Anda di halaman 1dari 240

[Type here]

HUKUM
ASURANSI
Kelompok 7

EKA AYU ERIANA 173112330050184

DZIKRI ZULKARNAIN 173112330050118

LA ASWAN JENNY 163112330050058

TUGAS UAS
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Daftar lsi
Kata Pengantar ........................................................... v

Daftar lsi ................................................................... vii

BAB 1 DOKTRIN SUBROGASI

Subrogasi dan Pembayaran ....................................... 1

Pengaturan Subrogasi ................................................ 8

Akibat Hukum Subrogasi ....................................... 15

Pengalihan Agunan dari Kreditor Lama Kepada Kreditor Baru........... ............................................. 18

Subrogasi dalam Perjanjian Jual-Beli ..................... 21

Subrogasi dalam Perjanjian Asuransi ........: ............ 23

Doktrin-doktrinAsuransi.......................................... 24

Faktor yang Menghalangi Penerapan Doktdn Subrogasi ........................................................,........... 26

Simple Subrogation dolam Sistem Common Law ... 34

Prosedur Subrogasi dalam Sistem Common law ..... 40

Pembagian Dana yang Diperoleh dad PihakKetiga .......................................................................... 42

Upaya Hukum pembelaan Diri (Defenses) Atas Subrogasi ,.......,.....,................,......,........ 43

vii
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Subrogasi dan Doktrin Real Party in Interest ........ 44

Konvensional Subrogasi dan Legal Subrogasi ........ 45

Subrogasi dalam PerjanjianPenanggunganUtang ........................................................................ 47

Apakah Pembayaran Sebagian UtangMengakibatkan Subrogasi? ....................................... 48

Mengapa Penanggung Utang Melepaskan Hak Istimewa ..................................................................... 50

Hak Subrogasi Lebih Penting dari Hak Regres ...... 52

Dapatkah hak Subrogasi Dilepaskan?..................... 53

BAB2
Perbedaan Antara Subrogasi dan Novasi................ 57

Pengaturan Novasi ................................................... 59 Novasi


Objektif........................................................ 65

Jual-Beli Tekstil Dikonversi Menjadi UtangPiutang ........................................................................ 65


Restrukturisasi Utang sebagai Bentuk Novasi ......... 74

Novasi Subjektif Aktif dalam Pembayarandengan Kartu Kredit ................................................ 86

Hubungan antara Pemegang Kartu Kredit danBank Penerbit ............................................................. 89


Hubungan Hukum antara Penerbit dan Outlets ..... 91

Hubungan Hukum antara Pemegang Kartu dan Outlets......................................................................... 93

Novasi Subjektif Pasif.............................................. 94

BAH 3 CESSIE: DmITRIN PENGALIHAN PIUTANG ATAS NAMA 101

Perbedaan Cessie, Subrogasi, Novasi ................... 101

Pengaturan Cessie .................................................. 102

Doktrin Keabsahan Pengalihan Hak .................... 107

viii
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Cessie dan Ketentuan Pasal1977 Ayat 1Kitab Undang-Undang Humum Perdata ........... 108

Kasus Cessie Bank Bali.......................................... 114

Analisa Kasus ........................................................... 120

Apakah Retro Cessie Diperbolehkan? .................. 123

Gadai Piutang Atas Nama dan Cessie sebagai

Jaminan ................................................................... 125

Factoring ................................................................. 128

Assignment dalam Sistem Common law .............. 133

HakAssignee Terhadap Obligor ............................. 135

DAFTAR PUSTAKA…..139

LAMPIRAN …….143

ix
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie
1
Doktrin Subrogasi

1. SUBROGASI DAN PEMBAYARAN


Pembicaraan mengenai doktrin subrogasi tidak dapat dipisahkan
dari pembayaran karena subrogasi memang timbul sebagai akibat
pembayaran. Subrogasi terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh
pihak ketiga kepada kreditor (si berpiutang) baik secara langsung maupun
secara tidak langsung yaitu melalui debitor (si berutang) yang meminjam
uang dari pihak ketiga. Pembayaran adalah setiap pemenuhan prestasi
secara sukarela dan mengakibatkan hapusnya perikatan antara kreditor
dan debitor. Selanjtunya pihak ketiga ini menggantikan kedudukan
kreditor lama, sebagai kreditor yang baru terhadap debitor.
Mengenai hal ini memang terdapat berbagai doktrin. Misalnya
pendapat bahwa dengan terjadinya pembayaran maka perikatan antara
kreditor yang lama menjadi hapus dan kemudian dihidupkan lagi untuk
kepentingan pihak ketiga sebagai kreditor baru. Pendapat yang lain
mengatakan bahwa hanya perikatan antara kreditor lama dengan debitor
yang hapus, maka kreditor lama tidak dapat lagi menuntut kepada debitor
tetapi bagi si debitor dia tetap
mempunyai kewajiban untuk membayar utang kepada pihak ketiga
sebagai kreditor baru (C.Asser, 1996:503).

1
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Terlepas dari teori-teori tersebut subrogasi dapat dipandang


tuntutan untuk dipenuhinya “kepatutan”. Dalam hal ini jangan sampai
kreditor menerima pembayaran dua kali atas utang yang sama; setelah
menerima pembayaran dari pihak ketiga, kreditor menuntut pembayaran
lagi dari debitor. Dengan demikian si kreditor memperkaya diri sendiri
atas biaya pihak ketiga. Karena itu diperlukan subrogasi dimana pihak
ketiga menggantikan kedudukan kreditor menagih pembayaran kepada
debitor.
Demikian pula dalam sistem common law, doktrin subrogasi
dipandang sebagai upaya pemulihan hukum (remedy) berupa restitusi
untuk mencegah terjadinya unjust enrichment atau memperkaya diri
secara tidak adil. Karena itu pihak penggugat, yang mendalilkan
terjadinya subrogasi harus membuktikan pertama, ada pihak yang
memperkaya diri (enrichment) karena menerima manfaat ekonomis atas
terjadinya pembayaran; kedua, manfaat ekonomis tersebut diterima
sebagai akibat pembayaran yang dilakukan oleh penggugat; ketiga,
timbul ketidakadilan karena pihak yang memperkaya diri menahan
manfaat ekonomis atas pembayaran oleh penggugat, sehingga perlu
dilakukan subrogasi (Charles Mitchell, 1994:9).
Untuk lebih memahami hal ini, menurut Charles Mitchell dalam
bukunya The Law of Subrogation perlu diketahui bahwa dalam sistem
common law subrogasi dapat dibedakan atas simple subrogation dan
reviving subrogation.
Dalam simple subrogation pembayaran yang dilakukan oleh pihak
ketiga kepada kreditor oleh hukum dianggap tidak menghapuskan
kewajiban debitor kepada kreditor.
Karena itu pihak ketiga yang telah membayar utang debitor kepada
kreditor tidak dapat langsung menuntut pembayaran kembali dari debitor.
Bahkan kreditor yang telah menerima pembayaran dari pihak ketiga dapat
2
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menuntut pembayarn lagi kepada debitor. Akan tetapi hal ini akan
menimbulkan unjust enrichment, karena kreditor menerima pembayaran
dua kali dan menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga. Dengan demikian,
supaya tidak terjadi unjust enrichment, pihak ketiga dapat meminta
supaya dilakukan subrogasi. Dalam hal ini pihak ketiga bertindak dengan
menggunakan nama kreditor meminta pembayaran kepada debitor
(Charles Mitchell, 1994:5-6).
Sebaliknya dalam reviving subrogation, pembayaran yang
dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditor mengakibatkan hapusnya
kewajiban debitor kepada kreditor. Karena itu, hukum memberikan hak
kepada pihak ketiga untuk melakukan subrogasi dengan menggantikan
kedudukan kreditor lama, menuntut pembayaran kepada debitor.
Subrogasi dipandang sebagai upaya pemulihan hukum atas terjadinya
unjust enrichment yang diterima oleh debitor atas biaya yang dikeluarkan
oleh pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga mengajukan permintaan
pembayaran kepada pihak debitor dengan menggunakan namanya sendiri
dan bukan dengan nama kreditor lama (Charles Mitchell, 1994:6-7).
Dengan demikian dalam simple subrogation, subrogasi dipandang
sebagai restitusi atas unjust enrichment kreditor (jangan sampai kreditor
memperoleh dua kali pembayaran atas utang yang sama, dari pihak ketiga
dan dari debitor, atau dalam asuransi jangan sampai tertanggung
memperoleh pembayaran dua kali yaitu dari penanggung dan dari pelaku
perbuatan melawan hukum), sedangkan dalam reviving subrogation,
subrogasi dipandang sebagai restitusi atas unjust enrichment debitor

(jangan sampai debitor memperoleh pembebasan utang atas biaya dari


pihak ketiga secara cuma-cuma sehingga merugikan pihak ketiga).
Dari paparan di atas nampaklah perbedaan dan persamaan antara
doktrin subrogasi dalam sistem civil law dan common law. Dalam sistem
3
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

civil law subrogasi di mata hukum menghapuskan perikatan antara


kreditor lama dan debitor selanjutnya perikatan itu hidup lagi antara pihak
ketiga sebagai kreditor baru dan debitor. Konsep ini lebih dekat dengan
reviving subrogation dalam sistem common law.
Contoh terjadinya reviving subrogation dalam sistem common law
adalah hubungan hukum antara antara surety sebagai penjamin utang dan
debitor sebagai principal. Ketika surety sebagai penjamin utang
membayar kepada kreditor, maka pembayaran tersebut menghapuskan
hak kreditor untuk menuntut pembayaran kepada debitor. Maka surety
mempunyai hak subrogasi untuk menuntut dengan namanya sendiri
pembayaran sejumlah uang kepada debitor sebagai principal (Charles
Mitchell, 1994:7).
Sebaliknya dalam simple subrogation menurut sistem common law
pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga tidak menghapuskan
kewajiban debitor kepada kreditor, karena itu pihak ketiga bertindak
menggunakan nama kreditor dalam melakukan subrogasi. Contoh
terjadinya simple subrogation adalah hukum asuransi. Ketika pihak
asuransi sebagai penanggung membayar sejumlah uang atas dasar doktrin
indemnitas kepada tertanggung karena kerugian yang dideritanya, maka
pembayaran tersebut tidak menghapuskan hak tertanggung untuk
menuntut pelaku perbuatan melawan hukum. Karena itu dalam
melakukan subrogasi, pihak asuransi menggunakan nama tertanggung
mengajukan tuntutan kepada pelaku

perbuatan melawan hukum (Charles Mitchell, 1994:7).


Konsep unjust enrichment dalam sistem common law
sesungguhnya mempunyai kemiripan dengan konsep kepatutan dalam
sistem civil law dimana Asser, seorang ahli hukum Belanda, dalam
4
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

bukunya mengatakan bahwa terlepas dari berbagai teori mengenai


subrogasi yang mengedepankan perdebatan teknis hukum, subrogasi
memang diperlukan untuk memenuhi kepatutan jangan sampai seorang
memperkaya diri atas biaya orang lain. (C.Asser, 1996:504).
Dalam subrogasi pembayaran dapat dilakukan oleh pihak ketiga
kepada kreditor atau dibayar oleh debitor dengan uang yang diterimanya
dari pihak ketiga. Yang perlu diperhatikan adalah menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dalam hal pihak ketiga membayar kepada
kreditor, maka subrogasi hanya terjadi jika pihak ketiga bertindak untuk
diri sendiri. Sebab seandainya pihak ketiga membayar untuk dan atas
nama debitor, maka perikatan antara kreditor dan debitormenjadi hapus
dan tidak beralih kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan
pembayaran mungkin saja orang yang sama sekali berada di luar
hubungan hukum antara kreditor dan debitor tetapi dapat juga seorang
debitor lain yang secara tanggung renteng bertanggung jawab untuk
membayar utang kepada kreditor. Memang seorang kreditor dalam
perikatan tanggung-menanggung mempunyai keuntungan untuk memilih
seorang debitor yang paling mampu untuk melunasi seluruh utang.
Selanjutnya, debitor yang membayar utang menggantikan posisi kreditor
terhadap debitor lainnya.
Pertanyaan selanjutnya apakah hanya utang-utang dalam lapangan
Hukum Perdata saja yang dapat disubrogasi, bagaimana dengan utang
pajak? Asser berpendapat bahwa hal ini dimungkinkan, tetapi prosedur

yang ditempuh harus mengikuti Hukum Acara Perdata bukan melalui


penagihan pajak melalui surat paksa (C.Asser, 1996:505). Prosedur
melakukan subrogasi atas utang perdata dapat ditempuh melalui gugatan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR),
dalam hal terjadi penolakan atas hak subrogasi. Sedangkan prosedur
5
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

penagihan utang pajak diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1997


tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, khususnya dalam Pasal 7
disebutkan bahwa Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai
kekuatan eksekutor dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya
dalam Pasal 8, Surat Paksa diterbitkan bila Penanggung Pajak tidak
melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran
dan kepadanya telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantu
dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran
pajak. Kemudian Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang
No.19 Tahun 2000 tentang Peurbahan atas Undang-Undang No.19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sebagai peraturan
pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 136 Tahun 2000
tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang Dikecualikan dari
Penjualan Secara Lelang dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
Pajak dalam sistem hukum Indonesia sebagai piutang negara
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari piutang-piutang lainnya,
termasuk piutang yang dijamin

dengan gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan. Dengan demikian


apakah pihak ketiga yang membayar utang pajak juga mempunyai
privilege atas piutang dari kreditor lain yang dijamin dengan jaminan
kebendaan tersebut?
Menurut pendapat kami tidak demikian, sebab hubungan pihak
ketiga dengan wajib pajak adalah di bidang keperdataan artinya piutang
6
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tersebut berubah menjadi piutang perdata bukan piutang negara. Karena


itu, pihak ketiga sebagai kreditor baru harus menempuh prosedur Hukum
Acara Perdata, sebaliknya bagi aparat pajak tidak dapat menempuh
prosedur Hukum Acara Perdara, seperti kepailitan. Seperti dalam kasus
permohonan kepailitan yang dilakukan oleh PT Liman International
(kreditor) terhadap PT Wahana Pandugraha (debitor). Debitor juga
mempunyai utang kepada kreditor lainnya yaitu:
1. Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Gambir;
2. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten
Pandegelang;
3. Sdr. Surya Widjaya;
4. Sdr. Jonny Nainggolan; dan
5. Sdr. Dominicus Alam
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1998 salah
satu syarat pokok agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan,
debitor yang bersangkutan harus mempunyai sekurang-kurangnya dua
kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih.
Mahkamah Agung dalam Perkara No.015K/N/1999, Tanggal 14
Juli 1999 memutuskan bahwa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

tidak termasuk sebagai kreditor yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1


Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Selanjutnya,
menurut Undang-Undang No.6 Tahun 1983 jo. Undang-Undang No.9
Tahun 1994, tagihan utang pajak berada di luar jalur proses pailit, karena
penyelesaian utang pajak mempunyai kedudukan hak istimewa. Karena
itu Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan bukan merupakan kreditor konkuren.
7
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Demikian pula, tidak dapat dibuktikan adanya hubungan hukum


utang piutang antara Surya Widjaya, Jonny Nainggolan, Dominicus Alam
dengan PT Wahana Pandugraha. Berdasarkan hal tersebut maka Pemohon
tidak berhasil membuktikan bahwa pada saat perkara diajukan dan
diperiksa, termohon benar-benar berhadapan dengan dua kreditor atau
lebih, tetapi yang terbukti hanya pemohon sendiri sebagai kreditor. Maka
Mahkamah Agung menolak permohonan pailit ini karena tidak memenuhi
persyaratan Pasal 1 (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1998. Sekarang ini
bagi perkara permohonan pailit berlaku Undang-Undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
Di bidang hukum asuransi doktrin subrogasi tidak dapat dipisahkan
dari doktrin indemnity. Artinya suatu perjanjian penanggungan yang tidak
memenuhi azas indemnitas tidak menimbulkan hak subrogasi, meskipun
perusahaan asuransi telah membayar klaim asuransi. Mengenai hal ini
akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab subrogasi dalam perjanjian
asuransi.

1. PENGATURAN SUBROGASI
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Disebutkan dalam pasal tersebut Subrogasi adalah penggantian
hak-hak oleh seorang pihak
ketiga yang membayar kepada Kreditor. Subrogasi dapat terjadi baik
melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh Undang-Undang.
Mengenai subrogasi yang terjadi karena perjanjian diatur dalam
Pasal 1401 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kemungkinan yang
pertama adalah si kreditor menerima pembayaran dari pihak ketiga dan
dengan tegas menyatakan bahwa pihak ketiga menggantikan hal-hak
kreditor terhadap debitor termasuk gugatan, hak istimewa maupun

8
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

hipotek yang menjamin pelunasan utang debitor. Selain harus dinyatakan


dengan tegas subrogasi harus dilakukan tepat pada waktu pembayaran.
Subrogasi memang harus dinyatakan dengan tegas karena subrogasi
berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan
pembayaran kepada kreditor adalah untuk menggantikan kedudukan
kreditor lama, bukan membebaskan debitor dari kewajiban membayar
utang kepada kreditor. Selanjutnya, pihak ketiga sebagai kreditor baru
berhak melakukan penagihan utang terhadap debitor dan jika debitor
wanprestasi, maka kreditor baru mempunyai hak untuk melakukan
eksekusi atas benda-benda debitor yang dibebani dengan jaminan seperti
gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Kemungkinan yang kedua adalah debitor meminjam uang dari
pihak ketiga untuk melunasi utangnya kepada kreditor dan menetapkan
bahwa pihak ketiga menggantikan hak-hak kreditor terhadap debitor.
Supaya subrogasi ini sah maka baik perjanjian pinjam meminjam uang
antara pihak ketiga dan debitor harus dibuat dengan akta autentik
demikian pula tanda pelunasannya. Dalam perjanjian pinjam meminjam
uang antara pihak ketiga dengan debitor harus ditegaskan bahwa uang
tersebut digunakan untuk melunasi utang debitor kepada kreditor.
Selanjutnya setelah debitor membayar kepada kreditor, maka dalam
tanda pelunasannya harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan
dengan menggunakan uang yang dipinjam dari pihak ketiga sebagai
kreditor baru.
Keseluruhan proses tersebut adalah untuk menjamin kepentingan
pihak ketiga yang akan menggantikan kedudukan kreditor lama. Karena
ketika debitor meminjam uang dari pihak ketiga, pihak kreditor lama
tidak dilibatkan. Untuk itu diperlukan akta autentik yang menerangkan
bahwa debitor meminjam uang dari pihak ketiga untuk melunasi
utangnya kepada kreditor. Akta autentik menurut Pasal 1868 Kitab
9
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang dibuat dalam


bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum (seperti Notaris) yang berwenang dalam wilayah
dimana akta itu dibuat. Suatu hal yang penting dari akta autentik sebagai
alat bukti adalah bahwa suatu akta autentik mempunyai kekuatan
pembuktian baik bagi para pihak yang membuat dan menandatanganinya
(dalam hal ini pihak ketiga dan debitpr) dan juga mempunyai kekuatan
pembuktian keluar (dalam hal ini terhadap kreditor lama). Dengan
demikian tidak ada keragu-raguan lagi bahwa tujuan pembayaran yang
dilakukan oleh pihak ketiga kepada debitor adalah untuk menggantikan
kedudukan kreditor lama dan bukan membebaskan debitor dari kewajiban
membayar utang kepada kreditor. Selanjutnya perlu diperhatikan
ketentuan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu
akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang atau cacat
bentuknya, maka akta tersebut diberlakukan sebagai akta di bawah
tangan.
Sedangkan subrogasi yang terjadi karena undang-undang diatur
dalam Pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Subrogasi
menurut undang-undang, arti-
nya subrogasi terjadi tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan
kreditor lama, maupun antara pihak ketiga dengan kreditor lama, maupun
antara pihak ketiga dengan debitor.
Dalam pasal ini disebutkan bahwa jika seorang kreditor pemegang
hipotek yang kedua yang melunasi piutang kreditor pemegang hipotek
yang pertama, maka terjadi subrogasi yaitu pemegang hipotek kedua
menggantikan kedudukan pemegang hipotek pertama.
Demikian pula jika seseorang pembeli benda tidak bergerak yang
dibebani hipotek, menggunakan uang pembayaran harga benda tersebut

10
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

untuk melunasi kreditor pemegang hipotek, maka terjadi subrogasi yaitu


si pembeli menggantikan kedudukan kreditor pemegang hipotek.
Subrogasi memang terjadi selama sebelum diadakan yurisdische
levering atau perbuatan hukum pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Sebab apabila telah dilakukan yurisdische levering,
maka benda tersebut duah menjadi milik pembeli. Dapatkah hak hipotek
pembeli membebani benda miliknya sendiri? Hipotek hanya dapat
dibebankan atas benda milik orang lain seperti benda milik debitor atau
pihak ketiga dan bukan mebebani benda milik kreditor (baru) sendiri.
Selanjutnya, dalam perikatan tanggung-menanggung dimana
terdapat beberapa debitor, maka subrogasi terjadi jika seorang debitor
membayar atau melunasi utang debitor lainnya. Namun perlu
diperhatikan ketentuan Pasal 1282 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyebutkan bhwa eksistensi suatu perikatan tanggung-
menanggung harus dinyatakan dengan tegas oleh para pihak atau dengan
tegas ditentukan oleh undang-undang.
Akhirnya, seorang ahli waris yang mempunyai hak istimewa untuk
melakukan pencatatan atas keadaan harta

warisan dan dia telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya


sendiri, juga menggantikan kedudukan kreditor harta warisan tersebut.
Pasal 1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan
lebih lanjut bahwa dalam hal utang debitor hanya dibayar sebagian oleh
pihak ketiga, maka subrogasi baik yang terjadi karena perjanjian maupun
yang terjadi karena undang-undang, tidak menghalangi kreditor lama
untuk menuntut sisa pembayaran utang dari debitor. Untuk sisa piutang
yang belum dibayar maka kedudukan kreditor lama lebih tinggi dari
kreditor baru.

11
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Sebagai perbandingan dalam Nieuw Nerderlands Burgerlijk


Wetboek, Subrogative diatur di Buku 6 Titel 2 Afdeling 2 (P.P.C.
Haanappel dan Ejan Mackaay, 1990:292-296). Dalam Pasal 150 (6.2.2.7)
disebutkan bahwa suatu piutang beralih kepada pihak ketiga atas dasar
subrogasi karena:
a. Jika benda yang menjadi milik pihak ketiga disita dan dieksekusi
untuk membayar suatu piutang;
b. Jika pihak ketiga membayar suatu tagihan karena benda miliknya
dibebani jaminan bagi pelunasan suatu piutang;
c. Jika pihak ketiga membayar suatu piutang untuk mencegah penyitaan
dan eksekusi atas benda bukan miliknya dimana penyitaan dan
eksekusi akan mengakibatkannya kehilangan hak atas benda tersebut
atau piutang pihak ketiga menjadi tidak terjamin pemenuhannya;
d. Atas dasar kesepakatan antara pihak ketiga (yang membayar tagihan)
dan debitor, dan dalam hal ini kreditor mengetahui adanya
kesepakatan tersebut pada saat pihak ketiga membayar piutang atau
kreditor telah diberitahu.

Selanjutnya dalam Pasal 151 (6.2.2.8) paragraf satu Nieuw Nederlands


Burgerlijk Wetbock disebutkan bahwa tidak terjadi subrogasi yang
disebut Pasal 150 atas utang dalam hubungan antara pihak ketiga dengan
debitor. Dalam paragraf dua disebutkan bahwa hak kreditor terhadap
penjamin utang atau pihak lainnya beralih kepada pihak ketiga sampai
jumlah tertentu (maksimum) sesuai dengan besarnya hak kreditor
terhadap penjamin atau terhadap orang lain.
Kemudian Pasal 152 (6.2.2.9) paragraf pertama, menyebutkan
bahwa dalam hal atas tagihan tersebut baik untuk seluruhnya atau
sebagian tidak mungkin dilakukan recourse, maka untuk sejumlah
12
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tagihan yang tidak dibayar dibagi secara proporsional antara pihak yang
melakukan subrogasi dengan penjamin utang sesuai dsengan besar jumlah
kewajiban masing-masing terhadap kreditor pada saat terjadi
pembayaran. Pada paragraph kedua disebutkan bahwa hak subrogasi
tidak dapat melebihi jumlah yang dapat ditagih oleh kreditor kepada
debitor, pada saat terjadinya pembayaran. Selanjutnya paragraph ketiga
menyebutkan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam apportionment
(berbagi dalam membayar utang), tetap mempunyai hak untuk menagih
kembali pengeluarannya terhadap pihak yang membuat tidak mungkin
dilaksanakannya penagihan utang.
Selanjutnya dalam Pasal 153 (6.2.2.9a) Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa dalam hal terjadi subrogasi atas
tagihan principal maka pihak yang berhak atas subrogasi hanya berhak
membebani bunga atas tagihan tersebut sejak periode setelah beralihnya
piutang tersebut. Akhirnya Pasal 154 (6.2.2.9b) menyebutkan bahwa
kreditor tidak boleh melakukan tindakan apapun yang menghalangi
terjadinya subrogasi, jika pem-

bayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga akan menimbulkan hak


subrogasi.
Dalam the French Civil Code (Code Civil Perancis), Pasal 1249
disebutkan bahwa subrogasi adalah hak kreditor bagi manfaat atau
kepentingan pihak ketiga yang membayar kepadanya dan subrogasi
terjadi secara konventional maupun secara legal. Selanjutnya Pasal 1250
the French Civil Code Code menyebutkan terjadinya konventional
subrogasi, yaitu:
1. Ketika kreditor menerima pembayaran dari pihak ketiga yang
menggantikan haknya, tindakan hukum, privilege maupun hipotek

13
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

terhadap debitor; subrogasi harus dinyatakan dengan tegas pada waktu


pembayaran;
2. Ketika debitor meminjam uang untuk membayar utangnya dan supaya
pihak yang meminjamkan uang menggantikan kedudukan kreditor
dengan cara subrogasi. Untuk syarat sahnya subrogasi dokumen
peminnjaman uang dan tanda terima harus dibuat dan ditandatangani di
hadapan notaris. Dokumen peminjaman uang tersebut harus menyatakan
bahwa uang yang dipinjam figunakan untuk membayar utang debitor
kepada kreditor dan pada tanda terima dinyatakan bahwa pembayaran
dilakukan dengan menggunakan uang dari kreditor baru. Subrogasi dapat
terjadi tanpa persetujuan kreditor lama.
Selanjutnya Pasal 1251the French Civil Code menjelaskan
terjadinya subrogasi demi hukum, yaitu:
1. Subrogasi terjadi bagi kepentingan kreditor yang membayar piutang
kreditor lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi berdasarkan
privilege atau hipotek;

2. Subrogasi terjadi bagi kepentingan pembeli yang menggunakan uang


pembayaran harga untuk membayar piutang kreditor yang dijamin dengan
hipotek;
3. Subrogasi terjadi bagi kepentingan pihak yang diwajibkan bersama pihak
lain atau bagi kepentingan pihak lain, untuk membayar utang dan
mempunyai kepentingan untuk membayar utang;
4. Subrogasi terjadi bagi kepentingan seorang ahli waris yang mempunyai
hak istimewa untuk mngadakan pencatatan harta peninggalan, dan telah
membayar utang warisan dengan uangnya sendiri.
Kemudian Pasal 1252 the French Civil Code menyebutkan bahwa
subrogasi yang disebutkan pada pasal-pasal tersebut di atas berlaku
terhadap penanggung dan berlaku terhadap debitor. Kreditor tidak boleh
14
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dirugikan jika dia baru menerima sebagian pembayaran piutangnya dan


dalam hal ini kreditor mempunyai hak mendahului atas sisa pembayaran
yang belum diterimanya. Hak mendahului berlaku terhadap pihak dari
siapa kreditor menerima pembayaran sebagian piutangnya.
3. AKIBAT HUKUM SUBROGASI
Akibat hukum subrogasi adalah beralihnya piutang kreditor kepada
pihak ketiga yang melakukan pembayaran. Suatu perjanjian pinjam
meminjam uang adalah suatu perjanjian pokok yang dalam praktik sering
diikuti oleh pengikatan jaminan seperti gadai, fidusia, hipotek, dan hak
tanggungan sebagai perjanjian accessoir. Sifat suatu perjanjian accessoir
adalah mengikuti perjanjian pokoknya. Dengan demikian dengan
terjadinya subrogasi, maka hak kreditor sebagai pemegang gadai, fidusia,
hipotek, dan hak tanggungan juga beralih kepada pihak ketiga sebagai
kreditor baru.
Namun demikian perlu juga diperhatikan keabsahan perjanjian
pokoknya, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang ataupun perjanjian
kredit. Sebab pembebanan jaminan seperti gadai, fidusia, hipotek, dan
hak tanggungan adalah perjanjian yang bersifat accessoir, artinya sah
atau tidaknya perjanjian accessoir tergantung pada keabsahan perjanjian
pokoknya. Dalam hal perjanjian pokoknya sah dan perjanjian
accessoirnya tidak sah, maka kreditor dalam kedudukannya sebagai
kreditor preference tidak dapat melakukan eksekusi atas benda yang
dibebani gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan. Akan tetapi dalam
kedudukannya sebagai kreditor konkuren masih dapayt melakukan
eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa semua harta benda
debitor, demi hukum menjadi jaminan bagi utang-utangnya kepada para
kreditor dan hasil penjualan benda tersebut dibagi secara prorate; menurut
besar kecilnya piutang kreditor.
15
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Berikut ini suatu kasus yang menarik mengenai pembebanan


hipotek atas harta bersama dalam kasus antara Juned Adiwijaya melawan
PT Bank Rama Cabang Semarang dan Hartanto, Ny. Ratnawati, Notaris
Hadi Wibisono, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No.2196
K/Pdt/1992.
Pada tanggal 29 Oktober 1968, Juned Adiwijaya menikah dengan
Ny. Ratnawati di Catatan Sipil Kodya Bandung, berdasarkan Akta
Perkawinan No.371/1968. Mereka menikah tanpa membuat perjanjian
kawin sehingga berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terjadi persatuan harta perkawinan. Selama perkawinan, mereka
memperoleh tiga bidang tanah, yaitu

Sertifikat Hak Milik No. 128, di Jalan Kampung Jambe No. 283;
Sertifikat Hak Milik No. 247 terletak di Kampung Jambe No. 282 B,
Semarang, dan Sertifikat Hak Milik No. 198 terletak di Kampung Jambe
No. 282 C, Semarang semuanya atas nama RATNAWATI.
Di dalam Akta Kuasa Memasang Hipotek No. 98 tanggal 9 Juni
1990 yang dibuat di hadapan Notaris, dinyatakan bahwa Ratnawati
bertindak sebagai penjamin utang Hartono kepada PT Bank Rama
Cabang Semarang. Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik No. 128,
Sertifikat Hak Milik No. 247, dan Sertifikat Hak Milik No. 198 yang
terletak di Kampung Jambe Semarang tersebut harta bersama Juned
Adiwijaya dan Ratnawati. Bahwa Surat Kuasa Memasang Hipotek
tersebut dibuat tanpa persetujuan Juned Adiwijaya sehingga dalam amar
16
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

putusannya Mahkamah Agung menyatakan batal demi hukukm (nietig)


atau setidak-tidaknya dinyatakan batal terhadap Akta Kuasa Memasang
Hipotek No. 92 tersebut.
Dari kasus tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa pihak Bank
sebagai kreditor harus berhati-hati dalam hal menerima hipotek ataupun
hak tanggungan atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan.
Untuk membebani harta bersama dengan jaminan khusus seperti Akta
Hipotek harus dibuat dengan persetujuan suami istri. Bagaimana halnya
jika kreditor hendak melakukan eksekusi terhadap harta bersama yang
tidak dibebani gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan. Apakah juga
harus dengan persetujuan suami istri? Jika demikian halnya maka
perjanjian kredit yang dibuat antara Bank dan pihak suami harus
memperoleh persetujuan istri dan sebaliknya. Hak ini perlu memperoleh
perhatian sebab berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata seluruh harta benda debitor demi hukum menjadi jaminan bagi
pelunasan utangnya kepada para kreditor. Dalam hal ini bank bertindak
sebagai kreditor konkuren.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, khususnya Pasal 35, status harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan tetap
menjadi milik masing-masing suami istri. Dengan demikian pembebanan
jaminan atas harta bersama harus memperoleh persetujuan kedua belah
pihak.
3.1 Pengalihan Agunan dari Kreditor Lama kepada Kreditor Baru
Persoalan selanjutnya adalah dalam Akta Hipotek, tercantum nama
kreditor yang lama sebagai pemegang hipotek. Apakah untuk terjadinya
subrogasi harus dibuat akta hipotek yang baru untuk kemudian
didaftarkan kembali atas nama kreditor baru sebagai pemegang hipotek?
17
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Sebagaimana diketahui dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun


1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tangggungan, maka sepanjang pembebanan jaminan
atas tanah, ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tidak berlaku lagi. Dalam hal ini Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan telah mengatur hal ini, khusus dalam
Pasal 16 yang menyebutkan bahwa dengan terjadinya pengalihan piutang
karena cessie, subrogasi, pewarisan, dan sebab lainnya, maka demi
Hukum Hak Tanggungan beralih kepada kreditor yang baru. Dengan
demikian menurut undang-undang ini tidak perlu dibuat Akta
Pembebanan Hak Tanggungan antara kreditor baru (pihak ketiga) dengan
debitor. Hak Tanggungan atas nama kreditor baru sebagai pemegang Hak

Tanggungan dapat langsung didaftarkan menggantikan kreditor yang


lama. Meskipun dalam praktik mungkin saja para pihak merasa lebih
“aman” untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan lagi.
Dalam hal gadai, maka harus dipenuhi syarat inbezitsteling, artinya
untuk sahnya gadai barang harus dilepaskan dari kekuasaan debitor.
Rasio dari pasal ini adalah untuk melindungi kepentingan kreditor, karena
apabila barang bergerak yang tetap dalam kekuasaan debitor dan
kemudian dijual dan dialihkan kepada pihak ketiga, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
pihak ketiga sebagai pembeli barang bergerak yang beritikad baik
dilindungi dari gugatan kreditor. Untuk memenuhi syarat inbezitsteling
maka barang bergerak tersebut dapat ditaruh di bawah kekuasaan kreditor
atau orang lain yang disepakati oleh mereka.
Apabila utang yang dijamin dengan gadai dibayar oleh pihak ketiga
apakah untuk terjadinya subrogasi atas hak gadai maka kreditor lama
harus melepaskan kekuasaan atas barang bergerak tersebut dan
18
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menyerahkannya kepada kreditor baru? Asser berpendapat tidak harus


demikian, karena kreditor lama dapat tetap menguasai barang tersebut
bagi kepentingan kreditor baru (C.Asser, 1996:508). Akan tetapi,
pendapat Asser ini berbeda dengan pengaturan dalam Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek, khususnya Pasal 143 yang menyebutkan bahwa jika
seluruh piutang dialihkan, maka kreditor lama harus menyerhkan
penguasaan atas benda yang digadaikan kepada kreditor baru (P.P.C.
Haanappel dan Ejan Mackaay, 1994:229).
Dalam hal fidusia penyerahan barang bergerak sebagai jaminan
utang dilakukan secara contititutum possessorium. Artinya si debitor tetap
menguasai barang tersebut. Hal

ini disebabkan karena barang yang dijadikan jaminan merupakan “barang


modal”. Misalnya seorang pengusaha Café Internet membutuhkan uang,
tentunya sangat riskan jika ia menyerahkan komputernya sebagai jaminan
utang, karena computer tersebut diperlukan untuk operasional cafenya.
Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, maka
lahirnya fidusia adalah dengan pendaftaran. Dalam ilmu hukum hal ini
disebut Azas Publisitas. Melalui publisitas maka pihak ketiga mengetahui
bahwa benda yang bersangkutan dibebani fidusia, sehingga pihak ketiga
yang membeli benda bergerak yang dibebani fidusia, tidak dapat lagi
berlindung di balik ketentuan Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebagai pembeli beritikad baik. Pasal 20 Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa fidusia mengikuti bendanya di
tangan siapa pun benda tersebut berada, kecuali barang persediaan seperti
barang yang diperdagangkan di toko.
Dengan adanya ketentuan bahwa fidusia mengikuti bendanya tentu
lebih menjamin kepentingan kreditor ataupun pihak ketiga yang
melakukan subrogasi. Namun dalam praktik untuk kredit lima puluh juta
19
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

ke bawah, atau serratus juta ke bawah adakalanya, bank tidak membuat


akta fidusia dengan akta autentik. Yang dibuat di hadapan notaris.
Padahal akta pembebanan fidusia yang dibuat dengan akta di bawah
tangan tidak dapat didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Hal ini
disebabkan akta di bawah tangan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
bagi para pihak yang membuatnya. Karena kata fidusia tidak dapat
didaftarakan, maka fidusia belum lahir, sehingga status kreditor adalah
sebagai kreditor konkruen dan benda yang dijadikan jaminan dialihkan
kepada pihak ketiga, maka pihak ketiga dapat berdalih sebagai pembeli
beritikad baik.

Dalam akta fidusia di bawah tangan biasanya diperjanjikan bahwa


debitor memberi kuasa kepada kreditor untuk menjual barang jaminan
dalam hal terjadi wanprestasi atas pembayaran utang. Ketika pihak ketiga
membayar utang tersebut maka tentunya terjadi subrogasi di mana pihak
ketiga menggantikan kedudukan kreditor untuk menagih utang kepada
debitor. Pertanyaan selanjutnya apakah kuasa menjual tersebut juga
beralih kepada pihak ketiga, mengingat kuasa menjual tersebut dibuat
untuk memperkuat kedudukan kreditor lama, sehingga kuasa menjual
tersebut juga berlaku bagi kreditor baru? Seandainya pun dianut pendirian
bahwa kuasa menjual tersebut juga berlaku bagi kreditor baru, legalitas
kuasa menjual tersebut juga dapat diperdebatkan. Karena hak kreditor
untuk melakukan eksekusi dan menjual baru lahir setelah fidusia
diaftarkan sedangkan kuasa menjual tersebut dibuat dalam akta fidusia di
bawah tangan yang tidak mungkin didaftarkan.
Dari uraian di atas nampaklah bahwa subrogasi memperkuat
kedudukan pihak ketiga, karena dia bukan hanya menggantikan
kedudukan kreditor lama tetapi juga menggantikannya sebagai pemegang
hak jaminan kebendaan. Hal ini akan berbeda apabila pembayarang
20
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tesebut dilakukan melalui pemberian kuasa dari debitor kepada pihak


ketiga untuk membayar utang debitor kepada kreditor. Dalam hal ini
pihak ketiga sebagai penerima kuasa tidak menggantikan kedudukan
kreditor sebagai pemegang jaminan kebandaan.

4. SUBROGASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI


Jual-beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata adalah perjanjian di mana seorang penjual mengikatkan


diri untuk menyerahkan barang dan pihak pembeli mengikatkan diri
untuk membayar harga. Perjanjian jual-beli hanya bersifat konsensual
obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban belum
mengalihkan kepemilikan dari penjual kepada pembeli. Peralihan hak
milik dari penjual kepada pembeli dilakukan melalui yurisdische levering
yaitu suatu perbuatan hukum pemindahan hak milik.
Seorang pihak ketiga yang membayar harga barang hanya dapat
menggantikan kedudukan penjual untuk menuntut pembayaran harga
kepada pembeli, namun pihak ketiga tidak dapat mengajukan pembatalan
perjanjian jual-beli atas dasar kekhilafan, penipuan atau paksaan yang
membuat penjual memberikan kesepakatan secara tidak bebas sewaktu
membuat perjanjian jual-beli dengan pembeli (C.Asser, 1996:506-507).
Pemindahan hak milik atas barang bergerak yang berwujud
dilakukan secara nyata dari tangan penjual ke tangan pembeli seperti
disebutkan dalam Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
sedangkan untuk barang bergerak yang tidak berwujud diatur dalam Pasal
613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun penyerahan hak
milik atas benda tidak bergerak, menurut sistem Kitab Undang-Undang
21
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Hukum Perdata dilakukan dengan cara balik nama, yaitu pendaftaran akta
van transport ke dalam Daftar Umum Eigendom. Setelah berlakunya
Undang-Undang N0. 6 Tahun 1960 tantang Pokok-Pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendafaran Tanah, maka perbuatan hukum
pemindahan hak milik atas tanah dilakukan dengan Akta jual-Beli yang
dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Setelah hak milik atas barang berikut penguasaannya secara fisik


diserahkan kepada pembeli, maka penjual masih mempunyai hak
reklame. Hak reklame adalah hak penjual untuk menarik kembali barang
yang telah dijual dan diserahkan kepada pembeli. Akan tetapi hak
reklame penjual tidak beralih kepada pihak ketiga yang telah membayar
harga barang tersebut. Pihak ketiga yang membayar harga barang kepada
penjual hanya menggantikan hak penjual untuk menuntut pembayaran
harga barang dari pembeli (C.Asser, 1996:506-597).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hak reklame diatur
dalam Pasal 1145. Hak reklame dapat dilakukan selama barang masih
berada di tangan pembeli dan dilakukan dalam jangka waktu 30 hari
setelah penyerahan.
Selanjutnya Pasal 230 dan 231 Kitab Undang-Undag Hukum
Dagang menyebutkan bahwa dalam hal pembeil dipailitkan, maka penjual
berhak untuk menarik kembali barang bergerak yang telah dijual dan
diserahkan kepada pembeli jika harga barang tersebut belum dibayar
lunas. Untuk dapat melakukan penuntutan kembali diberlakukan syarat
bahwa barang yang berada di tangan pembeli masih dalam kondisi yang
sama seperti waktu dilakukan penyerahan.
5. SUBROGASI DALAM PERJANJIAN ASURANSI
22
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum


Dagang adalah suatu perjanjian, di mana penanggung dengan menikmati
suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung, untuk
membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat didertita
olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.

Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha


Perasuransian mendefinisikan asuransi sebagai perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung, mengikatkan dirinya
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita pihak tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau untuk memberikan susatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa, sedangkan definisi yang
diberikan oleh Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang hanya
mencakup asuransi kerugian saja (Agus Prawoto, 1995:42).
5.1. Doktrin-doktrin Asuransi
1. Doktrin indemnity, artinya tujuan perjanjian asuransi adalah
memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh
tertanggung yang disebabkan oleh bahaya seperti disebutkan dalam
polis. Besarnya nilai ganti rugi adalah sama dengan besarnya
kerugian yang diderita oleh tertanggung, tidak lebih. Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang, maka suatu objek yang telah
23
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dipertanggungkan secara penuh dalam jangka waktu yang sama,


tidak dapat dipertanggungkan lagi. Bila objek tersebut
dipertanggungkan dua kali, maka perjanjian yang kedua itu
menurut Pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
terancam batal.
2. Doktrin Insurable Interest (kepentingan yang dapat

diasuransikan) atau disebut juga pokok pertanggungan.


Berdasarkan doktrin ini, pihak yang bermaksud akan
mengasuransikan harus mempunyai kepentingan dengan barang
yang diasuransikan. Kepentingan yang dapat diasuransikan
hanyalah kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Menurut
ketentuan Psal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
kepentingan ini harus ada pada saat perjanjian asuransi diadakan.
Akan tetapi doktrin ini tidak berlaku mutlak, misalnya pada
perjanjian asuransi pengangkutan laut dan kerangka kapal, maka
kepentingan ini harus ada pada saat terjadi kerugian.
3. Doktrin utmost goodfaith atau kejujuran sempurna. Doktrin ini
mengaharuskan tertanggung untuk memberitahukan segala sesuatu
yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara
benar. Keterangan yang tidak benar atau informasi yang tidak
lengkap yang diberikan kepada penanggung walaupun dengan
itikad baik dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi.
Doktrin ini dimuat dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
4. Doktrin Subrogasi bagi Penanggung. Doktrin subrogasi tidak dapat
dipisahkan dari doktrin indemnity. Berdasarkan doktrin indemnity,
ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung hanya sebesar
kerugian yang dideritanya. Karena itu tertanggung tidak dapat
24
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menuntut lagi ganti rugi atas kerugian yang sama kepada pihak
ketiga sebagai pelaku perbuatan melawan hukum. Melalui doktrin
subrogasi penanggung menggantikan kedudukan tertanggung untuk
mengajuan tagihan kepada pihak ketiga (Agus Prawoto, 1995:42-
45).

5.2. Faktor yang Menghalangi Penerapan Doktrin Subrogasi


Perusahaan asuransi tidak dapat melakukan subrogasi, jika
perikatan dasar antara tertanggung dan pelaku perbuatan melawan hukum
tidak pernah ada, meskipun penanggung telah membayar klaim asuransi
kepada tertanggung.
Kasus yang menarik adalah mengenai subrogasi yang didalilkan
oleh PT Asuransi Allianz Utama Indonesia berdasarkan Pasal 284 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, atas hilangnya mobil milik PT
Sukabumi Trading Coy yang diparkir di area parkir Wisma Bumi Putra.
Sukabumi Trading Coy adalahh tertanggung dari PT Asuransi Allianz
Utama Indonesia.
“Sukabumi” memarkir mobil Toyota Corona 2.0 MN ST 1994 No.
Polisi B 1409 ZK di area parkir Wisma Bumi Putra, Jl. Jendral Sudirman
Kav. 75, Jakarta. Mobil tersebut dicuri ketika parkir di area parkir Wisma
Bumi Putra. Karena mobil tersebut diasuransikan, maka PT Asuransi
Allianz Utama Indonesia membayar klaim asuransi atas mobil tersebut
kepada “Sukabumi”.
Bersamaan dengan pembayaran tersebut maka berdasarkan
ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terjadi
subrogasi dari tertanggung kepada penanggung dan PT Asuransi Allianz
Utama Indonesia mengajukan gugatan kepada Wisma Bumi Putra sebagai
pengelola parkir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk
25
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

memperoleh penggantian atas yang yang telah dibayarkan kepada


Sukabumi. Gugatan yang diajukan perbuatan melawan hukum
berdasarkan Pasal 1365, 1366 jo. 1367 Ktab Undang-Undang Hukum
Perdata, karena kelalaian dan kekurang hati-hatian Tergugat
mengakibatkan mobil yang diasuransikan hilang.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Sekatan, dalam Putusan


No.34/Pdt.G/2001 PN.Jak-Sel, berpendapat bahwa Wisma Bumi Putra
tidak mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian atas hilangnya
mobil di area parkir yang dikelolanya karena pada perjanjian parkir yang
ditandatangani kedua belah pihak tercantum klausul baku yang
menyatakn bahwa segala kerusakan atau kehilangan kendaraan selama
parkir menjadi tanggung jawab pemilik sendiri dan pencantuman klausul
baku tersebut dapat dibenarkan berdasarkan azas kebebasan berkontrak
dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selanjutnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausul baku yang
berupa pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha dalam hal ini
Wisma Bumi Putra kepada konsumen dalam hal ini “Sukabumi”. Majelis
Hakim berpendapat bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
belum berlaku pada saat gugatan ini diajukan.
Menurut pendapat kami yang harus dicermati adalah apakah dalam
kasus ini memang ada pengalihan tanggung jawab dari Wisma Bumi
Putra kepada “Sukabumi” sebagai Konsumen. Mengingat perjanjian
antara Wisma Bumi Putra dan “Sukabumi” adalah sewa menyewa maka
tidak ada kewajiban dari Wisma Bumi Putra, sebagai pihak yang
menyewakan untuk bertanggung jawab atas kehilangan barang milik
“Sukabumi” sebagai penyewa dalam hal kasus ini mobil merek Toyota
26
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tersebut. Pasal 1556 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan


bahwa pihak yang menyewakan tidaklah diwajibkan menjamin si
penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang

dilakukan oleh orang-orang pihak keteiga selain tuntutan hak atas barang
yang disewa.
Dengan demikian memang tidak ada pengalihan tanggung jawab
dari tergugat sebagai pelaku usaha kepada konsumen. Kewajiban Wisma
Bumi Putra sebagai pihak yang menyewakan adalah memberikan
kenikmatan atas tempat yang disewa oleh “Sukabumi” supaya dapat
digunakan untuk memarkir mobil Toyota tersebut.
Karena dalam hubungan hukum atau perikatan antara Wisma Bumi
Putra dengan “Sukabumi” tidak ada Kewajiban Wisma Bumi Putra
(sebagai pihak yang menyewakan) kepada “Sukabumi” (sebagai
penyewa) tempat parkir untuk memberikan ganti rugi atas hilangnya
mobil Toyota yang diasuransikan kepada Penggugat, maka tidak ada
dasar bagi PT Asuransi Allianz Indonesia sebagai Penggugat yang telah
membayar klaim “Sukabumi” untuk melakukan subrogasi terhadap
Wisma Bumi Putra sebagai tergugat dalam kasus ini.
Namun demikian, dalam kasus ini seharusnya dipertimbangkan
juga apakah penyewa tempat parkir di Wisma Bumi Putra dipungut biaya
untuk jasa keamanan atau tidak? Jika penyewa tempat parkir dipungut
biaya keamanan dan jika mobil tersebut hilang karena kelalaian Wisma
Bumi Putra, maka Wisma Bumi Putra masih dapat diminta
pertanggungjawabannya, berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam
Pasal 1365 jo. 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam kasus kehilangan kendaraan di tempat parkir, harus
dibedakan antara perjanjian sewa-menyewa tempat parkir dengan
27
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

perjanjian penitipan kendaraan di area parkir. Sebab dalam perjanjian


penitipan memang pengelola area parkir mempunyai tanggung jawab atas
kehilangan di area parkir yang dikelolanya.

