Anda di halaman 1dari 42

Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tanpa Ridho, Hidayah dan Inayah-Nya,
mungkin penulisan makalah ini tidak dapat selesai secara tepat waktu. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada :


1. Bapak Dr.Kusyanto, ST., MT selaku Rektor Universitas Sultan Fatah.
2. Bapak Drs H. Karman, S.Pd., M.Pd., M.H., M.Pd.I selaku Pembimbing dan Pengajar
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
3. Jajaran Dosen Pengajar pada Universitas Sultan Fatah yang tidak bisa kami sebutkan satu
persatu.
4. Kedua Orang Tua yang senantiasa membimbing kita, baik secara moril dan materiil.
5. Serta pihak-pihak yang bersangkutan yang telah membantu, sehingga makalah ini bisa
terselesaikan.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kudus, 29 Maret 2022


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hak adalah segala sesuatu yang pantas dan berhak diterima oleh seseorang atau
individu sebagai warga negara yang dilindungi. Sedangkan kewajiban adalah tugas yang
harus ditunaikan oleh seorang individu sebagai warga negara yang baik dan patuh kepada
pemerintah dan bangsa.Keduanya memiliki kepentingan yang sama oleh sebab itu kedua
aspek tersebut harus seimbang antara hak dan kewajiban adalah hal yang harus
ditunaikan dan diterima. Justru akan terjadi ketimpangan jika antara hak dan kewajiban
tidak menempati porsinya masing-masing.

Secara hukum yang berlaku di dalam negara indonesia ini juga jelas bahwa
seluruh warga negara indonesia dijamin haknya sebagai warga negara indonesia . Namun
seharusnya secara langsung warga negara juga memiliki kewajiban yang harus di
tunaikan.Terlalu banyak hal yang harus diperhatikan menyangkut hak warganegara.
Karena hal ini jelas telah tercantum dalam undang-undang dasar bahwa dari tiap-tiap
warganegara mendapatkan hak untuk diberikan kehidupan dan pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan. Hal ini tertera dengan jelas dalam pasal 27 undang-undang dasar ayat 2.

Walaupun kita ketahui hak dalam tiap-tiap warganegara belum dapat dirasakan
keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini hak warga yang tidak tertunaikan
dengan semestinya. Jangan kan untuk kehidupan yang layak untuk mendapatkan
pekerjaan warganegara saja harus menjalani rangkaian proses yang sangat panjang. Dan
bahkan tidak mendapat kesempatan sama sekali. Hal ini terlihat dari angka pengangguran
yang sangat tinggi saat ini.

Begitu juga dengan kewajiban tidak sedikit juga warganegara tidak dapat
menunaikan kewajibannya sebagai warganegara bahkan banyak yang mengabaikannya
dengan sengaja. Itu mengapa makalah ini sangat penting dibahas dan diperhatikan agar
masalah hak dan kewajiban dapat menemukan titik terang dan mendapatkan solusi.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran
penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan
UUD1945, dalam Pasal 27 : Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian ada penegasan lagi pada
amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia, ini menandakan
bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan
martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu,
peningkatan peran para penyandang cacat dalam pembangunan nasional sangat penting
untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya.

Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dan berbagai
peraturan perundangundangan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan
nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian,
pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.

Namun demikian, upaya perlindungan saja belumlah memadai; dengan


pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat terus meningkat dari waktu 2 kewaktu,
dan hal ini memerlukan sarana dan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk
memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan sosialnya.

Berdasarkan data di Pusdatin Kementerian Sosial RI pada tahun 2009 jumlah


penyandang cacat sebanyak 1.541.942 jiwa, besarnya jumlah penyandang cacat ni
menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Kementerian Sosial RI c.q Direktorat Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial terus berupaya agar para penyandang cacat atau ODK
dapat diterima bekerja baik diinstansi pemerintah maupun swasta yang lebih
mengedepankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan pekerjaan tanpa
memandang faktor fisik.

Secara normatif, sebenarnya sudah ada beberapa instrumen hukum yang


dilahirkan untuk melindungi hak penyandang cacat untuk bekerja. Sebut saja UU No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakarjaan yang ‘mengharamkan’ diskriminasi kepada para
penyandang cacat. Bahkan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat makin
menegaskan hak itu. Pasal 14 UU No 4/1997 mewajibkan perusahaan negara dan swasta
untuk menjamin kesempatan bekerja kepada para penyandang cacat.

Bahkan dalam Penjelasan Pasal itu makin ditegaskan bahwa perusahaan yang
mempekerjakan 100 orang wajib mempekerjakan satu orang penyandang cacat. Tak
main-main. Pasal 28 UU 4/1997 itu bahkan mengatur sanksi pidana berupa kurungan
maksimal enam bulan dan atau denda paling besar Rp200 juta bagi pelanggar Pasal 14. 3
Bahkan, menurut Humas Yayasan Mitra Netra –yayasan yang peduli pada pendidikan
tuna netra- Arya Indrawati menyatakan ‘kuota satu persen’ bagi penyandang cacat seakan
masih menjadi mitos. Menurutnya, banyak perusahaan yang meski mempekerjakan lebih
dari 100 orang, ternyata tak mempekerjakan satu orang pun penyandang cacat.

Sebagai upaya perlindungan hukum hak-hak warga negara penyandang cacat


maka diperlukan sebuah penataan regulasi yang mampu melindungi warga penyandang
cacat, untuk itu kami mengadakan Penelitian Hukum tentang Perlindungan hukum bagi
penyandang cacat dan penelitian ini mendukung Agenda Nasional 2010-2014, dalam
rangka peningkatan Efektivitas Peraturan Perundang-undangan; dan Penghormatan,
Pemajuan, dan Penegakan Hak Asasi Manusia dan dari hasil penelitian dapat menjadi
bahan masukan dalam mendukung RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang saaat ini sudah termasuk daftar Prolegnas
2010 – 2014.
B. Permasalahan

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini Apakah


Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Cacat. Sudah Berlaku Efektif. Dalam
Penelitian ini akan diidentifikasi kedalam berapa permasalahan yaitu:

1. Apakah ketentuan pengaturan untuk mengakomodasi kebutuhan bagi peyandang


cacat telah memadai?
2. Apakah Intansi/lembaga dan perusahaan telah memberikan peluang kerja bagi
penyandang cacat ?
3. Apakah yang menjadi hambatan dalam implemetasi kesempatan kerja bagi
penyandang cacat ?

C. Maksud dan Tujuan


a. Maksud Kegiatan
Maksud penelitian adalah untuk mendapatkan data yang akan dipergunakan untuk
menjawab permasalahan hukum yang telah dirumuskan. Tujuan Kegiatan
b. Tujuan penelitian
adalah untuk memperoleh hasil penelitian guna dijadikan sebagai bahan dalam
mendukung pembentukan dan pengembangan hukum, khususnya pembentukan atau
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

D. Ruang Lingkup
Mengingat sangat luasnya Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Cacat, maka
dalam penelitian ini akan dibatasi perlindungan hukum terhadap hak penyandang cacat
dalam hal untuk mendapatkan pekerjaan atau dipekerjakan baik pada instansi pemerintah
maupun swasta, meliputi:
1. Pengaturan penempatan tenaga kerja bagi para penyandang cacat di perusahaan
swasta/BUMN dan pemerintahan.
2. Penerapan dan kendala pemenuhan aksesibilitas penempatan tenaga kerja para
penyandang cacat di perusahaan swasta/BUMN atau pemerintahan.
3. Pengawasan terhadap pra penempatan dan penempatan tenaga kerja penyandang cacat
di perusahaan swasta/BUMN dan pemerintahan.

E. Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang mencakup seluruh
aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah.
Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan Pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing, melindungi serta menumbuhkan suasana yang
menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling menunjang, saling
mengisi dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya
tujuan pembangunan nasional.

Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran


penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan
UUD1945, dalam Pasal 27 : Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian ada penegasan lagi pada
amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia, ini menandakan
bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat
dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu, 6
peningkatan peran para penyandang cacat dalam pembangunan nasional sangat
penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya.

Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dr. Makmur Sunusi, P.hD “
paradigma penanganan masalah kecacatan dan ODK telah bergeser dari pendekatan
berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih
mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Approach),
dengan adanya pendekatan ini sudah tentu perlu untuk dikembangkan untuk
meningkatkan terobosan-terobosan yang berpihak pada ODK “.Maka memberikan
kesempatan penempatan tenaga kerja ODK, bukan berdasarkan belas kasihan
(charity), melainkan menjadi hak (rights) penyandang cacat.
Sebagaimana prinsip yang dikemukakan Fuller, bahwa suatu sistem peraturan-
peraturan itu tidak boleh saling bertentangan.

2. Kerangka Konsepsional
a. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a) penyandang cacat fisik,
b) penyandang cacat mental,
c) penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai
makna, seperti:

1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna


(yang terdapatpada badan, benda, batin atau ahlak).
2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
(kurang sempurna);
3) Cela atau aib;
4) Tidak (kurang sempurna).

Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa kata cacat dalam Bahasa
Indonesia selalu dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang
patut disesali/ dikasihani. Anggapan ini dengan sendirinya membentuk opini
publik bahwa penyandang cacat yang dalam Bahasa Inggris disebut disabled
person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Bahkan, sebutan ini juga
menempatkan mereka sebagai objek dan bukan manusia. Misalkan, kita sering
menyebut sepatu yang tergores dengan mengalami cacat dan orang yang
mengalami kelainan fungsi atau kerusakan anatomi juga sebagai cacat.
b. Efektivitas
Efektivitas (berjenis kata benda) berasal dari kata dasar efektif (kata sifat).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2003, halaman 284
yang disusun oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
c. Perlindungan Hukum
Hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH
adalah : Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah himpunan peraturan yang
dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai
sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya
memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup
lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan
yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat 9 memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Pekerja penyandang cacat merupakan penggabungan dari dua asal kata,


yaitu pekerja dan penyandang cacat. Pengertian pekerja sendiri menurut Undang-
undang tenaga kerja Nomor.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain,
sedangkan pengertian penyandang cacat yang dimaksud adalah: “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang
cacat fisik dan mental.” (Pasal 1 ayat (1) UU No.4/1997 tentang penyandang cacat)
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pekerja penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa secara umum dalam undang-undang ini
telah banyak mengatur mengenai perlindungan hakhak ketenagakerjaan, karena
memang tujuan pembentukan undangundang ini salah satunya adalah dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha.

Beberapa pertimbangan dalam penyusunan Undang-Undang ini adalah


sebagai berikut:
1. Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik
materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
3. Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan
peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga
kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
4. Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hakhak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan kerja serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
Hak-hak ketenagakerjaan yang terdapat dalam Undang-undang ketenagakerjaan
meliputi :
1) Pelatihan Kerja
a) Pasal 11 yang berbunyi “ setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh
dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
b) Pasal 12 ayat (3) yang berbunyi “ Setiap pekerja/buruh memiliki
kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan
bidang tugasnya.
c) Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “ Tenaga kerja berhak memperoleh
pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti 11 pelatihan kerja yang
diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan
kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja
2) Penempatan Tenaga Kerja
a) Pasal 31 yang berbunyi“ Setiap Tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah
pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar
negeri
b) Pasal 35 ayat (3) yang berbunyi “ Pemberi kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan
perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan
baik mental maupun fisik tenaga kerja.
3) Hubungan Kerja
a) Pasal 61 ayat (3) yang berbunyi “ Dalam hal terjadi pengalihan
perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh yang bersangkutan
b) Pasal 61 ayat (5) yang berbunyi “ Dalam hal pekerja/buruh meninggal
dunia, ahli waris pekerja /buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang
telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersamaunakan
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Hak Atas Tanah
a. Wewenang Pemegang Hak Atas Tanah
Menurut Soedikno Mertokusumo sebagaimana dikutip Urip Santoso, wewenang
yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2:
1) Wewenang umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga
tubuh bumi dan air dan ruang angkasa yang ada di atasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2) Wewenang khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah
dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang
pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya
untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan,
atau perkebunan.
b. Hak Milik Atas Tanah
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA, yang dimaksud Hak Milik Atas Tanah yaitu
hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat fungsi sosialnya.
2. Warga Negara
a. Pengertian Kewarganegaraan
Pasal 1 poin 2 UU No.12 Tahun 2006 juga memberikan penjelasan mengenai
kewarganegaraan: “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan
dengan warga negara.”
b. Pembagian Warga Negara
1) Sebelum Indonesia merdeka pembagian Warga Negara berdasarkan Indische
Staatstregeling (I.S.) pasal 163 ayat (1), penduduk Indonesia dibagi menjadi 3
golongan (Drs. C.S.T. Kansil:1992,hlm 2), yaitu:
a) Golongan Eropa ialah:
i. Bangsa Belanda
ii. Bukan Bangsa Belanda, tetapi orang yang asalnya dari Eropa
iii. Bangsa Jepang
iv. Orang-orang yang berasal dari Negara lain yang Hukum
Kekeluargaannya sama dengan Hukum Keluarga Belanda (Amerika,
Australia, Rusia, Afrika Selatan)
v. Keturunan mereka yang tersebut di atas
b) Golongan Timur Asing yang meliputi:
i. Golongan Cina (Tionghoa) 16
ii. Golongan Timur Asing bukan Cina (Orang Arab, India, Pakistan,
Mesir dan lain-lain)
c) Golongan Bumiputra (Indonesia) ialah:
i. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki
golongan rakyat lain
ii. Orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain, lalu
masuk dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia asli.

Setelah Indonesia merdeka, pengaturan mengenai kewarganegaraan memang


tidak langsung diatur secara khusus dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Pengaturan mengenai kewarganegaraan baru dilakukan pada tahun 1958 dengan
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Pengaturan mengenai kewarganegaraan
tersebut terakhir kali diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 Tentang Kewarganegaraan. Oleh sebab itu, pembagian warga Negara dalam
penelitian ini menurut UU No.12 Tahun 2006 Warga Negara dibagi menjadi 2,
yaitu:

