Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENANGANAN KEGAWAT DARURATAN PADA KEHAMILAN DENGAN


INFEKSI DAN PENYAKIT MENULAR SEKSUAL (PMS)

Disusun Oleh : Kelompok 7 Banda Aceh

Agustini : 1520121076
Herlita : 1520121012
Nurhasanah : 1520121068
Putri Rahmah : 1520121081
Ravika : 1520121031
Nurlaila : 1520121075
Vivi Amelia : 1520121037

Dosen Pembimbing
Afriana, SST, M.KM

PRODI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA


STIKes MUHAMMADIYAH ACEH
TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam
ciptaan-Nya. Shalawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah
Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
yang sempurna. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengatahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bias
pembaca mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

BandaAceh

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR............................................................................. 2

DAFTAR ISI........................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang........................................................................... 4
B. Tujuan ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Kehamilan Dengan Infeksi........................................................ 5


A. Kehamilan Dengan Infeksi Rubella.................................... 5
B. Kehamilan Dengan Infeksi Hepatitis.................................. 7
II. Kehamilan Dengan PMS........................................................... 12
A. Kehamilan Dengan Gonorhoe............................................... 12
B. Kehamilan Dengan Syphilis.................................................. 14
C. Kehamilan Dengan HIV/AIDS............................................. 18
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 25
B. Saran ......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi dapat terjadi pada semua orang, termasuk pada ibu hamil.
Sebagian infeksi pada ibu hamil dapat ditularkan atau ditransmisikan secara vertikal
(menyebar dari ibu ke janin dalam kandungan). Janin yang terinfeksi pada akhirnya
dapat mengalami keguguran, keluar sebelum waktunya, hingga mengalami cacat bawaan.
Beberapa virus yang dapat ditularkan dari ibu ke janin antara lain adalah rubella,
hepatitis, gonorhoe, HIV/AIDS.
Beberapa akibat infeksi maternal berlangsung seumur hidup, seperti infertilitas dan
sierilitas. Kondisi – kondisi lain, seperti infeksi yang didapat secara kongenital,
seringkali mempengaruhi lama dan kualitas hidup. Kehamilan dianggap sebagai kondisi
immunosupresi. Perubahan respon imun dalam kehamilan dapat menurunkan
kemampuan ibu melawan infeksi. Selain itu, perubahan traktus pada genetalia juga dapat
mempengaruhi kerentanan terhadap suatu infeksi. Infeksi maternal disebabkan karena
berbagai virus dan bakteri yang menginvasi baik secara endogen maupun secara eksogen.

B. TUJUAN
a) Tujuan umum
Dapat mengetahui berbagai macam infeksi maternal dan mengetahui
penanganan sesuai jenis infeksi pada ibu hamil.

b) Tujuan khusus
1. Mampu melaksanakan pengkajian, mengumpulkan data dengan cara
Anamnesa dan Observasi
2. Mampu menegakan diagnosis mengkaji masalah dan kebutuhan berdasarkan
interprestasi data yang telah dikumpulkan
3. Mampu mengidentifikasi adanya masalah potensial serta mengindentifikasi
perlunya tindakan segera, kolaborasi dan rujukan serta membuat rencana
asuhan kebidanan dan evaluasi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Kehamilan Dengan Infeksi


A. Kehamilan Dengan Infeksi Rubella
Rubella atau sering disebut dengan campak Jerman, merupakan infeksi virus
akut yang sangat menular. Virus ini menyebar dalam bentuk droplet di udara dari orang
yang terinfeksi melalui batuk atau bersin. Penyakit ini biasanya disertai ruam yang
umumnya ringan bila menyerang anak–anak maupun dewasa, namun bila terjadi pada
ibu hamil yang tidak memiliki kekebalan terhadap rubella dapat menyebabkan
keguguran, kematian janin dan cacat bawaan lahir. Kelainan tersebut terjadi bila infeksi
virus rubella terjadi pada trimester 1 kehamilan. Usia kehamilan saat terinfeksi
merupakan faktor resiko yang paling penting dihubungkan dengan terjadinya kecacatan
janin. Risiko terjadinya kecacatan janin yang terinfeksi rubella akan lebih tinggi pada
usia gestasi 11-12 minggu pertama, dan menurun seiring dengan bertambahnya usia
kehamilan. Sebagian besar wanita usia subur kebal terhadap rubella, baik melalui
vaksinasi atau penyakit sebelumnya, namun 2 dar 10 dianggap rentan. Pencegahan
infeksi rubela maternal dan efek pada janin adalah fokus utama program imunisasi
rubela (ACOG, 1992c). Vaksinasi ibu hamil dikontraindikasikan karena infeksi rubela
bisa terjadi setelah vaksin diberikan. Sebagai bagian dari konseling prakonsepsi atau
masa nifas, vaksin rubela diberikan kepada ibu yang tidak imun terhadap rubela dan
mereka dianjurkan memakai kontrasepsi selama minimal tiga bulan setelah vaksinasi.

1. Resiko rubella pada kehamilan


- Ruam, demam, kelenjar limfe di subokspital dapat membengkak, fotofobis
- Artritis atau ensefalitis kadang juga terjadi
- Abortus sepontan
- Risiko sindrom rubella bawaan tertinggi (hingga 90%) saat paparan adalah
antara 11 dan 20 minggu kehamilan.

2. Resiko rubella pada janin:


- Insiden anomali konginetal: bulan pertama 50%, bulan kedua 25%, bulan
ketiga 10%, bulan keempat 4%

5
- Sekitar 25 persen neonatus yang ibunya terkena rubella selama trimester
pertama dilahirkan dengan satu atau lebih cacat lahir - kebutaan, katarak,
gangguan pendengaran, cacat jantung, retardasi mental, gangguan gerak, dan
pengembangan diabetes selama masa kanak-kanak atau lambat.
- Pemaparan pada dua bulan pertama: malformasi jantung, mata, telinga, atau
otak
- Pemaparan setelah bulan keempat: infeksi sistemik, hepatosplenomegali,
retardasi pertumbuhan intrauterin, ruam
- Pada usia 15 sampai 20 tahun anak bisa mengalami kemunduran intelektual
dan perkembangan atau bisa menderita epilepsi
- Beberapa bayi yang terinfeksi memiliki masalah kesehatan jangka pendek
seperti diare, BBLR, masalah makan, pneumonia, meningitis, anemia, bintik-
bintik merah-ungu pada wajah dan tubuh dan pembesaran limpa dan hati.

3. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-
Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum
memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG
dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan <
18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan. Selain itu dapat dengan tes ELISA,
HAI, Pasif HA atau tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella yang
mengindikasikan infeksi rubella telah terjadi.

4. Penatalaksanaan
a. Pada Ibu - Analgesik ringan, istirahat dan dukungan.
b. Neonatal - Tidak ada pengobatan khusus untuk pengobatan rubella bawaan.
Mata atau cacat jantung dapat dikoreksi atau diperbaiki dengan pembedahan.

Pendidikan Kesehatan

a. Vaksinasi wanita non-imun sebelum kehamilan adalah pencegahan terbaik.


b. Rubella dan MMR (campak, gondok, rubella) vaksin tidak dianjurkan selama
kehamilan. Seorang wanita harus menunggu 28 hari setelah vaksinasi untuk

6
hamil (meskipun risiko kehamilan yang tidak disengaja selama ini sangat kecil).
Ibu menyusui dapat divaksinasi.
c. Wanita hamil yang tidak kebal untuk rubella harus menghindari kontak dengan
orang yang terinfeksi rubella atau gejala rubella.

B. Kehamilan Dengan Hepatitis


Hepatitis berasal dari bahasa Yunani kuno “hepar”, dengan akar kata “hepat” yang
berarti hati (liver), dan akhiran –itis yang berarti peradangan, sehingga dapat diartikan
peradangan hati. Hepatitis adalah istilah umum yang berarti peradangan sel-sel hati, yang
bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat
tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimmune. Hepatitis
dapat disebabkan oleh berbagai macam virus seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B
(HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV) dan hepatitis E (HEV). Penyakit hepatitis
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia
merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B terbesar kedua di negara South
East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar. Jika tidak tertangani dengan baik,
hepatitis saat hamil bisa menyebabkan penyakit parah, kerusakan hati, bahkan
kematian. Ibu juga bisa menyebarkan virus ke bayinya. Hepatitis B dan C adalah
jenis hepatitis yang paling umum terjadi selama kehamilan. Hepatitis B adalah
bentuk hepatitis yang paling sering ditularkan dari ibu ke bayi di seluruh dunia,
dengan peningkatan risiko yang lebih besar jika di negara berkembang. Sekitar
90% wanita hamil dengan infeksi hepatitis B akut akan “mewarisi” virus tersebut
ke bayi mereka. Sekitar 10-20% wanita dengan infeksi hepatitis B kronis akan
menularkannya. Sekitar 4% ibu hamil yang terinfeksi virus hepatitis C akan
menyebarkannya ke bayi mereka. Risiko penyebaran penyakit dari ibu ke anak
juga terkait dengan seberapa banyak jumlah virus (viral load) dalam tubuh ibu
dan apakah dia juga terinfeksi oleh HIV.
Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis virus adalah sama dengan
wanita tidak hamil pada usia yang sama. Di negara sedang berkembang, wanita hamil
lebih mudah terkena hepatitis virus. Hal ini erat hubungannya dengan keadaan nutrisi
dan higiene sanitasi yang kurang baik. Hepatitis virus dapat timbul pada ketiga trimester
kehamilan dengan angka kejadian yang sama. Menurut sebuah penelitian, 9.5 persen
hepatitis virus terjadi pada trimester I, 32 persen terjadi pada trimester II, dan 58.5 persen
terjadi pada trimester III.

7
Hepatitis B dan C menyebar melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi —
misal cairan vagina atau air mani yang di dapatkan dari hubungan seks tanpa
kondom dengan orang yang terinfeksi, atau ditusuk dengan jarum bekas pakai
yang digunakan oleh seseorang yang terinfeksi, baik jarum suntik narkoba, jarum
tato, maupun jarum suntik medis yang tidak steril. Akan tetapi risiko terkena
hepatitis C melalui hubungan seks tergolong rendah jika hanya memiliki satu
pasangan untuk waktu yang lama.

1) Gejala Hepatitis
Gejala hepatitis termasuk mual dan muntah, selalu merasa lelah,
kehilangan nafsu makan, demam, sakit perut (terutama di sisi kanan atas,
lokasi hati berada), sakit pada otot dan persendian, serta jaundice atau
penyakit kuning dan bagian putih mata yang menguning. Masalahnya adalah,
gejala bisa mungkin tidak muncul selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun
setelah infeksi, atau ada kemungkinan tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Bila hepatitis terjadi pada trimester I atau permulaan trimeseter II maka gejala-
gejala nya akan sama dengan gejala hepatitis pada wanita tidak hamil. Meskipun
gejala-gejala yang timbul relatip lebih ringan dibanding dengan gejala-gejala yang
timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit.
Hepatitis terjadi pada trimester III menimbulkan gejala-gejala yang lebih berat dan
penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah acute
hepatic necrosis sering terjadi, dengan menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat
tinggi. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipo tropik disertai kebutuhan janin
yang meningkat akan nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh dalam acute
hepatic necrosis. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognose.
Berat ringan gejala hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi
Ibu hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah pula meningkatnya
kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin, menyebabkan infeksi hepatitis pada
kehamilan memberi gejala-gejala yang jauh lebih berat. Pada wanita hamil, secara
fisiologik terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan
ke-naikan faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga
pada kehamilan mudah terjadiDIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation).

