Anda di halaman 1dari 41

SMF/ BAGIAN ILMU SARAF REFERAT

RSUD T.C. HILLERS SEPTEMBER 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

Disusun oleh :
Jason Nathaniel Anugerah Abdullah, S.Ked

Pembimbing :
dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.N

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU SARAF
RSUD DR. T. C. HILLERS
MAUMERE
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama: Jason Nathaniel Anugerah Abdullah, S.Ked

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing klinik

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian kepaniteraan

klinik di SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD DR.T.C.Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik:

1. dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.N 1…………………………

Ditetapkan di : Maumere

Tanggal : 10 September 2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

“Infeksi Sistem Saraf Pusat”. Banyak pihak telah banyak membantu dan

membimbing dalam penulisan referat ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.N selaku ketua SMF bagian Ilmu Saraf

RSUD.Dr. T.C. Hillers yang telah membimbing dan membagikan ilmu

dalam proses belajar dan penyelesaian tugas referat ini di SMF bagian Ilmu

Saraf RSUD dr.T.C. Hillers.

2. dr. Tersila A. D. Dedang, M.Biomed, Sp.N selaku pembimbing yang telah

membimbing dan membagikan ilmu serta meluangkan waktu tenaga dan

pikiran penulis selama proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr.

T.C. Hillers.

3. Seluruh staf dan karyawan Instalasi bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C.

Hillers Maumere, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas

NusaCendana yang sudah berpartisipasi dalam memperlancar kegiatan

belajar mengajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.

4. Teman-teman dokter muda di SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C.

Hillers Maumere, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas

Nusa Cendana yang sudah memberi dukungan dan saling berbagi dalam

proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.

iii
5. Seluruh pihak yang telah membantu terutama orang tua dan keluarga yang

telah memberikan dukungan baik dalam bentuk doa maupun materi dalam

proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

menyempurnakan referat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat

memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Maumere, 10 September 2023

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I PEDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
2.1 Anatomi Organ Terkait...................................................................................4
2.2 Definisi ...........................................................................................................9
2.3 Epidemiologi ..................................................................................................9
2.4 Etiologi .........................................................................................................11
2.5 Faktor Risiko ................................................................................................12
2.6 Patofisiologi..................................................................................................13
2.7 Gambaran Klinis...........................................................................................16
2.8 Pendekatan Diagnosis...................................................................................18
2.9 Tatalaksana ...................................................................................................26
2.10 Prognosis ....................................................................................................33
BAB III PENUTUP ..............................................................................................35
3.1 Kesimpulan...................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................36
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan keadaan kedaruratan medis yang

berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, atau gejala sisa jangka panjang yang

membutuhkan perawatan medis intensif dalam waktu yang lama sehingga

berdampak pada kualitas hidup individu yang terkena. Oleh karena itu, infeksi

sistem saraf pusat membutuhkan penanganan, diagnosis, dan manajemen yang tepat

dan cepat untuk mencegah kematian dan defisit neurologis.1

Infeksi SSP akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu meningitis,

ensefalitis, dan abses. Meningitis merupakan infeksi yang terjadi pada lapisan

meningens otak, sedangkan ensefalitis merupakan infeksi pada jaringan otak dan

apabila mengenai jaringan otak dan meningens maka disebut meningoensefalitis.

Abses otak merupakan kondisi dimana terdapat timbunan nanah dalam jaringan

otak.2

Meningitis disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit.

walaupun etiologi jamur lebih jarang ditemukan. Kasus meningitis tersebar di

seluruh dunia, namun epidemik terparah terjadi di Afrika. Di Indonesia sendiri, pada

2010, jumlah kasus meningitis secara keseluruhan mencapai 19.381 orang.

Meningitis bakteri menjadi perhatian khusus. Sekitar 1 dari 10 orang yang terkena

meningitis bakteri meninggal dan 1 dari 5 mengalami komplikasi berat.3,4

Ensefalitis akut dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

dengan 3,5 hingga 7,4 kasus dilaporkan per 100.000 orang per tahun. Virus

1
dianggap sebagai etiologi yang paling penting dalam kasus ensefalitis akut, tetapi

bakteri, parasit, toksin, dan autoimunitas juga dianggap sebagai etiologi yang

penting. Beberapa virus neurotropik berperan dalam etiologi ensefalitis virus akut,

dengan prevalensi paling umum tergantung pada lokasi geografis. Pada penelitian

California Encephalitis Project didapatkan bahwa Herpes Simplex Virus 1 (HSV-

1) adalah virus yang paling umum menyebabkan ensefalitis, sementara di banyak

negara di Asia, Japanese Ensephalitis (JEV) adalah penyebab utama dari ensefalitis

akut dengan 31-45% pasien mengalami ensefalitis akut akibat JEV. 2

Untuk meningoensefalitis, virus merupakan penyebab tersering di seluruh

dunia walaupun patogen lain dapat terlibat, seperti bakteri, parasit dan autoimun.

