Uts Maulia 2120060004 MMPT
Uts Maulia 2120060004 MMPT
Oleh :
Maulia, S.Pd
(2120060004)
Dosen Pembimbing :
MEDAN
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga
sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
Penulis
ii2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I.....................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
1. Latar Belakang............................................................................................................4
2. Tujuan ........................................................................................................................4
3. Rumusan Masalah.......................................................................................................4
BAB II....................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
7. Tasawuf ....................................................................................................................26
BAB III.................................................................................................................................33
KESIMPULAN....................................................................................................................33
1. Kesimpulan...............................................................................................................33
2. Saran .........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................34
iii
3
BAB I.
PENDAHULUAN
Ajaran dan ketentuan-Nya yaitu Al-qur’an dan sunnah. Sehingga beruntunglah bagi
mereka yang telah menjadi pengikutnya kemudian dapat pula melaksanakan dan
mengamalkan ajaran Islam secara baik dan benar.
2. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
3. Metode Penulisan
Penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah : Studi Pustaka.
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan
makalah ini.
4
BAB II.
PEMBAHASAN
1. DEFINISI ISLAM
A. DEFINISI ISLAM MENURUT BAHASA
Pengertian Islam menurut bahasa, maka kata Islam berasal dari kata aslama yang
berakar dari kata Salama. Kata Islam adalah bentuk Mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.
Kata Islam terdiri dari tiga huruf, yaitu ( سsin), ( لlam), ( مmim), yang artinya "selamat"
(salam). Dari pemahaman linguistik Islam ini dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama
penyelamat di dunia dan di akhirat (alam kehidupan setelah kematian)
Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslim/umat
Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian, antara lain tercermin dalam bacaan
shalat –sebagai ibadah utama– yakni ucapan doa keselamatan “Assalamu’alaikum
warohmatullah” –semoga keselamatan dan kasih sayang Allah dilimpahkan kepadamu–
sebagai penutup salat.
Ditinjau dari segi bahasanya ini, yang dikaitkan dengan asal katanya (etimologis),
Islam memiliki beberapa pengertian, sebagai berikut:
As-Salmu berarti damai atau kedamaian. Firman Allah SWT dalam Alquran, “Dan
jika mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al Anfal : 61).
Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Inilah salah satu
makna dan ciri Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk
mencintai perdamaian atau selalu berjuang untuk perdamaian, bukan untuk perang atau
konflik dan kekacauan. “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujarat : 9).
5
Salah satu bukti bahwa Islam adalah agama yang membela perdamaian adalah bahwa
Allah SWT melalui Al-Qur'an hanya mengizinkan atau mengizinkan umat Islam untuk
berperang ketika musuh-musuh mereka menentang mereka. “Telah diizinkan (berperang)
bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj : 39).
Aslama artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah diri kepada aturan Allah
SWT. Hal ini memberitahukan bahwa seseorang pemeluk Islam adalah seorang yang secara
tulus menyerahkan jiwa & raganya hanya pada Allah SWT. Penyerahan diri misalnya ini
ditandai menggunakan aplikasi terhadap apa yg Allah perintahkan dan menjauhi segala
larangan-Nya
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya.” (QS. An-Nisa : 125)
Karena jika kita benar-benar berpikir bahwa semua makhluk Allah, baik di bumi
maupun di langit, tunduk kepada Allah SWT mengikuti Sunnatullah-Nya. “Maka apakah
mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri
segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada
Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83)
“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS As-Saffat : 26)
6
Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Seorang Muslim
atau pemeluk agama Islam diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan
raga serta harta atau apa pun yang dimiliki hanya kepada Allah SWT. “Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-
Baqarah : 208).
Islam adalah agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. (Kamus Bahasa
Indonesia, 2008;565). Menurut Ahmad Fathoni (2001:48-49) disepakati oleh para ulama
bahwa Islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia diturunkan
ke muka bumi dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur’an
yang suci diwahyukan tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW
satu kaidah hidup yang memuat tuntutan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup
manusia, baik spiritual maupun material.
Menurut DR. KH Zakky Mubarak, MA., pengertian Islam secara terminologis atau
istilah agama, khususnya agama Islam adalah peraturan – peraturan Allah yang diwahyukan
kepada Nabi dan Rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia agar mencapai kebahagiaan
di dunia dan di akhirat. Agama islam disyariaatkan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-
Nya berdasarkan pada satu ajaran dasar, yaitu monoteisme murni (Tauhid), dan satu tujuan,
yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat (hasanah fi al-dunya wal karimah).
Jika ada pertanyaan apakah islam itu? Maka jawabnya menurut Mahmoud Syalthout
(1967:25) ialah Agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-
pokok serta peraturan-peraturan-Nya kepada Muhammad Saw. Dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dan mengajak mereka untuk
memeluknya.
Sedangkan menurut Harun Nasution (1974: 16) Islam merupakan agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw
sebagai Rasul. Islam pada Hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu
segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
7
dan patuh. Dalam Al-quran istilah agama dikenal sebanyak 94 kali. Secara etimologi agama
berarti menguasai, ketaatan dan balasan.
Sebagai sebuah agama, Islam menunjukkan beberapa karakteristik yang berbeda dari
agama-agama besar lainnya yang dianut oleh umat manusia di seluruh dunia. Berikut adalah
karakteristik atau ciri-ciri dari ajaran Islam:
1) Ajaran Islam adalah ajaran yang rasional dan dapat dinalar dengan logika.
Ajaran Islam tidaklah sulit karena aturan yang diterapkan oleh Islam sesuai dengan
kondisi dan kemampuan manusia.
Islam adalah agama momotheisme (agama yang menekankan pada Tuhan) atau
disebut juga agama Tauhid. Tuhan sebagai pencipta mutlak, manusia tidak bisa berbuat apa-
apa selain tunduk pada kehendaknya. Sedangkan kata Islam adalah berserah diri sepenuhnya
kepada kehendak Allah. Dalam hal itu manusia menyerahkan dirinya kepadanya, yaitu
dengan menaati perintah dan menghindari larangan Allah, manusia mencari keselamatan
dalam tauhid.
