Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu penyebab gangguan perkembangan
motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit neuromuskular. Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan
perkembangan motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia.
Kelainan sumsum tulang belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik.
Penyakit neuromuscular sepeti muscular distrofi memperlihatkan keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Namun, tidak
selamanya gangguan perkembangan motorik selalu didasari adanya penyakit tersebut. Faktor lingkungan serta kepribadian
anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk
belajar seperti sering digendong atau diletakkan di baby walker dapat mengalami keterlambatan dalam mencapai kemampuan
motorik.
1. Ketidakmatangan Persarafan Kemampuan anak melakukan gerakan motorik sangat ditentukan oleh kematangan syaraf
yang mengatur gerakan tersebut. Pada waktu anak dilahirkan, syaraf-syaraf yang ada di pusat susunansyarat belum
berkembang dan berfungsi sesuai dengan fungsinya, yaitu mengontrol gerakan-gerakanmotorik. Pada usia ± 5 tahun syaraf-
syaraf ini sudah mencapai kematangan, dan menstimulasiberbagai kegiatan motorik. Otot-otot besar mengontrol gerakan
motorik kasar, seperti berjalan,berlari, melompat dan berlutut, berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan otot-otot
halusyang mengontrol kegiatan motorik halus, seperti menggunakan jari-jari tangan untuk menyusunpuzzel , memegang
pensil atau gunting membentuk dengan plastisin atau tanah liat, dan sebagainya.
2. Gangguan Vestibularis atau keseimbangan Pada anak yang mengalami Dysfunction of sensory integration (DSI) sering
mengalami gangguan keseimbangan Gangguan keseimbangan yang terjadi ini seringkali dianggap anak kurang percaya diri.
Gangguan keseimbangan ini biasanya ditandai dengan anak takut saat berenang, menaiki mainan yang bergerak dan
bergoyang seperti ayunan, mainan kuda-kudaan listrik dengan koin, naik lift atau eskalator. Anak tidak suka naik umumnya
di dalam mobil. Anak mungkin tidak kooperatif sebagai upaya menghindari sensasi yang membuat anak terganggu. Anak
yang underreactive untuk input vestibular tampaknya tidak pusing bahkan setelah berputar untuk waktu yang lama, dan
tampaknya menikmati gerakan cepat seperti berayun. Bila berjalan terburu-buru, gerakannya canggung, mudah tersandung
atau jatuh. Dia mungkin tidak membuat upaya untuk menangkap dirinya sendiri ketika dia jatuh. Anak tampak kesulitan
memegang kepalanya sambil duduk. Anak tidak cenderung untuk melakukannya dengan baik dalam olahraga. Dia mungkin
memiliki gaya canggung, atau gerakan yang tidak biasa ketika bergerak lengan atau kepala. Biasanya juga disertai
keterlambatan membaca, menulis, berbicara, dan persepsi visual-spasial yang khas.
3. Keterlambatan ringan perkembangan motorik kasar Seorang anak yang terlambat berjalan, kemungkinan juga terlambat
dalam duduk dan merangkak. Namun sayangnya, keterlambatan ini bukanlah hal pertama yang mungkin disadari oleh para
orangtua. Jika ini penyebabnya, maka dokter akan melihat jalan anak dalam konteks yang berbeda dan mencari tahu berada
dimana ia dalam rangkaian perkembangan motoriknya. Biasanya juga disertai keterlambatan membaca, menulis, berbicara,
dan persepsi visual-spasial yang khas.
4. Gangguan sensoris. pada anak tertentu anak sering mengalami sensitif pada telapak tangan dan kaki. Sehingga hal ini
memgakibatkan anak sering jinjit. Selama ini jalan jinjit atau Tip Toe masih belum diketahui penyebabnya. Meskipun bukan
karena kelainan anatomis. Selama ini orangtua menganggap hal itu adalah memang perilaku anak. Pada anak dengan
gangguan sensoris raba biasanya disetai gangguan sensoris suara dan cahaya. Gangguan sensoris suara biasanya anak takut
dan tidak nyaman ketika mendengar suara dengan frekuensi tertentu seperti suara blender, suara bayi menangis, suara gergaji
listrik. Gangguan sensoris cahaya bioasanya anak sangat sensitif terhadap cahaya terang dan sinar matahari.
Penyebab Jarang
1. Gangguan persarafan Gangguan persarafan berat akibat kelainan di otak seperti paska infeksi otak, tumor atau kelainan
organ otak seperti tumor, hidrosefalus , infeksi kehamilan, gangguan paska persalinan seperti bayi lahir tidak menangis,
infeksi berat (sepsis)
2. Urutan Pada usia 5 tahun anak telah memiliki kemampuan motorik yang bersifat kompleks, yaitukemampuan untuk
mengkoordinasikan gerakan motorik dengan seimbang seperti berlari sambi lmelompat, mengendarai sepeda.
3. Latihan Beberapa kebutuhan anak usia dini yang berkaitan dengan pengembangan motoriknya perlu dilakukan latihan
dengan bimbingan guru. Banyak latihan motorik kasar maupun motorik halus. Kebutuhan untuk bergerak dan kebutuhan
untuk mengungkapkan perasaan terdapat pada tiapinsan sejak dilahirkan. Kedua kebutuhan tersebut dapat disalurkan dengan
bermain, melalui prgorampelatihan gerakan bagi anak usia dini.
4. Motivasi Motivasi yang datang dari dalam diri anak perlu didukung dengan motivasi yang datang dariluar. Misalnya, dengan
memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan gerakmotorik serta menyediakan berbagai sarana dan
prasarana yang dibutuhkan anak.Pengaruh kesempatan dan kebebasan anak untuk bergerak pada usia muda
mengandungimplikasi terhadap pentingnya perkembangan keterampilan gerak anak. Kurangnya kesadaran orangdewasa
termasuk guru-guru akan hal ini mengakibatkan langsung terhadap berkurangnya keuntunganyang dapat diperoleh, terutama
untuk mencegah pengaruh yang menghambat tumbuh-kembang anaksecara keseluruhan.d.
5. Pengalaman Perkembangan gerakan merupakan dasar bagi perkembangan berikutnya. Latihan danpendidikan gerak pada
anak usia dini lebih ditujukan bagi pengayaan gerak, pemberian pengalamanyang membangkitkan rasa senang dalam suasana
riang gembira anak.
6. Kurangnya keinginan dan Kesempatan. Jika si kecil tumbuh dan berkembang secara normal terlepas dari
keterlambatannya berjalan, mungkin saja si kecil belum cukup memiliki keinginan ataupun kesempatan untuk berjalan.
7. Tonus Otot. Gangguan tonus otot berupada hipotonia dan Hipertonia dapat menyebabkan gangguan saat berjalan. Hypotonia
atau kondisi yang ditandai dengan penurunan berat otot dan Hypertonia atau kondisi yang ditandai dengan kenaikan berat
otot juga dapat membuat anak sulit berjalan. Hypotonia menyebabkan seorang anak akan sulit memiliki keseimbangan dan
kontrol atas gravitasi. Sebaliknya, hypertonia atau jika ada kelompok otot tertentu aktif maka kemungkinan anak akan
memiliki tubuh yang kaku dan sulit mempertahankan keseimbangan.
8. Masalah pada panggul. Meskipun kasus ini jarang terjadi namun diagnosa dokter menyebutkan bahwa masalah pada
panggul juga bisa menjadi penyebab anak tidak berjalan tepat waktu.
9. Keterlambatan perkembangan Keterlambatan perkembangan dapat menyertai gangguan keterlambatan berjalan padanak di
antaranya adalah seperti Retardasi mental atau Keterbelakangan Mental, Down Syndrome
Sumber: Buku Ajar I. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Ed.1. 2002. Sagung Seto
2. Apa hubungan mikrosefali, tonus keempat hipertoni dan ada head lag (+) dengan keluhan anak tidak bisa duduk sendiri?
Pada saat lahir sutura dan fontanel masih belum tertutup. Setelah beberapa bulan hidup, sirkumferens kepala bayi akan lebih
melebar, terutama ukuran badan bayi kecil dibanding umur gestasionalnya. Bagian posterior kepala tertutup dalam minggu ke
delapan, sedangkan bagian anterior fontanel tertutup dalam 12 hingga 18 bulan. Jika terjadi kecepatan pada pelebaran
sirkumferens kepala, maka peningkatan tekanan intrakranial harus di eksklusikan.
Berbagai gangguan pertumbuhan kepala yang dialami adalah termasuk mikrosefali, makrosefali, kepala asimetris
dan kraniositosis (Lissauer, Clayden, 2002).
Sumber: Ilmu Kesehatan Anak. Nelson. Vol.1. ed.15. EGC
Mikrosefali diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, sesuai penyebabnya:
Mikrosefali primer jinak berkaitan dengan faktor genetik. Mikrosefali genetik ini termasuk mikrosefali familial dan
mikrosefali akibat aberasi khromosom. Mikrosefali akibat penutupan sutura prematur (kraniosinostosis). Jenis mikrosefali
ini berakibat bentuk kepala abnormal, namun pada kebanyakan kasus tak ada anomali serebral yang jelas.
Mikrosefali sekunder terhadap atrofi serebral. Mikrosefali sekunder dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin seperti
penyakit inklusi sitomegalik, rubella, sifilis, toksoplasmosis, dan herpes simpleks; radiasi, hipotensi sistemik maternal,
insufisiensi plasental; anoksia; penyakit sistemik maternal seperti diabetes mellitus, penyakit renal kronis, fenilketonuria; dan
kelainan perinatal serta pascanatal seperti asfiksia, infeksi, trauma, kelainan jantung kronik, serta kelainan paru-paru dan
ginjal. Jenis mikrosefali ini berhubungan dengan retardasi mental dalam berbagai tingkat (Saanin, 2007).
Mikrosefali akibat penutupan sutura premature
Pertumbuhan pesat kepala terjadi dalam dua tahun pertama dan 80% dari ukuran kepala dewasa telah dicapai pada
usia 5 tahun. Ini memberi gambaran terhadap pertumbuhan otak, namun ukuran besar atau kecilnya kepala biasanya juga
tergantung terhadap faktor keturunan dan biasanya perlu menggunakan mid-parental head percentile untuk
menentukannya(Lissauer, Clayden, 2002).
Mongolisme dan sindroma trisoma Infeksi virus sitomegali Malnutrisi berat pada awal
lainnya masa bayi
Paparan radiasi ionisasi pada janin Toksoplasma kongenital Infeksi virus herpes neonatal
Cebol seckel
Sindroma rubinstein-taybi
Sindroma smith-lemli-opitz
1. Antenatal pada morbili, penyinaran, sifilis, toksoplasmosis, kelainan sirkulasi darah janin atau tidak diketahui penyebabnya.
2. Intranatal akibat perdarahan atau anoksia.
3. Pascanatal dan setelah ensefalitis, trauma kepala dan sebagainya.
Otak bayi aterm memiliki seluruh komplemen neuron dewasa, tetapi beratnya hanya sekitar sepertiga otak dewasa.
Peningkatan berat postnatal adalah akibat mielinisasi substansia alba subkortikal, perkembangan penuh prosesus saraf, baik
dendrit maupun akson serta peningkatan selb glia.
Secara umum pengaruh abnormal sebelum kehamilan bulan ke-6 cenderung mempengaruhi pertumbuhan struktur
makroskopik otak dan mengurangi jumlah neuron total. Pengaruh perubahan patologik pada periode perinatal cenderung
lebih ringan, seperti keterlambatan mielinisasi dan berkurangnya pembentukan dendrit. Hilangnya substansi otak akibat lesi
destruktif dapat terjadi pada akhir masa janin dan awal masa bayi, baik secara terpisah ataupun bersama cacat perkembangan
lain.
Mikrosefali
Mikrosefali primer jinak berkaitan dengan faktor genetik. Mikrosefali genetik ini termasuk mikrosefali familial dan
mikrosefali akibat aberasi khromosom. Mikrosefali akibat penutupan sutura prematur (kraniosinostosis). Jenis mikrosefali ini
berakibat bentuk kepala abnormal, namun pada kebanyakan kasus tak ada anomali serebral yang jelas.
Mikrosefali sekunder terhadap atrofi serebral. Mikrosefali sekunder dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin seperti penyakit
inklusi sitomegalik, rubella, sifilis, toksoplasmosis, dan herpes simpleks; radiasi, hipotensi sistemik maternal, insufisiensi
plasental; anoksia; penyakit sistemik maternal seperti diabetes mellitus, penyakit renal kronis, fenilketonuria; dan kelainan
perinatal serta pascanatal seperti asfiksia, infeksi, trauma, kelainan jantung kronik, serta kelainan paru-paru dan ginjal. Jenis
mikrosefali ini berhubungan dengan retardasi mental dalam berbagai tingkat (Saanin, 2007).
(1) Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi daerah dorsal yang terjadi pada
minggu ke 3 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini mengakibatkan kelainan congenital seperti kranioskisis,totalis,dsb.
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron yang terjadi pada masa gestasi. Gangguan pada masa ini dapat menyebabkan
mikrosefali.
1. Sifilis : Melalui kontak langsung dengan lesi. Disebabkan bakteri Treponema malibu melalui selaput lendir yang utuh/kulit
dengan lesi kemudian masuk ke peredaran darah dan semua organ dalam tubuh (salah satunya otak) ke janin.
2. Rubella: Rubella menginfeksi embrio pd 3 bulan pertama kehamilan. Menyebabkan malformasi mata,telinga bagian
dalam,jantung dan gigi.
3. Herpes: Bayi lahir lewat vagina (ibu terkena herpes) sehingga bayi jadi terinfeksi.
4. Sitomegalovirus: Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada hakekatnya menginfeksi
sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya
infeksi primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 %
meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa
prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di
dalam serum. Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme
primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat
pemakaian obat-obatan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan
bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang
tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.
5. Down Syndrome
6. Trisomi 13
7. Trisomi 18
8. Rubeinstein-Taybi Syndrome: Ketiadaan gen yang menyebabkan ketidaknormalan pada protein pengikat CREB.
Pertumbuhan pesat kepala terjadi dalam dua tahun pertama dan 80% dari ukuran kepala dewasa telah dicapai pada usia 5 tahun.
Ini memberi gambaran terhadap pertumbuhan otak, namun ukuran besar atau kecilnya kepala biasanya juga tergantung terhadap
faktor keturunan dan biasanya perlu menggunakan mid-parental head percentile untuk menentukannya(Lissauer, Clayden, 2002).
Pada saat lahir sutura dan fontanel masih belum tertutup. Setelah beberapa bulan hidup, sirkumferens kepala bayi akan lebih
melebar, terutama ukuran badan bayi kecil dibanding umur gestasionalnya. Bagian posterior kepala tertutup dalam minggu ke
delapan, sedangkan bagian anterior fontanel tertutup dalam 12 hingga 18 bulan. Jika terjadi kecepatan pada kelebaran
sirkumferens kepala, maka peningkatan tekanan intrakranial harus di eksklusikan.
Berbagai gangguan pertumbuhan kepala yang dialami adalah termasuk mikrosefali, makrosefali, kepala asimetris dan
kraniositosis (Lissauer, Clayden, 2002).
Sumber : Ilmu Kesehatan Anak. Nelson. Vol.1. ed.15. EGC
Kebutuhan :
-ASIH : kasih sayang dan emosi, rasa aman, motivasi
-ASUH : nutrisi dan biomedik
Food safety dilihat dari pembagian nutrisi
Food security Aman dari bahan kimia, zat toksik
Tangan anak ditarik dari posisi tidur samapi duduk . Normalnya anak dapat berubah dari leher ekstensi ke fleksi. Tapi
abnormal jika ekstensi maksimal terus-menerus.