8
2) Cara penularan hepatitis pada janin
Penularan virus ini pada janin terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
 Melewati placenta
 Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
 Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
 Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
 Baik virus A maupun virus B dapat menembus placenta, sehingga terjadi
hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada
periode neonatal. Jenis virus yang lebih banyak dilaporkan dapat menembus
placenta, ialah virus type B.
Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus placenta ialah
ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin barulahir.
Selain itu telah dilakukan pula autopsy pada janin-janin yang mati pada periode
neonatal akibat infeksi hepatitisvirus. Hasil autopsy menunjukkan adanya perubahan-
perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatubentuk cirrhosis.
Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, mungkin terjadi bila infeksi sudah
mulai terjadi sejak janin dalam rahim. Kelainan yang ditemukan pada hepar janin,
lebih banyak terpusat pada lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus
hepatitis dari Ibu ke janin dapat terjadi secarahematogen.Angka kejadian penularan
virus hepatitis dari Ibu ke janin atau bayinya, tergantung dari tenggang waktu antara
timbulnya infeksi pada Ibu dengan saat persalinan. Ibu hamil yang menderita hepatitis
B dengan gejala-gejala klinik yang jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya
jauh lebih besar dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yang hanya merupakan carrier
tanpa gejala klinik.

Ibu hamil yang mengalami hepatitis B, dengan gejala yang jelas, 48% dari
bayinya terjangkit hepatitis, sedang pada Ibu-lbu hamil yang hanya sebagai carrier
Hepatitis Virus B antigen, hanya 5% dari bayinya mengalami virus B antigenemia.
Meskipun hepatitis virus, belum jelas pengaruhnya terhadap kelangsungan kehamilan,
namun dilaporkan bahwa kelahiran prematur terjadi pada 66% kehamilan yang
disertai hepatitisvirus B. Adanya icterus pada Ibu hamil tidak akan menimbulkan
kern-icterus pada janin. Kem icterus terjadi akibat adanya unconjugated bilirubin
yang melewati placenta dari Ibu-Ibu hamil yang mengalami hemolitik jaundice. Bila
penularan hepatitis virus pada janin terjadi pada waktu persalinan maka gejala-

9
gejalanya baru akan nampak dua sampai tiga bulan kemudian. Sampai sekarang
belum dapat dibuktikan, bahwa hepatitis pada Ibu hamil dapat menimbulkan kelainan
kongenital janinnya. Pada pemeriksaan placenta, dari kehamilan yang disertai
hepatitis, tidak dijumpai perubahan-perubahan yang menyolok, hanya ditemukan
bercak-bercak bilirubin. Bila terjadi penularan virus B in utero, maka keadaan ini
tidak memberikan kekebalan pada janin dengan kehamilan berikutnya

3) Resiko hepatitis dalam kehamilan


Hepatitis A :
a. Abortus penyebab gagal hati selama kehamilan
b. Demam, malaise, mual, dan rasa tidak nyaman di abdomen
c. Persalinan prematur, sirosis dan kanker hati.

Hepatitis B :
Ditransmisi melalui hubungan seksual, gejalanya adalah demam, ruam, artralgia,
penurunan nafsu makan, dispepsia, nyeri abdomen, sakit diseluruh badan, malaise,
lemah, ikterik, nyeri tekan dan pembesaran hati.
4) Resiko hepatitis pada janin
Hepatitis A
Pemaparan selama trimester pertama : anomali janin, hepatitis janin atau neonatus,
kelahiran prematur, kematian janin di dalam rahim
Hepatitis B :
a. Infeksi terjadi pada waktu lahir
b. kelainan anatomi dan fungsi tubuh bayi
c. Vaksinasi maternal selama masa hamil harus tidak menimbulkan resiko
pada janin, namun tidak ada data yang tersedia.
d. Bayi yang terinfeksi pada saat lahir memiliki kesempatan 90 % menjadi
kronis terinfeksi .

5) Pemeriksaan
a. Temuan fisik - Low-grade demam, mual , anoreksia , sakit kuning , hepatomegali , dan
malaise .
b. Temuan Diagnostik - + HbsAg , HbeAg + ( 7-14 hari setelah paparan )

10
6) Penatalaksanaan
a. Pada Ibu - Ibu hamil yang terpapar HBV harus menerima vaksin dan HBIG.
Wanita hamil yang sudah terinfeksi harus makan dengan baik, mendapatkan
istirahat yang cukup, menghindari stres dan menghindari alkohol. Alpha
interferon dan lamivudine tidak dianjurkan selama kehamilan.
b. Pada Neonatal - Bayi perempuan yang terinfeksi harus menerima vaksin HBV
dan HBIG .

Pendidikan kesehatan

a. Hepatitis B vaksinasi adalah pencegahan terbaik .


b. Penggunaan yang tepat dan konsisten kondom lateks dapat mencegah
penularan seksual .
c. Jangan menggunakan obat-obatan IV dan Jangan pernah berbagi jarum, jarum
suntik , air.
d. Jangan berbagi barang pribadi yang mungkin memiliki resiko kontak dengan
darah penderita - pisau cukur , sikat gigi .
e. Mempertimbangkan risiko sebelum melakukan tato atau tindik.
f. Petugas kesehatan harus menggunakan BSP dan penanganan yang aman dari
benda tajam.

Pengobatan infeksi hepatitis virus pada kehamilan tidak berbeda dengan wanita
tidak hamil. Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai gejala icterus hilang dan
bilirubin dalam serum menjadi normal. Makanan diberikan dengan sedikit mengandung
lemak tetapi tinggi protein dan karbohydrat. Pemakaian obat-obatan hepatotoxic
hendaknya dihindari.Kortison baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingat pada
hepatitis virus yang aktip dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi perdarahan
post-partum, karena menurun-nya kadar vitamin K. Janin baru lahir hendaknya tetap
diikuti sampai periode post natal dengan dilakukan pemeriksaan trans aminase serum
dan pemeriksaan hepatitis virus anti gen secara periodik. Janin baru lahir tidak perlu
diberi pengobatan khusus bila tidak mengalami penyulit-penyulit lain.

7) Pencegahan
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan penderita hepatitis
virus A hendaknya diberi immuno globulinsejumlah 0,1 cc/kg. berat badan. Gamma
globulin ternyatatidak efektif untuk mencegah hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil

11
hendaknya dipertahankan seoptimal mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah
penularan hepatitis virus. Untuk kehamilan berikutnya hendaknya diberi jarak
sekurang-kurangnya enam bulan setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan
tersebut semua gejala dan pemeriksaan laborato-rium telah kembali normal. Setelah
persalinan, pada penderita hendaknya tetap dilakukan pemeriksaan laboratorium
dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan kemudian.

