Anda di halaman 1dari 39

SMF/BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

RSUD dr. T. C. HILLERS JUNI 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

REFERAT

EPILEPSI

Disusun oleh:

Nur Laelatul Fitriyah, S.Ked (1508010027)

Pembimbing:

dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD dr. T. C. HILLERS

MAUMERE

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama:

Nur Laelatul Fitriyah (1508010027)

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing

klinik sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian

kepanitraan klinik di SMF/bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T. C. Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik :

1. dr. Candida Isabel L. Sam, Sp. S 1. ..........................................

Ditetapkan di : Maumere

Tanggal : Juni 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat pada Kepaniteraan Klinik

Bagian Radiologi berjudul “Epilepsi” sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian kepanitraan klinik di bagian

Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana. Saya menyadari

sepenuhnya bahwa penyusunan referat ini tidak akan tercapai tanpa bantuan

pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan referat ini.

Dalam penulisan referat ini, terdapat banyak pihak yang telah memberikan

bantuan kepada penulis. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih kepada :

(1) dr. Candida Isabel L. Sam, Sp.S selaku selaku kepala SMF bagian Ilmu

Saraf RSUD.Dr. TC. Hillers serta pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, membagikan ilmu dan pengetahuan, serta menyediakan waktu,

tenaga, dan pikiran dalam penulisan referat ini.

(2) dr. Tersila A. D. Dedang, M.Biomed, Sp.S yang telah membimbing

penulis selama proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T. C.

Hillers.

(3) Seluruh staf dan karyawan Instalasi bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T. C.

Hillers Maumere – Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

(4) Teman-teman dokter muda di SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T. C.

Hillers Maumere, Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

(5) Seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya pembuatan referat.

iii
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh

karena itu semua saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk

perbaikan selanjutnya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada serta

menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan referat selanjutnya.

Maumere, 13 Juni 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Definisi ...............................................................................................................3
2.1.1 Definisi Konseptual...................................................................................3
2.1.2 Definisi Operasional/Definisi Praktis .......................................................3
2.2 Epidemiologi ......................................................................................................3
2.3 Etiologi ...............................................................................................................4
2.4 Faktor Risiko ......................................................................................................4
2.5 Patogenesis .........................................................................................................5
2.6 Klasifikasi ..........................................................................................................5
2.7 Diagnosis ..........................................................................................................10
2.8 Diagnosis Banding ...........................................................................................14
2.9 Penatalaksanaan ...............................................................................................18
2.9.1 Tujuan Terapi ..........................................................................................18
2.9.2 Prinsip Terapi Farmakologi.....................................................................18
2.9.3 Jenis Obat Anti Epilepsi dan Mekanisme Kerjanya ................................20
2.9.4 Penghentian OAE ....................................................................................25
2.9.5 Terapi terhadap Epilepsi Resisten OAE..................................................26
2.9.6 Penatalaksanaan Status Epileptikus ........................................................27
2.10 Komplikasi ……………………………………………………………….. 31
2.11 Prognosis ........................................................................................................32
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................34

v
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsy berasal dari kata epilepsia yang artinya serangan. Epilepsy
merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur
dan dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Epilepsy merupakan
kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptic (tanda/gejala akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan
berlebihan di otak) yang terus menerus, dan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial(1).
Insidensi epilepsy diduga sekitar 50 juta orang dengan epilepsy di dunia
(WHO 2012). Populasi epilepsy aktif (penderita dengan bangkitan tidak
terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4-10 /1000
penduduk /tahun, dinegara berkembang diperkirakan 6 - 10/1000 penduduk(1).
Prevalensi epilepsy pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan
sekitar >0,9% dan pada usia >75 tahun meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia decade 1-2 dibandingkan
pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia
harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi
berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih
tinggi daripada wanita(1)(2). Hasil studi kelompok studi epilepsy oleh
Perhimpunan Saraf Indonesia (PERDOSI) tahun 2013 didapatkan 2.288
penyandang epilepsy dengan 21,3% merupakan pasien baru. Rerata pada usia
produktif dengan epilepsy tersering karena cedera kepala, infeksi susunan
saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Sebagian epilepsy parsial (83,17%)
dengan aura yang tersering adalah sensasi epigastrium dan gejala autonomi
(60,1%)(3).
2

Epilepsi memberikan beban kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%.


