Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Berikut disajikan penelitian sebelumnya sebagai referensi yang digunakan

peneliti dan sebagai perbandingan antara berbagai hasil penelitian yang disajikan

sebagai berikut :

Penelitian pertama, oleh Anggraeni (2015) memperoleh hasil bahwa tingkat

literasi keuangan dari pemilik usaha rendah sehingga berpengaruh terhadap

kemampuan mengelola keuangan. Hal ini tercermin dari hasil sikap keuangan

pemilik usaha dimana mereka sebatas mencatat penerimaan dan pengeluaran

keuangan usaha tanpa disertai dengan penyimpanan dokumen pendukung.

Penelitian kedua dilakukan oleh Yushita (2017), hasil penelitian

menunjukkan bahwa Literasi keuangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap

orang agar terhindar dari masalah keuangan. Kesulitan keuangan bukan hanya

fungsi dari pendapatan semata (rendahnya pendapatan), kesulitan keuangan juga

dapat muncul jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan (miss-

management) seperti kesalahan penggunaan kredit, dan tidak adanya

perencanaan keuangan. Literasi keuangan (financial literacy) yang kian

mendapatkan perhatian di banyak negara maju semakin menyadarkan betapa

kepada kita betapa pentingnya tingkat ‘melek’ keuangan. Di beberapa negara,

literasi keuangan bahkan sudah dicanangkan menjadi program nasional. Hasil

riset secara umum menunjukkan bahwa masih terjadi tingkat literasi keuangan

yang rendah di negara-negara maju dan terlebih lagi di negara-negara sedang

berkembang termasuk Indonesia. Kondisi ini merupakan problem yang cukup

9
serius mengingat literasi keuangan berpengaruh positif terhadap inklusi dan

perilaku keuangan.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Rumbianingrum dan Wijayangka (2018),

berdasarkan hasil penelitian Literasi Keuangan berpengaruh terhadap

Pengelolaan Keuangan sebesar 32,4% sedangkan 67,6% dipengaruhi oleh faktor

lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Literasi keuangan pada UMKM

anggota binaan KSU Misykat DPU DT di Bandung Raya termasuk dalam

kategori rendah, Hal ini perlu ditingkatkannya pengetahuan mengenai keuangan

agar membantu UMKM dalam mengelola keuangan. Rendahnya literasi

keuangan UMKM pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa hal yakni

tingkat Pendidikan, Penerimaan Informasi mengenai keuangan, dan Usia dari

pelaku UMKM.

Penelitian keempat, oleh Yanti (2019), berdasarkan analisis dalam

penelitian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

ditarik kesimpulan yakni Inklusi keuangan memberikan pengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja UMKM. Hal ini menunjukan bahwa kinerja UMKM

akan meningkat secara signifikan apabila pelaku UMKM terus meningkatkan

inklusi keuangan. Literasi keuangan juga memberikan pengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja UMKM. Hal ini menunjukan bahwa kinerja UMKM

akan meningkat secara signifikan apabila pelaku UMKM terus meningkatkan

literasi keuangan.

Persamaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian

tersebut adalah sama-sama membahas kajian tentang literasi dan inklusi

10
keuangan terhadap pengelolaan keuagan atau kinerja pada UMKM dan

perbedaannya adalah Obyek penelitian dan jumlah sampel penelitian.

B. Landasan Teori

1. Pengelolaan Keuangan Pribadi (Manajemen Keuangan)

Pengelolaan keuangan adalah sebuah tindakan untuk mencapai tujuan

keuangan di masa yang akan datang. Pengelolaan keuangan meliputi

pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan keuangan keluarga, dan

pengelolaan keuangan perusahaan. Pengelolaan keuangan merupakan

bagian penting dalam mengatasi masalah ekonomi, baik masalah ekonomi

individu, keluarga maupun perusahaan (Bank Indonesia, 2014). Pengelolaan

keuangan ialah suatu tindakan untuk mencapai tujuan keuangan periode

selanjutnya menjadi bagian penting dalam mengatasi masalah ekonomi

yang timbul (Wibowo, 2007).

a. Tujuan Pengelolaan Keuangan

Tujuan pengelolaan keuangan sendiri secara umum menurut Bank

Indonesia meliputi mencapai target dana tertentu di masa yang akan

datang, melindungi dan meningkatkan kekayaan yang dimiliki,

mengatur arus kas (pemasukan dan pengeluaran dana), mengelola utang

piutang (Bank Indonesia, 2014).

