PROFESIONALISME KEBIDANAN
DISUSUN OLEH :
Dr. HERNA RINAY ANTI, S.Tr.Ke b., Bd , M.Kes
NIDN : 04-201085-01
1. VISI
"Mewujudkan Stikes Mitra Husada Medan Sebagai Pusat Penyelenggara Pengembangan Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi Di Bidang Kesehatan Yang Unggul Dalam Excellent Service
Yang Berintegritas Tinggi Dan Berdaya Saing Ditingkat Nasional Tahun 2030"
2. MISI
1. Menyelenggarakan Pendidikan, Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Di Bidang Kesehatan
Yang Inovatif Dan Berdaya Saing Secara Nasional Dan Internasional
2. Menyelenggarakan Iklim Akademik Yang Kondusif Yang Mendukung Perwujudan Visi Stikes Mitra
Husada Medan
3. Menyiapkan Peserta Didik Agar Menjadi Lulusan Yang Service Excellent, Berakhlak, Berintegritas
Tinggi Serta Berdaya Saing Di Tingkat Nasional
4. Mengembangkan Praktik Kesehatan Berbasis Fakta (Evidance Based Practise)
5. Menghasilkan Kerjasama Dengan Instansi Dan Lembaga Terkait Di Tingkat Nasional Dan
Internasional
1. VISI
Menjadi Program Studi Kebidanan Program Sarjana sebagai Pusat Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi di Bidang Kebidanan Yang Unggul Service Excellent Dalam
Pelayanan Kebidanan Yang Berintegritas Tinggi Dan Berdaya Saing Di tingkat Nasional
Tahun 2030.
2. MISI
1) Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang
kebidanan yang inovatif dan berdaya saing secara nasional dan internasional
2) Menyelenggarakan iklim akademik yang kondusif yang mendukung perwujudan visi Prodi
Kebidanan Program Sarjana STIKes Mitra Husada Medan
3) Menyiapkan peserta didik agar menjadi lulusan yang Service Excellent, berakhlak,
berintegritas tinggi serta berdaya saing di tingkat nasional
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan modul Profesionalisme Kebidanan. Modul
ini diperuntukan bagi pegangan mahasiswa semester VI Program Studi Kebidanan Program
Sarjan STIKes Mitra Husada Medan.
Modul ini disusun dengan tujuan untuk memudahkan mahasiswa pada proses
pembelajaran khususnya Profesionalisme Kebidanan. Diharapkan modul ini menjadi bahan
pembelajaran bagi mahasiswa Program Studi Kebidanan Program Sarjana STIKes Mitra
Husada Medan.
Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan modul praktek ini.
Kami menyadari bahwa modul praktek ini belum sempurna, untuk itu penyusun
mengharapkan masukan demi kesempurnaan modul Profesionalisme Kebidanan. Semoga
modul ini dapat bermanfaat.
Tim Penyusun
Pada mata kuliah ini mahasiswa mampu menjalankan Evidence-based midwifery untuk
keperluan pelayanan kebidanan, Sejarah perkembangan pelayanan kebidanan, Pengantar
kepemimpinan dalam kebidanan, Pengenalan pada politik dalam pelayanan kebidanan dan
medical model dalam pelayanan obstetrik, penggunaan media social dan profesionalisme,
Peran dan tanggung jawab bidan pada berbagai tatanan pelayan kesehatan promosi kesehatan,
Peran bidan di pelayanan kesehatan primer termasuk kesehatan masyarakat dan lingup
praktik, Kajian gender dalam pelayanan kebidanan, Keilmuan kebidanan, definisi normal
childbirth (kehamilan, persalinan dan nifas), standard ICM, budaya/tradisi dalam kebidanan
yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi komplementer dalam asuhan kebidanan, Rujukandan
record keepingnya dengan menggunakan teknologi, Etik biomedis dan aplikasinya dalam
praktik kebidanan, Pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional
development)dan pentingnya belajar sepanjang hayat, Hubungan bidan-ibu dan keterampilan
dan komunikasi efektif dalam pelayanan, Prinsip partnership dalam promosi kesehatan:
interprofesional, interagency, dan intersektor, Modul asuhan dan peran professional kesehatan
lain dalam memberikan asuhan yang berkualitas.
Mampu merancang asuhan kebidanan secara efektif, aman dan holistik dengan
memperhatikan aspek budaya terhadap Profesionalisme Kebidanan.
V. Kompetensi Dasar
Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan Praktik Profesionalisme Bidan.
