Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO (NLR)

DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN COVID-19 DI


RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh
HABIBIE HASYIM LUBIS
NIM : 187041046

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
HUBUNGAN NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO (NLR)
DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN COVID-19 DI
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran
Klinik Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam
Program Studi
Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :
HABIBIE HASYIM LUBIS
NIM : 187041046

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

NAMA : Habibie Hasyim Lubis


NIM : 187041046

Tanda Tangan :
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Habibie Hasyim Lubis
NIM : 187041046
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam
Jenis Karya : Tesis Penelitian
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ( Non-exclusive royalty
Free Right ) atas tesis saya yang berjudul :

HUBUNGAN NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO (NLR) DENGAN


TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN COVID-19 DI RSUP H. ADAM
MALIK MEDAN

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan. Mengelola dalam bentuk database, merawat
dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan
Tanggal : Maret 2021
Yang menyatakan

Habibie Hasyim Lubis


Hubungan Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) dengan Tingkat Kecemasan pada
Pasien COVID-19 di RSUP H. Adam Malik Medan

Habibie Hasyim Lubis1*, Wika Hanida Lubis2, Tambar Kembaren3


1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2Divisi Psikosomatis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara


3Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara


Korespondensi: habibiehl@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: COVID-19 dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang besar pada pasien,
terutama yangdirawat di bangsal isolasi. SARS-CoV-2 akan menginfeksi saluran pernapasan yang
menyebabkan sindrom pernapasan akut dengan akibat pelepasan sitokin pro-inflamasi, seperti
IL-1β dan IL-6, menghasilkan "badai sitokin". Sitokin ini dapat meningkat pada gangguan kejiwaan
seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan post-traumatic stress disorder. Tujuan: Mengetahui
hubungan NLR dengan tingkat kecemasan pada pasien COVID-19 di RSUP. H. Adam Malik.
Metode: Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain cross-sectional.
Penelitian ini dilakukan bulan Februari sampai Agustus 2021 pada pasien terkonfirmasi COVID-
19 yang dirawat di RSUP H. Adam Malik. Pasien akan diukur skala kecemasannya dengan
menggunakan kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI). Nilai NLR akan diambil dari hasil
pemeriksaan darah yang dilakukan pada saat pertama kali pasien dirawat di ruang isolasi.
Hasil data akan diberi kode, ditabulasi, dan dianalisis dengan software SPSS 23.00. Besarnya
penyimpangan yang diinginkan (α) adalah 0,05, dengan nilai p<0,05. Hasil: 50 subjek mengikuti
penelitian, ditemukan median rasio NLR pada pasien COVID-19dengan kecemasan minimal 2,18,
kecemasan ringan 5,03, kecemasan sedang 3,57, kecemasan berat 8,37. Median rasio NLR
semakin meningkat terhadap tingkat kecemasan pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Terdapat
hubungan yang signifikan rasio NLR antar kelompok pada tingkat kecemasan pasien COVID-19
dengan nilai p<0,05 (p=0,034).

Kata Kunci: NLR, Tingkat Kecemasan, COVID-19, Neutrophil Lymphocyte Ratio


The Relationship between Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) and Anxiety
Levels in COVID-19 Patients at H. Adam Malik Hospital Medan

Habibie Hasyim Lubis1*, Wika Hanida Lubis2, Tambar Kembaren3


1Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara
2Division of Psychosomatic, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine

Universitas Sumatera Utara


3Division of Tropical and Infectious Diseases, Department of Internal Medicine,

Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

Corresponding author: habibiehl@gmail.com

ABSTRACT

Background: COVID-19 can cause great anxiety and stress in patients, especially those treated in
isolation wards. SARS-CoV-2 will infect the respiratory tract causing acute respiratory syndrome
with the consequent release of pro-inflammatory cytokines, such as IL-1β and IL-6, resulting in a
"cytokine storm". These cytokines can be elevated in psychiatric disorders such as depression,
anxiety, schizophrenia, and post-traumatic stress disorder. Objective: To determine the
relationship between NLR and anxiety levels in COVID-19 patients at RSUP. H Adam Malik.
Methods: This is an analytic observational study with a cross-sectional design. This study was
conducted from February to August 2021 on confirmed COVID-19 patients being treated at H.
Adam Malik Hospital. The patient's anxiety scale will be measured using the Beck Anxiety
Inventory (BAI) questionnaire. The NLR value will be taken from the results of a blood test
performed when the patient is first admitted to the isolation room. The data results will be coded,
tabulated, and analyzed using SPSS 23.00 software. The magnitude of the desired deviation (α)
is 0.05, with a value of p<0.05. Results: 50 subjects participated in this study, the median NLR
ratio was found in COVID-19 patients with minimal anxiety 2.18, mild anxiety 5.03, moderate
anxiety 3.57, severe anxiety 8.37. The median NLR ratio is increasing to the level of anxiety in
COVID-19 patients. Conclusion: There is a significant relationship between the NLR ratio between
groups on the anxiety level of COVID-19 patients with a p-value of <0.05 (p = 0.034).

Keywords: NLR, Anxiety Level, COVID-19, Neutrophil Lymphocyte Ratio


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan
moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak DR. Muryanto Amin S,Sos, M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr.Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) , selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu dr. Dina Aprilia Ariestine, M.ked(PD), Sp.PD, K-Ger selaku Ketua Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
4. Bapak DR. dr. Taufik Sungkar, SpPD, K-GEH selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
5. Ibu dr. Wika Hanida Lubis SpPD, K-Psi dan dr. Tambar Kembaren SpPD, K-PTI selaku
Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini
6. Bapak Prof.Dr.dr Dharma Lindarto, Sp.PD, K-EMD,DR. dr. Refli Hasan, Sp.PD K-KV,
SpJP (K), FAsCC dan Ibu Dr.dr Santi Syafril,Sp.PD, K-EMD, selaku Komisi pembanding
atas saran dan kritik yang diberikan
7. Seluruh Staff Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK – USU yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatian senantiasa membimbing
penulis selama menjalani pendidikan.

Ucapan terima kasih tidak terhingga dan rasa hormat serta sembah sujud penulis
persembahkan kepada kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan cintai, ayahanda
H. Abdul Hasyim Lubis, SH. MH dan ibunda Hj. Leliwaty Siregar, SH. MH atas segala
jerih payah, pengorbanan dan dengan kasih sayang yang tulus telah melahirkan,
membesarkan, mendidik, serta kuat cintanya yang selalu ada didalam hati penulis bisa terus
berjuang menjalani hidup dan mencapai cita-cita. Semoga ALLAH SWT mengampuni
dosa-dosa dan menerima segala amal ibadah keduanya. Terima kasih tak terhingga untuk
istri penulis yang tercinta, Yoshita Kaifu S.Mb, MM dan anak-anak penulis tersayang
Hamza Hasyim Lubis dan Hamka Hasyim Lubis yang telah banyak memberikan
pengertian, doa dan dukungan yang besar selama proses pendidikan ini.
Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu dan berperan dalam menyelesaikan penelitian
dan pendidikan penulis, penulis ucapkan banyak terima kasih. Akhirnya, izinkanlah
penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan yang pernah
penulis lakukan selama menjalani pendidikan. Semoga tesis ini dapat menjadi sumbangan
yang beharga bagi perkembangan keilmuan dalam dunia kedokteran. Semoga segala
bantuna, dukungan, bimbingan dan petunjuk yang telah diberikan kiranya mendapat
balasan berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna.
Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga
kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin.

Medan, Maret 2021


Penulis,

Habibie Hasyim Lubis


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ I


DAFTAR TABEL ................................................................................................. III
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ IV
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... V
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3. Hipotesis Penelitian..................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.4.1. Tujuan Umum ......................................................................................... 4
1.4.2. Tujuan Khusus ........................................................................................ 4
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
1.6. Kerangka Konsep ........................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6
2.1. Kecemasan ....................................................................................................... 6
2.1.1. Definisi .................................................................................................... 6
2.1.2. Epidemiologi ........................................................................................... 6
2.1.3. Etiopatogenesis ....................................................................................... 7
2.1.4. Patofisiologi ............................................................................................ 9
2.1.5. Manifestasi Klinis ................................................................................. 12
2.1.6. Diagnosis dan Skoring Gejala ............................................................... 13
2.2. COVID-19 ...................................................................................................... 17
2.2.1. Definisi .................................................................................................. 17
2.2.2. Epidemiologi ......................................................................................... 17
2.2.3. Etiologi .................................................................................................. 20
2.2.4. Patogenesis ............................................................................................ 22
2.2.5. Manifestasi Klinis ................................................................................. 25
2.2.6. Diagnosis ............................................................................................... 26
2.3. Kecemasan pada COVID-19 .......................................................................... 27
2.4. Inflamasi pada Kecemasan ............................................................................. 29
2.4.1. Hubungan Inflamasi pada Kecemasan .................................................. 29
2.4.2. Rasio Neutrofil Limfosit (NLR)............................................................ 31
2.5. Kerangka Teori............................................................................................... 34
2.6. Kerangka Konsep ........................................................................................... 35
2.7. Hipotesis Penelitian........................................................................................ 35
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 36
3.1. Jenis Penelitian ............................................................................................... 36
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 36
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 36
3.3.1. Populasi Penelitian ................................................................................ 36
3.3.2. Sampel Penelitian .................................................................................. 36

i
3.4. Besar sampel .................................................................................................. 37
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian......................................................... 38
3.5.1. Kriteria Inklusi ...................................................................................... 38
3.5.2. Kriteria Eksklusi.................................................................................... 38
3.6. Teknik Pengambilan Sampel.......................................................................... 38
3.7. Defenisi Operasional ...................................................................................... 39
3.8. Cara Kerja ...................................................................................................... 39
3.8.1. Seleksi Pasien ........................................................................................ 39
3.8.2. Pengukuran Skor BAI ........................................................................... 39
3.8.3. Pemeriksaan NLR ................................................................................. 40
3.9. Analisis Data .................................................................................................. 39
3.10. Alur Penelitian ............................................................................................. 34
BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................ 42
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian ...................................................................... 42
4.2. Hubungan NLR Terhadap Tingkat Kecemasan ............................................. 43
4.3. Hubungan Karaktersistik Demografis Pasien dengan Tingkat Kecemasan Pada
pasien COVID 19 .................................................................................................. 43
BAB V PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................................. 46
BAB VI KESIMPULAN ..................................................................................... 50
6.1. Kesimpulan .................................................................................................... 50
6.2. Saran ............................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN .......................................................................................................... 55

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tanda dan gejala klinis gangguan kecemasan ............................................13


Tabel 2. Klasifikasi interpretasi hasil BAI ................................................................16
Tabel 3. Definisi operasional ...................................................................................37
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ................................................................43
Tabel 4.2 Karakteristik parameter pemeriksaan penunjang .....................................44
Tabel 4.3 Analisis hubungan NLR terhadap tingkat kecemasan pada pasien COVID
19 ..............................................................................................................................44
Tabel 4.4 Analsis post-hoc hubungan NLR tergadap masing – masing tingkat
kecemasan ................................................................................................................45
Tabel 4.5 Analisis hubungan karakteristik demografis pasien dengan tingkat
kecemasan ................................................................................................................46

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sebaran kasus terkonfirmasi pada Maret 2021 .......................................18


Gambar 2. Distribusi Kasus COVID-19 Berdasarkan Usia ......................................19
Gambar 3. Struktur Coronavirus ...............................................................................21
Gambar 4. (a) Proses masuknya virus SARS-COV-2 ke seluler ...............................22
Gambar 4. (b) Patogenesis COVID-...........................................................................22
Gambar 5. Mekanisme Transmisi dan Replikasi SARS-CoV-2 ...............................25
Gambar 6. Mekanisme Respons Imunologi pada COVID-19 ..................................32
Gambar 7. Kerangka Teori penelitian .......................................................................34
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................................35
Gambar 9. Kerangka Operasional Penelitian ............................................................42

iv
DAFTAR SINGKATAN

ACE-2 Angiotensin converting enzyme – 2


ARDS Acute respiratory distress syndrome
BAI Beck Anxiety Inventory
COVID-19 Coronavirus Disease 2019
DNA Deoxyribonucleic acid
HAM-A Hamilton Anxiety Rating Score
GAD Generalized anxiety disorder
GAD-7 Generalized Anxiety Disorder - 7
IL Interleukin
MERS Middle east respiratory syndrome
NAAT Nucleic acid amplification test
NLR Neutrophil lymphocyte ratio
PCR Polymerase chain reaction
PD Peptidase domain
PLBDN Pos Lintas Batas Darat Negara
PTSD Post-traumatic stress disorder
RBD Receptor binding domain
RNA Ribonucleic acid
SARS Severe Acute Respiratory Syndrome
SARS-CoV-2 Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
SEM Structural equation model
STAI Spileberg State Trait Anxiety Inventory
TCM Tes cepat molekuler
TMPRSS2 Transmembrane protease, serine 2
VAS-A Visual Analogue Scale for Anxiety
WHO World Health Organization

