Peran Kualifikasi Akademik
Peran Kualifikasi Akademik
Keyword: Literacy anak usia dini, kualifikasi akademik, efikasi diri, pengalaman
mengajar, kinerja guru
1. Pendahuluan
Perkembangan literasi anak usia dini merupakan dasar yang penting untuk
pembelajaran dan keberhasilan sekolah, dan juga merupakan sebuah kemampuan kritis
untuk bertindak dan berkontribusi dalam lingkungan sosial. Kebanyakan
perkembangan literasi berlangsung sebelum anak memasuki usia sekolah, literasi anak
usia dini seringkali diartikan dalam konteks sekolah formal (Vagi & Clark, 2017).
Pentingnya usia sebelum sekolah formal memberikan anak awal yang baik untuk
mengembangkan literasi mereka (DEST, 2005).
Untuk meningkatkan kesiapan sekolah, kemampuan bahasa dan literasi menuju
sekolah formal, guru harus dibekali dengan pengembangan profesionalitas dan
keahlian untuk mengimplementasikan strategi “membaca ilmiah” di dalam kelas
(Bingham & Terry, 2013). Lebih jauh, perdebatan pemerintah dan masyarakat umum
mengenai literasi seringkali menyebarluaskan pandangan bahwa guru harus memilih
antara mengatur ketidakseimbangan dan berkompetisi untuk penerapan pedagogic
atau bekerja utuk melihat pemahaman dari literasi secara sempit untuk mencapai
standar yang ditetapkan dalam kurikulum (Mills,2005; Snyder, 2008).
Tingkat pendidikan yang tinggi dari seorang guru akan mempengaruhi
kemampuannya dalam mencapai kinerja secara optimal, sesuai yang diungkapkan oleh
Soekidjo (2009) yang juga menyatakan bahwa “Pendidikan di dalam organisasi adalah
suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi yang
bersangkutan”. Dalam beberapa kajian literature guru kurang bersedia berhadapan
dengan masalah dalam mengajar karena kerap menggap diri mereka tidak
berpengalaman dan mendapat pelatihan yang cukup (Buell et al. 1999; Cains & Brown
1996; Martin et al. 1999). Pengalaman dan kualifikasi pendidikaan guru merupakan
dua hal yang tak dapat terpisahkan. Menurut raudenbush dan Ball (2003), pengalaman
mengajar yang disertai dengan pendidikan dan kinerja yang tepat maka akan
memberikan pengaruh terhadap pembelajaran anak.
Di Indonesia, pengalaman mengajar, kualifikasi pendidikan merupakan salah
satu factor penentu kinerja guru dalam mengembangkan kemampuan anak. Tanpa
disadari banyak orang, efikasi diri guru juga merupakan kunci dalam keberhasil
mengajar guru. Selain tingkat pendidikan, guru pun harus memiliki efikasi diri yang
merupakan factor penentu yang utama dari pembelajaran afektif (McCaughtry et al,
2008). Guru pasti akan lebih sukses ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi
yang mana dapat membawa mereka pada perasaan positif tentang karir mereka (Erdem
& Demirel, 2007). Guru yang memiliki efikasi diri yang rendah cenderung mensyerah
ketika menghadapi siswa yang bermasalah, cenderung suka menghukum,pemarah dan
otoriter. Sebaliknya guru yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung semangat
ketika menghadapi siswa yang bermasalah, cenderung terus menerus mencari solusi
agar guru tersebut dapat mengajar dengan maksimal.
.
2. Theoritical Review
Efikasi diri guru atau yang biasa dikenal dengan istilah teacher Self-efficacy
merupakan bagian dari profesionalisme guru (Tsangaridou,2006). Dengan kata
lain, efikasi diri guru adalah salah satu karakteristik terpenting dari guru yang
professional(Pan et al., 2013). Efikasi dipercaya mempengaruhi bagaimana
seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri dan bertingkah laku (Bandura, 1993).
pada kenyataannya, beberapa penelitian pendidikan melihat efikasi diri guru
sebagai faktor penentu yang utama dari pembelajaran efektif (Martin, McCaughtry,
Hodges-Kulinna & Cothran, 2008).
Menurut bandura (1986) efikasi diri guru adalah keyakinan diri yang
dimiliki oleh seorang guru terhadap kemampuannya dalam hal mempengaruhi
pembuatan keputusan, mengenai pengelolaan kelas, pengorganisasian rangkaian
pelajaran, mengajar, memotivasi siswa untuk belajar dan berkomunikasi dengan
siswa secara efektif untuk menunkang aktivitasnya disekolah demi tercapainya
tujuan pendidikan.