Meningoensefalitis tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(M. tuberculosis) dan merupakan manifestasi tersering dari TB pada sistem saraf

pusat yang diasosiasikan dengan sekuele neurologis dan mortalitas yang tinggi bila

tidak ditangani dengan segera.2

Selain itu, infeksi yang berasal dari fokus infeksi yang berdekatan dengan

otak ataupun menyebar secara hematogen dapat menyebabkan proses supuratif

fokal dalam parenkim otak yang disebut dengan abses otak. Insidensi abses otak di

Amerika Serikat mencapai 1500 sampai 2500 kasus setiap tahunnya, angka kejadian

ini lebih tinggi pada negara berkembang dan 25% diantaranya terjadi pada anak-

anak.5

Infeksi pada sistem saraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan

kondisi yang mengancam jiwa. Prognosisnya tergantung pada identifikasi tempat

2
dan jenis patogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan

pengobatan antibiotik yang efektif secepat mungkin. Oleh karena itu, analisis LCS,

biopsi, dan analisis laboratorium merupakan gold standard untuk mengidentifikasi

patogen penyebab infeksi. Neuroimaging merupakan pemeriksaan yang sangat

penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla spinalis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Terkait

Otak dan medula spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meningens) yakni dura

mater, arakhnoid dan pia mater. Diantara dura mater dan arachnoid terdapat ruang

subdural, antara arachnoid dan pia mater terdapat ruang subarachnoid. Ruang

subarachnoid berisi cairan serebrospinalis (LCS). Pia mater terletak tepat pada

permukaan otak dan medulla spinalis.

2.1.1 Selubung Otak dan Medula Spinalis

a. Dura Mater

Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri

dari lamina meningealis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis

lamina endostealis melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi

endosteum (periosteum), sehingga diantara lamina meningealis dan lamina

endotealis terdapat rongga ekstraduralis (spatium epiduralis) yang berisi

jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada lapisan

4
perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang mensuplai duramater

dan sumsum tulang pada kubah tengkorak. Pada enchepalon, lamina

endotealis melekat erat pada permukaan interior cranium, terutama pada

sutura, basis krania dan tepi foramen occipital magnum. Lamina meningealis

memiliki permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan

membentuk empat buah septa yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx

cerebeli dan diafragma sellae.

Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh

sinus sagital inferior dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung

dengan Krista galli, dan bercabang di belakang membentuk tentorium

cerebeli. Tentorium cerebella membagi rongga cranium menjadi ruang

supratentorial dan infratentorial. Falx cerebeli yang berukuran lebih kecil

memisahkan kedua belahan otak kecil. Falx cerebeli menutupi sinus

occipital dan pada bagian belakang terhubung dengan tulang oksipital.

Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus

trigeminus mempersarafi daerah atap cranial, fossa cranium

5
anterior dan tengah. Sementara nervus vagus mempersarafifosa posterior.

Nyeri dapat dirasakan jika ada rangsangn langsung terhadap duramater,

sementara jaringan otak sendiri tidak sensitive terhadap rangsangan nyeri.

Beberapa nervus cranial dan pembuluh darah yang mensuplai otak berjalan

melintasi duramater dan berada diatasnya sehingga disebut juga segmen

extradural intracranial. Sehingga beberapa nervus dan pembuluh darah

tersebut dapat dijangkau saat operasi tanpa harus membuka duramater

b. Arakhnoid

Arakhnoid otak dan medula spinalis merupakan membran avaskular

yang tipis dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam dura

mater. Ruang antara arakhnoid dan pia mater (ruang subarakhnoid) berisi

cairan serebrospinalis. Pia mater melekat ke permukaan otak di sepanjang

lipatan-lipatannya; sehingga, ruang subarakhnoid lebih sempit pada

beberapa tempat, dan lebih luas pada area lainnya. Pembesaran ruang

subarakhnoid disebut sisterna. Ruang subarakhnoid kranial dan spinal

berhubungan langsung satu sama lain melalui foramen magnum. Sebagian

besar trunkus arteriosus yang mendarahi otak dan sebagian besar saraf

kranialis, berjalan di ruang subarachnoid.

c. Pia Mater

Pia mater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesociermal yang

menyempai endotelium. Tidak seperti arakhnoid, struktur ini tidak hanya

meliputi seluruh permukaan eksternal otak dan medula spinalis yang terlihat

6
tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang dalam. Pia mater

melekat pada sistem saraf pusat dibawahnya melalui membran ectodermal

yang terdiri dari astrositmarginal (membran pial-glial). Pembuluh darah

yang memasuki atau meninggalkan otak dan medula spinalis melalui ruang

subarakhnoid dikelilingi oleh selubung seperti-terowongan pia mater. Ruang

di antara pembuluh darah dan pia mater di sekitarnya disebut ruang

Virchow-Robin. Saraf sensorik pia mater, tidak seperti pada dura mater,

tidak berespons terhadap stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini

diduga berespons terhadap regangan vaskular dan perubahan pada tonus

dinding pembuluh darah.

2.1.2 Cairan Serebrospinalis

Cairan serebrospinalis yang normal jernih dan tidak berwarna, mengandung

hanya beberapa sel dan relatif mengandung sedikit protein (rasio albumin LCS dan

albumin serum:6,5 + 1,9 x l0 3). Komposisinya juga berbeda dari darah pada aspek

laimya. Cairan serebrospinal bukan merupakan ultrafiltrat darah; melainkan secara

aktif disekresi oleh pleksus khoroideus, terutama di dalam ventrikel lateral. Darah

di dalam kapiler pleksus khoroideus dipisahkan dari ruang subarakhnoid melalui

sawar darah. LCS,yang mengandung endotelium vaskular, membrana basalis, dan

epitelium pleksus. Sawar ini permeabel terhadap air, oksigen, dan karbondioksida,

tetapi relatif tidak permeabel terhadap elektrolit dan sepenuhnya tidak permeabel

terhadap sel.6

7
Volume LCS yang bersirkulasi umumnya antara 130 dan 150 mL. Setiap 24

jam dihasilkan 400-500 mL LCS, sehingga seluruh volume LCS diganti tiga atau

empat kali sehari. Tekanan LCS tidak sama dengan tekanan intracranial, pada posisi

supinasi normalnya adalah 10-120 mmH2O. Cairan serebrospinal diproduksi oleh

pleksus khoroideus ventrikel lateral, ventrikel IIl, dan ventrikel IV. Cairan ini

