Disusun oleh :
Jason Nathaniel Anugerah Abdullah, S.Ked
Pembimbing :
dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.N
Pembimbing Klinik:
Ditetapkan di : Maumere
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Infeksi Sistem Saraf Pusat”. Banyak pihak telah banyak membantu dan
membimbing dalam penulisan referat ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
1. dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.N selaku ketua SMF bagian Ilmu Saraf
dalam proses belajar dan penyelesaian tugas referat ini di SMF bagian Ilmu
pikiran penulis selama proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr.
T.C. Hillers.
3. Seluruh staf dan karyawan Instalasi bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C.
belajar mengajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.
Nusa Cendana yang sudah memberi dukungan dan saling berbagi dalam
proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.
iii
5. Seluruh pihak yang telah membantu terutama orang tua dan keluarga yang
telah memberikan dukungan baik dalam bentuk doa maupun materi dalam
proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T.C. Hillers.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
menyempurnakan referat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan keadaan kedaruratan medis yang
berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, atau gejala sisa jangka panjang yang
berdampak pada kualitas hidup individu yang terkena. Oleh karena itu, infeksi
sistem saraf pusat membutuhkan penanganan, diagnosis, dan manajemen yang tepat
Infeksi SSP akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu meningitis,
ensefalitis, dan abses. Meningitis merupakan infeksi yang terjadi pada lapisan
meningens otak, sedangkan ensefalitis merupakan infeksi pada jaringan otak dan
Abses otak merupakan kondisi dimana terdapat timbunan nanah dalam jaringan
otak.2
seluruh dunia, namun epidemik terparah terjadi di Afrika. Di Indonesia sendiri, pada
Meningitis bakteri menjadi perhatian khusus. Sekitar 1 dari 10 orang yang terkena
dengan 3,5 hingga 7,4 kasus dilaporkan per 100.000 orang per tahun. Virus
1
dianggap sebagai etiologi yang paling penting dalam kasus ensefalitis akut, tetapi
bakteri, parasit, toksin, dan autoimunitas juga dianggap sebagai etiologi yang
penting. Beberapa virus neurotropik berperan dalam etiologi ensefalitis virus akut,
dengan prevalensi paling umum tergantung pada lokasi geografis. Pada penelitian
negara di Asia, Japanese Ensephalitis (JEV) adalah penyebab utama dari ensefalitis
dunia walaupun patogen lain dapat terlibat, seperti bakteri, parasit dan autoimun.
(M. tuberculosis) dan merupakan manifestasi tersering dari TB pada sistem saraf
pusat yang diasosiasikan dengan sekuele neurologis dan mortalitas yang tinggi bila
Selain itu, infeksi yang berasal dari fokus infeksi yang berdekatan dengan
fokal dalam parenkim otak yang disebut dengan abses otak. Insidensi abses otak di
Amerika Serikat mencapai 1500 sampai 2500 kasus setiap tahunnya, angka kejadian
ini lebih tinggi pada negara berkembang dan 25% diantaranya terjadi pada anak-
anak.5
Infeksi pada sistem saraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan
2
dan jenis patogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan
pengobatan antibiotik yang efektif secepat mungkin. Oleh karena itu, analisis LCS,
penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla spinalis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Organ Terkait
Otak dan medula spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meningens) yakni dura
mater, arakhnoid dan pia mater. Diantara dura mater dan arachnoid terdapat ruang
subdural, antara arachnoid dan pia mater terdapat ruang subarachnoid. Ruang
subarachnoid berisi cairan serebrospinalis (LCS). Pia mater terletak tepat pada
a. Dura Mater
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri
4
perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang mensuplai duramater
sutura, basis krania dan tepi foramen occipital magnum. Lamina meningealis
memiliki permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan
membentuk empat buah septa yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh
sinus sagital inferior dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung
5
anterior dan tengah. Sementara nervus vagus mempersarafifosa posterior.