Sumber: DARTO SAHARSO, AHMAD Y.H., ERNY. 2005. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS PADA BAYI DAN ANAK
Head Lag(+)
Sikap kepala bayi sewaktu badannya diangkat dapat memberikan informasi perkembangan motorik. Sebelum usia 5 bulan
kepala jatuh lunglai bila badan diangkat dari posisi berbaring dengan cara menarik kedua tangan ke atas. Setelah usia 5 bulan
bayi dapat menegakkan kepalanya baik sewaktu badannya hendak didudukkan dengan mengangkat kedua lengannya,
maupun pada waktu didudukkan sambil dipegang. Bayi dengan hipotonia memperlihatkan leher yang lemas (head lag) yang
mencirikan perkembangan motorik yang terbelakang atau keadaan patologis oleh berbagai abnormalitas SSP dan kelainan
motor neuron.
Sidharta, P., Pemeriksaan Neurologik Pada Bayi dalam Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Cetakan keempat, Dian
Rakyat, Jakarta, 1999.
Sikap kepala bayi sewaktu badannya diangkat dapat memberikan informasi perkembangan motorik. Sebelum usia 5
bulan kepala jatuh lunglai bila badan diangkat dari posisi berbaring dengan cara menarik kedua tangan ke atas. Setelah usia 5
bulan bayi dapat menegakkan kepalanya baik sewaktu badannya hendak didudukkan dengan mengangkat kedua lengannya,
maupun pada waktu didudukkan sambil dipegang. Bayi dengan hipotonia memperlihatkan leher yang lemas (head lag) yang
mencirikan perkembangan motorik yang terbelakang atau keadaan patologis oleh berbagai abnormalitas SSP dan kelainan
motor neuron.
Sumber: Sidharta, P., Pemeriksaan Neurologik Pada Bayi dalam Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Cetakan
keempat, Dian Rakyat, Jakarta, 1999.
3. Apa hubungan bayi tidak langsung menangis dengan keluhan tidak bisa duduk sendiri?
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan
diduga lebih banyak terjadi pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya
gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan
fenotipe CP diskinetik. (Boosara, 2004) Neuroimaging dalam penggunaan MRI, telah membantu mengklarifikasi dugaan–
dugaan tentang penyebab dan waktu terjadinya, yang mengalihkan perdebatan dari intrapartum event (asfiksia neonatal) yang
kemungkinan sebanyak 10 % kasus, menuju evaluasi faktor–faktor antenatal atau “antecedents”. (Lin, 2004) Anomali otak
yang mendasar yang terjadi dalam CP bersifat statis, sedangkan akibat dari pelemahan motorik dan fungsional dapat
bervariasi berdasarkan waktu. Kasus yang disebabkan terutama oleh kelainan yang bersifat progresif atau degeneratif alami,
oleh definisi dikeluarkan saat mendiagnosa CP. (Boosara, 2004)
Asfiksia Neonatorum
Sebelum menetapkan suatu diagnosis birth asphyxia, dibutuhkan adanya bukti–bukti pendukung lain, yaitu dengan
ditemukan tanda–tanda sebagai berikut : (1) Hypoxia; yang diikuti dengan (2) dekompensasi respon janin yang menandakan
bahwa telah terjadi hypoxia yang berat yang melampaui kapasitas adaptasi janin; (3) Neonatal encephalopathy dan (4)
Hubungan kausal yang memungkinkan antara encephalopathy dan hypoxia. Probabilitas terjadinya birth asphyxia semakin
tinggi bila tidak ditemukan adanya preexisting neurological deficit. (Stanley et al., 2000)
Kekurangan oksigen pada bayi sesaat sebelum atau selama proses persalinan dapat disebabkan oleh beberapa hal yang
berbeda, yaitu (1) pada ibu : hipotensi maternal akut, rupturnya vasa previa, rupturnya uterus, komplikasi kardiologi,
perdarahan intrapartum, trauma; (2) Selain itu, kerusakan pada janin dapat terjadi karena disproporsi cephalophelvic,
presentasi abnormal, distosia bahu, separasi plasenta prematur komplikasi tali pusat. Organ tubuh yang rentan (otak), pada
saat yang sulit (proses kelahiran) dapat terpapar aliran darah yang rusak, yaitu darah yang mengandung sedikit oksigen yang
berasal dari paru–paru yang tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, adanya tekanan pada cranium, dapat mengubah bentuk
kepala sehingga menyebabkan perdarahan dan menurunnya aliran darak ke bagian otak lain yang belum rusak. (Stanley et al.,
2000)
Ketika diagnosa CP dilakukan pada masa kanak–kanak, seringkali ditemukan bahwa mereka mengalami asfiksia pada saat
lahir. Namun sebaliknya, asfiksia seringkali dianggap sebagai tanda adanya kerusakan neurologis pada bayi, bukan
merupakan penyebab utama CP. Dalam dua penelitian besar yang berbeda, ditemukan bahwa hanya 9 % dari penderita CP,
yang diduga disebabkan langsung dan hanya oleh asfiksia pada saat proses persalinan. Sedangkan 91 % lainnya disebabkan
oleh hal lain, yang dapat menyebabkan prematuritas dan masalah/ kelainan neonatal (kelainan yang terjadi saat persalinan
atau sesaat setelah persalinan. Rupanya hal ini yang menyebabkan mengapa insiden CP di negara miskin, dimana angka
kematian bayi sangat tinggi, sama dengan insiden CP di negara–negara di Eropa Utara, dimana angka kematian bayi terendah
di dunia. Hal ini juga menjelaskan mengapa pemeriksaan obstetrik modern, termasuk monitoring janin dan tingginya angka
kelahiran dengan Cesarean section, dapat menurunkan angka kematian bayi, tetapi tidak dapat menurunkan insiden CP.
(Miller & Bachrach, 1995) Skor Apgar digunakan untuk menentukan kerentanan bayi terhadap CP dan trauma lain akibat
proses persalinan. Untuk menentukan skor Apgar dilakukan evaluasi terhadap pernafasan, detak jantung, tonus otot, warna
kulit dan waktu reaksi motorik pada bayi. Semakin rendah skor yang didapat, semakin berisiko pula bayi tersebut untuk
mengalami CP. Misalnya bayi dengan skor Apgar 3 pada 20 menit pertama setelah kelahiran, memberikan risiko 250 kali
lebih besar mengalami CP daripada bayi dengan skor Apgar normal. Selain itu, skor Apgar juga menunjukkan kemungkinan
terjadinya asfiksia yang parah. Hanya setengah dari bayi– bayi yang memiliki skor Apgar normal pada 20 menit setelah
kelahiran, yang akan tumbuh menjadi CP. (Stanley et al., 2000)
Sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus
di YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
Lebih dari 50% kematian bayi pada periodeneonatal di Indonesia (pada bulan pertama kehidupan). Penyebab utama kematian
neonatal adalah prematuritas 65% (sindrom gangguan pernafasan, imaturitas), asfiksia, cidera lahir, kelainan kongenital dan
infeksi (Habel, 1990). Menurut SKRT tahun 2001 penyebab kematian neonatal adalah 27% disebabkan karena asfiksia
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2004). Jika kekurangan zat asam yang lama dapat menyebabkan perdarahan di otak,
kerusakan otak dan akhirnya dapat mengakibatkan keterlambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya.
Asfiksia pada kelahiran perlu mendapatkan perhatian yang serius karena dapat menimbulkan banyak dampak negatif pada
bayi, antara lain meningkatkan kesakitan dan kematian bayi baru lahir dan meningkatkan insiden kecacatan berat dan
kematian syaraf terutama di negara-negara berkembang, yaitu sebesar 0,2 - 1,3/ 1.000 kelahiran hidup (Evans, 2004). Selain
itu keadaan bayi bermasalah semasa dilahirkan, bagaimanapun kondisinya seperti lemas, serta bayi tidak cukup bulan,
pergerakan ini (perkembangan motorik kasar) sedikit banyak akan mengalami gangguan (Pusponegoro, 2003). Lebih lanjut,
menurut Wikipedia (2005) asfiksia neonatal dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ bayi (jantung, paru, ginjal, dan
hati) dan pada kasus yang berat dapat mengakibatkan kerusakan pada otak dengan manifestasi terjadinya hambatan dalam
perkembangan dan spastik. Tahap balita merupakan periode yang rawan, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan
karena dapat mempengaruhi perkembangan di masa mendatang. Sekitar 16 % dari anak usia di bawah lima tahun (Balita)
Indonesia mengalami gangguan perkembangan saraf dan otak mulai ringan sampai berat, yang disebabkan karena gangguan
kehamilan saat kehamilan, gangguan persalinan dan benturan pada anggota badan/kepala anak saat bayi (Pusponegoro,
2003). Oleh karena itu penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk membuktikan kebenaran tentang pengaruh kelahiran bayi
dengan asfiksia terhadap perkembangan. Sehingga dari paparan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian dengan
apakah kelahiran bayi asfiksia berhubungan dengan perkembangan balita?.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan kelahiran bayi dengan asfiksia terhadap
perkembangan balita. Secara khusus bertujuan untuk mendiskripsikan prosentase perkembangan motorik kasar, bahasa,
motorik halus dan sosial balita dengan kelahiran asfiksia dan tidak asfiksia. Serta membuktikan adanya hubungan kelahiran
bayi dengan asfiksia terhadap perkembangan balita . Gambaran Perkembangan Balita Perkembangan motorik kasar balita
pada kelahiran asfiksia dalam penelitian ini ditemukan masing-masing separuhnya (50%) tidak baik dan baik. Hal ini
kemungkinan selain oleh kondisi asfiksia saat lahir, status nutrisi dan stimulasi orang tua juga mempengaruhi perkembangan
motorik kasar balita. Karena pada saat pengumpulan data ditemukan status nutrisi balita (berat badan) (80,0%) menunjukkan
baik. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2004) bahwa pertumbuhanperkembangan
motorik kasar dipengaruhi oleh terapi gizi. Berbeda dengan hasil studi Pramusinta (2002) dikatakan bahwa perkembangan
motorik anak juga ada hubungannya dengan stimulasi orang tua. Karena pada penelitian ini ditemukan 90,0% balita diasuh
oleh orang tuanya. Sedangkan perkembangan bahasa balita pada kelahiran asfiksia ditemukan lebih dari separuhnya (56,7%)
tidak baik dan kurang dari separuhnya (43,3%) baik. Pada penelitian ini kelahiran bayi asfiksia ada sebagian perkembangan
bahasanya tidak baik, ini kemungkinan selain karena asfiksia juga pengaruh interaksi orang tua (pengasuh) dan anak atau
stimulasi yang diberikan oleh pengasuhnya. Karena pada saat pengumpulan data setelah ditanya ada beberapa pengasuh
responden yang hampir tidak berinteraksi dengan anaknya dari pagi hingga sore hari, karena kesibukan bekerja. Hasil
penelitian ini seiring dengan pendapat Markum (1996) bahwa hubungan interaksi ibu-anak mempunyai arti yang sangat
penting dalam perkembangan wicara dan bahasa. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anwar (2000) juga
mengemukakan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh pengasuhan, baik oleh orang tua, nenek atau pembantu. Lebih
lanjut menurut Rini (2001) menjelaskan juga bahwa keterlambatan bicara dipengaruhi oleh interaksi orang tua atau pengasuh.
Serta Aqsyaluddin (2006) juga menyebutkan bahwa nonton TV bagi anak usia 0 – 3 tahun berpengaruh terhadap
perkembangan otak, yaitu dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca-verbal
maupun pemahaman. Aspek perkembangan motorik halus balita pada kelahiran tidak asfiksia ditemukan semua (100%) baik.
Sedangkan perkembangan motorik halus pada kasus dengan kelahiran asfiksia dalam penelitian ini ditemukan sebagian kecil
(16,7%) tidak baik dan sebagian besar (83,3%) baik. Hasil penelitian ini sependapat dengan Markum (1996) anak yang
mengalami hambatan perkembangan tidak ditemukan adanya kelainan organik apapun, tetapi ada bukti setelah mendapatkan
stimulasi lingkungan dan tambahan makanan menunjukkan respon perkembangan motorik dan psikososial. Meskipun
pendapat ini tidak mengidentifikasi perkembangan motorik kasar ataupun halus. Hasil penelitian juga yang dilakukan di
Jerman menurut Hasuki (2006) bahwa perkembangan motorik halus dipengaruhi kondisi emosional, yaitu kondisi sangat
emosional karena di rumahnya selalu ada masalah, entah karena kekangan orang tua, atau karena keinginan-keinginannya
tidak pernah terpenuhi. Pada perkembangan sosial balita dengan kelahiran tidak asfiksia ditemukan semuanya (100%) baik.
Sedangkan perkembangan sosial dengan kelahiran asfiksia dalam penelitian ini ditemukan sebagian kecil (20,0%) tidak baik
dan sebagian besar (80,0%) baik. Jadi perkembangan sosial tidak hanya disebabkan oleh kelahiran asfiksia, kemungkinan
faktor status nutrisi. Pada saat penelitian dijumpai sekitar 80,0%) kondisi status gizi baik. Hal ini seiring dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Supadmi (2004) dimana perkembangan sosial dipengaruhi oleh status gizi anak tersebut.
Analisis Hubungan Variabel Bebas dan Terikat Pada penelitian ini secara statistik menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kelahiran bayi asfiksia dengan perkembangan balita (p = 0,02 OR = 7,8 dan CI 95 persen = 1,96 – 31,68).
Artinya kelahiran bayi dengan asfiksia pada saat persalinan meningkatkan risiko terjadinya perkembangan balita tidak baik
7,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perkembangan baik. Hasil tersebut seiring dengan konsep yang dikemukakan oleh
Soetjiningsih (1998) & Harlock (1997) bahwa perkembangan salah satunya dipengaruhi oleh kondisi kelahiran (asfiksia). Hal
ini juga didukung oleh Nelson (1981) dan Blair (1989) dalam Wiknyosastro (1996) bahwa kerusakan otak seperti serebral
palsi dicurigai kaitannya dengan asfiksia, dan enam penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara asfiksia dengan
serebral palsi. Meskipun demikian ada penelitian yang menyimpulkan bahwa kelahiran tanpa asfiksia tapi dapat menderita
kerusakan otak, karena dalam uterus dapat terpapar pada kelainan sirkulasi yang bersifat temporer akibat kompresi tali pusat
(Truwit, 1992; Phelan, 1994 dalam Wiknyosastro, (1996). Kelahiran dengan asfiksia, pada periode neonatal dapat
menyebabkan kerusakan pada organ-organ bayi (jantung, paru, ginjal, dan hati) dan pada kasus yang berat dapat
mengakibatkan kerusakan pada otak, dengan manifestasi terjadinya hambatan dalam perkembangan dan spastik Wikipedia
(2005). Meskipun pada penelitian ini dijumpai beberapa hal yang berkaitan dengan responden, antara lain yaitu riwayat
kesehatan, lingkungan atau pengasuhan, berat badan balita yang menggambarkan status gizi balita dan variasi pendidikan
orang tua. Keadaan kesehatan fisik dan mental anak, latar belakang pendidikan ibu, serta emosional keluarga, semua
berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh-kembang anak (Anwar, 2000). Kelemahan dan keterbatasan yang peneliti
temui dalam melakukan penelitian adalah kesulitan memperoleh data riwayat persalinan tentang data skor APGAR di rumah
bidan, karena keterbatasan waktu penelitian sehingga memerlukan tenaga yang cukup ekstra; kemungkinan bias seleksi
dalam menentukan kasus dan kontrol, karena pemilihan sampel berdasarkan status; Dan perkembangan balita tidak hanya
satusatunya disebabkan oleh kelahiran dengan kondisi asfiksia dan tidak asfiksia saja, tetapi banyak faktor lain.
