Anda di halaman 1dari 9

Peran Kualifikasi Akademik, Efikasi Guru Dan Pengalaman Mengajar

Terhadap Kinerja Guru Dalam Mengembangkan Literasi Anak Usia Dini

Literacy merupakan salah tugas perkembangan yang dimiliki anak, Pada


dasarnya sejak anak dilahirkan, ia sudah membawa kemampuan literasi, Literasi
pada anak harus dibangun sejak dini bahkan sebelum seorang anak mengenal
pendidikan formal, karena pertumbuhan sel otak pada anak usia 0-4 tahun
mencapai 50% dan hingga usia 8 tahun mencapai 80%. Pada usia 0-6 tahun secara
terminologi disebut sebagai anak usia prasekolah. Oleh karena itu dlam
mengembangkan literasi anak, lingkungan sekolah dan rumah memiliki peranan
yang sangat penting. untuk itu peran guru tidak bisa dianggap remeh baik dalam
kegiatan didalam maupun diluar ruangan. Kinerja guru dalam mengajar,
dipengaruhi oleh beberapa aspek, diantaranya adalah kualifikasi akademik guru
yang sesuai dengan standar pendidikan, pengalaman yang dimiliki guru selama
mengajar dan juga efikasi diri guru yang tinggi. Oleh sebab itu dalam
mengembangkan literasi anak, Ketiga aspek tersebut harus dimiliki oleh guru baik
melalui pendidikan maupun pelatihan-pelatihan yang rutin agar kinerja Guru
dalam mengembangkan literasi anak meningkat.

Keyword: Literacy anak usia dini, kualifikasi akademik, efikasi diri, pengalaman
mengajar, kinerja guru

1. Pendahuluan

Perkembangan literasi anak usia dini merupakan dasar yang penting untuk
pembelajaran dan keberhasilan sekolah, dan juga merupakan sebuah kemampuan kritis
untuk bertindak dan berkontribusi dalam lingkungan sosial. Kebanyakan
perkembangan literasi berlangsung sebelum anak memasuki usia sekolah, literasi anak
usia dini seringkali diartikan dalam konteks sekolah formal (Vagi & Clark, 2017).
Pentingnya usia sebelum sekolah formal memberikan anak awal yang baik untuk
mengembangkan literasi mereka (DEST, 2005).
Untuk meningkatkan kesiapan sekolah, kemampuan bahasa dan literasi menuju
sekolah formal, guru harus dibekali dengan pengembangan profesionalitas dan
keahlian untuk mengimplementasikan strategi “membaca ilmiah” di dalam kelas
(Bingham & Terry, 2013). Lebih jauh, perdebatan pemerintah dan masyarakat umum
mengenai literasi seringkali menyebarluaskan pandangan bahwa guru harus memilih
antara mengatur ketidakseimbangan dan berkompetisi untuk penerapan pedagogic
atau bekerja utuk melihat pemahaman dari literasi secara sempit untuk mencapai
standar yang ditetapkan dalam kurikulum (Mills,2005; Snyder, 2008).
Tingkat pendidikan yang tinggi dari seorang guru akan mempengaruhi
kemampuannya dalam mencapai kinerja secara optimal, sesuai yang diungkapkan oleh
Soekidjo (2009) yang juga menyatakan bahwa “Pendidikan di dalam organisasi adalah
suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi yang
bersangkutan”. Dalam beberapa kajian literature guru kurang bersedia berhadapan
dengan masalah dalam mengajar karena kerap menggap diri mereka tidak
berpengalaman dan mendapat pelatihan yang cukup (Buell et al. 1999; Cains & Brown
1996; Martin et al. 1999). Pengalaman dan kualifikasi pendidikaan guru merupakan
dua hal yang tak dapat terpisahkan. Menurut raudenbush dan Ball (2003), pengalaman
mengajar yang disertai dengan pendidikan dan kinerja yang tepat maka akan
memberikan pengaruh terhadap pembelajaran anak.
Di Indonesia, pengalaman mengajar, kualifikasi pendidikan merupakan salah
satu factor penentu kinerja guru dalam mengembangkan kemampuan anak. Tanpa
disadari banyak orang, efikasi diri guru juga merupakan kunci dalam keberhasil
mengajar guru. Selain tingkat pendidikan, guru pun harus memiliki efikasi diri yang
merupakan factor penentu yang utama dari pembelajaran afektif (McCaughtry et al,
2008). Guru pasti akan lebih sukses ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi
yang mana dapat membawa mereka pada perasaan positif tentang karir mereka (Erdem
& Demirel, 2007). Guru yang memiliki efikasi diri yang rendah cenderung mensyerah
ketika menghadapi siswa yang bermasalah, cenderung suka menghukum,pemarah dan
otoriter. Sebaliknya guru yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung semangat
ketika menghadapi siswa yang bermasalah, cenderung terus menerus mencari solusi
agar guru tersebut dapat mengajar dengan maksimal.
.
2. Theoritical Review