11
b. Indikator Pengelolaan Keuangan

Terdapat empat kerangka dasar pengelolaan keuangan (Kuswadi,

2005) :

1) Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan menetapkan tujuan

organisasi dan memilih cara yang terbaik untuk mencapai tujuan

tersebut. Menurut Kuswadi (2005) kegiatan perencanaan pada

keuangan, salah satunya adalah merumuskan sasaran keuangan

tahunan dan jangka panjang, serta anggaran keuangan. Penyusunan

anggaran merupakan proses untuk membantu melaksanakan fungsi

perencanaan dan pengendalian yang efektif. Anggaran merupakan

suatu rencana yang dibuat oleh perusahaan dan dinyatakan dalam

bentuk moneter.

2) Pencatatan

Pencatatan merupakan kegiatan mencatat transaksi keuangan

yang telah terjadi, penulisannya secara kronologis dan sistematis.

Pencatatan sendiri digunakan sebagai penanda bahwa telah terjadi

transaksi yang terjadi pada periode yang ditentukan dalam

organisasi. Penyusunan pencatatan diawali dari pengumpulan

dokumen yang mendukung terjadinya transaksi. Contohnya nota,

kuitansi, faktur, dll. Langkah selanjutnya menulis transaksi dalam

jurnal, lalu di posting ke dalam buku besar. Jenis-jenis catatan

adalah jurnal, buku besar, worksheet.

12
3) Pelaporan

Pelaporan merupakan langkah selanjutnya setelah selesai

memosting ke buku besar, dan buku besar pembantu. Postingan

dalam buku besar dan buku besar pembantu akan ditutup pada

akhir bulan, setelah itu akan dipindahkan ke ikhtisar laporan

keuangan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan. Jenis-jenis

laporan keuangan ada Laporan Arus Kas, Laporan Laba Rugi,

Laporan Posisi Keuangan.

4) Pengendalian

Pengendalian merupakan proses mengukur dan mengevaluasi

kinerja aktual dari setiap bagian organisasi, apabila diperlukan

akan dilakukan perbaikan. Pengendalian dilakukan untuk

menjamin bahwa perusahaan atau organisasi mempu mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Jenis-jenis pengendalian adalah

pengendalian awal, pengendalian berjalan, dan pengendalian

umpan balik.

c. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pengelolaan keuangan (Marsh,

2006):

1) Sikap Keuangan/ Financial Attitude

Sikap mengacu pada bagaimana seseorang merasa tentang

masalah keuangan pribadi, yang diukur dengan tanggapan atas

sebuah pernyataan atau opini.

13
2) Pengetahuan Keuangan/ Financial Knowledge

Pengetahuan mengacu pada apa yang diketahui individu

tentang masalah keuangan pribadi, yang diukur dengan tingkat

pengetahuan mereka tentang berbagai konsep keuangan pribadi.

Pengetahuan keuangan mempunyai hubungan yang erat dengan

financial literacy atau edukasi keuangan.

3) Inklusi Keuangan/ Financial Inclusion

Bagi pengusaha kecil, terbukanyan akses permodalan ke sector

keuangan formal secara otomatis akan membuka peluang usaha

ataupun meningkatkan kapasitas usahanya.

2. Literasi Keuangan

Dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia tahun 2013,

Otoritas Jasa Keuangan menggunakan istilah literasi keuangan sebagai

rangkaian proses atau anktivitas untuk meningkatkan pengetahuan

(knowledge), keyakinan (confidence), dan ketrampilan (skill) konsumen dan

masyarakat luas. Definisi ini mengalami penyempurnaan dalam Peraturan

OJK no. 76 Tahun 2016 dan dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan

Indonesia (Revisit 2017).