Sumber: HUBUNGAN ANTARA KELAHIRAN ASFIKSIA DENGAN PERKEMBANGAN BALITASiti Mulidah1, Welas
Haryati2, Aris Fitriyani3 1 Mahasiswa sarjana Keperawatan, Universitas Jenderal Soedirman 2,3 Program sarjana
Keperawatan, Universitas Jenderal Soedirman, Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume
1, No.2, November 2006
Kejang pada bayi dan neonatal menunjukkan adanya penyakit pada struktur utama otak dengan kemungkinan konsekuensi
kerusakan pada sistem motorik. Walaupun cedera struktural meningkat, hubungan antara spasme dan kejang pada bayi,
mempengaruhi kejadian CP sebanyak 20%, terutama pada mereka yang menderita quadriplegia dan hemiplegia yang disertai
pre-existing cortical. Anak–anak yang mengalami diplegia jarang mengalami kejang.
Sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus
di YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
PATOGENESIS
Dahulu diperkirakan bahwa penyebab sebagian besar kasus yang disebut CP adalah akibat adanya cedera (injury) pada sistem
saraf yang terjadi saat kelahiran. Hal ini sangat mungkin terjadi bahwa luka pada sistem saraf saat proses kelahiran dan pada
sesaat segera setelah proses kelahiran, bertanggungjawab terhadap kelainan/kecacatan yang terjadi pada beberapa kasus.
Namun, faktor–faktor lain yang menjadi penyebab kelainan ini belum diketahui pasti. Untuk memudahkan, faktor–faktor
penyebab tersebut dibagi menjadi 5 kelompok yaitu (1) kelainan genetik yang berhubungan dengan abnormalitas kromosom,
(2) kelainan metabolik yang diturunkan/diwariskan, (3) cedera prenatal pada saat perkembangan janin, (4) kerusakan saat
perinatal dan (5) cedera posnatal. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang kelainan kromosom, ditemukan bukti
bahwa sebagian besar abnormalitas yang terjadi pada tulang, otak dan organ–organ lain dapat disebabkan oleh kelainan
kromosom.
Kasus kelainan metabolisme bawaan yang dapat menimbulkan kerusakan pada sistem saraf meningkat tiap tahunnya.
Sebagian besar dari kasus ini berhubungan dengan kelainan pada metabolisme asam amino atau glukosa. Dimana sebagian
besar kasus kelainan metabolisme mengalami kerusakan pada sistem saraf menyebar (diffuse) dan menyebabkan retardasi
mental, namun dalam beberapa kasus kerusakan ini juga dapat merusak organ bicara (focal) yang mengarah pada gejala–
gejala CP. Perkembangan janin sangat rentan terhadap kerusakan terutama pada beberapa bulan pertama perkembangannya.
Kerusakan–kerusakan ini dapat disebabkan oleh antara lain infeksi maternal, terutama oleh virus seperti rubella dan
sitomegalik dan bakteri dan organisme–organisme lain terutama toksoplasma. Faktor–faktor lain yang dapat menimbulkan
efek merugikan perkembangan janin antara lain ionisasi radiasi, malnutrisi pada ibu dan konsumsi obat–obatan. Prematuritas
juga merupakan penyebab yang umum terjadi pada kejadian defisiensi mental dan CP. Dalam periode perinatal, faktor–faktor
yang signifikan menjadi penyebab adalah trauma saat proses kelahiran dan anoksia sesaat setelah selang waktu kelahiran.
Inkompatibiltas Rh, seringkali disertai oleh hiperbilirubinemia dan kernikterus. Pada periode neonatal, otak dapat cedera
akibat adanya trauma, lesi pada cerebral vaskular, infeksi dan malnutrisi. Serangan kejang yang tiba– tiba dan berlangsung
lama, apapun sebabnya, dapat mengakibatkan kerusakan otak yang parah bila terjadi anoksia yang berat. (Houston, 1973)
sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus di
YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
Sumber: Tumbuh Kembang Penderita Kejang Demam, Yuliana Masnita D, Pendidikan dokter Spesialis-1, FK UNDIP, Semarang,
1998halaman 23-31
5. Apa hubungan riwayat ibu P6A3 usia 38 tahun, dan mendapatkan transfuse sebelum melahirkan dengan keluhan yang
diderita anak?
Riwayat Obstetrik
Seorang anak yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai siklus menstruasi yang panjang, berisiko menderita CP. Begitu pula
dengan anak yang dilahirkan dari ibu yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Dan seorang anak yang ibunya
memiliki riwayat obstetrik buruk, yaitu pada kehamilan sebelumnya mengalami keguguran, lahir mati, kematian perinatal,
kelahiran prematur dan lahir cacat akibat asfiksia neonatal, berisiko menderita CP dibandingkan yang tidak memiliki riwayat
obstetrik buruk. Temuan ini mengindikasikan bahwa siklus menstruasi ibu dan riwayat obsterik buruk juga merupakan faktor
risiko CP. (Kuban, 1994)
Umur Orangtua
Berbagai hipotesis telah dikemukakan untuk menghitung penurunan kualitas reproductive outcome dengan semakin
bertambahnya usia orangtua. Pada perempuan telah diketahui adanya hubungan antara pertambahan usia dengan peningkatan
abnormalitas kromosom. Selain itu, suatu penelitian menunjukkan adanya efek peningkatan usia terhadap
kualitas oocyte dan uterus senescence. (Elise and Patrick, 2002) Suatu studi yang dilakukan menggunakan metode
fluorescence in-situ hybridization, dibuktikan bahwa pada ayah yang lebih tua (≥ 50 tahun), lebih berisiko memiliki
keturunan aneuploid, daripada ayah yang lebih muda (< 30 tahun). Selain itu, berdasarkan suatu penelitian yang baru-baru ini
dilakukan dengan membandingkan antara kelompok laki-laki berusia 23-39 tahun dengan kelompok laki-laki berusia 59-74
tahun, ditarik kesimpulan bahwa pada kelompok laki-laki dengan usia lebih tua mengalami aberasi kromosom sperma lebih
besar daripada kelompok lakilaki dengan usia lebih muda. (Elise and Patrick, 2002) Hasil-hasil penelitian inilah yang
memunculkan dugaan terjadinya peningkatan birth defect pada keturunan ayah yang berusia tua. Batas usia paternal yang
berisiko mengalami penurunan kualitas produksi cairan semen adalah sekitar 40 tahun. (McIntosh et al., 1995) Risiko
terjadinya birth defect pada keturunan selanjutnya akan meningkat apabila ayah berusia tua, memiliki keturunan dengan ibu
yang berusia tua pula (dihubungkan dengan fertilisasi dengan oocyte tua). Namun, hal ini masih menjadi perdebatan. (Gray et
el., 1995)
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk CP diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik
pada bayi lahir cukup bulan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur tanpa ditandai
hiperbilirubinemia. Kernikterus mengacu pada encephalopathy dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda
kelompok nuclear yang spesifik dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan ganglia basalia, sebagian globus
pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus; substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor,
vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf
cerebellar seperti pada dentate dan horn cells anterior dari tulang belakang. (Boosara, 2004)
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus, kehilangan pendengaran dan kelainan gerakan (terutama
koreoathetosis atau distonia) adalah ciri–ciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan dalam manajemen awal
hiperbilirubinemia, banyak kasus CP diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat hiperbilirubinemia
tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia,
prematuritas, atau hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai dasar fenotipe, perlu
dipertimbangkan. (Boosara, 2004)
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10 % dari semua bentuk CP, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan.
Kernicterus akibat haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan peningkatan
insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan antenatal untuk memberikan antibodi “anti-D” pada ibu dengan Rhesus
negatif setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada seluruh bentuk CP. (Lin, 2003)
sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus di
YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
Dalam penelitian ini didapatkan anemia pada anak berusia 12-24 bulan (kadar Hb <11 g/dl) sebanyak 32,7%. Angka ini lebih
rendah dibandingkan dengan data SKRT tahun 1995 (anemia pada usia <5 tahun 40,5%) hal ini karena sampel yang dipilih
hanya anak dengan status gizi baik. Anemia dapat terjadi pada anak-anak dengan gizi baik bila asupan makanan anakanak
tersebut kurang mengandung zat besi atau terdapat zat-zat yang menghambat absorbsi besi.12 Pada penelitian ini tidak diteliti
lebih lanjut mengenai komposisi makanan anak-anak tersebut. Skor BINS risiko tinggi berarti anak menderita keterlambatan
perkembangan, pada subyek penelitian memperlihatkan hasil sebesar 24,5%. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi anak
dengan gangguan perkembangan sebesar 12-16%.13 Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, faktor lingkungan
berperan besar terhadap risiko penyimpangan proses tumbuh kembang yang umumnya dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan
ketidaktahuan masyarakat terhadap proses tumbuh kembang. Keadaan tersebut sering dijumpai di daerah dengan karakteristik
penduduk padat, pendidikan dan pendapatan rendah. 12,14 Dari 12 anak dengan skor BINS risiko tinggi terdapat 7 (58,3%)
anak dengan anemia. Di negara berkembang, prevalensi anemia masih tinggi dengan penyebab tersering adalah ADB.3,4
Defisiensi besi selama periode kritis perkembangan otak diduga dapat menyebabkan kerusakan yang ireversibel sehingga
mengakibatkan keterlambatan perkembangan.13 Lozoff, dkk 5-7 telah melakukan penelitian yang mendalam tentang
hubungan defisiensi besi dengan perkembangan neurologi anak. Pada penelitiannya yang pertama terhadap 191 anak di Costa
Rica berusia 12-23 bulan dengan menggunakan BINS, dilaporkan anak yang menderita defisiensi besi mempunyai skor
motoris dan mental yang lebih rendah.5 Selanjutnya pada usia 5 tahun kelompok anak yang sama diperiksa ulang dan
dilaporkan anak-anak dengan riwayat ADB pada masa bayinya mempunyai skor motoris dan mental yang lebih rendah
dibandingkan anak normal.6 Demikian pula pada usia 11-14 tahun, kelompok yang sama diperiksa kembali dan dilaporkan
bahwa pada anak-anak dengan riwayat ADB selama masa bayi sekali lagi memperlihatkan defisit skor IQ, motorik dan verbal
serta mengalami problem spesifik dalam hal menulis dan mata pelajaran matematika.7 Sherriff, dkk15 melaporkan gangguan
lokomotor pada usia 18 bulan pada anak dengan riwayat ADB masa bayinya. Derajat beratnya defisiensi besi yang dapat
menyebabkan keterlambatan perkembangan masih kontroversial. Lozoff, dkk 5 memperlihatkan hanya anak dengan ADB
yang menderita keterlambatan perkembangan, sedangkan Oski, dkk 16 melaporkan keterlambatan perkembangan pada anak
dengan defisiensi besi non-anemis. Besi sangat dibutuhkan untuk metabolisme susunan saraf pusat karena peranannya dalam
sintesis neurotransmiter, pembentukan mielin dan pertumbuhan otak. Sistim neurotransmiter susunan saraf pusat sangat
sensitif terhadap perubahan status besi. Bila kandungan besi total dalam otak berkurang 15% di bawah normal, dapat
mengakibatkan gangguan sistim neurotransmiter tersebut. Defisiensi besi selama periode kritis perkembangan otak diduga
menyebabkan kerusakan yang ireversibel sehingga mengakibatkan terjadinya keterlambatan perkembangan.10 Hasil
penelitian ini memperlihatkan nilai koefisien korelasi Spearman rank (rs) = 0,429 dengan p = 0,001; sehingga dapat
disimpulkan terdapat hubungan yang lemah antara anemia dengan perkembangan neurologi anak usia 12- 24 bulan, yaitu
anak dengan kadar Hb yang rendah mempunyai risiko tinggi mengalami hambatan perkembangan neurologi.
Sumber: Hubungan antara Anemia dengan Perkembangan Neurologi Anak Usia 12-24 bulan Nurhayati Masloman, Stefanus
Gunawan, halaman 178
Selain faktor internal, faktor eksternal/lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Contoh faktor
lingkungan yang banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial
ekonomi. Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Sebelum lahir, anak
tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan
kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia (Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa
kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu
selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.
Sumber: DETEKSI DINI GANGGUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK Atien Nur Chamidah
Malnutrisi
Crawford mempelajari 500 wanita hamil dan menemukan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR mengalami
defisiensi 43 dari 44 vitamin, mineral, dan asam lemak yang berbeda ketika dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak
dengan BB normal. Ada beberapa intervensi yang sangat preventif yang akan mengurangi CP rate. Salah satunya adalah
vaksinasi rubella. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya Rh inkompatibilitas dan
diperpanjangnya kampanye oleh WHO dan UNICEF tentang kekurangan iodium dalam garam dan tanah dari suatu
komunitas dapat memicu terjadinya endemik krentin dan CP tipe spastik diplegia pada kamunitas tersebut. Hal ini diharapkan
menjadi sumber–sumber yang dapat digunakan sebagai tindakan preventif terhadap kejadian CP yang banyak terjadi di
negara berkembang. Defisiensi iodium dapat menimbulkan outcome patologis yang pengaruhnya sangat merugikan dari
janin, bayi, anak–anak dan remaja sampai dengan dewasa. Apabila defisiensi iodium terjadi pada awal masa kehamilan akan
menimbulkan spektrum kelainan, dari kematian sampai kretin klinik (spastik diplegia dan bisu tuli). Terdapat banyak lemak
dan asam lemak yang penting atau esensial untuk mendapatkan janin yang sehat, yaitu arachidonic acid, arachidonyl
phosphoglycerol, docosahexaenyl glyceride dan endothelial ethanolamine phosphoglyceride yang vital untuk integritas
membran. Kekurangan lemak dan asam lemak tersebut diduga merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, kelahiran prematur,
lambatnya pertumbuhan janin dan CP. Asam linoleat dan linolenat sangat vital dalam pembentukan jaringan otak dan
infrastruktur darah.
Konstelasi nutrisi yang dimiliki ibu pada masa konsepsi berhubungan sangat erat dengan prediksi terjadinya CP. Ketersedian
makanan yang baik pada negara–negara berkembang dan negara miskin sangat vital dalam rangka menekan CP rate daripada
waktu–waktu sebelumnya. Apabila nutrisi, vaksinasi dan komplikasi golongan darah diperhatikan, maka kejadian CP di
beberapa belahan dunia dapat direduksi secara drastis. (Stanley et al, 2000)
sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus di
YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
Perkembangan anak merupakan hasil maturasi organ tubuh, terutama susunan saraf pusat dan perkembangan dipengaruhi
oleh lingkungan biofisikopsikososial dan faktor genetik. Dalam perkembangan terdapat berbagai tahapan yang harus dilalui
seorang anak untuk menuju usia dewasa. Tahapan yang terpenting adalah pada masa 2 tahun pertama kehidupan, karena pada
masa ini tumbuh kembang berlangsung dengan pesat dan menentukan masa depan anak. 1 Faktor gizi memegang peranan
yang sangat penting sebagai salah satu penunjang untuk tercapainya hasil tubuh kembang yang optimal, yaitu terwujudnya
manusia yang berkualitas.2 Anemia gizi adalah keadaan dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari normal yang dapat
disebabkan akibat defisiensi satu atau lebih nutrien esensial (misalnya zat besi, asam folat, vitamin A, B12, dan C serta
tembaga). Di negara berkembang, termasuk Indonesia, anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan penyebab anemia
yang tersering. Berdasarkan Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1995, prevalensi anemia gizi pada anak berusia < 5
tahun sebesar 40,5%.3 Secara tradisional pengukuran hemoglobin dapat dipakai untuk menentukan diagnosis anemia gizi.4
Telah banyak penelitian melaporkan bahwa ADB mempunyai dampak jangka panjang pada perkembangan psikomotor yang
berlangsung lama bahkan mungkin bersifat ireversibel.5-7 Bahkan beberapa peneliti melaporkan umumnya anak dengan
ADB walaupun sudah diobati dengan zat besi cenderung mempunyai skor perkembangan lebih rendah dibandingkan anak
tanpa ADB.5,8,9 Adanya ADB selama periode kritis dalam perkembangan otak dapat menyebabkan kerusakan yang
ireversibel sehingga mengakibatkan keterlambatan perkembangan.