Aqidah yang diajarkan oleh para nabi dan rasul tidak pernah berubah dari waktu ke
waktu, yaitu akidah tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan
yang benar. Islam adalah agama yang benar, ajaran Islam dimaksudkan untuk berkembang
dan mencerahkan umat manusia menuju peradaban yang lebih maju. Tidak ada satu pun
ajaran Islam yang bertentangan dengan akal sehat, ilmu pengetahuan dan teknologi, norma
etika, dan sosial, karena Islam telah menjelaskan dan menegaskan semuanya.
Islam sebagai agama universal mencanangkan beberapa nilai luhur dari penciptaan
alam hingga zaman kehancuran (kiamat). Ajaran Islam adalah ajaran yang menghargai
pluralitas umat beragama, inklusivitas, moderasi dan toleransi terhadap perbedaan, serta
menjadi pedoman bagi semua orang, bukan hanya satu bangsa atau kelompok. Aturan Ushul
Fiqh menyatakan: “Jika perusahaan menjadi sempit, dapat diperluas, jika terlalu luas,
masalahnya menjadi lebih sempit.
Dari kaidah-kaidah tersebut kita dapat melihat elastisitas dan keluwesan ajaran Islam
sesuai dengan naluri manusia. Dalam Islam misalnya, ada konsep azimah (permintaan) dan
8
rukhsah (bantuan). Contoh azima adalah larangan memakan mayat, tetapi ketika muncul
kondisi tertentu, seperti tidak makan, maka dibuatlah rukhsah, yang memudahkan memakan
mayat karena tidak ada makanan lain. Bahkan rukhsah bisa menjadi azimah yang sebelumnya
diharamkan tetapi malah menjadi keharusan karena jika tidak dimakan akan mengakibatkan
kematian seseorang.
Sebagai agama yang berhubungan dengan Syamil Mutakamil (integral yang lengkap
dan sempurna) Islam menangani semua aspek kehidupan manusia dari masalah kecil hingga
masalah besar. Islam, agama yang sempurna, dapat didefinisikan sebagai prasyarat yang
mapan dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Meskipun Islam adalah agama yang
sempurna, bukan berarti umat Islam stagnan (jumud), tetapi harus dinamis. Artinya, selalu
ikuti waktu dan perbarui hal-hal yang benar.
Allah SWT menyebutkan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan atau orang
yang seimbang dalam melakukan perbuatan baik memuaskan kebutuhan fisik dan mental
serta kebutuhan spiritual. Ketidakseimbangan dalam hal agama akan menimbulkan berbagai
konflik, dalam masalah aqidah misalnya, banyak agama yang menghendaki adanya Tuhan
secara konkrit agar pemeluknya membuat simbol berupa patung. Ada juga agama yang
menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak sehingga masalah ketuhanan hanya sebatas
sesuatu yang abstrak.
Ciri terakhir adalah bahwa Islam menjaga kemerdekaan atau kebebasan. Dalam
bahasa Arab disebut hurriyyah. Kata hurr disebutkan satu kali dalam surah AlBaqarah ayat
178. Dari kata inilah terbentuk kata altahrir, yang berarti pembebasan. Dalam Islam,
kemerdekaan itu penting dan alami. Setiap orang baru secara otomatis lahir dalam keadaan
merdeka. Tidak ada yang berhak menjadikannya budak. Kebebasan dalam Islam adalah
kebebasan yang bertanggung jawab.
Ini berarti bahwa berbagai kebebasan yang dimiliki orang tidak berarti bahwa mereka dapat
melakukan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, tidak ada yang berhak memaksakan
kehendaknya pada orang lain. Pemaksaan kehendak, terutama melalui kekerasan,
pengekangan, moderasi, dan penghinaan, melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri dan juga
9
melanggar prinsip tauhid. Dari sini setiap orang berkewajiban untuk saling melindungi,
memberikan rasa aman dan menghormati kemerdekaan.
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan acuan pedoman,
dasar untuk menjalankan syari'at islam.
1. Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi informasi tentang alam semesta yang
dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia seperti:
10
QS 27:88 :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung
itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
3) Jumlah Planet yang bukan Sembilan namun sebelas.
QS. 12:4 :“Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”.
Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada
sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang
benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya.
Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi
menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Fungsi Al-Qur’an Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga
fungsi utama,
Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar
menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau
seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang
ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada
Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111).
Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
11
c) Sebagai Furqán
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan yang
báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan
nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá,
bayyinát maupun furqán secara mendalam, maka AlQur’an perlu dipelajari bagian demi
bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami
munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat
yang lain.
d) Sebagai Syifa
Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep) (QS. 10:57). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi
walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter
diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an,
ia adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha
Benar.
Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur’an yang untuk sementara waktu
belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab kalau
menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa keburu mati. Juga obat dari dokter kadang
rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan
dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak
akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan
dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar
seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat AlQur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan
pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah
sikap kufur
12
Untuk memahami isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat Al-
Qur’an tidak cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa, tetapi perlu
melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
a) Dilihat dari caranya, dikenal dua macam penafsiran yakni tafsir tahlili dan tafsir
maudhui.
Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut, ayat perayat, dari mulai surat
Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás ayat terakhir, tanpa terikat oleh tema,
judul atau pokok bahasan.
Tafsir Maudlu‘i ialah penafsiran berdasarkan tema-tema yang dipilih sebelumnya.
Caranya semua ayat yang berkaitan dengan tema (maudlu’i) yang dibahas
diinventarisir tanpa terikat oleh urutan surat, kemudian disistimatisir dan ditafsirkan
sehingga antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling melengkapi pembahasan
tema. Misalnya pembahasan tentang Riba, maka seluruh ayat yang berkaitan langsung
atau tidak langsung dengan masalah riba, diinventarisir kemudian dibahas menurut
sub-sub tema, sehingga sampai kepada kesimpulan.
b) Dilihat dari pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsir bi alMa’tsur dan Tafsirr bi
al-Ma‘qul.
Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’tsur ialah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan
hadits (Inilah cara tafsir terbaik).
Tafsir bi al-ma‘qul adalah penafsirkan alQur’an dengan logika. Tafsir kedua ini
sering juga disebut tafsir bi arRa’yi. Jadi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi
adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan dalil-dalil logika.