a) Warga Negara Indonesia Pasal 4 UU No.12 Tahun 2006 memberikan


pengertian yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan pertauran perundangundangan dan / atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelun Undang- 17 Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia.
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu Warga Negara
Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu warga negara asing
yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya
dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan
belas0 tahun atau sebelum kawin.
i. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya.
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Rpublik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari
Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
b) Warga Negara Asing (WNA) Pasal 7 UU No.12 Tahun 2006 tidak secara
langsung memberikan definisi warga negara asing. Namun peraturan 18 pasal
tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia
diperlakukan sebagai warga negara asing.
c. Bumiputera atau Pribumi Menurut C.S.T. Kansil, pribumi tidak berarti
dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, maka dari itu orang pribumi hanyalah
orang Indonesia asli (1992:hlm 193). Selain itu, menurut Dr. B.P. Paulus, S.H.
seperti yang dikutip oleh C.S.T. Kansil (1992:250-251), tiada orang bangsa
Indonesia asli yang tidak terikat pada salah satu kesatuan masyarakat hukum
yang ada di seluruh wilayah Nusantara ini. Mereka inilah yang digolongkan
sebagai Inlanders dalam pasal 163 IS semasa Hindia Belanda atau yang
disebut Genzyuumin pada zaman Jepang atau orang-orang bangsa Indonesia
asli dalam Pasal 26 UUD 1945 atau orang yang asli dalam daerah Negara
Indonesia dalam Pasal 1a UU No.3 Tahun 1946 tentang Warganegara dan
Penduduk Negara Indonesia.
d. Warga Negara Indonesia Non Pribumi Menurut Dr. B.P. Paulus, S.H.
sebagaimana yang dikutip oleh C.S.T. Kansil (1992:251), orang-orang bangsa
lain meskipun telah ratusan tahun berdiam di Nusantara tetapi karena mereka
tidak terlebur ke dalam masyarakat Indonesia asli, tidak termasuk golongan
Inlander. Mereka itu yang disebut dimaksud dengan orang-orang bangsa lain
dalam Pasal 26 ayat (1) kalimat kedua UUD1945. 19
e. Pewarganegaraan Bagi WNA maupun anak yang lahir memiliki status sebagai
Warga Negara Indonesia dan warga Negara lain, misal lahir sebagai Warga
Negara Indonesia dan warga Negara Timor Leste, masih dimungkinkan
memperoleh status sebagai Warga Negara Indonesia. Perolehan status sebagai
Warga Negara Indonesia disebut sebagai pewarganegaraan atau nasionalitas.
Bab III UU No.12 Tahun 2006 mengatur persyaratan dan tata cara
memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
1) Pemohon telah berusia 18 tahun atau sudah menikah.
2) Pada waktu pengajuan permohonan sudah bertempat tinggal minimal 5
tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut di wilayah Indonesia.
3) Sehat jasmani dan rohani
4) Dapat berbahasa Indonesia dan mengakui Pancasila dan UndangUndang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar Negara.
5) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih.
6) Apabila dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia tidak menjadi
berkewarganegaraan ganda.
7) Mempunyai pekerjaan dan / atau berpenghasilan tetap
8) Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. 20
9) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara
tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada
Presiden melalui Menteri.
10) Setelah permohonannya dikabulkan, pemohon harus mengucapkan
sumpah atau janji setia dihadapan pejabat yang berwenang
3. Diskriminasi
a. Pengertian Diskriminasi
Ketentuan umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia memberikan pengertian diskriminasi. Pasal 1 poin (3) memberikan
pengertian bahwa:
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individu maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
b. Bentuk-bentuk Diskriminasi
Ransford sebagaimana yang dikutip Kamanto Sunarto membedakan antara
diskriminasi individu (individual discrimination) dan diskriminasi institusional
(institutional discrimination). Diskriminasi individu merupakan tindakan seorang
pelaku yang berprasangka (Prejudice). Sedangkan diskriminasi institusional
merupakan tindakan diskriminasi yang tidak ada kaitannya dengan prasangka
individu, 21 melainkan merupakan dampak kebijakan atau praktek tertentu
berbagai institusi dalam masyarakat
4. Pengertian Ras
Menurut T.K. Oommen, ras adalah kategori fenotipe dan bisa jadi terdistribusi ke
beberapa di tanah air dan menjadi bagian dari kultur yang berbeda. Terdapat
beberapa untuk masing-masing ras. Suatu ras dapat menciptakan bangsa bukan
karena ras itu memiliki ciri-ciri fisik, namun karena memiliki kesmaan tanah air.
Sebaliknya suatu ras akan menjadi etnis apabila ia terpisah atau meninggalkan
tanah airnya Rasialisme adalah tindakan/praktek diskriminasi terhadap kelompok
ras lain, sedangkan rasisme adalah suatu ideology yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa suatu yang dapat diamati dan dianggap diwarisi seperti warna
kulit, merupakan suatu tanda perihal inferioritas yang membenarkan perlakuan
diskriminasi terhadap orang yang mempunyai ciri tersebut
5. Pengertian Etnis
Menurut Oomen, etnis adalah sebuah kolektivitas yang anggotanya memiliki
kesamaan gaya hidup, sejarah dan bahasa namun identifikasi mereka terhadapat
tanah air nenek moyang bersifat lemah dan beresiko untuk hilang samasekali
sementara etnisitas dalah hasil tarik-menarik antara teritori dan budaya. Apabila
suatu etnis berusaha dan sukses dalam membangun klaim terhadap teritori yang
ditempatinya dan dengan teritori 22 itu etnis tersebut menganggapnya sebagai
tanah air, maka etnis tersebut dianggap menjadi bangsa .
6. Pengaturan Pertanahan di DIY
a. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.33 Tahun 1984 Tentang
Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Di Propinsi
DIY. Pasal 1 Keputusan Presiden tersebut lebih menegaskan bahwa UUPA
peraturan pelaksanaannya berlaku sepenuhnya di seluruh wilayah Propinsi
DIY. Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut lebih dijelaskan pemberlakuan
UUPA dan peraturan pelaksanaannya diberlakukan sejak tanggal 1 April
1984.
b. Undang-Undang No.13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pasal 7 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan DIY sebagai
daerah otonom. Kewenangan tersebut meliputi:
1) Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur
dan wakil gubernur
2) Kelembagaan pemerintah DIY
3) Kebudayaan
4) Pertanahan
5) Tata ruang
Undang-Undang No.13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta mengatur masalah pertanahan di DIY yaitu:
1. Pasal 32 ayat (1) mengatur mengenai penyelenggaraan kewenangan
pertanahan di mana Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dinyatakan
sebagai badan hukum
2. Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) mengatur bahwa Kasultanan dan
Kadipaten Pakualaman yang merupakan badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah Kasultanan maupun Kadipaten
3. Pasal 32 ayat (4) dijelaskan bahwa tanah Kasultanan maupun tanah
Kadipaten meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang
terdapat di seluruh wilayah DIY
4. Pasal 32 ayat (5) memberikan kewenangan Kasultanan dan Kadipaten
untuk mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan Kadipaten
untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial,
dan kesejahteraan masyarakat
5. Pasal 33 ayat (1) mewajibkan hak milik Kasultanan dan Kadipaten
didaftarkan pada lembaga pertanahan
6. Pasal 33 ayat (2) mengatur mengenai pendaftaran hak milik Kasultanan
dan Kadipaten dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
7. Pasal 33 ayat (3) mengatur apabila yang melakukan pendaftaran tanah
milik Kasultanan dan Kadipaten adalah pihak lain (bukan 24 dari pihak
Kasultanan maupun Kadipaten) wajib mendapat persetujuan tertulis dari
pihak Kasultanan maupun Kadipaten sesuai dengan tanah hak milik
tersebut.
8. Pasal 33 ayat (4) mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
tanah kasultanan dan tanah kadipaten oleh pihak lain harus mendapat
izin persetujuan dari kasultanan untuk tanah kasultanan dan kadipaten
untuk tanah kadipaten
B. Landasan Teori
Teori yang digunakan penulis sebagai landasan dalam menganalisis permasalahan-
permasalahan di dalam penelitian ini adalah teori kebijakan, teori hak milik dan teori
keadilan.
1. Teori Kebijakan
Kebijakan merupakan suatu instrument hukum yang digunakan oleh pemerintah
untuk mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya suatu kebijakan
yang diambil hendaknya memperhatikan aspek-aspek yang ada di masyarakat agar
kebijakan yang diambil menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat.
Menurut Talcott Parson, ada empat sub sistem dalam masyarakat yang hendaknya
diperhatikan dalam mengambil kebijakan. Tiap-tiap sub sistem mempunyai fungsi
masing-masing, yaitu :
a. Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi, yaitu, bagaimana masyarakat tersebut
dapat memanfaatkan sumber daya di 25 sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya
yang dimaksud dalam penulisan ini adalah pemanfaatan tanah. Kebijakan yang
diambil untuk masalah tanah juga harus melihat pemanfaatan tanah tersebut.
Pembatasan perolehan hak atas tanah di DIY tidak hanya berlaku bagi Warga
Negara Indonesia keturunan saja namun juga untuk masyarakat pada umumnya.
Pembatasan perolehan hak milik berlaku dalam perolehan hak milik atas tanah
pertanian. Subyek hukum yang dapat memperoleh hak milik atas tanah pertanian
adalah orang yang berdomisili atau bertempat tinggal di satu kecamatan dengan
letak tanah pertanian tersebut. Domisili orang dapat dilihat dengan alamat yang
tercantum dalam KTP. Orang yang berada di luar wilayah kecamatan dari letak
tanah tidak dapat memperoleh hak atas tanah pertanian tersebut. Kebijakan ini
diambil dengan mempertimbangkan bagaimana orang tersebut dapat
memanfaatkan tanah pertaniannya.
b. Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan, yaitu setiap warga masyarakat
selalu mempunyai kebutuhan untuk mengetahui arah mana tujuan masyarakat itu
digerakkan, dengan politik masyarakat dihimpun sebagai satu totalitas untuk
menentukan satu tujuan bersama. Tujuan pembatasan perolehan hak, tidak hanya
bagi Warga Negara Indonesia keturunan, memiliki tujuan bagi kesejahteraan
bersama. Oleh sebab itu, masyarakat mendukung kebijakan pembatasan karena
telah mengetahui tujuan yang baik bagi kesejahteraannya. Begitu juga ketika
muncul kebijakan pembatasan perolehan hak milik atas tanah bagi Warga Negara
Indonesia keturunan, hendaknya masyarakat juga melihat apa yang menjadi
tujuan dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
c. Sub sistem sosial berfungsi integrasi, yaitu, proses-proses di dalam masyarakat
diintergasikan menjadi satu sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan.
Peraturan mengenai pembatasan perolehan hak atas tanah juga harus melalui
proses soasialisai atau tahapan-tahapan agar dalam masyarakat tidak muncul suatu
perpecahan. Ketika melakukan sosialisasi tersebut, masyarakat akan
menyeseuaikan diri atau berintergasi dengan kebijakan tersebut. Kebijakan-
kebijakan mengenai tanah di DIY juga harus melalui tahapan ini, sehingga
masyarakat dapat mengerti maksud dari kebijakan tersebut.
d. Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola, yaitu tanpa budaya maka
masyarakat tidak dapat berintergrasi, tidak dapat berdiri menjadi satu kesatuan.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hendaknya melihat budaya yang ada di
masyarakat. Masyarakat Indonesia memang memiliki keragaman budaya,
sehingga dalam pengambilan kebijakan harus melihat unsur-unsur yang ada
dalam budaya-budaya tersebut. Kebijakan yang mengatur masalah tanah juga
harus melihat unsur budaya itu. Unsur budaya yang harus diperhatikan dalam
mengambil kebijakan pertanahan tidak terlepas dari sejarah yang menjadi latar
belakang tanah itu. Pada masyarakat DIY, tanah yang ada awalnya merupakan
tanah raja yang kemudian diberikan kepada masyarakat untuk digunakan
sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, pembatasan perolehan hak atas tanah di
DIY juga hendaknya melihat sejarah kepemilikan tanah tersebut.
Melalui teori ini, penulis melakukan analisis terhadap kebijakan pemerintah DIY
dalam memberikan pembatasan perolehan hak milik atas tanah bagi Warga Negara
Indonesia non pribumi