Di India, beban biaya pengobatan diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per
kasus epilepsy. Amerika Serikat, biaya untuk pengobatan epilepsi mencapai
USD 12,5 triliun per tahun. Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾
pasien epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari
10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan pengobatan. Di beberapa
negara dengan pendapatan rendah dan menengah, ketersediaan obat
antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relative mahal(1).
Mortalitas akibat epilepsy di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Case fatality rate di Laos mencapai 90/1000 orang
pertahun. Angka mortalitas epilepsy pada anak di Jepang dilaporkan 45/1000
orang pertahun. Di Taiwan 9/1000 orang pertahun, dimana orang dengan
epilepsy memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
normal(1)(2).
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Konseptual
Epilepsy: Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial(1).
Bangkitan epileptic : Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak(1).
2.1.2 Definisi Operasional
Penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai
berikut:
a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan
reflex yang berselang lebih dari 24 jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflex
dengan adanya kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko
rekurensi sama dengan dua bangkitan tanpa provokasi
(setidaknya 60%), yang dapat timbul hinga 10 tahun ke depan.
*Bangkitan reflex adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh factor
pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan
somatomotorik.
c. Dapat ditegakkan diagnosis sindrom epilepsy(1).
2.2 Epidemiologi
Kejadian epilepsy diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia
(WHO 2012). Populasi dengan epilepsy aktif (terjadi bangkitan terus menerus
dan memerlukan pengobatan) diperkirakan 4 – 10 per 1000 penduduk. Negara
dengan pendapatan perkapita menengah dan rendah cenderung lebih banyak
yaitu 7 – 14 per 1000(3).
4

Prevalensi dan insiden epilepsy di Indonesia belum diketahui secara pasti.


Hasil studi kelompok studi epilepsy oleh Perhimpunan Saraf Indonesia
(PERDOSI) tahun 2013 didapatkan 2.288 penyandang epilepsy dengan 21,3%
merupakan pasien baru. Rerata pada usia produktif dengan epilepsy tersering
karena cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor
otak. Sebagian epilepsy parsial (83,17%) dengan aura yang tersering adalah
sensasi epigastrium dan gejala autonomi (60,1%)(3).
2.3 Etiologi
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya
berhubungan dengan usia(1).
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsy mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus(1).
3. Simtomatis
Bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak.
Misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol dan obat),
metabolic, kelainan neurodegenerative(1).
2.4 Faktor Risiko
Factor risiko epilepsy antara lain riwayat demam tinggi, riwayaat ibu yang
memiliki factor risiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah melahirkan
atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat ibu
yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi
obat-obatan maupun alcohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak
(campak, mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi.
5

2.5 Patogenesis
Dalam keadaan fisiologik, neuron melepaskan muatan listrik karena adanya
potensial membrannya direndahkan oleh potensial post sinaptik yang tiba
pada dendrit. Potensial aksi disalurkan melalui akson yang bersinaps pada
dendrit neuron lain. Pada keadaan patologik terjadi penurunan potensial
membrane neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Pelepasan
muatan listrik memberikan manifestasi klinis berupa kejang atau adanya suatu
modalitas perasaan(4).
Teori lain mengungkapkan bahwa neurotransmitter acethylcholine
merupakan zat yang merendahkan potensial membrane. Apabila terjadi
timbunan acethylcholine dengan konsentrasi tertentu pada permukaan otak,
maka dapat merendahkan potensial membrane sehingga terjadi pelepasan
muatan listrik neuron. Oleh karena itu fenomena lepas muatan listrik terjadi
secara berkala, sehingga manifestasi epilepsy timbul secara serangan dan
berkala(4).
Gama-aminobutyric acid (GABA) merupakan zat anti-konvulsi alamiah
yang ada di serebral. Pada orang-orang tertentu komponen neurotaransmitter
eksitasi dan inhibisi berbeda-beda, jika didapatkan GABA dalam jumlah
kurang dari cukup akan mudah bereaksi melepaskan muatan listrik. Perbedaan
individual terjadi pada gambaran klinis yang disebut febrile convulsion, yaitu
kejang yang timbul pada bayi atau anak kecil saat terjadi demam. Pada
seorang terjadi kejang jika demamnya meningkat sampai 40⁰C, namun pada
yang lain sudah terjadi kejang ketika demam sampai 37,8⁰C(4).
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsy dan klasifikasi untuk sindrom epilepsy.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy(1)
1. Bangkitan parsial/fokal
6