2.1 Kualifikasi akademik guru

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kualifikasi adalah pendidikan khusus


untuk memperoleh suatu keahlian atau keahlian yang diperlukan untuk mencapai
sesuatu ( menduduki jabatan dsb ). Sedangkan akademik memiliki arti akademis. Jadi
kualifikasi akademik adalah keahlian atau kecakapan khusus dalam bidang
pendidikan baik sebagai pengajar pelajaran, administrasi pendidikan dan seterusnya
yang diperoleh dari proses pendidikan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Kualifikasi
akademik diartikan sebagai tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh
seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang
relevan sesuai ketentuan perundang-undanangan yang berlaku ( Pasal 28 ayat 2 ).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan diatur beberapa hal tentang kualifikasi akademik guru berdasarkan
tingkatan pendidikan yaitu Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki :
(a)kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat ( D – IV ) atau sarjana
( S1 ); (b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini,
kependidikan lain atau psikologi; dan (c) sertifikasi guru untuk PAUD ( Pasal 29 ayat
1 ). Guru yang berada pada tingkat pendidikan dasar keatas tidak layak untuk
mengajar taman kanak-kanak, karena “banyak dari guru tersebut tidak memahami
program yang layak untuk anak lima tahun kebawah dan juga mereka sering salah
mengasumsikan bahwa anak usia dini belajar hal yang sama dengan anak yang lebih
tua” (Moyer,2001).
Level pendidikan guru anak usia dini memberikan pengaruh pada kualitas kelas
pendidikan anak usia dini dan juga memperkirakan perkembangan yang akan dating
pada anak (Adams & Wolf, 2008). Guru sekolah negeri memiliki kualifikasi
akademik yang lebih tinggi dibandingkan gru yang berada pada sekolah swasta,
mayoritas guru pada sekolah swasta lebih muda, kurang berpengalaman dan dengan
kualifikasi akademik yang tidak sesuai standar (Waheed, Ansari, & Ahmed, 2011).
Kualifikasi guru diidetifikasi sebagai kebijakan pemerintah sebagai salah satu dari
pearturan yang menonjol dan variable penting dalam memprakirakan kualitas dari
pendidikan anak usia dini dan pengasuhan (Ackerman, 2005). Level pendidikan guru
dan juga bagaimana level kualifikasi tersebut berpotensi memberikan pengaruh pada
lingkungan pembelajaran anak usia dini (whitebook, 2003).
Tingkat pendidikan yang tinggi dari seorang guru akan mempengaruhi
kemampuannya dalam mencapai kinerja secara optimal, sesuai yang diungkapkan
oleh Soekidjo (2009) juga menyatakan bahwa “Pendidikan di dalam organisasi adalah
suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi yang
bersangkutan”. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan sumber daya
manusianya semakin tinggi. Pendidikan yang dilalui oleh guru sangat berpengaruh
dalam menentukan performansi mengajarnya. Dengan bekal pendidikan yang dimiliki
oleh guru akan mampu menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi yang
berkaitan dengan profesinya(Ghufron & Ghufron, 2015).
Oklohama merupakan negara pertama di amerika yang secara khusus
menerapkan aturan guru taman kanak-kanak haruslah memiliki sertifikat yang
berkaitan dengan pendidikan anak usia dini dalam mengajar di taman kanak-kanak,
peraturan mereka berbunyi “ sejak januari 1993, semua guru taman kanak-kanak
haruslah berijazah pendidikan anak usia dini” (Education Commission of the States,
2005, p. 4). Di Australia, guru yang memiliki latar belakang sarjana atau diploma
dalam pendidikan anak usia dini menjadi guru inti atau pemimpin kelas sedangkan
bagi guru pendamping, tidak ada kualifikasi formal yang diterapkan dan guru
pendamping tersebut dapat bekerja layaknya guru inti di dalam kelas (Australian
Children's Education and Care Quality Authority, 2011).