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Corona Virus Disease (COVID-19) merupakan infeksi pernapasan akut pada

manusia yang menjadi masalah kesehatan global yang mendesak, tidak hanya

karena cepatnya penularan dari manusia ke manusia, tetapi juga karena

konsekuensinya pada kehidupan sosial, ekonomi, dan infrastruktur. Pada 16 Maret

2021, menurut World Health Organization (WHO) terdapat 119.960.700 kasus

positif COVID-19 dan 2.656.822 meninggal, tersebar di 223 negara. Di Indonesia

sendiri, pada 16 Maret 2020 sudah didapatkan jumlah kumulatif 1.430.458 kasus

positif, 1.257.663 sembuh dan 38.753 orang meninggal. ( Di Gennaro,2020 ; Li M

et al,2020 )

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) disebabkan oleh infeksi Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Coronavirus adalah

famili besar virus RNA beruntai tunggal dan sense positif dan memiliki tiga struktur

utama: glikoprotein Spike dengan permukaan besar (S, 200 kDa), glikoprotein M

matriks transmembran (20-30 kDa) dan protein N nukleokapsid terfosforilasi

internal (50-60 kDa), dan envelope (E). SARS-CoV-2 (COVID-19) berikatan

dengan ACE2 (enzim pengubah angiotensin-2) oleh glikoprotein Spike (S) dan

domain pengikat reseptor (RBD) di glikoprotein S secara langsung menempel pada

domain peptidase (PD) ACE2. ((Di gennaro, et al, 2020), (Mousavizadeh L, et al,

2020)). Ketika SARS-CoV-2 menginfeksi saluran pernapasan, itu dapat

menyebabkan sindrom pernapasan akut dengan akibat pelepasan sitokin pro-

1
inflamasi, seperti IL-1β dan IL-6, menghasilkan "badai sitokin". Sitokin ini dapat

meningkat pada gangguan kejiwaan seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan

post-traumatic stress disorder (PTSD). ( Gennaro Mazza M et al,2018 )

Sebagai penyakit baru dan mengancam jiwa, COVID-19 dapat

menyebabkan kecemasan dan stres yang besar pada pasien, terutama mereka yang

dirawat di bangsal isolasi. Beberapa variabel sosiodemografi memiliki hubungan

dengan prevalensi gejala mental yang relevan secara klinis. Hasil meta-analisis

menunjukkan prevalensi gejala kecemasan pada kasus COVID-19 sebesar 46%

(95% CI 33,9% - 58,2%), dengan bukti signifikan secara statistik dari heterogenitas

antar studi (Q = 154953, I2= 99,99%, p<0,001). Wanita merupakan salah satu

variabel utama yang memiliki keterkaitan dengan kecemasan dan hal ini juga

dilaporkan dalam penelitian lain. Selain itu, pasien yang memiliki anggota keluarga

yang didiagnosis dan meninggal karena COVID-19 memiliki prevalensi gejala

somatik dan kecemasan yang lebih tinggi. ( Da Silva ML,2021 ; Purssell E,2020 )

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar marker inflamasi

mungkin berhubungan dengan masalah mental pada pasien COVID-19. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan gejala mental memiliki tingkat IL-

1β dan NLR yang lebih tinggi, tingkat IL-10 yang lebih rendah serta jumlah limfosit

yang lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki gejala mental. ( Annisa

DF,2018 ; Lee K, 2018 )

NLR berguna untuk mendeteksi respon inflamasi, yang mencerminkan intensitas

stres dan inflamasi sistemik, dan kaskade sitokin berikut. Penelitian telah

menunjukkan hubungan yang signifikan dari NLR dengan penanda inflamasi yang

mapan seperti CRP dan sitokin pro-inflamasi lainnya, menunjukkan NLR sebagai

2
penanda yang berguna untuk mendeteksi respon inflamasi, yang mencerminkan

intensitas stres dan inflamasi sistemik, dan kaskade sitokin. ( Mayadas TN,2014 ;

Bustan Y et al, 2018 )

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nilai NLR yang lebih besar dari 6,5

pada saat masuk rumah sakit merupakan variabel yang terkait dengan prevalensi

gejala depresi dan kecemasan yang relevan secara klinis pada pasien COVID-19. (

Gao SQ et al, 2015 ; Hou R et al, 2017 )

Penelitian ini merupakan yang pertama kali dilaksanakan di Sumatera Utara,

Khususnya di RSUP H. Adam Malik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Neutrophil

Lymphocyte Ratio (NLR) dengan tingkat kecemasan pada pasien COVID-19 di

RSUP. H. Adam Malik Medan”.

3
1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan neutrophil lymphocyte ratio (NLR) dengan

tingkat kecemasan pada pasien COVID-19 di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara neutrophil

lymphocyte ratio (NLR) dengan tingkat kecemasan pada pasien COVID-19 di

RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui karakteristik demografi pasien COVID-19 di RSUP H. Adam

Malik Medan.

2) Mengetahui distribusi nilai neutrophil lymphocyte ratio (NLR) pada pasien

COVID-19 di RSUP H. Adam Malik Medan.

3) Mengetahui distribusi nilai Beck Anxiety Inventory (BAI) pada pasien

COVID-19 di RSUP H. Adam Malik Medan.

4) Mengetahui hubungan karakteristik demografi pasien COVID-19 di RSUP

H. Adam Malik Medan dengan tingkat kecemasan.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Ilmu Pengetahuan

Sumbangan untuk ilmu pengetahuan mengenai hubungan neutrophil

lymphocyte ratio (NLR) dengan tingkat kecemasan pada pasien COVID-19.

4
b. Pelayanan Kesehatan

Sumbangan untuk pelayanan kesehatan dalam meningkatkan kualitasnya

dalam mendiagnosis dan mencegah gangguan mental seperti kecemasan

pada pasien COVID-19.

c. Masyarakat

Sumbangan untuk masyarakat dalam memberikan edukasi dan informasi

mengenai kecemasan pada pasien COVID-19.

d. Penelitian

Sumbangan untuk penelitian sebagai referensi atau bahan untuk penelitian

- penelitian berikutnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecemasan

2.1.1. Definisi

Istilah kecemasan dalam Bahasa Inggris yaitu anxiety yang berasal dari

Bahasa Latin angustus yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti

mencekik. Kecemasan dapat diartikan sebagai kondisi emosi dengan timbulnya rasa

tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar

disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan

oleh suatu hal yang belum jelas ( Annisa DF, 2018). Kecemasan terjadi karena

adanya sensasi dan perubahan homeostasis dirasakan, termasuk yang terjadi dalam

beberapa situasi hingga penyakit yang berasal dari infeksi. Umumnya, persepsi

tersebut terjadi secara benar pada individu, namun dalam beberapa situasi, persepsi

tersebut menjadi berlebihan dan kemungkinan komplikasi yang parah pada individu

tersebut muncul. Pengalaman ini menjadi sangat sering muncul belakangan ini,

terutama pada peristiwa pandemi COVID-19. (Da Silva et al, 2021)

2.1.2. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), proporsi populasi global

dengan gangguan ansietas pada tahun 2015 diestimasikan mencapai 3,6%. Sama

seperti depresi, gangguan ansietas lebih sering ditemukan pada wanita

dibandingkan pada pria (4,6% pada wanita dibandingkan 2,6% pada pria pada

tingkat global). Estimasi total jumlah orang yang hidup dengan gangguan ansietas

di dunia adalah mencapai 264 juta orang. Dimana regio Asia Tenggara menduduki

6
peringkat tertinggi jumlah orang yang hidup dengan ansietas, yaitu sekitar 60,05

juta orang (23%) dibandingkan dengan regio WHO lainnya. Jumlah total pada

tahun 2015 ini merefleksikan peningkatan 14,9% semenjak tahun 2005 yang

mungkin merupakan akibat dari peningkatan populasi dan penuaan. ( WHO,2017 )

WHO (2017) menyatakan bahwa gangguan ansietas secara global

diestimasikan menyebabkan 24,6 juta YLD (years lived with disability) dimana

5.522 YLD diantaranya berasal dari regio Asia Tenggara. Estimasi YLD gangguan

ansietas masih lebih rendah jika dibandingkan dengan depresi, karena gangguan

ansietas lebih sedikit menyebabkan disabilitas. Meski demikian, gangguan ansietas

masuk ke dalam enam besar kontributor penurunan kesehatan non-fata secara

global dan merupakan sepuluh besar penyebab YLD pada seluruh regio WHO.

2.1.3. Etiopatogenesis

Etiologi dari kecemasan dapat meliputi stres, kondisi fisik seperti diabetes

atau komorbid lainnya seperti depresi, genetik, saudara kandung yang mengalami

gangguan cemas menyeluruh (25%), faktor lingkungan seperti penyiksaan fisik,

pelecehan atau kelalaian pada anak, dan penyalahgunaan zat. Masih belum

diketahui secara pasti mengapa kecemasan lebih sering ditemui pada pasien

berjenis kelamin wanita dibandingkan pria. Teori yang hingga saat ini diterima

karena adanya peran steroid gonad. Penelitian lain terhadap respons wanita

terhadap stres juga menunjukkan bahwa wanita mengalami rentang permasalahan

kehidupan atau peristiwa yang menyebabkan stres lebih besar dibandingkan pria

yang hanya bereaksi pada peristiwa yang lebih sedikit, khususnya hanya pada

7
peristiwa yang berdampak terhadap dirinya sendiri atau anggota keluarga terdekat.

( Adwas AA et al,2019 ; Soodan S,2015)

Terdapat beberapa teori psikologi mayor terkait dengan kecemasan,

diantaranya : ( Adwas AA et al, 2019)

a. Teori psikodinamik

Teori ini berfokus pada gejala kecemasan sebagai ekspresi dari konflik

yang menjadi penyebab utama. Meskipun belum ada studi empiris yang

mendukung teori ini, namun teori ini sangat bermanfaat untuk membantu

terapi. Misalnya pada tingkah laku kompulsif ritualistik dapat dilihat sebagai

akibat dari mekanisme pertahanan spesifik yang berguna untuk membawa

energi psikis keluar dari konflik atau impuls yang tidak baik. Demikian pula

pada tingkah laku fobia dapat dilihat sebagai mekanisme defensif terhadap

perpindahan. Dari perspektif psikodinamis, kecemasan biasanya

menunjukkan konflik yang lebih dasar dan belum diselesaikan dari hubungan

interpersonal yang intim atau sebagai ekspresi dari kemarahan.

b. Teori tingkah laku

Teori tingkah laku menitikberatkan kepentingan dua tipe pembelajaran

yaitu pengkondisian klasik dan pembelajaran observasional. Teori ini telah

memiliki beberapa studi empiris yang mendukung. Pada kondisi klasik,

stimulus yang netral harus mampu menyebabkan respons ketakutan setelah

adanya stimulus menakutkan berulang. Pada studi observasional, perilaku

ketakutan didapatkan dari mengobservasi reaksi orang lain terhadap stimulus

yang menakutkan.

8
c. Teori kognitif

Faktor kognitif, terutama cara orang menafsirkan atau berpikir tentang

peristiwa stres, memainkan peran penting dalam etiologi kecemasan. Faktor

yang menentukan adalah persepsi individu, yang dapat mengintensifkan atau

meredam respons. Salah satu kognisi negatif yang paling menonjol dalam

kecemasan adalah perasaan tidak terkendali. Ini ditandai dengan keadaan

tidak berdaya karena ketidakmampuan yang dirasakan untuk memprediksi,

mengontrol, atau mendapatkan hasil yang diinginkan. Kognisi negatif sering

ditemukan pada individu dengan kecemasan. Banyak model kecemasan

psikologis modern menggabungkan peran kerentanan individu, yang

mencakup predisposisi genetik dan yang didapat. Ada bukti bahwa wanita

mungkin merenungkan lebih banyak tentang peristiwa kehidupan yang

menyedihkan dibandingkan dengan pria, menunjukkan bahwa faktor risiko

kognitif dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dan depresi yang lebih

tinggi.