2. Teori Hak Milik


Menurut John Locke, dalam keadaan asali, manusia hidup bermasyarakat dengan
diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masingmasing individu memiliki hak-hak yang
tidak boleh dirampas darinya. Dalam masyarakat asali itu ada kebebasan dan
kesamaan. Fungsi pokok pemerintah yaitu menjaga hak milik pribadi. Meskipun bumi
dan segala makhluk yang lebih rendah merupakan milik bersama, namun setiap orang
mempunyai “barang hak milik” atas nama “pribadinya” sendiri. Tidak ada orang lain
selain dirinya sendiri yang mempuanyai hak atas barang. Berdasarkan teori John
Locke ini, tanah merupakan barang yang dimiliki bersama dan setiap orang berhak
atas tanah tersebut termasuk Warga Negara Indonesia non pribumi di DIY.
Pemerintah mempunyai kewajiban atau fungsi untuk melindungi hak milik tersebut.
Tanah yang berada di wilayah DIY yang mana sebagian merupakan hak milik Sultan
dan ada juga yang merupakan hak milik Pakualam. Oleh sebab itu, pemerintah
hendaknya menjada hak milik tersebut.
Menurut Robert Nozick, pemilikan hak ditentukan oleh perolehan hak milik
semula, pemindahan hak milik, dan pembetulan hak milik. Menurut konsep ini, setiap
orang berhak atas apa yang yang telah dikerjakannya atau yang secara bebas diterima
dari orang lain berdasarkan pemindahan hak milik. Berdasarkan teori ini, pemilikan
tanah di DIY dapat ditentukan oleh perolehan hak milik semula. Tanah di DIY
semula merupakan tanah milik Sultan dan Pakualam (Sultan Ground dan Pakualam
Ground) sehingga kepemilikan tanah di DIY hendaknya juga melihat sejarah
bagaimana masyarakat DIY memperoleh hak atas tanah di DIY.
Penulis menggunakan kedua teori hak milik tersebut di atas agar hasil analisis
terhadap pokok permasalah tidak terpusat pada satu teori saja. Kedua teori tersebut
digunakan penulis untuk menganalisis pembatasan perolehan hak milik atas tanah di
wilayah DIY.
3. Teori Keadilan Persoalan tentang keadilan terutama mengenai sifat dasarnya dan
pengertiannya telah dibahas oleh banyak filsuf dengan teori-teori keadilan yang
diungkapkan mereka. Konsep keadilan tersebut juga akan dipergunakan untuk
melihat problematika hukum yang terjadi di DIY. Berbicara mengenai keadilan
memang tidak akan pernah selesai karena setiap orang memiliki nilai atau ukuran
yang berbeda mengenai keadilan. Oleh sebab itu, ada beberapa konsep keadilan yang
akan digunakan untuk melihat fakta yang ada di DIY berkaitan dengan peraturan
pembedaan perolehan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia keturunan.
BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A. UPAYA MENINGKATKAN KEMUDAHAN BAGI PENYANDANG CACAT


PADA SARANA TRANSPORTASI JALAN

Penyediaan sarana transportasi jalan yang berkeadilan seyogyanya menjangkau


semua lapisan masyarakat termasuk penumpang penyandang cacat, namun kenyataannya
kemudahan akses pada angkutan umum belum terselenggara secara optimal yang
merupakan masalah utama.

Tujuan kajian adalah merumuskan rekomendasi meningkatkan fasilitas bus um um


yang memberikan kemudahan akses bagi pen um pang penyandang cacat. Pendekatan
kajian dengan deskriptif ergonomi untuk memberikan keharmonisan antara manusia
dengan peralatan pada sarana bus umum. Manfaat adalah tersusunnya rumusan kebijakan
peningkatan kemudahan bagi penumpang penyandang cacat pada bus umum. Hasil kajian
mengemukakan pembenahan fisik bus umum yang harmonis bagi penyandang cacat
melalui pemenuhan syarat ukuran dan bentuk di dalam sarana bus umum yang ergonomis
sesuai dengan prioritas atribut kebutuhan, didukung pembenahan prasarana terkait yang
harmonis dengan bus umum, kebutuhan akan petugas yang mengutamakan kenyamanan
dan keselamatan penyandang cacat.