Ciri perjanjian sewa-menyewa adalah penyewa memiliki tempat khusus


di area parkir bagi kendaraannya di mana tempat tersebut tidak dapat
digunakan oleh kendaraan lain. Karena itu selama jangka waktu sewa
masih berlaku, penyewa berhak untuk menggunakan tempat parkir yang
disewanya dan penyewa setiap bulan membayar sewa parkir meskipun
dia tidak menggunakan tempat parkir yang bersangkutan.
Sedangkan dalam penitipan tidak ada tempat khusus bagi pihak
yang memarkir kendaraannya. Artinya tempat yang hari ini pukul 10.00
idgunakan untuk mobil A bisa saja digunakan untuk mobil lain pada
pukul 11.00. dalam perjanjian penitipan jika area parkir tersebut penuh,
maka mobil A tidak berhak parkir di area tersebut. Dalam perjanjian
penitipan pengguna jasa parkir hanya membayar jika dia memarkir
kendaraan di lahan parkir. Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa penitipan terjadi apabila seseorang
menerima barang dari orang lain dengan syarat bahwa dia akan
menerimanya dan mengembalikan dalam wujud asalnya.
Meskipun pengelola area parkir menyatakan bahwa hubungan
hukum antara pengelola parkir dan konsumen pengguna jasa parkir
adalah sewa-menyewa, namun jika esensi perjanjian tersebut adalah
penitipan maka seharusnya hubungan hukum tersebut dikonstruksikan
sebagao perjanjian penitipan.
Dengan demikian subrogasi hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan asuransi, jika pihak ketiga memang mempunyai kewajiban
untuk memberi ganti rugi kepada tertanggung, seperti dalam kasus antara
PT Asuransi Takafu; Umum melawan PT Securindo Pactama, Perkara
28
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mo. 421/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST. Dalam kasus ini Majelis Hakim


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenyampingkan

klausul baku dan Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang
perparkiran yang menyatakan bahwa pengelola parkir tidak bertanggung
jawab atas hilangnya kendaraan yang diparkir. Karena itu menurut
Majelis Hakim, Tergugat yaitu PT Securindo Pactama sebagai pengelola
area parkir harus bertanggung jawab atas hilangnya mobil milik Mori
Hanafi SE, M.Com. mobil tersebut telah diasuransikan kepada PT
Asuransi Takaful dan atas kehilangan mobil milik tertanggung, pihak
asuransi telah membayar klaim asuransi yang diajukan oleh Mori Hanafi.
Dengan demikian menurut Pasal 1400 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pembayaran yang dlilakukan oleh PT Asuransi Takaful
mengakibatkan terjadinya subrogasi, yaitu pihak asuransi menggantikan
kedudukan Mori Hanafi untuk menuntut ganti rugi. Secara lebih khusus
Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa
penanggung yang telah membayar kerugian barang yang
dipertanggungkan, memperoleh semua hak yang dimiliki oleh
tertanggung terhadap pihak yang bertanggungjawab atas kerugian
tersebut.
Menurut pendapat kami Putusan Mahkamah Agung dalam kasus
ini sudah tepat karena hubungan. Hukum antara pengelola parkir dan
pengguna jasa adalah perjanjian penitipan barang, sehingga PT Securindo
Pactama sebagai pengelola area parki memang harus bertanggung jawab
atas hilangnya mobil milik tertanggung.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat
bahwa karyawan Tergugat telah melakukan kelalaian karena telah
memberikan kesempatan kepada pihak serta bukti tanda parkir. Dengan

29
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

demikian pegawai Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum


dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Menimbang bahwa sejak Putusan Mahkamah Agung Belanda dalam


perkara Lindenbaum melawan Cohen Tahun 1919, pengertian melawan
hukum bukan hanya melanggar undang-undang tetapi juga melanggar
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian atas benda orang lain, maka
kelalaian pegawai tergugat dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum. Bahwa Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha unutk mencantumkan
klausul pengalihan tanggung jawab (exclusion clause) dair pelaku usaha
kepada konsumen. Dalma kasus ini Tergugat mencantumkan klausula
pengalihan tanggung jawab pada karcis parkir dan klausul ini batal demi
hukum.
Faktor lain yang menghalangi subrogasi adalah jika pihak
penangging yang karena kekhilafannya melakukan pembayaran kepada
bukan tertanggung. hal ini mengakibatkan penanggung tidak dapat
melakukan subrogasi. Namun demikian, perusahaan asuransi sebagai
penanggung dapat meminta pengembalian uang berdasarkan Pasal 1359
ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa
setiap pembayaran memparkirkan adanya utang dan pembayaran tidak
wajib dapat dimintakan kembali.
Sedangkan bagi pihak tertanggung yang dirugikan karena
kekhilafan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dapat
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai contoh, Mahkamah Agung dalam Putusan NO.2831
K/Pdt/1996 menghukum PT Asuransi Bintang atas dasa perbuatan
melawan hukum, karena membayar klaim asuransi kepada Agustina
30
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Effendi yang mempunyai hubungan hukum sebagai lessee dengan PT


Garishindo
Buana Leasing (lessor). Seharusnya menurut Mahkamah Agung,
pembayaran klaim asuransi diberikan kepada PT Garishindo Buana
Leasing, karena dalam polis disebutkan bahwa nama tertangggung aalah
PT Garishindo Buana Leasing qq Vola Plastic/Tn. Agustina Effendi dan
bahwa pada polis tercantum lampiran/syarat tambahan No. 04 Klausula
Bank atas nama PT Garishindo Buana Leasing. Dalam kasusu ini, mesin
yang menjadi objek leasing terbakar ketika dalam penguasaan Vola
Plastic/Agustina Effendi sebagao lessee.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pembayaran
yang dilakukan oleh PT Asuransi Bintang kepada Agustina Effendi tidak
menghapuskan kewajiban PT Asuransi Bintang untuk membayar klaim
asuransi kepada PT Garishindo Buana Leasing. Sehingga seandainya
quodnon mesin tersebut terbakar karena perbuatan melawan hukum oleh
orang lain, PT Asuransi Bintang belum dapat melakukan subrogasi.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 1359 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, PT Asuransi Bintang dapat meminta pengembalian uang
dari Agustina Effendi.
Demikian pula bagi pihak ketiga yang karena kekhilafan, paksaan
ataupun penipuan melakukan pembayaran kepada kreditor, misalnya
utang debitor belum jatuh tempo, maka pihak ketiga tidak dapat
melakukan subrogasi, kecuali bila debitor menyetujuinya. Dalam hal
debitor tidak menyetujui pembayaran tersebut, maka pihak ketiga dapat
meminta kembali uang tersebut dari kreditor berdasarkan Pasal 1359 ayat
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai perbandingan, dalam sistem common law, pembayaran
yang dilakukan karena mistake and durres tidak menghapuskan
kewajiban debitor kepada kreditor
31
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kecuali jika debitor melakukan ratifikasi. Misalnya, dalam kasus Barklay


Bank Ltd melawan W.J. Simms Son & Cooke (Southern) Ltd.QB 667 at
695, Bank tanpa permintaan debitor/nasabahnya membayar utang debitor
kepada kreditor, karena khilaf mengira bahwa debitor menghendaki
pembayaran. Pengadilan memutuskan bahwa pembayaran tersebut tidak
menghapuskan kewajiban debitor kepada kreditor, dan bank dapat
meminta kembali uangnya dari kreditor (Charles Mitchell, 1994:109(.
Karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kasus ini Bank tidak
mempunyai hak subrogasi.
Demikian pula dalam kasus terjadinya durres mauppun illegimite
compulsion seperti dalam kasus Walker melawan Duncombe (1824) LJ
(OS) KB 80, di mana Walker sebagai pembeli bersengketa dengan
Duncombe penjual dua buah rumah. Pemilik rumah mempunyai hak
untuk menguasai dua baris tempat duduk di gererja, tetapi pada saat jual-
beli terjadi gereja sedang direnoviasi dan tempat duduk tersebut sedang
dibuat lagi atas biaya pemiliknya. Walker dan Duncombe sepakat bahwa
Duncombe berkewajiban membayar biaya pembuatan tempat duduk
tersebut kepada penjaga gereja. Akan tetapi, Duncombe melakukan
wanprestasi sehingga ketika Walker berusaha menguasai tempat duduk
tersebut, dia dihalangi oleh pengunjung lain di gereja, dengan alasan
bahwa biaya pembuatan tempat duduk tersebut belum dibayar, maka
Walker tidak berhak menguasainya.
Setelah beberapa tahun berjalan, Walker membayar biaya
pembuatan tempat duduk tersebut agar bisa menguasainya dan menuntut
pengembalian atas biaya yang dikeluarkannya kepada Duncombe.
Pengadilan memutuskan bahwa Walker tidak berhak melakukan
subrogasi terhadai Duncombe atas biaya yang telah dikeluarkannya,
karena pengunjung gereja tidak mempunyai wewenang
32
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menghalangi Walker untuk menguasai dua baris tempat duduk di gereja.


Walker melakukan pembayaran karena illegitimate compulsion yang
dilakukan oleh pengunjung gereja. Namun demikian perlu dicatat bahwa
sebelum Walker mengajukan gugatan kepada Duncombe, Duncombe
telah membayar biaya pembuatan tempat duduk tersebut (Charles
Mitchell, 1994:98).
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Walker tidak
mempunyai hak subrogasi terhadap Duncombe, yang dapat dilakukanoleh
Walker adalah menuntut kembali uangnya dari pihak yang telah
memperbaiki tempat duduk tersebut.
5.3. Simple Subrogation dalam Sistem Common Law
Charles Mitchell dalam bukunya The Law of Subrogation
mengatakan bahwa dalam sistem common law yang berlaku di Inggris,
pembayaran yang dilakukanoleh perusahaan asuransi sebagai penanggung
kepada tertanggung mengakibatkan terjadinya simple subrogation
(Charles Mitchell, 1994:6). Artinya pembayaran yang dilakukan oleh
pasuransi tidak menghapuskan hak tertanggung untuk menuntut ganti rugi
kepada pihak yang telah menimbulkan kerugian. Karena itu, seperti di
Inggris, perusahaan asuransi di Singapura untuk melakukan subrogasi
harus bertindak dengan menggunakan nama tertanggung dalam
mengajukan gugatan terhadap pihak yang telah menimbulkan kerugian
bagi tertanggung. Rasio dari doktrin ini adalah untuk mencegah
tertanggung memperoleh dua kali pembayaran atas satu kerugian yang
sama (Walter Woon, 2000:102).
Dalam kasus Esso Petroleum Co. Ltd melawan Hall Russel & Co
Ltd. (1989) AC 643, di Inggris, Esso melakukan pembayaran
kepadatertanggung atas kerugian

33
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Hall
Russell. Selanjutnya, dalam melakukan subrogasi Esso mengajukan
gugatan kepada Hall Russel, akan tetapi the House of Lord memutuskan,
bahwa gugatan yang diajukan oleh Esso mengandung kesalahan prosedur
karena gugatan seharusnya dilakukan dengan menggunakan nama
tertanggung. Sebab pembayaran yang dilakukan oleh Esso kepada
tertanggung tidak menghapuskan hak tertanggung untuk menuntut
pembyaran kepada Russell (Charles Mitchell, 1994:38).
Karena penanggung harus menggunakan nama tertanggung dalam
melakukan subrogasi, maka di Inggris maupun di Singapura, tertanggung
harus membantu penanggung dalam melakukan subrogasi seperti
mengizinkan penanggung menggunakan nama tertanggung. Karena itu
pihak tertanggung tidak dapat melakukan kompromi denganpihak yang
menimbulkan kerugian atau membebaskannya dari kewajiban membayar
ganti rugii tanpa persetujuan pihak asuransi sebagai penanggung. Karena
jika pihak yang menimbulkan kerugian dibebaskan oleh tertanggung,
maka tidak ada dasar bagi penanggung untuk melakukan subrogasi.
Sebaliknya jika pihak asuransi menerime pembayaran yang lebih besar
dari kerugian yang diderita tertanggung maka kelebihan pembayaran
tersebut harus diperhitungkan bagi tertanggung (Walter Woon,
2000:102).
Selanjutnya, untuk memahami hak subrogasi bagi perusahaan
asuransi di Amerika Serikat dapat dibaca John F. Dobbyn dalam bukunya
Insurance Law khususnya Bab 10. Jhon F. Dobbyn menjelaskan bahwa
doktrin subrogasi berkaitang sangat erat dengan doktrin indemnity.
Alasan yang paling sering duganakan penerapan doktrin ini adalah untuk
mencegah tertanggung menerima dua kali pembayar-

34
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

an ganti rugi, yang pertama dari penanggung dan yang kedua dari pelaku
perbuatan melawan hukum. Alasan yang kedua adalah kebijakan publik
yang membiarkan beban ekonomis akhirnya jatuh pada pelaku perbuatan
melawan hukum sebagai pihak yang pertama kali menimbulkan kerugian.
Hal ini untuk mencegah pelaku perbuatan melawan hukum memperoleh
keuntungan atas pembayaran yang dilakukan oleh penanggung kepada
tertanggung.
Karena adanya keterkaitan yang erat antara subrogasi dengan azas
indemnitas, maka subrogasi diterapkan hanya pada jenis-jenis asuransi
yang mengandung azas indemnitas. Keterkaitan yang paling jelas antara
azas indemnitas dan subrogasi adalah pada jenis asuransi property.
Pembayaran klaim oleh asuransi sebagai penanggung diukur dan terbatas
pada nilai kerugian yang diderita oleh tertanggung. Klausula subrogasi
biasanya tercantum dalam polis asuransi ataupun berdasarkan undang-
undang. Dengan pula dalam liability insurance, dasar pembayaran yang
dilakukan oleh asuransi sebagai penanggung adalah indemnitas bagi
jumlah pembayaran yang diwajibkan kepada tertanggung untuk
membayar pihak ketiga yang dirugikannya.
Sebaliknya dalam asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan lebih
bersifat investasi daripaa indemnitas. Karena itu secara yuridis tidak
muncul hak untuk subrogasi. Kewajiban perusahaan asuransi sebagai
penanggung adalah membayar uang dalam sejumlah yang pasti sesuai
dengan kontrak dan tidak diukur berdasarkan nilai kehidupan yang
hilang. Bahkan sifat kehilangan tersebut tidak dapat diukur secara
ekonomis dan karena itu seorang beneficiary diperkenankan memperoleh
dua kali pembayaran atas kehilangan yang sama. Dengan demikian
subrogasi dalam hal ini tidak diperlukan, karena tujuan

35
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

subrogasi adalah mencegah seorang memperoleh dua kali pembayaran


atas kerugian yang sama.
Dalam sistem common law di Amerika Serikat, pengadilann
menolak subrogasi dalam asuransi jiwa dengan menggunakan alasan
bahwa setiap tuntutan yang bersifat perorangan hapus dengan
meninggalnya orang yang bersangkutan dan setiap tuntutan yang
berdasarkan undang-undang atas kelalaian yang mengakibatkan kematian
menjadi hak dari orang yang mewakili si meninggal dan bukan menjadi
hak beneficiary.
Namun demikian, menurut Jhon F Dobbyn, jika diamati secra
cermat ternyata terdapat perbedaan antara berbagai life insurance maupun
berbagai property insurance. Secara umum asuransi jiwa adala lebih
merupakan investasi karena jumlah pembayaran yang sudah ditetukan
besarnya, akan tetapi asuransi jiwa jangka pendek leih mendekati azas
indemnitas. Demikian pula dalam asuransi property, secara umum
menganut azas indemnitas karena jumlah kerugian yang dibayar adalah
sesuai dengan kerugian yang diderita. Akan tetapi dalam asuransi
maritime, pembayaran jumlahnya sudah pasti sesuai dengan kontrak dan
bukan berdasarkan nilai property pada saat terjadinya kerugian. Dalam
hal demikian, pengadilan dalam sistem common law melakukan
pendekatan secara sederhana, yaitu menerapkan subrogasi pada asuransi
property dan menolak subrogasi pada asuransi jiwa.
Selanjutnya dalam asuransi kecelakaan, pembayaran klaim asuransi
untuk cidera yang dialami tertanggung sudah pasti jumlahnya sesuai
dengan kontrak tanpa melakukan penilaian besar kecilnya kerugian
ekonomis yang diderita. Karena itu asuransi kecelakaan lebih dekat mirip
dengan asuransi jiwa dan karena itu pengadilan menolak hak subrogasi.
Dalam kasus yang terkenal Gatxweiler melawan

36
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Milwaukee Elec.Ry & Light Co. (Wis.1908) pengadilan menyatakan


bahwa tertanggung membeli dan membayar premi asuransi untuk
memperoleh hak dari penanggung, yaitu uang dalam jumlah yang pasti
atas terjadinya peristiwa tertentu. Pembayaran premi asuransi adalah
bersifat sebagai investasi. Selain itu terdapat kecenderungan bahwa ganti
rugi yang diberikan oleh pihak asuransi maupun pelaku perbuatan
melawan hukum tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
tertanggung, sehingga tidak alasan untuk melakukan subrogasi, padahal
tujan subrogasi adalah mencegah ganti rugi yang berlebihan yang
diterima tertanggung.
Dalam asuransi kesehatan, surgical dan hospitalization insurance,
(asuransi operasi bedah dan perawatan di rumah sakit) timbul pertanyaan
apakah hak subrogasi dapat lahir karena undang-undang ataukah harus
ditegaskan dalam kontrak asuransi? Dalam kasus Hospital Service
melawan Sharpe (Michigan 1954), pengadilan tidak mengizinkan the
Michigan Hospital Service melakukan subrogasi ketika melakukan
pembayaran atas biaa rumah sakit yang dibutuhkan oleh pelanggannya.
Menurut pengadilan pembayaran tersebut adalah merupakan pembayaran
utang yang memang merupakan kewajiban Michigan Hospital Servcie
sendiri kepada pelanggannya.
Akan tetapi argument ini, menurut Jhon F. Dobbyn tentu saja tidak
memuaskan. Karena Michigan Hospital Service apat dianggap bertindak
sebagai penanggung seperti perusahaan asuransi, yang berdasarkan
dokrin indemnitas, membayar biaya rumah sakit yang harus dibayar oleh
pelanggannya. Dengan demikian, Michigan Hospital Service seharusnya
mempunyai hak subrogasi terhadap pelanggannya. Selanjutnya Michigan
Hospital Service dapat juga dianggap bertindak sebagai pihak ynag
mengalihkan jasa pelayanan rumah sakit dari rumah sakit

37
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kepada pelanggannya. Dalam hal ini Michigan Hospital Service


“membeli” jasa pelayanan rumah sakit langsung dari pihak rumah sakit
yang selanjutnya digunakan oleh pelanggannya. Dengan demikian
Michigan Hospital Service seharusnya mempunyai hak subrogasi
terhadap pelanggannya.
Dalam asuransi kerugian penerapan doktrin subrogasi lebih rumit
dari asuransi properti atau asuransi kesehatan. Apakah doktrin subrogasi
dapat diterapkan atau tidak adalah tergantung kepada sifat tertanggung
dan pihak ketiga yang menimbulkan kerugian. Sebagai contoh,
tertanggung adalah Bank yang mencairkan cek palsu, maka penanggung
mempunyai hak subrogasi dalam hal ini menggantikan kedudukan Ban
terhadap pihak ketiga yang mencairkan cek tersebut. Akan tetapi jika
tertanggung adalah majikan yang mempunyai kewajiban terhadap
pegawainya, maka perusahaan asuransi sebagai penanggung tidak
mempunyai hak subrogasi terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
Akhirnya dalam asuransi kompensasi bagi buruh (worksmen’s
compensation) hak suborgasi bagi majikan maupun penanggung, diatur
oleh undang-undang di negara bagian masing-masing. Dalam hal hak
subrogasi tidak diatur dalam undang-undang terdapat penafsiran yang
berbeda. Bagi mereka yang menolak suborgasi, asuransi kompensasi bagi
buruh disamakan secara analogis dengan asuransi jiwa dan asuransi
kecelakaan.
Selanjunya Jhon EDonnyn menjelaskan bahwa dalam undang-
undang tentang worksneb’s compensation penerapan doktrin subrogasi
mengikuti tiga pola, sebagai berikut:
a. Penanggung dapat melakukan subrogasi terhadap pelaku perbuatan
melawan hukum hanya sebatas jumlah uang yang diwajibkan dibayar
kebada buruh.

38
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

selanjutnya buruh dapat menuntut kerugian yang tidak tertutup oleh asurarisi
kepada pelaku perbuatan me lawan hukum.
b. Jika buruh menerima pembayaran kompensasi, maka penanggung
mempunyai hak subrogasi atas seluruh klaim dari buruh terhadap pelaku
perbuatan melawan hukum.
c. Begitu perusahaan asuransi membayar kompensasi kepada buruh, maka
dia mempunyai hak subrogasi atas seluruh klaim buruh terhadap pelaku
perbuatan melawan hukum. Akan tetapi, jika pelaku perbuatan melawan
hukum kemudian membayar lebih besar kepada penanggung (melebihi
pembayaran kompensasi yang dibayar oleh penanggung kepada buruh)
maka kelebihan pembayaran yang diterima dari pelaku per- buatan
melawan hukum, harus digunakan perusaha- an asuransi untuk
kepentingan buruh atau keluarganya.
5.4. Prosedur Subrogasi dalam Sistem Common Law
Dalam sistem common law, subrogasi dalam asuransi dipandang sebagai
simple subrogation, sehingga penanggung bertindak dengan memakai
nama tertanggung. Hal ini disebut dengan istilah insurer steps into the
shoes of the insured dalam melakukan subrogasi terhadap pelaku
perbuatan melawan hukum atau terhadap pihak ketiga yang mempunyai
hubungan kontraktual dengan ter- tanggung. Subrogasi dapat dilakukan
sepanjang pihak ketiga tersebut secara yuridis mempunyai tanggung
jawab atas kerugian yang Pihak ketiga yang menimbulkan kerugian bagi
ter- tanggung tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab- nya
kepada penanggung, dengan cara membayar langsung kepada
tertanggung. Demikian pula pihak ketiga tidak diderita tertanggung.

39
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dapat melepaskan tanggung jawab kepada penanggung dengan alasan telah


memperoleh pembebasan utang dari tertanggung, sepanjang pihak ketiga
menyadari bahwa ada hak subrogasi dari penanggung. Jika sebelum klaim
dibayar, ternyata tertanggung melakukan kompromi dengan pihak ketiga yang
menimbul- kan kerugian misalnya dengan perdamaian atau pembebas- an utang,
maka tertanggung dianggap melanggar kontrak asuransi. Akibat hukumnya,
pihak penanggung mempunyai alasan pembelaan diri untuk dibebaskan dari
sebagian atau seluruh kewajibannya yang tertuang dalam polis asuransi. Akan
tetapi alasan pembelaan diri ini tidak berlaku, jika pihak ketiga ketika
memperoleh pembebasan kewajiban dari tertanggung menyadari bahwa pihak
penanggung mempunyai hak subrogasi. Sebab dalam hal demikian perdamaian
atau pembebasan kewajiban yang diberikan oleh tertanggung kepada pihak
ketiga, tidak menghilangkan hak subrogasi penanggung terhadap pihak ketiga
yang menimbulkan kerugian. Ketika asuransi sebagai penanggung sudah
membayar klaim tertanggung sesuai dengan polis asuransi dan ternyata
tertanggung sudah membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya terhadap
tertanggung, maka penanggung mempunyai dasar untuk mengajukan gugatan
wanprestasi terhadap tertanggung. Dalam hal ini sebagaimana di- putuskan
dalam kasus Hamilton Fire Ins.Co melawan Greger (N.Y.1927), perusahan
asuransi sebagai penanggung harus membuktikan bahwa dalam kenyataannya
penang- gung mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pem- bayaran dari
pihak ketiga pelaku perbuatan melawan hukum, seandainya tidak terjadi
perdamaian antara ter- tanggung dengan pihak ketiga pelaku perbuatan
melawan hukum.

40
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Akan tetapi, jika pihak ketiga pelaku perbuatan melawan hukum


menyadari bahwa pada saat pembebasan atau per damaian, pihak
penanggung mempunyai hak subrogasi. maka hak penanggung untuk
melakukan klaim terhadan pihak ketiga berdasarkan subrogasi tetap
hidup. Karena itu, tindakan penanggung membebaskan atau menempuh
perdamaian dengan pihak ketiga tidak menimbulkan ke rugian bagi
penanggung. Sebagai alternatif dari gugatan wanprestasi, pihak
penanggung dapat mengajukan petisi kepada Court of Equity untuk
membebani constructive trust atas dana yang dikuasai oleh tertanggung
untuk kepentingan pe- nanggung. Dana yang dibebani dengan
constructive trust adalah dana yang diperoleh oleh tertanggung sebagai
hasil perdamaian dengan pihak ketiga. Dana yang dibebani constructive
trust adalah sebagai pengganti dana yang seharusnya diperoleh
penanggung melalui subrogasi.
5.5. Pembagian Dana yang Diperoleh dari Pihak Kotiga
Dalam sistem common law yang dianut di Amerika Serikat, pengadilan
melakukan pendekatan yang berbeda dalam membagi dana yang
diperoleh dari pihak ketiga kepada penanggung dan tertanggung. Dalam
hal kontrak asuransi tidak mencantumkan pembagian dana dari pihak
ketiga, maka pengadilan pada umumnya memutuskan bahwa tertanggung
memperoleh pembayaran lebih dulu atas kerugian yang tidak tertutup
oleh asuransi. Selanjutnya melalui subrogasi penanggung memperoleh
kompensasi atas sejumlah uang yang telah dibayarkannya kepada ter-
tanggung dan jika masih ada kelebiha tersebut diserahkan kepada
tertanggung. dana, maka dana

41
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Kemungkinan yang lain adalah membayar kompensasi kepada penanggung


lebih dulu dan jika masih ada ke- lebihan, maka sisanya diserahkan kepada
tertanggung atau- pun membagi dana secara prorata, artinya sesuai per-
bandingan kerugian yang diderita oleh penanggung dan tertanggung. Pengadilan
juga akan melakukan pendekatan khusus dalam hal jika dana yang diperoleh
pihak ketiga ternyata lebih kecil dari kerugian yang diderita.
5.6. Upaya Hukum Pembelaan Diri (Defenses) atas Subrogasi
Upaya hukum penolakan subrogasi, dapat dilakukan oleh pihak ketiga
yang menimbulkan kerugian terhadap tertanggung. Dalam kasus tertentu
tertanggung yang me- nimbulkan kerugian terhadap tertanggung lainnya
juga dapat menggunakan upaya hukum penolakan terhadap. subrogasi.
Dalam doktrin subrogasi yang tradisional, pihak asuransi yang membayar
klaim polis asuransi secara "sukarela" artinya bukan berdasarkan
kewajibannya untuk membayar, maka pihak asuransi sebagai penanggung
tidak berhak untuk melakukan subrogasi. Sebagai contoh pihak asuransi
membayar klaim lebih besar dari pada klaim yang tercantum dalam polis
asuransi, ataupun membayar kerugian yang bukan merupakan kewajiban
pihak asuransi. Demikian pula jika pihak asuransi hanya diwajibkan
mem- bayar secara prorata atas kerugian-kerugian yang maka
pembayaran yang selebihnya dianggap pembayaran secara sukarela yang
tidak dapat dikompensasi dengan melakukan subrogasi. Demikian pula
doktrin subrogasi tidak dapat di- terapkan terhadap tertanggung yang
menimbulkan kerugian

42
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

terhadap tertanggung lainnya dalam satu polis asuransi yang sama.


Sebagai contoh sebidang tanah diasuransikan untuk kepentingan bailor
dan bailee dalam satu polie asuransi yang sama. Properti tersebut berada
dalam k kuasaan bailee sebagai kustodian dan karena kelalaian bailee
maka terjadi kerusakan atas properti tersebut. Ketika penanggung
membayar klaim kepada bailor maka pihak asuransi tidak dapat
melakukan subrogasi terhadap bailee, karena seandainya subrogasi
diperbolehkan maka polis asuransi menjadi bersifat illusory bagi bailee.
Demikian pula dalam suatu leasing kontrak, properti yang menjadi objek
leasing diserahkan oleh lessor kepada lessee. Property tersebut
diasuransikan untuk kepentingan lessor dan lessee dalam satu polis yang
sama. Jika lessee karena kelalaiannya mengakibatkan properti itu rusak
maka pihak asuransi yang membayar klaim kepada lessor tidak dapat
melakukan subrogasi terhadap lessee karena posisi lessor dan lesse adalah
sebagai tertanggung dalam satu polis yang sama. Jadi, persoalan hukum
yang timbul dalam kasus hak subrogasi pihak asuransi terhadap bailee
dan lessee adalah apakah properti tersebut memang diasuransikan untuk
kepentingan bersama atau hanya untuk kepentingan bailor dan lessor?
5.7. Subrogasi dan Doktrin Real Party in Interest
Pihak asuransi yang membayar klaim tertanggung mempunyai
kepentingan untuk melakukan subrogasi terhadap pelaku perbuatan
melawan hukum yang me- nimbulkan kerugian kepada tertanggung.
Berdasarkan doktrin Real Party In Interest, maka seharusnya pihak
asuransi menggunakan namanya sendiri sebagai peng- gugat, karena
pihak asuransilah yang mempunyai ke- pentingan untuk menggugat pihak
ketiga. Akan tetapi di

43
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Amerika Serikat, di beberapa yurisdiksi pengadilan meng- izinkan pihak


asuransi mengajukan gugatan subrogasi dengan menggunakan nama
tertanggung. Sebaliknya di beberapa yurisdiksi lainnya pengadilan
mengharuskan pihak asuransi bertindak atas namanya sendiri sebagai
penggugat dalam kasus di mana pihak asuransi telah mem- bayar penuh
klaim asuransi dan tidak diizinkan lagi ber- tindak untuk dan atas nama
tertanggung. Untuk menghindari posisi sebagai the real party in interest
dan karenanya bertindak atas namanya sendiri sebagai penggugat
melawan pihak ketiga, maka dalam praktik pihak asuransi menggunakan
loan receipt sebagai sarana pembayaran kepada tertanggung. Penanggung
seolah-olah memberi pinjaman sejumlah uang kepada ter- tanggung
dengan klausula bahwa tertanggung harus mem- bayar kembali atau
mengembalikan pinjaman tersebut terlepas dari adanya ganti rugi atau
perdamaian antara tertanggung dan pihak ketiga. Pengadilan di beberapa
yurisdiksi menyatakancaráseperti ini adalah legal, tetapi di yurisdiksi
lainnya pengadilan tidak mengizinkan peng- gunaan loan receipt sebagai
metode untuk menghindari doktrin the real party in interest.
5.8. Konvensional Subrogasi dan Legal Subrogasi
Berdasarkan doktrin subrogasi yang konvensional hak subrogasi
harus dicantumkan dalam kontrak asuransi antara penanggung dan
tertanggung. Sedangkan dalam dokrtin legal subrogasi, hak subrogasi
sudah ada demi hukum atau lahir by operation of law. Pencantuman
klausula subrogasi dalam kontrak hanyalah penegasan terhadap hak
subrogasi yang sudah ada. Dalam kasus asuransi kesehatan pengadilan
pada umumnya menolak doktrin legal subrogation akan tetapi

44
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menerima konvesional subrogasi, seperti klausul, subrogasi bagi pembayaran


biaya kesehatan yang t cantum dalam asuransi mobil. Dalam kasus Michige
Hospital Service melawan Sharpe, tidak tercantum klausul subrogasi dalam
Polis Asuransi Blue Cross, karena i hak subrogasi ditolak oleh
pengadilan.Sebaliknya dalam kasus Michigan Medical Service melawan Sharne
pengadilan membenarkan gugatan terhadap pelanggan yang melanggar klausula
subrogasi. Hanya minoritas pengadilan yang menolak konvensional subrogasi
dalam kasus asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan, dengan dasar bahwa
hak meng. ajukan gugatan atas terjadinya personal injury tidak dapat dialihkan
(assigment) karena dilarang di beberapa yurisdiksi, sedangkan mayoritas
pengadilan memandang larangan pengalihan hak untuk menuntut atas terjadinya
personal injury tidak relevan dengan doktrin subrogasi. Karena doktrin
subrogasi tidak berlaku bagi pihak yang secara sukarela membayar klaim dan
jumlah klaim subrogasi tidak melebihi jumlah yang dibayar oleh pihak asuransi
sebagai penanggung kepada tertanggung. Namun demikian pengadilan di
Amerika Serikat mempunyai persamaan pandangan bahwa konvensional
subrogasi tidak dapat diterapkan dalam kasus asuransi jiwa, sebab dalam
asuransi jiwa tidak berlaku doktrin indemnity; kerugian atas kematian tidak
dapat dinilai besarnya. Karena doktrin indemnity tidak berlaku maka doktrin
subrogasi juga tidak dapat diterapkan. Demikian pula dalam hal terjadi
pembayaran sukarela, pihak asuransi tidak dapat menerapkan doktrin
konvensional subrogasi maupun doktrin legal subrogasi.

45
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

6. SUBROGASI DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN UTANG


Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu suatu perjanjian di mana pihak ketiga (penanggung)
mengikatkan diri kepada kreditor untuk menjamin pelunasan utang debitor
kepada kreditor manakala debitor wanprestasi. Hubungan hukum yang terjadi
adalah antara penanggung dengan kreditor, setelah penanggung melakukan
pem- bayaran kepada kreditor maka penanggung berhak me- nuntut
pembayaran kepada debitor. Hak penanggung ini disebut hak regres dan hak
subrogasi. Hak regres berbeda dengan hak subrogasi. Hak regres yang diatur
dalam Pasal 1839 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah hak
penanggung sendiri bukan haksubrogašiyaitu hak yang diperoleh dari kreditor
lama. Hak Subrogasi diatur dalam Pasal 1840 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Demikian pula dalam sistem common law, pihak surety yang
membayar utang debitor kepada kreditor, mempunyai hak subrogasi untuk
menuntut pembayaran kepada debitor sebagai principal. Pembayaran yang
dilakukan oleh surety kepada kreditor menghapuskan hak kreditor untuk
menuntut pembayaran kepada debitor, karena itu surety melakukan hak
subrogasi dengan menggunakan namanya sendiri terhadap debitor/principal
(Charles Mitchell, 1994:7). Penanggungan utang adalah suatu perjanjian
accessoir, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1821 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa tiada penanggungan, jika
tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Perikatan pokoknya adalah utang
piutang antara kreditor dan debitor. Jika perjanjian pinjam meminjam tidak sah
maka perjanjian penanggungan utang juga

46
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tidak sah. Namun demikian penanggung utang masih di perkenankan untuk


menjamin utang piutang yang dilakukan oleh debitor yang tidak cakap,
misalnya belum dewasa. Perjanjian utang piutang seperti ini diancam kebatalan,
artinya selama tidak diadakan pembatalan oleh pengadilan maka utang piutang
tersebut tetap sah, dan barulah jika pengadilan membatalkan perjanjian pinjam
meminjam uang, maka perjanjian penanggungan sebagai perjanjian accessoir
menjadi tidak sah. Dalam praktik dikenal berbagai macam perjanjian
penanggungan utang seperti Personal Guarantee di mana pemegang saham
suatu perseroan terbatas secara pribadi bertindak sebagai penjamin bagi utang-
utang perseroan. Corporate Guarantee dimana suatu korporasi bertindak sebagai
penjamin bagi utang-utang anak perusahaannya. Bank Guarantee di mana bank
bertindak sebagai penjamin bagi nasabahnya.
6.1. Apakah Pembayaran Sebagian Utang Mengakibatkan Subrogasi?
Ketentuan Pasal 1822 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri lebih, maupun dengan
syarat-syarat yang lebih berat dari perikatan antara debitor dengan kreditor. Jika
penanggungan diadakan untuk lebih dari utangnya atau dengan syarat lain yang
lebih berat, maka penanggungan utang hanya sah sebatas apa yang diliputi oleh
perikatan pokoknya, yaitu utang piutang antara kreditor dan debitor. Namun
demikian penanggungan utang boleh diadakan untuk hanya sebagian utang atau
dengan syarat-syarat yang kurang. Dari ketentuan Pasal 1822 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

47
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

pembayaran sebagian utang dapat mengakibatkan sub- rogasi sepanjang


penanggungan yang memang diadakan hanya untuk sebagian utang. Yang
menjadi persoalan hukum adalah, apakah jika penanggungan diadakan untuk
men- jamin seluruh utang tetapi penjamin hanya membayar sebagian, maka
penanggung utang tetap mempunyai hak subrogasi atas sebagian utang yang
dibayar? Sebagai perbandingan dalam sistem common law subrogasi hanya
terjadi jika pihak ketiga melunasi utang debitor kepada kreditor. Alasannya,
kreditor mempunyai hak lebih dahulu untuk menuntut pembayaran kepada
debitor dan hukum tidak membiarkan pihak ketiga men- campuri upaya hukum
kreditor menuntut pelunasan dari debitor. Seandainya pihak ketiga sudah
membayar sebagian utang debitor diizinkan untuk melakukan subrogasi dan
kemudian kreditor memperoleh pelunasan seluruh piutangnya dari debitor maka
kreditor harus memper- hitungkan pembayaran yang diperolehnya dari debitor
kepada pihak ketiga. Karena itu dalam sistem common law di Inggris berlaku
suatu general rule bahwa selama kreditor belum dibayar lunas maka tidak
terjadi subrogasi (Charles Mitchell, 1994:41). Misalnya, pihak surety sebagai
penjamin utang hanya membayar sebagian utang yang dijamin,maka surety
tidak dapat melakukan subrogasi terhadap debitor /principal. Karena dengan
pembayaran sebagian utang, belum menghapuskan kewajiban debitor kepada
kreditor. Namun ada pengecualian atas general rule tersebut, yaitu jika kreditor
setuju untuk menerima pembayaran sebagian utang guna melunasi seluruh
utang debitor kepada kreditor. Dalam hal demikian maka surety menggantikan
kedudukan kreditor melalui reviving subrogation. Walaupun demikian, surety
hanya berhak melakukan subrogasi terhadap

48
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

debitor/principal sebatas jumlah yang dibayarnya kepada kreditor (Charles


Mitchell, 1994:42-43).
6.2. Mengapa Penanggung Utang Molepaskan Hak Istimewa?
Penanggung mempunyai hak istimewa untuk meminta harta benda debitor disita
lebih dulu untuk digunakan melunasi utang debitor kepada kreditor, jika harta
benda debitor tidak mencukupi, maka barulah penanggung mem- punyai
kewajiban untuk melunasi sisa utang debitor. Akan tetapi dalam praktik hak
istimewa penanggung ini di- lepaskan, sehinggakreditórdapat langsung meminta
kreditor untuk membayar utang debitor. Dalam hal pe- nanggung melepaskan
hak istimewanya maka kedudukan penanggung adalah sama dengan kedudukan
debitor. Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan hal-
hal yang mengakibatkan penanggung kehilangan hak istimewanya untuk
menuntut supaya harta benda debitor disita dan dilelang untuk melunasi utangya
dalam hal:
1. Dalam hal penanggung telah melepaskan hak istimewa- nya untuk menuntut
supaya harta benda debitor disita dan dilelang lebih dahulu. Pelepasan hak
istimewa dapat dilakukan dalam perjanjian penanggungan yang diadakan
dengan kreditor atau dapat dinyatakan kemudian dalam suatu perjanjian yang
tersendiri atau dapat juga dilakukan secara sepihak;
2. Apabila penanggung telah mengikatkan diri bersama debitor secara tanggung
renteng terhadap kreditor. Dalam hal ini berlaku ketentuan perikatan tanggung
menanggung.Perjanjian seperti ini memperkuat ke- dudukan kreditor karena
kreditor dapat menuntut

49
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

debitor ataupun penanggung masing-masing untuk me- lunasi seluruh utang;


3. Dalam hal si debitor dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) mengenai
kapasitasnya sebagai debitor. Misal- nya debitor meminjam uang dalam
kedudukannya sebagai anggota direksi suatu perseroan terbatas, pada- hal
perseroan terbatas tersebut sudah dilikuidasi.
4. Jika si debitor pailit maka dia tidak dapat lagi digugat di muka
pengadilan dan tidak dapat dilakukan penyitaan lagi atas harta bendanya;
5. Penanggungan yang diperintahkan oleh hakim misalnya adalah hakim
memerintahkan kepada seorang wali untuk bertindak sebagai penanggung
atas pengurusan harta benda seorang anak yang belum dewasa
(R.Subekti, 1992:168-169).
Kembali ke pertanyaan mengapa penanggung utang melepaskan hak
istimewanya? Kemungkinan yang pertama adalah untuk lebih menjamin
pelunasan utang debitor kepada kreditor. Karena debitor yang berada dalam
kondisi tidak mampu membayar (insolvent) tentunya sulit diharapkan melunasi
utangnya sehingga tuntutan lebih baik langsung ditujukan kepada penanggung.
Kemungkinan kedua adalah penanggung sendiri berkepentingan untuk
melaksanakan hak subrogasinya terhadap debitor sehingga penanggung utang
memilih membayar utang debitor tanpa meminta harta benda debitor disita lebih
dulu bagi ke- pentingan kreditor. Karena itu menurut pendapat kami dalam hal
pe- nanggung sudah melepaskan hak istimewanya, maka kreditor dan debitor
tidak dapat membuat kesepakatan untuk membebaskan utang atau akan
mengadakan per- damaian tanpa persetujuan penanggung. Karena pem- bebasan
utang dan perdamaian tersebut akan menghalangi

50
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

penanggung melaksanakan hak subrogasinya terhadan debitor, padahal


penanggung sudah melepaskan hat istimewanya. Sebagai perbandingan dalam
Pasal 154 (6.2.2.9h) Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa
kreditor tidak boleh melakukan tindakan yang akan meng. halangi hak pihak
ketiga untuk melakukan subrogasi jika pembayaran yang dilakukan pihak ketiga
akan menim- bulkan hak subrogasi (P.P.C. Haanappel dan Ejan Mackaay. 1994:
294).
6.3. Hak Subrogasi Lebih Penting dari Hak Regres
Seperti telah disebutkan di atas penanggung yang telah membayar utang debitor
kepada kreditor mempunyai hak regres, juga mempunyai hak subrogasi atas
harta benda debitor yang dibebani jaminan bagi pelunasan utang debitor kepada
kreditor. Hak regres adalah hak penanggung diberikan oleh Pasal 1839 Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata. Si penanggung yang telah mem- baik sendiri
yang bayar dapat menuntut kembali si debitor utama, nanggungan itu telah
dibuat dengan sepengetahuan atau tanpa pengetahuan si debitor. Penuntutan
kembali ini di- lakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga
serta biaya-biaya.Mengenai penuntutan biaya pe- nanggung harus
memberitahukan kepada debitor dalam-ədwaktu yang patut. Selanjutnya
berdasarkan ketentuan Pasal 1840 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
penanggung yang membayar mempunyai hak subrogasi, yaitu hak untuk
menggantikan demi hukum segala hak kreditor terhadap debitor. Penggantian
hak ini adalah merupakan subrogasi menurut undang-undang yang disebutkan
dalam Pasal 1402 sub 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

51
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Hak subrogasi dalam praktik bisa lebih menguntung- kan penanggung daripada
menggunakan hak regresnya karena hak subrogasi ini meliputi hak kreditor
sebagai pemegang gadai, fidusia, hipotek ataupun hak tanggungan, uga beralih
kepada penanggung. Sedangkan apabila pe- nanggung menggunakan hak
regresnya, penanggung mungkin hanya bertindak sebagai kreditor konkuren
ber- sama kreditor lainnya (R.Subekti, 1992:171-172). Akan tetapi jika si
penanggung yang telah membayar utang debitor tidak memberitahukan kepada
debitor, maka dia tidak dapat menuntut kembali pengeluarannya dari debitor
yang kemudian telah membayar utang yang sama kepada kreditor. Dalam hal ini
menurut ketentuan Pasal 1842 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
penanggung hanya dapat meminta kembali uangnya dari kreditor. Kreditor
dapat juga menuntut uangnya kembali dari si kreditor atas dasar Pasal 1359 ayat
1 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mengenai pembayaran yang tidak
diwajibkan.
6.4. Dapatkah Hak Subrogasi Dilepaskan?
Setelah penanggung utang membayar utang debitor kepada kreditor, tentu saja
penanggung mempunyai ke- pentingan untuk melakukan hak subrogasi terhadap
debitor. Akan tetapi dalam hal suatu korporasi bertindak sebagai penanggung
utang bagi kepentingan anak perusahaanya (subsidiary) ada kemungkinan hak
subrogasi dilepaskan. Permasalahan hukum yang timbul apakah perjanjian
penanggungan utang disertai pelepasan atas hak subrogasi adalah sah? Hans A.
de Savornin Lohman dalam Dutch BusinessLaw Legal, Accounting and Tax
Aspect of Doing Business in the Netherlands, Chapter 5 Contracts (1992)
menjelaskan

52
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

bahwa berdasarkan Nederlands Burgerlijk Wetboek, P... para pihak, kecakapan,


hal tertentu, dan sebab yang halal, isi perjanjian tidak bertentangan dengan
hukum moral dan ketertiban umum. Disamping itu, ada persyaratan yaitu bagi
kontrak tertentu yang disebut “formal kontrak" harus dibuat secara tertulis. Di
dalam hukum kontrak 3:35, syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan»yaitu
Belanda tidak dikenal doktrin consideration seperti dalam sistem hukum
common law. Sebaliknya dalam sistem hukum common law suatu kontrak tanpa
consideration adalah tidak sah. Consideration adalah suatu kontra prestasi atau
"something be given in return" sehingga kontrak yang prestasinya sepihak
dalam sistem common law tidak mengikat (Suharnoko, 2004:10). Karena sistem
hukum kontrak Belanda tidak mengenal doktrin consideration suatu kontrak
yang prestasinya se- pihak adalah sah. Akan tetapi dalam penjaminan utang
diberlakukan doktrin consideration, sehingga korporasi yang bertindak sebagai
penanggung utang untukmẹnjaminutang debitor kepada kreditor harus
menerima kontra prestasi.Jika penanggung utang tidak menerima kontra prestasi
hal tersebut dianggap ultra vires dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Namun demikian doktrin consideration tidak diberlakukan jika debitor adalah
anak perusahaan dari penanggung utang (Hans A. de Savornin Lohman, 1992:5-
5). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia juga tidak dikenal
doktrin consideration, se- hingga suatu kontrak yang prestasinya hanya sepihak
seperti hibah adalah sah dan mengikat. Namun dalam perjanjian penanggungan
utang di mana Bank bertindak sebagai penjamin, Bank Indonesia mengharuskan
debitor memberikan kontra garansi. Dalam kontrak pemborong-

53
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

an Bank garansi juga menjadi syarat bagi pemborong untuk mengikuti suatu
penawaran proyek pembangunan. Bank garansi juga diperlukan untuk
menjamin pelaksanaan suatu proyek yang menjadi kewajiban terjamin sebagai
pem- borong kepada pemilik proyek. Bank garansi diterbitkan apabila pemohon
Bank garansi memberikan kontra garansi seperti setoran jaminan (cash
colateral) atau jaminan tam- bahan. Dasar hukum Bank garansi adalah Pasal 6
Undang- Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Surat ke- putusan
Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tentang Pemberian Bank Garansi
oleh Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia No.23/7/UKU.
Bentuk kontra jaminan atau counter guarantee adalah:
a. Uang Tunai;
b. Dana Giro;
c. Deposito;
d. Surat-surat Berharga;
e. Harta Kekayaan yang dapat berupa benda bergerak, benda tidak bergerak atau
kekayaan yang tidak ber- wujud.
Contoh klausulakontra jaminan adalah: terjamin wajib memberikan jaminan
lawan sebesar 100% secara tunai atas nama terjamin. Ciri-ciri Bank Garansi
adalah suatu jaminan yang bersifat Unconditional (tanpa syarat); Bank Garansi
diperoleh dengan menyerahkan collateral; menyetor jaminan uang; jangka
waktu jaminan biasanya terbatas; Bank Garansi diberikan dalam valuta rupiah,
jika dalam valuta asing harus dengan izin khusus Bank Indonesia, dan hanya di
dalam negeri; penjamin mempunyai hak istimewa sesuai Pasal 1831 Kitab
Undang-Undang Hukum

54
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Perdata (J. Tinggi Sianipar dan Jan Pinontoan, 2003: 19. 20).
Karena Bank Garansi hanya diberikan jika syarat. syarat kontra garansi sudah
dipenuhi, maka menurut pen dapat kami hak subrogasi seharusnya tidak
dilepaskan oleh bank sebagai penjamin. Selama penjamin mempertahankan hak
istimewanya untuk membayar hanya dalam hal debitor wanprestasi dan
mempertahankan haknya untuk meminta supaya harta benda debitor disita lebih
dahulu, sesuai ketentuan Pasal 1831 dan 1832 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka kedudukan penjamin/penanggung utang berbeda dengan debitor.
Sebaliknya, jika penjamin melepaskan hakistimewanya dan mengikatkan diri
secara tanggung renteng dengan debitor, maka kedudukan penjamin sama
dengan debitor, akibat hukumnya penjamin dapat di- pailitkan jika debitor
wanprestasi. Dalam kasus PT Bank Kesawan melawan PT Deemte Sakti Indo,
Perkara No. 59/PAILIT/1999/PN. NIAGA/ JKT.PST. Diputuskan bahwa PT
Deemte Sakti sebagai penjamin (corporate guarantee) dari perjanjian antara
Bank Kesawan dan PT Dharmala Realindo, menjadi debitor baru yang
mempunyai kewajiban untuk membayar utang kepada Pemohon. Dalam kasus
ini penjamin telah me- lepaskan hak-hak istimewanya. Menurut Pengadilan
Niaga penjamin yang telah melepaskan hak-hak istimewa-nya langsung dapat
berubah menjadi debitor dan dapat dimohonkan pailit (Aria Suyudi, Eryanto
Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, 2004:98)

55
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

2
Doktrin Novasi

1. PERBEDAAN ANTARA SUBROGASI DAN NOVASI


Dalam subrogasi perikatan antara kreditor lama dan debitor hapus karena
pembayaran dan kemudian perikatan tersebut hidup lagi antara pihak ketiga
sebagai kreditor baru dengan debitor. Posisi kreditor baru menggantikan posisi
kreditor lama. Sedangkan dalam novasi pihak kreditor dan debitor memang
bersepakat untuk meng- hapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan
per- ikatan baru. Karena dalam novasi atau pembaruan utang perikatan yang
lama hapus, maka pokok perikatan yang baru dapat berbeda dari pokok
perikatan yang lama (A.Pitlo, 1977:108), misalnya, hubungan hukum antara
penjual dan pembeli dalam perjanjian jual-beli dirubah menjadi perjanjian
pinjam-meminjam uang. Artinya di sini sisa pembayaran harga yang belum
dibayar oleh pembeli diakui sebagai utang dalam perjanjian pinjam meminjam
uang. Namun ada kemungkinan sifat hubungan hukum antara perikatan lama
yang sudah hapus dengan perikatan yang

56
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

baru adalah sama. Misalnya, suatu perjanjian kredit di hapuskan dengan


perjanjian restrukturisasi utang Kedu, perjanjian tersebut esensinya sama yaitu
pinjam meminjam uang. Novasi yang diuraikan di atas adalah novasi objektif
karena perikatannya yang diperbarui. Selanjutnya dikenal pula novasi subjektif
di mana terjadi kesepakatan tiga pihak antara kreditor, debitor dan pihak ketiga
untuk melakukan pembaruan utang. Novasi subjektif dibagi atas novasi
subjektif aktif dan novasi subjektif pasif. Novasi subjektif aktif terjadi jika
kreditor dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga sebagai kreditor
dalam perikatan yang baru. Sedang- kan dalam novasi subjektif pasif, justru
debitor dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga sebagai debitor
dalam perikatan yang baru. Dalam novasi kreditor baru tidak menempati posisi
kreditor lama demikian pula debitor baru tidak menempati posisi debitor lama,
karena perikatan yang lama sudah hapus. Perbedaan lain dari subrogasi adalah
dalam subrogasi perjanjian yang bersifat accesoir ikut beralih kepada kreditor
baru mengikuti perjanjian pokoknya yang beralih kepada kreditor baru.
Sedangkan dalam novasi karena perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian
accesoirnya juga hapus, kecuali para pihak dengan tegas menyatakan bahwa
hak- hak yang bersifat accesoir seperti hak gadai dan hak hipotek dalam
perjanjian lama tidak ikut hapus. Dalam hal ini menurut Pitlo pembuat undang-
undang membuat ke- keliruan, dalam novasi para pihak tidak dapat mem-
perjanjikan bahwa hak jaminan yang bersifat accesoir begitu saja beralih kepada
kreditor baru, bagaimanapun hak gadai dan hak hipotek tersebut harus dipasang
kembali oleh kreditor baru dengan persetujuan debitor (A.Pitlo, 1977:109).