2.1.4. Patofisiologi

Mekanisme pasti terjadinya kecemasan masih belum sepenuhnya diketahui.

Beberapa sistem neurotransmitter diketahui turut berperan dalam satu atau

beberapa langkah modulasi yang terlibat dalam kecemasan. Sistem

neurotransmitter yang paling sering dipertimbangkan adalah serotonergik dan

noradrenergik. Diperkirakan bahwa aktivasi sistem serotonergik dan aktivasi

berlebihan sistem noradrenergik dianggap terlibat dalam proses kecemasan. Sistem

ini mengatur dan diatur oleh jalur lain dan sirkuit saraf di berbagai bagian otak,

9
yang mengakibatkan disregulasi gairah fisiologis dan pengalaman emosional dari

gairah ini. ( Munir S,2020 )

Banyak ahli yang percaya bahwa aktivitas sistem serotonin yang rendah dan

aktivitas sistem noradrenergik yang meningkat bertanggung jawab atas

perkembangannya. Oleh karena itu, inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan

inhibitor reuptake serotonin norepinefrin (SNRI) yang merupakan agen lini pertama

untuk tatalaksana kecemasan. Gangguan sistem asam gamma-aminobutirat

(GABA) juga telah terlibat karena banyak gangguan spektrum kecemasan yang

berespons terhadap pengobatan benzodiazepine. ( Munir S,2020 )

Ada beberapa ketertarikan pada peran regulasi kortikosteroid dan

hubungannya dengan gejala ketakutan dan kecemasan. Kortikosteroid dapat

meningkatkan atau menurunkan aktivitas jalur saraf tertentu, tidak hanya

mempengaruhi perilaku di bawah stres, tetapi juga proses rangsangan yang memicu

rasa takut oleh otak. Cholecystokinin telah lama dipandang sebagai

neurotransmitter yang terlibat dalam mengatur keadaan emosional. (Soodan

S,2015)

Selain itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan

genetik untuk mengembangkan gangguan kecemasan mungkin terjadi. Namun,

stresor lingkungan jelas berperan dalam berbagai tingkat. Semua gangguan

dipengaruhi dalam beberapa cara oleh isyarat eksternal dan bagaimana mereka

diproses dan bereaksi. ( Munir S,2020 )

Beberapa penelitian juga telah menemukan peningkatan jumlah leukosit di

antara individu yang depresi dan cemas. Shafiee et al (2017) melaporkan bahwa

10
jumlah sel darah putih rata-rata meningkat dengan meningkatnya keparahan gejala

depresi dan kecemasan di antara pria. Pria dengan gejala kecemasan berat memiliki

nilai RDW yang lebih tinggi secara signifikan (p <0,001). Selain itu, terdapat

hubungan negatif antara sel darah merah (RBC) dan mean corpuscular hemoglobin

(MCH) dengan gejala depresi / kecemasan. Peneliti lain mengamati bahwa skor

kecemasan berhubungan positif dengan jumlah WBC pada wanita, tetapi tidak pada

pria. Karena jumlah sel darah putih merupakan prediktor independen dari

aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. RDW adalah prediktor kematian yang

kuat dan memiliki hubungan dengan berbagai gangguan kardiovaskular dan

trombotik. Oleh karena itu, tingkat RDW yang lebih tinggi di antara individu yang

depresi dan cemas dapat memprediksi risiko yang lebih besar untuk mengalami

penyakit kardiovaskular pada pasien ini.

Penelitian baru mengusulkan bahwa kecemasan melibatkan berbagai sirkuit

saraf. Penelitian ini melontarkan dua pusat regulasi utama yang ditemukan di

belahan otak otak — hipokampus dan amigdala. Pusat-pusat ini, pada gilirannya,

dianggap mengaktifkan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenokortikal (HPA). Para

peneliti telah lama menetapkan kontribusi sumbu HPA terhadap kecemasan yang

didukung oleh temuan baru tentang peran hipokampus dan amigdala. Hipokampus

dan amigdala mengatur penyimpanan memori dan emosi, di antara fungsi lainnya.

Hipokampus dianggap penting dalam memori verbal, terutama waktu dan tempat

untuk acara dengan nuansa emosional yang kuat. Hipokampus dan amigdala adalah

inti utama sistem limbik, jalur yang diketahui mendasari emosi. Ada proyeksi

anatomis antara hipokampus, amigdala, dan hipotalamus. Sumbu HPA adalah jalur

utama dalam merespon situasi stress, dimana stress akan mengaktifkan hipotalamus

11
yang selanjutnya akan mengaktifkan dua jalur utama stress, yaitu sistem endokrin

(korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Untuk

mengaktifkan sistem endokrin, setelah hipotalamus menerima stimulus stress atau

cemas, bagian anterior hipotalamus akan melepaskan Corticotrophin Releasing

Hormon (CRH), yang akan memberikan perintah pada kelenjar hipofisis untuk

mensekresikan Adrenocorticotriopin Hormone (ACTH) ke dalam darah. ACTH

akan mengaktifkan zona fasikulata korteks adrenal untuk mensekresikan hormone

glukokortikoid yaitu kortisol. Hormon kortisol ini selanjutnya akan berperan dalam

proses umpan balik negatif yang dihantarkan ke hipotalamus dan kemudian

diteruskan ke amigdala untuk memperkuat pengaruh stres terhadap emosi

seseorang. ( Shafiee et al,2017 )

Kecemasan berbeda dari rasa takut karena tidak ada stimulus penghasil rasa

takut atau tidak langsung mengancam, tetapi untuk mengantisipasi bahaya, gairah,

kewaspadaan, kesiapan fisiologis yang sama, efek kognitif dan efek negatif.

Berbagai jenis faktor atau pemicu internal atau eksternal bertindak untuk

menghasilkan gejala kecemasan gangguan panik, agorafobia, gangguan stres pasca-

trauma, fobia spesifik, dan gangguan kecemasan umum, dan kecemasan menonjol

yang umumnya terjadi pada depresi berat. ( Shafiee et al,2017 )

2.1.5. Manifestasi Klinis

Gejala subyektif dari kecemasan secara karakteristik terdiri dari dua

komponen yaitu fisik dan emosional yang mempengaruhi proses kognitif dari

seseorang. Tanda dan gejala klinis berbeda – beda berdasarkan bentuk gangguan

12
kecemasan yang dialami pasien. Namun, secara umum tanda dan gejala dari

kecemasan seperti yang ditampilkan pada tabel 1.

Tabel 1. Tanda dan gejala klinis gangguan kecemasan. ( Shoodan S,2017 )


Karakteristik Tanda dan gejala
Sensasi fisik - Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Berkeringat
- Perut tidak nyaman
- Diare
- Lemah
- Nyeri badan
- Sesak napas
- Rona kemerahan
- Menggigil
- Peningkatan tekanan darah
- Peningkatan denyut nadi
Sensasi emosional - Rasa gugup
- Khawatir
- Takut
- Iritabel
- Rasa tidak aman
- Mengisolasi diri dari orang lain
- Ingin menghindar, melarikan diri
- Merasa akan meninggal
Gangguan proses kognitif - Kemampuan berpikir dan mengambil
keputusan
- Persepsi terhadap lingkungan
- Kemampuan belajar
- Memori dan konsentrasi

2.1.6. Diagnosis dan Skoring Gejala

Terdapat berbagai alat ukur yang bisa dilakukan untuk menegakkan

diagnosis kecemasan. Diantaranya adalah Beck Anxiety Inventory (BAI),

Generalized Anxiety Disorder - 7 (GAD-7), Hamilton Anxiety Rating Score (HAM-

A), Visual Analogue Scale for Anxiety (VAS-A), dan Spileberg State Trait Anxiety

Inventory (STAI). ( Budikayanti et al, 2019 )

13
Hamilton Anxiety Rating Score (HAM-A) merupakan skala yang mengukur

berdasarkan gejala kecemasan yang dialami pasien, yang terdiri atas 14 gejala yaitu

perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan,

perasaan depresi, gejala otot, gejala sensori, gejala kardiovaskuler, gejala respirasi,

gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala otonom, dan tingkah laku. Jika skor

<14 maka dianggap tidak cemas, skor 14 – 20 dianggap cemas ringan, skor 21-27

dianggap cemas sedang, skor 28 – 41 dianggap cemas berat, dan skor 42-56

dianggap sebagai panik. Skor ini cocok digunakan untuk menilai kecemasan terkait

dengan stressor pekerjaan. ( Budikayanti et al,2020 )

Generalized Anxiety Disorder - 7 (GAD-7) adalah skala yang digunakan

untuk menilai tingkat keparahan gangguan kecemasan menyeluruh yang dibuat

berdasarkan kriteria GAD dalam DSM-V. Pasien akan diberikan kuesioner yang

berisi 7 item dan dijawab dengan memberikan nilai 0-3. Peniliaian tersebut

menunjukkan 0 (tidak sama sekali), 1 (hanya beberapa hari), 2 (lebih dari 1 minggu)

dan 3 (hampir setiap hari). Skor 0-4 dianggap sebagai cemas minimal, skor 5-9

dianggap sebagai cemas ringan, skor 10 – 14 dianggap sebagai cemas sedang, dan

skor 15 – 20 dianggap sebagai cemas berat. ( Labaste F et al, 2019 )

Visual Analogue Scale for Anxiety (VAS-A) merupakan alat ukur yang

didasarkan pada skala 100 mm berupa garis horizontal dimana ujung kiri

menunjukkan tidak ada kecemasan dan ujung kanan menandakan kecemasan

maksimal. Responden diminta memberi tanda pada garis tersebut. ( Labaste F et

al,2019)

Spileberg State Trait Anxiety Inventory (STAI) merupakan skala yang

pertama kali diperkenalkan oleh Spielberg pada tahun 1983. Kuesioner ini terdiri

14
dari 40 pertanyaan mengenai perasaan seseorang yang digunakan untuk mengukur

tingkat kecemasan seseorang yang dirasakan saat ini dan kecemasan yang dirasakan

selama ini. ( Labaste F et al,2019 )

Beck Anxiety Inventory (BAI), yang disusun oleh Aaron T. Beck, MD dkk,

adalah inventaris laporan diri pilihan ganda 21-item yang mengukur tingkat

keparahan kecemasan pada orang dewasa dan remaja. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa skor ini dapat digunakan secara valid untuk menilai tingkat

kecemasan pada berbagai jenis gangguan kecemasan. BAI juga mempunyai

beberapa kelebihan yaitu cepat dan mudah dikerjakan, dapat diulang, dapat

membedakan gejala ansietas dan depresi, telah digunakan dalam berbagai bahasa,

kultur dan usia dengan spesifisitas sebesar 93% dan sensitivitas sebesar 67%. ( Oh

H et al,2018 ; Lee K et al,2018 )

Item dalam BAI menggambarkan gejala kecemasan emosional, fisiologis,

dan kognitif, bukan depresi, hal ini dapat membedakan kecemasan dari depresi.

