Anda di halaman 1dari 9

chained panther

Posted originally on the Archive of Our Own at


http://archiveofourown.org/works/30489615.

Rating:
General Audiences

Archive Warning:
Choose Not To Use Archive Warnings

Category:
F/M

Fandom:
Kuroko no Basuke | Kuroko’s Basketball

Relationship:
Aomine Daiki/Reader, Aomine Daiki & Reader

Character:
Aomine Daiki, Reader

Additional Tags:
Jealousy, PDA, Fluff, Coffee Shops, Protective Aomine
Daiki, Possessive Aomine Daiki, Pro Basketball Player
Aomine Daiki, Jealous Aomine Daiki, POV Second Person,
Aged-Up Character(s), Age Difference, Older Man/Younger
Woman, Alternate Universe - College/University

Language:
Bahasa Indonesia

Stats:
Published: 2021-04-05 Words: 1421
chained panther
by rexann
Summary

Aomine Daiki, pemain basket profesional NBA dari


Cleveland Cavaliers, nggak suka ceweknya diliatin sama
orang lain. Kira-kira gimana sih cara Aomine
menghadapi situasinya?

Notes

hi guys i decided to changed the pov and edited the most


part of the story, i hope you enjoyed it! <3
See the end of the work for more notes
“Silakan order di sebelah sini kak,” kamu disapa oleh sejuknya
ruangan coffee shop, diiringi dengan sambutan dari salah satu
kasir yang berdiri di belakang konter, tatapannya tertuju ke
kamu ketika kamu berjalan masuk ke dalam ruang tunggu
yang nggak terlalu ramai.
Kamu berdiri di depan konter, disusul oleh Aomine yang
bersampingan dengan kamu, kemudian kamu mulai
menyebutkan pesanan, “Iced Americano—”
Sebelum kamu sempat menyelesaikan order, suara Aomine
menyela, “jangan minum es.”
Mendengar teguran cowok tinggi itu, kamu pun menghela
nafas, lalu mengulang ordernya, “hot americano yang large
dua.”
“Hot americano ukuran large dua,” ujar cowok di kasir itu
mengulangi pesanan kalian sebelum bertanya lagi, “ada
tambahan lain kak?”
Kamu melipat bibir ke dalam, lalu menggeleng pelan, “nggak,
itu aja.”
“Baik, atas nama siapa kak?” Tanyanya lagi, bersiap menulis
nama.
“Aomine Daiki.” Kamu menjawab singkat, melirik sekilas ke
arah cowok kamu yang lagi ngecek ponsel, satu tangan
dimasukin ke saku ripped jeans yang dia pakai.
“Aomine—”Cowok kasir itu berhenti seketika setelah
mendengar nama yang kamu sebutkan, dia lalu mendongak,
menatap Aomine di samping kamu dan membelalak. “Aomine
Daiki—?!”
Kamu menggigit bibir bawah, mencoba menahan senyuman
karena pride kamu yang tiba-tiba melambung tinggi.
Siapa yang nggak bakal kaget siang bolong begini tiba-tiba
bertemu dengan sosok pemain basket NBA yang terkenal di
kancah internasional sebagai seorang profesional basketball
player dari Cleveland Cavalier.
Aomine di samping kamu nggak terlalu memperhatikan, masih
fokus ke ponselnya. Akhirnya kamu membuka suara,
membangunkan cowok kasir yang masih bengong.
“Iya, jadi berapa mas?” Tanya kamu, siap-siap buka dompet
buat kasih uang.
“Ah—! Iya, ini totalnya jadi 65 ribu rupiah kak.” Jawabnya,
sedikit tersentak kaget sambil memeriksa monitor.
Kamu yang sedang mengubek uang recehan, didahului oleh
Aomine yang mengeluarkan kartu yang dia luncurkan ke meja
konter, dan cuma bisa pasrah ketika Aomine mendorong turun
tangan kamu yang memegangi dompet.
Setelah memberikan kembali kartu milik Aomine beserta nota-
nya, cowok kasir itu pun menginstruksi, “silakan ditunggu
kak.”
Kamu mengucapkan terima kasih sebelum celingukan melihat
seisi ruangan yang udah banyak diduduki, tersisa tiga kursi di
ujung pojokan dekat jendela yang cukup jauh dari meja konter.
Aomine berjalan duluan, menuntun kamu ke arah kursi
tersebut untuk duduk menunggu pesanan dibuatkan. Cowok
tan itu bersandar ke jendela sementara kamu duduk
menyamping ke arahnya, membelakangi sisa kursi kosong.
Setiap off-season dan dapet beberapa hari buat libur setelah
latihan rutin, Aomine lebih memilih untuk pulang dan
menghabiskan waktunya bersama kamu atau teman-teman
lamanya di sini.
“Oh iya,” ucap kamu tiba-tiba teringat sesuatu, lutut kamu
menyenggol lutut Aomine pelan, “lupa, mau beliin buat Kak
Momoi juga.”
Cowok berambut navy gelap itu merengut nggak setuju,
“peduli amat, dia juga bisa beli sendiri.”
“Nggak boleh kayak gitu tau,” omel kamu, masih gak habir
pikir kenapa Aomine selek banget sama temen kecilnya
sendiri, “Kak Momoi baik suka nemenin aku di sini.”
Aomine menatap kamu kemudian menghela nafas berat, “iya
nanti mampir lagi ke coffee shop depan, udah tanggung itu
kan.”
Kamu mengangguk puas dengan keputusan Aomine. Disaat
yang bersamaan, seseorang duduk di kursi kosong di samping
kamu.
Karena posisi kamu menghadap Aomine dan membelakangi
orang itu, kamu harus menoleh buat melihat sosok cowok