Penyempurnaan pengertian literasi keuangan dilakukan dengan

menambah aspek sikap dan perilaku disamping pengetahuan, ketrampilan,

dan keyakinan terhadap lembaga, produk dan layanan keuangan. Pengertian

literasi keuangan tersebut menjadi pengetahuan, ketrampilan dan

keyakinan, yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan

14
kualitas pengambian keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka

mencapai kesejahteraan (Soetiono & Setiawan, 2018).

a. Tujuan Utama Literasi Keuangan

Visi Strategi Nasional Literasi Keuangan (Revisit, 2017) adalah

mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki indeks literasi

keuangan yang tinggi (well literate) sehingga dapat memanfaatkan

produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai untuk mencapai

kesejahteraan keuanganyang berkelanjutan (Soetiono & Setiawan,

2018)..

b. Indikator Literasi Keuangan

Ada 4 (empat) indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat

literasi keuangan (Hidajat, 2015) yakni:

1) Pengetahuan umum tentang keuangan

Pengetahuan tentang keuangan mencakup pengetahuan

keuangan pribadi, yakni bagaimana mengatur pendapatan dan

pengeluaran, serta memahami konsep dasar keuangan. Konsep

dasar keuangan tersebut mencakup perhitungan tingkat bunga

sederhana, bunga majemuk, pengaruh inflasi, opportunity cost,

nilai waktu uang, likuiditas suatu aset, dan lain-lain.

2) Investasi

Investasi adalah menyimpan atau menempatkan uang agar bisa

bekerja sehingga dapat menghasilkan uang yang lebih banyak.

Cara yang sering digunakan seseorang dalam berinvestasi yakni

15
dengan meletakkan uang ke dalam surat berharga termasuk saham,

obligasi dan reksa dana atau dengan memiliki real estate.

3) Tabungan dan pinjaman

Tabungan dan pinjaman (saving and borrowing) merupakan

produk perbankan yang lebih dikenal sebagai tabungan dan kredit.

Tabungan (saving) merupakan sejumlah uang yang disimpan untuk

kebutuhan di masa depan. Seseorang yang memiliki pendapatan

yang lebih tinggi dibandingkan pengeluarannya akan cenderung

menyimpan sisa uangnya tersebut. Bentuk simpanan bisa berupa

tabungan dalam bank atau tabungan dalam bentuk deposito.

Sedangkan pinjaman (borrowing) merupakan suatu fasilitas untuk

melakukan peminjaman uang dan membayarnya kembali dalam

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

4) Asuransi

Asuransi merupakan suatu bentuk perlindungan secara

finansial yang bisa dilakukan dalam bentuk asuransi jiwa, asuransi

properti, asuransi pendidikan dan asuransi kesehatan. Tujuan dari

asuransi adalah untuk mendapatakan ganti rugi apabila terjadi hal

yang tidak terduga seperti kematian, kehilangan, kecelakaan, atau

kerusakan. Asuransi melibatakan pihak tertanggung untuk

melakukan pembayaran premi secara berkala dalam suatu waktu

tertentu yang berguna sebagai ganti polis yang menjamin

perlindungan yang diperoleh dari pihak tertanggung.

16
c. Klasifikasi Literasi Keuangan

Lembaga Otoritas Jasa Keuangan membagi literasi keuangan

masyarakat dalam 4 tingkatan (Soetiono & Setiawan, 2018), yaitu:

1) Well Literate

Memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa

keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat

dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan,

serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk jasa

keuangan.

2) Sulficient Literate

Memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa

keuangan serta produk dan jasa keuangan termasuk fitur, manfaat

dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.

3) Less Literate

Hanya memiliki penegtahuan tentang lembaga jasa keunagan,

produk dan jasa keuangan.

4) Not Literate

Tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga

jasa keuangan, serta tidak memiliki keterampilan dalam

menggunakan produk dan jasa keuangan.

17
3. Inklusi Keuangan / Keuangan Inklusi

Inklusi keuangan didefinisikan sebagai ketersediaan akses pada

berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (Soetiono & Setiawan, 2018). World Bank

(2014b) mendefinisikan keuangan inklusi sebagai proporsi individu dan

perusahaan yang menggunakan produk dan jasa keuangan.