Meskipun rentang usia untuk ukuran tersebut adalah dari 17 hingga 80, inventaris

ini telah digunakan dalam penelitian peer-review dengan remaja yang lebih muda

berusia 12 dan lebih tua. Masing-masing item pada BAI adalah deskripsi sederhana

dari gejala kecemasan dalam salah satu dari empat aspek yang diekspresikan (

Sitorus P,2016 )

(1) subjektif (misalnya, "tidak dapat bersantai")

(2) neurofisiologis (misalnya, "mati rasa atau kesemutan")

(3) otonom (misalnya, "merasa panas") atau

(4) terkait kepanikan (misalnya, "takut kehilangan kendali")

15
BAI hanya membutuhkan tingkat membaca dasar, dapat digunakan dengan

individu yang memiliki disabilitas intelektual, dan dapat diselesaikan dalam 5 - 10

menit dengan menggunakan formulir kertas dan pensil yang telah dicetak

sebelumnya. Karena inventaris yang relatif sederhana, inventaris juga dapat

diberikan secara oral untuk individu dengan gangguan penglihatan. BAI dapat

diberikan dan dinilai oleh para profesional, tetapi harus digunakan dan ditafsirkan

hanya oleh profesional dengan pelatihan dan pengalaman klinis yang sesuai. ( Grant

MM,2018 )

Responden diminta untuk melaporkan sejauh mana mereka merasa

terganggu oleh masing-masing dari 21 gejala pada minggu sebelumnya (termasuk

hari) penyelesaian BAI mereka. Setiap item gejala memiliki empat kemungkinan

pilihan jawaban: Tidak sama sekali; Sedikit (Itu tidak terlalu mengganggu saya);

Cukup (Itu sangat tidak menyenangkan, tapi saya bisa tahan), dan; Parah (saya

hampir tidak tahan). Klinisi memberikan nilai berikut untuk setiap respon: Tidak

sama sekali = 0; Sedikit = 1; Sedang = 2, dan; Sangat = 3. Nilai untuk setiap item

dijumlahkan menghasilkan skor keseluruhan atau total untuk semua 21 gejala yang

dapat berkisar antara 0 dan 63 poin. ( Lee K,2018 )

Tabel 2. Klasifikasi interpretasi hasil BAI. ( Lee K,2018 )

Total skor Interpretasi


0-7 Kecemasan minimal
8 - 15 Kecemasan ringan
16 - 25 Kecemasan sedang
26 - 63 Kecemasan berat

16
Dokter memeriksa respons item tertentu untuk menentukan apakah gejala

yang muncul sebagian besar bersifat subjektif, neurofisiologis, otonom, atau terkait

kepanikan. Klinisi kemudian dapat menilai lebih lanjut dengan menggunakan

kriteria DSM-V untuk sampai pada kategori diagnostik tertentu dan merencanakan

intervensi yang menargetkan penyebab yang mendasari gejala kecemasan

responden dan / atau diagnosis. ( Sitorus P,2016 ; Grant MM, 2016 )

2.2. COVID-19

2.2.1. Definisi

COVID-19 merupakan infeksi pernapasan akut pada manusia yang menjadi

masalah kesehatan global yang mendesak, tidak hanya karena cepatnya penularan

dari manusia ke manusia, tetapi juga karena konsekuensinya pada kehidupan sosial,

ekonomi, dan infrastruktur. COVID-19 jika dibandingkan dengan penyakit lain

yang juga disebabkan oleh virus corona, seperti SARS dan MERS, memiliki potensi

infektifitas yang jauh lebih tinggi sehingga menyebar ke seluruh dunia dengan cepat

sehingga menyebabkan pandemi global. ( Di Gennaro,2020 ; Li M et al,2020 )

2.2.2. Epidemiologi

Epidemi COVID-19 meluas pada awal Desember dari Wuhan, kota terpadat

ke-7 di Tiongkok, di seluruh Tiongkok dan kemudian diekspor ke semakin banyak

negara. Kasus COVID-19 pertama yang dikonfirmasi di luar Tiongkok didiagnosis

pada 13 Januari 2020 di Bangkok (Thailand). Pada 2 Maret 2020, 67 wilayah di

luar daratan Cina telah melaporkan 8565 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan

17
132 kematian, serta penularan komunitas yang signifikan terjadi di beberapa negara

di seluruh dunia. ( Di Gennaro,2020 )

Pada 16 Maret 2021, menurut World Health Organization (WHO) terdapat

119.960.700 kasus positif COVID-19 dan 2.656.822 meninggal, tersebar di 223

negara. Berdasarkan statistik resmi epidemi di Indonesia yang dilaporkan oleh

Kementerian Kesehatan melalui Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 2020

pada tanggal 16 Maret 2021, jumlah kumulatif 1.430.458 kasus positif, 1.257.663

sembuh dan 38.753 orang meninggal. Gambar 2 menunjukkan sebaran kasus

terkonfirmasi pada maret 2021. ( Covid.go.id, 2020 )

Gambar 1. Sebaran kasus terkonfirmasi pada Maret 2021. ( Covid.go.id, 2020 )

Pada awal April 2020 terdapat 114 kasus terkonfirmasi, semakin meningkat

hingga pekan kedua sebanyak 407 kasus. Fluktuasi terjadi dari minggu ketiga

hingga minggu keempat bahkan turun hanya 214 kasus, namun keesokan harinya

terjadi lagi. Mulai akhir bulan, kasus fluktuasi sudah mulai stabil dan hal ini

disebabkan pemerintah Indonesia membuat kebijakan dengan batasan sosial yang

besar-besaran. Jumlah kasus COVID-19 di atas secara substansial dimungkinkan

masih dibawah proporsinya karena datanya hanya berdasarkan rapid test atau

dengan polymerase chain reaction (PCR) sedangkan masih banyak orang yang

18
belum bisa dikonfirmasi padahal berpotensi menjadi pembawa virus asimtomatik.

Terdapat spekulasi bahwa jumlah total orang yang terinfeksi COVID-19 sekitar

lima kali lebih tinggi daripada statistik resmi. Bias ini harus diperhitungkan saat

menafsirkan statistik COVID-19 apa pun. ( Stang A,2020 )

Sebaran wilayah kasus COVID-19 hampir terjadi di seluruh provinsi di

Indonesia, tertinggi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, disusul

provinsi lain. Usia penderita COVID-19 di Indonesia yang terdiagnosis sebagian

besar 30-54 tahun (29,60%), terlihat pada gambar 3.

Distribusi COVID-19 Berdasarkan Usia


Distribusi

29,60%

25,00%
22,50%

10,80%
9,30%

2,80%

0-5 6 - 18 19 - 30 31 - 54 46 - 60 > 60

Gambar 2. Distribusi Kasus COVID-19 Berdasarkan Usia. ( Covid.go.id,2020 )

banyak kasus kematian akibat COVID-19 yang dialami oleh lansia; ini

mungkin berkaitan dengan sistem kekebalan yang lemah yang memungkinkan

perkembangan lebih cepat dari infeksi virus dan penyakit penyerta. Pada hasil

penelitian sebelumnya, kebanyakan pasien sembuh sendiri. Sedangkan angka

kematian sekitar 10-14%, terutama pasien berusia lebih dari 40 tahun dengan

19
komorbiditas seperti penyakit jantung, asma, penyakit paru-paru kronis dan

diabetes. Kejadian COVID-19 tertinggi dengan penyakit penyerta di Indonesia

adalah hipertensi (34,85%), diabetes melitus (25,76%) dan penyakit jantung

(17,05%). ( Wang FS,2020 ; Biscayart C,2018 )

2.2.3. Etiologi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) disebabkan oleh infeksi Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2

diketahui memiliki beberapa host diantaranya kelelawar sebagai host alami,

trenggiling sebagai host perantara, dan manusia sebagai host terminal. Coronavirus,

sebagai patogen manusia, merupakan jenis virus yang dapat menyerang berbagai

sistem pada manusia dan vertebrata, seperti sistem pernapasan, sistem pencernaan,

sistem saraf, dan hepar. SARS-CoV-2 termasuk subfamili Coronavirinae, subset

dari keluarga Coronavirdiae dan ordo Nidovirales. ( Biscayart C,2018 )

Coronavirus adalah famili besar virus RNA beruntai tunggal dan sense

positif. Genom besar mereka yang panjangnya berkisar antara 26 hingga 32

kilobasa dengan sifat mRNA yaitu struktur 5 'cap dan ujung 3' poli adenilasi.

(Bustan Y, et al, 2018) SARS-CoV-2 memiliki envelope bulat atau pleomorfik yang

mengandung RNA untai tunggal (sense positif) yang terkait dengan nukleoprotein

dalam kapsid yang terdiri dari protein matriks. Envelope tersebut memiliki proyeksi

glikoprotein berbentuk tongkat. Beberapa coronavirus juga mengandung protein

hemagglutinin esterase (HE). ( Di Gennaro,2020 )

Coronavirus mengandung tiga struktur utama: glikoprotein Spike dengan

permukaan besar (S, 200 kDa), glikoprotein M matriks transmembran (20-30 kDa)

dan protein N nukleokapsid terfosforilasi internal (50-60 kDa), dan envelope (E),

20
seperti di Gambar 4. Analisis beberapa jenis coronavirus menunjukkan bahwa

ukuran virus diduga bergantung pada interaksi protein M dengan protein spike (S),

nukleokapsid (N) dan RNA genom virus. Bentuk selubung virus terutama

ditentukan oleh membran (M) glikoproteinnya, yang merupakan protein struktural

paling melimpah dalam keluarga CoV yang mencakup tiga kali lapisan membran

ganda. ( Di Gennaro,2020 )

Gambar 3. Struktur Coronavirus.30

Protein Spike (S) sebagai membran glikoprotein tipe I yang membentuk

peplomer besar (15-20 nm) yang dapat ditemukan dalam envelope virus. Protein S

menginduksi fusi sel dan mengikat reseptor sel inang. Antara protein envelope

dengan terdapat interaksi molekuler yang mungkin menentukan pembentukan dan

komposisi membran virus corona. M memainkan peran dominan dalam

pembentukan intraseluler partikel virus tanpa memerlukan S. Telah dibuktikan

bahwa protein M dari beberapa CoV memiliki imunogenisitas yang jauh lebih

tinggi untuk respons sel-T daripada protein virus nonstruktural. Ini memainkan

peran penting dalam respons sel B spesifik virus karena kemampuannya untuk

menghasilkan antibodi penetral yang efisien pada pasien SARS. ( Mousavizadeh

L,2020 )

21
2.2.4. Patogenesis

SARS-CoV-2 (COVID-19) berikatan dengan ACE2 (angiotensin

converting enzyme-2) oleh glikoprotein Spike (S) dan memungkinkan virus masuk

dan menginfeksi sel. Domain pengikat reseptor (RBD) di glikoprotein S secara

langsung menempel pada domain peptidase (PD) ACE2. Agar virus dapat masuk

sepenuhnya ke dalam sel setelah proses awal ini, protein Spike harus dipancing oleh

enzim yang disebut protease. ( Tahaghoghi-hajghorbani,2020 ; Muniyapa R,2020 )

Gambar 4.(a) Proses masuknya virus SARS-CoV-2 ke seluler.


(b) Patogenesis COVID-19. ( Muniyapa R,2020 )

Mirip dengan SARS-CoV, SARS-CoV-2 (COVID-19) menggunakan

protease yang disebut TMPRSS2 untuk menyelesaikan proses ini. Untuk

melakukan priming protein Spike atau menempelkan reseptor virus (protein Spike)

22
ke ligan selulernya (ACE2), diperlukan aktivasi oleh Transmembrane protease,

serine 2 ( TMPRSS2 ) sebagai protease. Kemudian, mengikuti aksi TMPRSS2,

metaloprotease 17 dan disintegrin dalam epitel saluran napas manusia, protein

SARS-CoV-2 S mendorong penurunan regulasi ACE2 dan mendorong pelepasan

ektodomain ACE2 aktif untuk mengubahnya menjadi bentuk yang dapat larut.

Peningkatan pelepasan ACE2 memfasilitasi replikasi virus, permeabilitas vaskular,

peradangan lokal dan akibatnya, memperburuk penyakit. Tingkat ekspresi ACE2

yang lebih tinggi, pelepasan dan bentuk ACE2 yang larut telah dilaporkan pada

orang dewasa, kemungkinan penyebab perkembangan sindrom gangguan

pernapasan akut (ARDS) dan cedera paru (gambar 5). ( Muniyapa R,2020 )

Setelah virus memasuki sel host dan melepaskan selaput, genom

ditranskripsi dan kemudian diterjemahkan. (gambar 5). Replikasi dan transkripsi

genom Coronavirus terjadi di membran sitoplasma dan melibatkan proses

terkoordinasi dari sintesis RNA bersambung dan terputus yang dimediasi oleh

replikasi virus, kompleks protein besar yang dikodekan oleh gen replikase 20 kb.

Kompleks replikase diyakini terdiri dari hingga 16 subunit virus dan sejumlah

protein seluler. ( Muniyapa R,2020 )

Selain RNA polimerase yang bergantung pada RNA, RNA helikase, dan

aktivitas protease, yang umum terjadi pada virus RNA, replikasi virus corona baru-

baru ini diprediksi menggunakan berbagai enzim pemrosesan RNA yang tidak (atau

sangat jarang) ditemukan pada virus RNA lain dan termasuk putative sequence-

specific endoribonuclease, 3'-to-5 'exoribonuclease, 2'-O-ribose methyltransferase,

ADP ribose 1'-phosphatase dan, dalam subset grup 2 virus corona, aktivitas siklik

fosfodiesterase. Protein dirakit di membran sel dan RNA genom dimasukkan

23
sebagai bentuk partikel matang dengan tunas dari membran sel internal. ( Muniyapa

R,2020 )

Sistem imun innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-1like

receptors, NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan

menstimulasi produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor antiviral

seperti sel CD8+, sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari

Betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan

replikasi virus yang cepat dan produksi interferon yang terlambat, terutama oleh sel

dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh

peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progres penyakit. (

Allegra,2020 )

Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada

inang. Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut dengan

badai sitokin. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan

dimana terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai

respon dari suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya

penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade

oleh protein non struktural virus. Selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya

lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF-α, IL-8, MCV-1, IL-1β,

CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit. Pelepasan

sitokin ini memicu aktifasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel NK,

bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin

proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan

paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan

24
ini dapat berakibat pada terjadinya Acute Respiratory Distress Sindrome (ARDS)

dan kegagalan multiorgan yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

( Di Gennaro,2020 )

Gambar 5. Mekanisme Transmisi dan Replikasi SARS-CoV-2.