2. As-Sunnah
13
Sunnah Rasul adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang berfungi
sebagai penjelasan tentang pesan-pesan Al-Qur’an, Tanpa mengikuti Sunnah Rasul mustahil
bisa sempurna dalam mengamalkan Al-Qur’an.
Isi Al-Qur’an bersifat global yang memerlukan banyak penjelasan. Untuk itu, datanglah
Rasulullah SAW menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an secara detail, baik tentang tatacara
ritual maupun mu’amalah, dari mulai tatacara shalat, sampai kepada cara berumah tangga dan
bernegara. Segala penjelasan rasulullah, baik berupa perbuatan (Fi’liyah) perkataan
(qauliyah) maupun sikap diam/ no coment (taqririyah) disebutlah Sunnah Rasul. Sebagai
penjelas, nabi adalah whole model (Uswah hasanah) yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Dalam hal ini tidak semua sahabat melihat langsung sunnah rasul, tetapi hanya
mendengar beritanya, apalagi orang-orang setelah sahabat. Berita tentang sunnah rasul itu
disebutlah hadits. Jadi, Sunnah Rasul adalah faktanya sedangkan hadits hanyalah beritanya.
Sunnah rasul pasti benar, sedangkan hadits (karena hanya berita) mungkin benar mungkin
salah. Semua mukmin diwajibkan mengikuti sunnah Rasul bukan diwajibkan mengikuti
hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui sunnah rasul apabila tidak mempelajari
haditsnya.
14
Bagi mukminin, mengetahui perilaku dan seluk beluk kehidupan seorang model (idola)
sangat perlu. Akan tetapi pada kenyataannya, orang yang bisa melihat perbuatan nabi sebagai
model, baik tatacara shalat, tatacara shaum, maupun tatacara haji hanya sebagian sahabat
saja, apalagi menyangkut tatacara berumah tangga dan hal-hal yang bersifat sangat pribadi,
yang hanya diketahui oleh isterinya. Sebahagian besar orang Islam pada saat itu hanya
mendengar beritanya. Berita itu bahasa Arabnya adalah khabar (akhbar) atau hadits. Jadi
hadits adalah berita tentang sunnah rasul. Hadits secara bahasa bisa berarti baru bisa juga
berarti berita, new dan news. Pendek kata, sunnah rasul adalah faktanya, sedangkan hadits
adalah beritanya. Sunnah rasul sebagai sebuah fakta, pasti benar mustahil salah. Sedangkan
hadits hanyalah beritanya. Yang namanya berita sering bias, ada distorsi, mungkin benar
(shahih) bukan lemah (dhaif). Sumber hukum kita adalah sunnah bukan hadits. Akan tetapi
bagaimana mungkin bisa mengetahui sunnah rasul kalau tidak membaca haditsnya.
Hadits / sunnah Rasul berfungsi sebagai bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an, tanpa
memahami hadits tidak akan mampu memahami AlQur’an dengan jelas. Bayan ada beberapa
macam :
Apabila anatomi hadits dibedah sebagaimana membedah anatomi berita, kita akan
menemukan tiga unsur berita, yakni sumber berita, kredibiltas sumber berita dan isi berita itu
sendiri. Demikian pula hadits terdiri dari tiga unsur yakni
15
Matan ( isi berita).
Katagorisasi hadits, baik secara kuantitas maupun kualitas ditentukan oleh tiga unsur
hadits tadi. Dari sisi kuantitas, hadits terbagi kepada tiga, yakni :
Hadits Mutawatir, ialah hadits yang diterima oleh orang banyak kemudian
disampaikan lagi kepada orang banyak, demikian seterusnya. Secara adat, tidak
mungkin orang banyak sepakat untuk berdusta. Oleh karena itu kedudukan hadits
mutawatir sangat tinggi.
Hadits Masyhur ialah hadits yang diriwatkan oleh orang banyak tetapi tidak sebanyak
mutawatir.
Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, tiga orang
atau lebih tetapi tidak mencapai derajat masyhur.
Dari sisi kualitasnya hadits terbagi dua yakni hadits Shahih dan hadits Dhaif.
Hadits dinilai shahih apabila ketiga unsur hadits itu sah, yakni Dari sisi Sanad, antara
pembawa berita dan penerima berita harus bersambung (muttasil sanad). (2). Dari sisi
kredibilitas Rawi, harus kuat ingatan dan jujur. Kalau ia memiliki sifat dhabith dan
‘adalah maka rawi tersebut dianggap kuat (tsiqah). (3). Dari sisi Matan (isi berita),
tidak ada cacat (ghair mu’allal ) dan tidak janggal (ghair syadz).
Apabila tidak memenuhi syarat di atas maka hadts dinilai Hadits Dhaif.
Karena tidak semua hadits itu shahih, maka seorang mukmin jangan tergesa-gesa
meyakini keabsahan suatu hadits lantas mengamalkannya, sebelum meneliti kualitas hadits
tersebut, paling tidak bertanya kepada ahlinya. Amal-amal ibadah yang bid’ah yang
dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya disebabkan oleh kecerobohan menerima dan
mengamalkan hadits. Selain itu, kesalahan pun sering terjadi akibat misinterpretasi dalam
memahami teks hadits yang sahih, misalnya hadits yang menyatakan bahwa nabi makan
dengan tiga jari. Apabila hanya melihat teks hadits tanpa melihat konteksnya, akan lahir
kesimpulan bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah rasul, padahal konteks hadits
tersebut adalah makan kurma, bukan makan nasi.
3. TEOLOGI ISLAM
16
Teologi adalah ilmu yang membahas tentang tauhid sedangkan tauhid sama dengan
aqidah itu sendiri. Ilmu ini tumbuh di dalam Islam, sebagaimana agama-agama yang lain
sebelumnya, karena beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhannya, kemudian
berkembang dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam. Ilmu ini tidak tumbuh langsung
menjadi sempurna, melainkan keadaannya seperti keadaan ilmu-ilmu Islam yang lain, yang
pada mulanya terbatas ruang lingkup pembahasannya, kemudian meluas dan berkembang
sedikit demi sedikit. Dalam hal ini, ia mengikuti hukum pertumbuhan dan perkembangan dan
terpengaruh oleh beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya
sehingga menjadi sempurna seperti apa yang diketahui dewasa ini.