2.2 Efikasi Diri Guru

Efikasi diri guru atau yang biasa dikenal dengan istilah teacher Self-efficacy
merupakan bagian dari profesionalisme guru (Tsangaridou,2006). Dengan kata
lain, efikasi diri guru adalah salah satu karakteristik terpenting dari guru yang
professional(Pan et al., 2013). Efikasi dipercaya mempengaruhi bagaimana
seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri dan bertingkah laku (Bandura, 1993).
pada kenyataannya, beberapa penelitian pendidikan melihat efikasi diri guru
sebagai faktor penentu yang utama dari pembelajaran efektif (Martin, McCaughtry,
Hodges-Kulinna & Cothran, 2008).
Menurut bandura (1986) efikasi diri guru adalah keyakinan diri yang
dimiliki oleh seorang guru terhadap kemampuannya dalam hal mempengaruhi
pembuatan keputusan, mengenai pengelolaan kelas, pengorganisasian rangkaian
pelajaran, mengajar, memotivasi siswa untuk belajar dan berkomunikasi dengan
siswa secara efektif untuk menunkang aktivitasnya disekolah demi tercapainya
tujuan pendidikan.
Efikasi diri merupakan hal yang penting pada proses pengajaran dan
pembelajaran, didalam efikasi diri yang tinggi antusias guru untuk mengajar pun
akan meningkat (scaffold, 2005). Efikasi diri juga berkorelasi positif dengan upaya
guru untuk meningkatkan kemampuan mengajar mereka dan untuk memberikan
pengaruh positif pada pembelajaran siswa (Tschannen-Moran & Woolfolk-Hoy,
2001). Dalam proses pengajaran efikasi diri adalah sebuah predictor yang berguna
untuk motifasi dan kinerja guru (schunk, 2005). Efikasi diri guru telah dinyatakan
menjadi salah satu variable yang penting dikaitkan tidak hanya untuk perilaku
mengajar (Henson, 2001), tapi juga untuk efikasi murid sendiri (Anderson, Greene,
& Loewen, 1988) dan untuk motivasi dan keberhasilan anak (Anderson, Greene, &
Loewen, 1988). Hal ini membentuk efektifitas guru didalam kelas menjadi
pembentukan motivasi yang penting dan sangat berhubungan dengan kenyamanan
guru dalam mengajar, kesediaan untuk mengatasi masalah dan kinerja mengajar
mereka (Sak, 2015).
Menurut bandura (1977), efikasi diri memiliki dua sudut pandang yaitu
seseorang akan melaksanakan aktifitas jika mereka percaya pada kemampuan
kinerja mereka (efikasi individu) dan jika merka yakin bahwa tindakan mereka akan
mengakibatkan hasil yang sangat menarik (hasil harapan).
Menurut Bandura (1997) efikasi diri dibentuk oleh empat sumber informasi,
yaitu: (1) Pengalaman berhasil. Untuk terbentuknya efikasi diri, orang harus
pernah mengalami tantangan yang berat, sehingga ia bisa menyelesaikannya de-
ngan kegigihan dan kerja keras (Bandura, 1997). Kum-pulan dari pengalaman-
pengalaman masa lalu akan menjadi penentu efikasi diri melalui representasi
kognitif, yang meliputi; ingatan terhadap frekuensi keberhasilan dan kegagalan,
pola tempo-rernya, serta dalam situasi bagaimana terjadinya keberhasilan dan
kegagalan (Bandura, 1997). (2) Kejadian yang dihayati seolah-olah dialami
sendiri. Apabila orang melihat suatu kejadian, kemudian ia merasakannya sebagai
kejadian yang dialami sendiri maka hal ini akan dapat memengaruhi perkembangan
efikasi diri-nya. (3) Persuasi verbal. Persuasi verbal merupakan informasi yang
sengaja diberikan kepada orang yang ingin diubah efikasi dirinya, dengan cara
memberikan dorongan semangat bahwa permasalahan yang dihadapi bisa disele-
saikan. (4) Keadaan fisiologis dan suasana hati. Dalam suatu aktivitas perubahan
suasana hati dapat meme-ngaruhi keyakinan seseorang tentang efikasi dirinya.

