Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tanpa Ridho, Hidayah dan Inayah-Nya,
mungkin penulisan makalah ini tidak dapat selesai secara tepat waktu. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Hak adalah segala sesuatu yang pantas dan berhak diterima oleh seseorang atau
individu sebagai warga negara yang dilindungi. Sedangkan kewajiban adalah tugas yang
harus ditunaikan oleh seorang individu sebagai warga negara yang baik dan patuh kepada
pemerintah dan bangsa.Keduanya memiliki kepentingan yang sama oleh sebab itu kedua
aspek tersebut harus seimbang antara hak dan kewajiban adalah hal yang harus
ditunaikan dan diterima. Justru akan terjadi ketimpangan jika antara hak dan kewajiban
tidak menempati porsinya masing-masing.
Secara hukum yang berlaku di dalam negara indonesia ini juga jelas bahwa
seluruh warga negara indonesia dijamin haknya sebagai warga negara indonesia . Namun
seharusnya secara langsung warga negara juga memiliki kewajiban yang harus di
tunaikan.Terlalu banyak hal yang harus diperhatikan menyangkut hak warganegara.
Karena hal ini jelas telah tercantum dalam undang-undang dasar bahwa dari tiap-tiap
warganegara mendapatkan hak untuk diberikan kehidupan dan pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan. Hal ini tertera dengan jelas dalam pasal 27 undang-undang dasar ayat 2.
Walaupun kita ketahui hak dalam tiap-tiap warganegara belum dapat dirasakan
keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini hak warga yang tidak tertunaikan
dengan semestinya. Jangan kan untuk kehidupan yang layak untuk mendapatkan
pekerjaan warganegara saja harus menjalani rangkaian proses yang sangat panjang. Dan
bahkan tidak mendapat kesempatan sama sekali. Hal ini terlihat dari angka pengangguran
yang sangat tinggi saat ini.
Begitu juga dengan kewajiban tidak sedikit juga warganegara tidak dapat
menunaikan kewajibannya sebagai warganegara bahkan banyak yang mengabaikannya
dengan sengaja. Itu mengapa makalah ini sangat penting dibahas dan diperhatikan agar
masalah hak dan kewajiban dapat menemukan titik terang dan mendapatkan solusi.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran
penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan
UUD1945, dalam Pasal 27 : Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian ada penegasan lagi pada
amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia, ini menandakan
bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan
martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu,
peningkatan peran para penyandang cacat dalam pembangunan nasional sangat penting
untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya.
Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dan berbagai
peraturan perundangundangan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan
nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian,
pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.
Bahkan dalam Penjelasan Pasal itu makin ditegaskan bahwa perusahaan yang
mempekerjakan 100 orang wajib mempekerjakan satu orang penyandang cacat. Tak
main-main. Pasal 28 UU 4/1997 itu bahkan mengatur sanksi pidana berupa kurungan
maksimal enam bulan dan atau denda paling besar Rp200 juta bagi pelanggar Pasal 14. 3
Bahkan, menurut Humas Yayasan Mitra Netra –yayasan yang peduli pada pendidikan
tuna netra- Arya Indrawati menyatakan ‘kuota satu persen’ bagi penyandang cacat seakan
masih menjadi mitos. Menurutnya, banyak perusahaan yang meski mempekerjakan lebih
dari 100 orang, ternyata tak mempekerjakan satu orang pun penyandang cacat.
D. Ruang Lingkup
Mengingat sangat luasnya Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Cacat, maka
dalam penelitian ini akan dibatasi perlindungan hukum terhadap hak penyandang cacat
dalam hal untuk mendapatkan pekerjaan atau dipekerjakan baik pada instansi pemerintah
maupun swasta, meliputi:
1. Pengaturan penempatan tenaga kerja bagi para penyandang cacat di perusahaan
swasta/BUMN dan pemerintahan.
2. Penerapan dan kendala pemenuhan aksesibilitas penempatan tenaga kerja para
penyandang cacat di perusahaan swasta/BUMN atau pemerintahan.