Bangkitan parsial/fokal berasal dari jaringan yang hanya terbatas


pada salah satu hemisfer.
a. Bangkitan parsial sederhana
1. Dengan gejala motoric
2. Dengan gejala somatosensorik
3. Dengan gejala otonom
4. Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menjadi umum
2. Parsial kompleks menjadi umum
3. Parsial sederhana menjadi parsial komplek, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
Bangkitan umum berasal di beberapa titik, dan cepat terlibat pada
jaringan yang terdistribusi secara bilateral.
a. Lena
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsy dan sindrom epilepsi(1)
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
7

1) Epilepsy benigna dengan gelombang paku di daereah


sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikesl)
2) Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
3) Epilepsy primer saat membaca (primary reading epilepsy)
b. Simtomatis
1) Epilepsy parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
2) Sindrom dengan bangkitan yang diprespitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatab, hiperventilasi,
reflex epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
3) Epilepsy lobus temporal
4) Epilepsy lobus frontal
5) Epilepsy lobus parietal
6) Epilepsy oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsy umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsy berurutan sesuai dengan usia awitan)
1) Kejang neonates familial benigna
2) Kejang neonates begigna
3) Kejang epilepsy mioklonik pada bayi
4) Epilepsy lena pada anak
5) Epilepsy lena pada remaja
6) Epilepsy mioklonik pada remaja
7) Epilepsy dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saar terjaga
8) Epilepsy umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
9) Epilepsy tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
8

b. Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan


usia)
1) Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2) Sindrom Lennox-Gastaut
3) Epilepsy miklonik astatic
4) Epilepsy mioklonik lena
c. Simtomatis
1) Etiologi nonspesifik
• Ensefalopati miklonik dini
• Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
• Epilepsy simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2) Sindrom spesifik
3) Bangkitan epilepsy sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsy dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
1) Bangkitan neonatal
2) Epilepsy mioklonik berat pada bayi
3) Epilepsy dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
4) Epilepsy afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
5) Epilepsy yang tidak termasuk klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
9

3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic


akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik
4) Bangkitan berkaitan dengan dengan pencetus spesifik (epilepsy
refrektorik)

Klasifikasi ILAE 2017(5)

Klasifikasi ILAE 2017 dikategorikan oleh jenis onset, kesadaran,


gangguan kesadaran pada suatu masa, onset predominan, gangguan
perilaku, motor/non motor.
10

2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsy ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang(1)
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsy, yaitu:
1. Pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Tentukan sindroma epilepsy berdasarkan klasifikasi ILAE 1989
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut(1):

Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal
hal dibawah ini(6)
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
11

• Sebelum bangkitan/gejala prodromal:


o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
• Selama bangkitan/iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, otomatisasi, gerakan
pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan
lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta untuk
menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
• Pasca bangkitan/ post iktal:

o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,


Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya:
• Jenis obat anti epilepsi (OAE)
• Dosis OAE
• Jadwal minum OAE
12

• Kepatuhan minum OAE


• Kadar OAE dalam plasma
• Kombinasi terapi OAE.
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologik,
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun
komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan
epilepsi, misalnya(6):
• Trauma kepala,
• Tanda-tanda infeksi,
• Kelainan kongenital,
• Kecanduan alkohol atau napza,
• Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
• Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang
tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti(6):
• Paresis Todd
• Gangguan kesadaran pascaiktal
• Afasia pascaiktal
13