2.3 Pengalaman Mengajar Guru

Pengalaman sangat erat kaitannya dengan waktu dan kondisi yang dialami
oleh seseorang dalam menekuni suatu bidang. Pengertian Pengalaman Mengajar
adalah masa kerja guru dalam melaksankan tugas sebagai pendidik pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang
(Muslich,2007) . Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan atau
surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang. Pengalaman mengajar
adalah pengalaman yang dimiliki seseorang individu pada sekolah sebelumnya.
Seorang guru yang banyak pengalamannya dalam mengajar akan lebih
mudah dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar akan lebih berkualitas
(Suyitno, 1997). Pengalaman adalahapa yang sudah dialami dalam kurun waktu
yang lama (Notosudirjo, 1990:289). Pengalaman adalah suatu keadaan, situasi,
dan kondisi yang pernah dialami (dirasakan), dijalankan, dan
dipertanggungjawabkan dalam praktek nyata (Purwodarminto, 1996: 8).
Pengalaman adalah proses mengadakan hubungan dengan lingkungan, sedangkan
tujuan dari pengalaman adalah untuk mengerti tentang lingkungan tersebut
(Soelaiman, 1975: 115). Pengalaman mengajar guru adalah apa yang telah dialami
oleh guru selama menjalankan tugasnya sebagai guru.
Hal yang perlu diperhatikan oleh guru adalah mereka harus senantiasa
meningkatkan pengalamannya, sehingga mempunyai pengalaman yang banyak
dan berkualitas yang dapat menunjang keberhasilan dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya Sumitro (2001: 70) mengatakan. Pengalaman adalah guru yang
baik, karena keterampilan memecahkan persoalan dalam proses belajar mengajar
kurang didapatkan guru melalui pendidikan formal yang ia tempuh, tapi lebih
banyak didasarkan pada pengalaman yang telah ia dapatkan selama ia mengajar.
Pengalaman-pengalaman bermanfaat yang diperoleh selama mengajar tersebut
akan dapat mempengaruhi kualitas guru dalam mengajar.
Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek
yang mempengaruhi profesionalisme seorang guru di bidang pendidikan dan
pengajaran (Barizi, 2009: 142). Semakin sering seseorang mengalami sesuatu,
maka semakin bertambah pengetahuan dan kecakapannya terhadap hal-hal
tersebut, dan ia akan lebih menguasai, sehingga dari pengalaman yang
diperolehnya seseorang dapat mencoba mendapatkan hasil yang baik (Purwanto
(2003: 104).
Dalam menekuni bidang tugasnya, pengalaman guru selalu bertambah,
semakin bertambah masa kerjanya diharapkan guru semakin banyak
pengalamannya, tingkat kesulitan yang ditemukan guru dalam pembelajaran
semakin hari semakin berkurang pada aspek tertentu seiring dengan
bertambahnya pengalaman sebagai guru (Djamarah, 2006: 112). Semakin lama
masa kerja, maka akan semakin beragam pengalaman yang diperoleh dalam
bekerja. Guru pemula dengan latar pendidikan keguruan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Karena dia sudah dibekali
seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Pengalaman mengajar guru
dapat diukur dari jumlah tahun lamanya ia mengajar, khususnya dalam mata
pelajaran yang diampunya.

2.4 Kinerja Guru

Performance is most often thought as task accomplishment, the term task


coming from Taylor’s early notion of a worker’s required activity (Nelson & Quick,
2006:191). Performance on the other hand, concerns those behavior directed toward
the organization’s mission or goals or the products and services resulting from those
behavior (Hughes, Ginnett & Curphy, 2009:390). A supportive context for
facilitating performance is one where goals are clearly defined, work methods are
made known, rewards are established that motivate effort, equipment, materials,
supplies, etc., are made available so that work is accomplished efficiently, and
management is supportive and fair (Sonentag, 2002:200). Performance is the
quantity or quality of something produced or services rendered by a person who
does the job (Luthans, 2008:165).
Performance is influenced most directly by individual attributes such as
ability and experience, organizational support such as resource and technology, and
effort, or the willingness of someone to work hard (Schermehon, 2010:130).
Performance is often defined simply in output terms-the achievement of quantified
objectives. But performance is a matter not only of what people achieve but how
they achieve it. High performance results from appropriate behavior, especially
discretionary behavior, and the effective use of the required knowledge, skills and
competencies (Armstrong, 2006:7).
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi
dalam periode waktu tertentu (Robbins, et al. 2003). Kinerja dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan, atau suatu hasil karya yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan
etika. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada
ekonomi (Armstrong & Baron, 2005)
Pengertian kinerja yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang
karyawan dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Pitts, 2009). Job performance
merupakan hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti,
kualitas, efisiensi, dan kriteria keefektifan lainnya (Gibson et al, 2003). Secara
umum dapat dinyatakan empat aspek dari kinerja, yaitu: 1) Kualitas yang
dihasilkan. 2) Kuantitas yang dihasilkan. 3) Waktu kerja. 4) Kerja sama (Sutrisno,
2010:172).