Sumber: Hubungan antara Anemia dengan Perkembangan Neurologi Anak Usia 12-24 bulan Nurhayati Masloman, Stefanus
Gunawan, halaman 178
7. Bagaimana dasar dari pertumbuhan dan perkembangan anak?
Kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada
tumbuh kembang anak baik fisik,mental maupun sosial emosi, yang disebut ”Sindrom Deprivasi Maternal”.
Kasih sayang dari orang tuanya (ayah-ibu) akan menciptakan ikatan yang erat (bonding) dan kepercayaan
dasar (basic trust).
Lahir- 3 bulan:
mengikuti obyek dengan matanya
menahan barang yang dipegangnya
3-6 bulan:
menyentuhkan tangan satu ke tangan lainnya
belajar meraih benda dalam dan di luar jangkauannya
menaruh benda di mulut
6-9 bulan:
memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya
memegang benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
bergembira dengan melempar benda-benda
9- 12 bulan:
ingin menyentuh apa saja dan memasukkan benda ke mulut
12-18 bulan:
menyusun 2-3 balok/kubus
18-24 bulan:
menyusun 6 kubus
menunjuk mata dan hidung
belajar makan sendiri
menggambar garis dikertas atau pasir
2-3 tahun:
menggambar lingkaran
membuat jembatan dengan 3 balok
3-4 tahun:
belajar berpakaian dan membuka pakaiannya sendiri
menggambar orang hanya kepala dan badan
4-5 tahun:
menggambar orang terdiri dari kepala,badan, dan lengan
mampu menggambar segiempat dan segitiga
9- 12 bulan:
menirukan suara
dapat mengulang bunyi yang didengarnya
belajar menyatakan satu atau dua kata
12-18 bulan:
mengatakan 5-10 kata
18-24 bulan:
menyusun dua kata mebentuk kalimat
menguasai sekitar 50-200 kata
2-3 tahun:
mampu menyusun kalimat lengkap
menggunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya
3-4 tahun:
mampu berbicara dengan baik
mampu menyebut namanya,jenis kelamin, dan umur
banyak bertanya
4-5 tahun:
pandai bicara
mampu menyebut hari-hari dalam seminggu
berminat/ tertarik pada kata baru dan artinya
mampu menghitung jari
memprotes bila dilarang apa yang diinginkan
mendengar dan mengulang hal penting dan cerita
d. Milestone sosial
3-4 bulan:
mampu menatap mata
tersenyum bila diajak bicara/senyum
tertawa dan menjerit gembira bila diajak bermain
6-9 bulan:
mulai berpartisipasi dalam tepuk tangan
9-12 bulan:
berpartisipasi dalam permainan
18-24 bulan:
memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain dengan mereka
2-3 tahun:
bermain bersama anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain diluar keluarganya
4-5 tahun:
bermain bersama anak lain dan dapat mengikuti aturan permainan
e. Milestone Emosi
Lahir-3bulan:
bereaksi terhadap suara atau bunyi
3-6 bulan:
tersenyum melihat gambar atau mainan lucu
tertawa dan menjerit gembira bila diajak bermain
6-9 bulan:
mengenal anggota keluarga dan takut terhadap orang asing
9-12 bulan:
memperlihatkan minat yang besar terhadap sekitarnya
12-18 bulan:
memperlihatkan rasa cemburu dan bersaing
18-24 bulan:
memperlihatkan minat yang besar terhadap apa yang dikerjakan orang dewasa
3-4 tahun :
menunjukkan rasa sayang terhadap saudaranya
Sumber:
Hidayat, Taufik, dkk. (2014). PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR BAYI MELALUI STIMULASI IBU DI
KELURAHAN KEMAYORAN SURABAYA. Surabaya: Sumber Daya Manusia Kesehatan Vol.1 No. 1.
Marsuki. H. (2014). DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG ANAK. Makassar: Poltekkes Makassar.
Kania, Nia. (2006). STIMULASI TUMBUH KEMBANG ANAK UNTUK MENCAPAI TUMBUH KEMBANG YANG
OPTIMAL. Bandung: Stimulasi Tumbuh Kembang Anak.
Alifiani, Hervira, Maharani. Pusat Tumbuh Kembang Anak. Bandung: Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Senirupa dan
Desain.
Sukamti, Rini, Endang. (1994). Pengaruh Gizi
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak.
Coplan dkk,.8 melaporkan bahwa penilaian orangtua pada perkembangan bicara anaknya mempunyai korelasi yang kuat
dengan hasil kemampuan kognitif mereka. Namun orang tua tidak selalu benar, karena 20-25% orang tua tidak mengetahui
bahwa anaknya terganggu perkembangannya, dan banyak orang tua yang khawatir pada perkembangan anaknya padahal
tidak terganggu.6 Oleh karena itu kita harus melakukan pemeriksaan fisis dan skrining perkembangan untuk membuktikan
apakah kecurigaan orang tua itu benar. Selanjutnya anamnesis dapat diarahkan untuk mencari faktor-faktor risiko atau
etiologi gangguan tumbuh kembang yang disebabkan oleh faktor intrinsik pada balita dan atau faktor lingkungan.2,8,14
Dengan perhitungan di atas maka dapat ditentukan rentang potensi tinggi genetik pada akhir masa remaja/dewasa muda.
Kalau prakiraan tinggi akhir ternyata masih masuk di dalam batas potensi genetik, maka pertumbuhan anak umumnya dalam
batas normal. Jika prakiraan tinggi akhir di luar batas potensi tinggi genetik, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk mencari faktor penyebabnya.
Berat badan
Berat badan dapat membantu mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu dengan menimbang berat badan secara periodik,
kemudian dihubungkan menjadi sebuah garis pada kurva berat badan yang dipublikasi oleh United Stated National Center for
Health Statitistic (NCHS) pada tahun 1979. Umumnya balita normal berat badannya selalu di atas persentil 5 kurva NCHS,
namun bisa naik atau turun memotong 1-2 kurva persentil berat badan.2 Jika kurva berat badan anak mendatar atau menurun
hingga memotong lebih dari 2 kurva persentil, disebut failure to thrive (gagal tumbuh), bisa disebabkan oleh faktor medik
(organik, penyakit) atau non medik (psikososial). Berat badan berkaitan erat dengan masalah nutrisi (termasuk cairan,
dehidrasi, retensi cairan).2 Obesitas dapat dijumpai dengan retardasi mental (sindroma Prader-Willi dan Beckwith-
Wiedeman).8
.
Kepala
Perhatikan ukuran, bentuk dan simetri kepala. Mikrosefali (lingkar kepala lebih kecil dari persentil 3) mempunyai korelasi
kuat dengan gangguan perkembangan kognitif, sedangkan mikrosefali progresif berkaitan dengan degenerasi SSP.
Makrosefali (lingkar kepala lebih besar dari persentil 97) dapat disebabkan oleh hidrosefalus, neurofibromatosis dan lain-
lain.4,8 Bentuk kepala yang ‘aneh’ sering berkaitan dengan sindrom dengan gangguan tumbuh kembang. Ubun-ubun besar
biasanya menutup sebelum 18 bulan (selambat-lambatnya 29 bulan).4,8,14 Keterlambatan menutup dapat disebabkan oleh
hipotiroidi dan peninggian tekanan intrakranial (hidresefalus, perdarahan subdural atau pseudotumor serebri).4
Skrining Perkembangan
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat, sederhana dan murah untuk populasi yang asimtomatik
tetapi mempunyai risiko tinggi atau dicurigai mempunyai masalah.13,20 Blackman (1992) menganjurkan agar bayi atau anak
dengan risiko tinggi (berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin) harus dilakukan skrining perkembangan secara
periodik. Sedangkan bayi atau anak dengan risiko rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi atau dijawab oleh
orangtua. Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan tumbuh kembang dilanjutkan dengan skrining.13
Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan untuk menentukan diagnosis dan etiologinya tergantung kepada jenis gangguan tumbuh kembangnya,
misalnya pemeriksaan neurologis (klinis, EEG, BERA dan lain-lain), radiologis, mata, THT, psikiatris, psikologis, genetis
(kromosom), endokrin dan lain-lain.
Intervensi
Intervensi selanjutnya tergantung jenis gangguan tumbuh kembang dan faktor penyebabnya. Semakin kompleks gangguan
tumbuh kembangnya dan etiologinya maka membutuhkan suatu tim yang lebih lengkap dan terkoordinir, antara lain dapat
melibatkan spesialis anak, THT, mata, psikiter, rehabilitasi medik, ortopedi, psikolog, terapis wicara, fisioterapis, pendidik
dan lain-lain
sumber: Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita Soedjatmiko, Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 175 -
188
Definisi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Istilah tumbuh kembang terdiri atas dua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan,
yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah
atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan
berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen
dalam tubuh). Perkembangan (development) adalah pertambahan kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks. Perkembangan menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel, jaringan, organ, dan sistem organ yang berkembang
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. (Soetjiningsih, 1998; Tanuwijaya, 2003).
Pertumbuhan mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, serta
munculnya ciri-ciri baru. Keunikan pertumbuhan adalah mempunyai kecepatan yang berbeda-beda di setiap kelompok umur
dan masingmasing organ juga mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda. Terdapat 3 periode pertumbuhan cepat, yaitu
masa janin, masa bayi 0 – 1 tahun, dan masa pubertas. Proses perkembangan terjadi secara simultan dengan pertumbuhan,
sehingga setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan
susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya. Perkembangan fase awal meliputi beberapa aspek kemampuan
fungsional, yaitu kognitif, motorik, emosi, sosial, dan bahasa. Perkembangan pada fase awal ini akan menentukan
perkembangan fase selanjutnya. Kekurangan pada salah satu aspek perkembangan dapat mempengaruhi aspek lainnya.
Sumber:
Hidayat, Taufik, dkk. (2014). PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR BAYI MELALUI STIMULASI IBU DI
KELURAHAN KEMAYORAN SURABAYA. Surabaya: Sumber Daya Manusia Kesehatan Vol.1 No. 1.
9. Bagaimana kriteria milestones di keempat domain?
2. Milestone perkembangan
Adalah tingkat perkembangan yang harus dicapai anak pada umur tertentu. Milestone ini terdiri dari :
g. Milestone motorik kasar
Lahir- 3bulan :
Belajar mengangkat kepala
Kepala bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya tergantung stimulasi
3-4 bulan :
Menegakkan kepala 900 dan mengangkat dada
Menoleh ke arah suara
6-9 bulan :
Duduk tanpa dibantu
Dapat tengkurap dan berbalik sendiri
Merangkak meraih benda atau mendekati seseorang
9-12 bulan :
Merangkak
Berdiri sendiri tanpa dibantu
Dapat berjalan dengan dituntun
12-13 bulan :
Berjalan tanpa bantuan
12-18 bulan :
Berjalan mengeksplorasi rumah dan sekelilingnya
18-24 bulan:
Naik turun tangga
2-3 tahun :
belajar melompat, memanjat, dan melompat dengan satu kaki
mengayuh sepeda roda tiga
3-4 tahun:
berjalan dengan jari-jari kaki
4-5 tahun:
melompat dan menari
Lahir- 3 bulan:
mengikuti obyek dengan matanya
menahan barang yang dipegangnya
3-6 bulan:
menyentuhkan tangan satu ke tangan lainnya
belajar meraih benda dalam dan di luar jangkauannya
menaruh benda di mulut
6-9 bulan:
memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya
memegang benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
bergembira dengan melempar benda-benda
9- 12 bulan:
ingin menyentuh apa saja dan memasukkan benda ke mulut
12-18 bulan:
menyusun 2-3 balok/kubus
18-24 bulan:
menyusun 6 kubus
menunjuk mata dan hidung
belajar makan sendiri
menggambar garis dikertas atau pasir
2-3 tahun:
menggambar lingkaran
membuat jembatan dengan 3 balok
3-4 tahun:
belajar berpakaian dan membuka pakaiannya sendiri
menggambar orang hanya kepala dan badan
4-5 tahun:
menggambar orang terdiri dari kepala,badan, dan lengan
mampu menggambar segiempat dan segitiga
9- 12 bulan:
menirukan suara
dapat mengulang bunyi yang didengarnya
belajar menyatakan satu atau dua kata
12-18 bulan:
mengatakan 5-10 kata
18-24 bulan:
menyusun dua kata mebentuk kalimat
menguasai sekitar 50-200 kata
2-3 tahun:
mampu menyusun kalimat lengkap
menggunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya
3-4 tahun:
mampu berbicara dengan baik
mampu menyebut namanya,jenis kelamin, dan umur
banyak bertanya
4-5 tahun:
pandai bicara
mampu menyebut hari-hari dalam seminggu
berminat/ tertarik pada kata baru dan artinya
mampu menghitung jari
memprotes bila dilarang apa yang diinginkan
mendengar dan mengulang hal penting dan cerita
j. Milestone sosial
3-4 bulan:
mampu menatap mata
tersenyum bila diajak bicara/senyum
tertawa dan menjerit gembira bila diajak bermain
6-9 bulan:
mulai berpartisipasi dalam tepuk tangan
9-12 bulan:
berpartisipasi dalam permainan
18-24 bulan:
memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain dengan mereka
2-3 tahun:
bermain bersama anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain diluar keluarganya
4-5 tahun:
bermain bersama anak lain dan dapat mengikuti aturan permainan
k. Milestone Emosi
Lahir-3bulan:
bereaksi terhadap suara atau bunyi
3-6 bulan:
tersenyum melihat gambar atau mainan lucu
tertawa dan menjerit gembira bila diajak bermain
6-9 bulan:
mengenal anggota keluarga dan takut terhadap orang asing
9-12 bulan:
memperlihatkan minat yang besar terhadap sekitarnya
12-18 bulan:
memperlihatkan rasa cemburu dan bersaing
18-24 bulan:
memperlihatkan minat yang besar terhadap apa yang dikerjakan orang dewasa
3-4 tahun :
menunjukkan rasa sayang terhadap saudaranya
Sumber:
Hidayat, Taufik, dkk. (2014). PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR BAYI MELALUI STIMULASI IBU DI
KELURAHAN KEMAYORAN SURABAYA. Surabaya: Sumber Daya Manusia Kesehatan Vol.1 No. 1.
Dibawah ini adalah tes-tes perkembangan yang sering digunakan dalam menilai perkembanngan anak, yaitu:
A. Tes intelegensi individual (tes IQ)
1. Tes Stanford-Binet
Fungsi : Mengukur intelegensi dan sudah distandardisasi.
Skor tersedia dalam umur mental atau dalam bentuk angka IQ.
Umur : 2 - 24 tahun.
Catatan : Tes diberikan secara individual dan ada korelasi yang tinggf dengan kemampuan sekolah.
2. LIPS (The Leiter International Performance Scale)
o Fungsi : Mengukur intelegensi yang sudah distandardisasi.
Skor tersedia dalam umur mental atau dalam bentuk angka IQ.
o Umur : 2 - 18 tahun.
o Catatan : Tes ini diberikan secara individual dan ada korelasi yang tinggi dengan hasil tes Stanford Binet.
3. WISC (The Wechsler Intelligence Scale for Children)
Fungsi : Mengukur intelegensia yang sudah distandardisasi.
Skor IQ tersedia dalam kemampuan verbal dan skala penuh.
Umur : 6 - 17 tahun.
Catatan : Tes ini diberikan secara individu dan hasilnya mempunyai kolerasi yang tinggi dengan hasil tes
Stanford-Binet dan LIPS.
4. WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)
Fungsi: Verbal, penampilan, dan skala penuh IQ.
Umur: 4 tahun - 61,1 tahun.
5. McCarthy Scales of Children's Abilities
Fungsi: Indeks kognitif umum (IQ ekivalen).