Pemeriksaan penunjang(1)
• Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsy.
o Membatu menentukanmenentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
• Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi
tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET ( dysembryoplastic
neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss. Fuctional brain imaging
seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon Emission
Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan
aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala)
pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali
pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini
adalah untuk mencari adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan
kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik
pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan
untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
14

menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan


CT scan kepala.
• Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium,
kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping


OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE,


atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.

o Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma
saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis
terapi maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien
• Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
o Punksi lumbal
o EKG

2.8 Diagnosis Banding

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang mnyerupai kejang epileptic,


syncope, konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini sering
membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya(1).
15

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Kejang Epilepsi (1)

Kejang epileptic Syncope Non epileptic Aritmia Hiperventilasi


attack disorder cardiac atau serangan
panic
Riwayat penyakit dahulu
Trauma kepala, alcohol, Menggunakan obat Wanita (3:1) Penyakit Ansietas
ketergantungan obat, kejang demam antihipertensi, Ketergantungan jantung
yang berkepanjangan, meningitis, antidepresan seksual dan fisik kongenital
encephalitis, stroke, riwayat (terutama trisiklik)
keluarga (+)
Factor pencetus saat serangan
- Sleep deprivation - Perubahan posisi - Stress olahraga Situasi sosial
- Putus alcohol - Prosedur medis - Distress sosial
- Stimulasi fotik - Berdiri lama
- Gerakan leher
(carotis
baroreseptor)
16

Karakteristik klinis menjelang serangan


Stereotipi, paroksismal (detik), - Light headedness Gejala awal tidak Palpitasi Ketakutan,
bisa disertai suara - Gejala visual khas perasaan tidak
- Gelap, kabur realistis, sulit
bernapas dan
kesemutan
Karakteristik klinis pada saat serangan
- Gerakan tonik (kaku) diikuti - Pucat Mirip dengan kejang - Pucat
Agitasi, napas
gerakan jerking yang ritmis - Bisa disertai kaku epileptic, akan tetapi - Bisa disertai
cepat, kaku pada
- Gerakan otomatism atau menghentak- gerakan lengan tidak kaku atau
tangan
- Cyanosis hentak sebentar beraturan, menghentak-
(carpopedal
- Bisa terjadi di mana saja dan pengangkatan pelvis, hentak
spasm)
kapan saja kadang tidak bergerak sebentar
sama sekali
Gejala sisa setelah serangan
- Mengantuk Lesu Lesu
- Lidah tergigit
- Nyeri anggota gerak
- Deficit neurologis fokal (todd’s
17

paralisis)
18

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsy adalah mengupayakan penyandang
epilepsy dapat hidup normal dan memiliki kualitas hidup optimal.
Harapannya adalah bebas bangkitan dan tanpa efek samping(1).
2.9.2 Prinsip terapi farmakologi
a. Obat anti epilepsy (OAE) diberikan bila
• Diagnosis epilepsy sudah dipastikan.
• Terdapat minimal dua bangkitan dalam setahun.
• Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan.
• Penyandang dan atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timnul dari OAE.
• Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsy.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
d. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
• Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
• Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan
oleh kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan
absorpsi OAE).
• Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan.
• Setelah penggantian dosis/regimen OAE.
• Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
19

e. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak


dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua.
Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap
diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua OAE harus
diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru
dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi
respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal.
f. OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda
dengan OAE pertama.
g. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
• Dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG
• Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi
yang berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma,
neoplasma otak, AVM, abses otak ensefalitis herpes.
• Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak.
• Terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan
orang tua)
• Riwayat bangkitan simtomatis
• Terdapat sindrom epilepsy yang berisiko kekambuhan tinggi
seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
• Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran stroke, infeksi SSP
• Bangkitan pertama berupa status epileptikus
20