Financial inclusion (keuangan inklusif) didefinisikan sebagai upaya

mengurangi segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun non harga,

terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan.

Financial inclusion merupakan sebagai bentuk strategi nasional keuangan

inklusif yaitu hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari

lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau

biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabat

a. Tujuan Utama Inklusi Keuangan

Dalam rangka mewujudkan visi dan misi keuangan inklusif DI

Indonesia disusunlah stratgi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI)

sebagai pedoman langkah-langkah strategis para pemangku

kepentingan dalam membantu masyarakat agar dapat terhubung dengan

layanan keuangan formal. SNKI 2012 mempunyai visi untuk

mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan

masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penanggulangan

kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan terciptanya stabilitas system

keuangan di Indonesia (Soetiono & Setiawan, 2018).

18
SNKI tersebut kemudian direvisi pada tanggal 1 September 2016

melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang

Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Visi SNKI 2016 adalah untuk

meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal

melalui peningkatan pemahaman tentang sistem, produk dan jasa

keuangan, serta ketersediaan layanan keuangan formal yang berkualitas

secara tepat waktu, lancar dan aman dengan biaya terjangkau sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan dalam eangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (Peraturan Presiden, 2016). Visi tersebut

kemudian dijabarkan dalam misi, yaitu:

1) Meningkatkan kesempatan dan kemampuan masyarakat dalam

mengakses dan memanfaatkan layanan keuangan

2) Menyediakan produk dan jasa keuangan yang dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat

3) Meningkatkan pengetahuan dan rasa aman masyarakat dalam

penggunaan layanan keuangan

4) Memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan

5) Mendorong pengembangan keuangan inklusif dan mendukung

pencapaian Suistainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.

b. Indikator Inklusi Keuangan

Pengukuran tingkat inklusi keuangan merupakan kunci dalam

mengetahui tingkat akses keuangan, penggunaan produk dan layanan

keuangan, serta mengidentifikasi hambatan yang menghalangi

seseorang dalam menggunakan produk dan layanan keuangan formal

19
(Soetiono & Setiawan, 2018). Data yang dapat diandalkan sangat

penting untuk menginformasikan kebijakan dan untuk memantau efek

dari inisiatif keuangan inklusif. Data juga menyediakan titik awal.

Beberapa jenis indicator untuk mengukur inklusi keuangan antara lain:

1) Indikator akses, mencerminkan kedalaman jangkauan layanan

keuangan, seperti penetrasi cabang bank di daerah pedesaan, atau

hambatan sisi permintaan yang dihadapi pelanggan untuk

mengakses lembaga keuangan, seperti biaya atau informasi.

2) Indikator Penggunaan, mengukur bagaimana klien menggunakan

jasa keuangan, seperti keteraturan dan durasi dari penggunaan

produk/jasa keuangan dari waktu ke waktu (misalnya rata-rata

saldo tabungan, jumlah transaksi per rekening, jumlah pembayaran

elektronik yang dibuat).

3) Indikator Kualitas, menjelaskan apakah produk dan jasa keuangan

telah sesuai dengan kebutuhan konsumen, berbagai pilihan yang

tersedia, dan kesadaran dan pemahaman klien tentang produk dan

jasa keuangan.

4. UMKM

UMKM adalah unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau Badan Usaha disemua sektor

ekonomi (Tambunan, 2012). Pada prinsipnya, pembedaan antara Usaha

Mikro (UMi), Usaha Kecil (UK), Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar

(UB) umumnya didasarkan pada nilai asset awal (tidak termasuk tanah dan

bangunan), omset rata-rata pertahun atau njumlah pekerja tetap. Namun

20
definisi UMKM berdasarkan ketiga alat ukur ini berbeda disetiap Negara.