Beberapa nervus cranial dan pembuluh darah yang mensuplai otak berjalan
b. Arakhnoid
yang tipis dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam dura
mater. Ruang antara arakhnoid dan pia mater (ruang subarakhnoid) berisi
beberapa tempat, dan lebih luas pada area lainnya. Pembesaran ruang
besar trunkus arteriosus yang mendarahi otak dan sebagian besar saraf
c. Pia Mater
meliputi seluruh permukaan eksternal otak dan medula spinalis yang terlihat
6
tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang dalam. Pia mater
yang memasuki atau meninggalkan otak dan medula spinalis melalui ruang
Virchow-Robin. Saraf sensorik pia mater, tidak seperti pada dura mater,
tidak berespons terhadap stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini
hanya beberapa sel dan relatif mengandung sedikit protein (rasio albumin LCS dan
albumin serum:6,5 + 1,9 x l0 3). Komposisinya juga berbeda dari darah pada aspek
aktif disekresi oleh pleksus khoroideus, terutama di dalam ventrikel lateral. Darah
epitelium pleksus. Sawar ini permeabel terhadap air, oksigen, dan karbondioksida,
tetapi relatif tidak permeabel terhadap elektrolit dan sepenuhnya tidak permeabel
terhadap sel.6
7
Volume LCS yang bersirkulasi umumnya antara 130 dan 150 mL. Setiap 24
jam dihasilkan 400-500 mL LCS, sehingga seluruh volume LCS diganti tiga atau
empat kali sehari. Tekanan LCS tidak sama dengan tekanan intracranial, pada posisi
pleksus khoroideus ventrikel lateral, ventrikel IIl, dan ventrikel IV. Cairan ini
dan memasuki aliran darah melalui banyak villi granulasiones araklnoideae yang
di selubung periner.ral saraf kranialis dan saraf spinalis, tempat saraf tersebut
masingmasing keluar dari batang otak dan medula spinalis, dan melewati ependima
berbentuk seperti tabung, akuaduktus serebri yang merupakan titik tersempit, dan
8
2.2 Definisi
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan infeksi yang melibatkan otak,
sumsum tulang belakang, dan selaput penutupnya.1 Infeksi SSP akut dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu meningitis, ensefalitis, dan abses. Meningitis adalah
peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meninges) serta cairan
peradangan pada jaringan otak. Abses otak adalah kumpulan bahan supuratif
2.3 Epidemiologi
Kasus meningitis tersebar di seluruh dunia, namun epidemik terparah terjadi di
Afrika bagian Sahara. Insiden kasus meningitis bervariasi mulai kasus rendah yang
terjadi di Eropa dan Amerika Utara (1 kasus per 100.000) hingga kasus tinggi di
Afrika (800 hingga 1.000 kasus per 100.000). Di Indonesia sendiri, menurut data
9
wanita 7.371 pasien, dan dilaporkan pasien yang meninggal dunia sebesar 1.025
orang. Meningitis bakteri menjadi perhatian khusus. Sekitar 1 dari 10 orang yang
terkena meningitis bakteri meninggal dan 1 dari 5 mengalami komplikasi berat. 3,4
dengan 3,5 hingga 7,4 kasus dilaporkan per 100.000 orang per tahun. Virus
dianggap sebagai etiologi yang paling penting dalam kasus ensefalitis akut, tetapi
bakteri, parasit, toksin, dan autoimunitas juga dianggap sebagai etiologi yang
penting. Beberapa virus neurotropik berperan dalam etiologi ensefalitis virus akut,
dengan prevalensi paling umum tergantung pada lokasi geografis. Pada penelitian
negara di Asia, Japanese Ensephalitis (JEV) adalah penyebab utama dari ensefalitis
akut dengan 31-45% pasien mengalami ensefalitis akut akibat JEV. Penyakit ini
dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Pada
bayi dan anak kecil ,ensefalitis dapat terjadi akibat komplikasi dari meningitis
tahun, kejadian ensefalitis paling sering terjadi karena frekuensi sinusitis dan
Insidensi abses otak di Amerika Serikat mencapai 1500 sampai 2500 kasus
setiap tahunnya, angka kejadian ini lebih tinggi pada negara berkembang. Kasus
abses otak lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita dengan
perbandingan 2:1 sampai 3:1, dan rata-rata umur penderita berusia 30 sampai 40
tahun. Ada perbedaan usia dalam insidensi abses otak sesuai sumber infeksi,
10
penderita abses otak dengan sumber utama berasal dari infeksi telinga biasanya
berusia 20 sampai 40 tahun dan risiko kejadian akan meningkat jika infeksi diikuti
trauma kepala dan pasca prosedur bedah. Abses otak terjadi pada anak-anak sebesar
25%, hal ini terutama disebabkan oleh infeksi sekunder yang berasal dari infeksi
telinga atau pada anak-anak dengan penyakit jantung kongenital. Laporan dari
University of Virginia Children’s melaporkan bahwa dari tahun 2000 sampai 2007
rata-rata ada 2 anak yang didiagnosis menderita abses otak setiap tahunnya.5
2.4 Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan
protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Golongan umur dibawah
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)
Listeria. Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
tersering dan penyebab infeksi otak paling banyak pada pasien HIV. 7
ensefalitis virus yang bisa disebabkan karena virus (rabies, parotitis, morbili, zoster-
varisella, herpes simpleks, virus Epstein-barr dan AIDS), ensefalitis parasit yang
11
disebabkan karena malaria, toxoplasmosis, amoebiasis serta ensefalitis karena fungi
dan riketsia.7
Banyak agen infeksius yang telah dilaporkan menjadi penyebab abses otak.