57
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

2. PENGATURAN NOVASI
Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan tiga cara
untuk melaksanakan novasi:
1. Apabila seorang debitor membuat suatu perikatan utang baru bagi
kreditor untuk menggantikan perikatan yang lama yang dihapuskan
karenanya. Hal inilah yang disebut novasi objektif;
2. Apabila seorang debitor baru ditunjuk untuk meng- gantikan seorang
debitor lama yang dibebaskan dari perikatannya. Hal ini disebut novasi
subjektif pasif;
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, ditunjuk seorang kreditor
baru, untuk menggantikan kreditor lama terhadap siapa si debitor
dibebaskan dari per- ikatannya. Hal ini disebut novasi subjektif aktif.
Seandainya pun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak mengatur
novasi, novasi tetap diperbolehkan atas dasar doktrin kebebasan
berkontrak, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan (A.Pitlo, 1971:107). Namun demikian
karena dalam novasi perikatan yang lama hapus, maka dalam perikatan
baru tidak dapat di- perjanjikan hak-hak istimewa yang melekat pada
perjanjian yang lama apalagi perikatan yang baru tidak selalu sama
dengan perikatan yang lama (A.Pitlo, 1971:108). Sebagai contoh dalam
perjanjian jual-beli barang bergerak, pihak penjual mempunyai hak
istimewa, jika perjanjian jual- beli dikonversi menjadi pinjam meminjam
uang maka hak istimewa tersebut hapus dan tidak diperjanjikan dalam
kedudukannya sebagai pihak yang meminjamkan uang. Menurut
pendapat kami perlu juga diperhatikan bahwa dalam perjanjian jual-beli
tidak dikenal adanya bunga

58
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam uang sudah biasa diperjanjikan


adanya bunga. Hal ini perlu mem- peroleh perhatian, karena adakalanya
perjanjian pinjam meminjam uang diselubungi secara formal sebagai per janjian
jual-beli dengan hak membeli kembali. Demikian pula tangkisan-tangkisan
yang dapat di- gunakan dalam perikatan yang lama tidak dapat digunakan dalam
perikatan yang baru. Misalnya si debitor dalam perikatan lama dapat
menggunakan tangkisan atas dasar belum dewasa sehingga tidak cakap
membuat perjanjian, apabila sesudah dewasa dibuat perikatan baru maka
tangkisan tersebut tidak dapat lagi digunakan oleh debitor. Hal ini juga berlaku
dalam hal debitor waktu membuat perikatan yang baru sudah mengetahui
kekhilafannya (A.Pitlo:108-109). Sebagai perbandingan dalam the French Civil
Code Novasi diatur dalam Pasal 1271 sampai dengan 1281 (John H.Crabb,
1985:238-239) sebagai berikut: Menurut Pasal 1271 Novasi berlaku dengan tiga
cara:
1. Ketika debitor membuat kontrak dengan kreditor untuk suatu utang yang baru
sebagai pengganti utang yang lama yang dihapuskan;
2. Ketika debitor baru menggantikan debitor lama yang dibebaskan dari
kewajibannya oleh kreditor;
3. Ketika sebagai akibat suatu kesepakatan yang baru, kreditor baru
menggantikan kreditor lama terhadap siapa debitor dibebaskan dari
kewajibannya. Selanjutnya berdasarkan the French Civil Code, Novasi hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang cakap membuat perjanjian dan novasi
harus dinyatakan dengan tegas dan tidak dapat dipersangkakan. Namun
demikian novasi subjektif pasif yaitu pengantian debitor lama oleh

59
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

debitor baru dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitor lama. Sebaliknya


dalam suatu pengalihan hak dan kewajiban atau assigment, di mana debitor
lama menunjuk debitor baru yang menyanggupi untuk memenuhi kewajiban
terhadap kreditor tidak berlaku sebagai novasi jika kreditor tidak secara tegas
menyatakan bahwa dia membebaskan debitor lama yang membuat assigment.
Kreditor yang sudah membebaskan debitor lama (assignor) tidak mempunyai
hak recourse dalam hal debitor baru (assignee) berada dalam keadaan insolvent
atau dinyakan pailit, kecuali hak recourse diperjanjikan dengan tegas atau
assignee memang sudah dalam keadaan insolvent atau pailit dilakukannya pada
assigment. Pasal 1277 the French Civil Code menegaskan kembali bahwa
novasi harus dinyatakan dengan tegas, demikian pula dalam Pasal 1278 dan
Pasal 1279mẹnyebutkanbahwa dalam hal pergantian kreditor hak privilege dan
hipotek tidak beralih kepada kreditor baru, kecuali kreditor lama
menegaskannya. Demikian pula dalam hal penggantian debitor, maka hak
privilege dan hipotek yang membebani asset debitor lama tidak beralih
membebani asset debitor baru. Selanjutnya, dengan berlakunya Undang-Undang
No.71-579, 16 juli 1971 di Perancis, maka berdasarkan Pasal 46 dan 47 hak
privilege dan hipotek yang membebani harta debitor lama dapat dipertahankan
atas izin pemilik- nya sebagai jaminan bagi utang debitor yang baru. Akhirnya
Pasal 1280 dan Pasal 1281 the French Civil Code mengatur novasi dalam suatu
perikatan tanggung renteng, di mana novasi hanya dilakukan antara kreditor dan
salah satu debitornya.Hak privilege dan hipotek hanya dapat dipertahankan atas
asset debitor yang membuat kontrak baru. Dengan dibuatnya novasi antara
kreditor

60
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dan seorang debiturnya maka debitor yang lain dan pen. jamin utang
dibebaskan. Debitor yang lain dan penjamin yang utang dapat menolak untuk
mengakui kesepakatan baru dan dalam hal demikian maka utang lama hapus.
Sedangkan di Negeri Belanda berdasarkan Nieuv Nederlands Burgerlijk
Wetboek Afdeling 3 Schuld en contractoverneming, penggantian debitor dapat
dilakukan dengan cara Take-over of debts and contracts(P.P.C. Haanappel dan
Ejan Mackaay, 1994:2940). Untuk bahasan mengenai novasi hanya dipaparkan
take over of debt. Perlu kami jelaskan bahwa pengambilalihan utang berbeda
dengan pengalihan piutang atas nama atau cessie yang diatur dalam Pasal 613
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pengambilalihan utang (debt
take over) transaksi terjadi antara debitor lama dengan debitor baru, meskipun
dibutuhkan persetujuan kreditor, sedangkan dalam cessie transaksi terjadi antara
kreditor lama dengan kreditor baru dan debitor harus diberi tahu supaya ia
terikat. pem- Pasal 155 (6.2.3.10) Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek
menyebutkan bahwa utang beralih dari debitor kepada pihak ketiga, jika pihak
ketiga mengambil alih utang dari debitor. Pengambilalihan utang hanya
mempunyai akibat hukum bagi kreditor, jika kreditor menyetujuinya atau para
pihak memberitahunya. Selanjutnya Pasal 156 (6.2.3.11) menyebutkan bahwa
dalam hal kreditor sudah menyetujui lebih dulu, maka pengambialihan utang
terjadi seketika debitor dan pihak ketiga mencapai kesepakatan dan mereka
memberitahukan kepada kreditor secara tertulis. Kemudian dalam ayat 2,
kreditor memberi persetujuan lebih dulu tidak dapat mencabut kembali
persetujuannya, kecuali dinyatakan dengan tegas bahwa dia minta diperjanjikan
untuk mempunyai hak mencabut kembali kesepakatannya.

61
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Ketentuan selanjutnya yaitu Pasal 157 (6.2.3.12) Nieuw Nederlands Burgerlijk


Wetboek mengatur tentang hak-hak bersifat accesoir hanya membebani debitor
baru. Gadai dan hipotek tetap hidup sepanjang disetujui oleh para pihak dan
membebani harta debitor lama atau debitor baru, tetapi gadai dan hipotek yang
membebani harta orang lain hapus karena terjadinya pengambilalihan utang.
Demikian pula hak atas penjaminan utang menjadi hapus pengambilalihan gadai
dan penjamin telah memberi kesepakatan lebih dulu bahwa hak-hak tersebut
terus hidup. yang bersifat accesoir, yaitu hak kreditor yang karena kecuali
pemberi hipotek, utang Selanjutnya privilege atas benda tertentu di mana
kreditor tidak mempunyai hak recourse terhadap pihak ketiga menjadi hapus
karena pengambilalihan utang, kecuali memang pengambilalihan utang
dilakukan dalam rangka penyerahan hak termasuk atas benda yang dibebani
privilege. Setelah penyerahan maka privilege yang melekat pada patrimony (hak
waris) debitor dianggap melekat pada patrimony debitor yang baru. Mengenai
bunga dan denda menjadi kewajiban debitor yang baru, demikian pula atas
penyitaan yang terjadi se- belum pengambilalihan utang, menjadi beban debitor
yang baru. Selanjutnya jika hubungan hukum antara debitor lama dan debitor
baru dinyatakan batal atau dibatalkan, maka kreditor dapat meminta supaya
utang dialihkan lagi kepada debitor lama dengan cara kreditor memberitahukan
kepada debitor lama dan debitor baru. Dengan Pemberitahuan tersebut debitor
baru dan debitor lama menjadi terikat untuk mengembalikan utang tersebut dan
masing-masing dapat memberi waktu yang reasonable bagi kreditor untuk
melaksanakan haknya.

62
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dalam sistem common law dikenal doktrin delegation of duties. Istilah delegasi
mengacu kepada kewajiban ber- dasarkan kontrak hal ini berbeda dengan
assigment yang dalam sistem common law mengacu kepada pengalihan hak.
Jadi, dalam delegation of duty, debitor (delegator) menginginkan pihak ketiga
(delegatee) melaksanakan ke- wajibannya terhadap kreditor. Akan tetapi
berbeda dari novasi delegator tetap bertanggung jawab atas pemenuhan
kewajiban tersebut kepada kreditor. Menurut Calamari dan Perillo dalam
bukunya Contract rasio dari ketentuan ini adalah untuk mencegah supaya
debitor yang mampu membayar (solvent) tidak melepaskan diri dari tanggung
jawab membayar utang dengan cara mendelegasikan kewajibannya kepada
pihak ketiga yang memang tidak mempunyai kesanggupan untuk membayar
utang atau insolvent (John D. Calamari dan Joseph M.Perillo, 1987:757).
Dengan demikian jika delegatee gagal memenuhi kewajibannya, maka delegator
harus memenuhi kewajiban tersebut atau dia akan digugat berdasarkan breach
of contract atau wanprestasi. Akan tetapi, dalam hukum kontrak tentu saja dapat
diperjanjikan bahwa delegatee menggantikan kedudukan delegator, sehingga
dalam hal ini terjadi novasi. Novasi membebaskan delegator dari kewajibannya
membayar utang. Untuk terjadinya novasi delegatee harus sepakat bahwa
pelaksanaan kewajiban oleh delegatee adalah sebagai pengganti kewajiban
delegator terhadap kreditor dan delegatee harus berjanji untuk melaksanakan
kewajiban delegator terhadap kreditor. Dalam sistem common law ada
kewajiban yang dapat didelegasikan dan ada pula kewajiban yang tidak dapat
didelegasikan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan tidak semua
kewajiban dapat dibuat novasi. Kewajiban

63
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang tidak dapat didelegasikan misalnya, untuk memenuhi kewajiban dalam


suatu kontrak diperlukan skill dan ke- ablian khusus oleh seorang profesional.
Demikian pula iika suatu korporasi (A) mendelegasikan kewajibannya kepada
korporasi lain (B), padahal kontrak yang asli me- nyebutkan bahwa pekerjaan
tersebut harus dilakukan oleh pegawai dari korporasi (A). Demikian pula
pendelegasian kewajiban yang timbul dari suatu promissory note tidak dapat
didelegasikan. Jika dalam kontrak yang asli promisor diwajibkan memenuhi
suatu promisory note, maka promisee tidak wajib menerima promisory note
yang sudah di- delegasikan kepada delegatee, karena promissory note ter- sebut
akan mempunyai nilai pasar yang berbeda (Jhon D.Calamari and Joseph M.
Perillo:1987 ,761). 3. NOVASI OBJEKTIF Pembahasan novasi objektif dalam
buku ini meliputi dua hal. Pertama kasus jual-beli tekstil yang dikonversi
menjadi pengakuan utang dan yang kedua adalah membahas restrukturisasi
utang sebagai salah satu bentuk novasi. 3.1. Jual-Beli Tekstile Dikonversi
Menjadi Pengakuan Utang Kasus antara PT Oesaha Sandang melawan PT
Dhaseng, PT Interland dan Mediarto Prawiro, telah di- putuskan oleh
Mahkamah Agung dalam perkara No. 3264. K/Pdt/1992 Tanggal 28 Agustus
1996. PT Oesaha Sandang telah bertahun-tahun lamanya menjalin hubungan
bisnis jual-beli bahan tekstil dengan PT Dhaseng dan PT Interland di mana
Mediarto Prawiro berkedudukan sebagai Direktur Utama. PT Dhaseng dan

64
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

PT Interland telah memperoleh pengesahan dari Departemen Kehakiman


sebagai badan hukum, masing. masing tahun 1980 dan 1985, akan tetapi belum
diumum- kan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pada bulan
April 1986, PT Oesaha Sandang melakukan tagihan kepada PT Dhaseng dan PT
Interland agar melunasi pembayaran atas harga bahan tekstil yang telah diterima
dari PT Oesaha Sandang untuk sejumlah RP. 342.480.158,72. Seharusnya
menurut PT Oesaha Sandang, PT Dhaseng dan PT Interland sudah berjanji
untuk mem- bayar lunas bulan Oktober 1985.Hal ini berdasarkan peng- akuan
utang dari para tergugat sesuai dengan Surat Per- janjian Pembayaran Tekstil
tertanggal 22 Oktober 1985. Mediarto Prawiro sebagai Presiden Direktur PT
Dhaseng dan PT Interland menolak melakukan pembayaran dengan alasan tidak
pernah mengadakan perjanjian jual-beli dengan PT Oesaha Sandang. Namun
demikian dalam proses pembuktian menunjukkan bahwa Surat Perjanjian
Pengakuan Utang yang dibuat antara penggugat dan ter- gugat menyatakan
bahwa Mediarto Prawiro bertindak untuk diri sendiri dan sebagai Presiden
Direktur dari PT Dhaseng dan PT Interland berutang kepada Pengugat sebesar
Rp.342.480.158, 72 yang berasal dari pembelian bahan-bahan tekstil dari
Penggugat dan berjanji melunasi utang tersebut setelah menerima pembayaran
asuransi kebakaran dari Asuransi Dharma Bangsa. Dengan demikian, menurut
penulis dalam kasus ini telah terjadi novasi dimana hubungan hukum yang
semula jual-beli dikonversi menjadi pinjam meminjam dan pe- ngakuan utang.
Pengadilan Negeri Bandung dengan Putusan No.269/ Pdt.g/1990/PN.Bdg,
tanggal 21 Mei 1991 menolak gugatan seluruhnya dengan alasan bahwa
bilamana penggugat

65
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dirugikan maka gugatan harus diajukan terhadap merasa Mediarto Prawiro


sebagai pribadi, karena Mediarto Prawiro belum mendapat persetujuan dari
komisaris PT Dhaseng dan PT Interland untuk meminjam uang. Pengadilan
Tinggi Bandung dengan Putusan No.453/ Pdt/1991/PT.Bdg, tanggal 26 Februari
1992 mempunyai pendapat yang berbeda dari Pengadilan Negeri. Menurut
Pengadilan Tinggi, Surat Perjanjian pengakuan pem- bayaran utang bahan
tekstil yang menjadi utang kedua perseroan tersebut adalah merupakan
pembelian bahan tekstil yang termasuk dalam bidang usaha kedua peseroan
tersebut, sehingga Mediarto Prawiro sebagai Direktur tetap berwenang dan sah
melakukan perbuatan: Surat Perjanjian pengakuan pembayaran tekstil tanpa
persetujuan komisaris. Berdasarkan alasan tersebut maka Pengadil- an Tinggi
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri dan menghukum PT Dhaseng, PT
Interland, dan Mediarto Prawiro untuk secara tanggung renteng membayar RP.
342.480,158,72. Penggugat maupun tergugat menolak Putusan Peng- adilan
Tinggi dan mengajukan kasasi diikuti penyerahan memori kasasi. Majelis
Hakim Agung yang mengadili perkara ini dalam putusannya
mempertimbangkan bahwa Judex facti yaitu Pengadilan Tinggi salah dalam
menerapkan hukum dalam perkara ini. Pendapat Mahkamah Agung didasari
alasan yuridis sebagai berikut:

1. Perbuatan Tergugat III Mediarto Prawiro, yaitu Presiden Direktur yang


bertindak untuk dan atas nama PT Dhaseng (Tergugat I) dan PT Interland
(Tergugat II) dengan memakai "Kausa" sebagai utang atas pengambilan bahan-
bahan tekstil dari Penggugat adalah

66
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sama makna dan bentuk tujuannya dengan pengertian yang disebut dalam Pasal
11 ayat
2. Anggaran Dasar Tergugat I dan Tergugat II sebagai Badan Hukum: 2. Oleh
karena itu, supaya tindakan Tergugat III yaitu Mediarto Prawiro menjadi sah
dan berkekuatan hukum harus diperoleh persetujuan komisaris terlebih dulu
bagi tindakan Mediarto Prawiro sebagai Presiden Direktur/Direktur kedua
badan hukum tersebut;
3. Tujuan pembatasan kewenangan Direktur dari suatu korporasi sebagai legal
person adalah untuk mencegah Direktur melakukan persengkongkolan dengan
pihak ketiga dan memindahkan harta kekayaan sebuah perseroan. Dalam hal ini
berlaku doktrin Ultra Vires yaitu doktrin yang menentukan bahwa Direksi tidak
boleh melampaui batas-batas yang ditentukan dalam Anggaran Dasar suatu
korporasi;
4. Dalam perkara ini, tindakan Tergugat III sebagai Direksi yang membuat
Surat Pernyataan Utang kepada Penggugat untuk dan atas nama Tergugat I dan
Tergugat II sebagai badan hukum dilakukan tanpa persetujuan komisaris.
Padahal berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar Perseroan pasal 11 (2) tindakan
tersebut se- harusnya dilakukan berdasarkan persetujuan komisaris terlebih
dulu. Dengan demikian, tindakan Mediarto Prawiro sebagai direksi perseroan
telah melampaui kewenangannya dan karena tindakan tersebut tidak sah dan
tidak berkekuatan hukum dalam arti tidak mengikat perseroan sebagai badan
hukum yaitu Ter- gugat I dan Tergugat II;
5. Dengan alasan tersebut, maka tuntutan atas utang dibuat oleh Tergugat III
selaku Presiden Direktur/ yang Direktur dari perseroan (Tergugat I dan
Tergugat II) tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dituntut
pemenuhannya kepada kedua badan hukum

67
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tersebut. Karena itu gugatan Penggugat kepada kedua badan hukum tersebut
harus ditolak;
6. Utang PT Dhaseng (Tergugat I) dan PT Interland (Tergugat II) yang dibuat
oleh Mediarto Prawiro adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi
Mediarto Prawiro (Tergugat III) untuk membayarnya kepada PT Oesaha
Sandang sebagai Penggugat dalam kasus ini.
3.1.1. Analisa Kasus: Doktrin Ultra Vires dan Actual Authority versus Doktrin
Ostensible Authority/ Apparent Authority dan Perlindungan terhadap pihak ke
III yang Beritikad Baik
Pelajaran yang dapat ditarik dari kasus ini adalah dibutuhkan sikap hati-hati
dalam melakukan novasi atas perjanjian jual-beli barang bergerak menjadi
utang piutang yang lahir dari perjanjian pinjam meminjam uang. Dalam
anggaran dasar suatu perseroan terbatas pada umumnya direksi dapat
melakukan perbuatan hukum jual-beli barang bergerak seperti tekstil tanpa
persetujuan komisaris. Se- baliknya dalam melakukan perbuatan hukum seperti
me- minjam uang atau membebani properti milik perseroan dengan jaminan
utang biasanya diperlukan persetujuan lebih dulu dari komisaris. Namun
demikian perlu dikaji lebih lanjut sudah tepat- kah penerapan doktrin ultra vires
dalam kasus ini sehingga PT Dhaseng dan PT Interland dibebaskan dari
tanggung jawab membayar utang kepada PT Oesaha Sandang? Apakah sudah
tepat putusan yang menyatakan bahwa Mediarto Prawiro harus bertanggung
jawab secara pribadi terhadap PT Oesaha Sandang? Doktrin ultra vires adalah
suatu doktrin hukum yang berlaku dalam sistem common law dan diadopsi
dalam

68
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.


Untuk memahami doktrin ultra vires diperlukan pula pemahaman terhadap
doktrin yang mendasari hubungan hukum antara korporasi dan direksi.
Hubungan antara korporasi dengan direksi didasarkan pada doktrin fiduciary
duty seperti halnya dalam hubungan antara principal dengan agen dalam sistem
common law. Dalam hal ini seperti halnya direksi, agen bertindak untuk dan
atas nama prinsipal (korporasi) dan seperti direksi agen harus bertindak "for the
best interest of principal". Karena Agen bertindak untuk dan atas nama principal
maka harus ada pendelegasian wewenang dari principal kepada agen, demikian
pula direksi harus memperoleh pendelegasian wewenang dari perseroan sesuai
dengan anggaran dasarnya.Dalam hubungan hukum antara principal dan agen
paling tidak dikenal dua doktrin pen- delegasian wewenang, yaitu doktrin actual
authority dan doktrin ostensible/apparent authotiry. Doktrin actual authority
adalah doktrin yang me- nyatakan bahwa tindakan agen harus berdasarkan pen-
delegasian wewenang yang dengan tegas dinyatakan oleh principal kepada
agen, seperti wewenang yang diberikan oleh korporasi kepada direksi sesuai
dengan anggaran dasar korporasi tersebut. Berdasarkan doktrin ini, maka
tindakan agen yang berada di luar actual authority tidak mengikat principal.
Sedangkan doktrin ostensible/apparent authority adalah suatu doktrin hukum
untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik terhadap tindakan agen yang
berada di luar actual authority. Doktrin ostensible/apparent authority ini,
diberlakukan apabila prinsipal yang telah menunjuk

69
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

agen untuk berhubungan dengan pihak ketiga membiarkan a tindakan agen yang
di luar wewenangnya. Pihak ketiga yang beritikad baik harus dilindungi karena
yang nampak ari luar agen seolah-olah berwenang mewakili prinsipal dan
prinsipal tidak doktrin ostensiblelapparent authority adalah kasus Freeman&
Lockyer v. Buckhurst Park Properties (Mangal) Ltd. Dalam kasus ini K
(property developer) dan H mendirikan perusahaan. Dalam Akta pendirian
disebutkan perusahaan berwenang menunjuk managing director, tetapi tidak
seorang pun yang ditunjuk. Dalam kenyataan K bertindak sebagai managing
director dan memerintahkan seorang arsitek membuat perencanaan tanpa
sepengetahuan direktur yang lain. Pengadilan memutuskan bahwa per- usahaan
bertanggung jawab untuk membayar arsitek ter- sebut meskipun K tidak
mempunyai actual authority (Paul Latimer, 1998:787-789).Di negera maju
pengadilan cen- derung untuk menetapkan doktrin ostensible/apparent authority
untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik ketimbang menerapkan
doktrin ultra vires dan doktrin actual authority. menegurnya. Contoh penerapan
Dengan demikian, menurut pendapat kami dalam kasus PT Oesaha Sandang
melawan PT Dhaseng, PT Interland dan Mediarto Prawiro, seharusnya PT
Oesaha Sandang sebagai pihak yang beritikad baik memperoleh perlindungan
hukum sesuai dengan doktrin ostensible/ apparent authority. Mediarto Prawiro
sebagai direktur PT Dhaseng dan PT Interland mempunyai apparent authority
untuk mewakili kedua badan hukum tersebut, meskipun berdasarkan anggaran
dasar Mediarto Prawiro tidak mempunyai actual authority. Dalam hal ini PT di-
yang Dhaseng dan PT Interland menikmati tekstil perolehnya dari PT Oesaha
Sandang, sehingga tampak

70
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dari luar seolah-olah tindakan Mediarto Prawiro sebag direktur sudah


memperoleh persetujuan dari komisaris kedua badan hukum tersebut. Karena
ituseharusnya PT Dhaseng dan PT Interland terikat terhadap tindakan yang
dilakukan oleh Mediarto Prawiro dan bertanggung jawab membayar utang
kepada PT Oesaha Sandang. Kalaupun doktrin ultra vires hendak diterapkan
dalam kasus ini, maka doktrin tersebut berlaku secara internal, artinya setelah
PT Dhaseng dan PT Interland membayar utang kepada PT Oesaha Sandang,
barulah kedua badan hukum tersebut meminta pertangung jawaban Mediarto
Prawiro secara pribadi. Demikian pula Munir Fuadi, dalam Doktrin-doktrin
Modern dalam Corporate Law:Eksistensinya dalam Hukum Indonesia,
mengatakan bahwa perkembangan doktrin ultra vires dalam sejarah
menunjukkan bahwa doktrin ini hanya diberlakukan terhadap pihak internal dari
perseroan dan tidak begitu diberlakukan kepada pihak ketiga sebagai pihak
eksternal yang melakukan transaksi tersebut dengan korporasi. Dengan
perkataan lain suatu benang merah yang dapat ditarik dari perkembangan
doktrin ultra vires adalah bahwa perlindungan hukum terhadap pihak ketiga
yang beritikad baik jauh lebih penting daripada mem- berlakukan doktrin ultra
vires secara tradisional dan kaku (Munir Fuadi, 2002:135). Namun demikian
harus dapat dibedakan antara pendelegasian wewenang dari perseroan kepada
direksi maupun pemberian kuasa dengan perjanjian untuk me- lakukan jasa dan
perwakilan sukarela. Dalam perjanjian untuk melakukan jasa, pemberi jasa
tidak bertindak untuk dan atas nama penerima jasa dan dalam perwakilan suka-
rela, pihak yang mewakili tidak berhak meminta fee kepada pihak diwakili,
sesuai dengan ketentuan Pasal 1358 yang Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.

71
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

3.1.2 Kelalaian Pengurus Mendaftarkan dan Mengumumkan


Menurut Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas, direksi menjadi bertanggung secara pribadi atas perbuatan perseroan
selama jawab endaftaran dan pengumuman belum dilaksanakan. Dalam kasus
ini PT Dhaseng dan PT Interland memang belum umumkan dalam Tambahan
Berita Negara oleh direksi sehingga Putusan Mahkamah Agung RI yang
menghukum Mediarto Prawiro untuk bertanggung jawab secara pribadi sudah
tepat. Namun demikian secara akademis perlu juga diberi- kan komentar atas
ketentuan Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas. Mengenai hal ini Rudhi Prassetyo dalam makalahnya "Pendirian
Perseroan Terbatas dan Pertangungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris serta
Pihak terkait lainnya" memberi komentar bahwa, jika pengurus melakukan
pelanggaran atas anggaran dasar (ultra vires) maka perbuatan itu di- pandang
bukan sebagai perbuatan perseroan, tetapi di- anggap sebagai perbuatan pribadi
dari pengurus. Kon- sekuensinya segala tagihan yang timbul tidak akan menjadi
beban melainkan menjadi beban pribadi peng- urus. Tetapi jika pengurus lalai
melakukan pendaftaran dan perseroan, harus bertangung kemudian pengurus
pengumuman jawab secara pribadi, maka hal ini justru akan merugikan pihak
ketiga yaitu para kreditor perseroan. Karena harta kekayaan pribadi pengurus
lebih kecil dari harta kekayaan perseroan. Selanjutnya menurut Rudhi Prasetyo
di Negeri Belanda jika pengurus lalai melakukan pendaftaran dan pengumuman,
maka pihak ketiga tetap dapat menuntut harta kekayaan perseroan dan jika harta
kekayaan perseroan ternyata tidak mencukupi, maka masih bisa menuntut harta
kekayaan pribadi pengurus (Rudhi Prasetyo, 2001:5).

72
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Karena itu Rudhi Prasetyo mengusulkan perubahan rumusan Pasal 23 menjadi:


Selama pendaftaran dan ngumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal. pasal..
belum dilakukan, maka para anggota Direksi "ikur secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas segal, perbuatan hukum Dengan demikian dapat
diambil kesimpulan bahwa dalam sistem common law maupun civil law yang
modern seperti yang berlaku di Negeri Belanda, kreditor sebagai pihak ketiga
yang beritikad baik harus dilindungi dari tindakan direksi meskipun tindakan
direksi ultra vires, melanggar anggaran dasar perseroan ataupun dalam hal
belum dilakukannya pendaftaran dan pengumuman kepada publik.
3.2. Restrukturisasi Utang sebagai Bentuk Novasi
Restrukturisasi utang adalah penghapusan perjanjian lama untuk diperbarui
dengan perjanjian kredit yang kredit yang baru. Restrukturisasi utang termasuk
dalam novasi objektif dalam hal ini esensi perjanjian yang lama dan perjanjian
yang baru adalah sama yaitu utang-piutang. Akan tetapi, sifat suatu
restrukturisasi kredit bisa juga berbeda dengan perjanjian kredit lama yang
sudah hapus. Misalnya restrukturisasi kredit dalam bentuk debt to equity swapt,
konversi obligasi menjadi saham. Dalam hal ini bukan terjadi novasi tetapi
perjumpaan utang atau kom- pensasi. Ketidakmampuan debitor membayar
utangnya juga berdampak negatif kepada para kreditor sebagai penyalur kredit.
Dalam upaya menyelesaikan kredit bermasalah perbankan dihadapkan pada
berbagai pilihan seperti me- ngajukan gugatan supaya debitor memenuhi
kewajiban- nya yang sudah jatuh tempo bahkan mempailitkan debitor

73
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

memberi kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang agar


sektor perbankan dan sektor perusahaan/retail berjalan kembali. Sehubungan
dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran kepada
semua Bank Umum di Indonesia, yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.31/150/KEP/Dir, Tanggal 12 November 1998 Tentang Restrukturisasi
Kredit. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa restrukturisasi utang dapat dilakukan
oleh Bank Umum dengan cara yang disebutkan dalam Pasal 1 huruf c yaitu:
1. Penurunan suku bunga kredit3;
2. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
3. Pengurangan tunggakan pokok kredit;
4. Perpanjangan jangka waktu kredit; Penambahan fasilitas kredit;
6. Pengambialihan asset debitor sesuai dengan ketentuan yang berlaku:
7. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitor.
3.2.1. Refinancing: Penambahan Fasilitas Kredit sebagai Bentuk Novasi
Dalam perjanjian kredit dengan jumlah uang yang besar seperti kredit sindikasi,
kredit investasi atau kredit korporasi, pada umumnya kreditor mencantumkan
klau- sula-klausula wanprestasi seperti indebtedness default debitor dianggap
telah melakukan wanprestasi jika meng- ambil kredit baru; klausula
encumbrances default artinya debitor dianggap wanprestasi jika menjaminkan
assetnya kepada kreditor lain. Klausula-klausula ini'dimaksudkan supaya
kemampuan debitor melunasi utangnya kepada

74
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kreditor pertama tidak berkurang karena timbul kewajiban kewajiban debitor


kepada kreditor baru(Iswahyudi Karim 2003:3). Selain itu kreditor juga dapat
meminta dicantumkan klausula bahwa kreditor secara sepihak dapat
menyatakan seluruh utang dengan seketika jatuh tempo dan harus dibayar oleh
debitor jika:
1. perbandingan antara utang dan keuntungan perseroan sebagai debitor naik
sampai beberapa persen;
2. perbandingan antara nilai asset perseroan dan ke- wajiban perseroan sebagai
debitor turun sampai be- berapa point;
3. kondisi keuangan perseroan tidak memenuhi financial ratio test (Robert
C.Clark, 1986:36).
Kreditor dapat juga meminta personal guarantee dari pemegang saham atau
pengurus perseroan, sehingga pe- megang saham dapat diminta
pertanggungjawaban sampai harta pribadi.Pertànggungjawabansecara pribadi
ter- hadap pemegang saham lebih mudah dilakukan melalui mekanisme
personal guarantee daripada menggunakan mekanisme doktrin piercing
corporate veil. Karena doktrin ini hanya dapat diterapkan dalam hal perseroan
berfungsi sebagai alter 1986:37). dari pemegang saham (Robert C.Clark, ego
Dalam praktik, pengadilan di Amerika Serikat akan menerapkan doktrin
piercing corporate veil dalam hal pe- megang saham tidak mengikuti formalitas
dijalankan sehingga hal tersebut menjadikan perusahaan sebagai instrument atau
alter egodari pemegang saham dan merugikan kreditor seperti:

1. Saham tidak pernah dikeluarkan sehingga modal tidak

75
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

2. rapat antara pemegang saham dan direksi tidak pernah dilakukan;


3. Pemegang saham tidak membedakan dengan tegas antara harta perseroan dan
harta pribadi, misalnya menggunakan perluan pribadi;
4. Tidak dilakukan pencatatan /pembukuan keuangan per- dari rekening
perseroan untuk ke- uang seroan sesuai standar:
5. jika hal-hal di atas merugikan kreditor, maka keinginan pengadilan untuk
menerapkan doktrin piercing cor- norate veil akan semakin besar, misalnya
karena megang saham menggunakan uang perseroan untuk kepentingan pribadi,
mengakibatkan perseroan tidak mampu membayar utang kepada para
kreditornya.
Namun adakalanya kreditor malah mendorong debitor untuk mengambil kredit
baru dari kreditor lain dengan dana dari kredit baru tersebut dipakai oleh
maksud agar debitor untuk melunasi utangnya kepada kreditor lama. Bagi
kreditur yang memberikan refinancing menghadapibeberapa masalah:
1. Meskipun kreditor pertama telah mengizinkan debitor untuk mengagunkan
asetnya kepada kreditor refinancer, kreditor refinancer mungkin enggan
menerima asset tersebut karena asset yang diagunkan bukan merupa- kan asset
yang sangat berharga dan likuid yang biasanya sudah diagunkan kepada kreditor
pertama;
2. Selain itu kreditor refinancer juga enggan asset debitor dengan agunan karena
eksekusinya me- merlukan ongkos yang besar dan waktu membebani yang
lama;
3. Jalan keluarnya adalah kreditor refinancer meminta kreditor pertama sebagai
penjamin bagi kredit

76
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

refinancing dengan menerbitkan bank garansi atau stand by LC (Iswahyudi


Karim, 2003:7).
Refinancing dapat juga diberikan oleh kreditor vane sama, dalam hal ini
perjanjian kredit yang baru dibuat untuk menyelamatkan perjanjian kredit yang
lama. Pihak kreditor dan pihak debitor dalam perjanjian kredit baru adalah sama
dengan para pihak dalam perjanjian kredit yang lama. Adapun hal yang
diperbarui dalam per- janjian refinancing adalah jumlah pinjaman di mana
jumlah utang yang baru ditambahkan ke dalam jumlah utang yang lama
sehingga jumlah utang dalam perjanjian kredit baru adalah merupakan kumulasi
utang yang lama dan utang yang baru. Akibat hukum dari perjanjian refinancing
adalah timbul hak dan kewajiban yang baru bagi kreditor dan debitor. Kreditur
mempunyai kewajiban memberikan pin- jaman tambahan kepada debitor sesuai
dengan kesepakatan dalam perjanjian refinancing. Debitur mempunyai ke-
wajiban untuk mengikuti syarat-syarat yang ada dalam perjanjian refinancing
seperti fasilitas dan jangka waktu kredit, cara pencairan dana pinjaman dan
cara pengembalian kredit.
3.2.2. Restrukturisasi Utang dengan Recapture ClauseBukan Novasi
Untuk mendorong debitor mematuhi kewajibannya dalam perjanjian
restrukturisasi utang, kreditor men- cantumkan recapture clause. Berdasarkan
klausula ini maka jika debitor melakukan wanprestasi atas perjanjian res-
trukturisasi utang, maka hak dan kewajiban dalam per- janjian kredit yang lama
menjadi berlaku lagi. Jadi, dengan lama berlakunya recapture clause perjanjian
kredit yang menjadi berlaku lagi dan oleh karena tidak terjadi novasi.

77
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Permasalahan hukum yang timbul adalah apakah dengan terjadinya wanprestasi


oleh debitor, maka per- njjan restrukturisasi utang menjadi batal demi hukum
hingga berlaku lagi hak dan kewajiban dalam perjanjian wrdit yang lamaP
Atankah dengan terjadinya wanprestasi, maka perjanjian restrukturisasi utang
harus dimintakan pembatalannya oleh kreditor kepada hakim?
Pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, perjanjian tidak batal demi hukum tetapi
harus dimintakan pembatalannya kepada hakim. Dalam praktik memang Pasal
1266 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sering disimpangi atau
dilepaskan oleh para pihak. Akan tetapi hal ini masih menjadi kontroversi baik
dari segi doktrin maupun yurisprudensi apakah Pasal 1266 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata memang dapat disimpangi oleh para pihak berdasarkan
doktrin kebebasan berkontrak atau Party Autonomy yang terkandung dalam
Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Suharnoko, 2004:61-
80).
3.2.3. Apakah Asset Settlement merupakan Novasi?
Metode asset settlement merupakan cara yang penting bagi bank-bank
yang menghadapi kredit bermasalah, karena para debiturnya sudah tidak
sanggup membayar utang. tetapi mereka masih mempunyai asset yang berharga.
Peng- hapusan utang dengan metode asset setllement juga diperlukan bagi bank
untuk menaikkan capital udequasy ratio. Dalam asset settlement kewajiban
debitor membayar sejumlah uang diganti menjadi kewajiban untuk me-
nyerahkan asset-asset-nya. Apakah dengan demikian hal ini merupakan novasi?
Namun demikian perlu diperhatikan lebih dahulu legalitas suatu asset
settlement. Karena berdasarkan Pasal

78
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, Tentang Hak Tang gungan,


khususnya dalam Pasal 12 disebutkan bab kreditor pemegang hak tanggungan
dilarang secara serta merta memiliki benda yang dibebani hak tanggungan dala
hal debitor wanprestasi. Rasio Pasal ini adalah untuk men- cegah kreditor
memiliki asset debitor yang nilainya lebih besar dari sisa utang debitor kepada
kreditor.
Mekanisme penyelesaian utang yang ditempuh menurut Undang-undang
adalah kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas asset yang
dibebani hak tanggungan dan mengambil lebih dulu hasil penjualan asset
tersebut. Sisa hasil penjualan asset tersebut harus dikembalikan kepada debitor.
Eksekusi dapat dilakukan melalui parate eksekusi maupun melalui fiat eksekusi
Ketua Pengadilan Negerí, karena beradarkan Pasal disebut- kan bahwa sertifikat
hak tanggungan dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA mempunyai kekuatan eksekutorial seperti
putusan hakim yang berkekuatan tetap.
Mekanisme asset setllement sebenarnya dapat juga dilakukan melalui
jual-beli, karena Undang-Undang No, 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
memperbolehkan kreditor membeli sendiri asset yang dibebani hak tanggung-
an, Menurut pendapat kami asset settlement melalui jual- beli tídak menyalalhi
rasio dari ketentuan Pasal 12 Undang- Undang Hak Tanggungan sepanjang
harga yang dibayar oleh kreditor sebagai pembeli adalah selisih antara harga
pasar asset debitor dan sisa utang debitor kepada kreditor.
Akan tetapi, khusus bagi perbankan perlu diperhatikan pula ketentuan
Pasal 12 A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang No.12 Tahun 1997 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa Bank
umum dapat membeli barang agunan melalui pelelangan .

79
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

umum, ataupun di luar pelelangan berdasarkan kuasa dari pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa dari pemilik agunan untuk menjual di luar lelang, dalam hal
nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank. Namun demikian,
agunan yang dibeli oleh bank tersebut tidak dapat dimiliki oleh bank. Bank
harus mencairkan ataupun menjual agunan yang dibeli tersebut secepatnya,
paling lambat dalam waktu satu tahun.
Kita tentunya masih ingat kasus sebuah bank swasta dengan Agunan yang
Diambil Alih (AYDA) dan tidak dengan segera menjualnya. Memang tidak
mudah menjual agunan dengan harga pasar, sebaiknya bank diberi ke- sempatan
untuk menjual dalam jangka waktu lima tahun atau diperbolehkan membeli dan
memiliki sendiri tersebut sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No.4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Juga menjadi pertanyaan apakah mekanisme asset settlement juga dapat
dilakukan terhadap asset debitor yang tidak dibebani hak tanggungan, tidak
dibebani hipotek dan tidak dibebani fidusia. Atas asset debitor secara yuridis
seluruh harta benda debitor by operation of laww memang menjadi jaminan
utang berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Namun demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak menyebutkan
bahwa kreditor boleh memilikinya, sebab hak kreditor yang diberikan oleh
undang-undang adalah mengambil penjualan asset-asset tersebut bagi pelunasan
piutang- 24. Kedudukan kreditor dalam hal ini adalah sebagai kreditor
konkuren.
Sebagai perbandingan dalam The French Civil Code pengaturan
Assignment of Assets diletakkan dalam Buku 3 Bab 5 dari Pasal 1265 sampai
dengan Pasal 1274 (John H.Crabb, 1985:238).