Penilaian dilakukan dalam bentuk penugasan, Ujian Tulis, Lisan dan Praktek Klinik
Sikap : 5 %
Kuis :5%
Tugas : 45 % (TR:5 % ; CBR:5 % ; CJR :5 % ; RI : 5 % ; MR : 5 % ; PR : 20%)
Seminar :5 %
UTS : 15 %
UAS : 25 %
Praktek 100 %
X. Jadwal Perkuliahan
Terlampir
5. PBM : - Setiap materi yang telah dicantumkan dalam RPS harus dibaca terlebih
dahulu sebelum mengikuti perkuliahan pada hari yang sudah ditetapkan.
- Setiap Mahasiswa wajib memiliki catatan perkuliahan dan buku pegangan/
buku bacaan Profesionalisme Kebidanan.
- Mahasiswa menyiapkan ruang kelas dan sarana pembelajaran untuk siap
digunakan saat proses pembelajaran sebelum Dosen memasuki ruangan.
- Boleh membawa makanan (berupa snack) dan minuman, dikonsumsi
diluar proses pembelajaran. Tidak dibenarkan membawa handphone
ataupun alat elektronik lainnya ke kelas.
- Menjaga kebersihan kelas.
- Wajib memenuhi semua tugas dan kewajiban yang di agendakan oleh
dosen.
XII. KONSEKUENSI
1. Kehadiran :
- Mahasiswa hanya boleh absen paling banyak 3 kali pertemuan, Apabila lebih dari 3
kali (tanpa alasan yang jelas), maka Mahasiswa tidak dibenarkan mengikuti ujian dan
harus mengulang mata kuliah ini pada semester berikutnya.
2. Waktu :
- Apabila mahasiswa datang terlambat > 15 menit maka mahasiswa tersebut tidak
diperkenankan masuk ruangan atau boleh memasuki ruangan akan tetapi kehadirannya
tetap tidak dihitung (jika tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu). Serta mendapat
punishment berupa mencari artikel untuk bahan bacaan perkuliahan untuk pertemuan
selanjutnya.
- Apabila dosen datang terlambat > 15 menit maka mahasiswa boleh meningggalkan
perkuliahan atau menyerahkan kepada mahasiswa perkuliahan akan dilanjut atau
tidak.
3. Penugasan :
XIV. LAIN-LAIN
Apabila ada hal – hal yang diluar kontrak perkuliahan ini untuk perlu disepakati dapat
dibicarakan secara teknis pada saat proses perkuliahan dan dapat diatasi/ diputuskan
berdasarkan kesepakatan anatara Dosen dan Mahasiswa. Apabila ada perubahan isi
kontrak perkuliahan, akan ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Modul ini sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, sangat penting untuk dipelajari karena akan
sangat berkaitan dengan materi berikutnya dalam mata kuliah Profesionalisme Kebidanan. Nah, untuk
dapat memahami uraian materi dalam modul ini dengan baik, maka ikuti petunjuk dalam penggunaan
modul ini, yaitu:
1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan ini sampai Anda memahami betul apa, untuk apa dan
bagaimana mempelajari modul ini.
2. Bacalah modul ini secara teratur dimulai dari Kegiatan Belajar I, dengan mengikuti setiap materi-
materi yang dibahas,temukan kata kunci dan kata-kata yang dianggap baru. Carilah arti dari kata-
kata tersebut dalam kamus anda.
3. Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang materi modul untuk lebih memahami materi yang
anda pelajari
4. Pada akhir kegiatan belajar akan ada latihan untuk menguji pemahaman anda mengenai materi
yang telah dibahas. Apabila pemahaman anda belum mencapai sedemikian, maka anda
ditugaskan kembali untuk mempelajari materi yang terkait hingga memahami sehingga dapat
melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya.
5. Apabila anda hasil evaluasi menyatakan anda mampu melakukan keterampilan dengan tepat dan
sistematis maka anda telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran pada modul ini.
