seksual wanita)

Gangguan ketertarikan seksual merupakan kondisi yang didefinisikan

sebagai tidak adanya fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual.

Gangguan ini ditandai dengan keengganan dan menghidari semua atau hampir

semua yang berkaitan dengan kontak seksual bersama pasangan. Gangguan gairah

seksual didefinisikan terjadi terus menerus atau berulang dan sebagian atau

kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi sampai fase akhir

(APA, 2013). Pada dasarnya gangguan ini disebabkan oleh faktor fisik dan psikis,

antara lain adalah kejemuan, perasaan bersalah, stress yang berkepanjangan, dan

pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (Pangkahila, 2007).

b. Female orgasmic disorder (gangguan orgasme pada wanita)

Gangguan ini berupa berulangnya keterlambatan dalam orgasme atau tidak

adanya orgasme. Gangguan ini merupakan keluhan seksual yang umum terjadi

pada perempuan (APA, 2013). Terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme

yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki rangsangan (excitement

phase) selama melakukan aktivitas seksual. Hambatan ini disebabkan oleh

penyebab fisik dan psikis. Penyebab fisik yaitu penyakit sistem saraf pusat seperti

multiple sclerosis, parkison dan lumbal sympathetomy, sedangkan penyebab

psikis adalah kecemasan (Pangkahila, 2007).

c. Genito-pelvic pain/penetration disorder (gangguan nyeri)

Gangguan ini meliputi vaginismus yaitu kondisi spasme pada otot vagina,

berulang atau terus menerus yang mengganggu penetrasi pada vagina.

Dispareunia
17

adalah istilah umum untuk sakit/nyeri saat berhubungan seksual karena gangguan

keluarnya cairan lubrikasi dan ketika hal ini terjadi terus menerus atau berulang,

diklasifikasikan sebagai suatu gangguan (APA, 2013). Salah satu penyebab

dyspareunia ini adalah infeksi pada kelamin (Pangkahila, 2007).

4. Kategori disfungsi seksual

Kategori disfungsi seksual dapat diukur berdasarkan kuesioner Female

Sexual Fuction Index (FSFI) oleh Rosen et al (2000) untuk mengukur perubahan

fungsi seksual terhadap aktivitas seksual pada wanita dalam 4 minggu terakhir.

Kuesioner ini telah disusun berdasarkan kondisi dan situasi setempat sehingga

kategori gangguan fungsi seksual disesuaikan atas klasifikasi Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder V (2013) dari American Psychiatric

Association. yang terdiri dari gangguan ketertarikan seksual/gairah seksual

wanita; gangguan orgasme pada wanita; dan gangguan nyeri. Gangguan

ketertarikan seksual/gairah seksual terdiri atas domain hasrat seksual/desire dan

gairah seksual/arousal. Gangguan orgasme pada wanita terdiri dari domain

orgasme/orgasm dan kepuasan seksual/satisfication. Gangguan nyeri terdiri dari

domain nyeri/pain dan lubrikasi/lubrication.

Pengelompokkan kategori gangguan fungsi seksual dilakukan berdasarkan

perhitungan jawaban responden. Setiap jawaban dari masing – masing pertanyaan

dikalikan sesuai domain lalu dijumlahkan pada tiap domain, setelah itu dihitung

secara keseluruhan.

C. Penelitian tentang Hubungan Suntik DMPA dengan Gangguan Fungsi

Seksual Wanita
18

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang hubungan pemakaian

DMPA dengan gangguan fungsi seksual wanita diperoleh hasil yang masih

beragam. Kontrasepsi bisa mempengaruhi fungsi seksual, terutama kontrasepsi

hormonal yang secara langsung dapat mempengaruhi faktor – faktor seperti libido

dan orgasme. Metode kontrasepsi hanya progesteron bekerja dengan menekan

fungsi ovarium dan menurunkan produksi estradiol endogen yang mempengaruhi

fungsi seksual dengan berkontribusi pada kekeringan vagina terutama pada wanita

perimenopause (Higgins dan Davis, 2014).