Skor untuk: verbal, kuantitatif, memori, motorik.
Umur: 2 1/2 tahun - 8 tahun.
B. Tes Presentasi
1. Gray oral reading test-revised (GORT-R)
Fungsi : Tes baca standar, yang hasilnya menunjukkan tingkat terendah 1.4 ata gagal.
Skor maksimum adalah tingkat sekolah menengah.
Umur : Kelas 1 - 12 (SD kelas 1 - SMA kelas 3)
Catatan : Diberikan secara individual dan hasilnya menunjukkan kolerasi yan; tinggi dengan tingkatan sekolah.
2. WRAT (Wide Range Achievement Test)
Fungsi : Untuk mengukur prestasi pelajar dalam bidang: berhitung, mengej perbendaharaan kata-kata, dan
pemahaman membaca.
Umur : 5 tahun - dewasa
Catatan : Tes ini diberikan secara kelompok, dan hasilnya mempunyai kole dengan tingkat sekolah yang
sebenarnya.
3. Peabody 19dividual Achievement Test
Fungsi : Untuk identifikasi kata-kata: rnengeja. ilmu pasti, membaca, dan informasi umum.
Umur : 5 - 18 tahun.
C. Tes Psikomotorik
1. Brazelton Newborn Behaviour Assessment Scale
Fungsi : Menaksir kondisi bayi, refleks dan interaksi
Umur : Neonatus,
2. Uzgiris-Hunl Ordinal Scales
Fungsi : Menaksir stadium sensarimotor menurut Piaget
Umur : 0 - 2 tahun
3. Gesell Infant Scale dan Catell Infant Scale
Fungsi : Terutama menaksir perkembangan motarik pada tahun pertama dengan beberapa perkembangan sasial
dan bahasa.
Umur : 4 minggu - 31,1 / 6 tahun.
4. Bayley Infant Scale .of Develapment
Fungsi : Menaksir perkembangan motarik dan sasial
Umur :8 minggu – 2 1/2 tahun
5. DDST (The Denver Develapmental Screening Test)
Fungsi : Digunakan untuk menaksir perkembangan persanal soslal, matorik haIus, bahasa dan matarik kasar
pada anak mulai umur I bulan sampai 6 tahun.
Umur : I bulan - 6 tahun
Catatan : Diberikan secara individual, dengan partisipasi aktif dari .orang tua dan pemeriksa.
6. Yale Revised Develapmental Test
Fungsi : Menaksir perkembangan matarik kasar, matarik halus, adaptif, perilaku sosial, dan bahasa.
Umur : 4 minggu ~ 6 tahun.
7. Diagnastik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama
Fungsi : Menaksir perkembangan umur merangkak, duduk, berjalan, memegang, persepsi, berbicara, pengertian
bahasa dan sasialisasi.
Umur : satu tahun pertama
Catatan : Diberikan secara individual, dengan patisipasi aktif dari .orang tua dan pemeriksa.
8. Geametric Farms Test
Fungsi: Menaksir perkembangan matarik halus dan intelektual.
Catatan: Tes individual
9. Bender-Gestalt Visual Matar Test
Fungsi : menaksir anak yang dicurigai mempunyai masalah persepsi motorik dari umur 5 tahun
Umur : 4 – 12 tahun
Catatan : tes individual
10. Draw-A-Man Test
Fungsi: Skrining IQ yang mudah dan cepat dengan menggunakan norma Gaodenaugh pada anak dengan umur
mental minimal 3 tahun 3 bulan.
Catatan: Tes individual
11. Picture-Vocabulary Subtest Stanford-Binet Test
Fungsi: Skrining yang mudah dan cepat pada anak umur 3 atau 4 tahun ten'~perbendaharaan kata-kata dan
kemampuan artikulasi.
Catatan: Tes individual, kemampuan bahasa mempunyai korelasi yang dengan intelegensi.
12. Ammons Quick Test (Picture-Word Test)
Fungsi: Tes yang mudah dan cepat untuk mengukur kemampuan bahasa n· ,,verbal dari anak. Merupakan
instrumen yang sangat baik untuk men". tahui disfasia ekspresif. dimana anak hanya bisa menunjuk benda.
Catatan: Tes indi.vidu (belum distandarisasi).
A. Tes Proyeksi
a. Symonds Picture Story Test
Fungsi : Respon anak dapat di diagnosis dari perasaan yang mendasarinya.
Catatan : Tes individual
o The Machover Human Figure Drawing Test
Fungsi : Suatu teknik proyeksi, gambar manusia yang dibuat oleh anak aOC proyeksi dari dirinya. Bagian-
bagian tubuh yang dihilangkan atau ditonjolkan dapat merupakan petunjuk dalam diagnostik.
Catatan : Tes individual.
o The Animal Choice Test
Fungsi : Respons anak terhadap tes ini dapat sebagai diagnostik, dari perasaan dan kehendaknya yang paling
sederhana.
Catatan : Tes individual
o The Three Wishes Test
Fungsi : Mendapatkan keinginan-keinginan anak yang disadari
Catatan : Tes individual
o Children's Apperception Test
Fungsi : untuk mengungkapkan perasaan-perasaan anak dibawah sadar den~ menggambar binatang, yang
tampak seperti pada situasi keluarga.
Umur : 2 1/2 tahun - dewasa
Catatan : Tes individual
o The Rorschach Test
Fungsi : Untuk mendapatkan perasaan-perasaan anak dibawah sadar dari mulus yang berasal dari noda tinta
yang tidak berbentuk.
Umur : 3 tahun - dewasa
Catatan : Tes individual
B. Tes Perilaku Adaptif
a. Vineland Adaptive Behavior Scales
Fungsi : Wawancara orang tua/pengasuh anak dalam hal komunikasi, kehidupan sehari-hari, sosial, dan untuk
anak yang lebih muda ditanyakan juga, perkembangan motoriknya.
Umur : 0 - dewasa
b. Vineland Adaptive Behavior Scales (Edisi kelas)
Fungsi : Seperti diatas, tetapi melibatkan guru.
Umur : 3 - 13 tahun.
(Tumbuh Kembang Anak, dr. Soetjiningsih, SpAK)
Tinggi badan
Seperti halnya berat badan, tinggi badan juga dapat diperkirakan berdasarkan rumus dari Behrman (1992), yaitu:
Lingkar kepala
Secara normal, pertambahan ukuran lingkar pada setiap tahap relatif konstan dan tidak dipengaruhi oleh faktor ras,
bangsa, dan letak geografis. Saat lahir, ukuran lingkar kepala normalnya adalah 34-35 cm. Kemudian akan
bertambah sebesar ± 0,5 cm / bulan pada bulan pertama atau menjadi ± 44 cm. pada 6 bulan pertama ini, pertumbuhan
kepala paling cepat dibandingkan pada tahap berikutnya, kemudian tahun-tahun pertama lingkar kepala bertambah
tidak lebih dari 5 cm per tahun, setelah itu sampai usia 18 tahun lingkar kepala hanya bertambah ± 10 cm.
Pengukuran lingkar kepala lebih sulit untuk dilakukan bila dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya dan
jarang dilakukan pada balita, kecuali apabila ada kecurigaan akan pertumbuhan yang tidak normal. Namun alat yang
dibutuhkan cukup sederhana, yaitu dengan pita pengukuran (meteran).
Lipatan kulit
Tebalnya lipatan kulit pada daerah triceps dan subskapular merupakan refleksi pertumbuhan jaringan lemak di
bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi. Apabila anak mengalami defisiensi kalori, maka lipatan kulit
menipis, lipatan tersebut akan menebal bila anak kelebihan energi.
b. Keseluruhan fisik
Berkaitan dengan pertumbuhan, hal-hal yang dapat diamati dari pemeriksaan fisik adalah :
i. Keseluruhan fisik Dilihat bentuk tubuh, perbandingan kepala, tubuh dan anggota gerak, ada tidaknya odema,
anemia, dan ada tanda gangguan lainnya.
ii. Jaringan otot Dapat dilihat dengan cubitan tebal pada lengan atas, pantat, dan paha untuk mengetahui lemak
subcutan.
iii. Jaringan lemak Diperiksa dengan cubitan tipis pada kulit di bawah triceps dan subskapular.
iv. Rambut Perlu diperiksa pertumbuhannya, tebal / tipisnya rambut, serta apakah akar rambut mudah dicabut atau
tidak.
v. Gigi geligi Perlu diperhatikan kapan tanggal dan erupsi gigi susu atau gigi permanen.
c. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis
Pemeriksaan laboratorium dan radiologis baru dilakukan di klinik apabila terdapat gejala atau tanda akan adanya
suatu gangguan / penyakit, misalnya anemia atau pertumbuhan fisik yang tidak normal. Pemeriksaan laboratorium
yang sering adalah pemeriksaan darah untuk kadar Hb, serum protein (albumin dan globulin), dan hormon
pertumbuhan. Pemeriksaan radiologis dilakukan terutama untuk menilai umur biologis, yaitu umur tulang (boneage).
Biasanya, hal tersebut dilakukan bila ada kecurigaan akan adanya gangguan pertumbuhan. Bagian tulang yang
biasanya di rontgen adalah tulang radius sebelah kiri.
2. Deteksi Perkembangan
Menurut Frankerburg (1981) yang dikutip oleh Soetjiningsih (1995), terdapat empat aspek perkembangan anak balita, yaitu:
a. Kepribadian/tingkah laku social (personal social), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk mandiri,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan.
b. Motorik halus (fine motor adaptive), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu dan melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan otot-otot kecil, memerlukan
koordinasi yang tepat, serta tidak memerlukan banyak tenaga, misalnya memasukkan manik-manik ke dalam
botol, menempel dan menggunting.
c. Motorik kasar (gross motor), yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan
sebagian besar tubuh karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga memerlukan cukup tenaga,
misalnya berjalan dan berlari.
d. Bahasa (language), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara,
mengikuti perintah dan berbicara secara spontan. Pada masa bayi, kemampuan bahasa bersifat pasif, sehingga
pernyataan akan perasaan atau keinginan dilakukan melalui tangisan atau gerakan. Semakin bertambahnya usia, anak
akan menggunakan bahasa aktif, yaitu dengan berbicara.
Aspek-aspek perkembangan tersebut merupakan modifikasi dari tes/skrining perkembangan yang ditemukan oleh
Frankerburg, yang dikenal dengan Denver Development Screening Test (DDST), yaitu salah satu test atau metode skrining
yang sering digunakan untuk menilai perkembangan anak mulai usia 1 bulan sampai 6 tahun. Perkembangan yang
dinilai meliputi perkembangan personal sosial, motorik halus, motorik kasar dan bahasa pada anak (Nursalam dkk,
2005).
Pada buku petunjuk program BKB (Bina Keluarga dan Balita) perkembangan balita dibagi menjadi 7 aspek perkembangan,
yaitu perkembangan :
Banyak milestone perkembangan anak yang penting dalam mengetahui taraf perkembangan seorang anak (yang
dimaksud dengan milestoneperkembangan adalah tingkat perkembangan yang harus dicapai anak pada umur tertentu),
misalnya:
a. 4-6 minggu: tersenyum spontan, dapat mengeluarkan suara 1-2 minggu kemudian
b. 12-16 minggu: menegakkan kepala, tengkurap sendiri, menoleh ke arah suara, memegang benda yang ditaruh di
tangannya
c. 20 minggu: meraih benda yang didekatkan kepadanya
d. 26 minggu: Dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya,Duduk dengan bantuan kedua tangannya ke
depan, Makan biskuit sendiri
e. 9-10 bulan : Menunjuk dengan jari telunjuk, Memegang benda dengan ibu jari dan telunjuk, Merangkak, Bersuara da da
f. 13 bulan : berjalan tanpa bantuan, mengucapkan kata-kata tunggal
Dengan mengetahui berbagai milestone, maka dapat diketahui apakah seorang anak perkembangannya terlambat ataukah
masih dalam batas-batas normal. Kalau ada kecurigaan dapat dilakukan tes skrining (deteksi dini) dan intervensi dini agar
tumbuh kembang anak dapat lebih optimal, antara lain dengan DDST (Denver Development Screening Test) yaitu meliputi:
1. Motorik kasar
i. Berdiri pada satu kaki selama 1 detik
ii. Lompat di tempat
iii. Naik sepeda roda 3 (tiga)
iv. Lompatan lebar
v. Berdiri pada satu kaki selama 5 detik
2. Motorik halus
i. Mencoret sendiri
ii. Menata dari 4 kubus
iii. Menata dari 8 kubus
iv. Meniru garis vertikal dalam batas 30 derajat
v. Mengeluarkan manik-manik dari botol sendiri
vi. Mengeluarkan manik-manik dari botol dengan contoh
vii. Mengikuti membuat +
viii. Mengikuti membuat O
ix. Meniru jembatan
x. Membedakan garis panjang (3 dari 3 atau 5 dari 6).
3. Personal sosial
i. Memakai baju
ii. Mencuci dan menyeka tangan dengan lap
iii. Mudah dipisahkan dari ibu
iv. Bermain dengan anak lain
v. Mengancing baju 25
vi. Memakai baju dengan pengawasan
vii. Memakai baju tanpa bantuan
Berdasarkan buku Pedoman Deteksi Tumbuh Kembang yang disusun oleh Departemen Kesehatan RI, tes
perkembangan yang dapat dilakukan adalah Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), Kuesioner Perilaku
Anak Prasekolah (KPAP), Tes Daya Lihat dan tes kesehatan mata (TDL), serta Tes Daya Dengar anak (TDD) (Depkes
RI, 1996).
sedangkan skrining pendengaran anak , melalui anamnesis atau menggunakan audiometer kalau ada
alatnya.Disamping itu dilakukan juga pemeriksaan bentuk telinga , hidung , mulut dan tenggorokan untuk
mengetahui adanya kelainan bawaan
sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari anak. Pendengaran merupakan alat yang penting
dalam perkembangan bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami
keterlambatan kemampuan menerima ataupun mengungkapkan bahasa. Gangguan bicara juga terdapat pada tuli oleh
karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial (infeksi intra uterin: sifilis, rubella,
toksoplasmosis. sitomegalovirus), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak
dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensotik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu
pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantil, keadaan cemas dan reaksi
psikologis lainnya.
Pola bahasa juga akan terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat, demikian pula dengan anak
dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan artikulasi.
Digunakan KPSP
Anamnesis
Tahap pertama adalah melakukan anamnesis yang lengkap, karena kelainan perkembangan dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. Dengan anamnesis yang teliti maka salah satu penyebabnya dapat
diketahui.
Skrining gangguan perkembangan anak.
Pada tahap ini dianjurkan digunakan instrumen-instrumen untuk skrining guna mengetahui kelainan
perkembangan anak, misalnya dengan menggunakan DDST, tes IQ, atau tes psikologik lainnya.
Evaluasi lingkungan anak
Tumbuh kembang anak adalah hasil interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan biofisikopsikososial.
Oleh karena itu untuk deteksi dini, kita juga melakukan evaluasi lingkungan anak tersebut.
Evaluasi penglihatan dan pendengaran anak
Tes penglihatan misalnya untuk anak umur kurang dari 3 tahun dengan tes fiksasi, umur 2 ½ tahun – 3
tahun dengan kartu gambar dari allen dan diatas umur 3 tahun dengan huruf E. Juga diperiksa apakah ada
tanda strabismus dan selanjutnya periksa kornea dan retinanya. Sedangkan skrining perkembangan anak,
melalui anamnesis atau menggunakan audiometer kalau ada alatnya. Disamping itu dilakukan juga
pemeriksaan bentuk telinga, hidung, mulut dan tenggorokan untuk mengetahui adanya kelainan bawaan.