3. Pengawasan terhadap pra penempatan dan penempatan tenaga kerja penyandang cacat
di perusahaan swasta/BUMN dan pemerintahan.
E. Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang mencakup seluruh
aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah.
Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan Pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing, melindungi serta menumbuhkan suasana yang
menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling menunjang, saling
mengisi dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya
tujuan pembangunan nasional.
Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dr. Makmur Sunusi, P.hD “
paradigma penanganan masalah kecacatan dan ODK telah bergeser dari pendekatan
berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih
mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Approach),
dengan adanya pendekatan ini sudah tentu perlu untuk dikembangkan untuk
meningkatkan terobosan-terobosan yang berpihak pada ODK “.Maka memberikan
kesempatan penempatan tenaga kerja ODK, bukan berdasarkan belas kasihan
(charity), melainkan menjadi hak (rights) penyandang cacat.
Sebagaimana prinsip yang dikemukakan Fuller, bahwa suatu sistem peraturan-
peraturan itu tidak boleh saling bertentangan.
2. Kerangka Konsepsional
a. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a) penyandang cacat fisik,
b) penyandang cacat mental,
c) penyandang cacat fisik dan mental.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai
makna, seperti:
Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa kata cacat dalam Bahasa
Indonesia selalu dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang
patut disesali/ dikasihani. Anggapan ini dengan sendirinya membentuk opini
publik bahwa penyandang cacat yang dalam Bahasa Inggris disebut disabled
person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Bahkan, sebutan ini juga
menempatkan mereka sebagai objek dan bukan manusia. Misalkan, kita sering
menyebut sepatu yang tergores dengan mengalami cacat dan orang yang
mengalami kelainan fungsi atau kerusakan anatomi juga sebagai cacat.
b. Efektivitas
Efektivitas (berjenis kata benda) berasal dari kata dasar efektif (kata sifat).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2003, halaman 284
yang disusun oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
c. Perlindungan Hukum
Hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH
adalah : Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah himpunan peraturan yang
dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai
sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya
memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup
lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan
yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat 9 memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hak Atas Tanah
a. Wewenang Pemegang Hak Atas Tanah
Menurut Soedikno Mertokusumo sebagaimana dikutip Urip Santoso, wewenang
yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2:
1) Wewenang umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga
tubuh bumi dan air dan ruang angkasa yang ada di atasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2) Wewenang khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah
dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang
pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya
untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan,
atau perkebunan.
b. Hak Milik Atas Tanah
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA, yang dimaksud Hak Milik Atas Tanah yaitu
hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat fungsi sosialnya.
2. Warga Negara
a. Pengertian Kewarganegaraan
Pasal 1 poin 2 UU No.12 Tahun 2006 juga memberikan penjelasan mengenai
kewarganegaraan: “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan
dengan warga negara.”
b. Pembagian Warga Negara
1) Sebelum Indonesia merdeka pembagian Warga Negara berdasarkan Indische
Staatstregeling (I.S.) pasal 163 ayat (1), penduduk Indonesia dibagi menjadi 3
golongan (Drs. C.S.T. Kansil:1992,hlm 2), yaitu:
a) Golongan Eropa ialah:
i. Bangsa Belanda
ii. Bukan Bangsa Belanda, tetapi orang yang asalnya dari Eropa
iii. Bangsa Jepang
iv. Orang-orang yang berasal dari Negara lain yang Hukum
Kekeluargaannya sama dengan Hukum Keluarga Belanda (Amerika,
Australia, Rusia, Afrika Selatan)
v. Keturunan mereka yang tersebut di atas
b) Golongan Timur Asing yang meliputi:
i. Golongan Cina (Tionghoa) 16
ii. Golongan Timur Asing bukan Cina (Orang Arab, India, Pakistan,
Mesir dan lain-lain)
c) Golongan Bumiputra (Indonesia) ialah:
i. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki
golongan rakyat lain
ii. Orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain, lalu
masuk dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia asli.