Fasilitas yang ramah bagi penyandang cacat pada tempat-tempat publik termasuk
transportasi masih terbatas. Aksesibilitas dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam aspek kehidupan. Penegasan Declaration on The Rights of Disabled
Person (1975) bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya yang
memudahkan mereka untuk menjadi mandiri atau tidak tergantung pada pihak lain.
Pada Pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Person with
Disabilities 1993 dijelaskan bahwa negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para
penyandang cacat melalui penetapan program-program aksi untuk mewujudkan
aksesibilitas fisik penyandang cacat dan memberikan akses terhadap informasi dan
komunikasi. Penyediaan akses terhadap fasilitas umum adalah bentuk pengakuan akan hak-
hak penyandang cacat, apalagi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 2005 yang bersama-
sama dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara juga
menjarnin bahwa dalam perencanaan suatu fasilitas publik sudah mempertim-bangkan
akses para penyandang cacat. Untuk itu diperlukan fasilitas pelayanan sarana transportasi
dalam hal ini transportasi jalan bagi penyandang cacat tanpa mengabaikan faktor
kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Pada kenyataannya belum semua fasilitas sarana
transportasi jalan mengakomodasi-kan aturan intemasional yang telah diratifikasi dalam
bentuk fasilitas yang memberi kemudahan bagi penyandang cacat di Indonesia terutama di
perkotaan yang merupakan masalah pokok dalam kajian ini. Tujuan kajian adalah
menyusun rekomendasi meningkatkan fasilitas bus umum bagi penumpang penyandang
cacat. Manfaat adalah masukan untuk kebijakan mewujudkan kemudahan bagi penumpang
penyandang cacat pada sarana transportasi jalan terutama bus umum.

Pemerintah yang berwenang dan memiliki akses terhadap difabel perlu membuat
contoh model fasilitas publik yang aksesible bagi para difabel dan dibangun-nya
partnership antara bebagai pihak yang terkait. Kemudahan pada kecacatan fisik dengan
kategori tuna netra (ringan, setengah berat, berat), tuna rungu, tuna daksa (cacat tubuh).

Ergonomi (ergonomos) sebagai sebuah disiplin keilmuan yang konsern terkait


dengan ketja manusia diharapkan mampu memberikan rekayasa inovatif terhadap produk,
mesin, peralatan, fasilitas serta lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Pendekatan
ergonomi bertujuan untuk merealisasikan konsep efektivitas, efisiensi, keamanan,
keselamatan, kesehatan dan kenyamanan ketja sebagai solusi yang relevan dan signifikan
untuk merespons tantangan global dan tuntutan untuk meningkatkan produktivitas dan
kualitas kehidupan.
Bidang kajian ergonomi dalam merancang suatu fasilitas harus memperhatikan
keterbatasan manusia, yaitu: Antropometri, Faal tubuh, Biomedika, Penginderaan dan
Psikologi kerja. Khusus mengenai Antropometri dalam proses perencanaan membantu
dalam hal: mengevaluasi postur atau sikap badan dan jarak untuk melakukan operasi
terhadap kontrol-kontrol yang ada; menentukan jarak antara tubuh dan bagian produk yang
harus dihindari; mengidentifikasi elemen-elemen yang membatasi gerakan tubuh.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan


Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, pada Pasal 8,9,10 dan 11 dirangkum bahwa setiap
pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/ atau
masyarakat, wajib menyediakan aksesibilitas baik bentuk fisik maupun non fisik antara lain
aksesibilitas pada angkutan umum. Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang
Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 25 ayat (1) dinyatakan: "setiap jalan yang digunakan
untuk lalu-lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa rambu lalu-
lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu-lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali
dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk
sepeda, pejalan kaki, dan penyadang cacat, fasilitas pendukung kegiatan lalu-lintas dan
angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No.71 Tahun 1999 tentang


Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana
Perhubungan, Pasal 5 ayat (1) dinyatakan: Sarana angkutan jalan harus dilengkapi dengan
fasilitas dan pelayanan khusus yang diperlukan dan memenuhi syarat untuk memberikan
pelayanan bagi penumpang penyadang cacat dan orang sakit. Ayat (2) menyatakan :
fasilitas dan pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. Ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk penyandang cacat dan orang
sakit guna memberikan kemudahan untuk bergerak.
b. Alat bantu untuknaik-turun dari dan ke sarana pengangkut. Sebagai gambaran di negara
lain mengenai pelayanan transportasi umum diketengahkan bahwa dari studi di
Finlandia dan Skotlandia terdapat beberapa hambatan dalam menggunakan transportasi
umum:
1. Hambatan dalam perjalanan dari rumah menuju halte pemberhentian kendaraan,
misalnya trotoar pejalan kaki yang tidak bisa digunakan oleh pengguna kursi roda.
2. Hambatan secara fisik, misalnya desain yang tidak ergonomis dari kendaraan yang
akan digunakan sehingga menyulitkan untuk akses memasuki kendaraan.
3. Kurangnya informasi mengenai jasa pelayanan moda transportasi yang 384 akan
digunakan, misalnya tersedianya ruang khusus di dalam bus untuk penumpang yang
menggunakan kursi roda.
4. Kurangnya kepercayaan dari pengguna jasa transportasi publik misalnya apakah bus
disa datang tepat waktu dan/ atau apakah ada pelayanan dari staf jasa transportasi jika
memerlukan bantuan.

Pada tahap selanjutnya dapat diidentifikasikan kebutuhan fisik fasilitas pelayanan


sarana transportasi umum bagi penyandang cacat yang ramah dan mudah diakses. Tahap ini
dapat dilakukan secara paralel dengan kegiatan mengidentifikasi jenis-jenis sarana
transportasi jalan bagi penyandang cacat, sehingga dapat dilihat kesinambungan antara
keinginan konsumen dengan fasilitas yang akan dirancang. Sudah merupakan kewajiban
negara untuk menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat dan
menetapkan kebijakan yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap
kontruksi, transportasi publik, sehingga dalam perencanaan supaya mempertimbangakan
akses para penyandang cacat.
Marquez dan Garcia (2004) melalui suatu penelitian mengajukan usulan rancangan
kompartemen bus umum yang ergonomis bagi penyandang cacat. Ide dasar adalah
memanfaatkan antopometri tubuh manusia untuk menentukan dimensi-dimensi fasilitas
sehingga fasilitas rancangannya dapat digunakan secara aman, nyaman, sehat, efektif dan
efisien. Gambar 1 memperlihatkan hasil studi dimaksud untuk menentukan dimensi-
dimensi yang diperlukan dalam merancang kompartemen bus umum bagi penumpang
umum dan penyandang cacat. Simbol-simbol dalam Gambar 1 adalah:
 Tinggi bus dari dalarn (A)
 Lebar Bus dari dalarn (B)
 Lebar gang antar tempat duduk (C)
 Lebar tempat duduk/kursi (D)
 Tinggi sandaran kursi (E)
 Tinggi kursi dari lantai bus (F)
 Jarak antar kursi depan dan belakang (G)
 Panjang bus dari dalarn (H)
 Lebar dari kursi untuk 2 orang (I)
 Kedalarnan kursi (K)
 Jarak antara kursi belakang dengan sandaran kursi depan (L)
 Kemiringan sandaran kursi (M)
 Tinggi bus dari jalan terhadap tangga pertama akses bus (N)
 Tinggiantartangga akses di dalam bus (0)
 Lebar tangga akses di dalam bus (P)