80
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dalam Pasal 1265 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan assignment


of assets adalah suatu pembebasan utang, di mana debitor menyerahkan seluruh
asetnya ke- pada kreditor dalam hal debitor tidak sanggup membayar utangnya.
Suatu assignment of asset dapat dilakukan atas dasar kesukarelaan atau
karena perintah undang-undang. Pe- nyerahan asset secara sukarela hanya
berlaku atas dasar kesepakatan yang dinyatakan dengan tegas dalam suatu
kontrak antara kreditor dan debitor. Sedangkan penyerahan asset karena
perintah undang-undang atau Judicial Assign- ment adalah untuk melindungi
debitor yang tidak sanggup membayar utang tapi mempunyai itikad baik
sehingga oleh hukum dibenarkan menyerahkan asset untuk kebebas- an dirinya.
Seorang kreditor tidak boleh menolak judicial assignment kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang. Judicial assignment membebaskan debitor yang
dipenjara karena utangnya dan penyerahan asset hanya membebas- kan utang
debitor sebesar nilai asset yang diserahkannya.
Selanjutnya hal yang penting diperhatikan adalah bahwa dalam judicial
assigment, penyerahan asset tidak mengalihkan harta debitor menjadi milik
kreditor, kreditor hanya menmpunyai hak untuk menjual asset tersebut dan
mengambil hasilnya bagi pelunasan piutangnya. Bagaimana halnya dengan
ooluntary assignment dapatkah kreditor mengambil alih kepemilikan harta
debitor? Dalam hal tidak terdapat larangan dalam the French Civil Code.
Mengambil pelajaran dari pengaturan di Perancis terhadap asset
settlement ini, maka menurut pendapat kami berdasarkan kesepakatan antara
kreditor dan debitor dapat dindakan asset settlement, di mana sebagai
pembayaran utang debitor kreditor mengambil alih kepemilikan asset-asset
debitor, knususnya asset-asset yang

81
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tidak dibebani gadai, fidusia, hipotek maupun hak tang- gungan. Tentunya
dengan pemahaman bahwa nilai asset sebut tidak melampaui sisa utang dan
bunga yang harus dibayar oleh debitor kepada debitor.
Selain itu dalam the French Civil Code, pengaturan assignment of asset
dibedakan dari pengaturan novasi. Assionment of Asset diatur dalam Pasal 1265
sampai dengan Pasal 1270 sedangkan Novation diatur dalam Pasal 1271 sampai
dengan Pasal 1281.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa asset settlement
bukan merupakan novation, meskipun kewajiban debitor membayar sejumlah
uang kepada debitor dirubah menjadi penyerahan asset sebagai pembayaran
utang. Sebab penyerahan asset tersebut adalah dalam rangka pembayaran bagi
utang yang lama.
3.24. Debt to Equity Swapt: Pembayaran Utang melalui
Kompensasi/Perjumpaan utang
Metode restrukturisasi utang lainnya adalah debt to equity swapt dan debt
to quasi equity swapt. Dalam debt to equty swapt debitor memenuhi
kewajibannya kepada kreditor untuk membayar utang dengan menyerahkan
kepemilikan atas saham yang baru kepada kreditor. Sedang- kan dalam debt to
quasi equity swapt, debitor menerbitkan convertible bonds atau Exchangeable
bonds. Terhadap kreditor pemegang obligasi konversi akan diterbitkan saham
perseroan debitor, sedangkan bagi kreditor Pemegang exchangeable bond akan
diterbitkan saham perusahaan penjamin (Iswahyudi Karim, 2003:2).
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk Tagihan
tertentu yang dapat Dikompensasi- kan sebagai Setoran Saham adalah:

82
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Pasal 1, menyebutkan bentuk tagihan yang timbul terhadap perseroan,


yaitu:
a.perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau benda
tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang:
b. perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari suatu pihak, di mana
perseroan telah menerima manfaat yang dapat dinilai dengan uang;
c. pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang dari perseroan telah
melakukan kewajibannya mem- bayar lunas utang perseroan.
Selanjutnya, Pasal 2 menyebutkan bahwa tagihan- tagihan terhadap
perseroan dapat dikompensasikan oleh perseroan sebagai berikut:
1. Bentuk tagihan tertentu dapat dikompensasikan oleh perseroan dengan
kewajiban penyetoran atas harga saham perseroan yang diambil oleh pihak yang
mem- punyai tagihan kepada perseroan.
2. Kompensasi atas bentuk tagihan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
hanya dapat dilakukan ber- dasarkan kompensasi yang telah diperjanjikan
sebelum- nya dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau
kompensasi tersebut dilaksanakan ber- dasarkan Rapat Umum Pemegang
Saham.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa debt to equity swapt
adalah suatu pembayaran dengan cara memperhitungkan kewajiban perseroan
sebagai debitor untuk membayar utang dengan kewajiban kreditor untuk
menyetor harga saham perseroan(debitor) yang diambil oleh kreditor.
Kompensasi atau perjumpaan utang juga diatur dalanm Pasal 1425 sampai
dengan Pasal 1435 Kitab Undang- 84

83
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Undang Hukum Perdata. Perjumpaan utang menghapuskan kedua utang


tersebut. Perikatan untuk membayar sejumlah uang hanya dapat
dikompensasikan dengan perikatan lain untuk membayar sejumlah uang.
Perjumpaan utang atau kompensasi tidak terjadi secara otomatis tetapi harus
diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan (R.Subekti, 1998:73).
Selanjutnya Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1999
menyebutkan bahwa Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 92) sah, apabila diambil sesuai dengan ketentuan
Pasal 75 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Sedangkan untuk perseroan yang ber- bentuk Perseroan Terbuka, menurut Pasal
4 harus di- berlakukan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Dalam Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas, pada umumnya
ditentukan bahwa pengeluaran saham atau pengalihan saham harus ditawarkan
lebih dahulu kepada pemegang saham perseroan, akan tetapi dalam Pasal 5
Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam Anggaran
Dasar dapat ditentukan bahwa pengeluar- an saham yang dilakukan oleh
perseroan sebagai akibat kompensasi bentuk tagihan tertentu, tidak harus di-
tawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham per- seroan.
Akhirnya Pasal 6 menyebutkan bahwa penyetoran saham yang dilakukan
sebagai akibat dari kompensasi bentuk tagihan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah ini, harus diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar dan Pasal
7 menyebutkan bahwa Peraturan Pe- merintah ini berlaku sejak tanggal
diundangkannya. 85

84
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dalam kaitannya dengan pasar modal, instrumen pasar modal dapat


dibedakan atas surat bersifat utang atau obligasi dan surat berharga yang
bersifat pemilikan atau saham/equity. Jenis obligasi konversi (convertible bond)
memberikan hak bagi pemegangnya untuk menukarkan obligasi yang
dimilikinya dengan saham (common stock) dalam jangka waktu tertentu sesuai
syarat -syarat pinjaman. Obligasi konversi mencantumkan persyaratan untuk
konversi seperti tanggal penukaran, jumlah yang dipertukarkan, dan harga
konversi (M.Irsan Nasarudin dan Indra Surya, 2004:185-186). Pemegang
obligasi memperoleh bunga sedangkan pemegang saham memperoleh dividen.
berharga yang dengan
4. NOVASI SUBJEKTIF AKTIF DALAM PEMBAYARAN DENGAN
KARTU KREDIT
Dalam penerbitan kartu kredit, terkait empat pihak yang saling
berhubungan yaitu:
1. Issuer: pihak yang membuat dan mengeluarkan produk kartu plastik;
2. Acquirer: pihak yang mengelola penggunaan kartu plastik, terutama dalam
hal penagihan dan pembayaran antara pihak Issuer dengan pihak merchant.
Perlu dijelaskan bahwa adakalanya pengelola kartu plastik sekaligus berperan
sebagai Issuer maupun Acquirer;
3. Card holder: pihak yang telah memenuhi seluruh prosedur persyaratan yang
ditetapkan sehingga berhak untuk memegang dan menggunakan kartu plastik;
4. Merchant: Pedagang di tempat-tempat yang dapat menerima pembayaran
dengan kartu plastik. (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, 1991:2-3). 98

85
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mekanisme kerja dari keempat pihak yang terkait tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pihak Issuer mengeluarkan kartu berdasarkan atas permintaan calon card
holder amlication, memenuhi seluruh persyaratan dan telah mengajukan
disetujui sebagai card holder baru.
2. Pihak card holder yang telah disetujui permohonannya dan telah menerima
kartunya, wajib membayar uang pangkal dan annual fee atau iuran tahunan
sebesar yang telah ditetapkan oleh masing-masing issuer.
3. Kemudian, para card holder membelanjakan kartu tersebut disejumlah
merchant.
4. Para merchant akan menagih seluruh transaksi jual- beli yang dibayar dengan
kartu kepada pihak acquirer. Jumlah tagihan dikurangi sebesar nilai discount
commission yang telah ditetapkan sebelumnya antara pihak merchant dan pihak
acquirer serta issuer Contoh, jumlah transaski sebesar Rp. 1.000.000,- dan
discount commission sebesar 5%, maka jumlah tagihan adalah sebesar
Rp.950.000,-.
5. Selanjutnya para acquirer akan menagih kepada pihak Ssuer. Jumlah tagihan
sebeşar nilai transaksi dikurangi interchange sebesar telah disepakati
sebelumnya Burk antara issuer dan acquirer. Misalnya, jumlah inter- change
sebesar 2%, maka jumlah yang ditagihkan oleh jutrer kepada issuer adalah
sebesar Rp 980.000,-. Dengan demikian, pihak acquirer telah mendapat ke-
untungan sebesar Rp 980.000,- dikurangi Rp 950.000,- yaitu sebesar Rp
30.000,-.
6. Pada tanggal yang telah ditetapkan, pihak issuer akan menagih kepada card
holder sejumlah nilai transaksi yang sesungguhnya, yaitu sebesar Rp.1000.000,-
Maka, pihak tssuer mendapat keuntungan sebesar Rp 1.000.000,- dikurangi Rp
980.000,- yaitu Rp 20.000,

86
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Jika jenis kartu tersebut adalah charge card maka pihak card holder wajib
melunasi seluruh tagihan. Sedangkan jika jenis kartu adalah credit card, maka
pihet card holder wajib membayar sebagian dari seluruh tagihan Besarnya
jumlah yang wajib dibayar disebut minimum payment sesuai dengan jumlah
yang ditetapkan masing. masing issuer.
Sisa tagihan yang belum dilunasi akan dikenakan interest atau bunga
sebesar yang telah ditetapkan oleh masing-masing issuer.
Dari transaksi yang telah diuraikan di atas, masing. masing pihak
mendapat manfaat dari penggunaan kartu plastik tersebut:
1. Issuer: jumlah pesanan produk kartu plastik, uang pangkal, annual fee, dan
interchange serta interest atas tagihan;
2. Acquirer: mendapat discount commission dari merchant;
3. Merchant: pembelanjaan dengan menggunakan kartu plastik dapat
meningkatkan omzet penjualan secara keseluruhan dan mempermudah
akutansi/pembukuan serta lebih aman dalam penyimpanan dan pengelolaan-
nya;
4. Card Holder: mendapat keuntungan dari segi kemudahan, kenyamanan, dan
keamanan serta men- dapat keuntungan extra seperti mendapat asuransi
perjalanan, bisa mengambil uang tunai sebagai emergency cash di berbagai
outlet yang tersebar dan fasilitas jaringan lainnya. (Asosiasi Kredit Indonesia.
1991:4-5)
Selanjutnya Wahjono Hardjo dalam “Kartu Kre dalam Kaitannya dengan
Sistem Pembayaran "(1991)

87
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menganalisis hubungan hukum antara pihak dalam transaksi kartu kredit. yang
terkait Hubungan antara Pemegang Kartu Kredit.
4.1. Hubungan hukum antara pemegang kartu kredit dengan bank
penerbit
Hubungan hokum antara pemegang kartu kredit dengan bank adalah
berdasarkan perjanjian bahwa pe- megang kartu kredit dapat membeli barang
dan jasa dengan menggunakan kartu kredit asalkan tidak melebihi limit vang
diberikan oleh penerbit kartu. Dalam hal ini kort kredit samà fungsinya dengan
uang kartal, walaupun kartu kredit bukanlah surat berharga atau alat
pembayaran yang sah.
Sebenarnya berdasarkan ketentuan undang-undang pihak kreditor tidak
diwajibkan untuk menerima pem- bayaran dalam jenis lain dari yang sudah
ditentukan semula atau dalam bentuk alat pembayaran yang sah. Namun
demikian, menurut Wahjono Hardjo kesepakatan para pihak dapat
menyimpangi ketentuan tersebut. Dalam hal ini kesepakatan tersebut telah
diberikan oleh merchant/ outlet secara diam-diam, yaitu dengan dipasangnya
tanda (sign) pada etalase tokonya.
Meskipun bank sebagai penerbit kartu menjamin akan membayar kepada
merchant untuk pembelian barang dan dengan menggunakan kartu kredit, tetapi
perjanjian ini tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian pemberian jaminan
atau penanggungan utang (borgtoch), karena tidak memenuhi unsur-unsur Pasal
1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pendapat Wahyono Hardjo dapat dimaklumi, karena dalam Pasal 1820
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penjamin utang mempunyai kewajiban
untuk membayar

88
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

utang hanya dalam hal debitor wanprestasi.Selain itu dalam perjanjian


penanggungan utang. penanggung hanya 1 ngikatkan diri kepada kreditor bukan
kepada debitor. Dari pendapat Wahjono Hardjo tersebut maka dapat diambil
kesimpulan bahwa ketentuan subrogasi dalam Perjanjian Penanggungan Utang
tidak dapat diberlakukan bagi pem- Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie
bayaran dengan kartu kredit.
Jika pemegang kartu kehilangan kartu dan kartu tersebut disalahgunakan
oleh pihak ketiga, maka risiko ditanggung oleh pemegang kartu kecuali atas
hilangm kartu tersebut telah diberitahukan kepada penerbit, maka sejak saat
pemberitahuan tersebut risiko menjadi tanggung jawab penerbit.
Berdasarkan perjanjian antara penerbit dengan "outlets", bank sebagai
penerbit telah mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang yang tertera
pada tanda bukti (voucher) yang ditandatangani oleh kredit. Karena itu, menurut
Wahjono Hardjo ketentuan Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
yang menyebutkan bahwa tenggang waktu penawaran cek adalah 70 hari sejak
tanggal penerbitan dapat diterapkan secara analogis pada kartu kredit. Hal ini
untuk menjawab per- masalahan pemegang kartu mengenai pembatalan
pembayaran.
Selanjutnya pemegang kartu kredit berjanji dan mengikatkan diri untuk:
1.Akan membayar dengan segera kepada penerbit untuk pengeluaran dengan
menggunakan kartu kredit setelah menerima tagihan bulanan;
2. Pada terjadinya pencurian atau memberitahukan penerbit;
3. Mengembalikan kartu kredit atas permintaan dari kehilangan akan segera
penerbit. 06

89
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bank sebagai penerbit kartu kredit mempunyai kewajiban untuk menjaga


kerahasiaan demi kepentingan nasabahnya. Bank sebagai penerbit dapat
dikecualikan Undang-Undang Pokok Perbankan, bahwa bank hanya dari
kewajiban tersebut seperti yang disebutkan dalam dapat memberikan keterangan
tentang keuangan nasabah- a dalam hal ia menerima perintah tertulis dari
Menteri keuangan: pertama, untuk keperluan perpajakan dan kedua untuk
kepentingan dalam Peradilan Pidana. Mengenai rahasia bank, Yunus Husein
dalam bukunya Rahasia Bank:Privasi versus Kepentingan Umum, mengatakan
bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998,
mengakui adanya kepentingan umum yang dapat dijadikan alasan untuk
membuka atau menerobos ketentuan rahasia bank, yaitu:
1. kepentingan perpajakan;
2. penagihan piutang bank terutama piutang bank milik negara;
3. kepentingan peradilan perkara pidana;
4. dalam hal sengketa perdata antara bank dan nasabah di pengadilan;
5. informasi antara bank;
6. kepentingan ahli waris;
7.adanya persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah.
4.2. Hubungan Hukum antara Penerbit dan Outlets Penerbit mengikatkan
diri kepada "outlets"
Penerbit mengikat diri kepada “outlets” untuk membayar suatu jumlah
terutang kartu, oleh pemegang asalkan barang dan jasa telah diserahkan sesuai
dengan ketentuan dan syarat yang sudah disepakati berdasarkan master
agreement". Menurut Wahjono Hardjo transaksi 91

90
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

ini bukan penyerahan tagihan oleh "outlets" kepada penerbit. Karena tidak
memenuhi unsur-unsur ketentuan Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie Pasal
613 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa cessie
harus dilakukan dengan akta dan diberitahukan kepada pemegang kartu.
Demikian pula, transaksi antara penerbit dan outlets tersebut bukan
merupakan subrogasi. Meskipun setelah penerbit membayar kepada "outlets",
penerbit mengganti- kan kedudukan "outlets" akan tetapi transaksi ini tidak
memenuhi ketentuan Pasal 1401 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
subrogasi harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu
pembayaran. Dapat kami tambahkan bahwa kewajiban pemegang kartu kredit
kepada bank baru timbul pada saat jatuh tempo pem- bayaran kartu kredit.
Selanjutnya, menurut Wahjono Hardjo transaksi antara bank sebagai
penerbit dan "outlets" memenuhi ketentuan Pasal 1413 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengenai novasi, karena jelas adanya animus novandi yaitu
keinginan penerbit untuk menggantikan kedudukan "outlets". Dalam hal ini
terjadi novasi subjektif aktif, yaitu penggantian kreditor. Keberatan atas
pendapat ini adalah bahwa dalam kenyataan "outlets" dapat menagih kepada
pemegang kartu dalam hal bank sebagai penerbit tidak membayar kepada
"outlets". Kami dapat memahami pendapat Wahjono Hardjo, akan tetapi dalam
hal ini terjadi novasi subjektif aktif dan juga novasi objektif karena hubungan
hukum jual-beli antara outlets dengan pemegang kartu kredit dikonversi
menjadi hubungan hukum utang piutang antara penerbit kartu kredit dan
pemegang kartu kredit.
Selanjutnya Wahjono Hardjo menyebutkan alasan yang dapat
dipergunakan oleh penerbit untuk tidak

91
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

membayar kepada "outlets" adalah berdasarkan exonerattiebepalingen yaitu


klausul pembebasan tanggung jawab yang menyatakan bahwva penerbit akan
dibebaskan dari kewajiban untuk membayar suatu jumlah tercantum pada nota
debet yang dikirimkan oleh "outlets" seperti jika ternyata:
1.masa berlakunya kartu telah lewat;
2. jumlah yang ditagih melębihi limit;
3. tanda tangan pada nota berbeda dengan tanda tangan pada kartu;
4. kartu dipergunakan untuk tujuan selain disepakati.
4.3. Hubungan Hukum antara Pemegang Kartu dan Outlets
Hubungan hukum antara pemegang kartu dengan outlets" adalah
perjanjian jual-beli, hanya saja pembayaran diharapkan dari penerbit. Jika
penerbit insolvent terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya.
Dalam hal ini Wahjono Hardjo mengutip AP.Dobson dan Ellinger. AP. Dobson
dalam "Credit Cards" 1979,JBL 331l menga- takan bahwa pemegang kartu tetap
bertanggung jawab untuk membayar harga pembelian barangnya atas dasar
bahwa voucher atau nota debet merupakan conditional discharge. Sebaliknya
Ellinger dalam Modern Banking Law, halaman 392 mengatakan bahwa ketika
kartu diterbitkan untuk pembayaran maka dealer sepakat untuk menerimanya
sebagai pengganti pembayaran oleh pe- megang kartu. Para pihak juga sudah
sepakat bahwa docket yang ditandatangani oleh pemegang kartu adalah
melunasi pembayaran kepada dealer untuk seluruh jumlah yang tercantum.

92
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mengenai kapan pembayaran efektif berlaku juga menjadi sebuah


persoalan hukum. Apakah pembayara efektif berlaku pada waktu pembayaran
dilakukan oleh pemegang kartu kredit atau pada waktu rekening "outlet pada
bank dibukukan kredit atau pada waktu pemberitabus an pengkreditan tersebut
diberitahukan kepada outlets oleh penerbit kartu. Masalah ini berkaitan dengan
kejadian di mana barang yang dibeli oleh pemegang kartu ternyata mengandung
cacat tersembunyi dan berdasarkan Pasal 1506 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, pemegang rekening sebagai pembeli berhak mengembalikan barang
yang cacat dan menuntut pengembalian uang yang telah dibayarkan kepada
outlets.
5. NOVASI SUBJEKTIF PASIF
Dalam jual-beli tanah dan rumah yang dibiayai dengan fasilitas kredit,
tanah, dan rumah tersebut dibebani hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang debitor kepada Bahk. Dengan berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, khususnya Pasal 15. maka Surat Kuasa
Memasang Hak Tanggungan dibatasi masa berlakunya, yaitu bagi tanah yang
belum terdaftar berlaku tiga bulan. Artinya dalam jangka waktu tersebut sudah
harus dibuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Sedangkan untuk tanah yang
sudah terdaftar, satu bulan sejak dibuatnya Surat Kuasa Memasang Hak
Tanggungan, kreditor sudah harus memasang hak tanggungan yang dibuat
dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan.
Demikian pula isi Surat Kuasa Memasang Hak Tang- gungan tidak boleh
memuat klausul pemberian kuasa seperti kuasa menjual. Karena hak
tanggungan bersifat accesoir, maka terjadinya penggantian debitor mengakibat-
94

93
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kan hapusnya hak tanggungan. Dalam doktrin novasi per ikatan lama hapus dan
diganti dengan períkatan yang baru, yaitu antara kreditor dan debitor yang baru.
Setelah pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan. maka hak
tanggungan harus didaftarkan, sebagai svarat lahirnya hak tanggungan, seperti
disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tang- gungan. Asas publisitas ini memang diperlukan karena sebagai jaminan
hak kebendaan, maka hak tanggungan mengikuti bendanya ditangan siapa
bebani hak tanggungan atau dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah droi de
suite.
Memang, dalam Pasal 19 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 disebutkan
bahwa seorang pembeli benda dibebani hak tanggungan, dapat meminta kepada
pemegang hak tanggungan supaya benda yang dibelinya dibersihkan dari segala
beban hak tanggungan yang melebihi harga pembelian. Hak tersebut berlaku
dalam penjualan sukarela maupun eksekusi dan penjualan yang dilakukan
melalui kantor lelang. Akan tetapi dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan,
biasanya dicantumkan janji yang diminta oleh pem- yang Pemegang Hak
Tanggungan pertama kepada debitor beri hak tanggungan, bahwa benda yang
dibebani Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan yang
melebihi harga pembelian. Janji seperti ini memang diperbolehkan dalam Pasal
11 ayat 2 huruf f Undang- Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Jika Janji untuk tidak dibersihkan ini didaftarkan, maka janji tersebut mengikat
pihak ketiga dalam hal ini pembeli dari benda yang dibebani hak Akibat
hukumnya, tanggungan. pembeli benda yang dibebani hak tanggungan tidak
dapat menggunakan haknya supaya benda yang dibelinya, di- bersihkan dari
hak tanggungan yang melebihi harga pem- belian.

94
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa hak tanggungan bersifat droi de suite, dapat juga disimpulkan dari
Pasal 16 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
menyebutkan, jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karen
cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, maka Hak tanggungan
beralih demi hukum kepada kreditor bar Pasal ini juga merupakan penerapan
doktrin bahwa jaminan bersifat accesoir terhadap perikatan pokoknya yaitu
utang Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie piutang.
Akan tetapi ketika terjadi novasi, perikatan pokok yang lama hapus dan
diganti dengan perikatan yang baru, sehingga dalam ini hak tanggungan yang
menjamin pelunasan piutang yang lama menjadi hapus, kecuali para pihak
memperjanjikan bahwa hak tanggungan yang men- jamin piutang lama tetap
hidup untuk menjamin piutang yang baru. Demikian bunyi ketentuan Pasal
1421 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi, dalam novasi per- alihan hak
tanggungan ke piutang yang baru harus di- perjanjikan dan tidak lahir demi
hukum.
Penggantian debitor dengan cara novasi dapat di- lakukan dalam rangka
jual-beli rumah yang masih terikat perjanjian kredit yang dibebani hak
tanggungan.
1. Debitor pertama dan debitor kedua dan pihak Bank sebagai kreditor membuat
perjanjian novasi;
2. Novasi dinyatakan secara tegas dan tertulis; tidak boleh hanya
dipersangkakan;
3. Perjanjian membuat klausul-klausul mengenai:
a. pernyataan kreditor yang secara tegas kan debitor janjian yang
lama;
b. pengalihan utang hak dan kewajiban debitor per tama kepada
debitor kedua; membebas- pertama dari kewajibannya dalam per-
tama kepada debitor kedua

95
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

c. debitor kedua harus membayar sejumlah uang yang telah


dikeluarkan debitor pertama, berupa uang angsuran kredit dan
biaya-biaya dihitung sejak di- tandatanganinya perjanjian kredit
sampai dengan dibuatnya akta novasi;
d. debitor pertama memberi kuasa kepada debitor kedua untuk bertindak
untuk dan atas nama de- bitor kedua selaku penjual, guna melaksanakan
penjualan rumah dan atau tanahnya tersebut kepada debitor kedua.
4. Setelah terbit akta novasi, selanjutnya dilakukan Akta Jual-beli dihadapan
pejabat Pembuat Akta Tanah dan proses balik nama tanah dan rumah, yang dari
debitor pertama kepada debitor kedua dengan dihadiri pihak bank sebagai saksi;
5. Bank sebagai kreditor mengadakan kesepakatan untuk membuat perjanjian
kredit baru dengan debitor kedua yang memuat berapa besarnya utang, bunga,
jangka waktu, dan persyaratan lainnya;
6. Dengan lahirnya perjanjian kredit baru maka hak tanggungan yang menjamin
perjanjian kredit lama menjadi hapus, karena hak tanggungan bersifat accesoir.
Untuk menjamin pelunasan perjanjian kredit maka dibuat Akta Pembebanan
Hak Tanggungan di mana debitor kedua bertindak sebagai pemberi hak
tanggungan dan bank bertindak sebagai penerima hak tanggungan. Selanjutnya
hak tanggungan baru lahir dengan dilakukannya pendaftaran hak tanggungan di
kantor pertanahan.
Novasi subjektif pasif dalam jual-beli tanah dan rumah yang dibiayai
dengan Kredit Kepemilikan Rumah, sehari- hari dikenal dengan istilah oper
kredit atau istilah dari bank adalah alih debitor. Hal ini dapat terjadi karena
debitor membutubkan uang sehingga menjual rumah kepada pihak

96
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

ketiga padahal kredit atas rumah tersebut belum lunas; debitor tidak mampu
meneruskan angsuran kredit karena terkena pemutusan hubungan kerja atau
usahanya n kegagalan; debitor mendapat tugas di luar wilayah rumah- nya dan
tidak mungkin kembalí dalam waktu yang singkat, debitor ingin mengganti
tempat tinggal dengan rumah dan lokasi yang lebih baik, karena penghasilannya
sudah Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie menemui meningkat.
Menurut Ambat Stientje, persyaratan oper kredit atau alih debitor hampir
sama dengan syarat-syarat permohonan Kredit Pemilikan Rumah, perbedaannya
debitor lama mengajukan permohonan penerusan utang atau alih de- bitor.
Setelah syarat-syarat terpenuhi, bank mengadakan wawancara dengan calon
debitor baru dan bagi yang layak, bank akan mengeluarkan Surat Persetujuan
Alih Debitor. Berdasarkan Surat Persetujuan ini notaris akan mem- proses oper
kredit atau alih debitor seperti halnya akad kredit sebelumnya dengan tambahan
satu kata, yaitu Akta Delegasi (Ambat Stientje, 2005: 101-102).
Akta Delegasi ini ditandatangani oleh debitor lama sebagai pihak pertama
dan debitor baru sebagai Pa kedua. Dalam akta ini diuraikan hal-hal sebagai
berikut:
Bahwa debitor lama telah menandatangani Perjanjian Kredit (KPR) dengan
BTN pada tanggal…… yang harus dilunasi dalam jangka waktu beberapa
bulan, setiap bulan dibayar berupa ….. Rupiah dengan jaminan berupa…..
Bahwa berhubung karena sesuatu hal, Pihak Pertama tidak dapat lagi
melanjutkan angsuran sesuai dengan per janjian sebelumnya, maka delbitor
lama mohonan kepada hank, seorang debitor baru untuk meng gantikan debitor
lama.98

97
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa pihak bank setuju dengan mengeluarkan Surat Persetujuan Alih


Debitor dan tercantum berapa bulan lagi angsuran yang harus dibayar oleh
debitor baru dengan bidang tanah dan bangunan yang dimaksud.
Pengalihan debitor ini akan dibuat dan ditandatangani dalam Akta
Perjanjian Kredit Baru, Pengakuan Utang, Akta Surat Kuasa membebankan Hak
Tanggungan/Akta Jual-Beli antara debitor lama dengan debitor baru (Ambat
Stientje, 2005: 102-103).
Akan tetapi dalam praktik cukup banyak rumah sederhana maupun rumah
sangat sederhana yang dijual melalui perjanjian secara di bawah tangan dan
bahkan adakalanya hanya dibuat kuitansi pembayaran tanpa penge- tahuan bank
dan memikirkan akibat hukumnya, setelah angsuran dibayar lunas oleh debitor
baru. Hal ini dise- babkan antara lain karena debitor baru merasa enggan untuk
berkali-kali datang ke bank untuk melakukan wawan- cara dan kemudian
mungkin ditolak dengan alasan umur, penghasilan tidak cukup padahal mereka
merasa mampu melunasi sisa angsuran. Hal ini mengakibatkan debitor baru
akan kesulitan untuk mengambil sertifikat di bank, kemungkinan lain adalah
persil tersebut dijual berkali- kali di bawah tangan dan pembeli yang terakhir
harus menghubungi debitor asli dan harus membayar lagi kepada debitor asli
supaya dapat mengambil sertifikat di bank. Bahwa pihak bank berkeberatan
menyerahkan sertifikat tanpa persetujuan debitor asli, hal ini dapat dimaklumi
karena bank tidak ingin dituntut oleh pihak yang melakukan pengikatan kredit
dengan bank.
Untuk mengatasi hal ini dapat dibuat lebih dahulu Perjanjian Pengikatan
Jual-Beli antara debitor lama sebagai pihak pertama dan debitor baru sebagai
pihak kedua. pembayaran, Dalam perjanjian disebutkan bahwa semua
pembayaran 99

98
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tunggakan dan tanggungan Pihak Pertama dengan bidang tanah dan bangunan
tersebut akan dibayar atau ditanggung oleh Pihak Kedua. Diperjanjikan juga
bahwa Pihak Pertama menyerahkan tanah dan bangunan tersebut dalam keadaan
kosong pada saat penandatanganan surat ini dan Pihak Pertama mengikatkan
diri untuk tidak melunasi utang atau mengambil sendiri sertifikat dari bank.
Selanjutnya dibuat Akta Kuasa Menjual dan Kuasa Mengambil Sertifikat yang
dibuat dalam akta autentik, di mana disebutkan bahwa akta-akta ini hanya
berlaku apabila kredit pemberi kuasa yang ada pada bank sudah lunas dan kuasa
ini tidak diberikan dengan hak substitusi, karena tanah dan bangunan tersebut
masih dibebani jamin- an bagi bank (Ambat Stientje, 2005: 110-116).
Dalam melakukan novasi subjektif pasif bank harus berhati-hati, jangan
sampai debitor lama menghindarkan diri dari kewajibannya dengan
mengalihkan kewajibannya kepada pihak ketiga yang tidak mampu membayar,
meski- pun utang tersebut memang sudah dijamin dengan hak tanggungan.
Memang ada cara lain bagi bank untuk mem- peroleh pembayaran utang yaitu
melalui cessie, dalam hal ini bank mengalihkan tagihannya kepada bank lain
sebagai kreditor baru. Akan tetapi kreditor baru akan membeli tagihan atau
piutang bank tersebut dengan harga di bawah harga nominal. Mengenai cessie
akan dibicarakan dalam Bab ke III buku ini.

99
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

3
Cessie: Doktrin Pengalihan Piutang Atas Nama
1.PERBEDAAN CESSIE, SUBROGASI, NOVASI
Cessie adalah suatu cara pengalihan piutang atas nama yang diatur dalam
Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengalihan ini terjadi atas
dasar suatu peristiwa perdata, seperti perjanjian jual-beli antara kreditor lama
dengan calon kreditor baru.
Dalam cessie utang piutang yang lama tidak hapus, hanya beralih kepada pihak
ketiga sebagai kreditor baru. Sedangkan dalam subrogasi, utang piutang yang
lama hapus biarpun hanya satu detik, untuk kemudian dihidupkan lagi bagi
kepentingan kreditor baru. Dalam hal novasi, utang piutang yang lama hapus
untuk diganti dengan utang piutang yang baru. Perbedaan selanjutnya. Novasi
hakikat- nya merupakan hasil perundingan segitiga, sedangkan dalam subrogasi,
di mana pihak ketiga membayar kepada kreditor, debitor adalah pihak yang
pasif, bahkan dalam cessie debitor selamanya pasif, dia hanya diberitahukan
tentang adanya penggantian kreditor, sehingga dia harus membayar kepada
kreditor baru (R.Subekti, 1998:72-73).

100
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Sedangkan HFA Vollmar membedakan antara cessie dan subrogasi


sebagai berikut:
a.Cessie selalu terjadi karena perjanjian, sedangkan subrogasi dapat terjadi
karena undang-undang maupun karena perjanjian;
b. Bagi cessie selalu diperlukan suatu akta sedangkan dalam subrogasi hal ini
tidak mutlak, kecuali bagi suh. rogasi yang lahir dari perjanjian di mana debitor
me nerima uang dari pihak ketiga untuk membayar utang. nya kepada kreditor;
c. Dalam cessie peranan kreditor mutlak diperlukan. sedangkan dalam subrogasi
yang terjadi karena undang- undang, hal ini tidak diperlukan;
d. Subrogasi terjadi sebagai akibat pembayaran sedangkan cessie dapat
didasarkan atas berbagai peristiwa perdata, misalnya jual-beli maupun utang-
piutang;
e. Cessie hanya berlaku kepada debitor setelah adanya pemberitahuan
sedangkan dalam subrogasi meskipun pemberitahuan diperlukan tetapi bukan
merupakan syarat bagi berlakunya subrogasi (H.F.A. Vollmar, 1984: 228-229).
2.PENGATURAN CESSIE
Cessie diatur dalam Buku II, Pasal 613 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa penyerahan piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat akta autentik atau
akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak keben- daan tersebut dilimpahkan
kepada orang lain. Selanjut- nya pada Pasal 613 ayat 2 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan bahwa supaya penyerahan piutang

101
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dari kreditor lama kepada kreditor baru mempunyai akibat bukum kepada
debitor, maka penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada debitor, atau
debitor secara tertulis telah menyetujuinya atau mengakuinya. Piutang atas
nama adalah piutang yang pembayarannya dilakukan kepada pihak yang
namanya tertulis dalam surat piutang tersebut dalam hal ini kreditor lama. Akan
tetapi dengan adanya pemberitahuan tentang pengalihan piutang atas nama ke-
nada debitor, maka debitor terikat untuk membayar kepada kreditor baru dan
bukan kepada kreditor lama.
Penyerahan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, adalah suatu yurisdische levering atau
perbuatan hukum -8uəd alihan hak milik. Hal ini diperlukan karena dalam
sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual- beli, termasuk
jual-beli piutang hanya bersifat konsensual obligatoir. Artinya baru meletakkan
hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli, namun belum mengalihkan
kepemilikan. Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah
penjual dan pembeli mencapai sepakat tentang barang dan harga, mes- kipun
kebendaan itu belum diserahkan dan harga belum dibayar. Selanjutnya, Pasal
1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa hak milik
atas benda yang dijual tidaklah beralih kepada pembeli selama pe- nyerahannya
belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Mengapa kreditor menjual piutangnya? Hal ini di- sebabkan karena dia
membutuhkan uang, tetapi piutangnya belum jatuh tempo sehingga kreditor
tidak dapat menagih- nya sekarang kepada debitor. Jalan keluarnya adalah
piutang tersebut dijual kepada pihak lain dengan harga di bawah

102
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

nominal dan selanjutnya pembeli piutang kelak pada saat jatuh tempo akan
menagih pembayaran kepada debitor sesuai dengan nilai nominalnya. Perjanjian
jual-beli piutang Dokerin Subrogasi, Novasi, & Cessie piutang atas nama
tersebut harus dilakukan dengan cara yang menyerahkan piutang disebut cedent,
selanjutnya belum mengalihkan hak atas plutang tersebut. Pengalihan cessie.
Para pihak yang terlibat dalam cessic adalah kreditor kreditor baru yang
menerima pengalihan piutang, yaitu cessionaris dan debitor sendiri yaitu cessus.
Sebagai perbandingan Pengalihan Piutang dalam Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek diatur Dalam Buku Afdeling 2 Overdracht van goederen en
afstand van beperkte rechten Pasal 93 dan 94 (P.P.C.Haanappel dan Eian
Mackaay, 1990:48-55) dan Buku 6 Titel 2 Afdeling Gevolgen van overgang van
vorderingen (P.P.C. Hanaappel dan Ejan Mackaay, 1990:288-292).
Pasal 93 (3.4.2.6) menyebutkan bahwa pengalihan piutang atas bawa
(bearer) dilakukan dengan penyerahan dokumen piutang tersebut dan
penyerahan piutang atas tunjuk (order) dilakukan dengan penyerahan dokumen
piutang tersebut disertai endosement. Sedangkan untuk piutang atas nama,
menurut Pasal 94 (3.4.2.7) penyerahan dilakukan dengan akta penyerahan
piutang dan pemberi- tahuan kepada debitor yang harus membayar tagihan itu.
Pemberitahuan dilakukan oleh pihak yang mengalihkan piutang atau pihak yang
menerima piutang. Dalam hal pihak debitor yang harus membayar tagihan
tersebut tidak diketahui pada waktu akta pengalihan piutang dibuat, maka
penyerahan piutang tersebut berlaku retroactive pada hari itu dengan syarat hak
tersebut berada pada pihak yang mengalihkan. Pemberitahuan segera dilakukan
segera setelah pihak debitor yang harus membayar tagihan itu diketahui ada di
mana: Bagi pihak debitor terhadap siapa

103
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

piutang itu akan dieksekusi dapat meminta salinan atau kutipan akta pengalihan
piutang atau atas hak dari alihan itu yang disahkan oleh pihak yang
mengalihkan piutang. Jika tidak ada akta yang menerangkan alas hak
pengalihan tersebut, maka isi alas hak tersebut harus di- komunikasikan
kepadanya secara tertulis sepanjang hal peng- itu diperlukan.
Pasal 142 (6.2.1.1) menyebutkan bahwa kreditor baru kepada siapa
tagihan dialihkan memperoleh hak- hak yang bersifat accesoir seperti hak gadai,
hipotek, penanggungan, privilege, dan hak-hak untuk melakukan eksekusi, Hak
hak vang bersifat accesoir itu meliputi bunga, denda, dan penyitaan, kecuali
hak-hak tersebut sudah hapus pada saat pengalihan piutang.
Selanjutnya, dalam Pasal 143 (6.2.1.2) disebutkan bahwa ketika tagihan
sudah diserahkan, maka kreditor lama harus memberikan kepada kreditor baru
dokumen- dokumen sebagai alat bukti piutang dan hak-hak accesoir tersebut.
Jika dokumen-dokumen tersebut masih dibutuh- kan oleh kreditor lama maka
kreditor baru hanya berhak membuat copy atas dokumen yang diperlukan atas
per- mintaan dan biaya kreditor baru.
Kreditor lama juga harus memberikan dokumen titel eksekutorial atau
jika hal tersebut masih diperlukan oleh kreditor lama, maka kreditor lama harus
memberi ke- sempatan untuk digunakan bagi keperluan eskekusi bagi kreditor
baru.
Dalam hal kreditor mengalihkan seluruh tagihannya, maka, kreditor lama
harus menyerahkan barang gadai yang berada dalam kekuasannya kepada
kreditor baru.
Jika tagihan yang dialihkan tersebut dijamin dengan hipotek maka,
kreditor lama atas permintaan kreditor baru

104
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

harus memberikan bantuan agar hipotek dapat didaftarken atas nama kreditor
baru.
Selanjutnya Pasal 144 (6.2.1.3.) menyebutkan bahve jika sebagai akibat
pengalihan piutang tersebut, kewajiban kreditor atau kewajiban yang lahir hak
accesoir beralik ke kreditor baru, maka kreditor lama harus menjamin
pemenuhan kewajiban tersebut.
Paragraf satu tersebut di atas hanya berlaku untuk pengalihan piutang atas
nama dan tidak berlaku untuk pengalihan piutang atas bawa dan piutang atas
tunjuk (an order).
Kemudian, Pasal 145 (6.2.1.4) menyebutkan bahwa pengalihan tagihan
dari kreditor lama kepada penerima piutang (acquirer) tidak mengakibatkan
hilangnya hak debitor untuk membela diri. Akan tetapi dalam Pasal 146
(6.2.1.4a) disebutkan bahwa setelah pengalihan piutang atas bawa dan atas
tunjuk (an order), debitor tidak dapat menggunakan alasan pembelaan diri
kepada penerima piutang atau ahli warisnya dalam hal alasan pembelaan diri itu
didasarkan pada hubungan antara kreditor lama dan debitor. Pengecualiannya
adalah jika pada saat peng- alihan piutang dilakukan, penerima piutang dapat
menge- tahui dari dokumen adanya alasan pembelaan diri tersebut.
Ketidakcakapan dapat dijadikan alasan pembelaan diri untuk menghadapi
penerima piutang yang tidak me nyadari adanya ketidakcakapan, jika hal
tersebut dapat diketahui oleh penerima piutang pada saat terjadinya peng alihan
hak dari daftar umum atau dari ketentuan hukum yang memungkinkan
diketahuinya fakta ketidakcakapan. Namun demikian, menurut Pasal 147
(6.2.1.5.) dalam hal pengalihan piutang atas bawa dan atas tunjuk, debio tidak
dapat menggunakan alasan bahwa tanda tangannya

105
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

palsu atau dokumen tersebut telah dipalsukan, terhadap penerima piutang yang
beritikad baik atau ahli warisnya.
Selanjutnya Pasal 148 (6.2.1.6) menjelaskan bahwa Pasal 146 dan Pasal
147 berlaku secara mutatis mutandis ntuk menentukan hak-hak yang lumpuh
dalam piutang atas bawa dan piutang atas tunjuk.
Dalam Pasal 149 (6.2.1.6a) disebutkan bahwa, bagi debitor yang setelah
pengalihan piutang dengan titel khusus, mempunyai hak untuk membatalkan
atau mengenyamping- kan tindakan-tindakan hukum (yuridical act) yang lahir
dari piutang tersebut terhadap kreditor yang lama, harus memberitahukan
kepada kreditor baru tentang adanya hak-hak debitor tersebut segera mungkin,
kecuali pem- batalan atau pengenyampingan tindakan tersebut tidak dapat
diterapkan kepada kreditor baru.
Dalam hal dasar pembatalan atau pengenyampingan terhadap hak tersebut
diminta setelah hak untuk mem- batalkan atau mengenyampingkan itu
dilaksanakan sebagai pembelaan diri terhadap tindakan kreditor baru yang me-
laksanakan hak dan tindakan hukum yang lahir dari yuri- dical act, maka debitor
harus sesegara mungkin memberi tahu kreditor lama (original kreditor).
Paragraf tersebut di atas berlaku secara mutatis mutandis bagi debitor
untuk melaksanakan haknya mem- batalkan atau mengenyampingkan tindakan
hukum yang lahir dari piutang tersebut, setelah kepastian lumpuhnya hak-hak
dalam piutang tersebut.
3. DOKTRIN KEABSAHAN PENGALIHAN HAK
Dalam ilmu hukum dikenal dua doktrin pengalihan hak milik, yaitu teori
kausal dan teori abstrak. Menurut

106
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

teori kausal, keabsahan suatu penyerahan hak milik (levering) tergantung dari
sah atau obligatoir yang mendasarinya. Jika perjanjian obligatoirm sah maka
penyerahan hak miliknya juga sah, artinya jika perjanjian jual-beli piutangnya
sah, maka cessie juga sal dan sebaliknya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdat
menganut sistem kausal, hal ini dapat disimpulkan dar ketentuan Pasal 584
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan antara lain bahwa
hak milik diperoleh dengan cara penyerahan (misalnya dengan cara cessie).
berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindah kan hak milik atau
disebut rechts titel (misalnya perjanjian jual-beli piutang) dan dilakukan oleh
orang yang berwenang untuk mengalihkan hak milik. Sedangkan teori yang
kedua adalah teori abstrak, di mana sah atau tidaknya levering tidak tergantung
pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoirnya. Artinya, meskipun perjanjian
obligatoir yang mendasari levering tidak sah, tetapi levering atau peng- alihan
hak miliknya tetap sah. Konsekuensinya pemiliknya tidak tidaknya perjanjian
mempunyai hak revindicatie lagi karena hak milik memang sudah beralih.
4. CESSIE DAN KETENTUAN PASAL 1977 AYAT i KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM PERDATA
Ketentuan Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa barang siapa menguasai barang bergerak berwujud,
dianggap sebagal pemiliknya. Ketentuan ini merupakan pengecualian dan
ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa untuk sahnya penyerahan n milik maka penyerahan tersebut harus
didasarkan Pada

107
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

suatu peristiwa perdata atau rechtstitel yang sah dan di- lakukan oleh orang
yang berwenang. Dengan demikian, Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, melindungi pembeli yang beritikad baik. Meskipun pembeli
memperoleh barang bergerak bukan dari si pe- miliknya dia tetap dilindungi
dari gugatan si pemilik sejati. Rasio dari Pasal ini adalah untuk melancarkan
arus per- dagangan barang bergerak. Dapat dimaklumi, akan sangat lidak
effisien jika seandainya setiap kita belanja barang bergerak di toko, harus
meneliti kewenangan si penjual Jebih dulu dan bagaimana keabsahan hubungan
hukum antara pemasok atau distributor dengan penjual. Namun bagi barang
curian ketentuan Pasal 1977 ayat 1 tidak ber- laku, yang berlaku adalah
ketentuan Pasal 1977 ayat 2 jo. Pasal 582 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pe- milik sejati tetap berhak memperoleh kembali barangnya yang
hilang, namun jika si pembeli beritikad baik seperti membeli barang di pasar
dimana barang itu dijual, maka pemilik sejati harus memberi ganti rugi.
Mengenai berlakunya ketentuan Pasal 1977 ayat 1. Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sebagai pengecuali- an dari Pasal 584 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dikenal dua teori, yaitu eigendoms theory dan
legitimatie theory. Teori yang pertama menghilangkan dua syarat sahnya
pengalihan hak milik, yaitu didasarkan pada rechtstitel yang sah dan harus
dilakukan oleh orang yang berwenang, sedangkan teori yang kedua hanya
meng- hilangkan syarat bahwa penyerahan hak milik harus di- lakukan oleh
orang yang berwenang.
Kembali ke pertanyaan apakah Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dapat diberlakukan pada cessie? Menurut Pitlo dalam hal
cessie tidak ada alasan untuk menyimpang dari ketentuan umum dalam Pasal
601

108
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga untuk syarat sahnya


cessie maka perikatan yang men- dasarinya atau rechtstitel harus sah. Kritik
terhadap pendapat ini adalah dalam hal terjadi cessie berkali-kali, Doktrin
Subrogasi, Novasi, & Cessie maka seorang cessionaris yang terakhir, tergantung
pada semua rechtstitel dari cessie-cessie yang sebelumnye Apakah dengan
demikian sebelum seorang cessionarie sebelum menerima tagihan, dia harus
menelusuri Jeba dulu sampai pada cedent yang pertama. Sebab jika pada mata
rantai cessie ternyata cessie yang pertama tidak didasarkan pada rechtstitel yang
sah, maka seluruh mata rantai cessie tersebut menjadi tidak sah dan kepemilikan
tetap berada pada cedent yang pertama. Karena itu J.Satrio berpendapat bahwa
jika terjadi cessie berkali-kali lebih baik diterapkan teori abstrak (J.Satrio,
1991:26).
Pendapat J. Satrio ini perlu diperhatikan mengingat dalam mengatasi
kredit macet bisa saja terjadi cessie ber- berada dalam pe- nyehatan oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, kali-kali. Misalnya, bank-bank yang
melakukan cessie atas tagihannya kepada Badan Penyehat- an Perbankan
Nasional, kemudian Badan Penyehatan Per- bankan Nasional melakukan cessie
lagi kepada suatu bank dan bank tersebut melakukan cessie lagi kepada bank
lainnya. Apakah jika peristiwa perdata yang mendasari cessie yang pertama
ternyata tidak sah, maka cessie-cessie berikutnya juga akan gugur demi hukum?
Persoalan lainnya adalah dalam hal bank-bank penyehatan oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional melakukan cessie atas tagihan-tagihannya
kepada Bad Penyehatan Perbankan Nasional. Dapatkah Bad Penyehatan
Perbankan Nasional mengajukan permohon kepailitan terhadap debitor tagihan-
tagihan tersebut? Dalam hal ini piutang dari beberapa kreditor dialihkan

109
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

akta cessie kepada satu kreditor yaitu Badan Pe- nyehatan Perbankan Nasional,
padahal untuk memailitkan seorang debitor harus terdapat dua kreditor atau
lebih.
Namun demikian menurut pendapat kami penerapan toori kausal masih
diperlukan untuk mencegah lembaga cessie digunakan bagi transaksi-transaksi
yang melawan bukum atau bahkan mengandung unsur tindak pidana. Apalagi
dengan diterapkannya teori kausal, maka jika per- ikatan dasarnya melawan
hukum, maka cessienya juga tidak sah. Dengan dianutnya sistem kausal, maka
seharus- dalam akta cessie dijelaskan peristiwa ata yang nya mendasari akta
cessie tersebut.
Dalam kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional melawan PT
Comexindo Maritime, PTPrima Comexindo dan Hasyim S.Djojohadikusumo
Perkara PAILIT/1988/ PN.NIAGA/Jkt. Pst. Hakim Ellyana memberikan
dissenting opinion bahwa cessie dari PT Bank Umum Nasional ke- pada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional adalah sah dan mengakibatkan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional mempunyai wewenang sebagai kreditor dari
Comexindo Pratama. Akan tetapi dalam kasus antara Badan Penyehatan
Perbankan Nasional melawan PT Dharmala, Perkara No.
08/PAILIT/2001/PN.NIAGA/Jkt.Pst. Majelis Hakim di mana Hakim Elyana
duduk sebagai hakim anggota, memutuskan bahwa cessie kepada Badan
penyehatan Perbankan Nasional adalah tidak sah. Hal ini disebabkan pada kasus
yang pertama cessie didasarkan pada suatu peristiwa perdata, sedangkan pada
kasus jelas peristiwa perdata yang mendasari cessie (Aria Suyudi, Eryanto
Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, 2004:88- yang kedua tidak (9).
Selanjutnya sebagai syarat kedua bagi sahnya levering berdasarkan
ketentuan Pasal 854 Kitab Undang-Undang