PEMBAHASAN MASALAH
Fasilitas yang ramah bagi penyandang cacat pada tempat-tempat publik termasuk
transportasi masih terbatas. Aksesibilitas dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam aspek kehidupan. Penegasan Declaration on The Rights of Disabled
Person (1975) bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya yang
memudahkan mereka untuk menjadi mandiri atau tidak tergantung pada pihak lain.
Pada Pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Person with
Disabilities 1993 dijelaskan bahwa negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para
penyandang cacat melalui penetapan program-program aksi untuk mewujudkan
aksesibilitas fisik penyandang cacat dan memberikan akses terhadap informasi dan
komunikasi. Penyediaan akses terhadap fasilitas umum adalah bentuk pengakuan akan hak-
hak penyandang cacat, apalagi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 2005 yang bersama-
sama dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara juga
menjarnin bahwa dalam perencanaan suatu fasilitas publik sudah mempertim-bangkan
akses para penyandang cacat. Untuk itu diperlukan fasilitas pelayanan sarana transportasi
dalam hal ini transportasi jalan bagi penyandang cacat tanpa mengabaikan faktor
kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Pada kenyataannya belum semua fasilitas sarana
transportasi jalan mengakomodasi-kan aturan intemasional yang telah diratifikasi dalam
bentuk fasilitas yang memberi kemudahan bagi penyandang cacat di Indonesia terutama di
perkotaan yang merupakan masalah pokok dalam kajian ini. Tujuan kajian adalah
menyusun rekomendasi meningkatkan fasilitas bus umum bagi penumpang penyandang
cacat. Manfaat adalah masukan untuk kebijakan mewujudkan kemudahan bagi penumpang
penyandang cacat pada sarana transportasi jalan terutama bus umum.
Pemerintah yang berwenang dan memiliki akses terhadap difabel perlu membuat
contoh model fasilitas publik yang aksesible bagi para difabel dan dibangun-nya
partnership antara bebagai pihak yang terkait. Kemudahan pada kecacatan fisik dengan
kategori tuna netra (ringan, setengah berat, berat), tuna rungu, tuna daksa (cacat tubuh).
a. Ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk penyandang cacat dan orang
sakit guna memberikan kemudahan untuk bergerak.
b. Alat bantu untuknaik-turun dari dan ke sarana pengangkut. Sebagai gambaran di negara
lain mengenai pelayanan transportasi umum diketengahkan bahwa dari studi di
Finlandia dan Skotlandia terdapat beberapa hambatan dalam menggunakan transportasi
umum:
1. Hambatan dalam perjalanan dari rumah menuju halte pemberhentian kendaraan,
misalnya trotoar pejalan kaki yang tidak bisa digunakan oleh pengguna kursi roda.
2. Hambatan secara fisik, misalnya desain yang tidak ergonomis dari kendaraan yang
akan digunakan sehingga menyulitkan untuk akses memasuki kendaraan.
3. Kurangnya informasi mengenai jasa pelayanan moda transportasi yang 384 akan
digunakan, misalnya tersedianya ruang khusus di dalam bus untuk penumpang yang
menggunakan kursi roda.
4. Kurangnya kepercayaan dari pengguna jasa transportasi publik misalnya apakah bus
disa datang tepat waktu dan/ atau apakah ada pelayanan dari staf jasa transportasi jika
memerlukan bantuan.
Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hak atas
pekerjaan terdapat pada Pasal 11 yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas
berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun Swasta
tanpa diskriminasi serta memperoleh upah yang sama dalam jenis pekerjaan dan
tanggung jawab yang sama serta Mimbar Keadilan tidak di berhentikan dari
pekerjaaanya dengan alasan disabilitas. Tetapi Penyandang disabilitas banyak yang
menjadi pengangguran karena Hak-Haknya belum sepenuhnya terpenuhi, banyak sekali
perusahaan yang sengaja menolak dalam hal melamar pekerjaan karena mengalami
disabilitas. Hak-hak lain penyandang disabilitas dalam Ketenagakerjaan juga tercantum
dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang Penyandang Disabilitas No. 8
Tahun 2016.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sebagai bentuk kewajiban dan tanggungjawab negara dalam upaya melindungi Hak
Asasi Manusia termasuk didalamnya juga Hak Asasi Anak. Maka sudah dibentuk
beberapa Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya menjelaskan tentang
jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Anak. Selain itu dalam pasal-pasal
peraturan-peraturan yang terkait dalam upaya perlindungan anak tersebut sudah
saling terkait, mendukung dan menguatkan. Adapun peratutan-peraturan yang terkait
dalam upaya menjamin dan melindungi hak anak tersebut sebagai berikut :
a. Undang –Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
c. Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d. Undang-Undang Nomer 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
e. PERMENKES Nomer 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS f
f. PERDA Nomer 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
2. Dari ke-4 responden dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pemenuhan hak-
hak anak sendiri sudah terpenuhi seperti hak atas kelangsungan hidup, hak atas
perlindungan, hak atas perkembangan dan hak untuk berpartisipasi. Dimana ini
terlihat dengan adaya Rumah Singgah yang didirikan khusus untuk ibu dan anak
HIV/AIDS di Kota Semarang. Selain itu juga dalam memperolaeh akses pelayanan
kesehatan juga cukup mudah dimana di kota semarang sendiri sudah banyak klinik
vct dan IMS didirikan. Bukan hanya itu saja tetapi dalam memperoleh obat ARV pun
sudah disubsidi secara gratis oleh pemerintah.
3. Faktor pendukungdalam pemenuhan hak anak pengidap HIV/AIDS ini yaitu sudah
adanya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hak- hak anak. Kemudian
adanya upaya penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV/AIDS dan anti diskriminasi
terhadap Orang dengan HIV/AIDS termasuk didalamnya anak dengan HIV/AIDS.
Yang terakhir yaitu adanya pemberian dana APBD yang melalui Dinas Kesehatan
Kota semarang diberikan kepada Komisi Penanggulangan AIDS yang selanjutnya di
alokasikan kebeberapa LSM dan Rumah Singgah. Faktor pemhambat dalam
pemenuhan hak anak pengidap HIV/AIDS ini yaitu Anggaran yang masih minim
untuk program pencegahan HIV/AIDS yang belum mampu menjangkau seluruh
wilayah di Kota Semarang secara merata dan masih rendahnya pengetahuan HIV dan
AIDS yang mengakibatkan Stigma dan diskriminasi masih cukup tinggi.
B. Saran
1. Untuk Pemerintah Kota Semarang terutama KPA dan DKK diharapkan kedepannya
mampu membuat program jaminan hidup untuk anak-anak pengidap HIV/AIDS
sehingga hak-hak anak tersebut jelas akan jaminan perlindungannya.
2. Untuk KPA dan DKK diharapkan mampu meningkatkan kegiatan Sosialisasi
mengenai HIV/AIDS kepada warga kota semarang sehingga tingkat pengetahuan
tentang HIV/AIDS warga kota semarang semakin baik sehingga stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA maupun ADHA dapat diminimalisir.
3. Peran atau partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dalam hal memberikan
perlindungan terhadap anak. Seperti peran WPA (Warga Peduli AIDS) perlu
ditingkatkan karena dengan adanya peran aktif dari WPA diharapkan mampu
mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA maupun ADHA.
karena masyarakat juga mempunyai peranan penting dalam memberikan
perlindungan terhadap anak. Pihak yang berkewajiban dalam memberikan
perlindungan terhadap anak tidak hanya orang tua dan keluarga namun negara dan
masyarakat juga berkewajiban menjamin pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-
hak anak.
4. Untuk pihak LSM dan Yayasan atau Rumah Singgah apabila mengalami kendala
terhadap pendanaan maka dapat mengajukan proposal bantuan kepada Badan
Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah. Dimana untuk mendapatkan dana hibah dan
atau Bantuan tersebut pihak LSM maupun Rumah singgah terlebih dahulu harus
berbadan hukum.