B. PENGELOLA PENYANDANG DISABILITAS DI TEMPAT KERJA

Para penyandang disabilitas bukanlah kelompok manusia yang seragam. Mereka


ada yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas sensorik, disabilitas intelektual atau
mental. Mereka pun ada yang menyandang disabilitas sejak lahir, atau saat kanak-kanak,
remaja atau dewasa ketika masih bersekolah atau bekerja. Kondisi disabilitas mereka
mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan mereka untuk bekerja dan
berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga memerlukan
dukungan atau bantuan dari orang lain.
Di seluruh belahan dunia, para penyandang disabilitas berpartisipasi dan
memberikan sumbangan berarti pada dunia kerja di segala tingkatan. Namun, banyak
penyandang disabilitas yang ingin bekerja tetapi tidak memiliki kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan karena berbagai hambatan.
Tingkat pengangguran di kalangan 386 juta penyandang disabilitas di seluruh dunia
yang berada di usia kerja jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran usia
kerja umumnya. Kendati diakui pertumbuhan ekonomi dapat mengarah pada meningkatnya
peluang kerja, pedoman ini menegaskan langkah-langkah terbaik yang memungkinkan para
pengusaha untuk memanfaatkan keterampilan dan potensi penyandang disabilitas sejalan
dengan kondisi nasional yang ada.
Semakin jelas terlihat bahwa para penyandang disabilitas tidak hanya memberikan
sumbangan berharga bagi perekonomian nasional, tetapi juga menegaskan fakta bahwa
dengan mempekerjakan mereka akan dapat menurunkan biaya jaminan penyandang
disabilitas sekaligus mengentaskan kemiskinan. Ada manfaat besar bagi dunia bisnis untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas karena mereka seringkali berijazah khusus untuk
jenis pekerjaan tertentu. Para pengusaha juga dapat memperbanyak jumlah pekerja disabel
dengan cara tetap mempekerjakan karyawan yang menjadi disabel (misalnya akibat
kecelakaan), mengingat kecakapan kerja yang mereka miliki dan pelatihan kerja yang
sudah diikuti.
Banyak organisasi dan jaringan kerjanya - termasuk organisasi pengusaha dan
serikat pekerja, serta organisasi para penyandang disabilitas - berperan dalam
memperlancar hubungan kerja, jaminan tetap bekerja, dan peluang untuk kembali bekerja
bagi pekerja yang menjadi penyandang disabilitas akibat kecelakaan kerja. Berbagai
langkah yang diterapkan oleh organisasi-organisasi ini mencakup pernyataan kebijakan dan
ketentuan tentang jasa advokasi dan pemberian dukungan.
Pedoman ini disusun untuk menjadi panduan bagi para pengusaha – baik
perusahaan berskala besar, menengah atau kecil; di sektor pemerintah atau swasta; di
negara berkembang atau industri (maju) – untuk menerapkan strategi positif dalam
mengelola berbagai hal yang berkenaan dengan penyandang disabilitas di tempat kerja.
Walaupun pedoman ini pada dasarnya ditujukan untuk para pengusaha, pemerintah
memainkan peranan penting dalam menciptakan kerangka kebijakan peraturan dan sosial
yang mendukung, serta memberikan insentif untuk meningkatkan peluang kerja bagi para
penyandang disabilitas. Selain itu, peran serta dan prakarsa dari para penyandang
disabilitas tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan pedoman ini. 8 Pedoman ILO
Tentang Pengelolaan Penyandang Disabilitas Di Tempat Kerja
Isi pedoman ini berdasarkan pada prinsip-prinsip yang mewadahi berbagai
perangkat dan prakarsa internasional (tertera dalam Lampiran 1 dan 2) serta dirancang
untuk mempromosikan pekerjaan yang aman dan sehat bagi seluruh penyandang
disabilitas. Pedoman ini bukanlah perangkat yang mengikat secara hukum dan tidak pula
dimaksudkan untuk menggantikan perundangan nasional. Pedoman ini diharapkan ditelaah
sesuai konteks kondisi nasional dan diterapkan sesuai dengan peraturan perundangan
nasional.
Pedoman ini difinalisasi dan diadopsi secara anonim pada pertemuan tripartit para
pakar di Jenewa pada 3-12 Oktober 2001, yang dilaksanakan sesuai dengan keputusan
Dewan Pengurus ILO pada Sesi ke-277 (Maret 2000). Para pakar dari berbagai negara
dipilih menyusul penunjukkan pihak pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat dari
Dewan Pengurus ILO.
a. Sanksi Bagi Perusahaan Swasta Dan Perusahaan Milik Negara
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang Perlindungan dan
Kesempatan kerja bagi tenaga kerja Penyandang Disabilitas terdapat pada penjelasan
Pasal memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para
penyandang cacatµ. Pekerja disabilitas adalah setiap orang yang berkebutuhan khusus
yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan layaknya orang normal pada
umumnya sesuai dengan karakteristik atau kualifikasi pekerjaan masing-masing sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. Pekerja disabilitas harus diberikan perlindungan
yang khusus terkait dengan aksesibilitas dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
berkenaan dengan hak untuk memperoleh pekerjaan. Hak atas pekerjaan dan lapangan
kerja yang dimaksud dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas adalah sebuah
hak asasi manusia yang tidak bisa dipisahkan karena setiap manusia dan semua orang
berhak untuk berpartisipasi, berkontribusi dan menikmati pembangunan ekonomi,
sosial, budaya dan politik, dimana semua hak asasi manusia dan kebebasan yang
mendasar bisa sepenuhnya diwujudkan.
Ketenagakerjaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.Tenaga kerja mempunyai perananan, kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan sasaran pembangunan nasional. Hak-hak tenaga kerja yang
diatur dalam peraturan ketenagakerjaan Indonesia, yang didalamnya termasuk
perlindungan tenaga kerja merupakan hal yang harus diperjuangkan agar harkat dan
kemanusian tenaga kerja ikut terangkat.Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar karyawan dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha nasional dan Perlindungan Hak Disabilitas. Sebagai mana
disebutkan dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar tahun 1945 bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.
Undang-undang penyandang disabilitas No. 8 tahun 2016 pada Pasal 53 ayat (1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik
Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja. Dan paling sedikit perusahaan wajib memperkerjakan satu
penyandang disabilitas dari 100 pekerja di suatu perusahaan swasta dan perusahaan
milik negara (BUMN), tetapi sangat jarang perusahaan swasta dan perusahaan milik
negara mau memperkerjakan penyandang disabilitas pada perusahaannya karena
perusahaan hanya memandang penyandang disabilitas itu tidak mempunyai
kemampuan dalam bidang pekerjaan maka dari itu Kesempatan kerja bagi disabilitas
seringkali menyebutkan syarat sehat fisik atau tidak cacat fisik untuk pelamarnya, hal
ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi ringan. Nilai-nilai HAM yang universal
ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan yang seragam. Hak dalam hak
asasi manusia mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup
bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki, disandang dan
melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu pula muncul
kewajiban manusia lain untuk menghormatinya.
Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) menyebutkan bahwa penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dari definisi tersebut, penyandang disabilitas berdasarkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun
2016 dapat dikategorikan kedalam empat kelompok, yaitu:
a) Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke,
akibat kusta, dan orang kecil.
b) Penyandang Disabilitas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan
down syndrom.
c) Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan
perilaku, antara lain:
 psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan
kepribadian; dan
 disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial
di antaranya autis dan hiperaktif.
 Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau
disabilitas wicara.

Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hak atas
pekerjaan terdapat pada Pasal 11 yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas
berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun Swasta
tanpa diskriminasi serta memperoleh upah yang sama dalam jenis pekerjaan dan
tanggung jawab yang sama serta Mimbar Keadilan tidak di berhentikan dari
pekerjaaanya dengan alasan disabilitas. Tetapi Penyandang disabilitas banyak yang
menjadi pengangguran karena Hak-Haknya belum sepenuhnya terpenuhi, banyak sekali
perusahaan yang sengaja menolak dalam hal melamar pekerjaan karena mengalami
disabilitas. Hak-hak lain penyandang disabilitas dalam Ketenagakerjaan juga tercantum
dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang Penyandang Disabilitas No. 8
Tahun 2016.

b. Upaya Pemerintah Mengatasi Diskriminasi Pemenuhan Hak Penyandang


Disabilitas
Secara umum para penyandang disabilitas ini memiliki keterbatasan dalam
bergerak, menggantungkan kehidupannya terhadap bantuan orang lain, pesimis, unskill
karena keterbatasan fisik yang dimiliki, Maka dari itu perusahaan yang mau
memperkerjakan penyandang disabilitas memikirkan hal itu. Padahal penyandang
disabilitas juga mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya, termasuk
salah satunya adalah hal untuk mendapatkan pekerjaan.
Hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas
merupakan aplikasi dari pemenuhan hak ekonomi dan sosial sebagai bagian dari wujud
pelaksaana dari hak asasi manusia (HAM). Hak konstitusional penyandang disabilitas
ini perlu untuk diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam undang-undang yang
bertujuan bukan hanya untuk menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan para
penyandang disabilitas, tetapi juga memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan
masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam meningkatkan harkat dan martabat para
penyandang disabilitas. Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas
dari adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau masyarakat dalam
negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan yang berjalan secara selaras dan
seimbang antara hak dan kewajiban manusia. Dan Seharusnya Pemerintah beserta
pengusaha maupun masyarakat umum perlu memastikan dihapuskannya berbagai
hambatan-hambatan dalam hal mempekerjakan penyandang disabilitas. Namun,
pemenuhan kewajiban Negara tidak hanya terbatas pada pengaturan perundang-
undangan namun Negara juga menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam
segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesejahteraan, pekerjaan, politik, olah raga,
seni dan budaya serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi terpenuhi.
Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas karena masih banyak yang memandang lemah para penyandang
disabilitas terutama dalam hal pekerjaan. Upaya pemerintah dalam mengatasi
diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah dengan cara memberikan
perlindungan secara penuh dan setara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf a
UU No. 8 Tahun 2016 yaitu untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang
disabilitas secara penuh dan setara. Maksud dengan setara disini adalah menempatkan
penyandang disabilitas setara atau sejajar dengan orang non disabilitas atau dengan
istilah memanusiakan manusia (memanusiakan penyandang disabilitas). Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Di samping itu, perlindungan penyandang
disabilitas juga dapat diartikan sebagai upaya menciptakan lingkungan dan fasilitas
umum yang aksesibelitas demi kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas
untuk hidup mandiri dan bermasyarakat.
Konvensi penyandang disabilitas menetapkan kewajiban umum setiap Negara
peserta termasuk Indonesia, untuk wajib merealisasikan hak yang termuat dalam
Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan
administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan,
kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas,
menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni dan budaya, serta pemanfaatan
teknologi, informasi dan komunikasi.
Lembaga-lembaga perlindungan Hak Asasi Manusia, di Indonesia
pelaksanaannya upaya perlindungan HAM dilakukan oleh lembaga milik pemerintah
dan lembaga milik swasta lain yang berwenang, antara lain:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Komnas HAM
4. Pengadilan HAM di indonesia
5. Lembaga bantuan hukum indonesia (YLBHI)
6. Biro konsultasi dan bantuan hukum perguruan tinggi
7. Komnas anak
UU No. 39 Tahun 1999, selain mengatur tentang berbagai hak yang dijamin, juga
menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penghormatan , perlindungan
dan pemenuhan HAM, serta mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM). Pemerintah, sebagai perwakilan negara seharusnya wajib membuat
kebijakan anti diskriminasi, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dalam
implementasinya. Dengan adanya hak konstitusional setiap warga negara memiliki
jaminan konstitusional atas setiap hak-haknya yang termuat dalam UUD NRI 1945.
Pasal-pasal tersebut mengandung arti jelas bahwa, jika warga negara tidak
mendapatkan haknya salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, maka warga negara itu bisa menuntut hak tersebut kepada negara. Jika dengan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sekelompok warga Mimbar Keadilan Juli 2019
Istifarroh Widhi Cahyo Nugroho 29 negara yaitu khususnya penyandang disabilitas
merasa terdiskriminasi, maka seharusnya peraturan tersebut ditinjau kembali, apalagi
jika peraturan tersebut mengacu kepada keterbatasan fisik seseorang. Padahal,
keterbatasan fisik tidaklah mengurangi kecerdasan dan kapasitas seseorang untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjamin perlindungan


HAM, misalnya pengakuan dan jaminan hak atas persamaan hukum, jaminan hak untuk
bebas dari tindakan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, hak untuk bebas dari
penyiksaan, dan lain sebagainya. Upaya perlindungan HAM penekanannya pada
berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan
HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga
dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang
dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki tugas
utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Meskipun di
Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibentuk lembaga
untuk penegakannya.
Dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas tersebut,
negara harus mengacu pada prinsip-prinsip umum berikut, yaitu:

1. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual, termasuk


kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;
2. Non diskriminasi;
3. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;
4. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai
bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan;
5. Kesetaraan kesempatan;
6. Aksebilitas;
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia harus dilakukan secara inklusif, artinya