Evaluasi bicara dan bahasa anak
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan anak berbicara masih dalam batas
batas normal atau tidak. Karena kemampuan berbicara menggambarkan kemampuan SSP, endokrin, ada
atau tidaknya kelainan bawaan pada hidung, mulut dan pendengaran, stimulasi yang diberikan, emosi anak
dan sebagainya.
Pemeriksaan fisik
Untuk melengkapi anamnesis diperlukan pemeriksaan fisik, untuk mengetahui apakah terdapat kelainan
fisik yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.misalnya berbagai sindrom, penyakit jantung
bawaan, tanda tanda penyakit defisiensi dan lainnya.
Pemeriksaan neurologi
Dimulai dengan anamnesis masalah neurologi dan keadaan keadaan yang diduga dapat mengakibatkan
kelainan neurologi, seperti trauma lahir, persalinan yang lama, asfiksia berat dan sebagainya. Kemudian
dilakukan tes neurologi yang teliti, maka dapat membantu dalam diagnosis suatu kelainan, misalnya kalau
ada lesi intrakranial, serebral palsi, neuropati perifer, dan penyakit degeneratif lainnya.
o Untuk mengetahui secara dini adanya cerebral palsi, dianjurkan menggunakan pemeriksaan neurologi menurut milani
comparetti, yang merupakan cara untuk evaluasi perkembangan motorik dari lahir sampai umur 2 tahun.
Evaluasi penyakit penyakit metabolik
Salah satu penyebab gangguan perkembangan pada anak adalah disebabkan oleh penyakit metabolik. Dari
anamnesis dapat dicurigai adanya penyakit metabolik, apabila ada anggota keluarga lainnya yang terkena
penyakit yang sama. Adanya tanda tanda klinis seperti rambut yang pirang dicurigai adanya PKU
(phenylketouria), ataksia yang intermitten dicurigai adanya hiperamonemia dan sebagainya. Disamping itu
diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan kecurigaan kita.
Integrasi dari hasil penemuan
o Berdasarkan anamnesis dan semua pemeriksaan tersebut diatas, dibuat suatu kesimpulan diagnosis dari gangguan
perkembangan tersebut. Kemudian ditetapkan penatalaksanaannya, konsultasi kemana dan prognosisnya.
Tinggi badan
Seperti halnya berat badan, tinggi badan juga dapat diperkirakan berdasarkan rumus dari Behrman (1992), yaitu:
Lingkar kepala
Secara normal, pertambahan ukuran lingkar pada setiap tahap relatif konstan dan tidak dipengaruhi oleh faktor ras,
bangsa, dan letak geografis. Saat lahir, ukuran lingkar kepala normalnya adalah 34-35 cm. Kemudian akan
bertambah sebesar ± 0,5 cm / bulan pada bulan pertama atau menjadi ± 44 cm. pada 6 bulan pertama ini, pertumbuhan
kepala paling cepat dibandingkan pada tahap berikutnya, kemudian tahun-tahun pertama lingkar kepala bertambah
tidak lebih dari 5 cm per tahun, setelah itu sampai usia 18 tahun lingkar kepala hanya bertambah ± 10 cm.
Pengukuran lingkar kepala lebih sulit untuk dilakukan bila dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya dan
jarang dilakukan pada balita, kecuali apabila ada kecurigaan akan pertumbuhan yang tidak normal. Namun alat yang
dibutuhkan cukup sederhana, yaitu dengan pita pengukuran (meteran).
Lipatan kulit
Tebalnya lipatan kulit pada daerah triceps dan subskapular merupakan refleksi pertumbuhan jaringan lemak di
bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi. Apabila anak mengalami defisiensi kalori, maka lipatan kulit
menipis, lipatan tersebut akan menebal bila anak kelebihan energi.
b. Keseluruhan fisik
Berkaitan dengan pertumbuhan, hal-hal yang dapat diamati dari pemeriksaan fisik adalah :
vi. Keseluruhan fisik Dilihat bentuk tubuh, perbandingan kepala, tubuh dan anggota gerak, ada tidaknya odema,
anemia, dan ada tanda gangguan lainnya.
vii. Jaringan otot Dapat dilihat dengan cubitan tebal pada lengan atas, pantat, dan paha untuk mengetahui lemak
subcutan.
viii. Jaringan lemak Diperiksa dengan cubitan tipis pada kulit di bawah triceps dan subskapular.
ix. Rambut Perlu diperiksa pertumbuhannya, tebal / tipisnya rambut, serta apakah akar rambut mudah dicabut atau
tidak.
x. Gigi geligi Perlu diperhatikan kapan tanggal dan erupsi gigi susu atau gigi permanen.
c. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis
Pemeriksaan laboratorium dan radiologis baru dilakukan di klinik apabila terdapat gejala atau tanda akan adanya
suatu gangguan / penyakit, misalnya anemia atau pertumbuhan fisik yang tidak normal. Pemeriksaan laboratorium
yang sering adalah pemeriksaan darah untuk kadar Hb, serum protein (albumin dan globulin), dan hormon
pertumbuhan. Pemeriksaan radiologis dilakukan terutama untuk menilai umur biologis, yaitu umur tulang (boneage).
Biasanya, hal tersebut dilakukan bila ada kecurigaan akan adanya gangguan pertumbuhan. Bagian tulang yang
biasanya di rontgen adalah tulang radius sebelah kiri.
4. Deteksi Perkembangan
Menurut Frankerburg (1981) yang dikutip oleh Soetjiningsih (1995), terdapat empat aspek perkembangan anak balita, yaitu:
a. Kepribadian/tingkah laku social (personal social), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk mandiri,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan.
b. Motorik halus (fine motor adaptive), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu dan melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan otot-otot kecil, memerlukan
koordinasi yang tepat, serta tidak memerlukan banyak tenaga, misalnya memasukkan manik-manik ke dalam
botol, menempel dan menggunting.
c. Motorik kasar (gross motor), yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan
sebagian besar tubuh karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga memerlukan cukup tenaga,
misalnya berjalan dan berlari.
d. Bahasa (language), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara,
mengikuti perintah dan berbicara secara spontan. Pada masa bayi, kemampuan bahasa bersifat pasif, sehingga
pernyataan akan perasaan atau keinginan dilakukan melalui tangisan atau gerakan. Semakin bertambahnya usia, anak
akan menggunakan bahasa aktif, yaitu dengan berbicara.
Aspek-aspek perkembangan tersebut merupakan modifikasi dari tes/skrining perkembangan yang ditemukan oleh
Frankerburg, yang dikenal dengan Denver Development Screening Test (DDST), yaitu salah satu test atau metode skrining
yang sering digunakan untuk menilai perkembangan anak mulai usia 1 bulan sampai 6 tahun. Perkembangan yang
dinilai meliputi perkembangan personal sosial, motorik halus, motorik kasar dan bahasa pada anak (Nursalam dkk,
2005).
Terlambatnya perkembangan pada anak dibawah usia 6 tahun seringkali merupakan gejala awal dari retardasi mental.
A developmental delay is any significant lag in a child's physical, cognitive, behavioral, emotional, or social development, in
comparison with norms.
Author Info: Aliene S. Linwood RN, DPA, FACHE, Thomson Gale, Gale, Detroit, Gale Encyclopedia of Children's Health,
2006
i. Spesifik Delay Development: yaitu gangguan salah satu dari ke 4 parameter antara lain motorik
kasar,motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandiriaan
ii. Global Delay Development: gangguan pada keempat yaitu motorik kasar,motorik halus, kemampuan bicara
dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandiriaan.
(Narendra MB dkk. TUMBUH KEMBANG ANAK dan REMAJA edisi pertama tahun 2002.Ikatan dokter Anak Indonesia.Sagung
seto.2002)
a.Personal social ( perilaku social ) aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungannya
b. Fine motor adaptive ( gerakan motorik halus ) aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian2 tubuh tertentu dan dilakukan otot2 kecil,
tetapi memerlukan koordinasi yang cermat
c. Language ( bahasa ) kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan
berbicara spontan
d. Gross motor ( gerakan motorik kasar ) aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh
( Tumbuh Kembang Anak, dr. Soetjiningsih, SpAK. EGC )
2. emosi
a. ibu yang tertekan a. terlambat pemerolehan bahasa
b. gangguan serius pada orang tua b. terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
c. gangguan serius pada anak c. terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
3. masalah pendengaran
a. kongenital a. terlambat/gangguan bicara permanen
b. didapat b. terlambat /gangguan bicara permanen
4. perkembangan terlambat
a. perkembangan lambat a. terlambat bicara
b. perkembangan lambat, tetapi masih dalam
batas rata-rata b. terlambat bicara
c. retardasi mental c. pasti terlambat bicara
5. cacat bawaan
a. palatoschiziz a. terlambat dan terganggu kemampuan bicaranya
b. sindrom down b. kemampuan bicaranya lebih rendah
6. kerusakan otak
a. mempengaruhi kemampuan mengisap, menelan,
mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan bicara dan
a. kelainan neuromuskular
artikulasi seperti disartria
4. Kelainan Genetik
Faktor genetik memiliki sebagian peranan dalam menyebabkan CP, baik berperan sebagai bagian dalam multi causal
pathway maupun sebagai satu–satunya penyebab. Pada suatu kebudayaan atau suatu daerah yang terisolasi, dimana
perkawinan sedarah (cosanguinous) merupakan hal yang biasa, maka genetik dapat muncul sebagai penyebab CP.
Suatu studi melaporkan bahwa apabila dalam keluarga terdapat penderita CP, kemungkinan untuk terjadi CP lagi lebih besar
dibandingkan dengan kontrol. Ketika melibatkan variabel kelahiran kembar, jika salah satu meninggal baik di dalam rahim
maupun setelah dilahirkan, maka kemungkinan terjadinya CP yang kedua meningkat, baik pada kembar identik atau tidak.
Bila diperkirakan kedua anak kembar berjenis kelamin sama, monochorionicity merupakan faktor yang meningkatkan
kemungkinan kedua bayi tersebut menderita CP. (Stanley et al., 2000)
5. Status Sosial Ekonomi
Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan anak-anak telah diketahui secara luas. Meskipun mekanisme yang
menghubungkan antara keduanya masih sulit dimengerti, namun peningkatan kemiskinan terbukti berkorelasi negatif
terhadap status kesehatan, pertumbuhan fisik dan perkembangan, dan juga meningkatkan risiko kematian pada anak-anak.
(Séquin et al., 2003)
Etiologi mekanisme hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan kejadian CP sangat komplek. Telah banyak laporan
penelitian yang dipublikasikan tentang pengujian terhadap efek sosial ekonomi terhadap kejadian CP kongenital, meskipun
beberapa menghubungkan sosial ekonomi bersama-sama dengan faktor kelahiran preterm dan intrauterine growth restriction.
Penelitian yang dilakukan Dowding dan Barry (1990) menunjukkan trend yang jelas terjadinya peningkatan kejadian CP
kongenital dengan semakin menurunnya tingkat sosial ekonomi dengan menggunakan estimasi pekerjaan ayah. (Stanley et
al., 2000)
6. Induksi Konsepsi
Sejak tahun 1980-an proporsi kehamilan kembar pada negara– negara maju semakin meningkat. Peningkatan ini sebagian
disumbang oleh peningkatan kelahiran kembar secara alami dan sebagian lagi dari meningkatnya usia rata-rata maternal
akibat penundaan kehamilan. Selain itu, keberadaan obat–obat penyubur kandungan yang tersebar luas dan berkembangnya
metode–metode terapi infertilitas, juga bertanggungjawab terhadap meningkatnya sebagian besar kehamilan kembar yang
terjadi. Induksi konsepsi secara prinsip menyebabkan peningkatan angka kehamilan kembar polizygotik maupun insiden
kehamilan kembar monozygotik. Angka kejadian CP sangat tinggi pada kelahiran yang menyertai kehamilan kembar.
Kehamilan kembar berhubungan erat dengan perkembangan janin yang buruk, kelahiran prematur, birth defects dan
komplikasi intrapartum, yang kesemuanya itu masing-masing berhubungan erat dengan kejadian CP. Selain faktor-faktor
tersebut, yang juga berpengaruh besar terhadap peningkatan prevalensi CP adalah kematian salah satu bayi kembar dalam
kandungan. (Stanley et al., 2000)
7. Riwayat Obstetrik
Seorang anak yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai siklus menstruasi yang panjang, berisiko menderita CP. Begitu pula
dengan anak yang dilahirkan dari ibu yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Dan seorang anak yang ibunya
memiliki riwayat obstetrik buruk, yaitu pada kehamilan sebelumnya mengalami keguguran, lahir mati, kematian perinatal,
kelahiran prematur dan lahir cacat akibat asfiksia neonatal, berisiko menderita CP dibandingkan yang tidak memiliki riwayat
obstetrik buruk. Temuan ini mengindikasikan bahwa siklus menstruasi ibu dan riwayat obsterik buruk juga merupakan faktor
risiko CP. (Kuban, 1994)
8. Penyakit yang Diderita Ibu
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan masa nifas yang terdiri dari
trias : hipertensi, proteinuri dan edema, yang kadang-kadang disertai konvulsi dan koma. Pada pre-eklamsi terjadi spasme
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan
darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dicukupi. (Mochtar, 1998)
Spasme pembuluh darah juga menyebabkan aliran darah ke plasenta menjadi menurun dan menyebabkan gangguan plasenta
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan asfiksia intrauteri. Selain itu, pada pre-eklamsi dan eklamsi sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaannya terhadap rangsang, sehingga terjadi partus prematurus. (Mochtar, 1998) Seperti
diketahui bahwa gangguan pertumbuhan janin, asfiksia intrauteri dan partus prematurus merupakan faktor risiko terjadinya
CP (Stanley et al., 2000).
9. Keracunan Kehamilan
Banyak bahan–bahan kimia yang diketahui memiliki efek merugikan terhadap perkembangan otak janin. Ketika janin
terpapar oleh alkohol dalam jumlah besar, beberapa sistem tubuh, termasuk system neurologis, akan mengalami kerusakan.
Bila hal ini dilakukan dalam jangka waktu panjang, terutama pada ibu hamil yang mengkonsumsi/menyalahgunakan alkohol,
akan menimbulkan efek multisistem, yang dikenal dengan fetal alcohol syndrome. (Stanley et al., 2000)
Alkohol dan rokok memiliki efek yang sangat merugikan pada perkembangan janin, dan seringkali diremehkan sebagai
penyebab CP. Hal ini disebabkan karena, seringkali kuesioner atau laporan dari perusahaan asuransi tidak melaporkan status
ibu pecandu rokok atau pecandu minuman keras. Penggunaan kokain adalah salah satu sumber efek yang merugikan dan
seringkali sulit untuk menentukan apakah itu merupakan salah satu penyebab, ketika suatu penyakit terdiagnosa di kemudian
hari. Kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kecacatan organ dan komplikasi–komplikasi pembuluh darah, berat badan
lahir rendah dan kelahiran prematur, adalah efek dari penyalahgunaan kokain.