2.5 Literasi Anak Usia dini

Literasi berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan
kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan
membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual
yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan
secara visual (adegan, video, gambar)." National Institute for Literacy,
mendefinisikan Literasi sebagai "kemampuan individu untuk membaca, menulis,
berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan
dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat."
Sebagaian besar hasil penelitian menunjukkan kemampuan literasi awal
merupakan hal yang penting dalam kesuksesan akademik nanti (Duncan et al, 2007).
Level dari literacy dan kemampuan bahasa anak di taman kanak-kanak dan kelas satu
kuat diyakini kunci keberhasilan sekolah dan setelah sekolah yang lebih tinggi
(cuningham & stanovich, 1997).
Beberapa kemampuan khusus diperoleh dari banyak anak selama usia prasekolah
yang telah ditemukan untuk memfasilitasi perkembangan literasi selama usia sekolah
awal. Kemampuan tersebut termasuk didalamnya menulis nama (Wagner, Torgesen, &
Rashotte, 1994), pengenalan fonologi (Adams, 1990; Snow et al., 1998), dan
perkembangan kosa kata (Adams, 1990; Dickinson, Cote, & Smith, 1993; Hart & Risley
1995; Walker et al., 1994).
Literasi tumbuh dengan subur di beberapa negara berkembang dari kondisi yang
sama sebagai bagian dalam ekonomi negara maju; akses ke sekolah untuk murid dari tiap
umur, akses untuk bahan bacaan yang berkualitas dan akses untuk pengajaran yang
berkualitas (Levin & Lookheed, 2012). Pendidikan internasional baru- baru ini telah focus
pada promosi literasi (Filmer, Hasan, & Pritchett, 2006 ), sebagai contohnya, PBB
mengidentifikasi literasi sebagai tantang pendidikan global di tahun 2003 dan dalam
sebuah usaha untuk menghadapi keberhasilan perkembangan millennium, 10 tahun
kedepan akan dinamakan decade literasi (UNESCO, 2007 ). Hal ini sejalan dengan
pencapaian akan pendidikan untuk semua dengan meningkatnya rata-rata literasi global
50%, meningkatkan literasi menjadi sebuah komponen penting dalam program
pembelajaran (Richmond, Robinson, & Sachs- Israel, 2008 ).
Penelitian pada literasi anak usia dini memberikan hasil bahwa literasi terhubung
dengan lima komponen kunci yaitu kesadaran aka fonem, fonik, kosa kata, pemahaman
dan kefasihan (Snow et al., 1998). Kemampuan tersebut dipelajari selama di taman kanak-
kanak hingga kelas 3 sekolah dasar sebagaimana anak membawa pengalaman mereka
sebelumnya dengan bahasa lisan, bercerita dan menulis dan guru memfasilitasi
pengalaman tersebut melalui pengenalan bunyi, huruf, fonem dan kata (Ross et al, 2015).
Sebagaimana anak belajar untuk memanipulasi bunyi, membaca kata-kata buku dan
menyimpulkan arti kata dari sebuah kalimat, pemahaman akan membaca dan mendengar
mereka pun meningkat (Snow et al, 1998).

Age Development Developmental Milestone


stage
Birth- Language Interacts with books appropriately (e.g., recognizes
Age 3 acquisition books, pretends to read); distinguishes speech sounds

Age 3- Print Recognizes print in alphabet, books, and environment;


age 4 awareness literal listening comprehension; connects sounds to
print
Kinder Emergent Recognizes and understands letters, sounds, and sight
garten literacy and words; answers comprehension questions about stories
phonemic
awareness
Grade 1 First grade Accurately reads and comprehends texts on first grade
reading level; reads 300–500 words; reads 1-syllable, unknown,
and nonsense words; answers comprehension questions
after reading independently
Grade 2 Second grade Reads multi-syllabic and irregular words; comprehends
reading fiction and non-fiction; writes reports
Grade 3 Third grade Reads grade level fiction and non-fiction; uses root
reading words and affixes to infer word meanings; has more
advanced writing processes
Source: Neaum, 2010; Snow et al., 1998
3. Kesimpulan