Infeksi pathogen bergantung pada sumber infeksi utama, pathogenesis dan faktor
presdiposisi penderita. Bakteri yang paling sering menyebabkan abses otak adalah
merupakan jamur yang paling sering menyebabkan abses otak. Abses otak juga
dapat disebabkan oleh parasit. Beberapa parasit yang diketahui menjadi penyebab
abses otak ialah protozoa dan helminthes seperti Trypanosoma cruzi, Taenia solium,
spp. Protozoa penyebab infeksi otak yang terpenting adalah Toxoplasma gondii
dalam terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur
basis kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi,
Virus, jamur, dan bakteri dapat masuk ke otak dan sumsum tulang belakang
melalui darah, sel saraf, atau tulang yang patah. Pada kondisi ini, kekebalan tubuh
tidak hanya menyerang sel penyebab infeksi, tetapi juga secara keliru menyerang
sel-sel sehat di otak. Pada kondisi ini, gejala biasanya muncul beberapa minggu
setelah infeksi awal. Adapun jenis virus yang umum bisa menyerang sistem saraf,
12
yaitu herpes simplex virus (HSV), enterovirus, Epstein-Barr Virus (EBV), varicella
zoster virus, atau virus lainnya. Beberapa virus ini bisa menginfeksi manusia lewat
gigitan nyamuk.
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Meningitis
subarachnoid dalam berbagai cara, yaitu melalui penyebaran hematogen atau secara
langsung dari struktur sekitar otak, seperti contohnya pada kasus otitis media dan
sinusitis. 8,9
13
Penyebaran juga bisa terjadi melalui invasi kuman pada nervus perifer dan
8,9
kranial, atau secara iatrogenik yakni operasi pada daerah cranium atau spinal.
serebral dapat menyebabkan tekanan perfusi aliran darah turun dan terjadi iskemia.
Hal ini dapat membuat perubahan pada komposisi serta aliran cairan serebrospinal.
sitotoksik dan adanya iskemia neuronal. Akibatnya, terjadi manifestasi klinis berupa
demam, kaku kuduk, perubahan status mental, kejang, atau defisit neurologis
fokal.8,9
14
2.6.2 Ensefalitis
paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks (HSV). Sebagian besar kasus
ensefalitis herpes simpleks diduga berkaitan dengan reaktivasi virus yang dorman
kranial.
Organisme penyebab abses otak dapat memasuki sistem saraf pusat melalui
sumber infeksi yang dekat dari otak pada 25% - 50% kasus. Sumber infeksi tersebut
dapat berasal dari telinga tengah, sel mastoid, dan sinus paranasal. Abses otak yang
disebabkan oleh otitis media biasanya akan berlokasi di lobus temporal atau
yang tidak ditangani dengan baik. Pasien abses otak sekunder yang berasal infeksi
di sinus paranasalis, abses otak dominan terjadi di lobus frontal. Ketika abses
merupakan komplikasi dari sphenoid sinusitis, risiko infeksi di lobus temporal atau
sella turcica akan meningkat. Infeksi pada gigi terutama gigi molar akan
meningkatkan risiko abses otak yang sering terjadi di lobus frontal, tetapi infeksi
dan abses multiloculated dengan tingakat kematian lebih tinggi dibandingkan abses
dari sumber infeksi yang dekat. Tingginya angka kematian dihubungkan dengan
15
anatomi dari abses sepeti abses multiloculated. Sumber yang paling umum
penyebab abses otak secara hematogen pada orang dewasa ialah penyakit paru
piogenik kronis seperti abses paru, bronkiethasis, empiema dan kistik fibrosis.