h. Efek samping OAE, profil farmakologis tiap OAE dan interaksi


farmakokinetik antar OAE perlu diperhatikan.
i. Strategi untuk mencegah efek samping:
• Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik
penyandang
• Gunakan tritasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil
mengacu pada sindrom epilepsy dan karakteristik
penyandang(1).
2.9.3 Jenis obat anti epilepsy dan mekanisme kerjanya(1)
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsy, dosis
OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, dan interaksi OAE.
Tabel 2.X Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan
OAE Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan
Fokal Umum Tonik Lena Mioklonik
Sekunder Klonik
Phenitoin + (A) +(A) +(C) - -
Carbamazepin +(A) +(A) +(C) - -
Valproic acid +(B) +(B) +(C) +(A) +(D)
Phenobarbital +(C) +(C) +(C) - ?+
Gabapentin +(C) +(C) ? +(D) - ?-
Lamotrigine +(C) +(C) +(C) +(A) +
Topiramate +(C) +(C) +(C) ? ? +(D)
Zonisamide +(A) +(A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam +(A) +(A) ? +(D) ?+ ?+
Oxcarbazepine +(C) +(C) +(C) - -
Clonazepam +(C) - - - -
Level of confidence :A : efektif sebagai monoterapi, B : sangat mungkin efektif
sebagai monoterapi, C : mungkin efektif sebagai monoterapi, D : berpotensi untuk
efektif sebagai monoterapi
21

Tabel 2.2 Dosis OAE untuk orang dewasa

OAE Dosis awal Dosis Jumlah dosis Titrasi OAE Waktu


(mg/hari) rumatan per hari tercapainya
(mg/hari) steady state
(hari)
Carbamazepine 400-600 400 – 1600 2 – 3 x(untuk Mulai 100/200 mg/hari ↑sampai target 2-7
yang CR 2X) dalam 1-4 minggu
Phenytoin 200-300 200-400 1-2X Mulai 100mg/hari ↑ sampai target 3-15
dalam 3-7 hari
Valproic acid 500-1000 500-2500 2-3X (untuk Mulai dari 500mg/hari ↑ bila perlu 2-4
yang CR 1-2X) setelah 7 hari
Phenobarbital 50-100 50-200 1 Mulai 30-50mg malam hari ↑bila perlu 8-30
setelah 10-15hari
Clonazepam 1 4 1 atau 2 2-10
Clobazam 10 10-30 1-2X Mulai 10mg/hari bila perlu ↑sampai 2-6
20mg/hari setelah 1-2 minggu
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x Mulai 300mg/hari↑sampai target dlm 1- 2-4
3minggu
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x Mulai 500/1000mg/hari ↑bila perlu 2
22

setelah 2 minggu
Topiramate 100 100-400 2x Mulai 25mg/hari ↑25-50mg/hari tiap 2 2-5
minggu
Gabapentine 900-1800 900-36000 2-3x Mulai 300-900mg/hari ↑ sampai target 2
dalam 5-10 hari
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x Mulai 25mg/hari selama 2 minggu ↑ 2-6
sampai 50mg/hari selama 2 minggu,
↑50mg/2 minggu
Zonisamid 100-200 100-400 1-2x Mulai 200-400mg/hari ↑ sampai 1-2 7-10
minggu
Pregabalin 50-75 50-600 2-3x Mulai 200-400mg/hari ↑ sampai 1-2 1-2
minggu
23