Pada mata kuliah ini mahasiswa belajar tentang profesionalisme kebidanan yang akan
digunakan kelak pada saat mengaplikasikan ke lingkungan masyarakat. Mahasiswa belajar
penggunaan media social dan profesionalisme, Peran dan tanggung jawab bidan pada
berbagai tatanan pelayan kesehatan promosi kesehatan Peran bidan di pelayanan kesehatan
primer termasuk kesehatan masyarakat dan lingkup praktik, budaya/tradisi dalam kebidanan,
Rujukan dan record keepingnya, Etik biomedis dan aplikasinya dalam praktik kebidanan,
pengembangan profesional berkelanjutan, komunikasi efektif Prinsip partnership dalam
promosi kesehatan, dan membuat modul asuhan dan peran profosional kesehatan lain dalam
memberikan asuhan yang berkualitas
Setelah membaca modul ini, mahasiswa Program Studi Kebidanan Program Sarjana STIKes Mitra
Husada Medan mampu:
1. Evidence-based midwifery untuk keperluan pelayanan kebidanan
2. Sejarah perkembangan pelayanan kebidanan
3. Pengantar kepemimpinan dalam kebidanan
4. Pengenalan pada politik dalam pelayanan kebidanan dan medical model dalam pelayanan
obstetrik
5. penggunaan media social dan profesionalisme
6. Peran dan tanggung jawab bidan pada berbagai tatanan pelayan kesehatan promosi
kesehatan
7. Peran bidan di pelayanan kesehatan primer termasuk kesehatan masyarakat dan lingup
praktik
8. Kajian gender dalam pelayanan kebidanan
9. Keilmuan kebidanan, definisi normal childbirth (kehamilan, persalinan dan nifas),
standard ICM
10. budaya/tradisi dalam kebidanan yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi komplementer
dalam asuhan kebidanan
11. Rujukandan record keepingnya dengan menggunakan teknologi
12. Etik biomedis dan aplikasinya dalam praktik kebidanan
13. Pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional development)dan
pentingnya belajar sepanjang hayat
KEGIATAN BELAJAR 1
It might seem obvious to the current generation of midwives and other health care providers
that practice should be informed by evidence as this is now an accepted approach to health care. When
the concept of evidence-based medicine (EBM) was introduced in the early 1990s however, this idea
was harkened as a ‘paradigm shift’ and even a “revolutionary movement.” The concept of EBM
evolved to EBP to be inclusive of not only other health care professions but also other professional
disciplines. The need to use evidence as the basis for decision-making has become an expected, if
challenging, approach to practice and policy-making in all areas.
Midwifery, particularly midwifery in Canada, has a unique relationship to EBP, and a history that
provides insights into both our profession and the ongoing evolution of the application of evidence to
maternity care. EBP offers much to midwives and health care practice, but it is important to understand
the potential limitations and unexpected effects of a naïve application of EBP. For example, in Ontario,
Canada midwives have generated an integrated approach to EBP through midwifery clinical practice
guidelines (CPGs) and other evidence-based resources for midwives and clients that combine a
rigorous look at evidence with a values-based approach to the application of evidence.
WHAT IS EBP???
EBP is commonly defined as a commitment to base health care on the best available scientific
evidence. The term EBM was first used in an article in the Journal of the American Medical
Association (JAMA) in 1992, and it had evolved from previous labels including, research-based practice.
EBP is used interchangeably with evidence-based health care and has generated labels specific to
particular health professions such as evidence-based midwifery, nursing, physiotherapy. The concept is
In clinical research, such as maternity care research, blinding of the participants and health care
providers is often not possible as both the care provider and patient know the nature of the treatment
being applied or not applied, such as would be the case if the intervention involves, e.g. physical
therapy. However, participants should still, if at all possible, be randomly assigned to their groups and it
is ‘still desirable and often possible to blind the assessor or obtain an objective source of data for
evaluation of outcomes.’ (10) In maternity care, both childbearing clients and care providers involved in
trials are commonly aware of the treatments, but patients are randomized in allocation to their group to
either receive or not receive the treatment. The randomization process that distinguishes the evidence
from RCTs from cohort or case-control studies and outcomes research, as it reduces systematic bias.
What is now the Canadian Task Force on Preventive Health Care (CTFPHC) developed a system for
grading the level and quality of research evidence in 1979 (revised in 2003), which was used in the first
EBP ‘how-to’ guide in 2000. This system established the RCT at the top of the research hierarchy and
evolved to systematic review or meta-analysis being preferred to single RCTs.
EVIDENCE-INFORMED MIDWIFERY
Midwives around the world enthusiastically support EBP and there is
extensive literature and many resources to support evidence-based midwifery. Most
midwifery education programs are built around enabling students to acquire and
use the skills required for EBP, such as how to search the research literature and
how to critically appraise research articles. Many midwifery education programs
are designed to expose students to both science and social science knowledge and
expect them to use both to inform practice.