Sumber infeksi lainnya dapat berasal dari luka, infeksi kulit, osteomielitis, infeksi
pelvis dan infeksi intra-abdominal. Abses otak juga dapat terjadi setelah terapi
merupakan faktor presdiposisi penyebab abses otak yang terjadi pada 5%-15%
kasus. Abses otak terjadi pada 5% pasien endokarditis infektif. Ada kemungkinan
arterivenous paru. 5
fraktur terbuka kranial dengan kerusakan pada lapisan dural, oleh benda asing atau
akibat tindakan bedah. Insidensi abses otak akibat trauma pada masyarakat yakni
2,5% sampai 10,9%. Abses otak nosokomial bisa terjadi setelah pemasangan hallo
hal berikut: sakit kepala, demam, leher kaku, dan perubahan status mental.
Sakit kepala
Demam
16
Mual
Kejang
Malaise, gelisah
Fotofobia
Lesi kulit
Tanda dan gejala pada neonatus, bayi, dan anak-anak: pola makan dan tidur
gangguan pernapasan.
pneumokokus meningitis
2.7.2 Ensefalitis
Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari demam,
yang dramatis berupa delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul
kejang dan gerakan- gerakan abnormal. Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10
hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia,
nyeri kepala pada orang dewasa dan menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda
kelemahan otot .
17
2.7.3 Abses Otak
Gejala klinis yang ditemukan pada abses otak tidak spesifik. Gejala klinis
sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi di otak serta virulensi organisme penyebab
infeksi. Simptom dan gejala awal penderita dengan abses otak ialah sakit kepala
(28%-91%), kejang (13%-35%), mual dan muntah (27%-95%), kaku kuduk (5%-
Trias klasik juga bisa ditemukan pada 50% penderita abses otak yaitu gejala
demam, sakit kepala, dan defisit neurologis. Defisit neurologis spesifik yang
ditemukan sesuai dengan lokasi abses di susunan saraf pusat. Penderita dengan
respon inflamasi. Bayi baru lahir akan menunjukan adanya pembesaran pada kepala,
papiledema jarang terjadi sebelum usia 2 tahun. Gejala umum ialah kejang,
Umumnya bayi baru lahir dengan abses otak tidak dalam keadaan febris.
kepala dan leher kaku (kaku kuduk +). Dibawah ini merupakan gejala pasien
dengan meningitis7:
18
1. Pada orang dewasa: demam, sakit kepala hebat, leher kaku, muntah,
2. Pada bayi dan anak: demam tinggi, mual dan muntah, sakit kepala,
timbul terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodromal
selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis, pada
orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
dengan gejala ditandai dengan nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-
hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
19
b. Pemeriksaan Fisik
(hemiparesis).
papiledema.
septicemia dan syok septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah
keukopenia.7
20
Pada Meningitis Serosa (meningitis Tuberkulosa) terdapat
3) Pemeriksaan Radiologis
4) Pemeriksaan EEG
2.8.2 Ensefalitis
a. Anamnesis
21
kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang,
kesadaran menurun. Jika abses terletak pada serebeli, nyeri kepala terasa di
b. Pemeriksaan Fisik
Bila terjadi peningkatan TIK, pada funduskopi tampak adanya edem papil.
Adanya defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses, ditandi
c. Pemeriksaan Penunjang
diantaranya adalah7:
pasien
22
7) Pemeriksaan liver function test, untuk mengetahui komplikasi pada
8) EEG
10) CT-Scan dengan atau tanpa kontras perlu dilakukan pada semua pasien
Gejala klinis abses otak tidak spesifik. Hasil anamnesis dapat ditemukan
gejala umum berupa demam, nafsu makan menurun, dan berat badan turun.
muntah dan kejang. Sumber infeksi dapat diperkirakan jika pasien pernah
memiliki riwayat trauma tembus otak, paska kraniotomi, infeksi telinga dan
mastoid, infeksi hidung dan sinus parasinus, infeksi gigi dan pneumonia.
b. Pemeriksaan Fisik
frekuensi napas, suhu, dan nadi), status generalis (head to toe) untuk
23
tanda rangsangan meningeal, nervus kranialis, motorik, sensorik, refleks
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
2) Radiologis
CT Scan
abses otak.
Fase I (early cerebritis): terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-3.
Tampak gambaran
kontras.
Fase II (late cerebritis): terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-9.
Fase III (early capsule formation) : terjadi pada hari ke-10 sampe
menyerap kontras.