Efikasi diri merupakan hal yang penting pada proses pengajaran dan
pembelajaran, didalam efikasi diri yang tinggi antusias guru untuk mengajar pun
akan meningkat (scaffold, 2005). Efikasi diri juga berkorelasi positif dengan upaya
guru untuk meningkatkan kemampuan mengajar mereka dan untuk memberikan
pengaruh positif pada pembelajaran siswa (Tschannen-Moran & Woolfolk-Hoy,
2001). Dalam proses pengajaran efikasi diri adalah sebuah predictor yang berguna
untuk motifasi dan kinerja guru (schunk, 2005). Efikasi diri guru telah dinyatakan
menjadi salah satu variable yang penting dikaitkan tidak hanya untuk perilaku
mengajar (Henson, 2001), tapi juga untuk efikasi murid sendiri (Anderson, Greene,
& Loewen, 1988) dan untuk motivasi dan keberhasilan anak (Anderson, Greene, &
Loewen, 1988). Hal ini membentuk efektifitas guru didalam kelas menjadi
pembentukan motivasi yang penting dan sangat berhubungan dengan kenyamanan
guru dalam mengajar, kesediaan untuk mengatasi masalah dan kinerja mengajar
mereka (Sak, 2015).
Menurut bandura (1977), efikasi diri memiliki dua sudut pandang yaitu
seseorang akan melaksanakan aktifitas jika mereka percaya pada kemampuan
kinerja mereka (efikasi individu) dan jika merka yakin bahwa tindakan mereka akan
mengakibatkan hasil yang sangat menarik (hasil harapan).
Menurut Bandura (1997) efikasi diri dibentuk oleh empat sumber informasi,
yaitu: (1) Pengalaman berhasil. Untuk terbentuknya efikasi diri, orang harus
pernah mengalami tantangan yang berat, sehingga ia bisa menyelesaikannya de-
ngan kegigihan dan kerja keras (Bandura, 1997). Kum-pulan dari pengalaman-
pengalaman masa lalu akan menjadi penentu efikasi diri melalui representasi
kognitif, yang meliputi; ingatan terhadap frekuensi keberhasilan dan kegagalan,
pola tempo-rernya, serta dalam situasi bagaimana terjadinya keberhasilan dan
kegagalan (Bandura, 1997). (2) Kejadian yang dihayati seolah-olah dialami
sendiri. Apabila orang melihat suatu kejadian, kemudian ia merasakannya sebagai
kejadian yang dialami sendiri maka hal ini akan dapat memengaruhi perkembangan
efikasi diri-nya. (3) Persuasi verbal. Persuasi verbal merupakan informasi yang
sengaja diberikan kepada orang yang ingin diubah efikasi dirinya, dengan cara
memberikan dorongan semangat bahwa permasalahan yang dihadapi bisa disele-
saikan. (4) Keadaan fisiologis dan suasana hati. Dalam suatu aktivitas perubahan
suasana hati dapat meme-ngaruhi keyakinan seseorang tentang efikasi dirinya.
Pengalaman sangat erat kaitannya dengan waktu dan kondisi yang dialami
oleh seseorang dalam menekuni suatu bidang. Pengertian Pengalaman Mengajar
adalah masa kerja guru dalam melaksankan tugas sebagai pendidik pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang
(Muslich,2007) . Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan atau
surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang. Pengalaman mengajar
adalah pengalaman yang dimiliki seseorang individu pada sekolah sebelumnya.
Seorang guru yang banyak pengalamannya dalam mengajar akan lebih
mudah dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar akan lebih berkualitas
(Suyitno, 1997). Pengalaman adalahapa yang sudah dialami dalam kurun waktu
yang lama (Notosudirjo, 1990:289). Pengalaman adalah suatu keadaan, situasi,
dan kondisi yang pernah dialami (dirasakan), dijalankan, dan
dipertanggungjawabkan dalam praktek nyata (Purwodarminto, 1996: 8).
Pengalaman adalah proses mengadakan hubungan dengan lingkungan, sedangkan
tujuan dari pengalaman adalah untuk mengerti tentang lingkungan tersebut
(Soelaiman, 1975: 115). Pengalaman mengajar guru adalah apa yang telah dialami
oleh guru selama menjalankan tugasnya sebagai guru.
Hal yang perlu diperhatikan oleh guru adalah mereka harus senantiasa
meningkatkan pengalamannya, sehingga mempunyai pengalaman yang banyak
dan berkualitas yang dapat menunjang keberhasilan dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya Sumitro (2001: 70) mengatakan. Pengalaman adalah guru yang
baik, karena keterampilan memecahkan persoalan dalam proses belajar mengajar
kurang didapatkan guru melalui pendidikan formal yang ia tempuh, tapi lebih
banyak didasarkan pada pengalaman yang telah ia dapatkan selama ia mengajar.