mengalir melalui foramina Luschka dan foramen Magendie ke dalam ruang

subarakhnoid, beredar ke seluruh otak, dan mengalir turun ke dalam ruang

subarakhnoid spinal di sekeliling medula spinalis. Sedikit cairan serebrospinal

diresorpsi di tingkat spinal.6

LCS diresorpsi yaitu dikeluarkan dari ruang subarakhnoid di intrakranial

dan di sepanjang medula spinalis. Sebagian LCS meninggalkan ruang subarakhnoid

dan memasuki aliran darah melalui banyak villi granulasiones araklnoideae yang

terletak di sinus sagitalis superior danpadavena diploica kranii. Sisanya diresorpsi

di selubung periner.ral saraf kranialis dan saraf spinalis, tempat saraf tersebut

masingmasing keluar dari batang otak dan medula spinalis, dan melewati ependima

dan kapiler leptomeninges.6

Ketika mengalir melalui sistem ventrikel, LCS harus melewati beberapa

jalan yang menyempit yakni foramina interventrikularia, ventrikel ketiga yang

berbentuk seperti tabung, akuaduktus serebri yang merupakan titik tersempit, dan

kemudian pintu keluar foramina ventrikel keempat dan apertura tentorial. 6

8
2.2 Definisi
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan infeksi yang melibatkan otak,

sumsum tulang belakang, dan selaput penutupnya.1 Infeksi SSP akut dapat dibagi

menjadi tiga kategori yaitu meningitis, ensefalitis, dan abses. Meningitis adalah

peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meninges) serta cairan

serebrospinal (CSF) yang kontak dengan membran tersebut. Ensefalitis adalah

peradangan pada jaringan otak. Abses otak adalah kumpulan bahan supuratif

(nanah) pada parenkim otak.5

2.3 Epidemiologi
Kasus meningitis tersebar di seluruh dunia, namun epidemik terparah terjadi di

Afrika bagian Sahara. Insiden kasus meningitis bervariasi mulai kasus rendah yang

terjadi di Eropa dan Amerika Utara (1 kasus per 100.000) hingga kasus tinggi di

Afrika (800 hingga 1.000 kasus per 100.000). Di Indonesia sendiri, menurut data

Kementerian Kesehatan, pada 2010 jumlah kasus meningitis secara keseluruhan

mencapai 19.381 orang dengan rincian laki-laki 12.010 pasien dan

9
wanita 7.371 pasien, dan dilaporkan pasien yang meninggal dunia sebesar 1.025

orang. Meningitis bakteri menjadi perhatian khusus. Sekitar 1 dari 10 orang yang

terkena meningitis bakteri meninggal dan 1 dari 5 mengalami komplikasi berat. 3,4

Ensefalitis akut dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

dengan 3,5 hingga 7,4 kasus dilaporkan per 100.000 orang per tahun. Virus

dianggap sebagai etiologi yang paling penting dalam kasus ensefalitis akut, tetapi

bakteri, parasit, toksin, dan autoimunitas juga dianggap sebagai etiologi yang

penting. Beberapa virus neurotropik berperan dalam etiologi ensefalitis virus akut,

dengan prevalensi paling umum tergantung pada lokasi geografis. Pada penelitian

California Encephalitis Project didapatkan bahwa Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1)

adalah virus yang paling umum menyebabkan ensefalitis, sementara di banyak

negara di Asia, Japanese Ensephalitis (JEV) adalah penyebab utama dari ensefalitis

akut dengan 31-45% pasien mengalami ensefalitis akut akibat JEV. Penyakit ini

dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Pada

bayi dan anak kecil ,ensefalitis dapat terjadi akibat komplikasi dari meningitis

bakterial (jarang pada dewasa), otitis media,mastoiditis, sinusitis. Anak dibawah 15

tahun, kejadian ensefalitis paling sering terjadi karena frekuensi sinusitis dan

mastoiditis masih tinggi.2,7

Insidensi abses otak di Amerika Serikat mencapai 1500 sampai 2500 kasus

setiap tahunnya, angka kejadian ini lebih tinggi pada negara berkembang. Kasus

abses otak lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita dengan

perbandingan 2:1 sampai 3:1, dan rata-rata umur penderita berusia 30 sampai 40

tahun. Ada perbedaan usia dalam insidensi abses otak sesuai sumber infeksi,

10
penderita abses otak dengan sumber utama berasal dari infeksi telinga biasanya

berusia 20 sampai 40 tahun dan risiko kejadian akan meningkat jika infeksi diikuti

trauma kepala dan pasca prosedur bedah. Abses otak terjadi pada anak-anak sebesar

25%, hal ini terutama disebabkan oleh infeksi sekunder yang berasal dari infeksi

telinga atau pada anak-anak dengan penyakit jantung kongenital. Laporan dari

University of Virginia Children’s melaporkan bahwa dari tahun 2000 sampai 2007

rata-rata ada 2 anak yang didiagnosis menderita abses otak setiap tahunnya.5

2.4 Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan

protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Golongan umur dibawah

5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.

Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria

meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)

disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan

Listeria. Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman

Tuberculosis dan virus. Meningitis kriptokokus merupakan infeksi jamur sistemik

tersering dan penyebab infeksi otak paling banyak pada pasien HIV. 7

Berdasarkan penyebabya, ensefalitis dibedakan menjadi ensefalitis

supurativa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, E.coli dan

M.tuberculosa, ensefalitis syphilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum,

ensefalitis virus yang bisa disebabkan karena virus (rabies, parotitis, morbili, zoster-

varisella, herpes simpleks, virus Epstein-barr dan AIDS), ensefalitis parasit yang

11
disebabkan karena malaria, toxoplasmosis, amoebiasis serta ensefalitis karena fungi

dan riketsia.7

Banyak agen infeksius yang telah dilaporkan menjadi penyebab abses otak.