Kokain selain dapat menyebabkan CP, juga diduga menyebabkan autism pada anak. (Stanley et al., 2000) Fetal alcohol
syndrome, dapat melemahkan sejumlah system tubuh dapat menyebabkan microcephaly, facial dismorphisms, intrauterine
growth retardation berat, retardasi mental dan CP. Diperkirakan sekitar 8 % dari anak – anak yang menderita fetal alcohol
syndrome, selanjutnya berkembang menjadi CP. Prosentase ini menjadi lebih besar di negara– negara berkembang, dimana
penyalahgunaan alkohol tidak terdata. Selain itu, alkohol yang menghambat migrasi neuronal pada janin juga dapat
menyebabkan CP. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah. Berat badan lahir rendah dan
prematuritas adalah faktor risiko utama CP. Kebiasaan merokok pada ibu hamil, merupakan suatu variable yang biasanya
sulit terukur pada penelitian–penelitian sebelumnya. (Stanley et al., 2000)
Agen–agen yang berasal dari lingkungan juga dapat menjadi penyebab, terutama pada lingkungan yang bersifat toksik, akan
berdampak buruk pada neonatus. Diantara variabel–variabel yang ada pada lingkungan saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, sehingga sangat sulit untuk dipisahkan. Salah satu contoh yang berhasil didokumentasikan dengan baik adalah kasus
Minamata Bay yang terjadi di Jepang, dimana menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin. (Stanley et al., 2000)
Dari data yang dikumpulkan pada kejadian tersebut, didapatkan angka insiden spesifik jumlah anak–anak yang terkena
dampak di suatu daerah dengan geografis tertentu secara tiba–tiba meningkat karena adanya pencemaran lingkungan. Selain
itu, terjadi epidemik CP yang terjadi pada tahun 1953 – 1971, yang pada akhirnya diketahui bahwa kejadian tersebut
disebabkan oleh pembuangan metil merkuri yang berasal dari pabrik vinyl chloride acetaldehyde ke sungai. Hal ini
menyebabkan kandungan metil merkuri dalam ikan yang dikonsumsi oleh penduduk sekitar, terutama ibu hamil, menjadi
tinggi. (Miller & Bachrach, 1995)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suwijiyo terbukti bahwa jamu kunir asam berbahaya bila diminum oleh wanita
hamil. Jumlah kunyit (Curcuma domestica val) yang dominan dalam ramuan kunir asam yang kental perlu diperhatikan
waktu penggunaannya, karena ekstrak kunyit memiliki efek stimulan pada kontraksi uterus dan berefek abortivum. (Katno &
S. Pramono, 2004) Menurut United States Food and Drugs Administration, ada beberapa jenis obat yang dilarang untuk
dikonsumsi oleh wanita hamil dan obat yang boleh dikonsumsi hanya dengan resep dokter. Obat-obat tersebut antara lain :
aspirin, ibuprofen (Motrin, Advil) dan thalidomide. Obat-obat tersebut berbahaya bagi perkembangan janin jika dikonsumsi
pada ibu hamil, terutama pada usia gestasi kurang dari 3 bulan (Anonim, 2005). Selain itu, penggunaan antibiotik pada saat
hamil juga terbukti sebagai fakor risiko terjadinya CP. (Stanley et al., 2000; O’Shea, 1998)
10. Infeksi Intrauteri
Ketika infeksi–infeksi seperti rubella (German Measles), toksoplasmosis (penyakit akibat masuknya mikroorganisme parasit)
dan virus yang dikenal sebagai cytomegalovirus, menyerang ibu hamil, dapat menyebabkan kerusakan pada otak janin.
Rubella dapat dicegah dengan imunisasi (seorang wanita harus diimunisasi rubella sebelum dia hamil), dan kemungkinan
terinfeksi toksoplasma dapat diminimalisasi dengan tidak memegang feses kucing dan menghindari memakan daging mentah
atau setengah matang. Banyak infeksi lain yang dapat menyerang wanita hamil yang juga dapat mengganggu perkembangan
janin, tetapi hal ini diabaikan sebagai penyebab CP pada neonatal, karena ibu–ibu yang terinfeksi tidak mengetahui gejala
infeksi yang dialami atau mungkin infeksi ini tidak menampakkan gejalanya. (Miller & Bachrach, 1995) Human
immunodeficiency virus (HIV) adalah satu dari banyak agent infeksius yang dapat berperan menyebabkan CP, meskipun yang
lebih sering terjadi adalah retardasi mental. Virus Cytomegalovirus berdampak ringan pada ibu, namun hal ini dapat
menyebabkan janin yang dikandung mengalami kerusakan otak yang dapat berakibat terjadinya CP. Infeksi parasit ringan
seperti toksoplasmosis juga seringkali tidak diketahui oleh ibu hamil, hingga waktu kelahiran. Walaupun bayi prematur
memiliki kemungkinan risik lebih besar yang tidak terelakkan daripada bayi cukup bulan, namun beberapa factor yang
disebabkan oleh infeksi dapat meningkatkan kemungkinan bayi cukup bulan mengalami CP hingga 9 kali. Variabel–variabel
infeksi yang ada antara lain infeksi air ketuban, placenta, traktus urinaria,
chorioamnioitis atau infeksi yang menyerang membran di sekeliling janin
dan amniotic sac. Selain itu, jika ibu hamil mengalami demam tinggi hingga mencapai > 100,4 F (380 C), maka hal ini perlu
dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko penting. (Stanley et al., 2000)
11. Primipara
Berdasarkan data kelahiran di Australia Barat tahun 1980 – 1992, risiko kejadian CP tertinggi terjadi pada kelahiran anak
pertama. (2,3 per 1.000 kelahiran 95% CI 2,0 – 2,6) dibandingkan dengan kelahiran anak kedua atau ketiga yang
diperkirakan sebesar 2,04 per 1.000 kelahiran. (Stanley et al., 2000)
Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada kehamilan anak pertama umumnya membutuhkan waktu persalinan yang cukup
panjang. Persalinan yang cukup panjang memungkinkan banyak hal yang terjadi, diantaranya adalah kehabisan cairan
ketuban yang menyebabkan partus macet, upaya mengedan ibu berisiko berkurangnya suplai oksigen ke plasenta sehingga
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia janin. Hipoksia janin berkaitan erat dengan asfiksia neonatorum, dimana terjadi
perubahan pertukaran gas dan transport oksigen yang akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat
menyebabkan kerusakan otak. (Wiknjosastro, 2002)
12. Malnutrisi
Crawford mempelajari 500 wanita hamil dan menemukan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR mengalami
defisiensi 43 dari 44 vitamin, mineral, dan asam lemak yang berbeda ketika dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak
dengan BB normal. Ada beberapa intervensi yang sangat preventif yang akan mengurangi CP rate. Salah satunya adalah
vaksinasi rubella. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya Rh inkompatibilitas dan
diperpanjangnya kampanye oleh WHO dan UNICEF tentang kekurangan iodium dalam garam dan tanah dari suatu
komunitas dapat memicu terjadinya endemik krentin dan CP tipe spastik diplegia pada kamunitas tersebut. Hal ini diharapkan
menjadi sumber–sumber yang dapat digunakan sebagai tindakan preventif terhadap kejadian CP yang banyak terjadi di
negara berkembang. Defisiensi iodium dapat menimbulkan outcome patologis yang pengaruhnya sangat merugikan dari
janin, bayi, anak–anak dan remaja sampai dengan dewasa. Apabila defisiensi iodium terjadi pada awal masa kehamilan akan
menimbulkan spektrum kelainan, dari kematian sampai kretin klinik (spastik diplegia dan bisu tuli). Terdapat banyak lemak
dan asam lemak yang penting atau esensial untuk mendapatkan janin yang sehat, yaitu arachidonic acid, arachidonyl
phosphoglycerol, docosahexaenyl glyceride dan endothelial ethanolamine phosphoglyceride yang vital untuk integritas
membran. Kekurangan lemak dan asam lemak tersebut diduga merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, kelahiran prematur,
lambatnya pertumbuhan janin dan CP. Asam linoleat dan linolenat sangat vital dalam pembentukan jaringan otak dan
infrastruktur darah.
Konstelasi nutrisi yang dimiliki ibu pada masa konsepsi berhubungan sangat erat dengan prediksi terjadinya CP. Ketersedian
makanan yang baik pada negara–negara berkembang dan negara miskin sangat vital dalam rangka menekan CP rate daripada
waktu–waktu sebelumnya. Apabila nutrisi, vaksinasi dan komplikasi golongan darah diperhatikan, maka kejadian CP di
beberapa belahan dunia dapat direduksi secara drastis. (Stanley et al, 2000)
13. Hipotiroid dan Hipertiroid
Glandula tiroid, terletak dekat pangkal tenggorok, berfungsi mengontrol semua fungsi sel–sel tubuh dengan memproduksi
hormone tiroid. Kelainan tiroid dapat terjadi ketika glandula tiroid menghasilkan hormon yang kurang atau berlebihan.
Produksi hormon tiroid terlalu sedikit menyebabkan hipotiroidisme, yang akan memperlambat metabolisme tubuh dan fungsi
organ. Kelainan pada tiroid yang sering dijumpai adalah hipotiroidisme dan menyerang 1 dari 10 wanita. Penyakit ini
menyebabkan penderita mengalami perasaan lelah dan kedinginan. Selain itu juga dapat menyebabkan rambut rontok,
peningkatan berat badan, kulit menjadi sangat kering, rambut dan kuku yang kasar dan rapuh, kelalaian, kehilangan mood,
depresi dan nyeri otot. Hipotiroidisme dapat disebabkan oleh Hashimoto’s Disease, dimana sistem imun menyerang tiroid.
Sebaliknya, hipertiroidisme terjadi ketika tiroid mengalami overaktif dan memproduksi hormon terlalu banyak yang
menyebabkan tubuh secara abnormal berfungsi lebih cepat. Hipertiroidisme dapat menyebabkan kegelisahan, meningkatnya
nafsu makan, berkeringat, gemetar, irritabilitas atau insomnia. Hipertiroidisme seringkali diperparah oleh Grave’s disease
yang menyebabkan sistem autoimun mempercepat produksi hormon. Gejala Grave’s disease yang paling tampak adalah kulit
memerah dan/atau mata menonjol. (Stanley F et al., 2000)
14. Antenatal care
Antenatal care dilakukan dengan tujuan pengawasan ibu hamil agar ia benar-benar siap secara fisik maupun mental, serta
menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan postpartum mereka sehat dan
normal, baik fisik maupun mental. (Wiknjosastro, 2002) Jika antenatal care yang baik dapat mencegah terjadinya CP, maka
penurunan angka kejadian CP lebih dipengaruhi oleh antenatal care yang baik daripada yang buruk. Hanya sedikit bukti
yang kuat yang mendukung pernyataan tersebut. Beberapa dekade terakhir, teknologi – teknologi baru seperti electronic fetal
monitoring diperkenalkan pada dunia obstetrik. Diduga dengan deteksi dini fetal distress akan mencegah terjadinya
kerusakan otak janin dan CP, yang terjadi pada kelahiran dini (misalnya dengan seksio caesar). Meskipun cara ini terbukti
mencegah kematian perinatal, namun belum ada bukti yang cukup bahwa teknik ini menurunkan angka kejadian CP. Di lain
pihak pemeriksaan ini justru meningkatkan angka seksio caesar. (Anonim, 1995)
15. Usia gestasi
Menurut definisi yang dikemukakan oleh WHO bahwa semua bayi yang lahir sebelum 37 minggu dikatakan sebagai kurang
bulan/prematur, hal ini dikarenakan kelahiran yang terjadi sebelum 32 minggu, bertanggungjawab terhadap banyaknya
kejadian kematian dan kecacatan. Selain itu, prematuritas merupakan penyebab utama long-term neurological morbidity.
Peningkatan CP telah diamati sejak pertengahan tahun tujuh puluhan, terutama yang terjadi pada anak – anak yang
mengalami kelahiran sangat dan amat sangat prematur. (Jacobsson, 2003) Berikut adalah grafik prevalensi CP tiap 1000
kelahiran berdasarkan usia gestasi :
Grafik 2.1 Prevalensi Cerebral palsy per 1000 Kelahiran Hidup berdasarkan Usia Gestasi (Hargberg et al.,2001) Bayi kurang
bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan, karena pembuluh
darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain–lain masih belum sempurna. (Anonim, 2002)
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dari 42 minggu lengkap, merupakan bayi postmatur. Pada peristiwa ini akan
terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasokan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami
oleh bayi yang lahir post matur adalah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin pada
persalinan terjadi bila : berat badan bayi > 4000 gram, kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio
caesar. (Wiknjosastro, 2002)
16. Kelainan letak
Penelitian oleh Nelson dan Ellenberg yang menyatakan bahwa bencana terbesar pada intrapartum events adalah hal-hal yang
menyebabkan terjadinya asfiksia pada janin antara lain kelainan letak (Nelson, 1996; Stanley et al., 2000). Kelainan letak
seperti disproporsio cephalopelvik dan letak abnormal, merupakan salah satu penyebab partus lama atau macet yang
menyebabkan trauma berkepanjangan terhadap janin. Trauma saat persalinan dapat menimbulkan perdarahan intracranial
yang berisiko pada kejadian CP (Reddihough, 2003)
17. Ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini (KPD) atau spontaneous / early / premature rupture of membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban
sebelum in-partu; yaitu bila pembukaan pada primi < 3 cm dan pada multipara < 5 cm. Bila periode laten terlalu panjang dan
ketuban sudah pecah, maka dapat terjadi infeksi yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Penyebab KPD masih belum jelas, maka tidak dapat dilakukan pencegahan. (Mochtar, 1998)
KPD memiliki etiologi lebih dari satu terhadap terjadinya CP. Pada etiologi KPD yang berbeda mungkin hanya berpengaruh
pada salah satu bentuk CP saja. Tidak semua bentuk CP memiliki KPD sebagai factor risikonya. (Stanley et al., 2000)
18. Lama persalinan
Partus lama menurut Harjono adalah fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga
meninbulkan gejala-gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin dalam kandungan. Bila
persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik terhadap ibu maupun janin dan dapat
meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Selain itu, partus lama dapat menimbulkan perdarahan intrakranial pada bayi.
Berdasarkan pada tempat dan luasnya jaringan otak, perdarahan akan menyebabkan kematian dan CP. (Mochtar, 1998)
19. Tindakan persalinan
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau
cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subarakhnoid dan perdarahan
intraventrikular. (Soetomenggolo & Ismael, 1999)
Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. (Wiknjosastro, 2002) Perdarahan subarakhnoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan. Manifestasi
neurologik dapat berupa iritabel dan kejang. (Soetomenggolo & Ismael, 1999)
20. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bukti–bukti menunjukkan bahwa 5% dari bayi yang lahir dengan berat badan lahir (BBL) < 2500 gram akan berkembang
menjadi CP. Bayi yang bertahan hidup yang lahir sebelum usia kehamilan mencapai 33 minggu, berisiko 30 kali lebih besar
mengalami CP daripada bayi yang dilahirkan cukup bulan. Semakin muda usia gestasi, semakin rendah BBL, maka semakin
tinggi risiko untuk menderita CP. Secara ekstrim bayi dengan BBLR 100 kali lebih berisiko mengalami CP daripada bayi
dengan BBL normal.
Selain itu, adapula faktor ras dan kebudayaan yang mempengaruhi hubungan antara BBLR terhadap CP. Misalnya, bayi
prematur di Amerika Serikat berisiko dua kali menderita CP. Sedangkan bayi kulit hitam meskipun cukup bulan berisiko tiga
kali menderita CP. (Stanley et al., 2000)
21. Kehamilan kembar
Kehamilan kembar sangat berhubungan dengan pertumbuhan intrauterin yang buruk, kelahiran prematur, cacat bawaan dan
komplikasi intrapartum, yang semuanya juga berhubungan dengan CP pada kehamilan tunggal. Namun, faktor–faktor
tersebut tidak seluruhnya berperan meningkatkan prevalensi CP. Adapun yang berkaitan erat antara CP dengan problem
spesifik kehamilan kembar, adalah kematian intrauterine salah satu janin. Suatu studi yang dilakukan di Jepang yang
dipublikasikan tahun 1995, meneliti tentang perbandingan CP rate pada anak kembar dua, kembar tiga dan kembar empat.
Hasilnya didapatkan CP rate pada kelahiran tunggal 2,5; pada kembar dua 9; pada kembar tiga 31 dan pada kembar empat
111 per 1000 kelahiran. Dalam studi yang lain menunjukkan CP 2,7 kali lebih besar pada kembar dua dengan BBL <2500
gram daripada pada kelahiran tunggal, dengan korelasi yang kuat, dan hal ini menyebabkan bertambahnya sumber multi
kausal yang memicu terjadinya CP.