Berdasarkan Undang-Undang

Rumusan terhadap definisi UMKM berbeda antara satu Negara dengan

Negara lainnya dan berbeda pula definisi yang dibuat oleh berbagai lembaga

dunia. Tidak ada suatu kesepakatan terhadap definisi UMKM. Umumnya,

UMKM didefinisikan berdasaekan kriteria dan ciri yang dapat berupa

jumlah tenaga kerja yang dipergunakan, jumlah capital dan omzet dari

kegiatan yang dihasilkan, serta dapat pula didefinisikan berdasarkan

karakteristik UMKM, seperti skala usaha, teknologi yang digunakan,

organisasi dan manajemen, orientasi pasar, dan lain sebagainya.

Di Indonesia sendiri, sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2008, terdapat berbagai rumusan definisi yang dibuat oleh berbagai

instansi dan menjadi acuan, diantaranya adalah definisi yang dirumuskan

Bank Indonesia, biro Pusat Statistik, Kementrian Koperasi dan UMKM, dan

berbagai definisi lainnya yang masing-masing merumuskan definisi

berdasarkan kepentingan instansi masing-masing. Umumnya definisi yang

dibuat oleh instansi-instansi tersebut lebih kepada kriteria kuantitatif yang

diukur berdasarkan jumlah omzet dan kepemilikan asset.

Menurut UU Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil didefinisikan sebagai:

a) Usaha produktif milik warga Negara Indonesia yang berbentuk badan

usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hokum, atau badan

usaha berbadan hokum, termasuk koperasi.

21
b) Anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau

berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha

menengah atau besar tidak termasuk dalam kategori usaha kecil.

c) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling

banyak Rp. 100 juta per tahun.

Biro Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil

dan Menengah secara bersama-sama mendefinisikan UMKM dan

mengelompokannya menjadi dua kelompok usaha, yaitu usaha kecil, yaitu

usaha yang memiliki omzet kurang dari Rp. 1 miliar pertahun; usaha

menengah adalah usaha yang memiliki batas maksimal omzet antara Rp. 1-

50 miliar pertahun.

Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil sebagai usaha yang

memiliki nilai asset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp. 200

juta dengan omzet pertahun maksimal Rp. 1 miliar. Usaha menengah

memiliki kriteria asset tetap dengan besaran yang dibedakan antara industri

manufaktur (Rp. 200 juta sampai Rp. 5 miliar) dan non-manufaktur (Rp. 200

juta sampai Rp. 600 juta).

a. Kriteria UMKM

Kriteria UMKM dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah asset

dan omzet yang dimiliki masing-masing badan usaha sebagaimana

rumusan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM

(Tanjung, 2017).

22
Tabel 2.1
Klasifikasi UMKM berdasarkan UU No. 20/2008

Ukuran Usaha Asset Omset


Usaha Mikro Max 50 Juta Max 300 Juta
Usaha Kecil >50 Juta – 500 Juta Maksimal 3 Miliar
Usaha Menengah >500 Juta – 10 Miliar >2,5 – 50 Miliar

Sumber : UU No. 20/2008

Yang dimaksud dengan kekayaan bersih adalah hasil pengurangan

total nilai kekayaan usaha (asset) dengan total nilai kewajiban, tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Berdasarkan kekayaan dan

hasil penjualan, menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 pasal

6, kriteria usaha mikro yaitu:

1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Menurut Suhartini (2015), kriteria usaha kecil adalah sebagai

berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp

2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Menurut Suhartini (2015) sedangkan kriteria usaha menengah

adalah sebagai berikut:

23
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00

(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha.

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00

(dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak

Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

C. Kerangka Penelitian

Kerangka pemikiran dibuat untuk mempermudah, memahami, pengaruh

antara variabel independen yang berupa literasi keuangan terhadap variabel

dependen yaitu pengelolaan keuangan. Berdasarkan hal tersebut, kerangka

pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2.1
Kerangka Hubungan Literasi dan Inklusi Keuangan Terhadap Pengelolaan
Keuangan pada Pelaku UMKM

Literasi Keuangan
(X1)
H1
Pengelolaan Keuangan
Pada Pelaku UMKM
H2 (Y)
Inklusi Keuangan
(X2) H3

Keterangan :

Parsial :

Simultan :

24
Variabel independen pada penelitian ini terdiri dari faktor Literasi keuangan

(X1) dan Inklusi Keuangan (X2). Sedangkan variabel dependen atau variabel

terikat adalah pengelolaan keuangan pada pelaku UMKM (Y).