II. Kehamilan Dengan PMS


A. Kehamilan Dengan Gonorhoe
Gonorhoe adalah penyakit menular serupa dengan klamidia, ditularkan
melalui hubungan seks vaginal, oral atau anal. Penyakit ini juga telah berhasil diobati
dengan antibiotika, namun gonore yang tidak segera diobati dapat menyebabkan nyeri
panggul, keputihan dan penyakit radang panggul. Pada penderita penyebabnya adanya
kuman Neisseria Gonorrhoeae. Bakteri tersebut dapat hidup dan berkembang di
saluran reproduksi yang hangat dan lembap, seperti leher rahim, rahim, dan tuba
falopi atau saluran telur pada wanita. Selain organ reproduksi, bakteri N.
gonorrhoeae juga bisa berkembang di uretra atau saluran kemih, mulut, tenggorokan,
dan anus. Pada penderita perempuan terkadang sering tanpa adanya gejala atau
gejalanya sulit dilihat, terkadang ada nyeri di bagian perut bawah, kadang disertai
keputihan dengan bau yang menyengat, alat kelamin terasa sakit atau gatal, adanya
rasa sakit atau panas pada waktu buang air dan pendarahan setelah melakukan
hubungan seks. Akan tetapi Gonore (GO) sering datang tanpa keluhan atau gejala
apapun pada perempuan. Pada penderita laki‐laki adanya gejala timbul pada waktu
satu minggu, rasa sakit pada saat buang air atau ereksi, keluar nanah dari saluran
kencing utamanya pada pagi hari. Sering tanpa gejala pada stadium dini.

a. Bahaya Gonore pada Kehamilan


Pada kebanyakan kasus, gonore tidak menimbulkan gejala sehingga ibu hamil
sering kali tidak menyadari dirinya telah terinfeksi penyakit ini. Kalaupun ada,
gejalanya bisa menyerupai keluhan yang biasa muncul dalam kehamilan,
seperti keputihan, perdarahan, atau muncul bercak darah. Jika tidak segera ditangani,
gonore pada ibu hamil bisa menyebabkan berbagai komplikasi kehamilan, seperti:
 Keguguran

12
 Radang panggul
 Endometritis (peradangan pada dinding rahim)
 Persalinan prematur
 Infeksi ketuban atau korionamnionitis
 Ketuban pecah dini
 Kehamilan ektopik atau kehamilan di luar rahim
Selain itu, infeksi gonore yang tidak ditangani dengan baik bisa membuat ibu
hamil lebih rentan terkena infeksi menular seksual dan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi rahim setelah melahirkan.

b. Bahaya Gonore pada Bayi Baru Lahir


Wanita yang sedang hamil dan menderita gonore dapat menularkan infeksi
pada bayinya selama persalinan. Hal ini dapat terjadi ketika bayi bersentuhan dengan
cairan dari vagina ibu. Gejala penyakit gonore pada bayi yang terinfeksi biasanya
muncul 2–5 hari setelah persalinan. Bayi yang terinfeksi gonore dapat mengalami
kondisi berupa berat badan lahir rendah dan infeksi mata. Jika tidak diobati, gonore
pada bayi dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, infeksi juga dapat menyebar ke
organ tubuh lain sehingga mengakibatkan infeksi pada darah, sendi, serta cairan yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang atau meningitis.
c. Diagnosis Gonore
Untuk mendeteksi bakteri gonore di dalam tubuh pengidap, dokter akan
menganalisis sampel sel. Sampel tersebut bisa didapati dari:
 Tes Urine. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteri di
uretra pengidap.
 Tes Darah. Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah infeksi sudah
menyebar ke dalam darah.
 Untuk wanita, sekarang ini sudah terdapat alat tes untuk gonore yang bisa
dilakukan di rumah. Alat tes rumah tersebut untuk mengambil sampel di
vagina untuk dikirim ke lab khusus untuk pengujian.
d. Penanganan Gonore
Setelah hasil tes menunjukkan positif terdapat infeksi gonore, dokter biasanya
akan memberikan suntikan antibiotik dan obat oral pada pengidap dan pasangannya.
Pengidap juga dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual dulu untuk

13
sementara sampai perawatan selesai. Hal ini karena masih ada risiko terjadinya
komplikasi atau penyebaran infeksi. Selain itu, dokter juga akan menyarankan
pengidap untuk kembali melakukan pemeriksaan setelah satu sampai dua minggu
untuk memastikan bakteri gonore telah hilang sepenuhnya.
Selain itu, Ibu hamil yang terinfeksi gonore atau penyakit menular seksual
lainnya pada masa kehamilan dianjurkan untuk melakukan tes. Tes dilakukan saat
pemeriksaan kehamilan pertama dan saat trimester akhir kehamilan. Tak hanya ibu
hamil, pasangannya pun juga dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan. Gonore dapat
diobati dengan antibiotik yang aman dikonsumsi selama kehamilan. Selain itu, suami-
istri yang sedang menjalani pengobatan tidak boleh melakukan hubungan seksual
sampai pengobatan gonore benar-benar selesai dan keduanya dinyatakan sembuh.
Bayi yang lahir dari ibu penderita gonore juga perlu segera diobati untuk mencegah
perburukan kondisi. Pengobatan umumnya dilakukan dengan pemberian antibiotik
kepada bayi yang terinfeksi.
Untuk mencegah gonore datang kembali, sebaiknya terapkan seks yang aman
dan setia pada satu pasangan (tidak bergonti-ganti pasangan), tidak melakukan
hubungan seksual di luar nikah, dan gunakan kondom jika melakukan hubungan seks.

B. Kehamilan Dengan Syiphilis


Sifilis atau dikenal dengan Raja Singa adalah penyakit menular yang
disebabkan kuman Treponema Pallidium. Gejala yang pertama kali muncul adalah
rasa sakit di daerah kontak seksual, timbul benjolan di sekitar alat kelamin, kadang‐
kadang disertai pusing‐pusing dan nyeri tulang seperti flu yang akan menghilang
dengan sendirinya tanpa diobati, terjadi bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6‐12
minggu setelah hubungan seks. Selama 2‐3 tahun pertama penyakit ini tidak
menunjukkan gejala apa‐apa. Setelah 5‐10 tahun penyakit ini akan menyerang
susunan syaraf otak, Pembuluh darah dan jantung. Pada perempuan hamil, penyakit
ini dapat menular pada bayi yang dikandungnya yang mengakibatkan kerusakan kulit,
hati, limpa dan keterbelakangan mental. Pada dasarnya, infeksi ini akan mulai
menunjukkan gejala setelah tiga minggu bakteri memasuki tubuh.

a) Tahap Infeksi Sifilis


Ada 4 tahap infeksi sifilis dan menunjukkan gejala yang berbeda-beda.