(KEMENKES,2020)

2.2.5. Manifestasi Klinis

Infeksi virus korona pada manusia muncul sebagai infeksi saluran

pernapasan yang dapat sembuh sendiri pada orang yang paling imunokompeten,

dan menyebabkan penyakit pernapasan bagian bawah pada orang yang mengalami

gangguan kekebalan dan juga lansia. Namun, MERS-CoV, SARS-CoV

menyebabkan penyakit paru dan ekstra paru pada semua orang. (Di Gennaro,2020)

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara

bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan

25
tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah,

dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung

tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang

penciuman dan pembauan atau ruam kulit. ( Di Gennaro,2020 )

Berdasarkan tingkat keparahan klinis, COVID-19 dibagi menjadi penyakit

ringan, sedang dan berat. Penyakit ringan: infeksi saluran pernafasan atas tanpa

komplikasi dengan gejala ringan seperti demam, batuk, radang tenggorokan, hidung

tersumbat, malaise, sakit kepala dengan kadar SpO2 normal; Penyakit sedang:

pneumonia dan tidak ada tanda-tanda penyakit berat, SpO2 90-94% di udara

ruangan, frekuensi pernapasan 24-30 / menit; Penyakit berat: pneumonia berat

dengan tanda gangguan pernapasan, frekuensi pernapasan> 30 / menit atau SpO2

<90% pada udara ruangan. ( Di Gennaro,2020 )

2.2.6. Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien

yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi

molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-PCR

(termasuk Tes Cepat Molekuler/TCM yang digunakan untuk pemeriksaan

tuberkulosis dan mesin PCR Program HIV AIDS dan PIMS yang digunakan untuk

memeriksa Viral Load HIV). ( KEMENKES,2020 )

Penggunaan Rapid Test tidak digunakan untuk diagnostik. Pada kondisi

dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test dapat digunakan

untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku

perjalanan (termasuk kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah

26
Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak

seperti di lapas, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada

kelompok-kelompok rentan. WHO merekomendasikan penggunaan Rapid Test

untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain. ( KEMENKES,2020 )

2.3. Kecemasan pada COVID-19

Hasil meta-analisis menunjukkan prevalensi gejala kecemasan pada kasus

COVID-19 sebesar 46% (95% CI 33,9% - 58,2%), dengan bukti signifikan secara

statistik dari heterogenitas antar studi (Q = 154953, I2= 99,99%, p<0,001). Sebagai

penyakit baru dan mengancam jiwa, COVID-19 dapat menyebabkan kepanikan dan

stres yang besar pada pasien, terutama mereka yang dirawat di bangsal isolasi. Di

satu sisi, ketidakpastian mengenai prognosis dan pengalaman menyaksikan efek

samping selama rawat inap dapat meningkatkan ketakutan pasien rawat inap. Di

sisi lain, isolasi dapat membuat pasien merasa kesepian dan bosan, dan membuat

mereka terlalu peka dalam mengambil tindakan pencegahan dan menghindari

penularan penyakit. ( Hu Y,2020 ; Pursell E,2020 )

Studi sebelumnya menemukan bahwa pasien yang diisolasi dan dikarantina

memiliki tingkat kecemasan, depresi dan persepsi stigma yang lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka yang tidak. (Salari N, et al, 2020). Dalam penelitian

sebelumnya, peneliti menemukan bahwa proporsi tinggi pasien rawat inap dengan

COVID-19 mengalami depresi (45,9%), kecemasan (38,8%) dan insomnia

(54,1%). Meskipun sering terjadi respons emosional terhadap stres yang luar biasa,

emosi yang tidak teratur dapat mengakibatkan beberapa gangguan psikologis yang

dapat memperburuk penderitaan pasien dan mengganggu fungsi mereka di tempat

27
kerja dan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, reaktivitas psikologis akibat stres

yang berlebihan dapat berdampak pada kesehatan fisik dan hasil penyakit pasien. (

Paulus DJ,2018 )

Secara umum, semua penelitian yang meneliti gangguan psikologis selama

pandemi COVID-19 melaporkan bahwa individu yang terkena menunjukkan

beberapa gejala trauma mental, seperti tekanan emosional, depresi, stres, perubahan

suasana hati, mudah tersinggung, insomnia, stres pasca-trauma, dan kemarahan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa paparan media yang sering dapat

menyebabkan stres. Selain itu, ketidaknyamanan fisik dan efek samping yang

merugikan dari pengobatan juga akan memperburuk tekanan mental. ( Salari

N,2020 )

Beberapa variabel sosiodemografi memiliki hubungan dengan prevalensi

gejala mental yang relevan secara klinis. Wanita adalah salah satu variabel utama

yang memiliki keterkaitan dengan gangguan mental dan hal ini juga dilaporkan

dalam penelitian lain. Analisis regresi pada studi sebelumnya juga menunjukkan

bahwa jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko yang kuat untuk insomnia,

kecemasan dan depresi. Analisis model SEM juga menggambarkan bahwa jenis

kelamin memiliki pengaruh langsung dan sedang terhadap kesehatan mental.

Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa

perempuan lebih mungkin menderita gangguan mood, seperti depresi, kecemasan,

dan gangguan stres pasca trauma Perbedaan jenis kelamin pada penyakit mental ini

kemungkinan besar disebabkan oleh hormon steroid seks dan genetika. ( Jaggar M,

2020 )

28
Pasien yang memiliki anggota keluarga yang didiagnosis dan meninggal

karena COVID-19 memiliki prevalensi gejala somatik dan kecemasan yang lebih

tinggi. Penemuan ini juga dilaporkan dalam penelitian lain di Cina. Secara khusus,

dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Wuhan pada pasien dengan COVID-19,

memiliki anggota keluarga yang didiagnosis dan / atau meninggal karena penyakit

yang sama merupakan prediktor independen dari kedua indeks keparahan depresi,

serta menyajikan skor kecemasan yang lebih tinggi. Demikian pula, riwayat

diagnosis dan pengobatan psikiatri telah dikaitkan dengan frekuensi gejala mental

yang relevan secara klinis yang lebih tinggi pada orang yang selamat dari COVID-

19. Ini bisa jadi karena pandemi saat ini menyebabkan gejala reaktif seperti stres,

depresi, dan kecemasan, yang dikombinasikan dengan rawat inap, dapat

memperburuk kesehatan mental orang dengan diagnosis psikiatri sebelumnya. (

Huarcaya, 2020 )

2.4. Inflamasi pada Kecemasan

2.4.1. Hubungan Inflamasi pada Kecemasan

Gangguan kejiwaan kebanyakan merupakan kelainan multifaktorial dan

heterogen yang didorong oleh faktor genetik, biokimia, psikologis dan lingkungan.

Bukti dari studi etiologi menunjukkan keterlibatan beberapa mediator biokimia

yang berbeda, seperti sistem neurotransmitter dan faktor neurotropik, inflamasi

saraf, autoimunitas, sitokin, aktivitas sumbu stres, kronobiologi, disfungsi

mitokondria dan stres oksidatif. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa

disfungsi imunologis dan inflamasi mungkin memainkan peran penting pada

predisposisi, onset, dan perkembangan gangguan psikiatri mayor. ( Khandaker

GM,2016 )

29
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar marker inflamasi

mungkin berhubungan dengan masalah mental pada pasien COVID-19. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan gejala mental memiliki tingkat IL-

1β dan NLR yang lebih tinggi, tingkat IL-10 yang lebih rendah serta jumlah limfosit

yang lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki gejala mental. Selain itu,

analisis korelasi mengungkapkan bahwa tingkat IL-1β dan NLR terkait dengan

keparahan gejala mental. Penemuan ini bukan hanya kebetulan. Penelitian

sebelumnya telah menemukan peningkatan konsentrasi sitokin pro-inflamasi

(seperti IL-6, IL12, dan TNFα)) dan penurunan konsentrasi sitokin anti-inflamasi

(seperti IL-4 dan IL10) pada pasien dengan depresi dan GAD. ( Gennaro

Mazza,2018 )

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa gangguan psikologis

berhubungan dengan inflamasi. Namun, mekanisme yang mendasari hubungan

tersebut masih belum jelas. Dua perspektif berbeda telah dikemukakan: satu

pandangan adalah bahwa gangguan psikologis dapat menyebabkan inflamasi, dan

yang lainnya adalah bahwa inflamasi dapat menyebabkan gangguan psikologis.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yanyu Hu et al (2020), peneliti menyarankan

bahwa hasil penelitian mendukung sudut pandang yang terakhir. Pertama, bukti

telah menunjukkan bahwa sitokin proinflamasi perifer dapat mempengaruhi otak

dan diketahui bahwa COVID-19 dapat menyebabkan peningkatan kadar penanda

inflamasi serum dengan mengaktifkan respons imun. Kedua, karena durasi gejala

mental peserta tidak lama, kecil kemungkinan penanda perifer yang cukup dapat

dihasilkan, bahkan jika inflamasi dapat disebabkan oleh penyakit mental. Jadi, ada

kemungkinan peradangan dapat berkontribusi pada gejala kesehatan mental. Dalam

30
analisis model SEM, didapatkan penanda inflamasi memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap kesehatan mental. Inflamasi yang terjadi pada infeksi Covid-19

akan menyebabkan disregulasi sitokin, khususnya IL-1β, IL-6, IL-10, IFN-γ, dan

TGF-β, selain itu dapat terjadi infeksi langsung virus pada neuron, kerusakan Blood

Brain Barrier, disfungsi axis HPA. ( Hu Y,2020 )

2.4.2. Rasio Neutrofil Limfosit (NLR)

NLR telah lama dikembangkan untuk menjadi parameter yang sesuai yang

mencerminkan intensitas stres dan inflamasi sistemik pada pasien sakit kritis

setelah syok, trauma multipel, operasi mayor atau sepsis. Saat ini, belum ada nilai

batas yang disetujui dan dibagikan untuk NLR yang membedakan nilai normal dari

nilai abnormal. Beberapa penelitian mengkategorikan pasien mereka menurut

interval NLR (misalnya, tertiles, quartiles, quintiles) sementara penelitian lain

menggunakan titik potong NLR spesifik. ( Palareti G et al,2016 )

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nilai NLR yang lebih besar dari

6,5 pada saat masuk rumah sakit merupakan variabel yang terkait dengan prevalensi

gejala depresi dan kecemasan yang relevan secara klinis pada pasien COVID-19.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien yang selamat dari COVID-

19, dalam fase pemulihan, para peneliti menemukan bahwa mereka yang

melaporkan gejala depresi menunjukkan respons imun yang lebih besar yang

dibuktikan dengan rata-rata NLR yang lebih tinggi (2,4 vs 1,8; p <0,001). Dalam

studi lain dari Cina, yang dilakukan dengan pasien rawat inap, telah

didokumentasikan bahwa mereka dengan gejala mental memiliki tingkat

interleukin (IL) 1β, NLR, dan tingkat IL-10 dan limfosit yang lebih rendah. ( Forget

P et al,2017 )

31
Neutrofil adalah lini pertama pertahanan kekebalan yang melakukan

kegiatan fagositik dan apoptosis melalui sekresi berbagai faktor inflamasi,

khususnya, sitokin. (Mayadas TN et al, 2014) Peradangan yang dipicu oleh sitokin

dapat menyebabkan peradangan lebih lanjut karena disfungsi sel dan stres oksidatif.

Di sisi lain, limfosit adalah mediator inflamasi spesifik, dengan fungsi pengaturan

atau pelindung; jumlah limfosit yang rendah mencerminkan kesehatan umum yang

buruk dan stres fisiologis. NLR mungkin berguna untuk mendeteksi respon

inflamasi, yang mencerminkan intensitas stres dan inflamasi sistemik, dan kaskade

sitokin berikut. Penelitian telah menunjukkan korelasi yang signifikan dari NLR

dengan penanda inflamasi yang mapan seperti CRP dan sitokin pro-inflamasi

lainnya, menunjukkan NLR sebagai penanda yang berguna untuk mendeteksi

respon inflamasi, yang mencerminkan intensitas stres dan inflamasi sistemik, dan

kaskade sitokin. ( Bustan Y et al,2017 ; Gao SQ,2015 )

Gambar 6. Mekanisme Respons Imunologi pada COVID-19. (Harrison AG, 2020)

Ketika SARS-CoV-2 menginfeksi saluran pernapasan, maka dapat

menyebabkan sindrom pernapasan akut dengan akibat pelepasan sitokin pro-

32
inflamasi, seperti IL-1β dan IL-6, menghasilkan "badai sitokin" (gambar 6).