110
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Hukum Perdata adalah, cessie sebagai suatu levering piutang atas nama harus
dilakukan oleh orang yang ber wenang yaitu pemilik. J. Satrio berpendapat
bahwa dalam pengalihan piutang atas nama, ketentuan ini tidak dapat
disimpangi oleh Pasal 1977 ayat I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Karena dalam jual-beli dan pengalihan piutang atas nama pembeli harus
mengetahui siapa pe- Dokrrin Subrogasi, Novasi, & Cessie miliknya. Hal ini
berbeda dengan piutang an toonder dan an order karena akta dimana tagihan itu
dinyatakan selain sebagai tanda bukti juga 'mempunyai daya kerja legitimatie
Untuk membuktikan kepemilikannya, pemegang surat piutang an toonder dan
aan order cukup menunjukkan surat tagihannya, sedangkan dalam piutang atas
nama barang siapa ingin mengambil alih piutang atas nama harus menyelidiki
apakah pihak yang menjual piutang memang berwenang mengalihkan
kepemilikan atas piutang tersebut (J.Satrio, 1991:27). Selanjutnya, menurut
J.Satrio berdasarkan ketentuan Pasal 42 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
maka cessie saham atas nama baru sah setelah dilakukan pemberitahuan kepada
perseroan atau adanya pengakuan dari perseroan (J.Satrio, 1991:45). Akan
tetapi, Profesor R. Soekardono menyatakan bahwa ketentuan Pasal 42 Kitab
Undang-Undang Dagang tidak mutlak dan Pasal 42 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang justru memberikan kebebasan untuk mengatur tata cara
peralihan saham di dalam akta perseroan, asalkan cara itu tidak bertentangan
dengan makna Pasal 37 Undang-Undang Hukum Dagang (R.Soekardono, 1
Kitab ayat 1964:162).
Karena itu dengan berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas, maka dalam hal cessie saham atas nama perlu diperhatikan
ketentuan 48 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

111
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Terbatas yang menyebutkan bahwa dalam Anggaran Dasar Perseroan dapat


ditentukan tata cara pengalihan hak atas saham. Selanjutnya Pasal 49
menyebutkan bahwa:
1.Pemindahan hak atas saham atas nama dilakukan dengan akta pemindahan
hak;
2.Akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam avat 1 atau salinannya
disampaikan secara tertulis kepada perseroan;
3. Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham atas nama, tanggal dan
hari pemindahan hak tersebut dalam Daftar Pemegang Saham atau Daftar
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat 1 dan ayat 2.
Kemudian dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam Anggaran Dasar
dapat diatur ketentuan pembatasan pe- mindahan hak atas saham yaitu:
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada ke- lompok pemegang saham
tertentu atau pemegang saham lainnya; dan atau;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan.
Dalam Anggaran Dasar suatu perseroan biasanya disyaratkan bahwa
peralihan hak atas saham harus mem- peroleh persetujuan lebih dahulu dari
Rapat Umum Pe- inegang Saham dan saham tersebut ditawarkan lebih dahulu
kepada pemegang saham lainnya.
Permasalahan hukum dapat terjadi jika pemegang sanam atas nama
menjual dan mengalihkan sahamnya pada orang lain di luar perseroan, tanpa
persetujuan lebih dahulu dari Rapat Umum Pemegang Saham. Setelah itu
penjual menjual kembali sahamnya kepada pemegang saham yang
lain,bukankah dalam hal ini pembeli saham

112
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kedua harus dilindungi karena sebagai pemegang saham perseroan tersebut dia
mempunyai hak untuk membelj lebih dahulu. Sesuai dengan ketentuan Pasal
1495 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penjual saham me punyai
kewajiban kepada pembeli saham yang pertama untuk menjamin dari tuntutan
pembeli saham yang kedua dan pembeli saham yang pertama berhak meminta
pengem- balian harga karena dia harus menyerahkan saham tersebut kepada
pihak yang berhak untuk membeli lebih dabul kacuali dia telah menyatakan
akan memikul sendiri ke rugian.
Suatu pengalihan saham yang persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham tidak mengikat perseroan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 613
avat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa cessie belum mengikat
debitor selama belum ada pemberitahuan kepada debitor, meskipun saham
tersebut telah beralih dari penjual kepada pembeli. Sedangkan dalam gadai
saham atas nama, karena adanya syarat inbezitstelling, maka gadai saham baru
sah setelah ada pemberitahuan kepada per- belum memperoleh seroan.
Karena itu dalam Anggaran Dasar suatu perseroan, biasanya dicantumkan
bahwa selama pengalihan hak atas saham belum memperoleh persetujuan Rapat
Umum Pemegang Saham, maka hak pemegang saham atas deviden
ditangguhkan dan hak suara yang diberikan oleh saham dalam Rapat Umum
Pemegang Saham dianggap pemegang tidak sah.
5. KASUS CESSIE BANK BALI
Demikian pula kasus cessie Bank Bali dapat dengan menggunakan teori
kausal. Pada tanggal 11 Januari

113
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

1999, Bank Bali melakukan cessie atas piutangnya kepada PT Era Giat Prima
berdasarkan Perjanjian Pengalihan/ Cessie Tagihan No. 002/P-EGP/I-99.
Kemudian pada bulan Mei 1999, Bank Bali Tbk mengikuti program
rekapitalisasi dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Badan Pe- nyehatan
Perbankan Nasional. Selanjutnya pada tanggal 9 Juni 1999 antara Bank Bali
dengan PT Era Giat prima diadakan perjanjian:
1. Perjanjian Penyelesaian No.007/BB/CL/VII/1999.
2. Perjanjian Penyelesaian No.008/BB/CL/VI/1999.
Setelah itu, terjadi pemindahbukuan Dana Bank Bali kepada rekening
PTEra Giat Prima dengan jumlah Rp. 404.642.428.369,- dan
Rp.141.826.116.369,- sehingga pada 20 Agustus 1999 print out Rekening Koran
Bank Bali Escrow qg PT Era Giat Prima No. 999045197 saldo akhir Rp.
546.466.116.369,-
Pada tanggal 15 Oktober 1999 Badan Penyehatan Per- bankan Nasional
menerbitkan Surat Keputusan No.423/ BPPN/1099 dengan dasar pertimbangan,
yang pokoknya sebagai berikut:
a. Ketika Bank Bali mengikuti program rekapitalisasi, dana rekapitalisasi yang
diperlukan adalah sebesar satu triliun empat ratus milyar rupiah, kemudian
dilakukan pembayaran oleh Bank Bali berdasarkan cessie tanggal 11 Januari
1999 dan Perjanjian Penyelesaian No. 007/1999 dan 008/1999 sehingga terjadi
penyusutan kurang lebih Rp. 534 Milyar rupiah. Karena itu, dana rekapitalisasi
bertambah menjadi *p. 4,3 triliun atau naik 300%. Hal ini mengakibatkan
kerugian bagi Bank Bali dan juga merugikan Pe- merintah dan rakyat, karena
dana rekapitalisasi diambil dari aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

114
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

b. Selanjutnya, untuk menghindari kerugian ini, maka Badan Penyehatan


Perbankan Nasional menerbitkan Surat Keputusan No.423/BPPN/1999 tersebut
di atas berdasarkan wewenangnya dalan Pasal 37A Undang-Undang No.10
Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1999. Surat keputusan
No.423/BPPN/1999 tanggal 15 Oktober 1995 terseh berisi pada pokoknya:
1. Menyatakan perjanjian cessie dan perjanjian penyelesaian No.007 dan
No.008 antara Bank Bali dengan PT I sangat merugikan PT Bank Bali Tbk
sebagai suat Bank Dalam Penyehatan.
2. Membatalkan Perjanjian Cessie dan Perjanjian Penyelesaian No.007 dan
No.008 antara Bank Bali dengan PT Era Giat Prima.
3. Memerintahkan kepada Bank Bali Tbk untuk melakukan tindakan/upaya
dengan tujuan seluruh dana PT Bank Bali yang berasal dari Pencairan
Penjaminan Pemerintah dikuasai dan dimiliki se- penuhnya oleh PT Bank Bali
Tbk dalam Penye- hatan. Giat Prima, sebagai perjanjian yang
4. Memerintahkan kepada PTBank Bali untuk me- mindahkan seluruh jumlah
yang telah diterima sebagai pembayaran dalam rangka "“Penjaminan
Pemerintah" sebesar Rp.904.642.426.369.00 dalam rekening PT Bank Bali di
Bank Indonesia No.523.013.000 untuk dimiliki oleh Bank Bali sehingga dana
tersebut digunakan sebagai dana rekapitalisasi PT. Bank Bali Tbk.
PT Era Giat Prima berkeberatan dan menolak Surat Keputusan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, tanggu 15 Oktober 1999 No.423/BPPN/1999,
karena Su Keputusan tersebut dinilai sangat merugikan PT Era Giat

115
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Prima dengan alasan bahwa sebagian dana dalam Rekening Koran Escrow Bank
Bali No.0999.045197 sebesar Rp 546.466.116.369,- adalah milík PTEra Giat
Prima.
Karena itu PT Era Giat Prima melalui penasehat hu- kumnya mengajukan
gugatan terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai tergugat di
forum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan dasar hukum Pasal avat 2
a-b-c dari Undang-Undang No.5 Tahun 1986, dengan dalil-dalil gugatan
sebagai berikut:
1. Bahwa Surat Keputusan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
No.423/BPPN/1999 tanggal 15 Oktober 1999 materinya, disamping merugikan
PT Era Giat Prima juga mengandung cacat hukum berupa:
a. Bertentangan dengan peraturan Undang-Undang dan melampaui
kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional Pasal 19 ayat 1
Peraturan Pemerintah No.17 Tähun 1999.
b. Perjanjian cessie dan perjanjian Penyelesaian No.007 dan 008
telah selesai dilaksanakan dan PTEra Giat prima telah menerima
pembayaran dari Bank Bali, sehingga perjanjian menjadi ber- akhir
sesuai dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa pem- bayaran mengakibatkan hapusnya perikatan.
2. Karena itu Surat Keputusam No.423/BPPN/1999 yang merugikan PT Era
Giat Prima, tidak sesuai dengan wewenang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional se- Dagaimana diberikan dalam Pasal 53 ayat 2 b Undang- undang
No.5 Tahun 1986.
3. Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah meng- abaikan Asas-asas
Pemerintahan Yang Baik dalam menerbitkan Surat Keputusan
No.423/BPPN/1999.
4. Karena Surat Keputusan No.423/BPPN/1999 tersebut

116
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

bersifat konkret-individual-final yang menimbulkan akibat hukum bagi PT Era


Giat Prima yaitu kerugian bagi PT Era Giat Prima, sebagaimana dimaksud Pasal
1 ayat 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, maka gugatan ini diajukan dengan
petitum antara lain
1. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan No. 423/BPPN/1999
tentang Pembatalan Perjanjian Pengalihan/cessie antara PT Bank Bali dengan
PT Era Giat Prima tanggal 15 Oktober 1999.
2. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Ke putusan No. 423/BPPN/1999
tentang Pembatalan Perjanjian Pengalihan (Cessie Tagihan) antara Bar Bali
dengan PT Era Giat Prima.
Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 447.K/TUN/ 2000, tanggal 4
Maret 2002, menilai bahwa putusan juder facti Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah salah dalam menerapkan
hukum dalam perkara ini.
Masalah pembatalan perjanjian pengalihan tagihan atau cessie tanggal 11
Januari 1999 No. 002/P.EGP/1- 1999 adalah merupakan masalah di bidang
Hukum Perdata, sehingga apabila didalilkan oleh Penggugat, bahwa Badan
Penyehatan Perbankan Nasional telah keliru membatalkan Perjanjian
pengalihan (Cessie) Tagihan tersebut, maka masalah yang disengketakan oleh
penggugat tersebut ter- lebih dahulu diajukan ke Pengadilan Perdata. Hakim
Per- data yang berwenang menilai apakah perjanjian Peng- alihan
(Cessie)Tagihan tersebut sah atau tidak sah menurut Hukum Perdata, sehingga
masalah ini menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri.
Mahkamah Agung yang memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi antara
PT Bank Bali dan Ban Indonesia melawan PT Era Giat Prima, Putusan No.
3020

117
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

K/Pdt/2001 memutuskan: membatalkan cessie dari Bank Bali kepada PTEra


Giat Prima dan menyatakan bahwa dana pada PT Bank Bali Tbk escrouw
account No.0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT Era Giat Novsebesar
Rp.546.466.116.369,- (lima ratus empat ouluh enam milyar empat ratus enam
puluh enam juta ratus enam belas ribu rupiah tiga ratus enam puluh ombilan
rupiah) adalah milik PT Bank Bali, dengan per timbangan antara lain sebagai
berikut:
a.Bahwa Perjanjian Pengalihan/Cessie tagihan Bank Bali terhadap PT Bank
Dagang Nasional Indonesia, Tbk (BDNI) dan PT Bank Umum Nasional (BUN)
ter- tanggal 11 Januari 1999 dan Perjanjian Penyelesaian
No.007/BB/CLVI/1999 dan Perjanjian Penyelesaian No.008/BB/CL/VI/1999
tertanggal 9 Juni 1999 dibuat oleh dan di antara Bank Bali dengan PTEra Giat
Prima;
b. Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bank Indonesia
No.1/14/KEP.DP.G/1999 tanggal 23 Juli 1999 PT Bank Bali Tbk diserahkan
kepada Badan Penyehatan Per- bankan Nasional (BPPN) untuk dilakukan
program penyehatan;
c. Bahwa dalam melaksanakan program penyehatan, sesuai dengan Pasal 37 A
ayat (3) huruf d Undang- Undang No.10 tahun 1988 jo. Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No.17 Tahun 1999, BPPN dengan Surat Keputusan Ketua BPPN
Tanggal 15 Oktober 1999 No.SK 423/BOPN/1999 telah membatalkan
perjanjian pengalihan/cessie tagihan antara PT Bank Bali sebagai Tergugat asal
dengan PT Era Giat Prima sebagai Peng- gugat asal dengan alasan perjanjian
tersebut sangat merugikan PT Bank Bali Tbk sebagai Bank dalam Pe- nyehatan;
d. Bahwa kewenangan BPPN tersebut di atas adalah sah

118
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menurut undang-undang (Pasal 37 A ayat (4) Undang-undang No.10 Tahun


1998)
e. Bahwa menurut penjelasan Pasal 37 A ayat (3) huruf d Undang-Undang No.
10 Tahun 1998, jika dalam peninjauan ulang. pembatalan, pengakhiran, dan
atau perubahan kontrak oleh badan khusus (yang menurut Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No.17 tahun 1999 bernama BPPN) menimbulkan kerugian bagi sut.
pihak, maka pihak tersebut (i.c.Penggugat Asal) han dapat menuntut
penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh dari kontrak
dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikannya secara jelas Undang No.10
Tabun 1998): dan nyata;
f. Bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.148/ G/TUN/1999/PTUN-
JKT Tanggal 2 Maret 2000 mendasari putusan judex facti dalam
mempertimbang- kan perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya adalah
sah dan mempunyai kekuatan hukum karena Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara tersebut yang telah membatalkan Surat Keputusan BPPN No.SK.
423/BPPN/1099 telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya
No.447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002 dan Mahkamah Agung menyatakan
gi- gatan Penggugat dalam perkara tersebut (Drs.Setyo Novanto) tidak dapat
diterima.
Dengan demikian tidak ada dilakukan oleh PT Bank Bali terhadap
penggugat asa dana yang terdapat pada PT Bank Bali, Tbk dalam escrouw
account bukan milik penggugat asal (PT Era Giat Prima) Mengenai Putusan
Mahkamah Agung dalam perkara perdata cessie Bank Bali kepada PTEra Giat
Prima dapat dibaca pada lampiran

119
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

5.1. Analisa Kasus


Dikaji dari sudut Hukum Perdata, Perjanjian Peng. alihan tagihan/cessie
dalam kasus ini adalah suatu per- janjian kebendaan atau zakelijk overenkomst
yaitu suatu yuridische levering dari kreditor lama yaitu Bank Bali kenada
kreditor baru yaitu PTEra Giat Prima. Untuk ahnya suatu perjanjian kebendaan
harus didasari suatu peristiwa perdata atau dikenal dengan istilah rechtstitel fang
sah. Karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut teori kausal,
artinya sah atau tidaknya cessie tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian
obligatoir vang mendasari cessie. Biasanya perjanjian obligatoir yang mendasari
suatu cessie adalah perjanjian jual-beli piutang atau utang-piutang dalam hal
cessie sebagai jaminan.
Justru hal yang tidak jelas dalam kasus cessie dari Bank Bali kepada PT
Era Giat Prima adalah apa perjanjian obligatoir yang mendasarinya. Jika
memang ada perjanjian jual-beli piutang dari Bank Bali kepada PT Era Giat
Prima, seharusnya sudah ada pembayaran dari PT Era Giat Prima kepada Bank
Bali, dalam bentuk uang ataupun surat ber- harga.
Ditinjau dari sudut hukum perjanjian sangat penting meneliti keabsahan
perjanjian obligatoir yang mendasari CESsie dari Bank Bali tersebut. Untuk
syarat sahnya per janjian tunduk pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, vaitu kesepakatan; kecakapan; hal tertentu dan sebab
yang halal artinya isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Apakah kesepakatan antara Bank Bali dengan PT Era Giat Prima dibuat
dengan bebas, tanpa paksaan? Suatu sepakatan yang diberikan secara tidak
bebas dapat men-

120
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

jadi dasar untuk meminta pembatalan perjanjian kepada hakim. Sedangkan


suatu perjanjian yang isinya ber- tentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan akibatnya batal demi hukum, artinya sejak semula
perjanjian tersebut tidak melahirkan perikatan. Selanjutnya Pasal 1335 Kitab
Undang-Undang Hukum Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie Perdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau sebab yang palsu
mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Karena itu sangat penting
unruk menge- tahui perjanjian apa yang mendasari cessie terselbut. Sehal jika
perjanjian obligatoirnya tidak sah maka berdasarkan Pasal 584 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, maka perjanjian cessie juga tidak sah.
Jika benar antara PT Bank Bali dan PT Era Giat Prima terjadi jual-beli
piutang atas nama dan kemudian dilakukan cessie, maka cessie tersebut belum
mengikat Debitor Bank Bali, yaitu Bank Dagang Nasional Indonesia dan Bank
Umum Nasional, selama cessie tersebut belum diberi- tahukan kepada mereka.
Bank Umum Nasional dan Bank Dagang Nasional Indonesia berstatus
Bank Beku Kegiatan Usaha sehingga ditutup oleh Bank Indonesia dan
diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Karena itu sesuai
dengan ketentuan Pasal 613 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka
cessie tersebut tidak berlaku bagi Menteri Keuangan, Bank Indonesia maupun
Badan Penyehatan Perbankan Nasional, selama kepada ketiga instansi per
merintah tersebut belum diberi tahu (Kartini Muljadi. 1999).
Selanjutnya dalam Perjanjian Penyelesaian No.007/ BB/CL/VI/99
tertanggal 9 Juni 1999 disebutkan bahwa setelah Bank Bali menerima
pembayaran dari Badan Pe- nyehatan Perbankan Nasional atas tagihan kepada
Bank

121
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dagang Nasional Indonesia sejumlah Rp.904 milyar 642 juta 428 ribu 369
rupiah, maka berdasarkan perhitungan Bank Bali masih tersisa sejumlah Rp 404
milyar 640 juta rupiah, dan disetujui bahwa jumlah tersebut adalah menjadi hak
sepenuhnya dari PTEra Giat Prima. Di sini juga terjadi keganjilan karena jika
Bank Bali menerima pembayaran dari debitornya atau dari Badan Penychatan
Perbankan Nasional maka tidak ada Kewajiban bagi Bank Bali untuk membayar
kepada PT Era Giat Prima. Menurut pendapat kami jika PT Era Giat Prima
kesulitan menagih upada Bank Dagang Nasional Indonesia, maka lebih baik
dilakukan retro cessie, dalam hal ini pembayaran surat berbarga dikembalikan
oleh Bank Bali Kepada PT Era Giat Prima.
6 APAKAH RETRO CESSIE DIPERBOLEHKAN?
Seperti sudah dijelaskan di muka supaya debitor terikat terhadap cessie,
maka cessie tersebut harus diberitahukan kepadanya, sehingga pembayaran
tidak lagi diserahkan kepada.kreditor lama tetapi kepada kreditor baru. Namun
demikian, mungkin saja debitor melakukan wanprestasi. Dalam hal demikian
dapatkah kreditor baru yaitu cessionaris meminta kembali uangnya kepada
kreditor lama?. Mengenai hal tidak terdapat pengaturan secara khusus dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berbeda dengan pengaturan wesel
dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang di mana pemegang wesel
mempunyai hak regres terhadap pemegang-pemegang wesel sebelumnya
(endosan) sampai kepada penerbit wessel.
Retro cessie memang diperlukan untuk menjamin kepentingan
cessionaris. Namun hal ini harus diperjanjikan

122
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

oleh cedent dan cessionaris dalam akta cessie atau diperjanjikan dalam
perjanjian jual-beli piutang yang men. dasari cessie, karena bukan hak yang
diberikan olei undang-undang. Memang Pasal 1492 Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata, mewajibkan penjual untuk men jamin pembeli dari gugatan
pihak ketiga namun pasal ini tidak menjamin pembeli piutang/cessionaris atas
wan prestasi oleh debitor.
Sedangkan Pasal 1534 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan, penjual piutang harus menjamin bahwa hak itu benar ada
sewaktu dilakukan penyerahan piutang meskipun tidak diperjanjikan secara
khusus. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa jual-beli piutang yang masih
akan ada memang diperbolehkan, asalkan saja pada saat penyerahan piutang,
piutang tersebut benar ada.
Dengan demikian tidak tepat pengaturan dalam Pasal 1471 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang me- nyebutkan bahwa jual-beli barang
orang sebab perjanjian jual-beli belum mengalihkan hak milik, yang penting
pada saat penyerahan hak milik barang itu memang sudah jadi milik penjual
sehingga dia berwenang mengalihkan hak milik kepada penjual. Hal ini dalam
praktik sudah sering terjadi dalam jual-beli mobil dengan sistem indent di mana
pembeli sudah memesan kepada dealer mobil, meskipun mobil tersebut masih
dirakit oleh agen tunggal pemegang merek atau masih menjadi milik prinsipal
di luar negeri dalam hal mobil tersebut mobil lain adalah batal, Ketentuan Pasal
1471 Kitab Undang-Undang up. Hukum Perdata diambil oper dari Code Civil
Perancis di mana hak milik sudah beralih pada saat tercapainya kesepakatan
antara penjual dan pembeli, sedangkan dalam z dianut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sistem yang perjanjian jual-beli belum mengalihkan hak milik.

123
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Persoalan hukum yang timbul dalam praktik adalah bank adakalanya


melakukan cessie baik atas piutang yang sudah ada dan piutang yang akan ada
dalam suatu akta cessie. Cessie adalah suatu perjanjian kebendaan atau
zakekijke overenkomst dan bukan perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-
beli piutang yang mendasari cessie. Sehingga pada waktu akta cessie dibuat
seharusnya piutang tersebut sudah ada. Namun menurut Pitlo, suatu tagihan
dalah benda immaterial dan atas benda immaterial seperti piutang atas nama,
orang tidak bisa dibatasi dalam tindakan hukumnya kecuali untuk levering
benda berwujud. Pada piutang yang merupakan benda tidak berwujud tidak ada
halangan untuk menyerahkan atau melakukan levering diserahkan Sua atas
piutang yang akan datang, karena adalah hak, yang memang seandainya pun
sudah ada sekarang, tidak ada wujud materialnya (J.Satrio, 1991:10).
Selanjutnya Pasal 1535 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa penjual piutang tidak ber- tanggung jawab atas
kemampuan si debitor kecuali jika penjual telah mengikatkan diri untuk itu dan
hanya untuk jumlah harga pembelian yang telah diterima untuk piutangnya.
Dengan demikian jika si penjual diperbolehkan bertanggung jawab atas
ketidakmampuan debitor, maka boleh saja diperjanjikan bahwa si penjual akan
bertangung Jawab jika debitor melakukan wvanprestasi dan memberi nak
kepada cessionaris untuk melakukan retro cessie.
7. GADAI PIUTANG ATAS NAMA DAN CESSIE SEBAGAI JAMINAN
Dalam cessie piutang atas nama dengan dibuatnya akta cessie maka
cessie sudah sah, pemberitahuan kepada debitor hanya bertujuan supaya debitor
terikat. Hal ini 125

124
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

berbeda dengan gudai piutang atas nama, setelah dibuatnya akta gadai masih
diperlukan pemberitahuan kepada debitor supaya gadai tersebut sah. Hal ini
disebabkan karena dalam gadai dikenal doktrin inbezitstelling, artinya dibebani
gadai harus dilepaskan dari kekuasaan debitor, maka pemberitahuan tersebut
dapat secara samakan dengan "dikeluarkan dari kekuasaan debitor".
Bagi gadai saham harus dipatuhi ketentuan gadai saham dalam Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan
bahwa hak sua atas saham yang digadaikan tetap berada di saham. Rasio
ketentuan ini adalah untuk mencegah perseroan dikendalikan oleh pihak-pihak
yang menurut peraturan perundangan-undangan dilarang melakukan kegiatan
perdagangan di bidang-bidang tertentu yang ter- tutup bagi mereka (Suharnoko,
2004:52).
Selain gadai piutang atas nama dalam praktik timbul lembaga cessie
sebagai jaminan. Bank meminta supaya tagihan debitornya dialihkan kepada
bank hanya sebagai jaminan. Jadi, tidak ada maksud untuk mengalihkan hak
milik atas piutang tersebut. Konstruksi hukum ini mirip dengan fidusia yaitu
penyerahan hak milik secara ke- percayaan dari debitor kepada kreditor di mana
kreditor dan debitor saling percaya bahwa penyerahan hak milik itu hanya
sebagai jaminan.Setelah utang lunas, maka secara otomatis kepemilikan
kembali kepada debitor. Dalam Fidusia penyerahan hak milik dilakukan secara
constitutum possesorium, artinya penguasaan fisik benda tangan Doktrin
Subrogari, Novasi, & Cessie benda yang analogis di- tangan pemilik berada
inbezitstelling dalam gadai yang tercantum di Pasal 1152 debitor, hal ini
bertentangan dengan syarat tetap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dengan adanya syarat inbezitstelling, maka debitor tidak dapat
mengalihkan penguasaan dan kepemilikan

125
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

benda bergerak yang digadaikan kepada pihak III, karena yang dibebani gadai
berada dalam kekuasaan kre- "pua ditor.
Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa
Hak gadai atas barang bergerak dan piutang atas bawa dibebankan dengan
penyerahan kekuasan benda dan piutang yang digadaikan kepada Lreditor atau
kepada pihak ketiga yang disepakati oleh litor dan debitor. Jadi, benda bergerak
dan surat piutang tas bawa tersebut harus dilepaskan dari kekuasaan debitor. Hal
ini disebut doktrin inbezitstelling. Selanjutnya Pasal 1152 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa hak gadai piutang atas tunjuk atau
an order di- lakukan dengan endosemen dan penyerahan surat piutang. Dalam
Pasal 1153 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa hak gadai
piutang atas nama dilakukan dengan cara pemberitahuan kepada debitor piutang
ter- sebut.
Sebaliknya dalam fidusia karena penguasaan fisik benda berada dalam
tangan debitor, maka debitor dapat mengalihkan penguasaannya kepada pihak
ketiga. Dari penelitian sdr. Amelia Allen hal ini dapat merugikan kreditor,
khususnya dalam fidusia piutang dimana rekening debitor tidak diblokir, karena
dalam fidusia debitor masih bermaksud menggunakan uang yang masuk dalam
re- keningnya. Demikian pula pihak ketiga yang wajib mem- bayar piutang
tersebut tidak diberitahu bahwa piutang tersebut telah dibebani fidusia. Hal
inilah yang mem- bedakan gadai piutang atas nama denganfidusia piutang.
akilbatnya pihak ketiga tetap membayar kepada debitor fidusia. Sebagai jalan
kelnarnya maka debitor pemberi pemberi fidusia dan bukan kepada kreditor
penerima fidusia harus menambah nilai jaminannya jika ternyata

126
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

piutang yang dijaminkan sudah hapus karena dibayar. Jadi, kesimpulannya


dalam fidusia piutang tidak berlaku ke- tentuan Pasal 20 Undang-Undang
Fidusia, maka fidusia piutang diberlakukan seperti fidusia atas barang dagangan
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie yang berada di toko (stock).
8. FACTORING
Factoring atau anjak piutang pada dasarnya adalah suatu fasilitas layanan
pengambilalihan piutang. Per. usahaan anjak piutang memberikan pembayaran
di muka atau advanced payment yang besarnya maksimal 90 persen dari nilai
piutang kepada pemilik piutang. Sedangkan sisanya akan dibayar saat piutang
tersebut jatuh tempo dan dibayar lunas seluruhnya setelah dipotong bunga dan
biaya administrasi sebagai imbalan atau fee bagi perusahaan anjak piutang.
Di Amerika Serikat factoring merupakan pembelian piutang jangka
pendek oleh factor dari klien sebagai pen- jual, disertai pengalihan hak dan
pemberitahuan kepada debitor tagihan tersebut. Factor biasanya membeli tanpa
recourse dan membayar di muka 90 persen dari nilai intoice, dan sisanya
ditahan untuk diperhitungkan dengan jumlah yang dibayar oleh factor untuk
piutang tersebut (lan. G. Baxter, 1992:181).
Berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Undang-Undang Tentang
Perbankan, khususnya Pasal o butir 1; Anjak Piutang merupakan kegiatan
pengurusu piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi per dagangan
dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan cara pengambilalihan atau
pembelian piutang terseu
Selanjutnya dalam Pasal 6 Surat Keputusan Menteri

127
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Keuangan No.1251/KMK.013/1988,Tentang Ketentuan Dan Tata Cara


Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, di- sebutkan bahwa anjak piutang dilakukan
dalam bentuk:
a.Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi
perdagangan dalam dan luar
b. Penataan usaha penjualan kredit serta penagihan piutang klien.
Kemudian Keputusan Menteri Keuangan R.I. No.172/ KMK.06/2002
Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.017/2000
dalam Pasal 4 di- sebutkan bahwa Kegiatan Anjak Piutang dilakukan dalam
bentuk:
a. pembelian dam atau pengalihan;serta
b. pengurusan,piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan
dalam atau lyar negeri.
Dengan demikian terhadap kegiatan anjak piutang berlaku ketentuan
perjanjian jual-beli dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Karena
perjanjian jual-beli piutang belum mengalihkan hak milik maka tata cara peng-
alihan hak dari klien kepada factor mengikuti ketentuan Pasal 613 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Factoring dapat dibedakan atas without recourse fac- toring dan Recourse
factoring.
1. Factoring dapat dilakukan dengan jual-beli piutang di mana sesuai dengan
ketentuan Pasal 1535 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, klien sebagai
penjual pintang tidak bertanggung jawab tentang cukup nmam- punya customer
(debitor) untuk membayar utangnya kepada klien, kecuali dengan tegas
diperjanjikan.

128
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Sehingga, jika ternyata kemudian customer tidak mampu membayar utang maka
risiko sepenuhnya tanggung oleh factor. Akibat hukumnya, Faktor tida dapat
menuntut kembali pembayaran piutang yang tidak tertagih kepada klien.
Transaksi ini disebu without recourse factoring.
2. Sebaliknya dalam transaksi suatu pengalihan pintang dapat juga dilakukan
dengan recourse factoring, artinya apabila factor tidak memperoleh pembayaran
lunas atau sama sekali tidak dibayar oleh customer, maka pihak klien masilh
bertanggung jawab untuk melunasi- nya. Factor dapat minta diperjanjikan
supaya mem- punyai hak opsi untuk menjual kembali piutangnya kepada klien
jika customer tidak mampu melunasi. Hal ini memang diperbolehkan oleh Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata, karena Pasal 1535 memang boleh disimpangi
oleh para pihak. Selanjutnya Pasal 1536 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
me- nyebutkan bahwa penjual (client) boleh mem- perjanjikan untuk debitor
(customer) melunasi utang di kemudian hari. Berikut ini kutipan dari Pasal 1536
Kitab Undang- undang Hukum Perdata: "Jika penjual berjanji untuk
menanggung cukup mampunya si debitor, maka janji itu harus diartikan sebagai
mengenai kemampuannya sekarang, dan tidak mengenai kemampuannya
kemudian hari, kecuali dengan tegas diperjanjikan sebaliknya.”
Dalam praktik adakalanya untuk menjamin hak recourse, maka Klien
bersedia bila diminta oleh Factor untuk menyerahkan kepada Factor, cek
bertanggal mundur atau post dated cheque yang nilainya sama dengan juman
yang telah dikeluarkan oleh Factor kepada Klien ditamban perkiraan Biaya
Bunga atau Interest Charge.

129
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mengenai jenis-jenis factoring dapat dibaca Munir Fuadi, Hukum


Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik (1995).
Dengan demikian jual-beli piutang without recourse pengalihan piutang
dilakukan berikut risiko tidak tertagih. Implikasinya tingkat diskontonya akan
makin besar. Sebagai contoh jika nilai piutang Rp.100 juta, maka harga jualnya
cuma Rp.70 juta. Jadi, risiko bad debt diambil mungkin oleh factor. Sedangkan
dalam pengalihan piutang yang disebut factoring with recourse, harga jual
piutang bisa mencapai 90 persen atau Rp.90 juta. Karena dalam hal ini risiko
bad debt tetap pada klien (Elvyn G.Masassya, 2003:172-173).
Akan tetapi, di Amerika Serikat biasanya factor membeli piutang tanpa
recourse dan melakukan pembayaran uang muka kepada klien sedangkan
sisanya ditahan untuk disesuaikan dengan jumlah yang dibayar oleh factor
untuk memperoleh account receivables yang dialihkan (Ian FG. Baxter,
1992:181). Mengenai pengertian account receivable, Uniform Commercial
Code tidak bermaksud memberikan definisi yang pasti dan rinci, yang penting
ada suatu financial statement sehingga dapat diselidiki lebih lanjut esensinya,
tetapi dalam official comment disebutkan bahwa account adalah ordinary
commercial accounts receivable (Steven H. Gifis, 1991:6).
Di Indonesia, menurut Gatot Wardoyo jasa anjak Piutang mengandung
dua aspek hukum yang penting, yaitu (Budi Rachmat, 2003:47):
a. Transaksi penjualan tagihan, meskipun tagihan yang dijual dan dialihkan oleh
klien kepada factor belum dilunasi, akan tetapi pengalihan tersebut
diberitahukan kepada customer dan diminta kepadanya untuk membayar kepada
factor.

130
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

b. Pembayaran di muka yang dilakukan oleh factor kepada klien dianggap


sebagai pinjaman, sedangkan tagiha yang diterima oleh factor dari klien
diberlakukan sebagai jaminan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 613 Kitab Undang. Undang Hukum Perdata,
maka pengalihan piutang harus dibuat dengan akta cessie dan supaya
pengalihan piutang dari klien (cedent) kepada factoring (cessionaris) mengikat
customer (cessus), maka pengalihan piutang tersebut harus diberitahukan
kepada customer atau disetujuinya.
Ditinjau dari segi pemberitahuan kepada customer sebagai debitor maka
factoring dapat dibedakan atas disclosed factoring dan undisclosed factoring.
1. Dalam disclosed factoring, pengalihan piutang dari klien kepada factor
diberitahukan kepada customer, sesuai dengan ketentuan Pasal 613 Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata melalui notification letter.
2. Sedangkan dalam undisclosed/confidential factoring, pengalihan piutang
tidak diberitahukan kepada customer dengan alasan:
a. Sengaja disembunyikan terhadap customer, karena dalam
perjanjian yang melahirkan piutang tersebut, sebenarnya terdapat
larangan untuk mengalihkan piutang. Jika dikemudian hari anjak
piutang cacat hukum akan timbul kekhawatir an customer bahwa dia
akan ditagih dua kali oleh perjanjian klien dan oleh factor
b. Notifikasi dianggap tidak praktis, apalagi dalam hal factor
menghadapi customer dalam jumlan besar dan piutang yang ditagih
terhadap masing masing customer jumlahnya kecil.
c. Menghindari kekurangseriusan atau dari pihak customer bahwa
klien sedang dalam nydunserd 132

131
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kesulitan keuangan atau menimbulkan keengganan klien untuk


membayar kepada factor (Munir Fuadi. 1995:92).
Karena dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian
jual-beli piutang hanya bersifat abligatoir, maka factoring seharusnya
dilanjutkan dengan wembuatan akta cessie. Ditinjau dari ketentuan Pasal 613
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata undisclosed fuctoring tidak
menimbulkan kewajiban customer untuk membayar kepada factor, karena itu
customer wajib melakukan pembayaran kepada klien. Hal ini tentu saja
merugikan factor yang telah membeli dan membayar piutang klien, sebaliknya
klien menerima pembayaran dua kali yaitu dari factor dan dari customer.
Ditinjau dari sudut common law hal ini dapat menimbulkan unjust enrichment.
Sehingga untuk mencegah penolakan customer untuk membayar kepada factor,
mungkin factor dapat melakukan tagihan kepada customer dengan
menggunakan nama klien.
9. ASSIGNMENT DALAM SISTEM COMMON LAW
Dalam sistem common law assignment adalah suatu pengalihan hak dari
suatu kontrak. Dengan demikian suatu pengalihan yang ada sekarang dan hak
tersebut lahir hak yang masih ada tidak dapat disebut assignment. Meskipun
suatu peralihan hak yang akan ada diperboleh- kan, seperti misalnya piutang
yang masih akan ada, tetapi hal tersebut bukan (assignment. Mengenai
assignment dalam sistem common law dapat dibaca: Contract (1993) oleh
Steven Emanuel and Steven Knowles, halaman 298-318.
Jadi, assignment adalah transaksi yang meliputi tiga pihak yaitu assignor,
assignee, dan obligor. Dalam hal ini 133

132
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

assignor mengalihkan haknya terhadap obligor kepada assignee. Menurut


Uniform Commercial Code, assignment dapat dilakukan atas berbagai macam
kontrak, bukan hanya jual-beli saja. Dalam common law, assignment dapat
dilakukan secara lisan, akan tetapi beberapa negara bagian di Amerika Serikat
mengharuskan assignment harus dibur secara tertulis untuk beberapa macam
kontrak, Mirel nya jika seseorang mengalihkan haknya untuk menerima
sejumlah uang maka assignment tersebut tidak mengikat selama assignor belum
menandatangani dokumen bernama security interest.
Seperti disebutkan di atas pada umumnya terhadap semua kontrak dapat
diberlakukan assignment kecuali dalam hal-hal tersebut di bawah ini:
1. Jika assignment mengakibatkan kewajiban obligor berubah secara material,
maka pengadilan tidak akan mengizinkannya. Perubahan kewvajiban secara
material terjadi bila hak yang dialihkan timbul dari personal service contract, di
mana hubungan para pihak me- rupakan hubungan khusus berdasarkan
kepercayaan dan kerahasiaan.
2. Jika assignment akan menimbulkan risiko yang secara material bervariasi
kepada obligor, maka hal ini juga tidak diizinkan. Misalnya kontrak dalam polis
asuransi.
3. Assignment juga tidak diizinkan, jika hal ini meng- akibatkan obligor
kehilangan kesempatan untuk men- dapatkan return performance.
4. Demikian pula jika dalam kontrak itu sendiri sudah tercantum larangan untuk
assignment, maka pengadilan akan menjalankan klausula tersebut, kecuali:
a. Assignment diizinkan jika assignor sudah sepenul- nya
memperoleh haknya. Misalnya, assignor sudah menjalankan
kewajibannya melaksanakan kontrak

133
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

b. Hak untuk mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi untuk


memperoleh ganti rugi dapat dialihkan.
c. Jika klausul anti assignment berbunyi the contract may not be
assigned dan bukan the right under the contract may not be assigned,
maka klausula mi ditafsirkan sebagai larangan untuk melakukan
delegasi bukan larangan untuk melakukan assign- ment.
d. Suatu assignment yang melanggar klausul anti assignment tidak
mengakibatkan assignment menjadi tidak efektif, tetapi hanya
memberikan hak kepada obligor untuk menuntut ganti rugi kepada
assignor berdasarkan
e. Dalam kasus-kasus tertentu, jika para pihak me- nunjukkan dengan
jelas bahwa maksud mereka se- benarnya adalah untuk memperbolehkan
assign- ment, maka klausula anti assignment hanya dianggap rule of
construction. wanprestasi.
5. Menurut Pasal 9 Uniform Commercial Code, ketika para pihak mengalihkan
haknya untuk memperoleh pembayaran sebagai jaminan utang maka klausul
anti assignment dengan sendirinya gugur.
9.1. Hak Assignee Terhadap Obligor
Kedudukan assignee adalah stands in the shoes of his assignor, he subject
to all defenses, set-offs and counterclaims which the obligor could have asserted
against the assignor ehadap ketentuan umum ini hanya terdapat sedikit pe-
"gecualian. Ketentuan umum ini mempunyal sebagai berikut: akibat hukum

134
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

1. Seketika obligor menerima pemberitahuan bahwa telah maka obligor tidak


dapat menggunakan alasan belaan diri terhadap assignee.
2. Obligor dan assignor berhak memodifikasi kontrak sebelum ada
pemberitahuan tentang assignment Dalam hal sudah ada pemberitahuan tentang
adanya assignment maka hal itu hanya dapat dilakukan üke assignor sudah
sepenuhnya memperoleh haknya.
3. Dalam hal tercantum klausul tentang pelepasan hak untuk pembelaan diri,
maka obligor tidak boleh gunakan alasan pembelaan diri yang dapat dipakainya
terhadap assignor untuk digunakan kepada assignee, kecuali dalam hal-hal
tertentu upaya pembelaan diri ateršebut tidak boleh dilepaskan, yaitu:
a. Belum cukup umur, tidak cakap, atau paksaan; kontrak tesebut
ilegal; misrepresentation yang me- mengaruhi pembeli
menandatangani kontrak jual- beli tanpa memahami klausul-klausul
yang esensial. Hal ini disebut real defense.
b. Demikian pula dalam transaksi atas barang-barang kebutuhan
konsumen antara pelaku usaha dan konsumen, alasan pembelaan
diri tidak dapat di- lepaskan oleh para pihak.
4. Jika klaim yang diajukan oleh obligor terhadap assignor berkaitan dengan
kontrak wad meng- yang sama yang dialihkan kepada assignee, maka obligor
dapat menggunakan klaim ini, baik sebelum maupun sesudah pemberitahuan
tentang adanya pengalihan hak. Hal ini disebut recoup ment, artinya hanya
dapat digunakan untuk meng rangi klaim yang diajukan oleh assignee, dan tidak
dapat digunakan untuk menghasilkan affirmative covery bagi obligor.

135
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mengenai klaim yang tidak ada hubungannya dengan Mengenai assignment,


maka obligor hanya dapat menggunakan terhadap assignee sebelum obligor
diberi talhu tentang adanya assignment. Hal ini disebut set-off hanya di- unakan
untuk mengurangi tuntutan assignee. Obligor hanya dapat memperoleh
affirmative recotery terhadap assignee jika klaim tersebut berhubungan dengan
transaksi langsung antara obligor dan assignee.
5.Dalam hal dua assignee mempunyai klaim yang sama atas satu klaim maka,
menurut restatement of contract, assignee kedua kalah dari yang pertama,
kecuali assignee kedua menerima pembayaran atau pemenuhan dalam bentuk
lain atas kewajiban tersebut; atau dia memperoleh judgement terhadap obligor
atau dia mem- peroleh kontrak baru dari obligor karena novasi atau dia
memperoleh bukti tertulis bahwa hak tersebut di- alihkan kepadanya, misalnya
polis asuransi. Sedang- kan menurut Uniform Commercial Code, khususnya
Pasal 9, hal ini tergantung siapa diantara dua yang lebih dulu melakukan
pendaftaran.
6. Jika obligor tidak dapat memenuhi kewajibannya atau assignee tidak
terpenuhi haknya, maka assignee mem- punyai hak untuk meminta pemenuhan
haknya kepada assignor. Akan tetapi dalam hal ini, harus dibedakan assignee
antara gratuitous assignment dan assignment of value. yang pertama, assignee
mungkin tidak dapat Untuk meminta pemenuhan haknya dari assignor. Tapi
untuk Jenis yang kedua, assignor telah membuat jaminan secara implisit bahwa
obligor akan memenuhi ke- wajibannya. Jika jamman ini ternyata tidak
terpenuhi, assignee dapat menuntut assignor. Jaminan itu berupa:
a. No Impairment, artinya assignor menjamin bahwa dia tidak akan
memungut pembayaran dari obligor
b. Claim is valid and unencumbered, artinya klaim

136
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang dialihkan tidak tunduk pada pembatasan atau pembelaan selain


yang telah dibuka kepada assignee;
C. Bahwa dokumen pengalihan hak itu valid dan asli;
d. Bahwa assignor tidak menjamin obligor mampu membayar atau
solvent atau obligor mamnpu mem- bayar atau memenuhi
kewajibannya. Akan tetapi assignor dapat juga menjamin bahwa
obligor akan memenuhi kewajibannya;
e. Kecuali jika diperjanjikan dengan tegas, maka jaminan ini tidak
berlaku bagi sub assignee;
f. Jaminan-jaminan yang disebutkan di atas adalah berdasarkan common
law dan bukan berdasarkan undang-undang. Kebanyakan negara bagian di
Amerika Serikat memberlakukan jaminan tersebut sebagai rules of construction
yang menghasilkan aturan yang berbeda-beda, tergantung dari maksud
para pihak.

137
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Daftar Pustaka
Asosiasi Kartu Kredit Indonesia. "Industri Kartu Plastik Perkembangan&
Permasalahannya". Seminar Aspek-Aspek Hukum Kartu Kredit,
FHUI.Jakarta,12 Maret 1991.
Asser, C. Pedomnan Untuk Pengajian Hukum Perdata, terj: Sulaiman Binol.
Jakarta:Dian Rakyat, 1991.
Baxter, Ian. G. The Law Of Banking. Toronto: Carswell, 1992. C
alamari, Jhon D and Joseph M.Perillo. Contract. St.Paul Minn: West Publishing
Co, 1987.
Clark, Robert Charles. Corporate Law. Boston: Little Brown and Company,
1986.
Crabb, John H. The French Civil Code. South Hackensack, New Jersey: Fred
B.Rothman & Co, 1997.
De Savornin Lohman, Hans A. "Contracts" Dutch Businees Law:Legal,
Accounting and Tax Aspects of Doing Business in the Netherlands. Kluwer,
1992.
Dobbyn, Jhon F. Insurance Law in Nutshell. St.Paul, Minn: West Publishing
Co, 1996.
Bihanuel,Steven and Steven Knowles. Contract. Larchmont, NY: Emanuel Law
Outlines, Inc, 1993-1994.

138
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Fuady, Munir Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law: Eksistensinya


dalam Hukum Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktik. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1995.
Gifis, Steven H.Law Dictionary. New York:Barron's Educational Series, Inc,
1984.
IHaanappel, P.P.C. and Ejan Mackaay.Nieuw Nederland Burgerlijk Wetboek.
Deventer. Boston: Kluwer, 1990
Hardjo, Wahjono. “Kartu Kredit Dalam Kaitannya Dengan Sistem Pembayaran"
dalam Seminar Aspek-Aspek Hukum Kartu Kredit, FHUI. Jakarta, 12 Maret
1991.
Husein, Yunus.Rahasia Bank:Privasi Versus Kepentingan Umum. Jakarta:
Program Pasea Sarjana FHUI, 2003.
Irsan Nasarudin, M dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia.
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Karim, Iswahyudi. "Restrukturisasi Piutang Penunjang untuk Konsultan Hukum
Pasar Modal. Jakarta, 10 s/d 20 Februari, 2003.
".Diklat Profesi Latimer, Paul. Australian Business Law.Sydney: CCH Australia
Limited, 1998.
Masassya, Elvin. Cara Cerdas Memutar Uang. Jakarta: Eles Media
Komputindo, 2002.
Mitchell, Charles. The Law Of Subrogation. Oxlord: Clarendon Press,1994.
Mulyadi, Kartini. "Bank Bali dan Cessie". Kompas, 14 Agustu Pitlo, A.Tafsiran
Singkat tentang Beberapa Bab dalam Hukum Perdata. terj: M.Moerasad.
Jakarta; Intermasa, 1977
Prasetyo, Rudy. “Pendirian Perseroan Terbatas dan Pertanggung- jawaban
Direksi dan Dewan Komisaris serta Pihak terkait lainnya". Seminar Dengar
Pendapat Publik Berkenaan

139
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dengan Perubahan Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, 24 September


2001.
Prawoto, Agus.Hukum Asuransi. Dan Kesehatan Perusahaan Asuransi.
Yogyakarta, 1995.
Rachmat, Budi.Anjak Piutang: Solusi Cash Flow Problem. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Renublik Indonesia, Mahkamah Agung. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2000.
Satrio, J.Cessie, Subrogasi, Novatie, Kompensatie, & Percampuran utang.
Bandung: Alumni, 1991.
Sianipar, J. Tinggi dan Jan Pinontoan. Surety Bond sebagai Alternatif dari Bank
Garansi. Jakarta: CV Dharmaputra, 2003.
Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I. Jakarta: Soeroengan, 1964.
Stientje, Ambat. Alih Debitor Secara di Bawah Tangan dari Kredit Pemilikan
Rumah Sangat Sederhana yang dalam Jaminan Bank Tabungan Negara (Novasi
Subjektif Pasif). Tesis Magister Notariat. FHUI, 2005.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1998.
Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, Subekti, R dan R.Tjitrosudibio.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagung dan Undang-Undang Kepailitan.
Jakarta:Pradnya Paramita, 1983.
Sularnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti. Kepalitan Di Negeri
Pailit: Analisis Hukum Kepailitan

140
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Indonesia. Jakarta; Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004.