14
1. Sifilis Primer
Pada tahap awal, gejala sifilis yang akan muncul adalah lesi atau luka pada organ
reproduksi, yaitu di sekitar mulut atau di dalam alat kelamin.  Luka yang muncul
mungkin akan terlihat seperti bekas gigitan serangga, tetapi tidak menimbulkan
rasa sakit. Hal ini yang menyebabkan gejala awal ini sering tidak disadari, sebab
luka ini biasanya hanya bertahan sekitar 1–2 bulan kemudian hilang tanpa bekas.
2. Sifilis Sekunder
Memasuki tahap ini, pengidap sifilis akan mulai menunjukkan gejala berupa ruam
merah kecil yang biasa muncul pada telapak kaki dan telapak tangan. Selain ruam,
biasanya ada gejala lain yang juga akan menyertai. Mulai dari demam, nafsu
makan menurun, radang tenggorokan, dan munculnya kutil kelamin.
3. Sifilis Laten
Luka akibat infeksi mungkin akan terlihat sembuh dan tidak meninggalkan bekas,
padahal itu malah menjadi tanda bahwa sifilis sudah memasuki tahap yang lebih
lanjut, yaitu sifilis laten. Setelah luka menghilang, biasanya terjadi selama dua
tahun, penyakit ini malah akan masuk ke tahap selanjutnya yang paling berbahaya,
yaitu sifilis tersier.
4. Sifilis Tersier
Jika tidak diobati dengan tepat, sifilis bisa berkembang dan memasuki tahap yang
paling berbahaya, yaitu sifilis tersier. Setelah memasuki tahap ini, sifilis sangat
mungkin memberi dampak yang berbahaya bagi tubuh. Mulai dari kelumpuhan,
kebutaan, demensia, hingga masalah pendengaran bahkan kematian.

b) Gejala Pada Sifilis Kongenital

Sifilis kongenital adalah suatu infeksi serius yang dapat berdampak kecacatan
seumur hidup dan mematikan pada bayi baru lahir. Ibu hamil yang terinfeksi
Treponema pallidum dapat menularkan bakteri tersebut ke janin melalui plasenta
ke dalam tubuh janin. Sifilis kongenital adalah infeksi yang mengancam jiwa
karena dapat menyerang berbagai sistem organ di dalam tubuh sang janin yang
sedang berkembang. Infeksi sifilis dapat berdampak ke berbagai organ tubuh
termasuk otak, sistem limfatik hingga tulang. Risiko penularan bisa dikurangi jika
wanita tersebut sudah mendapat pengobatan sifilis sebelum usia kehamilan
mencapai 4 bulan. Untuk itu, sangat penting mengenali gejala dan rutin melakukan

15
pemeriksaan kesehatan selama hamil. Ibu hamil sangat mungkin menularkan
infeksi pada sang janin, terutama jika penyakit ini tidak ditangani dan terjadi pada
trimester kedua. Infeksi ini juga dapat meningkatkan risiko berat badan lahir
rendah, lahir prematur, keguguran, ataupun lahir mati.

Jika bayi lahir dengan kongenital sifilis dalam keadaan hidup, biasanya tidak
memiliki gejala apa pun. Akan tetapi, masih ada kemungkinan munculnya ruam
pada telapak tangan dan telapak kaki bayi. Seiring bertambahnya usia, gejala yang
dimiliki anak yang lahir dengan sifilis mungkin akan berkembang menjadi masalah
pendengaran, deformasi gigi, hingga pertumbuhan tulang yang abnormal.

c) Gejala yang dialami oleh bayi


Pada awalnya, bayi yang lahir hidup dari ibu yang sifilis mungkin tampak sehat
dan baik-baik saja. Namun seiring berjalannya waktu beberapa gejala dapat timbul.
Biasanya bayi di bawah 2 tahun yang mengalami sifilis kongenital akan
mengalami:
 Gangguan tulang
 Pembesaran liver
 Tidak mengalami pertambahan berat badan secara signifikan dibanding berat
saat baru lahir
 Sering rewel
 Meningitis
 Anemia
 Kulit pecah di sekitar mulut, genital dan anus
 Nampak ruam pada kulit
 Tidak dapat menggerakan lengan dan kaki
 Sering keluar cairan dari hidung

d) Deteksi Dini Sifilis Pada Ibu Hamil


Deteksi penyakit sedini mungkin pada ibu hamil dapat dilakukan dengan
melakukan berbagai pemeriksaan darah seperti Fluorescent treponemal antibody
absorbed test (FTA-ABS), Rapid plasma reagin (RPR) dan Venereal disease
research laboratory test (VDRL). Deteksi dan penanganan sedini mungkin akan
sangat bermanfaat untuk mencegah penularan ke janin.