Infeksi pathogen bergantung pada sumber infeksi utama, pathogenesis dan faktor

presdiposisi penderita. Bakteri yang paling sering menyebabkan abses otak adalah

Streptococcus (70%) kemudian Staphilococcus aureus (10-20%). Candida

merupakan jamur yang paling sering menyebabkan abses otak. Abses otak juga

dapat disebabkan oleh parasit. Beberapa parasit yang diketahui menjadi penyebab

abses otak ialah protozoa dan helminthes seperti Trypanosoma cruzi, Taenia solium,

Entamoeba histolytica, Schistosoma spp., Microsporidia spp., dan Paragonimus

spp. Protozoa penyebab infeksi otak yang terpenting adalah Toxoplasma gondii

yang bisa terlihat terutama pada penderita HIV.5

2.5 Faktor Risiko


Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko diantaranya adalah

status immunocompromised (infeksi human immunodeficiency virus, kanker,

dalam terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur

basis kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi,

Virus, jamur, dan bakteri dapat masuk ke otak dan sumsum tulang belakang

melalui darah, sel saraf, atau tulang yang patah. Pada kondisi ini, kekebalan tubuh

tidak hanya menyerang sel penyebab infeksi, tetapi juga secara keliru menyerang

sel-sel sehat di otak. Pada kondisi ini, gejala biasanya muncul beberapa minggu

setelah infeksi awal. Adapun jenis virus yang umum bisa menyerang sistem saraf,

12
yaitu herpes simplex virus (HSV), enterovirus, Epstein-Barr Virus (EBV), varicella

zoster virus, atau virus lainnya. Beberapa virus ini bisa menginfeksi manusia lewat

gigitan nyamuk.

Sementara bakteri yang bisa menyebabkan penyakit ini, yaitu Streptococcus

pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, atau Listeria

monocytogenes. Bakteri-bakteri ini umum menyebar melalui batuk, bersin,

berciuman, atau berbagi peralatan.

2.6 Patofisiologi
2.6.1 Meningitis

Patogen penyebab meningitis dapat masuk dan menginvasi aliran

subarachnoid dalam berbagai cara, yaitu melalui penyebaran hematogen atau secara

langsung dari struktur sekitar otak, seperti contohnya pada kasus otitis media dan

sinusitis. 8,9

13
Penyebaran juga bisa terjadi melalui invasi kuman pada nervus perifer dan
8,9
kranial, atau secara iatrogenik yakni operasi pada daerah cranium atau spinal.

Adanya invasi patogen ke subarachnoid akan mengaktivasi sistem imun. Sel

darah putih, komplemen, dan immunoglobulin akan bereaksi dan menyebabkan

produksi sitokin. 8,9

Adanya peningkatan produksi sitokin dapat menyebabkan beberapa

perubahan fisiologis, yaitu peningkatan permeabilitas blood brain barrier (BBB),

perubahan aliran darah serebral, peningkatan perlekatan leukosit ke endotelium

kapiler, serta peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). 8,9

Adanya peningkatan permeabilitas BBB serta perubahan aliran darah

serebral dapat menyebabkan tekanan perfusi aliran darah turun dan terjadi iskemia.

Hal ini dapat membuat perubahan pada komposisi serta aliran cairan serebrospinal.

Terjadi peningkatan protein pada cairan serebrospinal sehingga mengganggu aliran

dan absorpsi cairan serebrospinal. 8,9

Gangguan pada serebrospinal, perlekatan leukosit ke endotelium kapiler,

serta peningkatan ROS dapat menyebabkan kerusakan neuron, peningkatan tekanan

intrakranial (penyebab utama terjadinya stroke), dan edema. 8,9

Kerusakan neuronal terutama disebabkan oleh metabolit yang bersifat

sitotoksik dan adanya iskemia neuronal. Akibatnya, terjadi manifestasi klinis berupa

demam, kaku kuduk, perubahan status mental, kejang, atau defisit neurologis

fokal.8,9

14
2.6.2 Ensefalitis

Patofisiologi ensefalitis berbeda tergantung etiologinya. Penyebab yang

paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks (HSV). Sebagian besar kasus

ensefalitis herpes simpleks diduga berkaitan dengan reaktivasi virus yang dorman

di ganglia trigeminal, kemudian menyebabkan reaksi inflamasi yang menimbulkan

manifestasi klinis seperti kejang, penurunan kesadaran, atau kelumpuhan saraf

kranial.

2.6.3 Abses Otak

Organisme penyebab abses otak dapat memasuki sistem saraf pusat melalui

sumber infeksi yang dekat dari otak pada 25% - 50% kasus. Sumber infeksi tersebut

dapat berasal dari telinga tengah, sel mastoid, dan sinus paranasal. Abses otak yang

disebabkan oleh otitis media biasanya akan berlokasi di lobus temporal atau

serebelum. Komplikasi intrakranial akan meningkat pada penderita otitis media

yang tidak ditangani dengan baik. Pasien abses otak sekunder yang berasal infeksi

di sinus paranasalis, abses otak dominan terjadi di lobus frontal. Ketika abses

merupakan komplikasi dari sphenoid sinusitis, risiko infeksi di lobus temporal atau

sella turcica akan meningkat. Infeksi pada gigi terutama gigi molar akan

meningkatkan risiko abses otak yang sering terjadi di lobus frontal, tetapi infeksi

bisa sampai ke lobus temporal. 5

Penyebaran hematogen ke otak umumnya akan menyebabkan abses multiple

dan abses multiloculated dengan tingakat kematian lebih tinggi dibandingkan abses

dari sumber infeksi yang dekat. Tingginya angka kematian dihubungkan dengan

kegagalan untuk menegakkan diagnosis atau kerumitan

15
anatomi dari abses sepeti abses multiloculated. Sumber yang paling umum

penyebab abses otak secara hematogen pada orang dewasa ialah penyakit paru

piogenik kronis seperti abses paru, bronkiethasis, empiema dan kistik fibrosis.