Many midwives feel most comfortable using the label, evidence-informed
midwifery. The term integrates the concept of informed choice and EBP. It
acknowledges the need for midwives to explore the values and preferences of their
CLINICAL APPLICATIONS
What would an evidence-informed midwifery practice look like? It would mean that
as a midwife you listen to the clients and families you work with and find out what is
important to them. You continually update your knowledge of the evidence. To do this you
use relevant guidelines such as the AOM, Society of Obstetricians and Gynaecologists of
Canada (SOGC), or National Institute for Health and Care Excellence (NICE) guidelines and
other evidence-based resources. You know how to search the web to find high-quality
systematic reviews and use the Cochrane database. You get alerts to your preferred journals to
keep abreast of new findings. In clinical practice you ask yourself key questions, including:
What is the clinical situation and the specific findings for this client?
What does your client say? What do other family members think? What is important
to them?
What is the evidence? How is it relevant to the general clinical situation? To the
individual?
What does your experience tell you?
How can you best communicate the risks, benefits and the alternatives?
You use evidence to inform and support choice and actively give permission for
reasonable alternatives. You develop your skills of critical appraisal and clinical reasoning
and you become a skilled advocate for your clients and the profession, using evidence. By
actively interpreting evidence to support normal birth you help lower rates of intervention in
your practice settings. You let evidence challenge you and your worldview. You try to be
open about your biases and engage in open dialogue about philosophies of birth and childbirth
care. You respect evidence but know there is more to good practice than good evidence.
CONCLUSION
Midwives have an enthusiastic and critically aware engagement with EBP. Midwives
have an ideal model of practice to implement evidence-informed care, with the benefits of
autonomy and continuity of care. A commitment to EBP and participating in the creation of
evidence-based tools provides an important common ground for midwives and other health
PLEASE MAKE YOUR ANALYZE FOR THIS JOURNAL ABOUT PANDEMIC COVID -19
JOURNAL :
1. Coronavirus in Pregnancy and Delivery : Rapid Review and Experti Consesus
2. Vertical Transmission of Coronavirus Disease 19 (COVID 19) from Infected Pregnant Mothers to
Neonates : A Review
3. Infants Born to Mothers With a New Coronavirus (COVID-19).
RUBRIK PORTOFOLIO
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/04-Profesionalisme Bidan 1-2 18 Oktober 2017 00
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
NO Aspek Penilaian Atikel-1 Atikel-2 Atikel-3
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
Background
The International Confederation of Midwives (ICM) has developed the ICM
Global Standards for Midwifery Regulation, in response to requests from midwives,
midwifery associations, governments, UN Agencies and other stakeholders. The goal of
these standard sistopromote regulatory mechanisms that protect the public (women and
families) by ensuring that safe and competent midwives provide high standards of
midwifery care to every woman and baby. The aimof regulation is to support midwives
to work autonomously within their full scope of practice. By raising the status of
midwives through regulation the standard of maternity care and the health of mothers
and babies will be improved.
These standards were developed during 2010 in tandem with the development of
global standards for midwifery education and there vision of the ICM essential
competenciesfor basic midwifery practice. Together, the ICM essential competencies and
the global standards for regulation and education providea professional frame work that
can be used by midwifery associations, midwifery regulators, midwifery educators and
governments to streng then the midwifery profession and raise the standard of midwifery
practice in their jurisdiction. When midwives work with insucha professional frame work
the yare supportedan denabled to fulfil their role and contribute fully to the delivery of
maternal and newborn care in their country.
Development of the standards
Background
In 2002 ICM adopted a position statement titled “Framework for midwifery
legislation and regulation”. This position statement defined midwifery legislation and
regulation as follows:
With adoption of the 2002 position statement ICM identified the need to:
Establish guidelines for the development of regulatory standards to further enable
member associations to achieve regulatory processes appropriate for the practice of
midwifery in their country.
ICM adoptedafur ther position state menttitled“Legislation to govern midwifery
practice”. This position statement provided a set of statements about what midwifery
regulatory legislation should provide. These statements are asfollows:
Enable midwives to practise freely in anysetting.
Ensure the profession is governed bymidwives.
Support the midwife in the use of life-saving knowledge and skill sinavariety of
setting sin countries where there is no ready accessto medical support.
Enable midwives to have access to ongoingeducation.
Require regular renewal of right topractise.
Adopta‘Definition of the Midwife’ appropriate to the country with in the
legislation.
Provide for consumer representation on the regulatory body.
Recogn is ethatall women have a right to beat tended by a competent midwife.