Di antara faktor-faktor itu ada yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadist- hadist
Rasulullah SAW, ada yang berkaitan dengan orang-orang yang masuk Islam yang berasal
dari bangsa-bangsa yang berbeda intelektualitas, kebudayaan serta ada pula yang berkaitan
dengan filsafat Yunani dan lain-lainnya yang ditransfer ke dalam Islam. Al-Qur’an yang
merupakan kitab suci agama Islam mengajak untuk berfikir, melakukan penalaran dan
memperhatikan dengan indra, dicerna dengan akal pikiran agar orang-orang melakukannya,
khususnya dalam akidah-akidah keagamaan. Karena itu, orang-orang Islam harus
menggunakan akalnya untuk memahami Al-Qur’an, Sunnah dan Hadist NAbi yang datang
untuk menetapkan dan menjelaskan kitab suci ini. Mereka bertanya kepada Rasulallah
tentang apa yang tidak mereka pahami, tidak ketahui, kemudian beliau menjelaskannya.
Ketika Beliau meninggal, muncullah masalah jabatan khalifah dan siapa yang berhak
memangkunya sesudah beliau, dalam pro kontra kekhalifahan tersebut, kemudian terjadi
pembunuhan terhadap Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Hal ini menjadi salah satu
sebab yang menimbulkan perbedaan pendapat dan perdebatan, sehingga akhirnya menjadi
jelas kebenaran tentang masalah yang mereka perselisihkan itu. Pertama-tama mereka
berpendapat tentang pemimpin, pemerintah dan syaratsyaratnya. Siapakah yang berhak
menjadi pemimpin kaum Muslimin seluruhnya. Syi’ah berpendapat bahwa hak itu hanya
khusus untuk Sayidina Ali dan anak keturunannya.
Khawarij sama dengan Mu’tazilah berpendapat bahwa pemerintah merupakan hak bagi
orang Islam yang paling pantas untuk mendudukinya, walaupun ia seorang hamba sahaya ia
berkebangsaan non Arab, sedangkan orang-orang moderat, mereka merupakan mayoritas
ummat, berpendapat bahwa pemimpin pemerintahan merupakan hak bagi orang dari suku
17
Quraisy yang paling pantas untuk mendudukinya, karena Rasulullah telah bersabda :
Artinya : “Pemimpin-pemimpin ummat ini harus dari suku Quraisy”. Setelah terjadinya
perang saudara dengan terbunuhnya Usman bin ‘Affan, kaum muslimin berbeda pendapat
tentang dosa besar. Apakah dosa besar itu?, dan tentang orang yang melakukannya. Apakah
ia mukmin atau kafir? perbedaan ini secara otomatis disusul dengan perbedaan pendapat
tentang “Iman”, defenisi dan penjelasannya. Berangkat dari perbedaan pendapat tentang hal
itu, muncul golongan Khawarij, Murji’ah kemudian Mu’tazilah
a. Aliran Khawarij
Ukwah bin Udayyah yang dikenal sebagai aliran Khawarij berhadapan dengan kasus
pembunuhan atau dosa besar yang menjadi polemik pada masa itu. Bagaimana posisi orang
beriman tetapi melakukan dosa besar. Aliran Khawarij memiliki keyakinan bahwa jika
seseorang tidak berhasil membuktikan imannya dalam bentuk menghindari dari perbuatan
dosa maka dapat diterapkan hukum kafir dan dapat dibunuh.18 Jika dikaji dari metodologi
berfikir, pendirian ini berpangkal pada keutuhan mutlak antara unsur-unsur iman yang terdiri
dari pembenaran dalam hati dengan realisasinya dalam perbuatan kongkret, keutuhan mutlak
yang dituntut oleh Khawarij antara iman dalam hati dengan perilaku praktis, sudah barang
pasti membawa pada konsekuensi bahwa pembunuh adalah orang yang tidak memiliki iman
dalam hati atau dengan kata lain kafir. Di sini jelas terdapat potensi keberagaman yang
positif, meskipun cenderung tanpa kompromi.
b. Aliran Murji’ah
Al-Hasan bin Ali Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist
kemudian dikenal dengan sebutan Murji’ah. Jadi bagi kelompok ini orang Islam yang berdosa
besar masih tetap beriman. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah memberi defenisi iman sebagai
berikut : Iman adalah pengakuan dan pengetahuan tentang Tuhan, Rasulrasulnya dan tentang
semua apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam rincian. Iman tidak
mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam
hal iman.
18
Tokoh aliran ini adalah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidy. Aliran ini pada dasarnya aturan esensial berfikir ini terdiri dari tiga komponen.
Pertama adalah pengakuan bahwa masing-masing lapisan realitas memiliki logika berfikir
yang sesuai dengan kodrat sendiri. Kedua adalah pengakuan bahwa kebenaran dari lapisan
lain dapat diterima melalui keyakinan atas dasar otoritas aturan berfikir dan unsur ketiga
adalah pengakuan bahwa lapisan realitas tersebut merupakan kesatuan dasar Tuhan yang
diterima dalam Islam. Jadi aliran ini tidak menetapkan hukum kafir bagi pelaku dosa besar.
4. FILSAFAT ISLAM
Ilmu filsafat adalah ilmu yang sudah dipelajari sejak zaman dahulu. Mulanya berawal
dari budaya bangsa Yunani yang para tokohnya dikenal hingga saat ini seperti Aristoteles,
socrates dan lain sebagainya. Istilah filsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah” dan dalam
bahasa Yunani “Philoshopia” atau “philein” yang memiliki arti mencintai atau sophia
memiliki arti kebijaksanaan. Sehingga ilmu filsafat dikenal sebagai ilmu yang mempelajari
hasil pemikiran dari manusia. Hal ini juga merupakan pandangan hidup seseorang.