Sumber infeksi lainnya dapat berasal dari luka, infeksi kulit, osteomielitis, infeksi

pelvis dan infeksi intra-abdominal. Abses otak juga dapat terjadi setelah terapi

varises esophagus. Penyakit jantung kongenital sianotik terutama tetralogi of fallot

merupakan faktor presdiposisi penyebab abses otak yang terjadi pada 5%-15%

kasus. Abses otak terjadi pada 5% pasien endokarditis infektif. Ada kemungkinan

abses otak pada pasien dengan telangiectasia hemoragik herediter, malformasi

arterivenous paru. 5

Trauma bisa menyebabkan pembentukan abses otak sebagai hasil dari

fraktur terbuka kranial dengan kerusakan pada lapisan dural, oleh benda asing atau

akibat tindakan bedah. Insidensi abses otak akibat trauma pada masyarakat yakni

2,5% sampai 10,9%. Abses otak nosokomial bisa terjadi setelah pemasangan hallo

pin dan setelah memasukan elektroda pada fokus lokasi kejang.5

2.7 Gambaran Klinis


2.7.1 Meningitis

Tanda dan gejala meningitis berupa:

Umumnya pasien dengan meningitis bakteri mengalami dua dari empat

hal berikut: sakit kepala, demam, leher kaku, dan perubahan status mental.

Sakit kepala

Kaku kuduk (leher kaku)

Demam

16
Mual

Perubahan status mental (yaitu, kebingungan, kelesuan, dan obtundation)

Cacat neurologis fokal (termasuk Tanda Brudzinski dan Kernig positif)

Kejang

Malaise, gelisah

Fotofobia

Lesi kulit

Tanda dan gejala pada neonatus, bayi, dan anak-anak: pola makan dan tidur

diubah, muntah, iritabilitas, letargi, menggembung ubun-ubun, kejang,

gangguan pernapasan.

Hasil prediktor yang tidak menguntungkan: kejang, neurologis fokal,

perubahan status jiwa, papilledema, hipotensi, syok septik, dan

pneumokokus meningitis

2.7.2 Ensefalitis
Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari demam,

kejang dan penurunan kesadaran. Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal

yang dramatis berupa delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul

kejang dan gerakan- gerakan abnormal. Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10

hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia,

nyeri kepala pada orang dewasa dan menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda

perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), peningkatan reflek tendon, tremor,

kelemahan otot .

17
2.7.3 Abses Otak
Gejala klinis yang ditemukan pada abses otak tidak spesifik. Gejala klinis

sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi di otak serta virulensi organisme penyebab

infeksi. Simptom dan gejala awal penderita dengan abses otak ialah sakit kepala

(49%-97%), demam (32%-72%), defisit neurologis (20%-66%), status mental alert

(28%-91%), kejang (13%-35%), mual dan muntah (27%-95%), kaku kuduk (5%-

52%), dan papilledema (9-51%).

Trias klasik juga bisa ditemukan pada 50% penderita abses otak yaitu gejala

demam, sakit kepala, dan defisit neurologis. Defisit neurologis spesifik yang

ditemukan sesuai dengan lokasi abses di susunan saraf pusat. Penderita dengan

kondisi immunokompromais, gejala klinis sering tertutupi dengan kurangnya

respon inflamasi. Bayi baru lahir akan menunjukan adanya pembesaran pada kepala,

papiledema jarang terjadi sebelum usia 2 tahun. Gejala umum ialah kejang,

meningitis, iritabel, peningkatan ukuran lingkar kepala, dan gagal tumbuh.

Umumnya bayi baru lahir dengan abses otak tidak dalam keadaan febris.

2.8 Pendekatan Diagnosis


2.8.1 Meningitis
a. Anamnesis

Trias meningitis atau gejala-gejala klasik meningitis yaitu demam, sakit

kepala dan leher kaku (kaku kuduk +). Dibawah ini merupakan gejala pasien

dengan meningitis7:

18
1. Pada orang dewasa: demam, sakit kepala hebat, leher kaku, muntah,

takut cahaya (fotofobia), kejang, gangguan kesadaran berupa letargi

sampai koma, kadang dijumpai infeksi saluran pernapasan bagian atas

(misalnya, pilek, sakit tenggorokan )

2. Pada bayi dan anak: demam tinggi, mual dan muntah, sakit kepala,

kejang, leher kaku, nafsu makan dan minum berkurang, gangguan

kesadaran berupa apati, letargi, bahkan koma, biasanya diawali dari

gangguan saluran pernafasan bagian atas.

Jika penyebabnya berupa meningitis Tuberkulosa, maka keluhan yang

timbul terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodromal

selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi

biasa. Pada anak-anak, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan

berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng,

opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis, pada

orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,

kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat

gelisah. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1–3 minggu

dengan gejala ditandai dengan nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai

kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan

meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-

tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih

hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan

gangguan kesadaran sampai koma hingga meninggal dunia.7

19
b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.

Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),

pemeriksaan kaku kuduk positif, pemeriksaan kekuatan motoric

(hemiparesis).

Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti

papiledema.

Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan tanda

septicemia dan syok septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan

pada bibir, terdapat papul sampai ekimosis pada ekstremitas

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju

Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan

kultur. Pada meningitis bakterial didapatkan polimorfonuklear

leukositosis. Meningitis yang disebabkan oleh TBC akan ditemukan

peningkatan LED.Pada kasus imunosupresi dapat ditemukan

keukopenia.7

2) Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Diagnosis pasti meningitis adalah pemeriksaan cairan serebrospinal

melalui pungsi lumbal. Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk

menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan

syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. 7

20
Pada Meningitis Serosa (meningitis Tuberkulosa) terdapat

tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih PMN

meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).

Pada Meningitis Purulenta (meningitis karena Haemophilus

influenzae b, Streptococcus pneumonia, Neisseria

meningitidies), tterdapat tekanan meningkat, cairan keruh,

jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa

menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.

3) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto X ray thoraks, foto kepala (sinus/ mastoid), dapat

diusulkan untuk mengidentifikasi fokus primer infeksi. 7

4) Pemeriksaan EEG

Pada pemeriksaan EEG dijumpai gelombang lambat yang difus di

kedua hemisfer, penurunan voltase karena efusi subdural atau

aktivitas delta fokal bila bersamaan dengan abses otak.7

5) CT SCAN dan MRI

Dapat mengetahui adanya edema otak, hidrosefalus atau massa otak

yang menyertai meningitis.7

2.8.2 Ensefalitis
a. Anamnesis

Trias ensefalitis yaitu demam, kejang dan kesadaran menurun. Bila

berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum

dan muncul tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri

21
kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang,

kesadaran menurun. Jika abses terletak pada serebeli, nyeri kepala terasa di

daerah suboksipital, dan belakang telinga.7

b. Pemeriksaan Fisik

Bila terjadi peningkatan TIK, pada funduskopi tampak adanya edem papil.

Adanya defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses, ditandi

adanya defisit nervus kranialis pada pemeriksaan n.cranialis, hemiparesis,

reflex tendon meningkat, afasia, hemianopia, nistagmus, ataksia. 7

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat diusulkan dalam ensefalitis dalam kaitannya untuk

mencari penyebab, ataupun menemukan komplikasi dari ensefalitis

diantaranya adalah7:

1) Pemeriksaan cairan serobrospinal melalui lumbal pungsi (hati hati jika

ada peningkatan TIK). LP sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang

dicurigai ensefalitis viral.

2) Pemeriksaan darah lengkap , kultur darah untuk mendiagnosis pasti

penyebab bakteri dan sensitivitas.

3) Pemeriksaan feses dan urin

4) Pemeriksaan serologik darah (VDRL, TPHA)

5) Pemeriksaan titer antibody

6) Pemeriksaan BUN dan kreatinin , untuk mengetahui status hidrasi

pasien

22
7) Pemeriksaan liver function test, untuk mengetahui komplikasi pada

organ hepar atau menyesuaikan dosis obat yang diberikan.

8) EEG

9) X Foto (thorax atau kepala)

10) CT-Scan dengan atau tanpa kontras perlu dilakukan pada semua pasien

ensefalitis. Pada toksoplasma ensefalitis terdapat gambaran nodular atau

ring enhancing lesion.

11) MRI, lebih sensitif dari CT Scan.

2.8.3 Abses Otak


a. Anamnesis

Gejala klinis abses otak tidak spesifik. Hasil anamnesis dapat ditemukan

gejala umum berupa demam, nafsu makan menurun, dan berat badan turun.

Gejala neurologis dapat berupa penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual,

muntah dan kejang. Sumber infeksi dapat diperkirakan jika pasien pernah

memiliki riwayat trauma tembus otak, paska kraniotomi, infeksi telinga dan

mastoid, infeksi hidung dan sinus parasinus, infeksi gigi dan pneumonia.

Faktor presdipoisi juga dapat ditentukan jika pasien memiliki kelainan

jantung bawaan, kencing manis, pemakaian kemoterapi, pemakaian

kortikosteroid, pemakaian implant dan pemakaian antibiotik.5

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital (tekanan darah,

frekuensi napas, suhu, dan nadi), status generalis (head to toe) untuk

mencari sumber infeksi dan pemeriksaan neurologis berupa kesadaran,

23
tanda rangsangan meningeal, nervus kranialis, motorik, sensorik, refleks

fisiologis dan patologis serta fungsi otonom. 5

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium

Kultur spesimen diperoleh dari aspirasi dengan bantuan CT guiding

pada stereotaktik dan operasi. 5

2) Radiologis

CT Scan

CT Scan dengan kontras merupakan pemeriksaan standar untuk

abses otak.

Berdasarkan CT kontras, abses otak dapat dibagi 4 fase yaitu5:

Fase I (early cerebritis): terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-3.

Tampak gambaran

hipodens batas tidak tegas dan sedikit tepi yang menyerap

kontras.

Fase II (late cerebritis): terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-9.

Mulai tampak cincin yang menyerap kontras melingkari daerah

yang hipodens yang lebih luas.

Fase III (early capsule formation) : terjadi pada hari ke-10 sampe

ke-13. Tampak daerah hipoden yang dilingkari oleh cincin yang

menyerap kontras.

24
Fase IV (late capsule formation): Terjadi pada hari ke 14 atau

lebih. Terlihat dearah hipodens dengan terbentuk cincin hiperden

yang utuh dan tebal baik dengan maupun tanpa kontras.