Volmar, HFA. Rengantar Studi Hukum Perdata Jilid II.teri IS.Adiwimarta, SH.
Jakarta:CV.Rajawali, 1984. Woon, Walter. Basic Business Law in Singapore.
Singapore: Prentice Hall, 2000.

141
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Lampiran
PUTUSAN
Nomor : 421/PDT.G/2003/PN.JKT.PST
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan
mengadili, perkara Perdata dalam peradilan tingkat pertama, menjatuhkan
putusan sebagaimana di- uraikan di bawah ini dalam perkara antara:
PT ASURANSI TAKAFUL UMUM, yang dalam hal ini diwakili oleh
SHAKTI AGUSTONO RAHARDJO, Direktur Utama PT ASURANSI
TAKAFUL UMUM; yang berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus
bermeterai cukup bertanggal Jakarta, 19 Mei 2003 telah memberikan kuasa
kepada:
WARSITO SANYOTO, SH.., dan ZULKIFLI DANIEL, Pengacara, Konsultan
Hukum pada Kantor WARSITO SANYOTO, SH., & Partner, Jalan Cempaka

142
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Raya Nomor 21 Jakarta Pusat, selanjutnya diseh sebagai PENGGUGAT ; – -


----------
Melawan:
PT SECURINDO PACTAMA INDONESIA (SECURE PARKING),
berkedudukan di Komplek Mangga Dua Mas Nomor 11-12 Blok A, Jalan
Mangga Dua Abdab Nomo 14, Jakarta Pusat 10730, selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT;
PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT tersebut.;…
Telah membaca berkas perkara yang bersangkutan; Telah mendengar
keterangan kedua belah pihak yang beperkara;--
TENTANG DUDUK PERKARANYA:
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatnya yang dibuat dan
ditandatangani oleh kuasanya bertanggal Jakarta 30 September 2003,
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3
Oktober 2003 di bawah nomor register: 421/PDT.G/2003/ PN.JKT.PST, telah
mengemukakan sebagai,berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah sebuah perusahaan asuransi di mana telah
diasuransikan 1 (satu) unit mobil Toyota Land Cruiser VXR, pembuatan tahun
2000, nomor rangka MHF 11T J8009004307, nomor mesin 1HD-0191474.
dengan nomor polisi B 8840 ME berdasarkan polis No. 302.01.1230.200, atas
nama tertanggung Mori Hanafi, SE.M.Comm (Bukti P-1).
2. Bahwa mobil dengan No. Pol. B 8540 ME pada tanggal

143
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

30 Januari 2002, pukuI 12:26:17 WIB telalh diparkirkan oleh Drs. H. Marwan
Saridjo di area parkir dalam kawasan yang dikelola oleh Tfergugat dan telah
me- Glodok Plaza, nerima kartu parkir dari petugas parkir (Bukti P-2).
3. Bahwa sewaktu Drs. H. Marwan Saridjo hendak pulang lan hendak
mengendarai mobilnya, ternyata mobil telah bilang dari areal parkir yang
dikelola oleh Tergugat-
4.Bahwa atas hilangnya mobil dengan No. Pol. B 8840 ME tersebut, Drs. H.
Marwan Saridjo telah melaporkannya kepada petugas parkir dan selanjutnya
secara bersama-sama mereka melaporkan peristiwa kehilangan mobil tersebut
kepada polisi di Polsek Metro Taman Sari, Jakarta Barat (Bukti P-3).
5. Bahwa dalam pemeriksaan dihadapan petugas Polsek Metro Taman Sari,
Jakarta Barat, petugas parkir atau karyawan Tergugat yang berjaga di pintu ke
luar me- nerangkan dan mengakui bahwa ia telah lalai dalam men- jalankan
tugasnya yaitu mengizinkan kendaraan ke luar dari areal parkir tanpa
memeriksa karcis parkir terlebih dahulu saat mobil No. Pol. B 8840 ME masuk
pada areal parkir yang telah diberikan kepada pemilik mobil pada Tergugat
padahal karcis parkir tersebut masih berada di tangan Drs. H. Marwan Saridjo.
6. Bahwa atas kehilangan tersebut, pemilik mobil, Mori Hanafi SE, M.Comm
telah mengajukan klaim kerugian kepada Penggugat, dan yang atas klaim
tersebut Penggugat pada tanggal 8 April 2003 telah membayar sebesar Rp
582.300.000,- (lima ratus depalan puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah) (Bukti
P-4).
7. Bahwa setelah dibayarnya klaim pembayaran kerugian atas hilangnya mobil
No. Pol. B 8840 ME oleh Penggugat kepada pemilik mobil secara penuh, maka
atas hilangnya kendaraan bermotor/mobil No. Pol. B 8840 ME tersebut yang
diparkir di areal parkir Tergugat, serta dijaga oleh

144
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

para petugas Tergugat, maka hak-hak Mori Hanafi, SE, MM, sebagai pihak
yang telah menerima klaim asiuransi Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie
dialihkan (subrogasi) kepada Penggugat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
284 KUHD yang menyatakan: Penanggung yang telah membayar kerugian
barang yang dipertanggungkan. Memperoleh semua hak yang sekira- nya
dimiliki oleh tertanggung terhadap pihak ketiga berkenaan dangan kerugian itu;
dan tertanggung ber tanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin
merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga itu.
8. Bahıwa karena kelalaian dari petugas parkir yang bekerja sebagai karyawan
Tergugat, maka Tergugat tidak dapat melepas tanggung jawab secara hukum
dan wajib mem- pertanggungjawabkannya pula secara hukum pula. Hal ini
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum sebagai berikut:
Pasal 1366 KUH Perdata:
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya oleh kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan, me- lainkan juga atas kerugian yang disebabkan oleh
kelalaian atau kesembronoannya.
Pasal 1367 alinea ke-3 KUH Perdata:
Majikan dan orang yang mengangkat orang mewakili urusan-urusan mereka,
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan
mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang itu. lain
untuk 9. Bahwa Tergugat melalui kuasa hukumnya menolak kompensasi
penggantian atas hilangnya mobil Toyota Land Cruiser No. Pol. B 8840 ME
tersebut karena Terguggat hanya sebagai pengelola jasa perparkiran yang
bertugas

145
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sebagai pengelola parkir saja dan bukan penjamin yang bersandarkan kepada
Pasal 36 ayat 2 Perda DKI No. 5 Tahun 1999 tentang perparkiran yang berbunyi
sebagai berikut: "Aas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang vane hornda
di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di Petak Parkir,
merupakan tanggung jawalb pe- makai tempat parkir".
10. Bahwa atasan Tergugat tersebut secara hukum tidak benar karena ketentuan
yang tercantum di dalam Peraturan Daerah tidak dapat mengesampingkan
ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang, khususnya ketentuan P'asal 1366
dan 1367 KUH Perdata.
11. Bahwa berdasarkan Surat Subrogasi tersebut Penggugat telah mengajukan
tuntutan penggantian secara dalil kepada Tergugat, namun sampai perkara ini
diajukan ke sidangan, Tergugat tidak beritikad baik secara membayar ganti rugi
kepada Penggugat atas kelalaian dilakukannya dan dengan berbagai dalil
mengelak dari tanggung jawab hukum.
12. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat dan Turut Tergugat adalah,
merupakan perbuatan melawan hukum dan telah memenuhi unsur-unsur suatu
perbuatan hukum sebagaimana diat ur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
berbunyi: telah Tiap perbuatan melanggar hukum kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. vMvquiəu Suph
13. Bahwa tindakan Tergugat yang tidak bertanggung jawab hilangnya mobil
No. Pol. B 8840 ME adalah perbuatan melawan hukum sesuai dengan PasaI
1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata jo. UU No. 2 Tahun 1992 tentang

146
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

usaha pengasuransian dan telah menimbulkan kerugian materiil pada Penggugat


sebesar Rp 582.300.000.- (ime ratus delapan puluh dua juta tiga ratus ribu
rupiah) ditambah bunga bank sebesar 2% per bulan.
14. Bahwa untuk menjamin pembayaran kembali atas ke. wajiban Tergugat
kepada Penggugat sebagaimana maksud butir 12 di atas, cukup beralasan bagi
Penggugat untuk mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk terlebihi
dahulu meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan
Tergugat guna meng. hindarkan Tergugat mengalihkan hak kepada pihak lain
dan atau untuk menjamin pelaksanaan putusan peng- adilan pihak lain dan atau
untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan dikemudian hari berupa
sebidang tanah dan bangunan kantor milik Tergugat berikut segala Doktrin
Subrogasi, Novasi, & Cessie melekat terletak di Kompleks Mangga sesuatu
yang yang Dua Mas No. 11 -12 Blok A, Jln. Mangga Dua Abdab No. 14 Jakarta
Pusat.
15. Bahwa sanksi hukum perdata yang ditentukan di dalam Pasal 1365, 1366,
dan 1357 KUH Perdata perlu dijatuhkan terhadap Tergugat, guna menjamin
agar Tergugat benar- benar mengawasi para pegawainya, sehingga para pegawai
(petugas parkir) tersebut tidak pernah akan melakukan kelalaian kesembronoan
yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada orang atau pihak lain.
16. Bahwa perkara ini didasarkan pada bukti-bukti yang terkuat menurut
ketentuan Pasal 180 HIR, karenanya layak dan pantas bila putusan dalam
perkara ini dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan, banding
maupun kasasi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penggugat mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini
berkenan memberikan sebagai berikut :

147
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya


2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan dalam
perkara ini yaitu berupa sebidang tanah dan bangunan kantor milik Tergugat
berikut segala sesuatu yang melekat yang terletak di Kompleks Mangga Dua
Mas No. 11-12 Blok A, Jln. Mangga Dua Abdab No. 14. Jakarta Pusat;
3.Menyatakan Tergugat bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh karyawannya,
4. Menyatakan Tergugat bertanggung jawab atas mobil B S840 ME yang hilang
di kompleks parkir yang dikelola Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat ganti rugi berupa
uang tunai dan seketika sebesar Rp 582.300.000,- (lima ratus delapan puluh dua
juta tiga ratus ribu rupiah) ditambah bunga bank sebesar 2 % bulan terhitung
sejak tanggal gugatan ini sampai per dengan adanya pembayaran lunas kepada
Penggugat;
6. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada
bantahan, banding, maupun kasasi; dan
7. Menghukum Tergugat membayar ongkos perkara. Menimbang, bahwa pada
hari-hari persidangan yang ditetapkan untuk Penggugat yang datang menghadap
ke muka persidangan adalah kuasanya bernama ZULKIFLI DANIEL. SH.,
tersebut, sedangkan untuk Tergugat yang datang menghadap ke muka
persidangan adalah kuasanya HASUDUNGAN MANURUNG, SH., Pengacara
dan Konsultan Hukum pada LAW Firm FIFI LETY INDRA & Partners,
berkedudukan di Jalan Proklamasi Nomor 61 DD Jakarta Pusat, berdasarkan
kekuatan Surat Kuasa Khusus bermeterai cukup, bertanggal 29 Oktober 2003;

148
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah upayakan perdamaian antara


pihak-pihak akan tetapi tidal berhasil, oleh karenanya maka pemeriksaan
perkara ini dimulai dengan membacakan surat gugat Penggugat ter- sebut, yang
atas materi gugatannya tersebut Penggugat menyatakan tetap pada
gugatannya;--
Menimbang, bahwa atas materi gugatan Penggugat tersebut Tergugat
menanggapinya dangan mengajukan jawaban secara tertulis pada hari
pèrsidangan tanggal 19 November 2003 yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut: meng-
DALAM EKSEPSI:
Penggugat tidak mempunyai kapasitas hukum untuk bertindak sebagai pihak
dalam perkara ini (exception non leqitima personae study in judicio):
1. Bahwa dalam gugatannya, Penggugat mengaku mem- punyai kewenangan
hukum untuk mengajukan gugatan terhadap Tergugat hanya berdasarkan Surat
Kuasa Subrogasi dari Mori Hanafi, SE, M.Comm tertanggal 10 Maret 2003
(Bukti T -1).
2. Bahwa sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata, yang diajukan ke pengadilan
harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus, yang mencantumkan secara tegas
dan terperinci tentang pihak-pihak yang bersengketa serta menyebutkan secara
konkret mengenai pokok perselisihan atau pokok sengketa di antara pihak-pihak
tersebut.
3. Bahwa keharusan menggunakan surat khusus sesual dengan ketentuan Pasal
123 ayat (1) HIR tersebut telah menjadi kebiasaan dalam praktik beracara di
pengadilan. Keharusan tersebut misalnya tampak dalam Putusan Mahkamah
Agung RI No. 296 K/Sip/1970 tanggal Desember 1970, yang menegaskan:

149
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

"Menurut Pasal 123 HIR, pihak-pihak yang beperkara, kalau dikehendaki, boleh
dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang untuk maksud itu, harus dikuasakan
dengan surat kuasa khusus/istimewa Balwa betapa pentingnya keharusan
penggunaan Surat Bunoan Kuasa Khusus dalam bepekara di pengadilan, tampak
4. ielas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. MA KUMDIL
288.X/K/1994 tanggal 14 Oktober 1994 yang ditujukan kepada para Ketua
Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, Kętua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Agama dan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara di seluruh Indonesia, yang menegaskan
sebagai berikut: "Untuk menciptakan keseragaman dalam hal pemahaman
terhadap Surat Kuasa Khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada
badan-badan peradilan, maka dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
Surat Kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus
dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk
keperluan tertentu, misalnya dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut
antara A sebagai penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara
waris atau utang piutang tertentu dan sebagainya".
5. Bahwa terbukti Penggugat menggugat Tergugat hanya berdasarkan surat
kuasa subograsi dari Mori Hanafi, SE, NI.Comm, yang sifatnya umum, dan
tidak berdasarkan surat kuasa khusus. Dengan demikian, maka secara yurndis,
Penggugat tidak mempunyai kapasitas hukum untuk menggugat Tergugat dalam
perkara ini (non legitima personae standi in judicio).
6. Bahwa berdasarkan beberapa fakta yuridis yang telah dikemukakan di atas,
Tergugat dengan ini mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
agar berkenan

150
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menolak gugatan Penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan


Penggugat tidak dapat diterima (m ontvankelijke verklaard). Gugatan
Penggugat Tidak Mempunyai Dasar Hukum
7. Bahwa gugatan Penggugat terhadap Tergugat, sebagaimana tercantum dalam
surat kuasa subrograsi (Vide Bukti T 1), adalah berdasarkan ketentuan Pasal V
ayat 4 Syarat. Syarat Umum Polis, padahal Tergugat bukanlah pihak dalam
Polis tersebut, dan tidak terkait sedikit pun dengan salah satu pihak yang terikat
dalam Polis tersebut. Itu berarti secara hukum Tergugat tidak mempunyai
hubungan hukum dengan pihak-pihak dalam polis tersebut, termasuk dengan
Penggugat.
8. Bahwa dengan tidak adanya hubungan hukum antara Penggugat dan
Tergugat, maka penggugat tidak mem- punyai dasar hukum untuk menggugat
Tergugat. Sebab, menurut Hukum Acara Perdata, gugatan hanya dapat di-
ajukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum satu sama lain. Hal
ini sesuai dengan pendirian Mahkamah Agung RI dalam Putusannya No.
294/K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 yang mensyaratkan: "Gugatan harus
diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum".
9. Bahwa karena penggugat tidak mempunyai kapasitas hukum untuk bertindak
sebagai Penggugat maka Penggugat dengan sendirinya menjadi cacat hukum,
sehingga gugatan yang demikian patut ditolak atau setidak- tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima.
Pendirian ini sesuai dengan penegasan Mahmakah Agun RI dalam putusannya
No. 2962 K/Pdt/1993 tertangg 28 Mei 1998, yang berbunyi:

151
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

"Bahwa salah satu prinsip fundamental atas sahnya gugatan secara formal,
gugatan harus diajukan oleh pihak yang memiliki kapasitas bertindak sebagai
Penggugat. Menurut Hukum Acara Perdata, orang yang memiliki kapasitas
mengajukan gugatan dalam suatu perkara perdata, hanya orang yang
mempunyai bubungan hukum dan kepentingan dengan apa yang disengketakan.
Apabila gugatan diajukan oleh orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk
memperkarakan suatu sengketa, maka gugatan mengandung cacat hukum dan
gugatan mengandung cacat error in person dalam bentuk dan kualifikasi
inperson".
10. Bahwa dengan tidak terbukti adanya hubungan hukum antara Penggugat dan
Tergugat dalam perkara ini, maka Tergugat dengan ini mohon kepada Majelis
Hakim memeriksa perkara ini agar berkenan untuk menolak gugatan Penggugat
atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard). Sue Gugatan Penggugat Kurang Pihak.
11. Bahwa dasar gugatan Penggugat terhadap Tergugat dalam perkara ini adalah
perbuatan melanggar atau perbuatan melawan hukum. Dengan demikian,
Penggugat seharus- nya menggugat setiap orang atau setiap pihak yang
dianggap telah melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi
Penggugat, terkait dengan hilangnya sebuah kendaraan milik Mori Hanafi, SE,
M.Comm. Tidak hanya menggugat Tergugat."
12. Bahwa jika kehilangan kendaraan tersebut dianggap telah menimbulkan
kerugian terhadap Penggugat, maka dalam perkara ini Penggugat seharusnya
menggugat Saputra Halim yang mengendarai kendaraan tersebut sebab ke-
hilangan mobil tersebut justru terjadi pada saat mobil

152
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tersebut berada di bawah penguasaan dan pengawasan Saputra Halim.


13. Bahwa keberadaan Saputra Halim sebagai pihak vane menguasai kendaraan
atau mobil tersebut schel kendaraan atau mobil tersebut hilang, tampak dalam
Laporan Polisi No. Pol. K/XI/2002/Tinn.S. tanggal 1o Januari 2002 (Bukti T-2).
Sebagai pengendara atan pengguna mobil tersebut pada saat tersebut, Saputra
Halim seharusnya bertanggung jawab penuh atas ke- amanan mobil tersebut.
14. Bahwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa Penggugat justru
tidak mengikutsertakan Saputra Halim sebagai pihak dalam perkara ini. Maka
gugatan Penggugat menjadi tidak lengkap atau tidak sempurna karena kurang
pihak. Dalam praktik beracara di pengadilan, gugatan yang kurang pihak atau
tidak lengkap dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini telah menjadi pendirian
Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 78 K/Sip/1972 tanggal 11 Oktober
1975 yang menegaskan: "Gugatan kurang pihak atau tidak lengkap atau
kekurangan formil, harus dinyatakan tidak dapat diterima". Demikian pula
dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1421 K/Sip/1915 tanggal 8 Juni 1976,
Mahkamah Agung RI menyatakan: "Bahwa tidak dapat diterimanya gugatan ini
adalah karena ada kesalahan formil mengenai pihak yang seharusnya digugat,
akan tetapi belum digugat
15. Bahwa berdasarkan beberapa fakta yuridis dikemukakan di atas, maka
Tergugat dengan ini mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
berkenan menyatakan gugatan Penggugat kurang pihak,

153
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sehingga gugatan ini ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat


diterima (nict ontvankelijke verklaard).
Gugatan Penggugat Prematur
16.Pada butir 3 dalil gugatannya, penggugat mengakui bahwa vobil tersebut
telah hilang dan pada butir 4 dan 5 dan gugatannya itu pula Penggugat
mengakui telah melaporkan kehilangan mobil tersebut kepada Polsek Taman
Sari. Jakarta Barat sebagaimana terbukti dari Surat Tanda Penerimaan
Laporan/Pengaduan No.Pol.K/XI/2002/ Tmn.S. tanggal 10 Januari 2002 (Vide
Bukti T-2).
17. Bahwa dengan mengungkapkan beberapa fakta tersebut di atas maka hal itu
berarti Penggugat mengakui bahwa mobil tersebut tidak berada di bawah
penguasaan Tergugat, akan tetapi berada di bawah penguasaan pihak lain secara
melawan hukum.
18. Bahwa berdasarkan laporan tersebut di atas pula, dapat diketahui bahwva
kini polisi sedang mencari pihak lain yang mengambil dan menguasai mobil
tersebut secara melawan hukum untuk dimintakan pertanggungjawaban- nya
secara hukum. Keterlibatan pihak kepolisian dalam perkara ini merupakan bukti
juga bahwa ada unsur pidana dalam perkara ini.
19. Bahwa sesuai asas hukum jika suatu perkara terkait aspek pidana dan
perdata sekaligus, maka gugatan perdata baru dapat diajukan ke pengadilan
untuk menuntut ganti ke- rugian apabila sudah ada putusan pidana yang telah
ber- kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). hal ini sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan dalam Pasal 1918 KUH Perdata:
“Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana
seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran,
di dalam

154
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu buk. tentang perbuatan yang
telah dilakukan kecuali jika da dibuktikan sebaliknya".
Penegasan serupa juga dapat ditemukan dalam Pasal 99 ayat (7) Surat
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.J.S.1/7/5 tanggal 4
Agustus 1977 menyatakan;
"Putusan Hakim Pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
merupakan bukti yang sempurna dalam perkara perdata, kecuali jika dapat
diajukan bukti lawanan (tegenbewijs)".
20. Bahwa sampai saat ini tidak terbukti berdasarkan putusan pidana yang
berkekuatan hukum tetap bahwa Tergugat telah melakukan kejahatan atau
pelanggaran terkait hilang- nya mobil tersebut. Dengan demikian, maka gugatan
Peng- gugat sebenarnya belum waktunya untuk diajukan ka pengadilan
(prematur).
21. Bahwa berhubung gugatan Penggugat terbukti prematur, maka dengan ini
Tergugat mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini agar
berkenan menolak gugatan Penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Suan,
per- Gugatan. Penggugat Tidak Didukung Bukti-bukti.
22. Bahwa Penggugat dalam gugatannya tidak dapat membuktikan adanya
kejahatan ataupun kelalaian Tergugat yang menyebabkan hilangnya mobil
tersebut, karena Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa pencuri mobil atau
penyebab kehilangan mobil tersebut adalah Tergugat.
23. Bahwa suatu gugatan harus didasarkan pada bukti-bukti kuat. Sedangkan
kenyataannya bahwa gugata Penggugat justru tidak didasarkan pada bukti-bukti
yang kuat. Dengan démikian, tuntutan ganti kerugian yang

155
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat dalam perkara ini pun seharusnya
ditolak, Hal ini sesuai dengan pendirian Mahkamah Agung RI sebagaimana
ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. K/Sip/1983 tanggal 28
Mei 1979 yang menyatakan:
"Tuntutan Penggugat mengenai ganti kerugian karena tidak disertai bukti-bukti
harus ditolak"
24. Berdasarkan beberapa fakta hukum tersebut di atas, maka dengan ini
Tergugat mohon kepada Majelis Hakim memeriksa perkara ini agar berkenan
untuk menolak gugatan Penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan
Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvakelijke verklaard). Suek Gugatan
Penggugat Salah Alamat.
25. Bahwa berdasarkan Surat Tanda Penerimaan laporan/Peng- aduan terungkap
bahwa mobil tersebut hilang karena pencurian dengan pemberatan dan
pencurinya kini sedang dalam penyelidikan (Vide Bukti T-2), atas dasar Bukti
T-2 ini Penggugat sendiri yang telah membuktikan bahwa yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban untuk mengganti kerugian kepada Penggugat
adalah orang atau pihak yang telah melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian bagi Penggugat (Vide ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata), dalam hal
ini si pencuri mobil tersebut).
26. Bahwa dengan adanya kenyataan Penggugat justru meng- gugat Tergugat
yang notabene sampai saat ini tidak terbukti au setidak-tidaknya belum terbukti
berdasarkan suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap telah
melakukan kejahatan ataupun kelalaian yang menyebabkan hilangnya mobil
tersebut, maka telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa Penggugat
telah salah menggugat orang atau pihak dalam perkara ini, sebab seharus- nya
yang digugat dalam perkara ini adalah pencuri mobil

156
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Yang hilang tersebut,bukan tergugat.


27.Berdasarkan fakta hukum terscbut di atas, maka dengan ini Tergugat mohon
kepada Majelis Hakim agar berkenan menolak gugatan Penggugat atau setidak-
tidaknya nyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet yang hilang
tersebut, bukan Tergugat. me- ontvakelijke verklaard). Gugatan Penggugat
Obscuur Libel (tidak jelas dan kabur).
28. Bahwa dalam dalil butir 12 gugatan Penggugat tercantum Tergugat dan
Turut Tergugat. Ini berarti ada dua tergura dalam perkara ini yaitu Tergugat dan
Turut Tergugat Namun pada bagian Identitas pihak-pihak tidak dijelaskan siapa
yang dimaksudkan dengan Turut Tergugat tersebut Demikian pula pada petitum
tidak ada satu pun tuntutan (petitum) yang ditujukan kepada Turut Tergugat
tersebut. Jadi, terbukti sekali dalil-dalil gugatan Penggugat tidak konsisten
antara posita (fundalilentum petendi) dengan petitum. Fakta ini mengakibatkan
gugatan Penggugat men- jadi kabur, tidak jelas atau obscuur libel. Ada
keharusan bahwa posita (fundalilentum petendi) harus konsisten dengan
petitum, tampak dalam putusan Mahkamah Agung RI No.67 K/Sip/1975
tanggal 13 Mei 1975 yang menegaskan sebagai berikut:
"Bahwa karena petitum tidak sesuai dengan dalil-dalil gugatan (posita), maka
permohonan kasasi diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri di- batalkan".
Jadi, kalaupun Pengadilan Negeri maupun Pengadi Tinggi mengabulkan suatu
gugatan Penggugat yang nya nyata petitumnya tidak sesuai atau bertentangan
denge dalil-dalil gugatan dan kalau ternyata pihak yang mengajukan
permohonan kasasi, maka Mahkamah Agung dikalahkan RI akan mengabulkan
kasasi tersebut.

157
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Pendirian yang demikian ditegaskan kembali dalam putusan Mahkamah Agung


RI No.28 K/Sip/1973 tanggal 15 Nopember 1975, sebagai berikut:
"Karena Rechtsfeilen diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus
ditolak".
29. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka terbukti dengan sah dan
meyakinkan bahwa gugatan Penggugat kabur, tidak jelas atau obscuur libel.
Oleh karena itu, Tergugat mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa
perkara ator berkenan untuk menolak gugatan Penggugat atau setidak-tidaknya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard).
DALAM POKOK PERKARA:
Dalam Konvensi:
30. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil-dalil Penggugat kecuali dalil-
dalil yang diakui dangan tegas kebenarannya oleh Tergugat. 31. Bahwa dalil-
dalil yang dikemukakan oleh Tergugat dalam Eksepsi di atas mohon dianggap
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (integral) dengan dalil-dalil dalam
pokok perkara. Tanggapan terhadap dalil 1 gugatan
32. Bahwa Tergugat menolak dalil butir 1 gugatan Penggugat sebab dalil
tersebut sangat tidak relevan untuk di- kemukakan dalam perkara ini, Dimana
Tergugat tidak mempunyai hubungan hukum, baik dengan Penggugat (PT
Asuransi Takaful Umum) maupun dengan Mori Hanafi, SE, M.Comm. Oleh
karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
berkenan untuk menolak dalil butir 1 gugatan Penggugat tersebut.

158
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Tanggapan terhadap dalil 2 dan 3 gugatan


33. Bahwa Tergugat menolak dalil butir 2 dan 3 gugatan Penggugat karena
dalil-dalil tersebut tidak benar hanya mengada-ada dan tidak sesuai dengan
fakta yang sebenar- nya. Sebab, sesuai dengan Bukti T-2 tersebut di atas, yang
mengendarai mobil dan memarkirkan mobil serta melaporkan kehilangan mobil
tersebut di Polsek Taman Sari adalah Saputra Halim dan bukan Drs. H. Marwan
SaridJo.
Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Haki yang memeriksa perkara ini
berkenan untuk menel dalil butir 2 dan 3 gugatan Penggugat tersebut. Doktrin
Subrogasi, Novasi, & Cessie Tanggapan terhadap dalil 4 gugatan
34. Bahwa Tergugat menolak dalil butir 4 gugatan Penggugat karena dalil
tersebut juga tidak benar hanya mengada- ada dan tidak sesuai dengan fakta
hukum yang sebenarmya Sebab, Penggugat mendalilkan bahwa Drs. H. Marwan
Saridjo telah melaporkan kehilangan mobil tersebut kepada petugas parkir dan
selanjutnya secara bersama- sama mereka melaporkan peristiwa kehilangan
mobil tersebut kepada polisi di Polsek Metro Taman Sari, sedang- kan fakta
hukum yang sebenarnya terbukti dari Surat tanda Penerimaan
Laporan/pengaduan diterbitkan oleh Polsek Metro Taman Sari tidak tercantum
nama Drs. yang H. Marwan Saridjo sebagai pelapor sebagaimana didalilkan
oleh Penggugat. Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini berkenan untuk menolak dalil butir 4 gugatan Penggugat
tersebut.
Tanggapan terhadap dalil 5 gugatan
35. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 5 gugatan Penggugat
karena dalil tersebut tidak sesuai dengan fakts 091

159
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang sebenarnya, Laporan Pengaduan diterbitkan oleh Polsek Metro Taman Sari
tidak tercantum pengakuan karyawan tergugat akan kelalaiannya dalam
menjalankan tugas yang menyebabkan mobil tersebut hilang.
oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak dalil butir 5 gugatan Penggugat tersebut.
Tanggapan terhadap dalil 6 gugatan
36. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 6 gugatan Penggugat
sebab dalil penggugat tersebut tidak sesuai dengan fakta hukum sebenarnya.
Dalam butir 6 tersebut. Penggugat mendalilkan bahwa Penggugat telah
membayar sebesar Rp 582.300.000,- (lima ratus delapan puluh dua juta tiga
ratus ribu rupiah) kepada Mori Hanafi, SE, M.Comm, dengan menunjukkan
Bukti P-4. Namun dalam Bukti P-4 tersebut, penerima uang sebesar Rp 582.300
.000,- (Iima ratus delapan puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah) adalah PT Catur
Mitrajaya Wisata, dan bukan Mori Hanafi. SE, M.Comm. gugatannya
37. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 7 gugatan Penggugat.
Sebab, tidak terbukti Penggugat mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat
yang memungkinkan Penggugat untuk menuntut pemenuhan suatu hak terhadap
Tergugat. Adapun hak yang didalilkan oleh Penggugat berdasarkan ketentuan
Pasal 284 KUHD adalah hak yang belum jelas, belum nyata, belum konkret,
dan masih harus dibuktikan. Hal itu tampak jelas dari kata-kata:
“…..semua hak yang sekiranya dimiliki oleh lertanggung terhadap pihak
ketiga….”
Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak dalil butir 7 gugatan Penggugat tersebut.

160
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Tanggapan terhadap dalil 8 gugatan


38. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 8 gugatan Penggugat.
Sebab, tidak terbukti atau belum terbukti adanya kelalaian karyawan tergugat
yang menyebabkan hilangnya mobil tersebut. Pembuktian ada atau tidak adanya
kelalaian dimaksud sedang dalam penyelidikan polisi sebagaimana terbukti dari
Surat Tanda Penerimaan laporan/pengaduan yang diterbitkan Polsek Metro
Taman Sari tersebut di atas (Vide Bukti T-2). Oleh karena itu, Tergugat mohon
agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk menolak dalil
butir 8 gugatan Penggugat tersebut. Tanggapan terhadap dalil 9 gugatan
39. Bahwa benar Tergugat menolak untuk memberikan kompensasi penggantian
atas hilangnya mobil tersebut. karena hilangnya mobil tersebut bukan
disebabkan oleh kelalaian Tergugat. Bukan pula karena kelalaian karyawan
Tergugat.
40. Bahwa penyebab hilangnya mobil justru karena pencurian dengan
pemberatan sebagaimana diakui oleh Saputra Halim yang mengendarai dan
memarkirkan mobil tersebut. Pengakuan demikian disampaikan secara langsung
oleh Saputra Halim di hadapan Polsek Metro Taman Sari sebagaimana terbukti
dari Surat Tanda Penerimaan lapor- an/ Pengaduan yang diterbitkan Polsek
Metro Taman Sari tersebut di atas (Vide Bukti T-2). Dengan demikian, pen-
curi yang kini sedang dalam penyelidikan polisi itula yang seharusnya
bertanggung jawab bukan Tergugal.
41. Bahwa sejak semula sebenarnya Penggugat sebenarnye sudah mengetahui
bahwa Tergugat tidak bertanggung jawab atas hilangnya kendaraan. Begitu pun
kalau ternyata rusaknya kendaraan tersebut selama berada di petak parkir,
bukan merupakan tanggung jawab Tergugat.

161
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Sebab, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Peraturan Daerah
DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran yang berbunyi sebagai
berikut: Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam
kendaraam atau rusaknya kendaraan selama berada di Petak Parkir, merupakan
tanggung jawab pemakai tempat parkir",
42.Bahwa ketentuan dalam Peraturan Daerah tersebut, ditegaskan pula pada
Karcis Parkir (Tiket Parkir) maupun pada papan yang terpancang di depan pintu
masuk area parkir, yang berbunyi sebagai berikut: "Pihak pengelola (parkir)
tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan. Kerusakan, kecelakaan atas
kendaraan atauptun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan
dan atau yang menimpa orang yang menggunakan areal parkir pihak pengelola
(parkir)".
43. Bahwa tindakan pengendara mobil dalam perkara ini yang tetap
memarkirkan kendaraannya di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat adalah
implied consent artinya persetujuan secara diam-diam dan merupakan bukti
yang kuat bahwa pengendara mobil tersebut telah secara diam- diam
menyatakan konfirmasi persetujuannya serta tunduk pada ketentuan-ketentuan
yang ada dalam karcis parkir tersebut yang diterimanya dari karyawan
Tergugat. Sebab kalau benar si pengendara mobil tersebut tidak setuju dengan
ketentuan tersebut maka pengendara mobil ter- Sebut pasti tidak akan masuk
dan memarkirkan mobilnya pada areal parkir yang dikelola Tergugat tersebut.
Secara hukum, dimungkinkan bagi setiap orang atau dap pihak untuk
memberikan konfirmasi persetujuan atas suatu ketentuan yang mengikatnya,
baik secara tegas ataupun secara diam-diam. Hal tersebut daput ditafsirkan dari
ketentuan Pasal 1327 KUH Perdata, yang berbunyi Sebagai berikut:

162
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

“…….persetujuan tersebut dikuatkan, baik secara dinyata. kan dengan tegas,


maupun secara diam-diam….”

Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak dalil butir 9 gugatan Penggugat tersebut.

Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak dalil butir 9 gugatan Penggugat tersebut.

Tanggapan terhadap dalil 10 gugatan


44. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 10 gugatan penggugat.
Sebab Tergugat tidak terbukti atau belum terbukti telah melakukan kelalaian
atau ke- sembronoan sebagaimana didalilkan Penggugat. Lagi pula ketentuan
dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999
tersebut, bukanlah ketentuan hukum yang berdiri sendiri, akan tetapi
mempunyai dasar pembenarnya pada ketentuan hukum yang lebih tinggi, dalam
hal ini ketentuan Pasal 1711 KUH Perdata, yang berbunyi:
"Mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian- pencurian yang dilakukan
dengan kekerasan,…..”

Dengan kata lain, bahwa Tergugat selaku pengelola parkir dapat membatasi
tanggung jawabnya terhadap hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang tidak dapat
disingkiri, (Vida ketentuan Pasal 1708 KUH Perdata), yaitu kejadian- kejadian
atau peristiwa-peristiwa. Yang tidak sengaja atau tidak dapat diduga, atau
lazimnya dalam bahasa Hukum disebut "keadaan memaksa" atau "overmacht"
atau Joite

Adanya "keadaan memaksa" atau "overmacht atau force majeur' tersebut adalah
sesuai dengan pengakuan Saputra Halim di depan Polsek Metro Taman Sari
bahwa mobil

163
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tersebut hilang karena pencurian dengan pemberatan (Vide Bukti T-2 berupa
Surat tanda Penerimaan laporan/ Pengaduan yang diterbitkan Polsek Metro
Taman Sari), Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini berkenan untuk menolak uri butir 10 gugatan Penggugat
tersebut.

Tanggapan terhadap dalil 12 gugatan

45. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 11 gugatan Penggugat.
Sebab, secara hukum Penggugat selaku Penanggung dalam suatu asuransi atau
pertang- qungan wajib untuk memberikan penggantian kepada tertanggung. Hal
ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.2 Tahun
2002 tentang Usaha Perasuransian, yang berbunyi:
"Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dangan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilang- an keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan".

Dari ketentuan Pasal tersebut jelas sekali bahwa dari per- Janjian asuransi ini
Penggugat selaku Penanggung telah menikmati premi asuransi dari
Tertanggung. Tidak ada pihak lain yang ikut menikmati premi asuransi tersebut.
tersebut karena Tergugat bukan pihak dalam perjanjian asuransi tersebut.
Demikian dalam hal tertanggung mengalami suatu

164
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

peristiwa yang tidak pasti (misalnya kehilangan) maka Penggugat selaku


penanggung wajih untuk menberikan penggantian kepada Tertanggung.

Kewajiban Penggugat untuk nemberikan pengganti kepada Tertanggung


tersebut tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain (misalnya kepada Tergugat)
sebab Ter gugat tidak pernah ikut menikmati premi asuransi yang dibayar oleh
Tertanggung. Ini merupakan konsekuensi hukum dari keberadaan tergugat yang
bukan merupakan pihak dalam perjanjian Asuransi tersebut.

Oleh karena itu, Tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak dalil butir 11-12 gugatan Penggugat tersebut.

Tanggapan terhadap dalil 13 gugatan

46. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 13 gugatan Penggugat
yang menuntut Tergugat mengganti kerugian sebesar Rp 582.300.000,- (lima
ratus delapan puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah) ditambah bunga 2% per
bulan. Sebab, Tergugat dan Penggugat tidak terikat dalam suatu perjanjian yang
memperjanjikan adanya bunga 2% per bulan tersebut. Lagi pula, perkara ini
bukan merupakan sengketa mengenai pinjam-meminjam uang.

Penolakan Targugat tarsebut di atas didasarkan pada pen- dirian Mahkamah


Agung No.3726 K/Pdtl/1985 tanggal 30 Juni 1987 yang menegaskan sebagai
berikut:

"Bahwa mengenai bunga tidak diperjanjikan dan perkara ini bukan mengenai
pinjam-meminjam uang yang menurut yurisprudensi, terhadap uang yang bukan
merupakan perjanjian pinjam-meminjam, tidak dikenakan bunga (Putusan
Mahkamah Agung No. 939 K/Sip/1976 tertanggal 24 Februari 1976)"

Oleh karena itu, tergugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini berkenan untuk menolak 991

165
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dalil butir 13 gugatan Penggugat tersebut.

Tanggapan terhadap dalil 14-15 Gugatan

47. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 14 gugatan Penggugat.
Sebab permohonan sita jaminan yang diajukan oleh Penggugat tidak memenuhi
syarat hukun atau tidak beralasan sama sekali. Lagi pula. Penggugat tidak
mempunyai bukti yang kuat bahwa Tergugat akan melarikan diri dari tanggung
jawabnya apalagi meng- ackan harta kekayaannya. Buktinya bahwa justru mem-
halas semua surat teguran (somasi) yang diadakan oleh Penggugat.

Lagi pula sesuai Yurisprudensi MA RI NO. 121 KSip/ 1971 tanggal 15 April
1872, telah ditegaskan syarat untuk mengajukan sita jaminan (conservatoir
beslag), yaitu: Apabila Penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa ada
kekhawatiran Tergugat akan mengasingkan barang- barangnya, maka sita
jaminan tidak dilakukan"

48. Bahwa di samping ada bukti-bukti kuat permohonan sita jaminan


(conservatoir beslag) juga harus memenuhi syarat- syarat dan ketentuan-
ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 5
Tahun 1975 tanggal 1 Dasember 1975, yaitu antara lain: "Agar benda-benda
yang disita nilainya diperkirukan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang
yang menjadi sengketa). Jadi, seimbang dengan yang digugat. Di samping itu,
diisyaratkan juga agar lebih dulu dilakukan penyitaan atas benda-benda
bergerak dan baru diteruskan ke benda-benda tetap.jika-monurut perkiraan nilai
benda-benda bergerak itu tidak akan mencukup" Dengan memperhatikan syarat-
syarat sebagaimana tercant um dalam Surat Edaran tersebut, maka telah terbukti
dengan sah dan meyakinkan bahwa permohonan

166
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sita jaminan (conservatoir beslag) tersebut di Bias nyata nyata tidak memenuhi
syarat sebab:
a Terbukti balwa nilai gugatan Penggugat hanya sebesar delapan puluh
dua juta tiga ratus ribu rupiah), sedangkan nilai tanah dan bangunan serta
barang-barang bergerak yang terletak di dalam tanah dan bangunan tersebut
justru jauh Rp 582.300.000,- (lima ratus lebih besar dari nilai gugatan tersebut
b. Telah terbukti dengan sah dan meyakinkan babwa Penggugat justru
langsung mengajukan permohon an sita jaminan (consertatoir beslag) terhadap
benda benda tetap (tanah dan bangunan) sebelum ajukan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap benda-benda bergerak. Oleh karena itu, Tergugat
mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk
menalak dalil butir 14-15 gugatan Penggugat tersebut. Tanggapan terhadap dalil
15 gugatan

49. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil butir 16 gugatan Penggugat.
Sebab, meskipun seandainya pun gugatan penggugat tidak salah alamat,
permohonan putusan serta merta (uitroerbaar bij voorraad) yang di- ajukan olch
Penggugat dalam perkara ini tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.

50. Bahwa dari segi teknis beracara, dalan suatu gugatan, Penggugat tidak dapat
meminta sekaligus sita jaminan (conservatoir beslag) dalam pelaksanaan
putusan serta- merta (uitcoerbaar bij vooraad) kecuali apabila harga barang-
barang yang akan disita jauh lebih kecil dari nilai tuntutan Penggugat. Hal ini
sesuai dengan Instruksi Mahkamah Agung RI tanggal 13 Februari 1958 yang
berbunyi sebagai brikut:

167
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

“Agar hakim jangan secara mudah untuk memberikan putusan pelaksanaan


lebih dulu. Jika ada (permohonan) sita conservatoir, maka pernyataan
kemungkinan pe- laksanaan putusan "uitvoerbaar bij voorraad" hendaknya
hanya diadakan, jika harga barang-barang yang akan disita, tidak mencukupi
dan jika dibayangkan akan kemungkinan timbulnya kerugian yang sukar
diperbaiki bagi pihak terhadap siapa putusan "uitvoerbaar bij voorraad" akan
dijalankan".

51. Bahwa permintaan putusan serta-merta (uitvoerbaar bii poorraad)


sebagaimana diajukan oleh Penggugat, juga tidak memenuhi syarat-syarat
seperti yang tercantum dalam Pasal 180 HIR, yaitu:

a. Ada akta autentik atau akta di bawah tangan yang menurut undang-undang
mempunyai kekuatan bukti. a. Faktanya: Penggugat tidak dapat menunjukkan
akta autentik atau akta di bawah tangan yang bisa dijadikan bukti bahwa
Tergugat mempunyai kewajiban terhadap penggugat dalam perkara ini.

b. Ada putusan yang mempunyai kekuatan pasti (In kracht van gewijsde).
faktanya : Penggugat tidak dapat menunjukkan adanya putusan pengadilan
bahwa tergugat telah melakukan kelalaian yang merugi- kanPenggugat.

C. Ada berkekuatan hukum tetap Juek gugatan provisional yang dikabulkan.


faktanya: Sampai saat ini belum ada putusan pro- visional yang dikabulkan oleh
hakim yang dapat di- jadikan sebagai dasar hukum bagi Penggugat untuk
mengajukan putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad) dalam perkara ini.
Permohonan hak kepemilikan. putusan serta-merta hanya mengenai hak
kepemilikan

168
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Faktanma Perkara ini tidak menyangkut hak kepemilikan (bezitarecht)

Berdasarkan kwempat fakta tersebut di atas, maka mohonan putusan serta-inerta


(uitvoerbaar bij toorraad) yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara terbukti
tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

52. Bahwa kalaupun syarat-syarat sebagaimana tercantu dalam Pasal 180 HIR
tersebut telah terpenuhi, Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran No. 3
Tahun 2000 yang memberikan sikap yang limitatif kepada Hakim Pen adilan
Negeri untuk menjatuhkan putusan serta-merta (uitcoerbaar bij voorraad),
kecuali dalam hal-hal beriku :
A. Gugatan didasarkan atas bukti yang autentik atau surat tulisan tangan
(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dari tanda tangannya,
yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
Faktanya: penggugat tidak dapat membuktikan adanya surat autentik atau
tulisan tangan (handschrift) yang menunjukkan bahwa Tergugat mempunyai
hubungan hukum dengan Penggugat. Atau setidak-tidaknya ada bukti tertulis
yang menunjukkan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum yang merugi- kan Penggugat.

b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak
dibantah. Faktanya: Gugatan Penggugat bukan tentang utang piutang yang
jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. Dengan demikian permohonan
putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad) terselbut tidak memen syarat.

C. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah. gudang, dan lain-lain, di


mana bubungan sewa-me-

169
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

nyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya


sebagai penyewa yang ber- itikad baik. Faktanya: Tidak terbukti bahwa gugatan
Penggugat dalam perkara ini adalah mengenai sewa-menyewa tanah, rumah,
gudang, dan lain-lain.

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini)


setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
faktanya: Tidak terbukti bahwa gugatan Penggugat dalam perkara ini adalah
mengenai tuntutan pem- bagian harta perkawinan (gono-gini).

e. Dikabulkannya gugatan provisional, dengan per- timbangan hukum yang


tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.
Faktanya: Tidak ada atau belum ada gugatan provisional yang dikabulkan
sebagai dasar bagi Penggugat untuk mengajukan permohonan putusan serta-
merta (uitvoerbaar bij voorraad) dalam perkara ini. telah I Gugatan berdasarkan
putusan yang kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mempunyai
hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan. mempunyai
Faktanya: Tidak ada atau belum ada putusan yang elah mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht ban gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok
gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

g. Pokok sengketa mengenai bezitrecht. Faktanya: Tidak terbukti bahwa


gugatan Penggugat dalam perkara ini adalah menyangkut hak kepemilikan
(bezitrecht).

170
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dengan tidak terpenuhinya ketujuh syarat tersebut de atas, maka permohonan


putusan serta-merta (uitvoerbaar bij vorraad) yang diajukan oleh Penggugat
dalam perkara ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat hukum. Oleh karena telah
terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa permohonan putusan serta-merta
(uitvoerbaar bij vorraad) tersebut tidak memenuhi maka Tergugat mohon agar
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk menolak dalil butir
16 Penggugat tersebut. syarat-syarat yuridis, gugatan ,prnggugat tersebut

DALAM REKONVENSI

53. Bahwa Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi mohon dalil-dalil telah


dikemukakan dalam konvensi agar dianggap merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan (integral) dengan dalil-dalil yang dikemukakan dalam yang
rekonvensi ini.

54. Bahwa Penggugat Konvensi Tergugat Rekonvensi dalam gugatannya tidak


dapat membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan Tergugat
Konvensi/Penggugat Konvensi yang menyebabkan hilangnya mobil yang
menjadi objek dalam perkara ini. Dengan demikian, orang atau pihak yang
sebenarnya telah melakukan kelalaian atau ke- cerobohan yang mengakibatkan
hilangnya mobil tersebut adalah justru si pengendara mobil tersebut.