(Harrison AG, 2020) Sitokin ini dapat meningkat pada gangguan kejiwaan seperti

depresi, kecemasan, skizofrenia, dan PTSD. NLR memberikan cara cepat dan

mudah untuk menilai keadaan peradangan sistemik, yang dapat dihitung dari hitung

darah lengkap. Peningkatan NLR telah dikaitkan dengan peningkatan sitokin,

seperti IL-6 dan IL-8. Mengingat hubungan antara peningkatan kadar sitokin pada

COVID-19 serta gangguan kejiwaan, jalur imun / inflamasi dapat dianggap sebagai

salah satu mekanisme yang terlibat dalam masalah kesehatan mental akibat infeksi

ini. ( Kalelioglu T,2015 )

33
2.5. Kerangka Teori

Gambar 7. Kerangka Teori Penelitian

34
2.6. Kerangka Konsep

Variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan pasien

dengan variabel independen pada penelitian ini adalah neutrophil lymphocyte ratio

(NLR).

Neutrophil Lymphocyte
Tingkat Kecemasan
Ratio (NLR)

Variabel Independen Variabel Dependen


Gambar 8. Kerangka konsep penelitian

2.7. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan neutrophil lymphocyte ratio (NLR) dengan tingkat

kecemasan pada pasien COVID-19 di RSUP H. Adam Malik Medan.

35
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain

penelitian cross-sectional dimana subyek penelitian merupakan pasien COVID-19

yang dirawat di RSUP H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2021 di RSUP H.

Adam Malik, Medan, Sumatera Utara.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini merupakan semua pasien terkonfirmasi COVID-19.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini merupakan semua pasien terkonfirmasi COVID-19

yang dirawat di RSUP H. Adam Malik pada bulan Februari – Agustus 2021 sesuai

dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

36
3.4. Besar sampel

Besaran sampel diukur menggunakan rumus besaran sampel untuk

penelitian korelatif, yaitu:


2
(Zα + Zβ)
𝑛=( ) + 3
1+r
0,5 ln 1 − r
2
(1,96 + 0,842)
n= ( ) + 3
1 + 0,423
0,5 ln 1 − 0,423

n = 38,54 + 3
n = 41,54
n = 42

Keterangan :

1) Kesalahan tipe I (𝑍𝛼) = ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah sehingga

(𝑍𝛼) = 1,96

2) Kesalahan tipe II (𝑍𝛽) = ditetapkan sebesar 20%, power penelitian 80%,

hipotesis dua arah sehingga (𝑍𝛽) = 0,842

3) Koefisien korelasi penelitian dari penelitian sebelumnya (r) = 0,423

Berdasarkan antisipasi peneliti kemungkinan drop out pada subjek

penelitian, maka dilakukan koreksi dengan :


n
𝑁=
(1 − f)
42
𝑁=
(1 − 0,1)
𝑁 = 46,67
𝑁 = 47
Keterangan :

1) N = Besar sampel koreksi

37
2) n = Besar sampel awal

3) f = Perkiraan proporsi drop out sebesar 10% (ditetapkan peneliti)

Sehingga, besaran sampel untuk penelitian ini adalah 47 subjek penelitian.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Pasien baru terkonfirmasi COVID-19 derajat ringan dan sedang.

2. Berusia >= 18 tahun

3. Mampu berkomunikasi

4. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Memiliki komorbid penyakit kronik berat (gagal jantung, penyakit ginjal

kronik, gangguan neuropsikiatri, dan keganasan)

2. Memiliki komorbid penyakit infeksi berat lainnya

3. Mendapat terapi kortikosteroid

3.6. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling, yaitu salah satu

teknik non-probability sampling dimana peneliti mengambil sampel dari semua

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel yang

diperlukan terpenuhi.

38
3.7. Definisi Operasional

Tabel 3. Definisi operasional


Variabel Definisi Operasional Skala
Rasio neutrofil Rasio neutrofil limfosit (NLR) adalah rasio Rasio
limfosit (NLR) antara jumlah neutrofil absolut dan jumlah
limfosit absolut.
Tingkat Tingkat kecemasan pasien dinilai dengan Beck Ordinal
kecemasan Anxiety Index (BAI) yaitu inventaris laporan
diri pilihan ganda 21-item yang mengukur
tingkat keparahan kecemasan pada orang
dewasa dan remaja.
Total skor : 0 – 63.

3.8. Cara Kerja

3.8.1. Seleksi Pasien

Subyek penelitian merupakan pasien yang berusia > 18 tahun dan

terkonfirmasi menderita COVID-19 dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang (swab RT-PCR, pemeriksaan radiologis x foto thoraks / CT

Scan Thoraks) dan tergolong dalam derajat ringan dan sedang. Pasien yang

memiliki komorbid infeksi berat, riwayat keganasan, dan penyakit kronik lainnya

(gagal jantung, penyakit ginjal kronik, gangguan psikiatri, dan gangguan

neurovascular,) dan mendapat terapi kortikosteroid akan dieksklusikan dari

penelitian.

3.8.2. Pengukuran Skor BAI

Subyek penelitian akan diberikan penjelasan mengenai mekanisme

penelitian dan dilakukan informed consent melalui telepon. Subyek penelitian akan

diukur skala kecemasannya menggunakan kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI)

yang akan diberikan melalui perawat ruang isolasi yang bertugas. BAI ini adalah

39
skala pengukuran kecemasan secara umum yang terdiri dari 21 item yang

mengungkapkan aspek emosi, kognitif dan fisik. Masing- masing item memiliki 4

kemungkinan jawaban dengan rentang 0-3. Total nilai yang bisa didapatkan berada

dalam rentang 0 – 63.

3.8.3. Pemeriksaan NLR

Nilai NLR akan diambil dari hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada

saat pertama kali pasien dirawat di ruang isolasi. Nilai NLR didapatkan dari

membagi nilai absolut neutrofil dibagi dengan nilai hitung limfosit dari

pemeriksaan darah lengkap.

3.9. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dicek kelengkapannya, selanjutnya data tersebut

diberi kode, ditabulasi, dan dimasukkan ke dalam program komputer SPSS 23.00.

Data kemudian dianalisis secara statistik meliputi :

1) Analisis deskriptif untuk menampilkan nilai rerata dan simpang baku rasio

karakteristik dasar sampel penelitian. Hasil analisis disajikan dalam bentuk

tabel dan dibuat grafik.

2) Analisis bivariat untuk melihat hubungan antara 2 variabel berskala rasio.

Data akan diuji normalitas distribusinya dengan uji statistik Saphiro Wilk

atau Kolmogorov-Smirnov. Apabila data terdistribusi normal, maka

digunakan uji statistik ANOVA. Sedangkan apabila data tidak terdistribusi

normal, maka digunakan uji statistik Kruskal Wallis. Kemudian dilanjutkan

dengan uji post hoc Mann Whitney untuk melihat kelompok mana yang

40
memiliki perbedaan. Besarnya penyimpangan yang diinginkan (α) adalah

0,05, signifikan secara statistik jika p<0,05.

3.10. Alur Penelitian

Persiapan
Penelitian

Identifikasi
Subyek

Kriteria inklusi
dan eksklusi

Pemeriksaan Pengisian
Data dasar subyek
laboratorium rutin kuesioner BAI-II

Nilai NLR Skor BAI-II

Analisis dan
pengolahan data

Penyusunan
laporan

Gambar 9. Kerangka Operasional Penelitian

41
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 50 orang subjek penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan hubungan NLR dengan tingkat kecemasan
pada pasien COVID-19 di RSUP H. Adam Malik, karakteristik subjek penelitian
secara demografis disajikan pada tabel 4.1. Rata-rata subjek peneltian berusia 53
tahun, dengan usia termuda berusia 22 tahun dan usia lanjut 82 tahun. Mayoritas
subjek penelitian adalah perempuan sebanyak 27 orang (54%) dan laki-laki
sebanyak 23 orang (46%). Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas subjek
penelitian berpendidikan SMA yaitu sebanyak 31 orang (62%), diikuti pendidikan
S-1 yaitu sebanyak 17 orang (34%), pendidikan SMP dan SD berjumlah 1 orang
(2%) masing-masing. Mayoritas subjek penelitian sudah menikah yaitu sebanyak
47 orang (94%) dan belum menikah sebanyak 3 orang (6%).
Berdasarkan skoring BAI untuk menilai tingkat kecemasan pada pasien
COVID-19, diperoleh bahwa mayoritas subjek penelitian mengalami kecemasan
berat yaitu 33 orang (66%), diikuti kecemasan sedang yaitu 13 orang (26%),
kecemasan ringan yaitu 2 orang (4%) dan kecemasan minimal yaitu 2 orang (4%).

42
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik n = 50
Usia, (tahun)
Rerata±S.B 53,1±13,89
Median (minimum-maksimum) 56,0 (22,0-82,0)
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 23 (46)
Perempuan 27 (54)
Pendidikan, n (%)
SD 1 (2)
SMP 1 (2)
SMA 31 (62)
S-1 17 (34)
Status menikah, n (%)
Menikah 47 (94)
Belum menikah 3 (6)
Tingkat Kecemasan (BAI), n (%)
Kecemasan minimal 2 (4)
Kecemasan ringan 2 (4)
Kecemasan sedang 13 (26)
Kecemasan berat 33 (66)

Berdasarkan pemeriksaan penunjang diperoleh rerata neutrofil yaitu


77,17%, rerata limfosit yaitu 14,88%, rerata rasio Neutrophil Lymphocyte Ratio
(NLR) yaitu 11,84, dan rerata skor BAI yaitu 27,46, karakteristik parameter
pemeriksaan laboratorium disajikan pada tabel 4.2.

43
Tabel 4.2 Karakteristik parameter pemeriksaan penunjang
Standard Nilai Nilai
Parameter Mean Median
Deviation minimum maksimum
Neutrofil 77,17% 11,79% 76,45% 52,00% 96,20%
Limfosit 14,88% 9,79% 15,20% 1,50% 40,6%
NLR 11,84 14,05 5,03 1,28 62,47
Skor BAI 27,46 7,64 28,00 4,00 39,00

4.2 Hubungan NLR terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien COVID-19


Median rasio Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) pada pasien COVID-19
dengan kecemasan minimal yaitu 2,18, pada kecemasan ringan yaitu 5,03, pada
kecemasan sedang yaitu 3,57, pada kecemasan berat yaitu 8,37. Median rasio NLR
semakin meningkat terhadap tingkat kecemasan pada pasien COVID-19
berdasarkan analisis diperoleh terdapat hubungan yang signifikan secara statistik
rasio Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) antar kelompok pada tingkat kecemasan
pasien COVID-19 dengan nilai p<0,05 (p=0,034), disajikan padda tabel 4.3.

Tabel 4.3 Analisis hubungan NLR terhadap tingkat kecemasan pada pasien COVID 19
Tingkat Kecemasan
Parameter Minimal (n=2) Ringan Sedang Berat Nilai p
(n=2) (n=13) (n=33)
NLR 2,18 (1,28-3,08) 5,03 (4,97- 3,57 (1,96- 8,37 (1,63- 0,034*
5,08) 16,47) 62,47)
*Uji non-parametik kruskal-wallis, signifikan nilai p<0,05.

Untuk mengetahui pada tingkat kecemasan manakah terdapat perbedaan


NLR, dilakukan analisis lanjutan post-hoc disajikan pada tabel 4.4. Terdapat
hubungan yang signifkan rasio NLR pada pasien COVID-19 dengan kecemasan
minimal vs berat dengan nilai p=0,039 dan kecemasan sedang vs berat dengan nilai
p=0,035.

44
Tabel 4.4 Analisis Post-hoc hubungan NLR terhadap masing-masing tingkat kecemasan
Tingkat Kecemasan Nilai p
Minimal vs Ringan 0,121
Minimal vs Sedang 0,089
Minimal vs Berat 0,039*
NLR
Ringan vs Sedang 0,234
Ringan vs Berat 0,522
Sedang vs Berat 0,035*
*Uji post-hoc Mann-Whitney, signifikan nilai p<0,05.