CT Scan Fase I CT Scan Fase II CT Scan Fase III CT Scan Fase IV

MRI

Pemeriksan MRI pada abses otak lebih sensitif pada fase early

cerebriti, lebih sensitif dalam mendekteksi lesi satelit dan lebih

akurat dalam mengestimasi perpanjangan nekrosis sentral,

perbesaran cincin area dan edema serebral. 5

MRI Abses Serebri

25
2.9 Tatalaksana
2.9.1 Meningitis
a. Meningitis Bakterial
1) Terapi antibiotic empiric:
− Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria

monocytogenes, E Coli; antibiotika: Ampicillin + cefotaxime

− 2 bulan - 18 tahun, bakteri penyebab N. meningitides, S.

pneumonia, H. Influenza; antibiotika Ceftriaxon atau

cefotaxime, dapat ditambahkan vankomisin

− 18-50 tahun, bakteri penyebab S, Pneumonia, N.

Meningitidis; antibiotika Ceftriaxone dapat ditambahkan

Vancomicyn

− > 50 tgh, bakteri penyebab S. Pneumonia, L.

Monocytogenes, bakteri gram negative; Antibiotika

Vancomicyn + ampicillin + Ceftriaxone.

26
2) Pemberian antibiotika Spesifik sesuai dengan hasil kultur

3) Dexamethasone 0.15 mg/KgBB (10 mg pada dewasa) setiap 6 jam

selama 2-4 hari. Diberikan pertama 30 menit sebelum diberikan

antibiotika

4) Pemberian antipyretika (paracetamol, metamizole) sesuai dengan

kebutuhan penderita

5) H2 bloker injeksi setiap 12 jam

6) Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

7) Penatalaksanaan kejang dengan anti konvulsan sesuai dengan protocol

status epilepticus.

8) Pada kondisi Status epilepsy Refrakter pasien dirawat di ICU dengan

menggunakan ventilator dan obat – obatan astesi

9) Sedative dapat diberikan bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10 mg

27
10) Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat

maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-1,5

g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat

badan setiap 4-6 jam atau dengan menggunakan cairan hypertonic saline

NaCl 3% 2 ml/KgBB selama 30 menit atau Natrium - laktat 1.2 ml/kgBB

selama 15 menit

11) Hemikraniektomi dekompresi, pemasangan EVD atau VP shunt dapat

dilakukan pada kondisi malignant intracranial hypertension.

12) Pemasangan lumbal drain dapat dilakukan sebagai alternative yang

kurang invasive dibandingkan dengan EVD

b. Meningitis Tuberkulosa

1) Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif.

2) Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit,

kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih, dan

defekasi.

3) Pengobatan:

o Isoniazid (INH) 10-20 mg/KgBB/hari (anak), 400 mg/hari

(dewasa).

o Rifampisin 10-20 mg/KgBB/hari, dosis 600 mg/hari dengan dosis

tunggal (dewasa).

o Etambutol 25 mg/KgBB/hari sampai 150 mg/hari.

o PAS (Para-Amino-Salicilyc0-Acid) 200 mg/KgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari.

28
o Streptomisin IM kurang lebih 3 bulan dengan dosis 30-50

mg/KgBB/hari.

o Kortikosteroid: prednisone 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal), 20

mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian

diteruskan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu.

Deksametason IV (terutama bila ada edema otak) dengan dosis 10

mg setiap 4-6 jam, bila membaik dapat diturunkan sampai 4 mg

setiap 6 jam.

4) Tatalaksana operatif

Jika terdapat tanda hidrosefalus, pemasangan VP shunt atau EVD.

c. Meningitis Kriptokokus

1) Umum

Ditujukan terhadap fungsi vital paru-paru, jantung, ginjal,

keseimbangan elektrolit dan cairan, gizi, higiene.

2) Khusus

Pengobatan kausatif

Pencegahan dan pengobatan komplikasi

3) Rehabilitasi

Drainase lumbal untuk menurunkan TIK

Farmakologis :

− Simptomatik : obat demam, nyeri kepala

− Minggu 1-2 (induksi):

29
Ampoterisin B 0,7-1 mg/KgBB/hari dalam infus Dekstrose

5% dan diberikan 4-6 jam + Flukonazole 800mg/hari (PO)

Atau

Fluconazole 800-1200mg/hari (PO) selama 2 minggu

− Minggu 3-10 (Konsolidasi):

Flukonazole 800mg/hari(PO)

2.9.2 Ensefalitis
a. Ensefalitis Virus
1) Pada kecurigaan HSV; asiklovir 10 mg/kb setiap 8 jam selama 3

minggu.

2) Pada kecurigaan infeksi HSV yang resisten terhadap asiklovir dapat

diberikan Foscarnet 60 mg/kg setiap 8 jam selama 3 minggu

3) Kecurigaan varicella zoster; asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam minimal

selama 2 minggu.

4) Pada kecurigaan oleh karena Epstein - Barr virus dapat diberikan

Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam.

5) Pada kecurigaan oleh karena infeksi CMV dapat diberikan:

− Terapi induksi (2-3 minggu)

Gansiklovir 5 mg/kg setiap 12 jam + Foscarnet 60 mg/kg

setiap 8 jam

− Terapi pemeliharaan:

Gansiklovir 5 mg/kg/hari

Foscarnet 60-120 mg/kg/hari

6) HHV varian A dapat diberikan Foscarnet 60 mg/kg setiap 8 jam

30
7) HHV varian B diberikan Foscarnet atau gansiklovir 5 mg/kgBB

setiap 12 jam.

8) Rocky mountain fever dapat diberikan Doxycycline 100 mg/12 jam.

9) Penatalaksanaan kejang dengan anti konvulsan sesuai dengan

protocol status epilepticus.

10) Pada kondisi Status epilepsy Refrakter pasien dirawat di ICU dengan

menggunakan ventilator dan obat-obat anastesi.

11) Sedative dapat diberikan bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10

mg.

12) Anti nyeri dengan metamizole 3x1 g iv bila pasien mengalami nyeri

kepala.

13) Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat

maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-

1,5 g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis

0,25-0,5 g/kg berat badan setiap 4-6 jam atau dengan menggunakan

cairan hypertonic saline NaCl 3% 2 ml/KgBB selama 30 menit atau

Natrium-laktat 1.2 ml/kgBB selama 15 menit.

14) Hemikraniektomi dekompresi, pemasangan EVD atau VP shunt

dapat dilakukan pada kondisi malignant intracranial hypertension

15) Pemberian IVIG dengan dosis 0.4 mg/kgBB selama 5 hari dapat

dipertimbangkan pasien encephalitis viral yang mengalami super

refracter status epilepsy.

31
b. Ensefalitis Toxoplasma

1) Terapi empiric

Standar terapi ensefalitis toksoplasma ET adalah kombinasi

pirimetami dan sulfadiazin. Namun karena di Indonesia sulfadiazin

tidak tersedia, kombinasi pilihan yaitu pirimetamin dan klindamisin,

dengan dosis:

Fase akut (4-6 minggu):

Pirimetamin loading 200 mg, lalu dilanjutkan, jika BB <50 kg:

2x25 mg per hari per oral dan jika BB >50 kg: 3x25 mg per hari

per oral.

Klindamisin 4x600 mg

Fase rumatan:

Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari dosis fase akut

atau menggunakan kotrimoksazol 2x480 mg.

Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 >

200

2) Antiedema:

Walaupun masih diperdebatkan steroid dapat digunakan dalam

waktu singkat pada terapi fase akut, terutama bila dijumpai efek

massa yang signifikan.

Manitol sesuai indikasi.

Respon klinik terhadap terapi empirik anti-toksoplasma biasanya terlihat

dalam 7 hari. Respon radiologik berupa berkurangnya ukuran lesi dan dan

32
penyangatan kontras mulai terlihat pada minggu ke-2

2.9.3 Abses Otak


Terapi empirik:

Sefalosporin generasi III intravena (Ceftriaxone 2 g/12 jam iv atau

Cefotaxime 2 g/8 jam iv)

Metronidazole 500 mg/8 jam IV

Terapi empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai dengan hasil tes

sensitivitas kuman yang diisolasi dari abses atau dari sumber infeksi. Jika hasil

isolasi tidak ditemukan kuman penyebab, maka terapi empirik dapat dilanjutkan

hingga 6-8 minggu.

Antiedema: dexamethason/manitol sesuai indikasi.

Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm.

2.10 Prognosis
2.10.1 Meningitis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme penyebab,

banyaknya mikroorganisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit

sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua

mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan

kematian, penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh

persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,

keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5–10% penderita

mengalami kematian.7

33
2.10.2 Ensefalitis

Prognosis tergantung cepat dan tepatnya diagnosis secara dini dan pengobatan

segera. Angka kematian ensefalitis supurativa dapat mencapai 50% atau bahkan

lebih tinggi lagi.7

2.10.3 Abses Otak

Sebelum ditemukan CT scan angka kematian mencapai 40%-60%. Saat ini, angka

kematian yakni 0-10% karena adanya peningkatan cara diagnosis dan penilaian

evaluasi abses otak dengan CT scan atau MRI. Angka kematian telah berkurang

namun kondisi defisit neurologis yang permanen tetap terjadi pada 45% kasus abses

otak. Kejang umum terjadi pada 27% kasus dan hemiparises pada 29% kasus.

Prognosis abses otak disesuaikan dengan fungsi neurologis yang buruk, adanya

ruptur intraventrikel oleh abses otak dan hampir 100% kematian terjadi pada abses

otak yang diakibatkan oleh jamur pada pasien transplantasi dengan kondisi

immunokompromais.5

34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan infeksi yang melibatkan otak,

sumsum tulang belakang, dan selaput penutupnya. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)

merupakan suatu kedaruratan medis yang berhubungan dengan morbiditas,

mortalitas, atau gejala sisa jangka panjang yang membutuhkan perawatan medis

intensif dalam waktu yang lama sehingga berdampak pada kualitas hidup individu

yang terkena. Infeksi SSP akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu meningitis,

ensefalitis, dan abses. Prognosis bergantung pada cepat dan tepatnya diagnosis

secara dini, pengobatan segera, dan pemberian antibiotik yang efektif. Oleh karena

itu, diperlukan penegakkan diagnosis yang cepat dan tepat serta penatalaksanaan

dan pemberian antibiotik yang sesuai.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Archibald LK, Quisling RG. Textbook of Neurointensive Care. Springer-


Verlag London ; 2013. 427–517 p.
2. Octavius GS, Raditya AB, Kimberly E, Suwandi J, Christy M, Juliansen A. Infeksi
Susunan Saraf Pusat pada Anak: Sebuah Studi Potong Lintang Deskriptif Selama
Lima Tahun. Sari Pediatr. 2021;23(1):6.
3. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Panduan Deteksi dan Respon Penyakit Meningitis Meningokokus.
Jakarta; 2019.
4. World Health Organization. Meningitis. 2021
5. Valentino A, Angraini GP. Abses Otak. J Ilmu Kesehat. 2019.Sep;13(2):75–86.
6. Meilani NM, Parami P. NEUROFISIOLOGI : CAIRAN
SEREBROSPINAL. Fak Kedokt Univ UDAYANA RUMAH SAKIT
UMUM Pus SANGLAH. 2017;
7. Tursinawati Y, Tajally A, Kartikadewi A. BUKU AJAR Sistem Syaraf. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang; 2015 .
8. Hoffman O, Weber JR. Pathophysiology and Treatment of Bacterial Meningitis.
Ther Adv Neurol Disord 2009
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3002609/
9. Cantu RM, Das JM. Viral Meningitis. Treasure Isl StatPearls Publ
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31424801/

36

Anda mungkin juga menyukai