Belum ada masalah–masalah tambahan yang secara spesifik mempersulit kehamilan kembar, contohnya apakah kelahiran
berikutnya setelah kelahiran kembar menjadi lebih rentan terkena CP atau tidak. Namun perlu digarisbawahi bahwa
kehamilan kembar lebih rentan terhadap risiko mengalami pemendekan waktu gestasi (lahir prematur) dibandingkan dengan
kehamilan tunggal. Selain itu, terdapat beberapa komplikasi selama proses melahirkan yang khusus pada kehamilan kembar,
dapat menimbulkan manifestasi fetal distress dan kemungkinan kerusakan otak. Walaupun tampaknya CP jauh lebih banyak
terjadi pada kehamilan kembar, namun masih belum ditemukan bukti bahwa keparahan yang ditimbulkan lebih ekstrem
daripada pada kehamilan tunggal. (Stanley et al., 2000)
22. Jaundice
Pigmen empedu adalah komponen yang secara normal ditemukan dalam jumlah yang kecil dalam aliran darah, yang
diproduksi ketika sel–sel darah dihancurkan. Ketika banyak darah yang dihancurkan dalam waktu yang pendek, seperti pada
kondisi yang disebut inkompatibilitas Rh, pigmen yang berwarna kuning dapat berkembang dan menyebabkan jaundice.
Jaundice yang parah dan tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan sel–sel otak.
Beberapa bentuk CP tampak menurun secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir. Jaundice berat yang disebabkan oleh
erythtoblastosis fetalis, yang merupakan hasil dari inkompatibilitas Rh darah ibu dengan bayinya, menyebabkan terjadinya
kerusakan otak dan CP, terutama tipe athetoid. Hal ini terjadi karena sistem imun ibu menyerang sel–sel darah janin dan
merusak kemampuannya mengolah bilirubin yang menyebabkan kerusakan hati dan otak. Kulit dan mata berwarna kuning
pucat terjadi karena ambient bilirubin yang larut dalam lapisan lemak di bawah kulit, malah diproses oleh hati yang
diekskresikan melalui empedu.
Transfusi dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi janin, atau dapat pula menyusun transfusi dalam skala besar setelah
proses kelahiran. Selanjutnya, suatu serum Rh immune globulin dapat diberikan kepada ibu 72 jam setelah melahirkan yang
digunakan untuk menghambat produksi antibodi yang tidak diinginkan yang akan mengganggu janin berikutnya. (Stanley et
al., 2000)
23. Asfiksia Neonatorum
Sebelum menetapkan suatu diagnosis birth asphyxia, dibutuhkan adanya bukti–bukti pendukung lain, yaitu dengan
ditemukan tanda–tanda sebagai berikut : (1) Hypoxia; yang diikuti dengan (2) dekompensasi respon janin yang menandakan
bahwa telah terjadi hypoxia yang berat yang melampaui kapasitas adaptasi janin; (3) Neonatal encephalopathy dan (4)
Hubungan kausal yang memungkinkan antara encephalopathy dan hypoxia. Probabilitas terjadinya birth asphyxia semakin
tinggi bila tidak ditemukan adanya preexisting neurological deficit. (Stanley et al., 2000)
Kekurangan oksigen pada bayi sesaat sebelum atau selama proses persalinan dapat disebabkan oleh beberapa hal yang
berbeda, yaitu (1) pada ibu : hipotensi maternal akut, rupturnya vasa previa, rupturnya uterus, komplikasi kardiologi,
perdarahan intrapartum, trauma; (2) Selain itu, kerusakan pada janin dapat terjadi karena disproporsi cephalophelvic,
presentasi abnormal, distosia bahu, separasi plasenta prematur komplikasi tali pusat. Organ tubuh yang rentan (otak), pada
saat yang sulit (proses kelahiran) dapat terpapar aliran darah yang rusak, yaitu darah yang mengandung sedikit oksigen yang
berasal dari paru–paru yang tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, adanya tekanan pada cranium, dapat mengubah bentuk
kepala sehingga menyebabkan perdarahan dan menurunnya aliran darak ke bagian otak lain yang belum rusak. (Stanley et al.,
2000)
Ketika diagnosa CP dilakukan pada masa kanak–kanak, seringkali ditemukan bahwa mereka mengalami asfiksia pada saat
lahir. Namun sebaliknya, asfiksia seringkali dianggap sebagai tanda adanya kerusakan neurologis pada bayi, bukan
merupakan penyebab utama CP. Dalam dua penelitian besar yang berbeda, ditemukan bahwa hanya 9 % dari penderita CP,
yang diduga disebabkan langsung dan hanya oleh asfiksia pada saat proses persalinan. Sedangkan 91 % lainnya disebabkan
oleh hal lain, yang dapat menyebabkan prematuritas dan masalah/ kelainan neonatal (kelainan yang terjadi saat persalinan
atau sesaat setelah persalinan. Rupanya hal ini yang menyebabkan mengapa insiden CP di negara miskin, dimana angka
kematian bayi sangat tinggi, sama dengan insiden CP di negara–negara di Eropa Utara, dimana angka kematian bayi terendah
di dunia. Hal ini juga menjelaskan mengapa pemeriksaan obstetrik modern, termasuk monitoring janin dan tingginya angka
kelahiran dengan Cesarean section, dapat menurunkan angka kematian bayi, tetapi tidak dapat menurunkan insiden CP.
(Miller & Bachrach, 1995) Skor Apgar digunakan untuk menentukan kerentanan bayi terhadap CP dan trauma lain akibat
proses persalinan. Untuk menentukan skor Apgar dilakukan evaluasi terhadap pernafasan, detak jantung, tonus otot, warna
kulit dan waktu reaksi motorik pada bayi. Semakin rendah skor yang didapat, semakin berisiko pula bayi tersebut untuk
mengalami CP. Misalnya bayi dengan skor Apgar 3 pada 20 menit pertama setelah kelahiran, memberikan risiko 250 kali
lebih besar mengalami CP daripada bayi dengan skor Apgar normal. Selain itu, skor Apgar juga menunjukkan kemungkinan
terjadinya asfiksia yang parah. Hanya setengah dari bayi– bayi yang memiliki skor Apgar normal pada 20 menit setelah
kelahiran, yang akan tumbuh menjadi CP. (Stanley et al., 2000)
64
24. Trauma Kepala pada Postnatal
Seorang anak menderita CP tidak hanya berhubungan dengan efek pada masa kehamilan dan trauma proses persalinan.
Namun dapat pula terjadi akibat beberapa hal, antara lain trauma pada sistem saraf pusat, haemophilus influenza meningitis,
haemophilus influenza type B, Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitides, pertussis, imunisasi melawan pertussis,
sindrom Reye, sindrom ALTE dan QT. Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain asfiksia, hipoksia, terpapar bahan kimia
yang besifat toksik, cedera kepala, cerebral haemorrhage, malnutrisi, kejang, dehidrasi yang mengikuti gastroenteritis,
tenggelam, tercekik, tersengat listrik dan shock akibat luka bakar. Infeksi dan trauma kepala adalah dua hal yang paling
sering terjadi pada kelompok umur tertentu. Trauma kepala umumnya terjadi pada anak berusia diatas 2 tahun dan infeksi
umumnya terjadi pada usia dibawah 2 tahun. Suatu studi melaporkan bahwa 27 % kasus CP postneonatal terjadi pada usia 5–
10 tahun. (Eve et al., 1982)
25. Sebab–sebab lain
Ada beberapa variabel atau faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian CP. Antara lain : tingkat hormon thyroid pada
bayi, kelainan pembekuan atau clotting defect baik pada ibu maupun pada bayi, perdarahan vagina, hypocalcaemia,
polycythaemia, hypoglycaemia pada bayi, paparan radiasi atau methylmercury pada ibu hamil dan depresi ruang persalinan.
Lebih dari 400 bayi prematur, ditemukan memiliki kadar thyroxine yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup
bulan, sehingga lebih berisiko mengalami CP. Thyroxine adalah hormon yang dihasilkan oleh thyroid. Kekurangan hormon
ini desebut hypothyroxinemia. Pada penelitian tersebut telah disimpulkan bahwa hypothyroxinemia merupakan gejala dari
suatu kondisi atau suatu penyebab bayi dengan BBL 1500 g, yang dilahirkan dari ibu yang mengalami perdarahan vagina
pada saat persalinan, berisiko tumbuh menjadi CP bila dilahirkan lebih dari 29 minggu kehamilan. (Stanley et al., 2000)
ETIOLOGI
Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab CP berbeda–beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi
antara lain : terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik sakit sejak dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang
bulan dengan berat badan lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat rendah, yang berisiko CP dan
terminologi tentang anak–anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko mengalami CP setelah masa
kanak–kanak. (Swaiman, 1998)
Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang
menderita kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995)
Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.
1. Pranatal
− Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom (Soetjiningsih, 1995)
− Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun (Nelson, 1994)
− Usia ayah < 20 tahun (Cummins, 1993) dan > 40 tahun (Fletcher, 1993)
− Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis
− Radiasi sewaktu masih dalam kandungan
− Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta,
ibu hipertensi, dan lain – lain).
− Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alkohol.
− Induksi konsepsi. (Soetjiningsih, 1994)
− Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram
atau lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental atau sensory deficit). (Boosara, 2004)
− Toksemia gravidarum
Dalam buku–buku masih dipakai istilah toksemia gravidarum untuk kumpulan gejala–gejala dalam kehamilan yang
merupakan trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema), yang kadang–kadang bila keadaan lebih parah diikuti
oleh KK (kejang–kejang/konvulsi dan koma). (Rustam, 1998) Patogenetik hubungan antara toksemia pada
kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini mungkin terjadi karena toksemia menyebabkan
kerusakan otak pada janin. (Gilroy, 1979)
− Inkompatibilitas Rh
− Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian pranatal pada salah satu bayi kembar (Soetjiningsih,
1994)
− Maternal thyroid disorder
− Siklus menstruasi yang panjang
− Maternal mental retardation
− Maternal seizure disorder (Boosara, 2004)
2. Perinatal
− Anoksia / hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury. Keadaan inilah yang menyebabkan
terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo– servik, partus lama,
plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio caesar. (Anonim.
2002)
− Perdarahan otak akibat trauma lahir
Perdarahan dan anoksi dapat terjadi bersama–sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang
mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan dan peredaran darah, sehingga terjadi anoksia. Perdarahan
dapat terjadi di ruang subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus.
Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis. (Anonim, 2002)
− Prematuritas
− Berat badan lahir rendah
− Postmaturitas
− Primipara
− Antenatal care
− Hiperbilirubinemia
Bentuk CP yang sering terjadi adalah athetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi yang tinggi pada anak–anak
yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan terapi yang diperlukan untuk mencegah
peningkatan konsentrasi unconjugated bilirubin. Gejala–gejala kernikterus yang terdapat pada bayi yang mengalami
jaundice biasanya tampak setelah hari kedua dan ketiga kelahiran. Anak menjadi lesu dan tidak dapat menyusu
dengan baik. Kadangkala juga terjadi demam dan tangisan menjadi lemah. Sulit mendapatkan Reflek Moro dan
tendon pada mereka, dan gerakan otot secara umum menjadi berkurang. Setelah beberapa minggu, tonus meningkat
dan anak tampak mengekstensikan punggung dengan opisthotonus dan diikuti dengan ekstensi ektremitas.
(Swaiman, 1998)
− Status gizi ibu saat hamil
− Bayi kembar (Soetjiningsih, 1995)
− Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke
ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah. (Soetjiningsih, 1995)
− Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa
berupa CP. (Soetjiningsih, 1995)
− Kelahiran sungsang
− Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I
sekitar 13 jam dan kala II sekitar 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I : 7 jam dan kala II : 1/5 jam.
Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. (Wiknjosastro,
2002)
− Partus dengan induksi / alat
− Polyhidramnion (Boosara, 2004)
− Perdarahan pada trimester ketiga
3. Postnatal
− Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus.
− Trauma kepala : hematom subdural.
− Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan (Anonim,2002), septicaemia, influenza,
measles dan pneumonia. (Eve, et al., 1982)
− Luka parut pada otak pasca operasi (Anonim, 2002)
− Racun : logam berat, CO (Soetjiningsih, 1995)
− Malnutrisi (Eve, et,al., 1982)
Sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi Kasus
di YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita Mardiani
E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2006, halaman 7-15
Sumber: FAKTOR – FAKTOR RISIKO PRENATAL DAN PERINATAL KEJADIAN CEREBRAL PALSY (Studi
Kasus di YPAC Semarang) Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2 Magister Epidemiologi Elita
Mardiani E4D003052 PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
DIPONEGORO SEMARANG 2006, halaman 7-15
Developmental delay adalah kondisi ketika terjadi keterlambatan proses tumbuh kembang anak pada satu area atau lebih
dibandingkan dengan anak seusianya. Area tumbuh kembang ini meliputi kemampuan : motorik kasar, motorik halus, bahasa,
kognitif/intelektual, perkembangan sosial dan emosional anak (Reddihough, 2009).
Prevalensi keterlambatan perkembangan motorik yang signifikan di dalam populasi anak tidak diketahui. Melalui
perhitungan statistik, 2-3% bayi berada di luar rentang tonggak pencapaian motorik normal. Dari angka tersebut, sebagian
kecil (15-20%) diketahui mempunyai diagnosis gangguan neuromotor signifikan berupa serebral palsi atau defek pada saat
lahir. Jarang ditemukan penyakit gangguan saraf atau otot yang progresif (Permenkes, 2014). Problematika fisioterapi pada
kasus developmental delay ini berdasarkan ICF (International Classification of Functionnig) dapat dibagi menjadi body
function and body structure, activities dan participation. Berdasarkan body function and body structure pasien mengalami
gangguan keseimbangan, sedangkan untuk activities terdapat gangguan fungsi duduk, berdiri dan berjalan pada pasien dan
untuk participation pasien mengalami gangguan dalam bersosialisasi dengan teman sebaya.
Fisioterapi berperan untuk memberikan edukasi dan meningkatkan kemampuan motorik pada anak dengan developmental
delay agar mencapai kemampuan sesuai usia. Permainan dan alat khusus didukung dengan kemampuan handling seorang
fisioterapi digunakan untuk melatih kemampuan motorik anak dengan delay development tersebut (Reddihough, 2009).
Penatalaksanaan fisioterapi pada developmental delay umumnya menggunakan latihan terapeutik yang mencakup pendekatan
yang didesain untuk meningkatkan fleksibilitas (sendi, lingkup gerak sendi), kekuatan, integritas jantung-paru dan ketahanan,
koordinasi dan keseimbangan, postur dan sikap tubuh, dan mobilitas fungsional umum. Selain itu, terapi neuromotorik dan
sensorimotorik dapat digunakan sebagai bagian dari terapi fisik dan okupasional untuk anak dengan gangguan motorik
(Permenkes, 2014).
Telah ada beberapa penelitian di bidang fisioterapi untuk developmental delay. Salah satunya penelitian dengan
menggunakan konsep efektifitas sensory Integrity terhadap peningkatan keseimbangan pada anak delay development.
Penelitian ini menggunakan data deskriptif sampel dengan usia 22 - 30 bulan didapatkan hasil bahwa sensory integration
efektif meningkatkan keseimbangan berdiri anak delay development (Yulianti, 2017). Penelitian lain di bidang yang sama,
menggunakan terapi latihan metode play exercise sebanyak 6 kali terapi didapatkan hasil terdapat peningkatan tonus postural
pada regio engkel, peningkatan kemampuan aktivitas fungsional yaitu pada dimensi berdiri dan dimensi berjalan (Mahendra,
2013).
Sumber: Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi (JFR) Vol. 2, No. 1, Tahun 2018, ISSN 2548-8716 Pengaruh Terapi Latihan Pada
Developmental Delay | Suci Amanati dkk, hlm 61-69 63