Pengalaman-pengalaman bermanfaat yang diperoleh selama mengajar tersebut
akan dapat mempengaruhi kualitas guru dalam mengajar.
Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek
yang mempengaruhi profesionalisme seorang guru di bidang pendidikan dan
pengajaran (Barizi, 2009: 142). Semakin sering seseorang mengalami sesuatu,
maka semakin bertambah pengetahuan dan kecakapannya terhadap hal-hal
tersebut, dan ia akan lebih menguasai, sehingga dari pengalaman yang
diperolehnya seseorang dapat mencoba mendapatkan hasil yang baik (Purwanto
(2003: 104).
Dalam menekuni bidang tugasnya, pengalaman guru selalu bertambah,
semakin bertambah masa kerjanya diharapkan guru semakin banyak
pengalamannya, tingkat kesulitan yang ditemukan guru dalam pembelajaran
semakin hari semakin berkurang pada aspek tertentu seiring dengan
bertambahnya pengalaman sebagai guru (Djamarah, 2006: 112). Semakin lama
masa kerja, maka akan semakin beragam pengalaman yang diperoleh dalam
bekerja. Guru pemula dengan latar pendidikan keguruan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Karena dia sudah dibekali
seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Pengalaman mengajar guru
dapat diukur dari jumlah tahun lamanya ia mengajar, khususnya dalam mata
pelajaran yang diampunya.
Literasi berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan
kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan
membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual
yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan
secara visual (adegan, video, gambar)." National Institute for Literacy,
mendefinisikan Literasi sebagai "kemampuan individu untuk membaca, menulis,
berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan
dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat."
Sebagaian besar hasil penelitian menunjukkan kemampuan literasi awal
merupakan hal yang penting dalam kesuksesan akademik nanti (Duncan et al, 2007).
Level dari literacy dan kemampuan bahasa anak di taman kanak-kanak dan kelas satu
kuat diyakini kunci keberhasilan sekolah dan setelah sekolah yang lebih tinggi
(cuningham & stanovich, 1997).
Beberapa kemampuan khusus diperoleh dari banyak anak selama usia prasekolah
yang telah ditemukan untuk memfasilitasi perkembangan literasi selama usia sekolah
awal. Kemampuan tersebut termasuk didalamnya menulis nama (Wagner, Torgesen, &
Rashotte, 1994), pengenalan fonologi (Adams, 1990; Snow et al., 1998), dan
perkembangan kosa kata (Adams, 1990; Dickinson, Cote, & Smith, 1993; Hart & Risley
1995; Walker et al., 1994).
Literasi tumbuh dengan subur di beberapa negara berkembang dari kondisi yang
sama sebagai bagian dalam ekonomi negara maju; akses ke sekolah untuk murid dari tiap
umur, akses untuk bahan bacaan yang berkualitas dan akses untuk pengajaran yang
berkualitas (Levin & Lookheed, 2012). Pendidikan internasional baru- baru ini telah focus
pada promosi literasi (Filmer, Hasan, & Pritchett, 2006 ), sebagai contohnya, PBB
mengidentifikasi literasi sebagai tantang pendidikan global di tahun 2003 dan dalam
sebuah usaha untuk menghadapi keberhasilan perkembangan millennium, 10 tahun
kedepan akan dinamakan decade literasi (UNESCO, 2007 ). Hal ini sejalan dengan
pencapaian akan pendidikan untuk semua dengan meningkatnya rata-rata literasi global
50%, meningkatkan literasi menjadi sebuah komponen penting dalam program
pembelajaran (Richmond, Robinson, & Sachs- Israel, 2008 ).
Penelitian pada literasi anak usia dini memberikan hasil bahwa literasi terhubung
dengan lima komponen kunci yaitu kesadaran aka fonem, fonik, kosa kata, pemahaman
dan kefasihan (Snow et al., 1998). Kemampuan tersebut dipelajari selama di taman kanak-
kanak hingga kelas 3 sekolah dasar sebagaimana anak membawa pengalaman mereka
sebelumnya dengan bahasa lisan, bercerita dan menulis dan guru memfasilitasi
pengalaman tersebut melalui pengenalan bunyi, huruf, fonem dan kata (Ross et al, 2015).
Sebagaimana anak belajar untuk memanipulasi bunyi, membaca kata-kata buku dan
menyimpulkan arti kata dari sebuah kalimat, pemahaman akan membaca dan mendengar
mereka pun meningkat (Snow et al, 1998).