Hasil penelitian Hartantik (2017) didapatkan bahwa ada hubungan antara

lama pemakaian kontrasepsi DMPA dengan kejadian disfungsi seksual. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pada

penggunaan jangka panjang DMPA terjadi perubahan atrofi pada endometrium

dan mukosa vagina. Atrofi mukosa vagina dan vagina kering bisa menyebabkan

nyeri seksual/dispareunia (Saptatangtrakul, et al., 2016). Pengaruh DMPA dalam

jangka panjang terutama pada pemakaian lebih dari 3 tahun berhubungan dengan

gangguan fungsi seksual. Penurunan atau masalah fungsi seksual pada akseptor

KB hormonal meningkat seiring dengan durasi penggunaan kontrasepsi hormonal.

Penurunan fungsi seksual setelah 6 bulan pertama pemakaian sebesar 53,60%,

satu tahun 70,80%, 2 tahun 73,90%, dan lebih dari 3 tahun sebesar 77,80%

(Hasan, et.al.,

2014).

Kontrasepsi suntik DMPA lebih berpengaruh terhadap kejadian disfungsi

seksual pada akseptor dibandingkan dengan penggunaan kontrasepsi lainnya. Pada

penelitian didapatkan bahwa umur akseptor merupakan faktor yang paling

mempengaruhi kejadian disfungsi seksual. Hal ini menunjukkan bahwa faktor


19

penggunaan kontrasepsi suntik DMPA sebagai faktor independen tidak dapat

berdiri sendiri dalam mempengaruhi kejadian disfungsi seksual. Apabila terjadi

interaksi secara bersama–sama maka dapat meningkatkan risiko disfungsi seksual

pada akseptor KB (Ningsi, dkk., 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa

ada hubungan antara lama pemakaian DMPA dengan kejadian disfungsi seksual.

Namun pada beberapa penelitian lain hubungan suntik DMPA dengan kejadian

disfungsi seksual belum didapatkan secara pasti. Ott, et al (2011) berdasarkan

penelitiannya tidak menemukan hubungan antara penggunaan kontrasepsi

hormonal dan gairah/keinginan seksual. Kemungkinan yang terjadi adalah efek

hormon lebih sedikit mempengaruhi keinginan seksual dibandingkan faktor

perilaku seperti kualitas hubungan dengan pasangan. Penelitian serupa didapatkan

bahwa hubungan suntik DMPA dengan berkurangnya gairah/hasrat seksual jika

dibandingkan dengan IUD cooper belum dapat dipastikan. Berkurangnya

keinginan/minat seksual pada akseptor implan dan DMPA kemungkinan

berhubungan dengan komposisi hormon pada metode ini (Boozalis, et al., 2017).

Walaupun kebanyakan perempuan kemungkinan tidak akan terpengaruh terhadap

efek samping kontrasepsi, namun kemungkinan konsekuensi pada masalah

seksual semestinya dipertimbangkan dengan pasien selama diskusi pilihan

kontrasepsi (Kingsberg dan Woodard, 2015).

D. Kerangka Teori

Suntik DMPA yang mengandung hanya hormon progesteron berhubungan

dengan gangguan fungsi seksual terutama pada pemakaian jangka panjang.


20

Mekanisme kerja dari suntik DMPA sebagai alat kontrasepsi yaitu mencegah

ovulasi, mengentalkan lendir serviks dan mengubah endometrium menjadi

dangkal dan atrofi sehingga tidak layak sebagai tempat implantasi.

Mekanisme tersebut pada beberapa wanita dirasakan sebagai keluhan yang

berhubungan dengan efek samping KB berupa vagina kering, nyeri saat

berhubungan, penurunan mood dan penurunan libido. Masalah yang dirasakan

ini merupakan gangguan kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup

terkait dengan hubungan suami istri. Gangguan yang terjadi pada salah satu

atau keseluruhan selama siklus respon seksual ini disebut disfungsi seksual.

Hasil penelitian sebelumnya terhadap hubungan lama suntik DMPA dengan

disfungsi seksual masih beragam. Faktor – faktor lain yang berpengaruh pada

disfungsi seksual yaitu faktor biologis (kondisi kesehatan, umur, system

neuroendokrin), faktor psikologis (depresi dan kecemasan) serta faktor sosial

(kebudayaan, nilai moral dan agama).

Anda mungkin juga menyukai