Awal mulanya perkembangan filsafat islam dimulai abad ke-8 Masehi. Pemikiran
filsafat pertama kali dijumpai kaum Muslimin melalui filsafat Yunani di Suria, Mesopotamia,
Persia dan Mesir. Referensi lain juga mengatakan bahwa kebudayaan dan filsafat dari Yunani
19
ini merupakan ekspansi yang dibawakan oleh Alexander Agung, sebagai penguasa
Maccedonia (336-323 SM). Ekspansi ini dibawakan setelah Alexander Agung berhasil
mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela. Alexander agung datang untuk
menyatukan kebudayan Yunani dan Persia. Sehingga hal ini telah memunculkan berbagai
pusat kebudayaan di wilayah Timur.
Pada masa dinasti Ummayah, pengaruh budaya Yunani terhadap islam belum
nampak. Karena saat itu perhatian yang dituju lebih berfokus pada kebudayaan Arab. Namun
pada masa khalifah Abbasiyah sudah terlihat perkembangan pengaruh budaya Yunani. Hal ini
terlihat pada ketertarikan pada ilmu kedokteran Yunani dengan sistem pengobatan yang
mereka terapkan. Sehingga hal ini menambah ketertarikan pada ilmu filsafat lainnya.
Ketertarikan ilmu filsafat mengalami peningkatan pesat pada zaman Khalifak Al-
Makmum. Sehingga kelahiran ilmu filsafat islam tidak terlepas dari usaha-usaha dalam
menerjemahkan naskah berbagai ilmu filsafat kedalam bahasa arab. Sehingga perkembangan
filsafat islam berperan aktif dalam kehidupan intelektual umat islam.
Filsafat islam merupakan ilmu filsafat yang mempelajari hakikat dalam pemahaman
suatu ilmu berdasarkan nilai-nilai dan ajaran agama. Sehingga meskipun filsafat adalah
adaptasi budaya yunani, namun tetap saja filsafat islam memiliki kaidah dan aturan tersendiri
dalam penerapannya. Sehingga kedua jenis filsafat ini akan berbeda. Karena sudah menganut
ajaran masing-masing agama, khususnya pada filsafat islam. Filsafat islam mengajarkan
beragam hal mengenai agama seperti ketuhanan, kitab, kerasulan, hubungan antar manusia
dan sesamanya serta dengan lingkungan. Ilmu filsafat islam juga mencakup ilmu tasawuf atau
biasa disebut dengan ilmu kebatinan. Dengan beragam hal yang dipelajari dalam filsafat
islam ini yang membedakan filsafat islam dengan ilmu filsafat lainnya. Ada beberapa
pengertian Filsafat Islam menurut tokoh-tokoh filsafat. Diantaranya:
1. Al-Kindi
Pengertian filsafat islam yang berperan dalam perkembangan filsafat islam adalah Al
Kindi. Atau yang memiliki nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah bin Imran bin
Ismail bin Al-asy’ats bin Qays Al-Kindi. Pengertian filsafat islam yang disampaikan Al Kindi
diakui oleh bangsa barat. Tidak hanya definisi Al Kindi, tetapi sosoknya sendiri pun juga di
20
akui. Sebagai seorang filsuf, tentu saja banyak karya yang dilahirkan oleh Al-Kindi,
diantarannya.
2. Al Farabi
Al Farabi adalah seorang filsuf musilm. Beliaulah orang yang mengaungkan aliran
falsafah al taufiqhiyah. Dimana filsafat islam ini dikembangkan dari tokoh sebelumnya, yaitu
dari filsuf Yuyani seperti Platinus, Plato dan Aristoteles. Siapa sih yang tidak kenal plato dan
Aristoteles, pasti kamu sudah tidak asing lagi bukan dengan mereka. Kamu pun bisa
membaca penemuan mereka di buku.
Al-Farabi atau yang memiliki nama Abu Nasir Muhammad bin Al-Farakh al- Fārābi‘
mengartikan bahwa filsafat islam memiliki tujuan. Jadi pengertian filsafat islam pada
dasarnya dapat dilihat dari hakikat dari filsafat itu sendiri. Dimana tujuan utamanya adalah
mencari kebenaran dari sesuatu hal.
3. Ibnu Rusyd
Tokoh filsuf islam yang tidak kalah dikenal adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd merupakan
tokoh ilmuan yang cukup dikenal memiliki pemikiran yang rasionalis. Tentu saja wajar jika
demikian, karena butuh pemikiran kritis bukan dalam melakukan proses berfikir. Ibnu Rusyd
atau yang bernama lengka Abu Walid Muhammad bin Rusyd ini juga diekanl sebagai
ilmuwan muslim yang bdikenal loh. Sebagai orang yang rasionalis, pengertian filsafat islam
tidak hanya berfikir seenaknya. Tetapi ia juga sangat menjunjung tinggi akal dalam
melakukan proses berfikir. Bagaimanapun juga, akal fikiran bekerja berdasarkan maj’ani
kulliyah. Dimana di dalam pengertian umum di dalamnya mencakup hal-hal penting yang
bersifat juzi’iyah (partial).
4. Ibnu Sina
Beliau adalah sosok ilmuwan yang memiliki latar belakang dibidang kedokteran.
Meskipun demikian, ternyata beliau sosok filsuf muslim yang juga terkenal. Pengertian
filsafat islam menurutnya bahwa akal manusia itu berasal dari sang Pencipta. Ia pun sangat
religious dalam mendefinisikan pengertian filsafat islam. Hal ini terlihat dari pendapatnya
21
yang rendah hati, yang menyatakan bahwa semua ilmu yang ada dan dimiliki manusia pun
juga berasal dari Tuhan. Dimana akal dan keberadaan sebenarnya beradadi luar akal. Nah
sampai sini, pasti ada yang mikir maksudnya gimana? Bagi yang mengambil jurusan filsafat
pasti tahu maksudnya. Meskipun latar belakang sebagai seorang dokter, ternyata Ibnu Sina
pun juga salah satu filsuf yang tertarik dan banyak mengembangkan meta fisika dan filsafah
tentang jiwa. Tentu saja ulasannya tidak bisa sembarang kita pelajari.