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kajian terhadap penelitian terdahulu

yang relevan, maka hipotesis yang akan diujikan kebenarannya secara empiris

adalah:

Hubungan antara literasi keuangan dengan pengelolaan keuangan tertera

pada pengertian literasi keuangan oleh POJK (2016) yaitu “pengetahuan,

ketrampilan, dam keyakinan, yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk

meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam

rangka mencapai kesejahteraan”.

Penelitian dari Klapper, Lusardi dan Panor (2012) menunjukkan bahwa

kemampuan masyarakat untuk membuat keputusan keuangan akan

meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan pribadi mereka. Hasil dari

penelitian (Anggraeni, 2015) juga mendukung pernyataan tersebut yaitu

“Tingkat literasi yang rendah mempengaruhi pemilik usaha dalam mengelola

keuangan usaha dengan kemampuan yang hanya sebatas pada pencatat tetapi

belum dilakukan dokumentasi yang baik untuk penerimaan dan pengeluaran”.

H1 : Literasi Keuangan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan

pada pelaku UMKM di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.

Hubungan inklusi keuangan dengan pengelolaan keuangan yaitu menurut

Soetiono dan Setiawan (2018) “Bagi pengusaha kecil, terbukanyan akses

permodalan ke sektor keuangan formal secara otomatis akan membuka peluang

25
usaha ataupun meningkatkan kapasitas usahanya”. Hal ini juga didukung dengan

hasil dari penelitian Yanti (2019) yaitu “Inklusi keuangan memberikan pengaruh

positif dan signifikan terhadap kinerja UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa

kinerja UMKM akan meningkat secara signifikan apabila pelaku UMKM terus

meningkatkan inklusi keuangan”.

H2 : Inklusi keuangan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan pada

pelaku UMKM di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.

Hubungan antara literasi keuangan dengan inklusi keuangan menurut

Soetiono dan Setiawan (2018) yaitu “Rendahnya tingkat literasi keuangan

menciptakan hambatan masyarakat untuk mengakses produk keuangan.

Rendahnya pengetahuan tentang mekanisme produk keuangan dan biayanya

juga mengurangi kemungkinan penggunaan produk dan layanan keuangan.

Masalah yang sama juga akan mencegah individu memanfaatkan produk dan

layanan keuangan mereka secara optimal”.

Berdasarkan analisis dalam penelitian dan pembahasan hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh Yanti (2019), maka dapat ditarik kesimpulan yakni

Inklusi keuangan memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

UMKM. Hal ini menunjukan bahwa kinerja UMKM akan meningkat secara

signifikan apabila pelaku UMKM terus meningkatkan inklusi keuangan.

Literasi keuangan juga memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja UMKM. Hal ini menunjukan bahwa kinerja UMKM akan meningkat

secara signifikan apabila pelaku UMKM terus meningkatkan literasi keuangan.

26
H3 : Literasi dan Inklusi keuangan berpengaruh terhadap pengelolaan

keuangan pada pelaku UMKM di Kecamatan Lowokwaru Kota

Malang.

Pada penelitian Yanti (2019) diketahui bahwa Literasi keuangan

memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja UMKM. Hal ini

menunjukan bahwa kinerja UMKM akan meningkat secara signifikan apabila

pelaku UMKM terus meningkatkan literasi keuangan. Terdapat pengaruh positif

Pengetahuan Keuangan terhadap Perilaku Manajemen Keuangan pada pelaku

UMKM Sentra Kerajinan Batik Kabupaten Bantul dan Terdapat pengaruh positif

Sikap Keuangan terhadap Perilaku Manajemen Keuangan pada pelaku UMKM

Sentra Kerajinan Batik Kabupaten Bantul (Humaira & Sagoro, 2018).

H4 : Variabel Literasi keuangan paling berpengaruh terhadap

pengelolaan keuangan pada pelaku UMKM di Kecamatan

Lowokwaru Kota Malang.

27

Anda mungkin juga menyukai