16
Pada bayi baru lahir, jika dicurigai adanya infeksi sifilis, pemeriksaan plasenta
dapat dilakukan disertai dengan pemeriksaan fisik bayi terhadap adanya gejala
pada organ tubuh. Pemeriksaan fisik bayi mencakup:
 Sinar-x pada tulang
 Pemeriksaan mata
 Pemeriksaan mikroskopis terhadap bakteri sifilis
 Tes darah (sama seperti pada ibu hamil)
e) Penanganan Sifilis
Pada ibu hamil, penanganan hanya akan efektif jika infeksi sifilis terjadi pada fase
awal dengan pemberian antibiotik spesifik penisilin oleh dokter. Benzatin penisilin G
merupakan pilihan terapi terbaik selama kehamilan, dan tetap menjadi satu-satunya
pengobatan yang direkomendasikan untuk sifilis pada kehamilan dan pencegahan sifilis
kongenital. Penanganan sifilis fase lanjut akan sangat berbahaya bagi janin sehingga dapat
menimbulkan reaksi aborsi spontan. Jika bayi telah dilahirkan, penanganan infeksi juga
menggunakan antibiotik spesifik oleh dokter sedini mungkin pada 7 hari pertama setelah
dilahirkan. Regimen pemberian obat antibiotik juga akan bergantung pada kondisi berat
badan bayi serta riwayat infeksi dan pengobatan dari ibu hamil. Gejala akhir pada bayi usia
lanjut hingga anak-anak pemberian obat antibiotik kemungkinan juga masih diperlukan
dengan pengurangan dosis antibiotik secara bertahap dan juga disertai dengan pengobatan
spesifik pada organ tubuh lainnya yang mungkin terkena dampak infeksi seperti mata dan
telinga.
f) Pencegahan
Infeksi sifilis kongenital sangat bergantung pada kondisi dan riwayat infeksi ibu
hamil. Menerapkan perilaku seksual yang aman sebelum masa konsepsi dapat
menghindarkan diri dari infeksi dan risiko untuk menularkan sifilis. Jika merasa berisiko
mengalami infeksi sifilis segera periksakan ke dokter. Penanganan sedini mungkin dapat
menghindarkan infeksi sifilis pada fase lanjut. Pemeriksaan pada ibu hamil juga harus
dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama kehamilan. Pemeriksaan juga harus
dilakukan kembali jika ibu hamil terdiagnosis oleh penyakit menular seksual lainnya selama
masa kehamilan. Peluang untuk sembuh bagi ibu dan bayi terhindar dari infeksi sangat besar
jika sifilis terdeteksi dan diobati sejak dini. Dalam beberapa kasus, sifilis yang ditangani saat
masa akhir kehamilan dapat menghilangkan infeksi pada ibu hamil namun gejala infeksi
sifilis tetap dapat terlihat pada bayi baru lahir.

17
C. Kehamilan Dengan HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyakit menular seksual
yang merusak sistem kekebalan tubuh, sehinnga tubuh kehilangan kemampuan untuk
melawan inveksi. HIV menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
atau kumpulan berbagai penyakit yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
akibat HIV, yang saat ini belum ada obat yang benar‐benar dapat menyembuhkan.

1. Gejala HIV pada Ibu Hamil atau Wanita


Ibu hamil atau wanita yang terinfeksi virus HIV biasanya akan mengalami
beberapa keluhan masalah kesehatan. Pada wanita, gangguan reproduksi akibat virus
ini dapat terjadi seperti gangguan siklus haid, infeksi radang panggul bahkan
kemungkinan terkenanya kanker serviks.

Berikut ini adalah tahapan HIV pada ibu hamil atau wanita, yaitu

 Pertama, Orang yang terinfeksi virus HIV akan mengalami sakit mirip seperti flu,
beberapa minggu setelah terinfeksi, selama satu hingga dua bulan. Kemudian, setelah
kondisi tersebut, HIV dapat tidak menimbulkan gejala apa pun selama beberapa
tahun. Fase ini disebut sebagai serokonversi. Penderita sudah terjangkit inveksi, tetapi
ciri‐ciri terinveksi belum terlihat, meskipun penderita melakukan tes darah. Pada fase
ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Biasanya fase ini berlansung sekitar 1-6
bulan dari waktu penderita terjangkit. Gejala HIV yang paling umum terjadi adalah:

 Demam
 Tenggorokan sakit
 Muncul ruam
 Pembengkakan noda limfa
 Diare
 Kelelahan
 Nyeri otot dan sendi

Namun, gejala HIV di atas bisa saja merupakan gejala dari penyakit lain.
Untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak, harus dilakukan tes
HIV. Semakin cepat kondisi diketahui, maka tingkat keberhasilan pengobatan akan
semakin tinggi.

18
 Kedua, berlangsung lebih lama, yaitu sekitar 2‐10 tahun setelah terinfeksi HIV.
Pada fase ini penderita sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit,
tetapi sudah dapat menularkan kepada orang lain.
 Ketiga, sudah muncul gejala‐gejala awal penyakit yang HIV, tetapi belum dapat
disebut sebagai gejala AIDS. Pada fase ini penderita mengalami seperti gejala
keringat yang berlebihan pada waktu malam hari, diare terus menerus,
pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh‐sembuh, nafsu makan
berkurang, kekebalan tubuh menurun. Tahap ini disebut juga sebagai tahap HIV
simtomatik. Apabila pengidap HIV tidak mendapat penanganan tepat, virus akan
melemahkan tubuh dengan cepat. Pada tahap ketiga ini, pengidap lebih mudah
terserang penyakit serius.
 Keempat, sudah memasuki fase AIDS, dan baru dapat didiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari Sel‐Tnya. Timbul penyakit tertentu
yang disebut dengan infeksi oportunistik, yaitu kanker khususnya sariawan, kanker
kulit (sarcoma kaposi), infeksi paru‐paru dan kesulitan bernafas, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu‐minggu dan infeksi otak yang menyebabkan
kekacauan mental dan sakit kepala.

2. Penyebab HIV pada Ibu Hamil


Ibu hamil bisa terserang HIV AIDS dan ini berbahaya bagi janin dalam
kandungannya. Penyebab HIV pada ibu hamil tak lain karena aktivitas hubungan
seksual yang tidak sehat sebelum masa kehamilan itu terjadi. Hal ini mungkin saja
terjadi saat ibu hamil tidak menyadari telah terinfeksi sebelumnya. Hubungan seks
baik vaginal, anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi dapat menjadi
penyebab HIV pada ibu hamil. Ini disebabkan oleh darah, air mani atau cairan
vagina yang terinfeksi masuk ke tubuh individu lain.Seperti diketahui, anus
merupakan salah satu bagian tubuh yang paling banyak mengandung
kuman. Sering ditemukan Oral candidiasis (jamur pada rongga mulut) karena
adanya hubungan seksual secara oral yang kurang higienis, ini meningkatkan risiko
menjadi penyebab HIV pada ibu hamil. Pekerja seks komersial harus
memperhatikan penyebab HIV ini agar kehamilan yang disertai dengan HIV AIDS
tidak terjadi. Tak cuma hubungan seksual, penyebab HIV pada ibu hamil bisa
terjadi karena penggunaan jarum suntik bergantian. Berbagi peralatan obat