45
4.3 Hubungan Karakteristik Demografis Pasien dengan Tingkat Kecemasan
pada Pasien COVID-19
Berdasarkan tabel 4.4 di bawah, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
hubungan antara karakteristik demografis pasien dengan tingkat kecemasan pada
pasien COVID-19 yang signifikan (p>0,05).

Tabel 4.5 Analisis hubungan karakteristik demografis pasien dengan tingkat kecemasan
Tingkat Kecemasan
Karakteristik Nilai p
Minimal-ringan Sedang Berat
Usia
≤ 60 tahun 4 11 21
0,20
>60 tahun 0 2 12
Jenis Kelamin
Perempuan 3 7 17
0,74
Laki-laki 1 6 16
Status menikah
Menikah 4 12 31
1,00
Belum menikah 0 1 2
Pendidikan
SD-SMP-SMA 2 6 25
0,094
S-1 2 7 8
NB: uji Fisher exact

46
BAB V
PEMBAHASAN PENELITIAN

Gangguan sistem kekebalan yang dipicu oleh infeksi COVID-19 dapat


menyebabkan psikopatologi, dan gejala sisa psikiatri dapat dijumpai. COVID-19
menyebabkan kepanikan publik dan tekanan kesehatan mental, dimana gejala
kecemasan dan depresi adalah reaksi psikologis umum terhadap pandemi COVID-
19, dan berkaitan dengan faktor sosiodemografis dan kualitas tidur. Prevalensi
global gangguan kecemasan secara keseluruhan diperkirakan 7,3%, namun tingkat
kecemasan pada populasi umum bisa lebih dari 3 kali lebih tinggi selama pandemi
COVID-19. Sekitar 28% pasien mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD),
31% mengalami depresi, 42% mengalami kecemasan, 20% mengalami gangguan
obsesif kompulsif, dan 40% mengalami insomnia. ( Dai L et al,2020 ; Mazza MG
et al,2020 )
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata subjek peneltian berusia 53 tahun,
dengan usia termuda berusia 22 tahun dan usia lanjut 82 tahun. Mayoritas subjek
penelitian adalah perempuan sebanyak 27 orang (54%) dan laki-laki sebanyak 23
orang (46%). Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas subjek penelitian
berpendidikan SMA yaitu sebanyak 31 orang (62%), diikuti pendidikan S-1 yaitu
sebanyak 17 orang (34%), pendidikan SMP dan SD berjumlah 1 orang (2%)
masing-masing. Mayoritas subjek penelitian sudah menikah yaitu sebanyak 47
orang (94%) dan belum menikah sebanyak 3 orang (6%). Studi oleh Li et al. (2020)
didapatkan hasil bahwa prevalensi kecemasan secara keseluruhan adalah 13,67%.
Prevalensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (13,89% vs 12,93%).
Prevalensi kecemasan tertinggi adalah 14,06% (SE 2,51%) dengan usia 60 hingga
100 tahun pada pria, dan 14,70% (SE 0,56%) pada usia 50 hingga 60 tahun pada
wanita. Usia, jenis kelamin, status pendidikan, sumber informasi, tingkat
kekhawatiran, tingkat ketakutan, dan status perilaku berhubungan dengan
kecemasan. ( Mazza MG et al,2020 )
Berdasarkan skoring BAI untuk menilai tingkat kecemasan pada pasien
COVID-19, diperoleh bahwa mayoritas subjek penelitian mengalami kecemasan
berat yaitu 33 orang (66%), diikuti kecemasan sedang yaitu 13 orang (26%),

47
kecemasan ringan yaitu 2 orang (4%) dan kecemasan minimal yaitu 2 orang (4%).
Studi oleh Basheti et al.(2021) mendapatkan bahwa 43,8% dan 40,0% subjek
memiliki skor kecemasan yang normal, sementara 22,4% menunjukkan skor
kecemasan yang tidak normal. 33,8% subjek memiliki skor kecemasan abnormal.
Merokok (p = 0,022), pendapatan keluarga yang lebih rendah (p = 0,039), dan
penggunaan obat-obatan (p = 0,032) berhubungan positif dengan skor kecemasan
yang lebih tinggi (lebih buruk).
Peningkatan kadar sitokin pada COVID-19 serta gangguan kejiwaan, sistem
imun merupakan salah satu mekanisme yang terlibat dalam masalah kesehatan
mental dari infeksi ini. Selain itu, faktor biologis (seperti usia lanjut, jenis kelamin
perempuan, dan obesitas), bersama dengan faktor lain yang berkaitan dengan
COVID-19 (seperti isolasi sosial, tekanan keuangan, dan efek buruk dari
pengobatan), dapat mempengaruhi penyakit psikiatri. Oleh karena itu, gejala
kejiwaan pada pasien COVID-19 yang diamati adalah karena kombinasi dari proses
yang terlibat dalam hubungan virus-host dan psikososial dan terapeutik masalah
yang terkait dengan pandemi dan penyakit. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium,
diperoleh rerata jumlah neutrofil yaitu 10.025,80±8832,35sel/mm3, rerata jumlah
limfosit yaitu 1397,76±887,42 sel /mm3, rerata rasio Neutrophil Lymphocyte Ratio
(NLR) yaitu 11,84, dan rerata skor BAI yaitu 27,46. Median rasio Neutrophil
Lymphocyte Ratio (NLR) pada pasien COVID-19 dengan kecemasan minimal yaitu
2,18, pada kecemasan ringan yaitu 5,03, pada kecemasan sedang yaitu 3,57, pada
kecemasan berat yaitu 8,37. Median rasio NLR semakin meningkat terhadap tingkat
kecemasan pada pasien COVID-19 berdasarkan analisis diperoleh terdapat
hubungan yang signifikan secara statistik rasio Neutrophil Lymphocyte Ratio
(NLR) antar kelompok pada tingkat kecemasan pasien COVID-19 dengan nilai
p<0,05 (p=0,034).
Studi oleh Kahve et al. (2021) pada pasien COVID-19 yang dirawat inap
dengan penyakit penyerta (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner)
didapatkan hasil bahwa usia (p<0,001), kadar neutrofil (4540 ±2750,p=0,036) dan
skor BAI (14,26±11,24, p=0,046) secara signifikan lebih tinggi daripada mereka
yang tidak memiliki penyakit penyerta, dan waktu pendidikan pasien COVID-19
(p=0,014) yang lebih rendah. Studi oleh Hu et al. (2020) pada pasien COVID-19 di

48
China didapatkan hasil bahwa pasien dengan gejala kecemasan memiliki kadar IL-
1β yang lebih tinggi (2,5 (2,5, 6,2) vs 2,5 (2,5, 2,5), p = 0,045), NLR yang lebih
tinggi (2,1 (1,5, 3,2). ) vs. 1,7 (1.3, 2.2), p = 0,049), dan jumlah limfosit rata-rata
yang lebih rendah (1,6 ± 0,4 vs 1,9 ± 0,7, p = 0,015). Skor GAD-7 untuk kecemasan
berkorelasi positif dengan lama rawat inap (r = 0,22, p < 0,05), kadar IL-1β (r =
0,46, p < 0,001), NLR (r = 0,30, p < 0,05) , keparahan penyakit yang dirasakan
sendiri (r = 0,44, p <0,01), dan skor ISI (r = 0,75, p <0,01). Studi oleh Huarcaya-
Victoria et al., (2020) didapatkan hasil bahwa NLR tinggi (≥6,5) berhubungan
dengan gejala cemas (PRa=1.82; CI 95%: 1.18-2.81) yang relevan secara klinis
dibandingkan dengan mereka dengan NLR rendah (<6,5). Studi observasional yang
dilakukan oleh Li et al. (2021) mendapatkan hasil bahwa koefisien korelasi antara
SAS (Self-Rating Anxiety Scale) dan NLR adalah 0,283, dengan nilai p 0,052, yang
mendekati 0,05. Terdapat juga perbedaan yang signifikan antara NLR dan virus
negative conversion time (NCT) pada kelompok kecemasan dan kelompok non-
kecemasan (p= .021, .024).
Untuk mengetahui pada tingkat kecemasan manakah terdapat perbedaan
NLR, dilakukan analisis lanjutan post-hoc. Terdapat hubungan yang signifkan rasio
NLR pada pasien COVID-19 dengan kecemasan minimal vs berat dengan nilai
p=0,039 dan kecemasan sedang vs berat dengan nilai p=0,035.
Peneliti juga melakukan analisis karakteristik demografis (usia, jenis
kelamin, pendidikan dan status menikah) terhadap tingkat kecemasan pada pasien
COVID-19 dan didapatkan hasil bahwa usia, jenis kelamin, pendidikan dan status
menikah tidak berhubungan dengan tingkat kecemasan pada pasien COVID-19.
Studi meta-analisis oleh Deng et al. (2020) didapatkan hasil bahwa jenis kelamin
(p=0,68) dan usia (p=0,44) tidak berhubungan secara signifikan terhadap
kecemasan. Guan et al. (2021) melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi kecemasan selama pandemi COVID-19 pada mahasiswa di China
dan didapatkan hasil bahwa jenis kelamin, tempat tinggal, tingkat kekhawatiran,
tingkat ketakutan, tingkat kognitif, dan status perilaku berhubungan dengan
kecemasan (p < 0,05). Siswa dengan perilaku preventif positif menunjukkan efek
protektif terhadap gejala kecemasan dibandingkan dengan mereka dengan perilaku

49
pencegahan negatif. Berbeda dengan tingkat kognisi tinggi, peserta dengan tingkat
kognitif rendah 14,9% mengalami lebih banyak gejala kecemasan.
Hou et al. (2020) mendapatkan hasil bahwa wanita mengalami stres dan
gejala kecemasan yang lebih berat daripada pria. Tingkat keparahan gejala
kecemasan akan berkurang dengan pendidikan yang lebih tinggi dan ketahanan
yang lebih baik, dan tingkat kecemasan meningkat pada perempuan, melihat
informasi tentang COVID-19 lebih dari 60  menit, kurang beradaptasi, dan lebih
stres. Studi oleh Kibret et al. (2020) mendapatkan hasil bahwa usia 30-39 tahun
(AOR, 3,05; 95% CI, (1,70, 5,47) dan usia 40 tahun (AOR, 11,32; 95% CI (3,37,
37,98), sudah menikah (AOR, 3,56; 95% CI, (2,30, 6,38), memiliki penyakit kronis
(AOR, 3,43; 95% CI, (1,59,743), memiliki anggota keluarga yang dicurigai
COVID-19 (AOR, 5,20; 95% CI, (2,11, 12,78), dan tidak memiliki akses pada alat
pelindung diri (AOR, 2,55; 95% CI, (1,43, 4,56) secara statistik berhubungan secara
signifikan dengan kecemasan. Dai et al. (2020) mendapatkan bahwa kualitas tidur
yang buruk (odds ratio [OR], 3,655, confidence interval 95% [CI], 1,074-12,433;
P = 0,038 ) dan memiliki dua gejala fisik saat ini (OR, 3,504; 95% CI, 1,919–6,398;
P <0,01) merupakan faktor risiko independen gejala kecemasan.

50
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik rasio Neutrophil
Lymphocyte Ratio (NLR) antar kelompok pada tingkat kecemasan pasien
COVID-19 dengan nilai p<0,05 (p=0,034),
2. Rata-rata subjek peneltian berusia 53 tahun, dengan usia termuda berusia 22
tahun dan usia lanjut 82 tahun, mayoritas subjek penelitian adalah perempuan
dengan tingkat pendidikan yaitu SMA dan sudah menikah.
3. Rerata neutrofil yaitu 77,17%, rerata limfosit yaitu 14,88%,, rerata rasio
Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) yaitu 11,84, dan rerata skor BAI yaitu
27,46
4. Mayoritas subjek penelitian mengalami kecemasan berat yaitu 33 orang (66%),
diikuti kecemasan sedang yaitu 13 orang (26%), kecemasan ringan yaitu 2
orang (4%) dan kecemasan minimal yaitu 2 orang (4%).
5. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik demografi subjek penlitian dengan
tingkat kecemasan.

6.2 Saran
Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu karena desain penelitian ini
adalah cross-sectional, sehingga tidak dapat mengevaluasi hubungan sebab akibat.
Sehingga untuk penelitian kedepannya bisa meneliti dengan desain penelitian yang
berbeda. Selain itu, keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah distribusi sampel
dalam tiap tingkatan kecemasan tidak merata sehingga diharapkan pada penelitian
selanjutnya diharapkan distribusi sampel merata pada setiap kelompok.