yang duduk di samping kamu.
Dilihat dari style-nya, kamu mengasumsikan cowok ini masih
anak kuliahan dengan beberapa piercing di telinganya.
Sebelum cowok itu menatap balik, kamu lebih dulu berbalik.
Kembali menatapi wajah boring dan judes cowok kamu seperti
biasa, dan demi tuhan, diem doang udah ganteng, gemesin
banget pengen kamu cakar aja rasanya.
Merasa diperhatikan, Aomine menengok, memergoki kamu
yang lagi ngeliatin dia. Kamu buru-buru mengalihkan
pandangan ke arah jalanan di luar jendela, membuat Aomine
mendengus puas setelah menangkap basah kelakuan kamu ini.
Tapi kemudian, sebelah tangan Aomine bergerak mengulur ke
arah paha kamu, membuat kamu heran dan mengantisipasi.
Bukannya mendarat ke paha, melainkan tangan Aomine
meraih kursi yang sedang kamu duduki tepat di bawah paha,
dan dia seret kursi kamu buat mendekat ke arahnya, seakan-
akan kamu bukan beban yang begitu berat, sampai paha kalian
menempel satu sama lain.
Kamu yang tau kalau Aomine paling nggak suka PDA, heran
melihat sikapnya yang gak biasa ini. Tatapan tajam Aomine
terpaku ke arah kamu, tapi bukan buat kamu.
“Aomine, kenapa?” Tanya kamu tapi nggak mendapat balasan
dari cowok tan itu.
Penasaran, kamu ikut menoleh ke arah pandangan Aomine,
dimana ternyata cowok yang duduk di belakang kamu—yang
sekarang udah agak jauhan—itu sedang menatap ke arah
kalian. Tepatnya memperhatikan kamu dengan santainya.
Bukannya berhenti, cowok itu malah makin intens melihat
kamu dari bawah ke atas, ketika dia tau kalau kamu dan
Aomine sadar apa maksud dari cowok itu.
Saat kamu balik menatap Aomine, dia mengertakkan gigi
sampai rahangnya berdesir.
“Aomine,” kamu memegang lengan jaket kulit hitam yang dia
pakai, berusaha menenangkan dirinya, “jangan ditanggepin.”
Yang namanya Aomine Daiki kalau sangkut paut sama
ceweknya nggak akan segan. Dia mengabaikan teguran kamu,
lalu berbicara.
“Baru ngeliat cewek?” Tukas Aomine yang membenarkan
posisi duduknya dari bersandar, menjadi tegak di kursi.
Kamu yang mendengar suara berat Aomine yang
mengintimidasi itu malah ikut merinding. Tapi tetap kamu
peringati, “Aomine, gak sopan tau.”
“Dia yang gak sopan ngeliatin lo kayak gitu,” Aomine bernada
marah, menarik kamu buat bangkit dari kursi, “lo sini pindah.”
Aomine membuka lebar kedua kakinya lalu mendudukkan
kamu di paha sebelah kirinya. Masih posisi memunggungi
cowok itu. Kamu bisa merasakan perhatian mulai terpusat ke
arah dimana kalian duduk.
“Aomine,” cicit kamu menahan rasa malu, mencengkram jaket
kulit Aomine yang gak bergeming sama sekali, tapi malah
melingkarkan lengan besarnya ke pinggang kamu.
Sejujurnya bukan cuma mereka yang kaget dengan sikap
Aomine ini, kamu sendiri juga kaget karena Aomine selalu
nolak skinship di publik. Dan kamu pikir, sikap bold Aomine
ini didorong dari tatapan kurang menyenangkan dari cowok
asing itu terhadap kamu.
“Liat apa sih lo?” Sentak Aomine agak kasar. Kalau dia masih
terus bicara, berarti cowok asing itu gak berhenti ngeliatin
kamu.
Aomine, sebagai sesama cowok, tau tatapan mana yang
mengagumi dan tatapan mana yang melucuti perempuan. Dan
cowok asing ini jelas melakukan yang kedua.
Man, ini cowok kayak lagi ngegali kuburan sendiri. Ngeliatin
ceweknya Aomine Daiki di depan Aomine Daiki sendiri. The
audacity.
Kamu merasa nggak nyaman dengan situasi canggung dan
tense ini pun mengusap pelan bahu Aomine, “udah kita pergi
aja.”
Tapi baru aja Aomine mau menyahut, cowok asing itu
akhirnya malah membuka suara. “Salah dia cantik, enak
diliat.”
Kamu membelalak kaget mendengar balasan cowok itu yang
udah jelas mancing Aomine. Aomine memiringkan kepala,
salah satu alisnya naik sebelah, menyiratkan wajah yang
menantang.
Aomine yang nggak bersumbu pendek dan selalu laid-back
pun lama-lama hilang kesabaran. Tapi dia berusaha menekan
emosinya, bisa kamu liat dari tangannya yang mencengkram
paha kamu dengan erat.
Yang bikin kamu makin shocked adalah clapback dari Aomine
yang nggak terduga.
“Jelas cantik,” Aomine menyeringai dengan wajah yang
garang, “punya gua.”
Jantung kamu sampai berhenti berdetak, sebelum kembali
berdegup begitu kencang sampai darah merusuh ke wajah,
mendengar kalimat sederhana namun kaya akan nada imperial
khas Aomine.
Sebelum cowok asing sempat itu bersuara lagi, untungnya
cowok kasir pun memanggil, “atas nama Aomine Daiki-san!”
Dengan cepat, kamu bangkit dari pangkuan Aomine dan
menarik cowok kamu buat pergi menjauh dari sana untuk
mengambil pesanan kalian tadi.
Mendengar nama Aomine diteriakkan dengan cukup keras,
otomatis semua perhatian orang di sana tertuju ke arah kalian
berdua. Bisikan dari segala arah mulai terdengar.