19
intravena (jarum dan jarum suntik) yang terkontaminasi membuat seseorang
berisiko tinggi terhadap HIV dan penyakit menular lainnya, seperti hepatitis.
Bahkan dalam beberapa kasus, virus penyebab HIV pada Ibu hamil dapat
ditularkan melalui transfusi darah. Ini dipengaruhi oleh penggunaan alat transfusi
darah berulang atau tidak steril.
Penyebab HIV pada ibu hamil karena transfuse darah cukup jarang terjadi.
Pihak medis biasanya sudah memastikan bahwa darah yang akan ditransfusikan sehat
dan layak. Walaupun begitu, kesalahan dalam tindakan medis bisa saja terjadi dan hal
ini perlu diwaspadai. Penyebab HIV AIDS ini tentu harus diperhatikan lagi. Selain
hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya, penyebab HIV pada ibu hamil bisa karena
alat tato. Terutama bagi ibu hamil yang saat atau sebelum mengalami masa kehamilan
melakukan tato dengan alat yang tidak steril. Apabila jarum alat tato tersebut
digunakan bergantian, bukan tidak mungkin seseorang dapat tertular virus HIV dari
orang yang sebelumnya menggunakan alat tersebut.
Penyebab HIV pada ibu hamil pun bisa karena transplantasi organ yang
dijalaninya sebelum masa kehamilan terjadi. Hal ini mungkin saja terjadi, jika
pendonor memiliki riwayat terserang virus HIV dan mendonorkan organ tubuhnya.
Meski biasanya dilakukan pengecekan, namun tetap saja perlu kehati-hatian baik bagi
petugas medis maupun pasien untuk memastikan jika pendonor organ tidak terserang
HIV.
3. Penularan HIV dari ibu ke janin
Seorang ibu hamil yang dinyatakan positif HIV/AIDS dapat menularkan virus
tersebut pada bayinya selama kehamilan, persalinan, atau menyusui. HIV/AIDS
paling mudah ditularkan melalui darah. Sementara itu, janin dalam kandungan ibunya
mendapatkan asupan makanan dari darah melalui tali plasenta. Bayi atau janin dalam
kandungan makan lewat tali plasenta. Peristiwa ini menjadi tempat darah bertukar,
karena virus HIV/AIDS ada di dalam darah. Itulah proses penularan HIV/AID dari
ibu ke janin. Maka itu, ibu hamil yang terdeteksi positif HIV wajib meminum obat
antiretroviral (ARV). Cara ini sangat efektif untuk menekan jumlah virus dalam
darah, sehingga mengurangi risiko penularan. 

Pada dasarnya, risiko penularan HIV/AIDS dari ibu hamil yang positif
kemungkinannya sekitar 2-10 persen. Penularan dapat terjadi sejak masa awal
kehamilan, persalinan, hingga menyusui. Kebanyakan anak di bawah usia 10 tahun

20
yang tertular HIV dari ibunya, terjadi sejak dalam kandungan.  Itulah sebabnya, ibu
hamil yang positif HIV harus rutin melakukan pemeriksaan darah untuk membantu
ibu mendeteksi segala kemungkinan sedini mungkin. Tindakan ini sangat membantu
menentukan apa yang harus dilakukan untuk menekan risiko kemungkinan tertular
pada janin.  Untuk mengetahui proses penularan virus HIV dari ibu ke janin perlu
dilakukan pemeriksaan. Melalui serangkaian pemeriksaan, setidaknya dapat diketahui
kapan kemungkinan bayi mulai terinfeksi. Penularan dalam kandungan terjadi melalui
tali plasenta, saat terjadi pertukaran asupan makanan untuk janin. 

Selain dapat menular sejak dalam kandungan, biasanya seorang anak dapat
mengalami HIV saat peristiwa persalinan. Pada tahap ini, bayi dapat tertular darah
atau cairan milik ibu yang terinfeksi HIV. Umumnya cairan ini mungkin telah
terminum oleh bayi, sehingga virus yang terkandung di dalamnya mulai menginfeksi
tubuh bayi. Ibu yang positif terinfeksi HIV biasanya ditemukan virus pada cairan
yang keluar dari sekitar area organ intim. Di samping itu, sekitar 21 persen dari virus
itu juga ditemukan pada bayi yang dilahirkan. Hanya saja besarnya paparan pada
proses persalinan sangat dipengaruhi dengan beberapa faktor. Seperti kadar HIV pada
cairan vagina, cara persalinan, ulkus serviks, dan permukaan dinding vagina. Selain
itu, ada pula faktor infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, serta persalinan
prematur yang juga dapat memengaruhinya. 

Perlu diketahui juga bahwa penularan HIV juga dapat terjadi selama ibu
menyusui bayi. Proses penularan melalui air susu ibu (ASI) bahkan dapat meningkat
hingga dua kali lipat. Risiko penularan melalui ASI dapat mencapai 5 hingga 20
persen. HIV dapat terkandung dalam ASI dalam jumlah yang cukup banyak. Selain
melalui ASI, beberapa kondisi ketika menyusui juga bisa meningkatkan risiko
penularan HIV. Seperti terjadinya luka di sekitar puting susu, luka di mulut bayi,
hingga terganggunya fungsi kekebalan tubuh bayi. Risiko penularan HIV melalui ASI
dan proses menyusui terjadi pada 3 dari 100 anak per tahun. 