Tabel 2.3 Efek samping OAE

OAE Efek samping yang mengancam Efek samping minor


jiwa
Carbamazepine Anemi aplastic, hepatotosisitas, Dizziness, ataksia, diplopia, mual, kelelahan, agranulositosis,
sindrom Steven-jhonson, lupuslike lekopeni, trombositopenia, hiponatremia, ruam, gangguan
syndrome
perilaku, tiks, peningkatan berat badan, disfungsi seksual,
disfungsi hormon tiroid, neuropati perifer.
Phenytoin Anemia aplastik, gangguan fungsi Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia, nistagmus, diplopia, ruam,
hati, sindrom Steven-Johnson, anoreksia, mual, macroxytosis, neuropati perifer, agranulositosis,
lupuslike syndrome, trombositopeni, disfungsi seksual, disfungsi serebellar, penurunan
pseudolymphoma absorbs kalsium pada usus.
Phenobarbital Hepatotoksik, gangguan jaringan ikat Mengantuk, ataksia, nistagmus, ruam kulit, depresi, hiperaktif
dan sumsum tulang, sindrom Steven- (pada anak), gangguan belajar (pada anak), disfungsi seksual
Johnson
Hepatotoksik, hiperamonemia, Mual, muntah, rambut menipis, tremor, amenore, peningkatan
Valproat berat badan, konstipasi, hirsustisime, alopesia pada perempuan,
lekopeni, trombositopeni, pankreatitis
POS (Polycystic Ovarii Syndrome)
Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala, dizziness, kelemahan, mengantuk, gangguan
perilaku, agitasi, anxietas, trombositopeni, leukopenia
Gabapentin Teratogenik Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, peningkatan berat badan,
gangguan perilaku (pada anak)
Lamotrigine Sindrom steven-johson, gangguan Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, pandangan kabur, nyeri
hepar akut, kegagalan multi organ, kepala, mual, muntah, insomnia, trombositopenia, nistagmus,
teratogenik truncal ataksia, tics
Oxcarbazepine Ruam, teratogenik Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual, kelelahan, hiponatremia, insomnia,
tremor, disfungsi visual.
Topiramate Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan Gangguan kognitif, kesulitan menemukan kata, dizziness, ataksia, nyeri
fungsi hati, teratogenik kepala, kelelahan, mual, penurunan berat badan, paresthesia, glukoma
24

Zonisamide Batu ginjal, hipohidrosis, anemia Mual, nyeri kepala, dizziness, kelelahan, paresthesia, ruam, gangguan
aplastic, skin rash berbahasa, glaucoma, letargi, ataksia
Pregabalin Belum diketahui Peningkatan berat badan

Tabel 2.4 Mekanisme kerja dan Rute eliminasi OAE

OAE Mekanisme kerja Rute eliminasi


Carbamazepine Menghambat kanal sodium Metabolisme aktif di hati
(inaktivasi cepat)
Phenytoin Menghambat kanal sodium (inaktivasi Metabolisme di hati
secara cepat)
Phenobarbital Bersifat GABA-ergik (memperpanjang Metabolisme di hati 25% diekskresikan dalam bentuk asli
terbukanya kanal klorida)
Mekanisme yang bervariasi Metabolisme aktif di hati
Valproat
Levetiracetam Berikatan dengan reseptor SV2A Hidrolisis no hepatic, ekskresi di ginjal
Gabapentin Menghambat kanal kalsium Tidak metabolism, ekskresi di ginjal
Lamotrigine Menghambat kanal sodium Glukoronidasi
(inaktivasi)
Oxcarbazepine Menghambat kanal sodium Konversi di hati menjadi metabolit yang aktif
(inaktivasi secara cepat)
Topiramate Mekanisme bervariasi Metabolisme di hati, ekskresi di ginjal
Zonisamide Mekanisme bervariasi Metabolisme di hati, ekskresi di ginjal
Pregabalin Menghambat kanal kalsium Ekskresi di ginjal
25

2.9.4 Penghentian OAE


Penghentian OAE pada orang dewasa secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan
bangkitan setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut:
• Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG
normal.
• Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
• Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
• Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
• Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi.
• Epilepsy simtomatis.
• Gambaran EEG yang abnormal.
• Bangkitan sulit terkontrol dengan OAE.
• Tergantung bentuk sindrom epilepsy yang diderita, sangat jarang
pada sindrom epilepsy benigna dengan gelombang tajam pada
daerah sentrotemporal, 5-25% pada apilepsi lena masa anak kecil,
25-75%, epilepsy parsial kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada
epilepsimioklonik pada anak, dan JME.
• Penggunaan lebih dari satu OAE.
26

• Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan


kekambuhan lebih kecil pada penyandang yang telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun.
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.
2.9.5 Terapi terhadap epilepsy resisten OAE
Epilepsy resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua OAE
pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik sebagai
monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsy
resisten OAE. Penanganan epilepsy resistem OAE mencakup hal-hal
sebagai berikut:
• Kombinasi OAE
• Mengurangi dosis OAE
• Terapi bedah
• Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis
• Stimulasi n.vagus
Terapi adjuvant untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada
penyandang epilepsy refrakter usia dewasa dan anak-anak yang
tidak memenuhi syarat operasi. Dapat digunakan pada bangkitan
parsial dan bangkitan umum.
• Deep brain stimulation
• Diet ketogenik
• Intervensi psikologi
27

Tabel 2.5 Mekanisme kerja dan Rute eliminasi OAE


Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan parsial/kompleks
Sodium valproate + lamotrigin Bangkitan parsial/bangkitan umum
Topiramat + lamotrigin Bangkitan parsial/bangkitan umum

2.9.6 Penatalaksanaan status epileptikus

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih


dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara
bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun
demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila
bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE
merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan
dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan (dalam waktu 30
menit). Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik)
dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik)(1).
Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari
5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya
kesadaran diantara bangkitan(1).
Definisi Operasional Status Epileptikus Nonkonvulsif
Bangkitan epileptik berupa perubahan kesadaran maupun perilaku
tanpa disertai manifestasi motorik yang jelas namun didapatkan
aktivitas bangkitan elektrografik pada perekaman
elektroensefalografi (EEG), dapat didahului oleh status epileptikus
konvulsivus(6).
Klasifikasi Status Epileptikus
28

a. Berdasarkan klinis : SE fokal, SE general


b. Berdasarkan durasi
- SE dini (5-30 menit)
- SE menetap (>30 menit)
- SE refrakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau
tigas jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
c. Status epileptikus nonkonvulsif (SE-NK) dibagi menjadi dua
kelompok utama:
- SE-NK Umum
- SE-NK Fokal
Tatalaksana(6)
1. Stadium 1 (0-10 menit)
• Diazepam 10 mg IV bolus lambat dalam 5 menit, stop jika
kejang berhenti, bila masih kejang dapat diulang 1 kali
lagi atau Midazolam 0.2 mg/kgBB IM
• Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
• Berikan oksigen
• Periksa fungsi kardiorespirasi
• Pasang infus
2. Stadium 2 (0-30 menit)
• Monitor pasien
• Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptic
• Pemeriksaan emergensi laboratorium
• Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250
mg i.v bila ada kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau
defisiensi nutrisi
• Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
3. Stadium 3 (0-60 menit)
• Pastikan etiologi
• Siapkan untuk rujuk ke ICU
• Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
• Vasopressor bila diperlukan
• Phenytoin i.v dosis of 15–18 mg/kg dengan
29

kecepatan pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus


Phenobarbital 10–15 mg/kg i.v.dengan kecepatan
pemberian100 mg/menit

4. Stadium 4 (30-90 menit)


• Pindah ke ICU
• Anestesi umum dengan salah satu obat di bawah ini :
- Propofol 1–2 mg/kgBB bolus, dilanjutkan 2–10
mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0.1–0.2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0.05–
0.5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3–5 mg/kg bolus, dilanjut 3–5
mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol
• Perawatan intensif dan monitor EEG
• Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
• Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal,
kalsium, magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat
antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab
status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis,
bisa meliputi pencitraan otak dan dan pungsi lumbal(1).
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas
darah, pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan
fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli
neurologi(1).
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter.
Pertimbangkan kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada
status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adalah supresi
30

aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah


munculnya pola burst suppression(1).
Tabel 2.6 OAE untuk status epileptikus konvulsif(1)
Stadium premonitory Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit
(sebelum ke rumah kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10
sakit) mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di Indonesia. Bila
bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut
SE Dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg
bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah pernah
mendapat terapi OAE
SE Menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai
berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit.
SE Refrakter Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10 mg/kg/jam
dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5
mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5
mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol.
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan
karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau ektrografis terakhir, kemudian dosis diturunkan
31

perlahan

Tabel 2.7 OAE untuk status epileptikus nonkonvulsif(1)