Allow for the midwife to practise in her own right.
Recogn is ethe importance of separate midwifery regulation and legislation which
supports and enhances the work of midwive sinimproving maternal, child and
public health.
Provide for entry to the profession that is based on competencies and standards
Process of development
The standards formid wifery regulation were initially draf tedbyasub-groupof the
Task force during a meeting in Hong Kong in April. In drafting the standards this
group drew on information obtained through regulation workshops held at the ICM
Asia-Pacific region conference in Indiain November 2009 and at the ICM/UNFPA
South Asia midwifery meeting in Bangladesh in March 2010. The group also drew on
a literature review undertaken to identify the purpose, types, and functions of health
regulation and midwifery regulation in particular. It was evident that there is an urgent
need for midwifery regulation in many countries and that such regulation needs to
support midwifery auto no my within the full scope of midwifery practice as defined
by the ICM, protect the title ‘midwife’, support standardised midwifery education and
ensure continuing competence ofmidwives.
Complaints and The legislation The midwifery regulatory authority has a public
discipline authorises the protection role and increasingly there is a public
midwifery regulatory expectation that all professions are transparent and
authority to define effectiveinsettingstandardsforpracticethatprotect
expected standards the public.
of conduct and to
The midwifery regulatory authority sets the
define what
standardsofprofessionalconductandethicsand
constitutes
judges when midwives fall below expected
unprofessional
standards.
conduct or
professional
misconduct.
Code of conduct The midwifery The codes of conduct and ethics are a baseline for
and ethics regulatory authority the practice and professional behaviour expected
sets the standards from a midwife and the midwifery profession. The
of conduct and profession sets these standards via the midwifery
ethics. regulatory authority.
Internationally, common elements in codes include
rules around personal value systems, professional
boundaries, inter-professional respect, collegial
relationships, informed consent, advertising, and
product endorsement.
Codes of ethics should be consistent with the ICM
Code of Ethics.
This document includes the purpose of regulation, founding values and principles,
principles of good regulation, a glossary of terms, the intended use of the standards and the
global standards for midwifery regulation with an accompanying explanation for each
standard.
Purpose of Regulation
Regulatory mechanisms, whether through legislation, employ ment or other regulation,
aimto ensure the safety of the public. This is achieved through the following six main
functions of:
1. Setting the scope ofpractice
2. Pre-registration education;
3. Registration;
The purpose of these standards is to describe the regulatory framework necessary for
effective midwifery regulation. The frame work defines the elements of regulation in order
to:
Determine who may use the title ofmidwife;
Describe the scope of practice of amid wife consistent with the ICM definition of a
midwife;
Ensure that midwive senter the register following education consistent with the
ICM Global Standards for Midwifery Education
Ensure that midwive senter the register able to demonstrate the ICM Essential
Competencies for Basic Midwifery Practice
Ensure that midwivesare able to practise auto nomously with in their prescribed
scope of practice;
Ensure that midwives demonstrate continuing competence topractise;
Ensure that midwives and women (asusers of midwifery services) are part of the
governance of midwifery regulatory bodies
Ensure public safety through the provision of acompetent and autonomous
midwifery work force.
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Sangat Kurang
DEMENSI Sangat Baik Baik Cukup Kurang
Penguasaan materi
Kemampuan menghadapi
pertanyaan
Ketepatan menyelesaikan
masalah
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 3
KEGIATAN
BELAJAR 3
PENGANTAR KEPEMIMPINAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
BACK GROUND
Kepemimpinan berasal dari bahasa kata “pimpin” yang berarti tuntun, bina ataupun
bimbing, dapat juga diartikan memnunjukan jalan yang baik atau benar, tetapi dapat juga berarti
mengepalai suatu pekerjaan atau kegiatan. Menurut P. Robbins “ Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai suatu tujuan:.
Menurut Wahjosumidjo, dalam praktek organisasi, kata “memimpin” mengandung
konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan
teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan dan sebagainya”. Di dalam teori
kepemimpinan ini berisi tentang pembahasan teori-teori yang terkandung di dalam memimpin
suatu organisasi, macam-macam pemimpin dan cara memimpin suatu organisasi. Melalui teori
kepemimpinan ini diharapkan tumbuh jiwa kepimpinan di dalam diri mahasiswa serta mampu
menjadi seorang pemimpin yang dapat memimpin anggotanya mencapai tujuan organisasi.