55. Bahwa si pengendara mobil tersebut sebenarnya sudan mengetahui adanya


aturan standard sebagaimana yang terpampang di pintu masuk area parkir, pada
tiket atau karcis parkir maupun pada Pasal 3 Perjanjian Parkir Ber- langganan
yang menegaskan: "Pengelola parkir (baca : Tergugat Konvensi Renggugat
Rekonvensi) tidak bertanggung jauwab dan kehilangan kendaraan (sepeda atas
kerusakan motor dan mobil)

171
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang dikelola oleh Pengelola Parkir (baca: Tergugat Konvensi/Penggugat


Rekonvensi)".

56. Bahwa oleh karena itu sebenarnya Penggugat Konvensi/ Tergugat


Rekonvensi tidak mempunyai dasar hukum sedikit pun untuk menggugat
Tergugat Konvensi I Peng- Rekonvensi. Sebab adanya bukti Pengendara mobil
dengan tetap memarkirkan mobilnya di areal parkir tersebut maka secara hukum
Pengendara mobil setuju mengakui dan tunduk pada ketentuan parkir tersebut.
Hal tersebut sesuai pula dengan ketentuan Pasal 36 avat (2) Peraturan Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran yang berbunyi
sebagai berikut:

"Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam


kendaraan atau rusaknya kendaraan selama benda di petak parkir, merupakan
tanggung jawab pemakai tempat parkir"

57. Bahwa atas kelhilangan mobil tersebut pengendara mobil, melalui


pemiliknya yang memiliki polis asuransi atas kendaraan tersebut telah
menerima ganti rugi dari Peng- gugat Konvensi I Tergugat Rekonvensi, namun
malahan melemparkan tanggung jawab pembayaran asuransi polis mobil
tersebut kepada Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi bahkan Tergugat
Konvensi/Penggugat Re- justru digugat ke pengadilan. Perbuatan Peng-
konvensi Bugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi justru digugat ke pengadilan.
Perbuatan Penggugat Konvensi I Tergugat Rekonvensi tersebut jelas sangat
merugikan Tergugat Kon- I Penggugat Rekonvensi sehingga dikategorikan
velvagai perbuatan melawan hukum.

58. Bahwa dengan diajukannya gugatan perdata oleh Peng- gugat


Konvensi/Tergugat Rekonvensi terhadap Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi, maka Tergugat Konvensi/ 173

172
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Penggugat Rekonvensi aklirnya terpaksa mengeluarkan biaya-biaya pengurusan


perkara guna menghadapi gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi
tersebut, yaitu sebesar RP. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Di samping
kerugian materiil tersebut, Tergugat Konvensi/ Penggugat Rekonvensi juga
mengalami kerugian imateril yang memang tidak dapat dinilai karena berupa
kerugian immateriil, sehingga untuk itu Tergugat Rekovensi/ Penggugat
Rekonvensi mengkompensasikan kerugian tersebut di atas sebagai kerugian
immateriil sebasar Bn 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) yang harus di-
bayarkan secara tunai dan sekaligus oleh Penggugat Kon- vensi I Tergugat
Rekonvensi kepada Tergugat Konvensi/ Penggugat Rekonvensi pada saat
perkara ini diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

59. Bahwa Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi mem- punyai sangkaan


atau dugaan yang beralasan bahwa Peng- gugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi
akan mengalihkan, memindahkan atau mengasingkan harta kekayaannya (baik
benda bergerak maupun benda tetap) guna meng- hindarkan diri dari
kewajibannya terhadap Tergugat Kon- vensi/Penggugat Rekonvensi.

60, Bahwa untuk menjamin pelaksanaan atas putusan atas gugatan rekonvensi
dalam perkara ini di kemudian hari, maka Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi mohon agar sudi kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan
untuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) ter hadap harta benda
bergerak maupun harta benda tidak bergerak milik TERGUGAT
REKONVENSI dan jumlahnya akan diperincikan dalam surat per mohonan sita
jaminan yang akan diajukan ke Pengadilan yang letak Negeri Jakarta Pusat
secara terpisah dari rekonvensi ini.

Berdasarkan hal-hal alasan-alasan dan fakta-fakta

173
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

sebagaimana telah diuraian di atas maka dengan ini. Tergugat


Konvensi/Penggugat Rekonvensi mohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini, agar untuk menjatuhkan putusan dalam perkara ini
sebagai berkenan berikut:

DALAM EKSEPSI
1.Menerima Eksepsi Tergugat secara keseluruhan
2.Menolak gugatan Penggugat secara keseluruhan atau tidal setidak-tidaknya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard)

DALAM POKOK PERKARA: DALAM KONVENSI:


1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekon- vensi secara
keseluruhan atau setidak-tidaknya menyata- kan gugatan Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak dapat diterima (niet onttankelijke
verklaard).
2. Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar
segala biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

DALAM REKONVENSI:
1.Menerima gugatan rekonvensi dari Tergugat Konvensi/ Penggugat
Rekonvensi secara keseluruhan.
2.Menyatakan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi telah melakukan
perbuatan melawan hukum yang me- rugikan Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi.
3. Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar
ganti kerugian materiil sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
kerugian immateriil Rp 1.000.000,000,- (satu miliar rupiah) kepada 175

174
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi secara tunai dan sekaligus mengajak


Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan putusan dalam
perkara ini,

4. Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conser- vatolr beslag) yang
diajukan oleh Tergugat Konvensi/ Penggugat Rekonvensi terhadap seluruh harta
benda Peng- gugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi.

5. Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar


segala biaya perkara yang perkara ini. Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie
tímbul dalam

Atau, apabila Majelis Hakim berpendapat lain, er aequo ot bono, mohon


putusan yang seadil-adilnya;--------
Menimbang, bahwa atas jawaban Tergugat dalam Konvensi/Penggugat
dalam Rekonvensi tersebut, Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam
Rekonvensi menanggapi- nya dengan Replik secara tertulis pada hari
persidangan tanggal 3 Desember 2003 sebagaimana tercatat secara lengkap dan
jelas dalam berita acara pemeriksaan perkara ini; -----
Menimbang, bahwa atas Replik Penggugat dalam Konvensi/Tergugat
dalam Rekovensi tersebut, Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi menanggapi nya dengan Duplik secara tertulis, yang disampaikan
paua hari persidangan tanggal 10 Desember 2003 sebagaimana tercatat secara
lengkap dan jelas dalam berita acara pe meriksaan perkara ini; -----------
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya tersebut,
Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi mengajukan alat bukti
tertulis berupa:

175
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

1.Fotokopi Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) mobil Toyota Land


Cruiser VXR No. Pol. B 8840 ME. No. Rangka/Mesin MHF 11
TJ8009004307/HD-0191474 atas nama Drs. H. Marwan Saridjo (Bukti Pl),

2. Fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Land Cruiser VXR No.
Pol. B 8840 ME No. Rangka/Mesin MHF IITJ8009004307/1HD-0191474 atas
nama Drs. H. Marwan Saridjo (Bukti P-2).

3. Fotokopi Polis Asuransi Nomor 302.01.1230.2000 yang dterbitkan Penggugat


dalam konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi kepada Tertanggung PT Catur
Mitra Wisata 00 Drs. Marwan Saridjo tertanggal 6 Desember 2001, Polis ini
berlaku tanggal 3 Desember 2001 sampai dengan 3 Desember 2002 (Bukti P-3).

4. Fotokopi Surat Subrogasi tertanggal 10 Maret 2003, dari Mori Hanafi,


SE.M.Comm.(Bukti P-4).

5. Fotokopi karcis tanda masuk areal parkir di Glodok Plaza, tanggal 30 Januari
2002, pukul 12.26.17 WIB yang dikelola Tergugat (Bukti P-5).

6. Fotokopi Aplikasi transfer uang sebesar Rp 582.300.000 (lima ratus delapan


puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah), tertanggal 8 April 2003 dari Penggugat
kepada PT Catur Wisata selaku Tertanggung atas klaim hilangnya mobil Toyota
Land Cruiser VXR No.Pol. B. 8840 ME di areal parkir Glodok Plaza yang
dikelola Tergugat (Bukti P-6).

7.Fotokopi Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan No. Pol.:


040/K/2002/Tmn.S, tanggal 30 Januari 2002 Jang diterbitkan oleh Polsek Metro
Taman Sari Jakarta Barat atas laporan Saputra Halim (Bukti P-7).

8. Fotokopi Surat Keterangan Kehilangan Kendaraan Bermotor No. Pol:


Sket/4576/XI/2002 tanggal 19 Nopember g diterbitkan oleh Polda Metro Jaya
atas mobil Toyota Land Cruiser No. Pol. B 8840 ME atas nama 2002

176
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Marwan Saridjo yang hilang di perparkiran Glodok Plaza Kelurahan Mangga


Besar, Kecamatan Taman Sari, Jakar Barat (Bukti P-8);_____

Menimbang, bahwa selain alat bukti tertulis tersebut, Penggugat dalam


Konvensi/Tergugat dalam Rekonvenei mengajukan pula 4 (empat) orang saksi,
yang masing- masing memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:

SAKSI 1. ZURAIDIANSYAH:

Bahwa saksi memberikan keterangan di luar sumpah; -

Bahwa saksi sebagai karyawan PT Asuransi Takaful Umum. yang menangani


klaim asuransi Sdr. Mori Hanafi, terkait dengan telah hilangnya sebuah mobil
Land Cruiser Nomor Polisi B. 8840 ME di areal parkir Glodok Plaza; - B

ahwa mobil tersebut diasuransikan dengan nilai tanggungan sejumlah Rp


700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah), adapun risiko yang ditanggung
meliputi kehilangan dan kerusakan yang mencapai 75%;-

Bahwa adapun syarat yang harus dipenuhi pada saat mengajukan klaim asuransi
antara lain:
>Bukti pengaduan dari kepolisian.
>Bukti asuransi.
>BPKB dan STNK.
>Surat Subrogasi yang dibuat oleh Tertanggung:-

Bahwa atas klaim asuransi Sdr. Mori Hanafi tersebut, pihak PT Asuransi
Takaful Umum telah membayarnya sejumlah Rp 582.300.000,00 (lima ratus
delapan puluh

177
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dua juta tiga ratus ribu rupiah); -

Bahwa setelah dilakukan pembayaran ganti rugi maka penanggung menerima


dari Tergugat segala hak yang diperoleh dari pihak ketiga, dengan cara
menyerahkan surat Subrogasi;

SAKSI II. SUHERMAN:


Bahwaa saksi memberikan keterangan di luar sumpalı;

Bahwa saksi bekerja pada PT Asuransi Takaful Umum Divisi Teknik Klaim,
dengan tugas menerima laporan klaim, menindaklanjuti laporan;-

Adapun pengertian menindaklanjuti adalah melakukan cek awal, klarifikasi


polis, dan sebagainya;

Bahwa terkait dengan Sdr. Mori Hanafi, ia mengajukan klaim kepada PT


Asuransi Takaful Umum, sehubungan dengan hilangnya sebuah mobil Land
Cruiser No. Pol. B. 8540 ME di areal parkir Glodok Plaza;

Bahwa mobil Land Cruiser tersebut memang di- asuransikan dengan total nilai
pertanggungan Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah), untuk jenis
Rerugian kchilangan dan kerusakan yang mencapai 75%;

Bahwa dalam upaya mengajukan klaim kepada PT Asuransi Takaful Umum,


Mori Hanafi melengkapinya dengan ber- bagai dokumen dan kelengkapan
administrasi lainnya; -

Bahwa dalam a dengan berbagai pihak termasuk diantaranya dengan petugas


parkir di Glodok Plaza; Bahwa dalam klarifikasi, saksi melakukan kegiatan wa-
wancara -Dari hasil wawancara dengan petugas parkir

178
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

diakui bahwa pada tanggal 30 Januari 2002 telah terjadi pencurian atas sebuah
mobil Land Cruiser di perparkiran Glodok Plaza;

SAKSI III. VITRA WIRADHAMA RAMILY:

Bahwa saksi memberikan keterangan di bawah sumpah;

Bahwa Mori Hanafi telah mengajukan klaim pembayaran asuransi atas


hilangnya sebuah mobil Land Cruiser di areal parkir Glodok Plaza, yang
peristiwanya terjadi pada akhir Januari 2002; saat itu mobil tengah disewa oleh
Saputra Halim;---

Bahwa mobil Land Cruiser tersebut diasuransikan pada PT Asuransi Takaful


Umum dengan nilai pertanggungan sejumlah Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus
juta rupíah); Bahwa pada akhirnya PT Asuransi Takaful Umum membayar ganti
kerugian kepada Mori Hanafi sejumlah Rp 582.300.000,00 (lima ratus delapan
puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah);

Bahwa adapun yang díasuransikan atas mobil Land Cruiser dengan nomor polisi
B. 8840 ME meliputi kehilangan dan kerusakan yang mencapai 75%; SAKSI
IV. MORI HANAFI. SE., M.COMM:

Bahwa saksi adalah pemilik mobil Land Cruiser dengan nomor polisi B. 8840
ME; Bahwa atas mobil tersebut saksi asuransikan pada Asúransi Takaful Umum
sejak tahun 2001 dengan pertanggungan sejumlah Rp 700.000.000,00 (tujun
juta rupiah);-

Bahwa adapun jenís pertanggungannya adalah total lost

179
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

only, yang meliputi kehilangan maupun kerusakan yang mencapai 75%;--.

Bahwa mobil tersebut adalah milik pribadi saksi dan direntalkan tergabung
dalam PT Catur Mitra Jaya Wisata; Bahwa pada tanggal 30 Januari 2002 mobil
Land Cruiser torsebut hilang di areal perparkiran Glodok Plaza, ketika mobil
tersebut tengah disewa oleh Saputra Halim;

Bahwa atas hilangnya mobil tersebut kemudian dilaporkan kepada pihak


kepolisian, atas dasar Laporan Kehilangan dari Kepolisian disertai dengan
bukti-bukti yang lain seperti polis asuransi dan sebagainya, saksi mengajukan
klaim kepada PT Asuransi Takaful Umum sebagai pe- nanggung; ---

Bahwa atas klaim tersebut tertanggung mengabulkannya dan saksi memperoleh


total pembayaran sejumlah Rp 582.300.000,00 (lima ratus delapan puluh dua
juta tiga ratus ribu rupiah);

Bahwa setelah memperoleh pembayaran tersebut, saksi kemudian menyerahkan


hak subrogasi kepada PT Asuransi Takaful Umum untuk melakukan penagihan
terhadap pihak ketiga;--

Menimbang, bahwa sementara itu untuk mematalıkan -dalil gugatan


Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi tersebut, pada
kesempatan yang di- berikan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekon- vensi mengajukan alat bukti tertulis sebagai berikut:
1. MORI HANAFI. SE., M. Comm, tertanggal 10 Maret 2003 (Bukti T-I).
2. Fotokopi Laporan Polisi No. Pol. K/XI/2002/Tmn, S.

180
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

tanggal 10 Januari 2002 tertulis Saputra Halim sebagai

3. Fotokopi Hlarian Umunm Kompas, tanggal 20 Maret 2003 "Pencurian di


Mabes Polri, seorang ditangkap": dan tanggal 13 November 2003 dalam kolom
Redaksi Yth "Parkir mobil di Plaza Bapindo" (Bukti T-3).

4. Fotokopi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran


Klhusus Ibu kota Jakarta (Bukti T -4); ---
Menimbang, bahwa selanjutnya terjadilah hal-hal se bagaimana disebut
dalam berita acara pemeriksaan per kara ini, yang untuk singkatnya
keseluruhannya diambil alih dan dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari rangkaian pertimbangan putusan ini:---
Menimbang, bahwa kedua belah pihak menyatakan tidak akan
mengajukan sesuatu hal apa pun lagi, terkecuali pada hari persidangan tanggal
15 Januari 2004, masing- masing pihak mengajukan Kesimpulan secara tertulis,
yang kesemuanya tercatat secara lengkap dan jelas dalam berita acara
pemeriksaan perkara ini.

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA: DALAM KONVENSI:


DALAM EKSEPSI:

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Peng gugat dalam Konvensi
Tergugat dalam Rekonvensi adalah sebagaimana diuraikan di atas; Menimbang,
bahwa atas gugatan Penggugat C Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi
tersebut, Tergugal dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi mengajukan
eksepsi sebagai berikut.

181
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

I.Penggugat tidak mempunyai kapasitas hukum untuk bertindak sebagai pihak


dalam perkara ini (Exceptio non legitima persomae standi in judicio).
Bahwa gugatan ini diajukan semata-mata berdasarkan Surat Kuasa Subrogasi
dari MORI HANAFI, SE., M, Comm, tertanggal 10 Maret 2003-

Bahwa menurut ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. Putusan Malhhkamah
Agung RI tanggal 9 Desember 1970 Nomor 296 K/Sip/1970, ditegaskan bahwa
kalau aikehendaki, pihak-pihak yang beperkara boleh dibantu atau diwakili oleh
seorang kuasa, yang untuk maksud i, harus dikuasakan dengan surat kuasa
khusus artinya surat kuasa ini hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu,
misalnya daļam perkara perdata harus jelas disebut antara A sebagai Penggugat
dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang
tertentu dan sebagainya;

II. Gugatan Penggugat tidak mempunyai dasar hukum, kurang pihak dan
prematur. Bahwa antara Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam
Rekonvensi dengan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi
tidak ada hubungan hukum apa pun, karena itu sesuai dengan putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 7 Juli 1971 Nomor 294 K/Sip/1971 jo. tanggal 28
Mei 1998 Nomor 2961 K/PD/1993, gugatan tersebut tidak mempunyai dasar
hukum sama sekali; Bahwa dalam posita gugatannya, Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi menyatakan mobil Land Cruiser B 8340
ME tersebut hilang sewaktu di- kemudikan oleh Saputra Halim, seharusnya
yang ber gkutan turut serta digugat dalam perkara ini : ---

182
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa lebih dari itu, atas kehilangan mobil Land Cruise B 8840 ME di areal
parkir Glodok Plaza, telah dilaporkan kepada pihak kepolisian atas dasar
"Pencurian dengan pemberatan". Seharusnyalah perkara pidana diselesaikan
terlebih dahulu, sebagai dasar atas penyelesaian perkara perdata (Pasal 1918
KUH Perdata);

III. Gugatan Penggugat tidak didukung bukti-bukti, salah alamat dan Obscuur
Libel (tidak jelas dan kabur): Bahwa dalam posita gugatannya, Penggugat
dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi sama sekali tidak dapat
membuktikan tentang kesalahan/kelalaian Tergugat dalam Konvensi/Penggugat
dalam Rekonvensi; dan pula pencuri mobil tersebut hingga saat ini belum
berhasil ditangkap;

Bahwa dalam posita gugatannya Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam


konvensi menyebutkan adanya Tergugat dan Turut Tergugat; akan tetapi tidak
dijelaskan dan bagaimana posisi Turut Tergugat dan apa tuntutan terhadapnya;-

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut maka Tergugat dalam


Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi mohon agar kiranya majelis Hakim
menyatakan menolak gugutan Peng- gugat dalam Konvensi/Tergugat dalam
Rekonvensi untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak
dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard); -

Menimbang bahwa atas materi eksepsi Tergugat dalam Konvensi/Penggugat


dalam Rekonvensi tersebut, Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam
Rekonvensi menanggapi- nya sebagai berikut ini:

183
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Tentang Penggugat dalam Konvensi tidak mempunyai hukum sebagai pihak


dalam perkara ini:

Bahwa Surat Kuasa Subrogasi yang menjadi dasar hukum Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi mengajukan gugatan ini ke pengadilan
telah bersifat khusus, sebab dalam surat kuasa dimaksud telah dican- tumkan
permasalahan objek perkara yaitu mengajukan upaya penagihan secara
subrogasi atas hilangnya kendaraan bermotor mobil Toyota Land Cruiser VXR
No. Pol. B 8840 ME di areal parkir yang dikelola dan menjadi tanggung jawab
Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi.

Tentang gugatan penggugat dalam Konvensi tidak mempunyai dasar hukum:


Bahwa MORI HANAFI, SE., M.Comm selaku pemilik dan kehilangan atas
mobil Toyota Land Cruiser VXR No. Pol. B 8840 ME, dalam kedudukan selaku
Tertanggung atas pemegang polis asuransi pada PT Asuransi Takaful Umum
Nomor. 302.01.1230.200 telah mengajukan klaim kepada Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi sebagai Penanggung. Klaim tersebut
telah dikabulkan Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi telah
membayarkannya sejumlah Rp 582.300.000,00 (lima ratus delapan puluh dua
juta tiga ratus ribu rupiah);-

Bahwa setelah dibayarkannya klaim tersebut Sdr. MORI HANAFI, memberikan


surat subrogasi kepada Penggugat dalam konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 284 KUHD. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka Penggugat dalam Konvensi/ Tergugat dalam Rekonvensi
mengajukan gugatan ini; -

184
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie Tentang gugatan Kurang Pihak, Prematur,
Tidak didukung bukti-bukti, salah alamat dan Obscuur Libel. Bahwa mobil
Toyota Land Cruiser No. Pol.B 8840 ME yang diparkir dalam areal parkir yang
menjadi tanggung jawab Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Re
konvensi dalam keadaan terkunci, ketika kemudian ter. nyata hilang, maka
dengan sendirinya menjadi tanggung jawab Tergugat dalam
Konvensi/Penggugat dalam Re- konvensi tersebut;

Bahwa Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi telah nyata-


nyata lalai dalam mengelola per- parkiran, karena itu sepatutnya ia dimintai
pertanggung jawaban;---

Dengan demikian, betapa pun belum ada putusan hakim pidana yang
menyatakan kelalaian Tergugat dalam Kon- vensi/Penggugat dalam
Rekonvensi, pertanggung jawaban tersebut dapat dituntut;

Bahwa sewaktu mobil No. Pol. B 8840 ME memasuki areal parkir yang dikelola
Tergugat dalam Konvensi/Peng- gugat dalam Rekonvensi, pengemudi mobil
memperoleh karcis; parkir yang diberikan oleh petugas areal parkir Glodok
Plaza tersebut;

Bahwa ketika pengemudi hendak mengambil mobil terseBut, ternyata sudah


tidak ada ditempatnya, sementara karcis parkir masih berada di tangan
pengemudi SAPUTRA HALIM; Atas kehilangan tersebut dan ber dasarkan
karcis parkir, selanjutnya pengemudi melaporkan peristiwa tersebut kepada
pihak kepolisian;

Bahwa berdasarkan karcis parkir, Laporan Kepolista dan keterangan karyawan


tergugat dalam Konvensi

185
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Penggugat dalam Rekonvensi, jelas gugatan ini didukung Lampiran bukti-buktí


yang cukup;-

Bahwa gugatan ini sudah tepat dan benar, tidak salah alamat, Mobil Toyota
Land Cruiser B. 8840 ME hilang di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat
dalam Konvensi/ dalam Rekonvensi maka yang bersangkutan Penggugat karus
dimintai pertanggungjawaban;---

Bahwa dalam surat gugat Penggugat dalam Konvensi/ Tergugat dalam


Rekonvensi, pihak Tergugat hanya satu pihak saja yaitu Tergugat dalam
Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi, tidak ada pihak vang lainnya baik
dalam posita maupun petitumnya;--

didudukan sebagai Suek Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka Penggugat


dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi mohon agar eksepsi tersebut
ditolak;

Menimbang, bahwa apakah eksepsi yang dikaitkan dengan tanggapan atas


eksepsi tersebut pada akhirnya dapat diterima atau tidak, Majelis Hakim
mempertimbang- kannya sebagai berikut ini;

Menimbang, bahwa perihal eksepsi tersebut poin pertama, yang menyatakan


penggugat dalam Konvensi/ lergugat dalam Rekonvensi tidak mempunyai
kapasitas hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam perkara ini (exceptio non
legitima personae standi in judicio), diper- timbangkan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa terlepas dari pandangan Peng- gugat dalam


Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi atas materi eksepsi tersebut, Majelis
Hakim mengetengahkan pandangan tersendiri sebagaimana diuraikan di bawah
ini:

186
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Menimbang, bahwa berbicara tentang pihak-pihak dalam perkara perdata,


utamanya yang mengandung seng. keta, sekurang-kurangnya terdapat dua
pihak, yaitu pihak Penggugat (eisser, plaintiff) ialah pihak yang mengajukan
gugatan, dan pihak yang digugat (gedaagde, defendant):

Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie Bahwa siapakah yang dapat tampil
sebagai pihak? Pada asaspya setiap orang yang merasa mempunyai hak dan
ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau ingin membelanya,
berwenang untuk bertindak selaku pihak baik selaku Penggugat maupun selaku
Tergugat (legitima personae standi in judicio);

Menimbang, bahwa apakah Penggugat dalam Kon- vensi/Tergugat dalam


Rekonvensi memiliki kualitas sebagai pihak dalam perkara aquo, Majelis
Hakim berpendirian sebagai berikut;

Bahwa Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Re- konvensi yang


usahanya bergerak di bidang perasuransi- an, dalam kapasitasnya sebagai
Penanggung telah mem- bayar klaim asuransi kepada pihak Tertanggung
sejumlah Rp 582.300.000,00 (bukti P-5) dari total nilai pertanggung- an Rp
700.000.000,00 (Bukti P-3); Bahwa dengan telah dibayarkannya ganti kerugian
se- bagaimana terselbut bukti P-5 maka berdasarkan ketentuan Pasal 14 (1)
Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia. Bab Subrogasi (bukti P-3)t
ditentukan bahwa:

"Sesuai dengan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Huku Dagang, setelah


pembayaran ganti rugi atas kendaraan bermotor dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan dalam polis ini, Penanggung menggantikan Tertanggung
dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga sehubungan dengan
kerugian tersebut. Hak

187
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Subrogasi termaksud dalam ayat ini berlaku: dengan sendirinya tanpa


memerlukan suatu surat kuasa khusus dari Tertanggung";

Bahwa menindaklanjuti amanat ketentuan Pasal 14 ayat (1) Polis Standar


kendaraan Bermotor Indonesia tersebut, MORI HANAFI, SE., M.Comm, selaku
tertanggung telah memberikan hak Subrogasi kepada Penggugat dalam Kon-
vensi/Tergugat dalam Rekonvensi dalam kapasitasnya se- bagai Penanggung,
untuk mengajukan dan atau menye- Jesaikan tuntutan-tuntutan kepada pihak
ketiga, berkaitan dengan telah dibayarkannya ganti kerugian oleh Penang- gung
kepada Tertanggung sejumlah Rp 582.300.000.00 as hilangnya sebuah mobil
Toyota Land Cruiser VXR tahun 2000 no pol. B 8840 ME, No. Rangka MHF
IITJSO09004307, No. Mesin IHD 0191474 (bukti P -4);-

Bahwa, keberadaan bukti P-4 tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya


Surat Kuasa Khusus (Subrogasi) bertanggal Jakarta, 19 Mei 2003 yang
ditandatangani oleh SHAKTI AGUSTONO RAHARDJO dalam kapasitasnya
selaku Direktur Utama PT Asuransi Takaful Umum yang selanjutnya disebut
sebagai Pemberi Kuasa kepada WARSITO SANYOTO, SH., dan ZULKIFLI
DANIEL, SH., Keduanya Pengacara, Konsultan Hukum yang ini sebagai
Penerima Kuasa untuk kemudian dalam kualitasnya sebagai SECURINDO
PACTAMA INDONESIA

Bahwa menurut Surat Kuasa Subrogasi tersebut, yang menjadi objek gugatan
adalah penagihan secara subrogasi, atas kehilangan kendaraan bermotor/mobil
No.Pol. B 3840 ME yang terjadi di areal parkir yang berada dalam langgung
jawab PT SECURINDO PACTAMA INDONESIA:

188
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa berdasarkan uraian tersebut maka Majelis Hakim berpendapat, Surat


Kuasa Subrogasi bertanggal Jakarta 19 Mei 2003, yang keberadaannya
dikaitkan, dengan bukti P-3 dan P-4 telah memenuhi ketentuan Pasal 123 (1)
HIR berkaitan dengan telah
dimaksud telah bertanggal, dan ditandantagani oleh pihak pemberi dan
penerima kuasa;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut pada gilirannya Majelis


Hakim berkesimpulan, materi eksepsi Tergugat dalam Konvensi/Penggugat
dalam Rekonvensi tersebut poin pertama tidak beralasan menurut hukum oleh
karena itu ditolak;
Menimbang, bahwa berikut ini Majelis Hakim mem- pertimbangkan
mengenai materi eksepsi Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi tersebut pada point kedua, yang menyatakan Gugatan Penggugat
tidak mem- punyai dasar hukum kurang pihak, dan prematur; Majelis Hakim
membahasnya sebagai berikut;

Bahwa memang benar, secara langsung antara Peng- gugat dalam


Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi pada awalnya tidak mempunyai
hubungan hukum dengan Ter gugat dalam konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi;

Bahwa akan tetapi, ketika pada tanggal 30 Januari 2002 pukul 12,26.17
(bukti P-5) mobil Toyota Land Cruiser VXR No. Pol. B 8840 ME, No.
Rangka/Mesin MHF 11TJ8009004307 1HD-O191474 milik MORI HANAFI,
SE., M. Comm, yang ketika itu dikendarai oleh SAPUTRA HALIM dititipkan
di areal parkir Glodok Plaza kelola oleh Tergugat dalam Konvensi/Penggugat
dalam Rekonvensi, maka sejak saat itu demi hukum dan secara

189
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

diam-diam telah terjadi hubungan antara MORI HANAFI. SE., M., Comm.
dengan Tergugat dalam Konvensi I Peng- gugat dalam Rekonvensi;

Bahwa, dalam perjalanannya mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME yang


dititipkan tersebut hilang dari areal parkir Glodok Plaza yang implikasinya
MORI HANAFI, SE., M.Comm, mengajukan klaim kepada Peng- dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi, dengan dukungan dokumen bukti-bukti
P-1, P-2, P-3, P-4, P-7, dan P-8;

Bahwa atas klaim dimaksud Penggugat dalam Kopvensi/Tergugat dalam


Rekonvensi telah membavar canti kerugian pada MORI HANAFI, sejumlah Rp
582.300.000.00,- (Bukti P-6):

Bahwa oleh karena MORI HANAFI telah ganti kerugian (bukti P-6), maka
sesuai dengan ketentuan Bab III Pasal 14 ayat (1) Bab Subrogasi dalam Polis
Standar Kendaraan Bermotor Indonesia (bukti P-3), MORI HANAFI
memberikan hak Subrogasi ke PT Asuransi Takaful Umum, untuk
melakukan/mengajukan tuntunan- tuntunan kepada pihak III (bukti P-4 = bukti
T-I);- memperoleh Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka sejak
diterbitkannya Surat Subrogasi tertanggal Jakarta 10 Maret 2003 terdapat
hubungan hukum antara PT Asuransi Takaful Umum sebagai pihak yang telah
klaim asuransi, menutup dengan PT Securindo Pactama Indonesia sebagai Pihak
I yang bertanggung jawab atas hilangnya mobil Toyota Land Cruiser B. 8840
ME tersebut;

Bahwa demikian pula mengenai dalil eksepsi Tergugat

190
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi yang me nyatakan gugatan ini


kurang pihak, dalam hal ini Maiele Hakim sependapat dengan dalil Penggugat
dalam Kon- vensi/Tergugat dalam Rekonvensi, bahwa hilangnya mobil Toyota
Land Cruiser B 8840 ME sewaktu di parkir dalam areal parkir yang dikelola
Tergugat dalam Konvensi/Peng. gugat dalam Rekonvensi, peristiwa tersebut
tidak terlepas dari unsur kelalaian, kesalahan, dan kurang hati-hatinya karyawan
Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Re- konvensi karenanya
berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan 1367 KUH Perdata, pengelola areal
parkir harus bertanggung jawab atas perbuatan karyawannya;

Bahwa perihal materi eksepsi berikutnya yang menyatakan gugatan ini


prematur, Majelis Hakim tidak sependapat, sebab proses penyelesaian perkara
perdata tidak harus menunggu selesainya proses perkara pidana;

Bahwa lebih dari hal tersebut, gugatan ini diajukan bukan semata-mata
telah dicurinya mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME, melainkan karena sikap
kurang hati- hatinya pengelola areal parkir tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Majelis


Hakim berpendapat, eksepsi ter- sebut kedua poin punyai dasar hukum, kurang
pihak dan yang menyatakan gugatan tidak mem- prematur adalah tidak
beralasan menurut hukum oleh karena itu ditolak;

Menimbang, bahwa berikut ini Majelis Hakim mem- pertimbangkan


materi eksepsi tersebut poin ketiga, gugata Penggugat tidak didukung bukti-
bukti, salah alamat dan

191
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Obscuur Libel, dibahas sebagai berikut ini;-- Bahwa perihal didukung atau
tidaknya dengan bukti- bukti atas materi gugatan ini, menurut hemat Majelis
Hakim, hal tersebut telah menyangkut materi pokok per- kara, karena itu akan
dibahas dalam pertimbangan pokok perkara;

Bahwa perihal gugatan dikatakan salah alamat; dengan dalih semestinya


pencuri mobil tersebut yang digugat;

Majelis Hakim tidak sependapat dengan pandangan ter- sebut, karena titik
persoalannya adalah adanya sikap kurang hati-hatinya karyawan Tergugat
dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi ketika mengelola perparkiran
mobil di Glodok Plaza, sehingga orang yang tidak mempunyai bukti legitimasi
(karcis) parkir dapat mengambil mobil milik orang lain, yang berakibat
merugikan pemilik mobil;-

Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, menurut pan- dangan Majelis


Hakim, pengelola areal parkir di Glodok Plaza, yang dalam hal ini Tergugat
dalam Konvensi/Peng- gugat dalam Rekonvensi patut diminta pertanggungja-
wabannya karenanya gugatan ini tidak salah alamat; ---

Bahwa perihal materi eksepsi yang selebihnya, gugatan dinyatakan


Obscuur Libel, Majelis Hakim membahasnya sebagai berikut ini;

Bahwa benar dalil Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam


Rekonvensi yang menyatakan dalam posita gugatan Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi tersebut butir 12, tertulis kalimat-------
Oleh Tergugat dan Turut Tergugat------------ dan seterusnya.;

192
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa namun demikian, menurut pendapat Majelis Hakim tertulisnya kata-kata


"Tiurut Tergugat" semata-mata kesalahan dalam pengetikan sehingga tidak
menjadikan gugatan menjadi Obscuur Libel (kabur);

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut pada


gilirannya Majelis Hakim berpendirian materi eksepsi poin III yang menyatakan
gugatan tidak mempunyai dasar hukum, kurang pihak dan prematur, adalah
tidak berdasar menurut hukum, oleh karena itu ditolak;

DALAM POKOK PERKARA :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Peng- gugat


Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi adalah sebagai- mana diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim menelaah secara saksama


materi gugatan Penggugat dalam Konvensi/ Tergugat dalam Rekonvensi,
ternyatalah, yang menjadi tuntutan pokok adalah sebagai berikut:

Pertama : Tentang tuntutan agar Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam


Rekonvensi dinyata- kan bertanggung jawab atas perbuatan me- lawan hukum
yang dilakukan karyawannya, bertalian dengan hilangnya mobil Toyota Land
Cruiser B. 8840 ME yang tengah diparkir di kompleks parkir yang dikelola
Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi;

Kedua : Tentang tuntutan agar Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam


Rekonvensi, di- hukum untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam

193
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Rekonvensi sejumlah Rp 582.300.000,00 (lima ratus delapan puluh dua juta tiga
ratus ribu rupiah) ditambah bunga bank sebesar 2% per bulan terhitung sejak
tanggal gugatan ini sampai dengan adanya pembayaran lunas kepada Peng-
gugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Re- konvensi;

Menimbang, bahwa atas materi tuntutan Penggugat dalam Konvensi/Tergugat


dalam Rekonvensi tersebut, Ter- gugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi me- nolaknya, dengan alasan sebagai berikut:--

Bahwa Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi, menolak


seluruh dalil gugatan Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi,
sebab di antara kedua pihak tidak pernah terjalin hubungan hukum apa pun;
selain dari hal tersebut, dari Surat Tanda Pene- rimaan Laporan/Pengadilan
yang diterbitkan Polsek Metro Taman Sari, tidak tercantum pengakuan kelalaian
karyawan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi dalam
menjalankan tugas sehingga mobil Penggugat dalam Konvensi / Tergugat dalam
Rekonvensi tersebut hilang dari areal parkir;

Bahwa Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi menyatakan


telah membayar ganti kerugian kepada MORI HANAFI, akan tetapi ternyata
yang me- nerima ganti kerugian tersebut adalah PT Catur Mitrajaya Wisata; ----
B

ahwa hilangnya mobil Land Cruiser B 8840 ME tersebut bukan tanggung jawab
Tergugat dalam Konyensi/Penggugat dalam Rekonvensi, sebab Pasal 36 avat
(2) Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1999 tentang perparkiran

194
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

menegaskan "Atas hilangnya kendaraan atau yang berada di dalam kendaraan


selama berada di petal parkir, merupakan tanggung jawab pemakai tempat
parkir. demikian pula karcis parkir barang-barang dan seterusnya";

Selain hal tersebut, ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata menegaskan "Mereka
tidak bertanggung jawab tentang pencurian-pencurian yang dilakukan dengan
ke- kerasan";

Menimbang, bahwa perihal tuntutan pokok yang pertama; agar Tergugat dalam
Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi dinyatakan bertanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum karyawannya, bertalian dengan telah hilangnya
mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME diparkir di areal parkir di bawah
pengelolaan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi, diper-
timbangkan sebagai berikut: ---

Menimbang, bahwa Tergugat dalam Konvensi/Peng- gugat dalam Rekonvensi,


menolak tuntutan tersebut, sebab tidak pernah ada hubungan hukum antara
samping Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi dengan
Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Re- konvensi, kehilangan mobil
tersebut bukan tanggung jawab- nya;

Menimbang, balhwa perihal penolakan Tergugat dalam menyatakan


Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi tidak pernah ada hubungan hukum di
antara kedua pihak, Bue hal tersebut telah dibahas Majelis Hakim dalam
eksepsi, karenanya pertimbangan tersebut diambil alih dan dianggap sebagai
pertimbangan dalam pokok perkara ini;

Menimbang, bahwa apakah benar dalil Tergugat dalam

195
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi yang menyatakan karyawannya tidak


melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya, sehingga karyawannya
tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum, Majelis Hakim
mempertim- hangkan sebagai berikut;

Bahwa pada waktu Saputra Halim memarkir mobil Toyota Land Cruiser B 8840
ME di areal parkir Glodok Plaza pada tanggal 30 Januari 2002 pukul 12.26.17,
karyawan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi memberikan
karcis (bukti P-5);--

Bahwa ketika mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME tersebut hendak diambil
kembali, ternyata mobil tersebut sudah tidak ada lagi ditempatnya semula,
padahal karcis parkir (bukti P-5) tersebut masih berada di tangan Saputra
Halim;

Bahwa dengan demikian, karyawan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam


Rekonvensi telah memberikan kesempatan pihak lain membawa ke luar mobil
Toyota Land Cruiser B 8840 ME, tanpa disertai bukti tanda parkir (P-5) yang
merupakan legitimasi formal parkir kendaraan (mobil);

Bahwa apakah dengan demikian karyawan Tergugat dalam


Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi dikualifikasikan telah melakukan
perbuatan melawan hukum ?; -------- Menimbang, bahwa berbicara mengenai
kualifikasi perbuatan melawan hukum, maka acuannya adalah ketentu- an Pasal
1365 KUH Perdata;----

Menimbang, bahwa dalam perkembangannya sejak dijatuhkan putusan dalam


perkara Lindenbaum Cohen pada tahun 1919, terdapat empat kriteria perbuatan
me- lawan hukum yaitu:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

196
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

2. Melanggar hak subjektif orang lain.


3.Melanggar kaidah tata susila.
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati
yang harusnya dimiliki seseorang pergaulan dengan sesama warga masyarakat
atan terhadap harta benda orang lain;

Menimbang, bahwa dari empat kriteria perbuatan melawan hukum tersebut,


sifatnya tidak "kumulatif" melainkan "alternatif". Artinya, dengan telah
dipenuhinya salah Satu kriteria secara alternatif telah dipenuhinya pula syarat
untuk suatu perbuatan melawan hukum;

Menimbang, bahwa dari melawan hukum tersebut, menurut pandangan Majelis


Hakim, kriteria tersebut angka 4, telah dipenuhi. Artinya, karena sikap kurang
teliti, kurang hati-hatinya karyawan Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi, maka mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME telah hilang dari
areal parkir yang menjadi tanggung jawabnya; -

Menimbang, bahwa namun demikian, Tergugat dalam Konvensi/Penggugat


dalam Rekonvensi berkilah, hilangnya mobil tersebut bukan merupakan
tanggung jawab pengelola perparkiran seperti yang ditegaskan dalam bukti P-5
mau- pun bukti T-4;

Menimbang, bahwa atas sangkalan pertanggung ja- waban tersebut Majelis


Hakim berpendapat sebagai be- rikut ini ;

Bahwa dalam hal perparkiran kendaraan/mobil. se benarnya pada saat seseorang


memarkir kendaraannya. ia telah menutup kontrak dengan pengelola tempat per

197
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

parkiran, hanya saja syarat-syarat kontrak itu tidak dirundingkan lagi, Kedua
belah pihak dianggap tunduk dan terikat pada syarat-syarat yang sudah
dicantumkan lalam tanda bukti parkir, sehingga pada umumnya syarat- Svarat
itu ditentukan secara sepihak saja atas dasar "take it or leave it";

Bahwa kontrak demikian itu dinamakan juga sebagai "edhesie contracten" atau
kontrak standar. Ciri umum suatu kontrak standar adalah adanya klausula yang
memuat pengecualian pertanggungjawaban (exonerate elausultes ataupun
exclusion clauses), yang biasanya untuk ke- untungan pihak pemberi jasa
ataupun produsen;

Bahwa kemudian menjadi persoalan, sejauh manakah yang keterikatan para


pihak terhadap klausul yang memuat pengecualian pertanggungjawaban itu?;

Bahwa terhadap persoalan tersebut, berkaitan dengan kedudukan hakim sebagai


pembentuk undang-undang dalam arti yang konkret (judge made law), kiranya
sejalan dengan perkembangan di Inggris yang dituangkan dalam Unfair
Contract Terms Act 1977 yang merupakan ke- lanjutan dari The Sales of Goods
Act dari tahun 1893, yang pada dasarnya memberikan kebebasan kepada hakim
untuk menentukan apakah dalam suatu kontrak tertentu terdapat syarat yang
memberatkan ataukah tidak serta apakah syarat itu pantas atau tidak;

Bahwa dalam kaitan itu, hakim atas permintaan pihak yang dirugikan, memiliki
kewenangan untuk menambah, mengurangi atau meniadakan sama sekali
syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak standar tersebut. Ke- wenangan ini
diberikan kepada hakim di Indonesia oleh Woekerordonnantie 1938 sebagimana
juga dituangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197o
entang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke- hakiman;

198
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa sebagai tolok ukur dalam menghadapi persoalan tersebut, adalah adanya
keseimbangan pihak, di antara dari sisi ekonomi dan sebagainya; - Bahwa lebih
dari itu, ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, telab kedudukan para secara nyata melarang ketentuan exclusion
clauses" sebut; ----

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam kaitan perkara ini,


pengecualian pertanggungjawaban atas hilang. nya mobil Toyota Land Cruiser
B 8840 ME sebagaimana dicantumkan dalam karcis parkir (bukti P-4) maupun
Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran, harus
dikesampingkan dan dinyatakan tidak berkekuatan hukum;

Menimbang, bahwa apakah kelalaian, kurang hati- hatinya karyawan Tergugat


dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi, adalah merupakan tanggung
jawabnya?

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1366 dan Pasal 1367 alinea
ke-3 KUH Perdata, ditegaskan bahwa "Majikan dan mewakili urusan-urusan
mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau
bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang itu
sehingga karenanya Tergugat dalam Konvensi Penggugat dalam Rekonvensi
harus bertanggung jawab atas hilangnya mobil Land Cruiser B 8840 ME
tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut maka Majelis


Hakim berpendirian tuntutan pokok yang pertama, agar Tergugat dalam
Konvensi/Pengguga dalam Rekonvensi dinyatakan bertanggung jawab atas

199
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawan- ,bertalian hilangnya


mobil Toyota Land Cruiser B 8840 ME yang tengah diparkir di areal parkir
Glodok di bawah pengelolaannya, beralasan menurut hukum karenanya patut
dikabulkan:

Menimbang, bahwa berikut ini Majelis Hakim mem- pertimbangkan mengenai


tuntutan pokok yang kedua, agar Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi, lihukum untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat dalam
konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi sejumlah Rp 582.300.000,00 ditambah
bunga bank sebesar 2% per bulan terhitung sejak tanggal gugatan ini sampai
adanya pembayaran lunas, dipertimbangkan sebagai berikut ini;- ---

Menimbang, bahwa atas tuntutan tersebut Tergugat dalam Konvensi/Penggugat


dalam Rekonvensi menolaknya, dengan dalih menurut bukti P-6 yang menerima
ganti kerugian sejumlah Rp 582.300.000,00 dari Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam, Rekonvensi adalah PT Catur Mitrajaya Wisata,
bukan MORI HANAFI;

Menimbang, bahwa bila menelaah bukti P-6, memang benar dalil Tergugat
dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi tersebut. Namun demikian, bila
mencermati Ukti P-4 yang adalah identik sama dengan bukti T-1 lernyatalah
ganti kerugian sejumlah Rp 582.300.000,00 tersebut benar-benar telah diterima
oleh MORI HANAFI dalam kapasitasnya sebagai pihak Tertanggung pemegang
Polis Asuransi dari PT Asuransi Takaful umum sebagai Penanggung,--

Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, dalil Tergugat dalam


Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi tidak beralasan menurut hukum karena
itu dikesamping-

200
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

kan kepadanya dibebankan membayar ganti kerugjan se jumlah Rp


582.300.000,00 sesuai dengan apa yang telah dibayarkan Penggugat dalam
Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi, sesuai dengan tanggung jawabnya
menurut Pasal 1366 dan 1367 (3) KUH Perdata; Menimbang, bahwa mengenai
tuntutan agar Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi dihukum
pula untuk membayar bunga 2% per bulan, terhitung sejak didaftarkannya
perkara ini, oleh karena dalam posita gatan tidak terdapat alasan yang tetap atas
dasar apa per. bebanan bunga 2% tersebut, maka tuntutan tersebut tidal
beralasan dan harus ditolak;

Menimbang, bahwa mengenai tuntutan yang lain dan selebihnya agar diletakkan
sita jaminan atas kantor milik Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam
Rekonvensi yang terletak di Kompleks Mangga Dua Mas No, 11-12 Blok A Jln.
Mangga Dua Abdab No. 14 Jakarta Pusat di- laksanakan terlebih dahulu,
meskipun pihak Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi
menyatakan ban- ding atau kasasi; oleh karena tuntutan tersebut tídak me-
menuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang, maka ditolak; DALAM
REKONVENSI :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat dalam


Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi adalah sebagaimana di uraikan di atas;

Menimbang, bahwa menelaah secara saksama materi gugatan Penggugat dalam


Rekonvensi/Tergugat da Konvensi, ternyatalah yang menjadi tuntutan pokoknya
adalah agar Tergugat dalam Rekonvensi/Penggug Konvensi dinyatakan telah,
melakukan perbuatan melawan

201
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

hukum, karena dihukum untuk membayar ganti kerugian materiil Rp


100.000.000,00 dan ganti kerugian imateriil Rp. 1.000.000.000.00:

Menimbang, bahwa gugatan Rekonvensi tersebut, Tergugat dalam


Rekonvensi/Penggugal dalan Konvensi menolaknya, dengan dalih bahwa
Tergugat dalam Rekon- vensi/Penggugat dalam Konvensi tidak pernah
melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana didalilkan dalam gugatan
Rekonvensi:

Menimbang, bahwa terlepas dari pandangan Tergugat dalam


Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi tersebut berikut ini Majelis Hakim
mengetengahkan pertimbangan tersendiri sebagai berikut ini;

Menimbang, bahwa berangkat dari adagium "point d'interest, point d'action"


setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum yang cukup dapat
mengajukan tuntutan haknya melalui pengadilan (burgerlijke tordering),
sebagai- mana diisyaratkan Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 17
Juli 1971 Nomor 294 K/Sip/1971, yang men- Syaratkan gugatan harus diajukan
oleh orang yang mem- punyai hukum;-

Menimbang, bahwa ternyata gugatan pihak Penggugat dalam


Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi, menurut pendapat Majelis Hakim, telah
memenuhi kriteria ter- sebut, karena itu tidak dapat dikategorikan sebagai telan
melakukan "perbuatan melawan hukum":

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan lersebut, maka dalil Penggugut


dalam Rekovensi/Tergugat dalam Konvensi yang menyatakan balhwa Tergugat
cdalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi telah melakukan perbuatan
melawan hukum tidak beralasan mennrut Iukum, oleh karenanya ditolak:

202
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Menimbang, bahwa mutatis mutandis dengan por timbangan tersebut,


tuntutan pembayaran ganti kerugian materiil sejumlah Rp 100.000.000,00 dan
immaterial sejumlah Rp 1.000.000.000,00, tidak mempunyai landasan hukum
yang kuat, oleh karena itu harus ditolak:

DALAM KONVENSI/REKONVENSI:
Menimbang, bahwa oleh karena ternyata pihak Ter- gugat dalam
Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi berada di pihak yang kalah, maka
dihukum untuk membayar biaya perkara ini; ---
Mengingat ketentuan peraturan-peraturan perundang- an yang
bersangkutan dengan perkara ini.