Dari semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran literasi


sebaiknya dimulai sejak usia dini, dimana semua pembelajaran itu melibatkan berbagai
pihak. Karena disaat usia dini inilah sel otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50% dan
hingga usia 8 tahun mencapai 80%. Hingga sepantasnyalah usia dini merupakan usia yang
tepat untuk mengembangkan kemampuan anak. Kemampuan literasi pada awalnya adalah
kemampuan membaca dan menulis. Dan pada awalnya pendidikan di Indonesia lebih
mengenal dengan istilah pengajaran bahasa atau pelajaran bahasa. Namun, sesuai dengan
perkembangan zaman yang sangat cepat maka makna literasi juga ikut berkembang
sehingga maknanya tidak sekadar membaca dan menulis. Meskipun pengertian literasi
berkembang pesat, tetapi masih berkaitan dengan bahasa.
Pihak yang terkait dan sangat memegang peranan penting dalam pengembangan
literasi anak adalah Guru. Dalam meningkatkan literasi anak, guru dituntut untuk menjadi
sosok yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak baik itu dari sisi profesionalisme
maupun dari sisi orang dewasa. Guru yang berkualitas tentunya akan meningkatkan
kinerjanya dengan berbagai cara agar target yang dicapai dapat terwujud. Meningkatkan
kualifikasi akademik guru merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh guru dari
berbagai macam cara yang ada.
Dengan demikian, makna literasi berkembang dari sederhana menjadi lebih
kompleks. Dalam perkembangan literasi anak sejak masuk sekolah, guru dapat bekerja
lebih efektif dengan anak, kekurangan dan masalah dalam literasi dapat dicegah dan
kebijakan mengenai peningkatan literasi dapat disampaikan dengan baik.
Guru seharusnya mampu mengubah sikap dan perilaku dengan meningkatkan dan
mengembangkan diri sesuai kompetensi sehingga dapat menghadapi tantangan dan
perubahan. Perubahan ini membutuhkan kesediaan dari pendidik untuk mau
meningkatkan komitmen sehingga dapat meningkatkan kinerja, hal ini sesuai dengan
lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal Nomor 16 tahun 2007 tanggal 4 Mei
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi Guru, bahwa kualifikasi
akademik guru PAUD/TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal
diploma empat (D-IV) atau Sarjana (S-1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau
Psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
Pengalaman mengajar yang dimiliki seorang guru akan membawa manfaat yang
sangat besar untuk keberlangsungan proses belajar mengajar yang baik, karena
keterampilan memecahkan persoalan dalam proses belajar mengajar kurang didapatkan
guru melalui pendidikan formal yang ia tempuh, tapi lebih banyak didasarkan pada
pengalaman yang telah ia dapatkan selama ia mengajar. Pengalaman-pengalaman
bermanfaat yang diperoleh selama mengajar tersebut akan dapat mempengaruhi kualitas
guru dalam mengajar. Semakin sering seseorang mengalami sesuatu, maka semakin
bertambah pengatahuan dan kecakapannya terhadap hal-hal tersebut, dan ia akan lebih
menguasai, sehingga dari pengalaman yang diperolehnya seseorang dapat mencoba
mendapatkan hasil yang baik (Purwanto, 2003: 104)
Konsep efikasi diri itu sendiri merupakan keyakinan pada kemampuan diri sendiri
untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti
meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan Efikasi diri tinggi
memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika
menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil (Reivich dan Shatte,
dalam Wikipedia, 2009). Efikasi diri yang kuat yang dimiliki individu, akan
menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap pekerjaan. Keyakinan individu bahwa ia
mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan mengatasi berbagai kesulitan yang
muncul, akan mengarahkannya pada perasaan kontrol internal yang lebih besar pada
pekerjaan yang dilakukannya. Kontrol internal yang kuat atas pekerjaan yang dilakukan
dapat menstimulasi perasaan diri yang lebih bermakna, individu merasa lebih
bertanggung jawab, lebih terlibat dan lebih menikmati pekerjaannya dalam melakukan
aktivitas pekerjaannya. Keadaan ini selanjutnya akan dapat menimbulkan rasa nyaman
dan puas yang lebih besar dalam melakukan pekerjaannya.

Anda mungkin juga menyukai