Tipe Terapi pilihan Terapi lain
SE Lena Benzodiazepine iv / oral Valproate iv
- Diazepam 0,2-0,3mg/kg
- Clonazepam 1mg (0,25-
0,5mg pada anak)
- Lorazepam 0,07mg/kg
(0,1mg/kg pada anak)
SE parsial Clobazam oral Lorazwpam/phenytoin/phenobarbital
kompleks iv
SE Lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine, lamotrigine,
topiramate, metylphenidate, sterois
oral
SE tonik Lamotrigine oral Methylphenidate, steroid
SE nonkonvulsif Phenytoin iv atau Anesthesia dengan thiopentone,
pada penyandang phenobarbital phenobarbital, propofol atau
koma midazolam

2.10 Komplikasi
Komplikasi epilepsy berupa kelainan neurologis yang meliputi
• Gangguan psikiatrik, prevalensi gangguan psikiatri meningkat pada pasien
epilepsy, seperti gangguan mood, gangguan kecemasan, attention defeicit
hyperactivity disorder (ADHD).
• Gangguan kognitif, pasien mengalami abnormalitas kognitig dibanding pada
pemeriksaan yang samar.
32

• Gangguan perilaku dan adaptasi sosial. Pasien epilepsy mengalami


bersosialisasi dan membina hubungan antar individu.
2.11 Prognosis
Belum ada factor prognostic yang dapat memprediksi setiap hasil dan
epilepsy dikarenakan heterogenisitas. Pasien yang pertama kali didiagnosis
epilepsy dan responsive terhadap monoterapi obat antiepilepsi memiliki angka
angka bebas kejang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien epilepsy
yang harus mendapat 2 jenis obat antiepilepsi atau lebih.
33

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsy adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic (terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak )yang terus
menerus, dan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial(1).
Etiologi epilepsy idiopatik, simtomatis, dan kriptogenik.
Klasifikasi epilepsy berdasarkan ILAE 1981 dibagi berdasarkan tipe
bangkitan epilepsy, sedangkan ILAE 1989 diklasifikasikan untuk epilepsy dan
sindrom epilepsy. Tahun 2017 ILAE mengklasifikasikan berdasarkan onset
dan adanya kesadaran. Diagnosis epilepsy ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:
(1) Pastikan adanya bangkitan epileptic, (2) tentukan tipe bangkitan
berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, (3) tentukan sindroma epilepsy
berdasarkan klasifikasi ILAE 1989. Langkah penegakkan diagnosis
berdasarkan dari anamnesis yang didukung pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Tujuan utama terapi epilepsy adalah mengupayakan penyandang epilepsy
dapat hidup normal dan memiliki kualitas hidup optimal. Harapannya adalah
bebas bangkitan dan tanpa efek samping.
3.2 Penutup
Referat ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan pembelajaran
bagi pembaca mengenai epilepsy, dan dapat menjadi acuan bagi tenaga
kesehatan dalam menangani kasus-kasus epilepsy yang ditemukan.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. (PERDOSSI) PDSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. 5th ed. Dr. dr. Kurnia
Kusumawati. SS, dr. Suryani Gunadharma., Sp.S(K) MK, dr. Endang
Kustiowati., Sp.S(K) MSM, editors. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Perceteakan Unair (AUP); 2014.

2. SC L, BS S, CC W, XM C, SS Z, CL B. Epidemiology of epilepsi in urban


areas of people’s republic of China. Epilepsia 1985. 26(5):391–4.

3. Fitrina R. Epilepsi [Internet]. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan; 2018.


Available from: http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html

4. Mardjono prof. DM, Sidharta PDP. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT. Dian
Rakyat; 2014.

5. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al.
Manual instruksi klasifikasi tipe kejang ILAE 2017.

6. (PERDOSSI) PDSSI. Panduan praktik klinis neurologi. 2016.

Anda mungkin juga menyukai