5. Al Ghazali
Al-Ghazali atau yang memiliki nama Panjang Muhammad bin Ahamad, Al-Immamul
Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Sesuai namannya yang Panjang, banyak pemikiran
yang Panjang yang saya maknai memiliki wawasan yang luas. namannya juga filsuf, pastinya
memiliki wawasan dan perspektif yang lebih. Al-Ghazali salah satu filsuf asal Thusi, Persia
yang memiliki banyak sekali karya filsafat. Pengertian filsafat islam yang dikembangkan Al
Ghazali memang banyak sekali. Salah satunya pendapatnya tentang ilmu pengetahuan
sebenarnya tidak dapat ditangankan menggunakan panca indera manusia. Itu sebabnya beliau
pun lebih mempercayai akal daripada panca indera.
HAM (Human Rights, bahasa Inggris) diartikan sebagai sebuah konsep hukum dan
normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia
adalah seorang manusia. HAM berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun,
sehingga sifatnya universal.
HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut, juga tidak dapat dibagi-bagi, saling
berhubungan, dan saling bergantung. HAM biasanya dialamatkan kepada negara dengan kata
lain negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
HAM, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh
swasta.
Dalam terminologi modern, HAM dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik
yang berkenaan dengan kebebasan sipil. Seperti gak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan
kebebasan berpendapat. Termasuk juga hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan
22
dengan akses ke barang publik. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak
atas kesehatan, dan lainnya.
Jauh sebelum dunia Barat memperkenalkan Hak Asasi Manusia alias HAM pada
sekitar abad XVI-XIX, Islam sudah terlebih dahulu memperkenalkan konsep HAM pada
1.300 tahun sebelumnya. Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
merupakan salah satu sosok revolusioner sekaligus pejuang penegak HAM yang paling gigih
se antero jagad. Ia tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan HAM yang
tertuang dalam kitab suci (Al-Qur’an), namun juga memperjuangkan dengan penuh
pengorbanan dan kesungguhan. Salah satu kegigihan Nabi dalam memperjuangkan HAM,
yakni memurnikan ajaran maupun kebiasaan yang ada pada zamannya, yakni tradisi
masyarakat Arab Jahiliyah di Makkah yang sangat bertentangan dengan konsep HAM.
Dalam catatan sejarah, Islam juga sudah mengenal apa yang disebut dengan HAM.
Salah satunya dibuktikan dengan adanya bentuk perjanjian konkrit yang disebut sebagai
Piagam Madinah pada tahun 622 Masehi. Bukti lainnya berupa pidato Muhammad bin
Abdullah pada tahun 632 Masehi, yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Arafah. Bahkan
deklarasi tersebut disebut-sebut sebagai dokumen tertulis pertama yang berisi tentang HAM.
Secara sederhana dapat disimpulkan, jika dunia internasional baru mengenal HAM ribuan
tahun pasca adanya konsep HAM mempuni yang diprakarsai Islam pada zaman Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Memang masyarakat kuno tidak mengenal konsep HAM universal, seperti halnya
masyarakat modern. Pelopor dari wacana HAM adalah konsep hak kodrati yang
dikembangkan pada abad pertengahan, dipengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika
dan Revolusi Prancis. Konsep HAM modern akhirnya muncul pada paruh kedua abad 20,
terutama pasca dirumuskannya Pernyataan Umum tentang HAM di Paris (Prancis) pada 1948
silam.
Sejak saat itu, HAM mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam
kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan HAM dalam skala
internasional diawasi oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sepeti Dewan HAM
dan Badan Troktat hingga Komite HAM dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
23
Secara konseptual, HAM dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut
‘dianugerahkan secara alamiah’ oleh alam semesta, nalar atau bahkan Tuhan. Mereka yang
menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi merupakan pengejawantahan
nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Selain itu ada pula yang menganggap HAM
sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga
terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa
HAM hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang hukum internasional, HAM sendiri dapat dibatasi atau
dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki
tujuan yang sah dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara pengurangan
hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam ‘kehidupan bangsa’.
Umat Islam diharapkan melengkapi diri dengan ilmu dan keterampilan yang tepat melalui
sumber terpercaya untuk menghadapi berbagai doktrin dan tantangan baru. Hal itu demi
memastikan hak-hak yang diperjuangkan sesuai prinsip dan bebas dari unsur yang
bertentangan dengan Islam.
Perlunya memberdayakan komitmen kehidupan beragama sebagai satu cara hidup, demi
memastikan setiap individu muslim mampu menyikapi realitas kehidupan saat ini yang
berporos kepada prinsip dan panduan ajaran Islam.
Mencari titik persamaan atas nilai-nilai kemanusiaan seperti martabat dan kehormatan,
kemerdekaan dan kebebasan, kesetaraan dan kesamaan, serta persaudaraan sebagai dasar
kesempatan untuk bekerjasama menangani isu-isu hak asasi manusia yang sejalan dengan
Islam.
Menyebarluaskan pemahaman tentang Islam sebagai satu sistem nilai dan etika, yang
berkontribusi kepada kebaikan bersama.
24
Memperkuat perjuangan hak asasi manusia yang sejalan dengan tuntutan Islam,
berdasarkan strategi menekankan prinsip-prinsip Islam sebagai sistem etika tentang
HAM, meningkatkan pemahaman masyarakat terkait prinsip HAM sesuai etika Islam,
serta meningkatkan efektivitas jaringan kerjasama antarotoritas agama di setiap negara,
organisasi dan individu, demi memperkuat perjuangan isu-isu hak asasi dari perspektif
Islam.
Siap menjalin kolaborasi program penjelasan HAM dari sudut pandang Islam melalui
kerja sama strategis di antara negara anggota.
Forum menyepakati penulisan konsep HAM dari sudut pandang Islam yang dibentangkan
dalam konferensi ini dapat diterbitkan atas nama MABIMS (Forum Menteri Agama
Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sebagai sumber informasi bagi para peneliti
yang bisa dijadikan referensi di tingkat negara anggota, serta masyarakat antarbangsa.
6. POLITIK ISLAM
Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang
melahirkan sikap dan perilaku politik (Political Behavior) serta budaya politik (pollical
culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap dan perilaku serta budaya politik yang
memakai kata sifat Islam, menurut Din Syamsuddin (2001:31), bermula dari suatu
kepribadian moral dan doctrinal terhadap keutuhan komunitas spriritual Islam. Senada
dengan Din, Azyumardi (1996:12) mengemukakan pandangan antropolog Dale Eickelman
dan Ilmuwan polotik James Piscatori yang menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam
(Muslim) di seluruh dunia dewasa ini adalah pertarungan tergadap “penafsiran makna-makna
Islam dan peguasaan lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung
pemaknaan Islam tersebut.” Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan
tentang Islam yang pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan
(Azyumardi, 1996: 12).
Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri’ayah syu-un al-
ummah). Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, karena islam tanpa politik akan melahirkan
terbelenggunya kaum muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan
melaksanakan syariat Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan
masyarakat yang mengangungkan kekuasaan, jabatan, bahan, dan duniawi saja, serta kosong
dari aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu, politik islam sangat penting bagi megingatkan
25
kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi boleh diwadahi oleh
politik (Ulya, 2015:27).
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif dalam konteks hubungan politik anatara Islam
dan negara-negara muslim atau negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia.
Kedua hal itu yakni:
Posisi Islam yang menonjol karena kependudukannya sebagai agama yang dianut
sebagian besar penduduk negara setempat.
Sekalipun domminan Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan
politik negara bersangkutan.
Sebagai agam yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur
yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting
dalam politik Indonesia. Namun demikian, Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah
kehidupan politik Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “Politik Islam”
di kalangan umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama (Syamsudduin, 2001: 51).
Nuansa politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh
karena itu, menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam ideal
era Nabi SAW bukanlah utopia, karena model itu pernah terbukti dalam sejarah. Jika pada
periode Mekah kaum muslimin masih menempati posisi marginal dan senantiasa tertindas,
maka pada periode Madinah mereka telah mengalami perubahan yang sangat dramatis. Ulat
Islam menguasai pemerintahan dan bahkan merupakan self-governign community. Di
Madinah peran nabi Muhammad SAW selain sebagai agamawan beliau juga sebagai
negarawan. Sejak saat itu oleh pakar politik modern, Islam dipandang sebagai suatu
pemerintahan politik sekaligus Agama (Effendi, 2003: 87).
7. TASAWUF
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara- cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkannya secara benar.
26
Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai
aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (Toriqot) menuju Allah. Jalan ini
dimulai dengan latihan rohaniah (Riyadoh), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase
yang dikenal dengan maqam (tingkatan), dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal
ma’rifah (kepada Allah). Tingkat pengenalan (ma’rifah)menjadi tujuan yang umumnya
banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sifat dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan
dan metode tertentu yang disebut Toriqot, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifah
kepada Allah).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah, tetapi harus melalui proses
perjalanan yang sangat panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam- maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang
ingin berjalan menuju Tuhan.
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat
atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages.
Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba
dihadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain,
Latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara
teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan
kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan
tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu
lainnya, yang diyaini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spirituanya di hadapan Allah swt.
(Syamsun, 2014: 137).
Inti ajaran tasawuf sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
bahkan bersatu dengan-Nya. Ada tujuh maqam yang harus dilalui :
27
a) Taubat
Secara literal, taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali
dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali,
kemudian kembali kepada Allah. Kembali kepada Allah bermakna mengerjakan segala yang
disukai-Nya (Bahri, 2005: 46). Taubat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena
selama ia belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu
berarti ia tidak kebal dari godaan-godaan setan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya
kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang. Bahkan, dalam pandangan Al-
Ghazali, bertaubat dengan segera merupakan kewajiban yang tak diragukan lagi, karena
adanya sebuah pengetahuan bahwa maksiat-maksiat yang dilakukan akan menghancurkan
sendi-sendi iman.
Menurut al-Daqqaq, siapa yang bertaubat takut akan siksa, maka ia tergolong orang
yang bertaubat. Siapapun yang bertaubat karena mengharapkan pahala ilahi, ia berada dalam
keadaan inabah. Dan siapa yang bertaubat semat-mata memenuhi printah ilahi, bukan karena
ingin mendapat pahala maupun takut akan hukuman, ia berada dalam keadaan awbah.
Menurut al-Daqqaq, taubat merupakan sifat kaum mukmin, seperti firman Allah, Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 31).
Sedang inabah adalah sifat para awliya’ dan muqarrabun. Dalam hal ini, Allah berfirman “Ia
adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya) (QS. Shaad:30).
Dan awbah adalah sifat para Nabi dan Rasul, seperti firman-Nya, “Sebaik-baik hamba,
sesungguhnya ia amatlah taat (kepada-Nya)” (QS. Shaad: 44).
Konsep taubat yang begitu dalam menurut konsep tasawuf, agak sulit menerapkannya
dalam tataran pembelajaran lembaga pendidikan sekolah pada umumnya. Oleh karena itu,
yang paling penting adalah mengambil substansi dari konsep tersebut untuk secara minimal
28
diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Makna dari taubat yang dapat diambil dalam
perspektif awam adalah, bahwa sehebat dan sepintar apa pun manusia pasti tidak lepas dari
kesalahan. Taubat merupakan sikap kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan kembali
pada kebenaran. Dalam konteks berhubungan dengan orang lain, nilai yang terkandung dalam
ajaran taubat adalah kerendahhan hati untuk mengakui kesalahan, memohon maaf, dan
memaafkan atas kesalahan orang lain. Dengan demikian, fitrah kesucian yang dimiliki
manusia akan terjaga.
b) Wara’
Maqam kedua adalah wara’, secara literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan
menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf, wara’ bermakna
menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas, sia-sia dan menjauhkan diri dari hal-hal haram
(terlarang), meragukan (syubhat). Abu Ali Daqaq menjelaskan wara’ adalah meninggalkan
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti (Bahri, 2005:51)
Jadi, wara’ berarti meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat: berupa ucapan,
penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim.
Semua itu jika tidak bermanfaat, tidak dilakukannya. Karena itu, orang yang birsifat wara’
adalah yang terus berusaha agar setiap ucapannya memberi manfaat bagi diri sendiri atau
orang lain. Jika tidak, ia memilih diam.demikian juga penglihatan, pendengaran, perbuatan
atau ide, sekiranya memberi manfaat akan dilakukannya (Bahri, 2005:52).
Menurut Bahri (2005: 52) Wara’ sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan Zuhud.