“Aomine Daiki?!”
“Yang pemain basket NBA itu?”
“Wah, beneran Aomine yang asli.”
Dan lontaran kalimat lain yang nggak bisa kamu tangkap
karena setelah mengambil pesanan, kamu buru-buru keluar
dari tempat coffee shop tersebut.
Setelah memasuki mobil, Aomine sama sekali nggak
menunjukkan rasa bersalah, wajahnya kembali ke mode boring
seperti nggak ada hal yang terjadi. Tapi kamu tau kalau dia
sadar kamu bakalan mengomel.
“Biar apa sih kayak gitu,” cetus kamu sambil melirik tajam ke
arah Aomine yang lagi fokus parkir paralel, “lo ngerasa
superior?”
Aomine mendengus sombong, “iya lah.”
Kamu memutar mata jengah, “dia tadi cuma ngeliatin gue,
kak. Gak perlu sampe segitunya. Baku hantam kali lo ya kalo
sampe dia nyapa.”
Cowok kamu masih gak mau kalah dengan sikap protektifnya.
“Ya liat ke mana kek, liatin apa gitu, banner. Gak usah liatin
cewek gua.”
Lagi. Mendengar kalimat klaim itu, rasanya dada kamu
berdebar mau meledak. Kamu berusaha mati-matian buat
nggak senyum kesenangan.
“Tsk,” decak kamu jengkel, “keren lo begitu? Hah?”
Mendengar kamu yang masih kesal, Aomine mengerjapkan
mata polos, melirik ke arah kanu yang melayangkan lirikan
tajam. Tanpa menduga reaksi kamu selanjutnya.
“Keren lah!” Seru kamu tersenyum puas. “Cowok gue.”
Aomine agak tersentak untuk sepersetengah detik, lalu
kemudian tertawa dengan suara rendahnya. “A pretty doll with
a smart mouth, ain’t ya?”
“Nah. I’m your pretty doll with a smart mouth.” Kamu
mengoreksi.
End Notes

hi i’m new here, the same writer on wattpad; itsrexann. i


hope u enjoy this and i’m sorry for my broken english or
any typos. i post this on my phone so i’ll just edit it later
haha. love yall <3

Please drop by the archive and comment to let the author know
if you enjoyed their work!

Anda mungkin juga menyukai