4. Penanganan HIV/AIDS dalam kehamilan


Pengobatan HIV secara umum dilakukan lewat terapi obat antiretroviral
(ART). Kombinasi obat ini dapat mengendalikan atau bahkan menurunkan jumlah
viral load HIV pada darah ibu hamil. Seiring waktu, kerutinan menjalani pengobatan
HIV dapat meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan infeksi. Patuh terhadap

21
terapi ART juga memungkinkan ibu hamil mencegah penularan infeksi HIV pada
bayi dan pasangannya. Beberapa obat anti-HIV telah dilaporkan dapat tersalurkan
dari ibu hamil ke bayi dalam kandungan melalui plasenta (juga disebut ari-ari). Obat
anti-HIV dalam tubuh bayi membantu melindunginya dari infeksi HIV. Selain itu,
wanita yang terinfeksi HIV disarankan untuk selalu menggunakan kondom saat
berhubungan seksual atau menunggu viral load (kadar virus HIV dalam darah)
berada pada status tidak terdeteksi sebagai syarat amannya kehamilan. Viral load
dapat ditekan jumlahnya jika wanita yang positif HIV mengonsumsi obat-obatan
ARV (anti retroviral). Kombinasi ARV yang tepat dan persalinan caesar terbukti
dapat menurunkan risiko transmisi HIV dari ibu ke anak dan dapat mencegah
komplikasi pada kehamilan secara signifikan. Jika tidak, rentan terjadi kelahiran
prematur, ketuban pecah dini, berat bayi lahir rendah, anemia, janin tidak
berkembang, kematian prenatal, dan endometriosis pasca persalinan. Apalagi,
berkembangnya virus HIV pada fase kedua tidak memiliki gejala apapun. 
ART yang terdiri dari kombinasi berbagai obat ini berfungsi untuk:
 Mencegah replikasi/penggandaan virus HIV
 Mencegah virus HIV masuk ke sel CD4, tempat pertahanan tubuh berada

 Mencegah virus HIV yang telah masuk sel CD4 untuk menyelesaikan proses
penggandaan sel.
Setiap ibu hamil dapat mengonsumsi lebih dari satu jenis obat. Beberapa obat-
obatan yang termasuk ARV adalah lamivudine (3TC), zidovudine (ZDV), 
nevirapine (NVP), indinavir, dan nelfinavir. Penggunaan obat akan disesuaikan
dengan usia kehamilan karena beberapa obat dapat menyebabkan cacat pada janin. 
Berdasarkan pedoman Depkes tahun 2005 dalam Seri Buku Kecil: HIV, Kehamilan,
dan Kesehatan Perempuan yang diterbitkan oleh Yayasan Spiritia, skema pengobatan
yang yang dapat dilakukan oleh ibu hamil adalah:
 Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sama sekali belum pernah berobat, harus
segera memulai ART meskipun kehamilan berada pada trimester pertama. 
 Mereka yang pernah melakukan ART sebelum hamil dapat meneruskan konsumsi
obat dengan konseling terlebih dahulu untuk mengetahui efek samping obat.
 Pada trimester pertama, ibu hamil sebaiknya menghindari evavirenz karena dapat
menyebabkan cacat pada janin. Ganti dengan nevirapine untuk sementara waktu.

22
 Dokter dapat menawarkan kombinasi ARV baru (jika sebelum hamil telah
memulai terapi) karena selain ada yang menyebabkan cacat janin, ada juga yang
efek sampingnya terlalu berat mengingat ibu hamil biasanya mengalami mual
muntah di awal kehamilan. 
 Pada minggu ke 28, ibu hamil dapat memulai terapi AZT yang efektif
mengurangi potensi bayi tertular HIV hingga di bawah 8%. 
 Jika ibu hamil baru mengetahui positif HIV di akhir masa kehamilan, obat yang
diberikan adalah AZT dan lamivudine pada minggu ke 36, dengan risiko terjadi
resisten terhadap obat karena tidak dipakai dalam satu rangkaian ART (biasanya
terdiri dari 3 jenis obat).
 Jika ibu hamil mengetahui dirinya terinfeksi sebelum persalinan, dapat digunakan
nevirapine saja meskipun ada risiko resistensi seperti poin sebelumnya.
Meskipun memiliki sejumlah efek samping, ART terbukti mampu mencegah
penularan HIV dari ibu ke bayi. Jadi, tetap disarankan untuk melakukan terapi anti
retroviral.

BAB III
PENUTUP

23
A. KESIMPULAN
Penyakit infeksi dapat terjadi pada semua orang, termasuk pada ibu hamil.
Sebagian infeksi pada ibu hamil dapat ditularkan atau ditransmisikan secara vertikal
(menyebar dari ibu ke janin dalam kandungan). Janin yang terinfeksi pada akhirnya
dapat mengalami keguguran, keluar sebelum waktunya, hingga mengalami cacat bawaan.
Beberapa virus yang dapat ditularkan dari ibu ke janin antara lain adalah rubella,
hepatitis, gonorhoe, HIV/AIDS.

B. SARAN
Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan, agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk
kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan
dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik , saran, dan
perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

24
https://health.grid.id/read/353058437/ketahui-12-penyakit-infeksi-pada-ibu-hamil-yang-dapat-
pengaruhi-janin?page=all

https://www.academia.edu/39719174/HEPATITIS_PADA_IBU_HAMIL

https://www.alodokter.com/komunitas/topic/gejala-go-ibu-hamil

https://www.halodoc.com/kesehatan/gonore

https://www.halodoc.com/artikel/bagaimana-ciriciri-sifilis-pada-ibu-hamil

https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/penyakit-pada-anak/sifilis-kongenital-pada-bayi/

http://news.unair.ac.id/2021/08/25/sifilis-sekunder-pada-kehamilan-pentingnya-skrining-dan-
penatalaksanaan-klinis/

https://spiritia.or.id/portal/index.php/informasi/detail/217

https://hellosehat.com/seks/hivaids/hiv-aids-pada-ibu-hamil/

https://skata.info/article/detail/546/pengobatan-hiv-saat-hamil

Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran
Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
Guyton, A.C dan Hall, J., E.Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. 2006
Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford
Universsity Press., 197-225.
Siregar, RS. 1991. Penyakit Jamur Kulit. Palembang: Lab Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNSRI/RSU Palembang.

Suprihatin, SD. 1982. Candida dan Kandidiasis pada Manusia.Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga. Jakarta
Manuaba, I.B.G dkk. 2003. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC
Bobak, dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Indah Tirtya. 2013. Kehamilan Dengan Penyakit Hepatitis. Makalah.
Pusparini Ajeng Defriyanti, Ayu Putu Ristyaning. 2017. Tatalakasana Persalinan pada
Kehamilan dengan Hepatitis B. J Medula Unila.

25

Anda mungkin juga menyukai