Menurut Suhrawardi, wara’ sebagai pondasi zuhud, sebagaimana qanaah (sikap puasa dari
yang ada) adalah bagian utama dari ridha.
c) Zuhud
Zuhud secara literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai. Dalam
al-Qur’an, misalnya disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 20, “Dan mereka tidak tertarik (min
al-Zahidin).” Yang dimaksud dengan al-Zahidin dalam ayat tersebut mengandung makna,
“tidak tertarik hatinya’ kepada harga jual Yusuf. Kata zuhud (z, h, dan d) menurut Abu Bakr
Muhammad alWarraq mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z berarti
29
zinah (perhiasan, kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan huruf d menunjk pada
dunya (dunia materi) (Bahri, 2005: 54).
Dalam erspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ikhwal
keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena takut kepada Allah, padahal terdapat
kesempatan untuk memperolehnya. Dari definisi tersebut timbul pertanyaan, apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan hal ikhwal keduniaan itu? Jawaban atas pertanyaan ini
tersirat dalam al-Qur’an Surat Ali Imran: 14: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
d) Faqr
Dalam tasawuf, faqr berarti senantiasa merasa butuh kepada Allah. Seorang hamba
menyatakan diri tidak memiliki sesuatu, bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal
duniawi, merasakan kebutuhan dan ketidakberdayaan di hadapan Allah. Hal ini sesuai dengan
firman Allah, “Wahai manusia, kamulah yang faqir (butuh) kepada Allah, sedangkan Allah
Maha Kaya lagi Terpuji”. (QS. Fathir:15).
Jadi, faqir bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tetapi orang yang bersih atau
kosong hatinya dari keinginan duniawi. Ini juga bermakna bahwa faqir itu adalah orang yang
hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Allah. Abu Bakar alSyibli menyebut bahwa
orang fakir adalah orang yang kaya dengan Allah semata. Sementara Yahya al-Razi
menyatakan bahwa barang siapa yang kekayaannya terletak dalam usahanya, maka ia
senantiasa fakir, dan barang siapa yang kekayaannya terletak dalam hatinya, maka ia
senantiasa kaya, dan barang siapa yang menyampaikan hajatnya kepada makhluk (manusia),
maka ia senantiasa tidak memperoleh apa-apa (mahrum) (Bahri, 2005:62).
e) Shabar
Secara literal, shabar berarti menahan atau menanggung. Dalam perspektif tasawuf,
berarti menjaga adab di hadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalani
perintah Allah dan menjauhi laranganNya, serta tabah pula dalam menghadapi setiap
30
peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat An-Nahl: 127: “Bersabarlah (Engkau Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu kecuali
dengan pertolongan Allah”. Juga sebuah hadits Nabi yang menyatakan: “Sabar yang
sebenarnya itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama”.
Dalam pandangan kaum sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah
dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran
merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan
diri kepadaNya, mendapatkan cintaNya, mengenalNya secara mendalam melalui hati
sanubari, bahkan merasa bersatu denganNya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak
mungkin dicapai.
f) Tawakkul
31
yang memandikannya. Pada tingkatan ini, tawakal adalah kepasrahan total kepada Allah
(BAhri, 2005:75).
g) Ridha
Ridha dalam perspektif tasawuf berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada
dan senang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah itu
menyenangkan atau tidak. Ridha kepada Allah muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah
terhadap sang hamba lebih baik daripada keputusan hamba itu bagi dirinya sendiri. Jika
seseorang merasa ridha kepada Allah niscaya Allah pun ridha kepadanya. (QS. Al-Maidah:
119). Keridhaan sang hamba kepada Allah dan perkenan Allah terhadap hamba-Nya hanya
dapat diraih melalui tahapan penyucian jiwa, sehingga ia memperoleh ketentraman batin.
Hanya orang yang memiliki hati yang tentram serta berharap tulus kepada Allah dengan
penuh rasa cinta, yang akan mendapatkan panggilan untuk berada bersama-Nya. (QS. Al-
Fajr: 27-30).
Menurut Al-Ghazali, ridha merupakan buah dari cinta (mahabbah). Jika telah kokoh
cinta sang hamba kepada Allah dan ia tenggelam dalam lautan cintaNya, maka ia akan rela
terhadap apapun yang dilakukan Sang Kekasih (Bahri, 2005: 78)
32
BAB IV.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah, agama semua
nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia,
mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya dan manusia dengan lingkungannya.
Agama rahmat bagi semesta alam, dan merupakan satu-satunya agama yang diridhoi Allah,
agama yang sempurna.
2. SARAN
Penelitian ini adaah bagian dari upaya penulis dalam memahami Definisi Islam
dengan berbagai macam maknanya. Definisi Islam bukanlah satu-satunya karya yang
memiliki banyak makna, akan tetapi masih banyak hal yang kita pelajari tentang Islam dalam
kehidupan kita sebagai agama yang sempurna yang perlu dikaji dan difahami lebih mendalam
dan terperinci sehingga tidak sebatas makna terjemahan bahasanya.
Dengan adanya kajian ini, semoga bisa memperjelas definisi islam. Penelitian ini
tentunya bukanlah penelitian yang sempurna dan tanpa kekurangan. Namun, penulis telah
berupaya untuk mencapai gambaran yang layak. Jika penulis benar, itu semata-mata karena
Allah serta itulah yang penulis kehendak. Tetapi jika ternyata tidak demikian, maka penulis
mohon ampun dan petunjuk kepada Allah atas kesalahan dan dosa penulis. Cukup kiranya
penulis ucapkan terima kasih.
33
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul. 2013. Nalar Multi Kulturalisme Kebangsaan Dalam Merespon Gerakan-
Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia. PSIF: UMM
Fathoni, Miftah Ahmad. 2001. Pengantar Studi Islam (Pendekatan Islam dalam Memahami
Agama). Semarang : Gunungjati Semarang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. Edisi ke-empat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Nasution, Harun. 1974. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Pree.
Sobur, A.Kadir. 2013. Tauhid Teologis. Jakarta: Gaung Persada Press Group.
Syalthaut, Mahmoud. 1967. Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah. Jakarta: Bulan Bintang.
Syamsuddin, M. Din. 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu
34