24
Fase IV (late capsule formation): Terjadi pada hari ke 14 atau
MRI
Pemeriksan MRI pada abses otak lebih sensitif pada fase early
25
2.9 Tatalaksana
2.9.1 Meningitis
a. Meningitis Bakterial
1) Terapi antibiotic empiric:
− Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria
Vancomicyn
26
2) Pemberian antibiotika Spesifik sesuai dengan hasil kultur
antibiotika
kebutuhan penderita
status epilepticus.
27
10) Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat
maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-1,5
g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat
badan setiap 4-6 jam atau dengan menggunakan cairan hypertonic saline
selama 15 menit
b. Meningitis Tuberkulosa
defekasi.
3) Pengobatan:
(dewasa).
tunggal (dewasa).
28
o Streptomisin IM kurang lebih 3 bulan dengan dosis 30-50
mg/KgBB/hari.
setiap 6 jam.
4) Tatalaksana operatif
c. Meningitis Kriptokokus
1) Umum
2) Khusus
Pengobatan kausatif
3) Rehabilitasi
Farmakologis :
29
Ampoterisin B 0,7-1 mg/KgBB/hari dalam infus Dekstrose
Atau
Flukonazole 800mg/hari(PO)
2.9.2 Ensefalitis
a. Ensefalitis Virus
1) Pada kecurigaan HSV; asiklovir 10 mg/kb setiap 8 jam selama 3
minggu.
selama 2 minggu.
setiap 8 jam
− Terapi pemeliharaan:
Gansiklovir 5 mg/kg/hari
30
7) HHV varian B diberikan Foscarnet atau gansiklovir 5 mg/kgBB
setiap 12 jam.
10) Pada kondisi Status epilepsy Refrakter pasien dirawat di ICU dengan
11) Sedative dapat diberikan bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10
mg.
12) Anti nyeri dengan metamizole 3x1 g iv bila pasien mengalami nyeri
kepala.
0,25-0,5 g/kg berat badan setiap 4-6 jam atau dengan menggunakan
15) Pemberian IVIG dengan dosis 0.4 mg/kgBB selama 5 hari dapat
31
b. Ensefalitis Toxoplasma
1) Terapi empiric
dengan dosis:
2x25 mg per hari per oral dan jika BB >50 kg: 3x25 mg per hari
per oral.
Klindamisin 4x600 mg
Fase rumatan:
200
2) Antiedema:
waktu singkat pada terapi fase akut, terutama bila dijumpai efek
dalam 7 hari. Respon radiologik berupa berkurangnya ukuran lesi dan dan
32
penyangatan kontras mulai terlihat pada minggu ke-2
Terapi empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai dengan hasil tes
sensitivitas kuman yang diisolasi dari abses atau dari sumber infeksi. Jika hasil
isolasi tidak ditemukan kuman penyebab, maka terapi empirik dapat dilanjutkan
Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm.
2.10 Prognosis
2.10.1 Meningitis
banyaknya mikroorganisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit
sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian, penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
mengalami kematian.7
33
2.10.2 Ensefalitis
Prognosis tergantung cepat dan tepatnya diagnosis secara dini dan pengobatan
segera. Angka kematian ensefalitis supurativa dapat mencapai 50% atau bahkan
Sebelum ditemukan CT scan angka kematian mencapai 40%-60%. Saat ini, angka
kematian yakni 0-10% karena adanya peningkatan cara diagnosis dan penilaian
evaluasi abses otak dengan CT scan atau MRI. Angka kematian telah berkurang
namun kondisi defisit neurologis yang permanen tetap terjadi pada 45% kasus abses
otak. Kejang umum terjadi pada 27% kasus dan hemiparises pada 29% kasus.
Prognosis abses otak disesuaikan dengan fungsi neurologis yang buruk, adanya
ruptur intraventrikel oleh abses otak dan hampir 100% kematian terjadi pada abses
otak yang diakibatkan oleh jamur pada pasien transplantasi dengan kondisi
immunokompromais.5
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan infeksi yang melibatkan otak,
sumsum tulang belakang, dan selaput penutupnya. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
mortalitas, atau gejala sisa jangka panjang yang membutuhkan perawatan medis
intensif dalam waktu yang lama sehingga berdampak pada kualitas hidup individu
yang terkena. Infeksi SSP akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu meningitis,
ensefalitis, dan abses. Prognosis bergantung pada cepat dan tepatnya diagnosis
secara dini, pengobatan segera, dan pemberian antibiotik yang efektif. Oleh karena
itu, diperlukan penegakkan diagnosis yang cepat dan tepat serta penatalaksanaan
35
DAFTAR PUSTAKA
36