siapa saja dan apapun kondisinya berhak mendapat akses ke pendidikan dan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun dalam kenyataannya, perusahaan-
perusahaan yang mempekerjakan disabilitas masih sangat sedikit. Padahal
mempekerjakan penyandang disbilitas adalah amanat UU No.8 Tahun 2016. Dalam
menangani disabilitas sesungguhnya bukan hanya di bidang ketenagakerjaan. Tetapi
juga harus bersinergi dengan seperti Kementerian Sosial, Kementerian BUMN,
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan serikat pekerja/serikat buruh. Seharusnya
pemerintah juga secara rutin menggelar bursa kerja khusus penyandang disabilitas dan
menggelar pameran produk padat karya penyandang disabilitas serta pemberian
penghargaan bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas agar
penyandang disabilitas tidak hanya dianggap manusia yang lemah dan yang tidak
mempunyai kemampuan apa-apa.
C. IMPLEMENTASI PEMENUHAN HAK PENYANDANG CACAT DALAM
MEMPEROLEH PEKERJAAN PADA PERUSAHAAN NEGARA DAN SWASTA
1. Cara pandang dan kebijakan perusahaan terhadap pemenuhan hak
penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan
a. PT. PLN Persero Sektor
Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar di
Indonesia, PT. PLN Persero Sektor harus melaksanakan ketentuan undang-
undang. Salah satu ketentuan undang-undang tersebut adalah untuk
mempekerjakan penyandang cacat dengan kuota 1:100. Perusahaan selalu
bersikap terbuka terhadap penyandang cacat yang ingin melamar kerja. Namun,
penyandang cacat tersebut harus memiliki keahlian yang saat ini dibutuhkan oleh
perusahaan. Ketentuan ini merupakan cara pandang perusahaan yang disepakatin
dalam bentuk kebijakan. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT. PLN
Persero Sektor cenderung melaksanakan ketentuan pemerintah yang telah
dibentuk dalam sebuah undang-undang yang berlaku umum. Cara pandang diatas
menunjukan bahwa pihak PT. PLN Persero Sektor menerapkan kebijakan untuk
menerima penyandang cacat dengan syarat penyandang cacat tersebut memiliki
skill dan keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan.
b. PT. Agung Automall
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ikhsanudin Bagian Kepegawaian
PT. PLN Persero pada hari Selasa tanggal 11 Februari 2014. Sebagai salah satu
perusahaan swasta terbesar di Kota. PT. Agung Automall harus melaksanakan
ketentuan undang-undang. Salah satu ketentuan undang-undang tersebut adalah
untuk mempekerjakan penyandang cacat. Perusahaan selalu bersikap terbuka
terhadap penyandang cacat yang ingin melamar kerja. Namun, penyandang cacat
tersebut harus memiliki keahlian yang saat ini dibutuhkan oleh perusahaan.
Ketentuan ini merupakan cara pandang perusahaan yang disepakatin dalam
bentuk kebijakan. Cara pandang diatas menunjukan bahwa pihak PT. Agung
Automall menerima penyandang cacat dengan kebijakan perusahaan menerima
penyandang cacat dengan syarat penyandang cacat tersebut memiliki skill dan
kemampuan serta memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Pelaksanaan kebijakan tersebut juga diikuti dengan kriteria yang harus dipenuhi
oleh penyandang cacat itu yaitu memiliki skill. Salah satunya adalah dalam
bidang mekanik. Tetapi kebijakan diatas tidak diikuti dengan masih kurangnya
pemahaman perusahaan akan keharusan mereka dalam mempekerjakan
penyandang cacat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
yang mengharuskan perusahaan mempekerjakan penyandang cacat dengan kuota
1:10
c. PT. Riau Pos
Sebagai salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan terbesar di
Pekanbaru, PT. Riau Pos harus melaksanakan ketentuan undang-undang. Salah
satu ketentuan undang-undang tersebut adalah untuk mempekerjakan penyandang
cacat. Perusahaan selalu bersikap terbuka terhadap penyandang cacat yang ingin
melamar kerja, walaupun perusahaan masih sedikit ragu 39 Berdasarkan
wawancara dengan bapak Hanafi Bagian HRD PT. Agung Automall pada hari
sabtu tanggal 7 juni 2014. JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014
10 bahkan takut untuk menerimanya. Namun perusahaan tetap membuka
seluasnya kepada penyandang cacat yang ingin melamar kerja, dengan syarat
penyandang cacat memiliki kemampuan dan pengalaman yang saat ini dibutuhkan
oleh perusahaan. Akan tetapi perusahaan juga berbendapat, bahwa jika ada
penyandang cacat yang melamar kerja berbarengan dengan orang yang normal
serta mempunyai kemampuan dan pengalaman yang sama dengan orang yang
normal, perusahaan tetap akan memilih dan menerima orang yang mempunyai
fisik normal.
2. Pemenuhan hak penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan
Salah satu hak yang dimiliki oleh manusia adalah hak untuk memperoleh
pekerjaan. Hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat yang terdapat pasal 13 yang berbunyi; “penyandang cacat
mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan
derajat kecatatannya”. Hal ini pun juga tercantum di dalam pasal 14 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997. Tentang penyandang cacat yang menyebutkan bahwa
“perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama
kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat diperusahaannya
sesuai dengan derajat kecacatannya, Pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah karyawan atau kualifikasi perusahaan”. Peraturan tentang
kuota kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat juga telah diatur secara jelas
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 Tentang
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang terdapat dalam
Pasal 28 dan 29 ayat 1. Dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat berbunyi: “pengusaha harus mempekerjakan sekurang kurangnya 1 (satu) orang
penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan
sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (serratus) orang pekerja
perusahaannya”
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sebagai bentuk kewajiban dan tanggungjawab negara dalam upaya melindungi Hak
Asasi Manusia termasuk didalamnya juga Hak Asasi Anak. Maka sudah dibentuk
beberapa Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya menjelaskan tentang
jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Anak. Selain itu dalam pasal-pasal
peraturan-peraturan yang terkait dalam upaya perlindungan anak tersebut sudah
saling terkait, mendukung dan menguatkan. Adapun peratutan-peraturan yang terkait
dalam upaya menjamin dan melindungi hak anak tersebut sebagai berikut :
a. Undang –Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
c. Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d. Undang-Undang Nomer 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
e. PERMENKES Nomer 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS f
f. PERDA Nomer 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

2. Dari ke-4 responden dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pemenuhan hak-
hak anak sendiri sudah terpenuhi seperti hak atas kelangsungan hidup, hak atas
perlindungan, hak atas perkembangan dan hak untuk berpartisipasi. Dimana ini
terlihat dengan adaya Rumah Singgah yang didirikan khusus untuk ibu dan anak
HIV/AIDS di Kota Semarang. Selain itu juga dalam memperolaeh akses pelayanan
kesehatan juga cukup mudah dimana di kota semarang sendiri sudah banyak klinik
vct dan IMS didirikan. Bukan hanya itu saja tetapi dalam memperoleh obat ARV pun
sudah disubsidi secara gratis oleh pemerintah.
3. Faktor pendukungdalam pemenuhan hak anak pengidap HIV/AIDS ini yaitu sudah
adanya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hak- hak anak. Kemudian
adanya upaya penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV/AIDS dan anti diskriminasi
terhadap Orang dengan HIV/AIDS termasuk didalamnya anak dengan HIV/AIDS.
Yang terakhir yaitu adanya pemberian dana APBD yang melalui Dinas Kesehatan
Kota semarang diberikan kepada Komisi Penanggulangan AIDS yang selanjutnya di
alokasikan kebeberapa LSM dan Rumah Singgah. Faktor pemhambat dalam
pemenuhan hak anak pengidap HIV/AIDS ini yaitu Anggaran yang masih minim
untuk program pencegahan HIV/AIDS yang belum mampu menjangkau seluruh
wilayah di Kota Semarang secara merata dan masih rendahnya pengetahuan HIV dan
AIDS yang mengakibatkan Stigma dan diskriminasi masih cukup tinggi.
B. Saran
1. Untuk Pemerintah Kota Semarang terutama KPA dan DKK diharapkan kedepannya
mampu membuat program jaminan hidup untuk anak-anak pengidap HIV/AIDS
sehingga hak-hak anak tersebut jelas akan jaminan perlindungannya.
2. Untuk KPA dan DKK diharapkan mampu meningkatkan kegiatan Sosialisasi
mengenai HIV/AIDS kepada warga kota semarang sehingga tingkat pengetahuan
tentang HIV/AIDS warga kota semarang semakin baik sehingga stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA maupun ADHA dapat diminimalisir.
3. Peran atau partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dalam hal memberikan
perlindungan terhadap anak. Seperti peran WPA (Warga Peduli AIDS) perlu
ditingkatkan karena dengan adanya peran aktif dari WPA diharapkan mampu
mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA maupun ADHA.
karena masyarakat juga mempunyai peranan penting dalam memberikan
perlindungan terhadap anak. Pihak yang berkewajiban dalam memberikan
perlindungan terhadap anak tidak hanya orang tua dan keluarga namun negara dan
masyarakat juga berkewajiban menjamin pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-
hak anak.
4. Untuk pihak LSM dan Yayasan atau Rumah Singgah apabila mengalami kendala
terhadap pendanaan maka dapat mengajukan proposal bantuan kepada Badan
Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah. Dimana untuk mendapatkan dana hibah dan
atau Bantuan tersebut pihak LSM maupun Rumah singgah terlebih dahulu harus
berbadan hukum.

Anda mungkin juga menyukai