51
DAFTAR PUSTAKA

Adwas AA, Jbireal JM, Azab AE. Anxiety: Insights into Signs, Symptoms, Etiology,
Pathophysiology, and Treatment. East African Sch J Med Sci.
2019;2(October):80-91.
https://www.researchgate.net/publication/336738068_Anxiety_Insights_into_
Signs_Symptoms_Etiology_Pathophysiology_and_Treatment.
Allegra, A. et al (2020). Immunopatology of SARS-CoV 2 Infection : Immune Cells
and Mediator, Prognotic Factor, and Immune Therapeutic Implication. Journal
of Molecular Sience, 21 (4782), 1 - 19
Annisa DF, Ifdil I. Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia).
Konselor. 2016;5(2):93. doi:10.24036/02016526480-0-00
Basheti IA, et al. Prevalence of anxiety and depression during COVID-19 pandemic
among healthcare students in Jordan and its effect on their learning process: A
national survey. PLoS ONE 16(4): e0249716.
Biscayart, et al. The next big threat to global health? 2019 novel coronavirus (2019-
nCoV): What advice can we give to travellers? – Interim recommendations
January 2020, from the Latin-American society for Travel Medicine
(SLAMVI). Travel Med Infect Dis. 2020;33:17-20.
doi:10.1016/j.tmaid.2020.101567
Budikayanti et al. Screening of Generalized Anxiety Disorder in Patients with
Epilepsy: Using a Valid and Reliable Indonesian Version of Generalized
Anxiety Disorder-7 (GAD-7). Neurol Res Int. 2019;2019.
doi:10.1155/2019/5902610
Bustan Y, et al. Elevated neutrophil to lymphocyte ratio in non-affective psychotic
adolescent inpatients: Evidence for early association between inflammation
and psychosis. Psychiatry Res. 2018;262(May 2017):149-153.
doi:10.1016/j.psychres.2018.02.002
Da Silva, et al. A systematic review of the prevalence of anxiety symptoms during
coronavirus epidemics. J Health Psychol. 2021;26(1):115-125.
doi:10.1177/1359105320951620
Dai L-L, et al. Anxiety and depressive symptoms among COVID-19 patients in
Jianghan Fangcang Shelter Hospital in Wuhan, China. PLoS ONE 15(8):
e0238416.
Deng J, et al. The prevalence of depression, anxiety, and sleep disturbances in
COVID-19 patients: a meta-analysis. Ann N Y Acad Sci. 2021 Feb;1486(1):90-
111.
Di Gennaro F, et al. Coronavirus diseases (COVID-19) current status and future
perspectives: A narrative review. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(8).
doi:10.3390/ijerph17082690
Forget P, et al. What is the normal value of the neutrophil-to-lymphocyte ratio? BMC
Res Notes. 2017;10(1):1-4. doi:10.1186/s13104-016-2335-5
Gao SQ, et al. Neutrophil-lymphocyte ratio: A controversial marker in predicting
Crohn’s disease severity. Int J Clin Exp Pathol. 2015;8(11):14779-14785.
Gennaro Mazza M, A CM. A Review of Neutrophil-Lymphocyte, Monocyte-

52
Lymphocyte, and Platelet-Lymphocyte Ratios Use in Psychiatric Disorders.
World J Depress Anxiety. 2018;1(1):1002.
Grant MM. Beck Anxiety Inventory. 2018:1-5.
Hou R, et al. Peripheral inflammatory cytokines and immune balance in Generalised
Anxiety Disorder: Case-controlled study. Brain Behav Immun. 2017;62:212-
218. doi:10.1016/j.bbi.2017.01.021
https://covid19.go.id/ diakses pada tanggal 16 maret 2021
Hu Y, et al. Factors related to mental health of inpatients with COVID-19 in Wuhan,
China. Brain Behav Immun. 2020;89(January):587-593.
Huarcaya-Victoria J, Aire L, Podestá A, Guija-igreda R, Castillo C. Mental health in
COVID-19 survivors from a general hospital: association with
sociodemographic, clinical, and inammatory variables. Research Square. 2020.
DOI: https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-146200/v1
Jaggar M, Rea K, Spichak S, Dinan TG, Cryan JF. You’ve got male: Sex and the
microbiota-gut-brain axis across the lifespan. Front Neuroendocrinol.
2020;56:100815. doi:10.1016/j.yfrne.2019.100815
Kahve AC, et al. Do Anxiety and Depression Levels Affect the Inflammation
Response in Patients Hospitalized for COVID-19. Psychiatry Investig.
2021;18(6):505-512.
Kalelioglu T, et al. Neutrophil-lymphocyte and platelet-lymphocyte ratios as
inflammation markers for bipolar disorder. Psychiatry Res. 2015;228(3):925-
927. doi:10.1016/j.psychres.2015.05.110
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus
deases (Covid-19). Kementrian Kesehat. 2020;5:178.
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/REV-
05_Pedoman_P2_COVID-19_13_Juli_2020.pdf.
Khandaker GM, Dantzer R. Is there a role for immune-to-brain communication in
schizophrenia? Psychopharmacology (Berl). 2016;233(9):1559-1573.
doi:10.1007/s00213-015-3975-1
Kibret S, et al. Prevalence of anxiety towards COVID-19 and its associated factors
among healthcare workers in a Hospital of Ethiopia, 2020, PLOS ONE 15(12):
e0243022
Labaste F, et al. Validation of a visual analogue scale for the evaluation of the
postoperative anxiety: A prospective observational study. Nurs Open.
2019;6(4):1323-1330. doi:10.1002/nop2.330
Lee K, Kim D, Cho Y. Exploratory factor analysis of the beck anxiety inventory and
the beck depression Inventory-II in a psychiatric outpatient population. J
Korean Med Sci. 2018;33(16):1-11. doi:10.3346/jkms.2018.33.e128
Li M, Zhang Z, et al. Identifying novel factors associated with COVID-19
transmission and fatality using the machine learning approach. Sci Total
Environ. 2020:142810. doi:10.1016/j.scitotenv.2020.142810
Mayadas TN, Cullere X, Lowell CA. The multifaceted functions of neutrophils. Annu
Rev Pathol Mech Dis. 2014;9:181-218. doi:10.1146/annurev-pathol-020712-
164023
Mazza MG, De Lorenzo R, Conte C, et al. Anxiety and depression in COVID-19
survivors: Role of inflammatory and clinical predictors. Brain Behav Immun.
2020;89:594-600.
Mousavizadeh L, Ghasemi S. Genotype and phenotype of COVID-19: Their roles in

53
pathogenesis. J Microbiol Immunol Infect. 2020;(xxxx):0-4.
doi:10.1016/j.jmii.2020.03.022
Munir S, Takov V. Generalized Anxiety Disorder. StatPearls Publishing LLC; 2020.
doi:10.1007/s00115-014-4121-8
Muniyappa R, Gubbi S. COVID-19 pandemic, coronaviruses, and diabetes mellitus.
Am J Physiol - Endocrinol Metab. 2020;318(5):E736-E741.
doi:10.1152/ajpendo.00124.2020
Nie XD, et al. Anxiety and depression and its correlates in patients with coronavirus
disease 2019 in Wuhan. Int J Psychiatry Clin Pract. 2020;0(0):1-6.
doi:10.1080/13651501.2020.1791345
Oh H, Park K, et al. Clinical Utility of Beck Anxiety Inventory in Clinical and
Nonclinical Korean Samples. Front Psychiatry. 2018;9(December):1-10.
doi:10.3389/fpsyt.2018.00666
Palareti G, et al. Comparison between different D-Dimer cutoff values to assess the
individual risk of recurrent venous thromboembolism: Analysis of results
obtained in the DULCIS study. Int J Lab Hematol. 2016;38(1):42-49.
doi:10.1111/ijlh.12426
Paulus DJ, et al. The unique and interactive effects of anxiety sensitivity and emotion
dysregulation in relation to posttraumatic stress, depressive, and anxiety
symptoms among trauma-exposed firefighters. Compr Psychiatry. 2018;84:54-
61. doi:10.1016/j.comppsych.2018.03.012
Purssell E, Gould Di, Chudleigh J. Impact of isolation on hospitalised patients who
are infectious: Systematic review with meta-analysis. BMJ Open.
2020;10(2):1-8. doi:10.1136/bmjopen-2019-030371
Salari N, et al. Prevalence of stress, anxiety, depression among the general population
during the COVID-19 pandemic: A systematic review and meta-analysis.
Global Health. 2020;16(1):1-11. doi:10.1186/s12992-020-00589-w
Santabárbara J, et al. Prevalence of anxiety in the COVID-19 pandemic: An updated
meta-analysis of community-based studies. Prog Neuropsychopharmacol Biol
Psychiatry. 2021;109:110207.
Shafiee M, Tayefi M, Hassanian SM, et al. Depression and anxiety symptoms are
associated with white blood cell count and red cell distribution width: A sex-
stratified analysis in a population-based study.
Psychoneuroendocrinology.2017;84:101-108.
doi:10.1016/j.psyneuen.2017.06.021
Sitorus P, Fitrikasari A. Gambaran Tingkat Kecemasan Dan Hubungannya Dengan
Berbagai Faktor Pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas (Studi Deskriptif Analitik
Di Puskesmas Halmahera Semarang). Diponegoro Med J (Jurnal Kedokt
Diponegoro). 2016;5(4):1451-1460.
Soodan S, Arya A. Understanding the Pathophysiology and Management of the
Anxiety Disorders. Hum Journals Rev Artic Oct. 2015;4(43):251-278.
http://ijppr.humanjournals.com/wp-content/uploads/2015/11/20.Shivani-
Soodan-and-Ashwani-Arya.pdf.
Stang A, Standl F, Jöckel KH. Characteristics of COVID-19 pandemic and public
health consequences. Herz. 2020;45(4):313-315. doi:10.1007/s00059-020-
04932-

54
Tahaghoghi-hajghorbani S, et al. The role of dysregulated immune responses in
COVID-19 pathogenesis Tahaghoghi-Hajghorbani. VIrus Res.
2020;290(January).
Wang FS, Zhang C. What to do next to control the 2019-nCoV epidemic? Lancet.
2020;395(10222):391-393. doi:10.1016/S0140-6736(20)30300-7
World Health Organization. Coronavirus disease. Coronavirus Dis Situat Rep – 119.
2020;2019(May):2633. doi:10.1001/jama.2020.2633
World Health Organization. Depression and Other Common Mental Disorders :
Global Health Estimates. 2017.
Yao H, Chen JH, Xu YF. Patients with mental health disorders in the COVID-19
epidemic. The Lancet Psychiatry. 2020;7(4):e21. doi:10.1016/S2215-
0366(20)30090-0

55
LAMPIRAN

Kuesioner BAI

BECK ANXIETY INVENTORY

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Status :
No. RM :

Berikut ini adalah daftar keluhan ansietas yang umum. Silahkan baca dengan
seksama setiap keluhan dibawah ini, kemudian lingkarilah salah satu angka pada
setiap kolom keluhan sesuai dengan perasaan anda selama bulan terakhir ini.

Sedang:
Ringan tetapi Berat:
Tidak kadang -
tidak banyak banyak
Keluhan sama kadang saya
menganggu menganggu
sekali tidak
saya saya
nyaman
Kibas-kibas atau
0 1 2 3
kesemutan
Perasaan panas 0 1 2 3
Lemas atau goyah
0 1 2 3
pada kaki
Tidak dapat rileks 0 1 2 3
Takut sesuatu yang
0 1 2 3
jelek akan terjadi

56
Pusing atau kepala
0 1 2 3
terasa ringan
Jantung berdebar-
0 1 2 3
debar
Goyah atau tidak tahan
0 1 2 3
berdiri
Ketakutan 0 1 2 3
Gugup 0 1 2 3

Perasaan tercekik atau


0 1 2 3
tersedak
Tangan gemetaran 0 1 2 3
Badan gemetar atau
0 1 2 3
goyah
Takut hilang kendali 0 1 2 3
Kesulitan bernafas 0 1 2 3
Takut sekarat 0 1 2 3
Ciut hati / pengecut 0 1 2 3
Pencernaan atau perut
0 1 2 3
terganggu
Pingsan atau perasaan
0 1 2 3
mau pingsan
Wajah merona 0 1 2 3
Keringat panas atau
0 1 2 3
dingin
JUMLAH KOLOM
SKOR

57

Anda mungkin juga menyukai