MENGADILI:
DALAM KONVENSI :
DALAM EKSEPSI :
Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;-

DALAM POKOK PERKARA :


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
dilakukan oleh karyawannya;
3. Menyatakan Tergugat bertanggung jawab atas mobil B 8840 ME Tergugat;
yang hilang di kompleks parkir yang dikelola
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat ganti rugi berupa
uang tunai dan seketika sebesar Bp 582.300.000,00 (lima ratus delapan puluh
dua juta tiga

203
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

ratus ribu rupiah);


5.Menolak gugatan Penggugat yang lain dan selebihnya: -

DALAM REKONVENSI:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

DALAM KONVENSI/REKONVENSI:
Menghukum Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi untuk
membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 299.000,- (dua ratus sembilan puluh
sembilan ribu rupiah);

Demikian diputuskan oleh Permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan


Negeri Jakarta Pusat hari: Selasa, tanggal 3 Februari 2004 oleh kami, AGUS
SUBROTO, SH., M.HUM, selaku Ketua Majelis dengan Hakim-Hakim
Anggota ABDULLAH, SH., dan SUDRAJAD DIMYATI, SH., dan diucapkan
dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari: Senin, tanggal: 9 Pebruari
2004 oleh Ketua Majelis dan Hakim-Hakim Anggota tersebut di atas, dibantu
Panitera Pengganti: CHRISTANTO TUDJIONO, SH., dan dihadiri oleh Kuasa
Penggugat dan Kuasa Tergugat.

Hakim-Hakim Anggota: Ketua Majelis.

1. ABDULLAH, SH AGUS SUBROTO, SH., M.HUM


2. SUDRAJAD DIMYATI, SH 205

204
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Panitera Pengganti

CHRISTANTO PUDJIONO, SH

Biaya-biaya:
Panggilan ………. Rp 260.000,-
Meterai …………. Rp 6.000,-
Redaksi ………… Rp 3.000,-
Administrasi …… Rp 30.000.- +
__________________________________
Jumlah = Rp 299.000,

205
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

PUTUSAN

Nomor: 3025 K/Pdt/2001

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan


sebagai berikut:

1. PT BANK BALI Tbk. berkedudukan di Jakarta, Jln, Jenderal Sudirman Kav.


27 Bank Bali Tower Jakarta Selatan, yang diwakili oleh: 1. DRADJAT B.
PRASETYO, 2. THOMAS TAN, masing-masing selaku Direktur Utama dan
Direktur, dan dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: 1. LUHUT M. P.
PANGARIBUAN, SH., LL.M.; 2. YUANA BERLIYANTY, SH.; 3.
ALEXANDRA FM. GERUNGAN, SH., Advokat & Pengacara, beralamat di
Bapindo Plaza, Citibank Tower Lantai 23, JIn. Jenderal Sudirman Kav. 54-55
Jakarta;

2. BANK INDONESIA, berkedudukan di Jakarta, Jln. M.H. Thamrin No. 2


Jakarta Pusat, yang diwakili oleh: SYAHRIR SABIRIN, Gubernur BANK
INDONESIA, dan dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: 1. YUNUS HUSEIN,
SH., LL.M; 2. NY. SUCHAEMI MAARIE SH., LL.M.; 3. DIDIT
KUSHERMAN, SH.; 4. SUBINTORO, SH.; 5. HERNOWO KOENTOADJI,
SH. dan 6. DEENY ULI ROSA, SH.; dari Direktorat Hukum Bank Indonesiu,
para Pemohon Kasasi dahulu para Tergugat I dan Il para Pembanding; 207

206
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Melawan

PT ERA GIAT PRIMA, berkedudukan di Jakarta, Plaza Kuningan Menara


Utara, lantai 2 Jln. H.R. Rasuna Said Kav. 11-14 Jakarta Selatan, yang diwakili
oleh Drs. D SETYA NOVANTO, Direktur Utama, dalam hal ini di wakili oleh
kuasanya: O.C. KALIGIS, SH., Advokat/Pe. nasihat Hukum, berkantor di Jln.
Majapahit 18-20 Kompleks Majapahit Permai Blok B-123 Jakarta, Termohon
Kasasi dahulu Penggugat-Terbanding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan:

Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Pemohon


Kasasi dahulu sebagai Penggugat asli telah menggugat sekarang para Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Tergugat asli I dan Tergugat asli II di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai
berikut:

Bahwa berdasarkan Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan No. 002/P-EGP/I-99


tanggal 11 Januari 1999, selanjutnya disebut "Perjanjian Cessie" telah
diperjanji- kan pengalihan/cessie tagihan Tergugat asli I terhadap PT Bank
Dagang Negara Indonesia Tbk. dan PT Bank Umum Nasional Tbk., masing-
masing senilai Rp 598.091.770.000,- (lima ratus sembilan puluh delapal miliar
sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh pulu ribu rupiah) dan
200.000.000.000,- (dua ratus a rupiah) (bukti P-1);

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 bukti 1- atas (di mana Tergugat asli I
bertindak selaku Pihak Pertama dan Penggugat asli selaku Pihak Kedua) antara
Penggugat asli dengan Tergugat asli I telah diperjanjikan hal berikut: 1. Pihak
Pertama menjamin Pihak Kedua bahwa tagilhan 208

207
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

yang dipindahkan dan diserahkan dengan perjanjian ini mulai dari ini menjadi
hak Pihak Kedua; 2

. Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua bahwa tagihan dialihkan/dicedeer


dengan perjanjian ini benar. benar ada dan hanya Pihak pertama yang berhak
atasnya, bebas dari sitaan, tidak digadaikan atau diberikan sebagai agunan
dengan cara apa pun juga kepada pihak lain, dan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan fagihan tersebut baik şekarang maupun di kemudian hari
Pibak Kedua tidak akan mendapat tuntutan apa pun juga dari pihak lain
(catatan: cetak tebal oleh Penggugat) yang menyatakan mempunyai hak atas apa
yang dicedeer dengan perjanjian ini, dan oleh karenanya Pihak Kedua
dibebaskan oleh Pihak Pertama dari segala tuntutan apa pun juga dari pihak lain
(cetak tebal oleh Penggugat).

Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 3.1 dan Pasal 3.2 "Perjanjian Cessie"
vide bukti 1.1 tersebut mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi
Penggugat asli dan Tergugat asli I sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH
Perdata yang Penggugat asli kutip sebagai berikut: "Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”

Bahwa selanjutnya berdasarkan Perjanjian Penyelesai- an No.


007/BB/CL/V1/99 tanggal 9 Juni 1999 (bukti P- 2) dan Perjanjian Penyelesaian
No. 008/BB/CL/VI/99 tanggal 9 Juni 1999 (bukti P-3) kewajiban Penggugat asli
telah dinyatakan selesai.

Bahwa akan tetapi, ternyata terhitung sejak tanggal 30 Juli 1999 Penggugat asli
terus-menerus mendapat gangguan dari pihak ke tiga antara lain dengan
diperiksanya Direktur Utama dan Direktur Penggugat asli, masing- masing Drs.
Setya Novanto dan Joko S. Tjandra oleh Mabes 607

208
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Polri dan oleh Panitia Khusus Penyelidikan Kasus Bank Bali dari Komisi VII
DPR.

Bahwa pemeriksaan oleh Mabes Polri dilakukan pada Doktrin Subrogasi,


Novasi, & Cessie tanggal 20 Agustus 1999 untuk Direktur Penggugat asli dan
tanggal 30 Agustus 1999 iuntuk Direktur Utama Peng- gugat asli, sebagaimana
ternyata dari surat Panggilan No. Tol. SP/561/B/Il/1999/Serse Ek tanggal 16
Agustus 1999 untuk Direktur Penggugat asli (bukti P-4) dan Surat Panggilan
No. Pol. SP/595-B/VIII/1999/Serse Ek tanggal 27 Agustus 1999 untuk Direktur
Utama Penggugat asli (bukti P-5).

Bahwa pemeriksaan oleh Pansus Penyelidikan Kasus Bank Bali dari Komisi
VIII DPR atas Direktur Penggugat asli dilakukan pada tanggal 13 September
1999 dan 15 September 1999, sebagaimana ternyata dari Surat Undang- an No.
PW.001/3486/DPRRI/1999 tanggal 10 September 1999 dan No.
PW.001/3543/DPRRI/1999 tanggal 14 September 1999 (bukti P-6 dan P-7),
sedangkan pemerik- saan atas Direktur Utama Penggugat asli dilakukan ber-
dasarkan Surat Undangan No, PW.001/3486/DPRRI/1999 tanggal 10
September 1999 (bukti P-8).

Bahwa dengan demikian, jaminan Tergugat asli I se- bagaimana Penggugat asli
diuraikan pada dalil angka 2 surat gugatan ini tentang "tidak akan adanya
tuntutan dan pihak lainnya" ternyata tidak benar sebagaimana terbukti adanya
pemberitaan secara sistematis yang dilakukan oleh media cetak dan inedia
elektronik di Indonesia, anta lain, sebagaimana ternyata dari bukti-bukti kliping
dan majalah sebagai berikut:

•Harian Republika tanggal 10 Agustus 1999 yang bejudhl "Mabes Polri Minta
Direksi Bank Bali dan PT, PT, ECP Dicekal" (bukti P-9);

209
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

•Harian Rakyat Merdeka tanggal 2 Agustus 1999 yang berjudul "Bendahara


Golkar Terlibat Kasus Bank Bali?" (bukti P-I 0).

Bahwa selanjutnya, karena "Perjanjian Cessie", vide bukti P-I, tersebut


telah mengakibatkan dipermasalahkan- ya secara terus-menerus hasil tagihan
yang merupakan hak yang selanjutnya menjadi milik Penggugat asli, maka da
tanggal 16 Agustus 1999, Penggugat asli telah mem- buka rekening di Bank
Bali yang disebut sebagai Escrow Account dengan Nomor Rekening
0999.045197 dan me- nempatkan dana Penggugat asli yang merupakan hasil
Perianjian Cessie sebesar Rp 546.466,116.369,- (lima ratus ampat puluh enam
miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus
enam puluh sembilan rupiah) ke dalam rekening Escrow Account tersebut
(bukti P-11) dan selanjutnya dinyatakan berada di bawah pe- ngawasan Bank
Indonesia (Tergugat asli II) terhitung tanggal 16 Agustus 1999.

Bahwa karena sampai surat gugat ini didaftarkan. Penggugat asli tidak dapat
menikmati hasil Perjanjian Cessie tersebut karena adanya gangguan yang
diterima dari pihak ketiga lainnya, antara lain dari: 1) Pansus Bank Bali dari
Komisi VIII DPR RI; 2) Mabes Polri; 3) Media cetak; dan 4) Media elektronik
serta adanya 5) pengawasan oleh Tergugat asli II atas Escrow Account yang
tercatat D nama Penggugat asli di Bank Bali dengan Nomor Rekening
0999.045197 tersebut di atas, yang mengakibat- kan Penggugat asli tidak dapat
memanfaatkan uangnya sendiri, maka Tergugat asli dapat dikualifisir sebagai
telah wanprestasi karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata
yang Penggugat asli kutip sebagai berikut: untuk berbuat sesuatu, atau tidak
untuk berbuat sesuatu" Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu.

210
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Oleh karena itu, sangatlah berdasarkan hukum apabila Tergugat asli dinyatakan
telah wanprestasi terhadap Peng. gugat asli oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

Bahwa karena telah terbukti Tergugat asli I wanprestasi sehingga


mengakibatkan hasil Perjanjian Cessie vide bukti P-1 dinyatakan sebagai
Escrow Account dan berada di bawah pengawasan Tergugat asli II dan
karenanya tidak dapat dimanfaatkan oleh Penggugat asli selaku pemiliknya,
maka sangatlah berdasarkan hukum apabila Tergugat asli II dihukum dan
diperintahkan untuk mencairkan Escrow Account Penggugat asli yang ada di
Bank Bali dengan Nomor Rekening 0999.045197.

Bahwa sebagai suatu konsekuensi yuridis dan tindakan wanprestasi tersebut,


maka Tergugat asli I haruslah ber- tanggung jawab atas akibat hukum yang
timbul, yaitu mem- berikan ganti biaya, rugi, dan bunga sesuai dengan ketentu-
an Pasal 1239 KUH Perdata yang Penggugat asli kutip sebagai berikut: "Tiap-
tiap perikatan untuk berbuat se- suatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila
si ber- utang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan pe- nyelesaiannya
dalam kewajiban memberikan pengganti- an biaya, rugi, dan bunga";

Bahwa sebagai akibat tindakan wanprestasi Tergugat asli I, maka Penggugat


asli telah mengalami kerugian sebagai berikut:

Kerugian Materiil:
>Biaya menggunakan Jasa pengacara serta biaya-biaya lain dalam rangka
mendapatkan kembali hak Penggugat asli, yaitu sebesar Rp 25.000.000.000,-
(dua puluh lima mi rupiah);

>Kehilangan keuntungan yang diharapkan apabila uag yang ada dalam Escrow
Account Bank Bali tersebut sejak

211
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

16 Agustus 1999 digunakan untuk menjalankan usaha, yaitu sebesar Rp


11.000.000.000,- (sebelas miliar rupiah).

Kerugian Immateriil:
>Akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat asli I, Penggugat asli
telah kehilangan waktu, tenaga, pikiran, dan nama baik yang sebenarnya tidak
dapat dinilai dengan uang, tetapi untuk membuat gugatan ini menjadi jelas
Penggugat asli menetapkan suatu angka sebesar Rp 500.000.000.000,- (dua
triliun lima ratus miliar rupiah):

>Semua kerugian materiil dan imateriil tersebut ditambah dengan bunga sebesar
2,5% (dua setengah persen) per bulannya terhitung sejak gugatan ini didaftarkan
di Kepa- niteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dibayar lunas oleh
Tergugat asli I.

Bahwa karena kerugian tersebut menjadi sebagai akibat tindakan wanprestasi


yang dilakukan oleh Tergugat asli I, maka sangatlah berdasarkan hukum apabila
Tergugat asli I dihukum untuk mengganti kerugian yang dialami oleh
Penggugat asli tersebut, dan Penggugat asli mohon Tergugat asli I dan II untuk
membayar uang paksa (dwangsom) masing-masing sebesar Rp
10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) untuk setiap hari keterlambatan para
Tergugat asli melaksanakan isi putusan ini.

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat asli mohon kepada


Pengadilan Negeri Jakarta meletakkan sita jaminan terlebih dahulu atas seluruh
harta kekayaan milik Tergugat asli I baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak sebagaimana Selatan supaya dan selanjutnya menuntut kepada
Pengadilan Negeri tersebut agar memberikan putusan yang dapat dijalankan
terlebih dahulu sebagai berikut:

212
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Dalam provinsi:
1. Mengakibatkan gugatan dalam Provisi untuk seluruhnya;

2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik dana Dalam Provisi: vebesar


Rp 546.466.116.369,- (lima ratus empat pulub enam miliar empat ratus enam
puluh enam juta seratus mam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah)
vang ada pada Escrow Account Bank Bali (Tergugat dengan Nomor Rekening
0999,045197:

3. Menghukum dan memerintahkan Tergugat II untuk inencoret rekening


Penggugat di Bank Bali (Tergugat I) dengan Nomor 0999,045197 dari daftar
rekening yang berada di bawah pengawasan Bank Indonesia (Tergugat II) dan
selanjutnya mencairkan dana sebesar Rp 546.466.116,369,- (lima ratus empat
puluh enam miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu
tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) yang ada pada Escrow Account Bank
Bali (Tergugat asli I) dengan Nomor 0999.045197 tersebut terhitung sejak
Putusan dalam Provisi ini dibacakan;

4. Menyatakan Putusan dalam Provisi ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu


meskipun ada verzet, banding ataupun kasasi (uitcoerbaar bij voorraad);

5. Menghukum tergugat II untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp


10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) kepada Penggugat untuk setiap hari
Tergugat II terlambat melaksanakan isi Putusan Dalam Provisi ini.

Dalam Pokok Perkara:


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Tergugat I telah Wanprestasi terhadap Penggugat;
3. Menyatakan Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan 002/P-EGP/I-99 tanggal
11 Januari 1999, Perjanjian 214

213
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI/99 tanggal 9 Juni 1999 serta Perjanjian


Penyelesaian No. 008/BB/CLVI/99 ta Otanggal 9 Juni 1999 adalah sah dan
karenanya mengikat Penggugat dan Tergugat I;
4 Menyatakan Penggugat adalah pemilik dan karenanya berhak atas dana yang
terdapat pada Bank Bali Rekening Escrow No. 0999.045197 atas nama PT Era
Giat Prima vehesar Rp 546.466.116.369,- (lima ralus empat puluh anam miliar
empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam
puluh sembilan rupiah);
5. Menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan dalam perkara ini adalah sah
dan berharga;
6. Menghukum Tergugat I untuk mengganti kerugian yang dialami oleh,
Penggugat secara tunai dan sekaligus ter- hitung sejak putusan dalam perkara
ini dibacakan sebagai akibat tindakan Wanprestasi Tergugat I dengan perincian:

Kerugian Materiil:
1. Biaya menggunakan juga pengacara serta biaya-biaya lainnya dalam rangka
mendapatkan kembali hak Penggugat, yaitu sebesar Rp 25.000.000.000,- (dua
puluh lima miliar rupiah);
2. Kehilangan keuntungan yang diharapkan apabila uang yang ada dalam
Escrow Account Bank Bali tersebut terhitung sejak tanggal 16 Agustus 1999
digunakan untuk menjalankan usaha, yaitu sebesar Rp ll.000.000.000.- (sebelas
miliar rupiah).

Kerugian Immateriil:
Akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat 1, Penggugat telah
kehilangan waktu, tenaga, pikiran, dan nama baik yang sebenarnya tidak dapat
dinilai dengan uang, akan tetapi agar gugatan ini menjadi jelas, maka Penggugat
menetapkan suatu angka sebesar Bp 215

214
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

.500.000.000.000,- (dua triliun lima ratus miliar rupiaka. Semua kerugian


materiil dan immateriil tersebut, ditambal dengan bunga sebesar 2,5% (dua
setengah persen) per bulannya terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dibayar lunas oleh
Tergugat I;
7. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp
10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) kepada Penggugat setiap hari Tergugat
I terlambat melaksanakan isi putusan dalam perkara ini, terhitung sejak putusan
dalam perkara ini dibacakan;
8. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada verzet, banding ataupun kasasi (uitvoerbaar bij voorraad);
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ongkos perkara.
Atau, apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ber pendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo el bono); Bahwa atas gugatan Penggugat
asli tersebut, Tergugat asli I telah mengajukan eksepsi dan gugatan rekomnvensi
yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:

Dalam Eksepsi:

Eksepsi Peremptoir: Perjanjian Cessie Telah Dibatalkan:

Bahwa Penggugat mendalilkan gugatannya ber dasarkan ketentuan Pasal


3 Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan No. 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari
1999, padahal berdasarkan Surat Keputusan BPPN No. 423/ BPPN/1999
tertanggal 15 Oktober 1999 Perjanjian Pengalihan/Cessie termaksud telah
dibatalkan, bahkan berdasarkan SK Ketua BPPN No.423 tersebut telah pula
dibatalkan perjanjian Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI

215
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

1999 dan Perjanjian Penyelesaian No. 008/BB/CLVV1999, dengan demikian


perjanjian-perjanjian yang dijadikan dasar gugatan Penggugat nyata-nyata telah
batal dan dengan omikian tidak mempunyai kekuatan hukum:

Bahwa menurut Prof. CW. Star Busman, di dalam bukunya Hoofstukken van
Penggugat haruslah ditolak tanpa perlu memeriksa pokok Burgelijke
Rechtsvordering, gugatan perkaranya;

Gugatan Kurang Pihak:


Bahwa Penggugat mendalilkan bahwa berkenaan dengan ketentuan Pasal
3 Perjanjian Cessie ternyata Peng- gugat telah mengalami gangguan dengan
diperiksanya Direksi Penggugat oleh pihak Polri dan Komisi VIII DPR serta
berbagai pemberitaan di Media Massa bahwa akan tetapi ketiga elemen yang
mengganggu tersebut tidak diikutkan sebagai pihak dalam perkara, dengan
demikian sepatutnya gugatan Penggugat harus ditolak atau setidak- tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima karena kurang pihak. G

gugatan Penggugat Kabur (obscuur libel):


Bahwa gugatan Penggugat didasarkan pada ketentuan rasal 3 Perjanjian
Cessie, di mana menurut Penggugat telah pula terjadi gangguan dari pihak
ketiga yang c identifikasi antara lain pihak Polri, Komisi VIII DPR dan Bahwa
Media Massa, padahal ketiga elemen. disebut sebagai pihak ketiga yang
menimbulkan gangguan bagi Penggugat adalah bertindak atas kewenangan dan
hak serta fungsinya masing-masing, dengan demikian gugatan Penggugat telah
mengandung anasir yang kabur (obscuur libel) oleh karenanya patut untuk
ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima.

216
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

dalam rekonvensi
bahwa dalam rekovensi telah diuraikan bahwa janjian-perjanjian telah
dibatalkan oleh BPPN dengan Sk Ketua BPPN No.423;

Bahwa dengan telah dibatalkannya perjanjian-per. janjian berarti bahwa


keadaan harus dikembalikan kepada keadaan semula seperti sebelum adanya
dan sebelum di. laksanakannya perjanjian-perjanjian;

Bahwa berdasarkan Surat Bank Indonesia No. 1/425/


UPW/BI/ADWB11//Rahasia tertanggal 12 Agustus 1999 (bukti T.I.4), Surat
dari Tergugat I Konvensi/Penggugat Rekonvensi kepada Tergugat II
Konvensi/turut Tergugat Rekonvensi tertanggal 12 Agustus 1999 (bukti T.I.5),
Faksimili dari Bank Indonesia No. 1/70/UPWBI/ADWB I/Fax tertanggal 16
Agustus 1999 dan Memo Internal Tergugat I Konvensi/Penggugat Rekonvensi
No.007/ VIII/Out/AD/IM/99 tertanggal 16 Agustus 1999 (bukti T.I.7), terbukti
dana yang berada pada escrow account di Bank Bali dengan Nomor Rekening
0999.045197 atas nama Bank Bali qq. PT Era Giat Prima (in casu Peng- gugat
Konvensi/ Tergugat Rekonvensi), sejumlah Rp 546.466.116.369,- (lima ratus
empat puluh enam miliar Dalam Rekonvensi per- empat ratus enam puluh enam
juta seratus enain belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah), yaitu yang
berasal dari pengembalian dana pembayaran tagihan antar bank dalam rangka
Program Penjaminan pemerintah adalah milik Tergugat I Konvensi/Penggugat
Rekonvensi;

Bahwa dalam surat Bank Indonesia No. 1/4213 UPWBI/ADWBI/Rahasia


tertanggal 12 Agustus 1999 sebut dinyatakan dana di Bank Bali Nomor
Rekening 0999.045197 atas nama Bank Bali q PT Era Giat Prima (in casu
Penggu- gat Konvensi/Tergugat Rekonvensi), sejumlah Rp

217
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

546.466. 116.369,- (lima ratus empat puluh enam miliar empatt ratus enam
puluh emam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan
rupiah), yaitu sal dari pengembalian dana pembayaran tagihan antara bnk dalam
rangka Program Penjaminan Pemerintalh, tidak lanit ditarik tanpa persetujuan
Bank Indonesia (in casu Tergugat II Konvensi/turut Tergugat Rekonvensi):

Bahwa karena dana milik Tergugat I Konvensi/ Penggugat Rekonvensi


disimpan di escrow account di Bank Bali dengan Nomor Rekening
0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT Era Giat Prima (in casu Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekonvensi) dan tidak dapat ditarik tanpa persetujuan BI,
Maka Tergugat I Konvensi/Penggugat Rekonvensi tidak dapat memenuhi
ketentuan SK Ketua BPPN No.423, khususnya ketentutan butir Keempat yang
berbunyi sebagai berikut: "Memerintahkan kepada PT Bank Bali Tbk. untuk
memindahkan seluruh jumlah yang telah diterima sebagai pembayaran dalam
rangka Pen- jaminan Pemerintah sebesar Rp 904.642.428.369,00 sembilan ratus
empat miliar enam ratus empat puluh dna juta empat ratus dua puluh delapan
ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) dalam rekening PT Bank Bali Tbk.
di Bank Indonesia No.523.013.000 agar untuk elanjutnya sepenuhnya dikuasai
dan dimiliki oleh PT Bank Bali, Tbk. Dan dengan demikian seluruh jumlah
dana tersebut digunakan sebagai dana rekapitalisasi PT yang Bank Bali Tbk;

Bahwa dengan tidak dapat dipenuhinya ketentuan butir keempat SK


Ketua, BPPN No.423, maka Program Reka- pitalisasi Perbankan yang
menyangkut Tergugatl yang Saat Ini sedang dalam proses menjadi terhambat
karena ketidak jelasan oleh tentang besarnya dana rekapitalisasi Yang
dibutuhkan Tergugat 1 Konvensi/Penggugat Rekon- vensi;

218
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bahwa terhambatnya Program Rekapitalisasi yang saat ini sedang dijalani oleh
Tergugat I Konvensi/Penggugat Rekonvensi telah menimbulkan gangguan
padla Program Rekapitalisasi Perbankan secara nasional, yang pada akhir- nya
dapat menimbulkan gangguan pada perekonomian nasional secara keseluruhan;

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, Penggugat Rekonvensi mohon


kepada Majelis IHakim Yang Terhormat agar dapat menetapkan sebagai hukum
bahwa dana yang berada pada escrow account di Bank Bali dengan Nomor
Rekening 0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT Era Giat Prima (in casu
Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi) sejumlah Rp 546.466.116,369,-
(lima ratus empat puluh enam miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus
enam ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) adalah milik Penggugat
Rekonvensi dan meng- hukum Bank Indonesia (in casu Tergugat 11 Konvensi/
Turut Tergugat Rekonvensi) untuk mengizinkan Tergugat I Konvensi
mencairkan rekening escrow account Nomor 0999.045197 tersebut untuk
digunakan sebagai aset dari Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi;

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut Penggugat Rekonvensi mohon


kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan supaya atas dana meletakkan sita
jaminan terlebih dahulu berada di dalam escrow account di Bank Surk Bali
tersebut dan selanjutnya menuntut agar memberikan putusan yang dapat
dijalankan terlebih dahulu sebagai berikut:

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;

2. Mengabulkan permohonan Sita Jaminan (Revindicatoir Beslag) yang


diajukan oleh Penggugat Rekonvensi. terhadap escrow account Nomor:
0999.045197 atas nama

219
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Bank Bali qq PT Era Giat Prima dan seluruh dana yang ada di dalamnya sebesar
Rp 546.466,116,369,- (lima ratus ot puluh enam miliar empat ratus enam puluh
enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan upiah), dan
menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Revindicatoir Beslag) tersebut;

3. Menetapkan sebagai hukum bahwa dana pada escrow account di Bank Bali
Tbk. dengan Nomor Rekening 0999,045197 atas nama Bank Bali Giat Prima (in
casu Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi) sejumlah
Rp.546.466.116.369.- (lima ratus empat puluh enam miliar empat ratus enam
puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah)
adalah milik Tergugat I Konvensi/Penggugat Rekonvensi;

4. Menghukum Tergugat II Konvensi/Turut Tergugat Rekonvensi untuk


mengizinkan Tergugat I Konvensi mencairkan Rekening escrow account Nomor
0999.045197 tersebut;

5. Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi pada Tergugat II


Konvensi/Turut Tergugat Rekonvensi untuk tunduk kepada putusan ini; D.

6.Menyatakan bahwa putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada
upaya bantahan, banding maupun kasasi (uit voerbaar bij voorraad);

7. Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar


seluruh biaya perkara.

bahwa atas gugatan Penggugat asli tersebut di atas. Tergugat asli II juga
mengajukan eksepsi yang pada pokok- nya atas dalil-dalil sebagai berikut:

Bahwa dasar gugatan Penggugat asli berupa Perjanjian Cessie telah


dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, karenanya gugatan
Penggugat asli menjadi tidak

220
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

berdasar hukum, dan lebih lanjut sepatutnya dinyatakan ditolak atau setidak-
tidaknya dinyatakan tidak dapat di. terima;

Bahwa alasan gugatan Penggugat asli sepanjang menyangkut Tergugat,


asli Il obscuur (samar), karenn d dalam gugatan Penggugat asli yang
berdasarkan pada. perjanjian Cessie termaksud sama sekali tidak menguraikan
keterkaitan Tergugat asli II, dengan demikian Tergugat asli II sepatutnya
dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara;
Bahwa dasar gugatan Penggugat asli adalah tentang wanprestasi dalam
Perjanjian Cessie antara Penggugat asli dengan Tergugat asli I, yang tidak
bersangkut paut dengan Tergugat asli II dan karenanya tidak lepas dijadikan
pihak di dalam perkara, sehingga gugatan Penggugat asli terhadap Tergugat asli
II haruslah ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;
Bahwa terhadap gugatan tesebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 18 April 2000
No.448/Pdt.G/1999/ PN.JAK.SEL. yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

DALAM KONVENSI:
DALAM EKSEPSI:
Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II seluruhnya.

DALAM PROVISI:
Menolak tuntutan Provisi Penggugat.

DALAM POKOK PERKARA:


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I telah Wanprestasi terhadap Peng gugat;
3. Menyatakan Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan No.002

221
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999, Perjanjian Pe- nyelesaian No.


007/BB/CL/V1/99 tanggal 9 Juni 1999 serta Perjanjian Penyelesaian No.008/B
B/CL/VI/99 tanggal 9 Juni 1999, adalah sah dan karenanya mengikat Penggugat
dan Tergugat I;
4. Menyatakan Penggugat adalah pemilik dan karenanya berhak atas dana Yang
terdapat pada Bank Bali Rekening Escrow No. 0999.045197 a/n PT Era Giat
Prima Prima ehesar Rp.546.466.116,369,- (lima ratus empat puluh enam miliar
empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam
puluh sembilan rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

DALAM REKONVENSI:
Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat 1 dalam Konvensi untuk
seluruhnya.

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:


Menghukum Tergugat 1 Konvensi/Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
II Konvensi/Turut Tergugat dalam Rekon- vensi, untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.215.000,- (dua ratus lima belas ribu rupiah).
Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan para Tergugat
telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 23
Maret 2000 No. 487/PDT/ 2000/PT.DKI;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Tergugat I-
Pembanding pada tanggal 25 Mei 2001 dan kepada Tergugat II- Pembanding
tanggal 30 Mei 2001 kemudian terhadapnya oleh Tergugat I- Pembanding dan
oleh Tergugat II- Pembanding dengan perantaraan kuasánya masing-masing,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Juni 2001 dan 26 Oktober 1999,
diajukan

222
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

permohonan kasasi secara lisan oleh Tergugat I-Pem banding pada tanggal 6
Juni 2001 dan oleh Tergugat II- Pembanding pada tanggal 8 Juni 2001
sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No.448/Pdt.G/1999/ PN.Jak-
Sel. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, permohonan
mana kemudian disusul dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut dari Tergugat I-
Pembanding pada tanggal 18 Juni 2001 dan dari Tergugat II-Pembanding pada
tanggal 14 Juni 2001;

Bahwa setelah itu oleh Penggugat -Terbanding yang pada tanggal 16 Juli
2001 telah diberitahukan tentang memori kasasi dari para Tergugat I dan II-
Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepa- niteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 19 Juli 2001;

Menimbang, bahwa permohonan-permohonan kasasi aquo beserta alasan-


alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, maka oleh karena itu permohonan-per- mohonan kasasi
tersebut formil dapat diterima;

Menimbang, bahwa keberatan-keberatan ajukan oleh Pemohon


Kasasi/Tergugat asal I dan Pemohon Kasasi/Tergugat asal II dalam memori
kasasinya tersebut ialah:

ALASAN-ALASAN KASASI DARI PEMOHON KASASI / TERGUGAT


ASAL
1. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan Undang- Undang No. 10 Tahun
1999, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Bahwa dasar gugatan yaitu Perjanjian Pengalihan Cessie

223
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Tagihan No. 002/P-EGP/I-99 tertanggal 11 Januari 1999, Perjanjian


Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI/99 tertanggal 9 Juni 1999 dan Perjanjian
Penyelesaian No. 008/BB/ CLVI/99 tertanggal 9 Juni 1999 telah dibatalkan
secara sah oleh BPPN dengan Surat Keputusan Ketua BPPN
No.423/BPPN/1099 tertanggal 15 Oktober 1999.

Bahwa pembatalan Perjanjian Cessie, Perjanjian Pe- nyelesaian 007 dan


Perjanjian Penyelesaian 008 (Per- janjian-Perjanjian) adalah dalam koridor
kewenangan BPPN untuk menyelamatkan perekonomian nasional. sesuai
dengan ketentuan Pasal 37 A ayat (I) Undang- Tahun 1998 jo. Pasal 2 ayat (3)
Peraturan Undang No. Pemerintah No.17 Tahun 1999 yaitu bahwa BPPN
didirikan dan bertindak dalam keadaan kesulitan Perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional.

Di samping itu Pasal 37 ayat (3) butir d Undang-Undang No. 10/1998 jo. Pasal
19 ayat (I) PP No.17/1999 menegaskan bahwa BPPN berwenang untuk
meninjau ulang, mem- batalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak
mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut per- timbangan merugikan
bank dalam penyehatan dan me- nurut Pasal 37 A ayat (4) Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 tindakan penyehatan perbankan: oleh badan khusus
sebagaimana dimaksud di atas adalah sah berdasarkan undang-undang.

Bahwa ketentuan Pasal 20 PP No.17/1999 dengan tegas menyatakan "Dalam hal


peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran, dan atau pengubaha kontrak oleh
BPPN sebagai dimaksud dalam Pasal 19 menimbulkan kerugian suatu pihak,
pihak tersebut hanya dapat menuntut ganti rugi yang tidak melebihi nilai
manfaat yang telah diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu
membuktikan secara sah dan jelas kerugian yang dialami- nya;

224
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

2. Bahwa judex facti telah lalai menerapkan syarat-syarat yang ditetapkan


undang-undang yakni tidak memuat alasan-alasan dalam memutus perkara
dengan tidak mem- pertimbangkan mengenai ini kapasitas Drs. R. Setya
Novanto selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima dalam mengajukan gugatan
untuk dan atas nama PT Era Giat Prima, karena terbukti bahwa pengambilalihan
saham PT Era Giat Prima memiliki cacat hukum dan karenanya pengangkatan
Drs. R. Setya Novanto sebagai Direktur Utama PT Era Giat Prima tidak sah
karena memiliki cacat hukum;

3. Bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum dengan mengambil alih
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 148/G.TUN/1999/PTUN.JKT. yang
belum berkekuat- an hukum tetap karena BPPN selaku Tergugat telah me-
nyatakan keberatannya atas putusan tersebut sehingga putusan tersebut tidak
dapat dijadikan dasar oleh judex facti dalam pertimbangannya. Bahwa
berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 badan atau instansi yang
berwenang untuk menilai apakah suatu keputusan melampaui wewenang atau
tidak adalah Peradilan Tata Usaha Negara dan bukannya putusan aquo; Bahwa
dengan demikian judex facti tidak berwenang untuk menyatakan bahwa BPPN
telah melampaui we- wenang yang dimilikinya, karena hal tersebut merupakan
otoritas Peradilan Tata Usaha Negara apalagi putusan No. 148/G/TUN/I
999/PTUN. JKT. belum berkekuatan hukum tetap:

4. Bahwa judex facti tidak menerapkan hukum pembuktian in casu mengenai


bukti surat yaitu dengan memper timbangkan bahwa bukti-bukti Tergugat asal I
tidak dap dijadikan dasar untuk menyangkal gugatan Penggugat asal karena
irrelevant untuk dijadikan bukti;

225
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

5.Bahwa judex facti tidak memuat pertimbangin hukum sang cukup yaitu tidak
mempertimbangkan Undang. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 karena bila
judex Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan facti
mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-
undangan tersebut maka perjanji- rbukti BPPN berwenang untuk membatalkan
an-perjanjian berlasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun yang tersimpan Alam
Escrow Account di Bank Bali dengan Nomor Bekening 0999.045197 atas nama
Bank Bali qg PT EGP sejumlah Rp 546 166.166.369,- (lima ratus empat puluh
enam miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus puluh sembilan rupiah)
1998 jo. PP No. 17 Tahun 1999 dan dana enam belas ribu tiga ratus enam
adalah milik Pemohon Kasasi/Tergugat I asal.

ALASAN-ALASAN KASASI DARI PEMOHON KASASI/ TERGUGAT


ASAL II:
1. Bahwa pertimbangan judex facti tingkat banding hanya mengambil alih
seluruh pertimbangan hukum judex facti tingkat pertama tanpa memberikan
pertimbangan atas alasan-alasan serta bukti-bukti yang diajukan oleh Pe- mohon
Kasasi;
2. Bahwa pertimbangan, hukum judex facti tingkat pertama yang diambil alih
oleh judex facti tingkat banding adalah tidak cermat dan tidak konsisten karena
terdapat beberapa pertimbangan hukum yang saling kontradiktif antara satu dan
lainnya;
3. Bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum dalam menilai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi dalam rangka mengamankan uang
negara ber- kenaan dengan perjanjian pengalihan/cessie tagihan PT Bank Bali
Tbk. telah sesuai dengan ketentuan hukum yang yang berlaku;

226
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

4.Bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum karena tidak


mempertimbangkan bukti T.II-10 dan T.II-10A yang diajukan Pemohon Kasasi
yaitu berupa surat No. R/126 B/ IX/99/ Serse Ek tanggal 9 September 1999 dan
bukti T.II-10A berupa surat No. 1/48/DPWBI/dbBI/Rahasia tanggal 11
November 1999, perihal rekening Bank Bali escrow account qq PT era Giat
Prima, yang menyatakan antara lain bahwa surat Bank Indonesia
No.1/425/UPWI B I/ADWB I/Rahasia tanggal 12 Agustus 1999 tentang
pemblokiran rekening escrow, telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Bahwa dengan adanya tindakan penyitaan oleh Kepolisian, rekening tersebut
merupakan rekening titipan Kepolisian pada Turut Termohon Kasasi, sehingga
hal tersebut menjadi kewenangan pihak Penyidik.
Bahwa terlebih lagi saat ini escrow account tersebut telah pula disita oleh pihak
Kejaksaan Agung RI, sehingga dengan demikian penyitaan rekening escrow
tersebut bukan lagi tanggung jawab Pemohon Kasasi, namun me- nurut hukum
sepenuhnya telah menjadi wewenang dan tanggung jawab Penegak Hukum
(Kepolisian dan Ke- jaksaan).

Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung


berpendapat.

TERHADAP ALASAN-ALASAN KASASI DARI PEMOHON


KASASI/TERGUGAT ASAL I:

Mengenai keberatan-keberatan ad. 1 dan ad.3

Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenar kan, oleh karena judex facti
telah salah menerapkan hukui dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa
Perjanjian Pengalihan/Cessie tagihan Tergugat asal I terhadap PT Bank Dagang
Nasional Indonesia, Tbk

227
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

(BDNI) dan PT Bank Umum Nasional, Tbk. (BUN) ter- tanggal 11 Januari
1999 (bukti P.1), Perjanjian Penye- lesaian No. 007/BB/CL/V1/99 dan
Perjanjian Penyelesaian No. 008/BB/CL/VI/99 tertanggal 9 Juni 1999 (bukti P.2
dan P.4) dibuat oleh dan di antara Tergugat asal I dengan Penggugat asal;

b.Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.


1/14/KEP. Dp. G/1999 tanggal 23 Juli 1999 (bukti T.I.3), tergugat asal I (PT
Bank Bali, Tbk.) diserah- kan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) untuk dilakukan program penyehatan; G.

C.Bahwa dalam melaksanakan program penyehatan, sesuai dengan Pasal 37 A


ayat (3) huruf d Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 jo. Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No.17 Tahun 1999, BPPN dengan surat keputusan Ketua BPPN
tanggal 15 Oktober 1999 No.SK 423/BPPN/1099 telah membatalkan perjanjian
pengalihan/cessie tagihan antara Tergugat asal I dengan Penggugat asal dengan
alasan perjanjian-perjanjian tersebut sangat merugikan Tergugat asal I (PT Bank
Bali, Tbk.) sebagai Bank dalam Penyehatan;

d. Bahwa kewenangan BPPN tersebut di atas adalah sah menurut Undang-


Undang (Pasal 37 A ayat (4) Undang- Undang No. 10 Tahun 1998);

e. Bahwa menurut penjelasan Pasal 37 A ayat (3) huruf d Undang-Udang No.


10 Tahun 1998, jika dalam peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau
perubahan kontrak oleh badan khusus (yang menurut Pasal 2 Peratur- an
Pemerintah No.17 Tahun 1999 bernama BPPN) tersebut menimbulkan kerugian
bagi suatu pihak, maka pihak tersebut (i.e.Penggugat asal) hanya dapat
menuntut peng- gantian yang tidak melebihi nilai manfaat peroleh dari kontrak
dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian
yang di- telah dialaminya;

228
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

F.Bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.148/ G.TUN/1999/PTUN-


JKT tanggal 2 Maret 2000 (yang mendasari putusan judex facti dalam
mempertimbangkan perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya dalam
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie bukti Pl s/d P.3 adalah sah dan
mempunyai kekuatan hukum karena putusan, Pengadilan TUN tersebut telab
membatalkan Surat Keputusan BPPN (No. SK.423/BPPN/ 1099) telah
dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No.447 K/TUN/2000
tanggal 4 Maret 2002 dan Mahkamah Agung menyatakan gugatan Penggugat
dalam perkara tersebut (Drs. Setyo Novanto) tidak dapat diterima;

g. Bahwa dengan demikian putusan judex facti harus di- batalkan oleh
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan berikut ini;

Dalam Konvensi:
Dalam Eksepsi, dan
Dalam Provisi:
Mahkamah Agung dapat menyetujui dan karenanya mengambil alih
pertimbangan judex facti menjadi per timbangan Mahkamah Agung sendiri.

Dalam Pokok Perkara:


Menimbang, bahwa sebagaimana yang telah diper- timbangkan di atas,
oleh karena perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya antara Tergugat
asal I dengan Penggugat asal (bukti P.I, P.2 dan P.3) telah dibatalkan oleh
BPPN dengan Surat Keputusan Ketua BPPN No. ŠK. 423/BPPN/1099 tanggal
15 Oktober 1999, maka tidak prestasi yang harus dilakukan oleh Tergugat asal I
ada terhadap Penggugat asal dan dana Tergugat asal 1 (PT Bank Bali, Tbk.)
dalam escrow account No. 0999.045197 sebesar Rp 546.466.116.369,- (lima
yang terdapat pada 230

229
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

ratus empat puluh enam miliar empat ratus enam puluh onam juta seratus enam
belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiahı) bukan milik Penggugat asal.

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan pokok di- tolak, maka tuntutan lainnya
dari Penggugat asal tergantung pada gugatan pokok juga harus ditolak. Suek

Dalam Rekonvensi:
Menimbang, bahwa dengan dibatalkannya perjanjian cessie dan perjanjian-
perjanjian lainnya (bukti P.1, P.2 dan P3) oleh BPPN pada tanggal 15 Oktober
1999, maka dana sebesar Rp 546.466.116.369.- (lima ratus empat puluh enam
miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus
enam puluh sembilan rupiah) yang berada pada PT Bank Bali, Tbk. dan yang
berasal dari pengembalian dana pembayaran tagihan antar- bank dalam rangka
program penjaminan Pemerintah, sesuai dengan Surat Keputusan Ketua BPPN
No. SK.423/ BPPN/1099 (bukti T.1-1), adalah milik PT Bank Bali, Tbk. dan
sepenuhnya digunakan sebagai dana rekapitalisasi PT Bank Bali, Tbk.

Menimbang, bahwa mengenai tuntutan Tergugat asal I di dalam gugatan


rekonvensinya agar Tergugat asal II dihukum untuk mengizinkan Tergugat asal
I mencairkan escrow account No. 0999.045197, bahwa gugatan rekon- vensi
pada hakikatnya adalah suatu gugatan biasa yang diajukan oleh Tergugat dalam
Konvensi bersama-sama dengan jawabannya terhadap Penggugat dalam
Konvensi (Pasal 132 a jo. Pasal 132 b HIR), karena itu tuntutan dalam
rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat Pasal I terhadap Tergugat asal II (lihat
petitum No.4 dari gugatan dalam rekonvensi) tidak berdasar hukum sehingga
tun- tutan/gugatan tersebut harus ditolak;

230
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

Cessie Bahwa lagi pula Tergugat asal II dengan suratnya No. 1/48/DPVWB
1/Rahasia tanggal 11 November 1999 telah mencabut surat Bank Indonesia No.
1/425/UPWB I/Rahasia tanggal 12 Agustus 1999 kalimat "Rekening escrow
tersebut tidak dapat ditarik/dicairkan tanpa per- setujuan dari Bank Indonesia

Menimbang mengenai sita revindicatoir dan tuntutan agar putusan ini dapat
dilaksanakan secara serta merta, bahwa oleh karena putusan Mahkamah Agung
adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka tuntutan tersebut harus
ditolak.

TERHADAP ALASAN-ALASAN KASASI DARI PEMOHON


KASASI/TERGUGAT ASAL II
Menimbang, bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi Tergugat asal II
menurut pendapat Mahkamah Agung judex facti telah salah menerapkan hukum
sebagaimana yang telah dipertimbangkan dalam penimbangan alasan- alasan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat asal I tersebut di atas;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tersebut di


atas terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi I: PT Bank Bali Tbk. dan II: Bank Indonesia tersebut dan
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 23 Maret 2001 No.
487/PDT/2000/PT DKI, vang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan tanggal 18 April 2000 No. 448/Pdt.G/1999/PN. JAK.SEL, serta
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan
seperti yang akan disebutkan di bawah ini.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan dan


Termohon Kasasi adalah pilhak yang kalah,

231
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

maka ia dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan
baik tingkat pertama, banding. maupun dalam tingkat kasasi ini.

Memerhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,


Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagai- na telah diubah dengan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 dan undang-undang lain yang bersangkutan;

MENGADILI

Mengabulkan permohonan kasasi dari Kasasi I: PT BANK BALI Tbk.


dan II: BANK INDONESIA tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tangga! 23 Maret 2001 No.


487/PDT/2000/PT.DKI. yang me- para Pemohon nguatkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tanggal 18 April 2000
No.448/Pdt.G/1999/PN.JAK.SEL.;

MENGADILI SENDIRI

DALAM KONVENSI:
DALAM EKSEPSI:
Menolak seluruh eksepsi para Tergugat I dan II;

DALAM PROVISI:
Menolak tuntutan Penggugat dalam provisi;

DALAM POKOK PERKARA:


Menolak seluruh gugatan Penggugat;

DALAM REKONVENSI:
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; Menyatakan bahwa dana
pada PT Bank Bali, Tbk. escrow account No. 0999.045197 atas nama Bank Bali
qq PT Era Giat Prima sebesar Rp 546.466.116.369.- (lima ratus

232
Doktrin Subrogasi, Novasi, & Cessie

empat puluh enam miliar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas
ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) adalah milik PT Bank Bali, Tbk.
(Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat I dalam Konvensi); Menolak gugatan
yang selebihnya.

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI


Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat dalam Konvensi/Tergugat
dalam Rekonvensi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan, yang tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp 200.000.- (dua ratus
ribu rupiah).

dalam Demikianlah diputuskan dalam rapat pemusyawaratan Majelis


Mahkamah Agung pada hari Senin Tanggal8 Maret 2004 oleh Bagir Manan
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang Marianna Sutadi, SH., dan Prof.
DR. Paulus E. Lotulung, SH., Hakim-hakim Anggota, dan diucapkan dalam
siding terbuka untuk umum pada hari itu Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri
oleh Marianna Sutadi, SH., dan prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH., Hakim-
Hakim Anggota, Shirley P. Widodo, SH., Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh kedua belah pihak.

233

Anda mungkin juga menyukai