TEORI TENTANG ASAL USUS TERBENTUK SEORANG PEMIMPIN
1. Teori Genetik – menyatakan bahwa pemimpin itu terlahir dengan bakat yang yang sudah
terpendam di dalam diri seseorang.
2. Teori Sosial – menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin melalui latihan,
kesempatan dan pendidikan.
3. Teori Ekologis – teori ini merupakan gabungan dari 2 teori di atas.
SIFAT PEMIMPIN
1. Intelejensi – Kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat daripada para
anggota yang dipimpin.
2. Kepercayaan Diri – Keyakinan akan kompetensi dan keahlian yang dimiliki
3. Determinasi – Hasrat untuk menyelesaikan pekerjaan yang meliputi ciri seperti
berinisiatif, kegigihan, mempengaruhi, dan cenderung menyetir
4. Integritas – Kualitas kejujuran dan dapat dipercaya oleh para anggota
5. Sosiabilitas – Kecenderungan pemimpin untuk menjalin hubungan yang
menyenangkan, bersahabat, ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis. Menunjukkan
rasa sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan perhatian atas kehidupan mereka.
Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir dengan benar
berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir yang beralasan,
reflektif, bertanggung jawab dan mahir.
John Dewey: critical thinking adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati
atas keyakinan dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan.
Ennis: critical thinking adalah kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang
memfokuskan pada apa yang diyakini dan apa yang akan dilakukan (Fisher, 2001).
The APA (American Philosophical Association) Consensus Definition berfikir
kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan sendiri oleh pelaku kegiatan
berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi serta
penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi,
kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian melandasi keputusan yang dibuat oleh orang
tersebut.
CRITICAL THINGKING MERUPAKAN LANDASAN CLINICAL REASONING
Clinical reasoning adalah proses kognitif yang terjadi ketika berbagai informasi yang
diperoleh dokter baik melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik atau melalui kasus klinik yang
diberikan pada mahasiswa kedokteran disintesis dan diintegrasikan dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya oleh dokter dan mahasiswa tersebut yang kemudian
dipergunakan untuk mendiagnosis dan menatalaksana masalah pasien. (Groves dkk, 2002).
Cevero (1988) & Harris (1993) Clinical reasoning adalah pola berpikir seorang klinisi untuk
menempuh tindakan bijaksana (memiliki dasar benar, dampak baik) dalam arti melakukan
tahapan tindakan terbaik sesuai dengan konteks yang spesifik. (Higgs & Jones, 2000).
Graber (2005) Penyebab paling sering diagnositic error dan cognitive error .
Cognitive error:
1. Kesalahan pengetahuan
2. Kesalahan pengumpulan data/ informasi
3. Kesalahan mensintesis informasi dan menyimpulkan terlalu awal
4. Kesalahan dalam verifikasi.
Clinical reasoning yang kuat akan menghasilkan diagnosis yang presisi.
PMB Budi Luhur merupakan PMB yang sudah berdiri sejak tahun 1987 dan merupakan salah
satu PMB dengan visi menjadi PMB yang diminati oleh masyarakat. PMB Budli Luhur selalu
berusaha mengevaluasi program dan pasien yang dating sehingga dapat tetap bertahan ditengah
persaingan fasilitas kesehatan lainnya di daerah tersebut. Kenyataan dilapangan bahwa usaha
yang dilakukan oleh PMB Budi Luhur belum menunjukkan bahwa usah yang telah dilakukan
oleh pihak PMB belum menunjukkan hasil yang maksimal. Muncul keluhan masyarakat
mengenai pelayanan yang diberikan PMB Budi Luhur dan jumlah pasien yang belum
menunjukkan peningkatan adalah bukti yang mengindikasikan bahwa PMB Budi Luhur belum
mampu untuk mewujudkan visi tersebut. Berdasarkan wawancara awal di[eroleh informasi
mengenai ketidakpuasan pasien terhadap kualitas pelayan yang diberikan oleh pegawai PMB
Budi Luhur. Oleh karena itu pelayanan pegawai merupakan factor penentu citra dan kualitas
PMB ini.
RUBRIK ROLEPLAY
No. Dokumen Halaman Tanggal Revisi
Berlaku
1-2 18 Oktober 2017 00
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/19- Profesionalisme Bidan
Nama :
NPM :
Wahana Praktik :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
2 Mahasiswa
Mentor
1
( )
2
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) MITRA HUSADA MEDAN
PRODI PENDIDIKAN KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
RUBRIK ROLEPLAY
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/19- 1-1 18 Oktober 2017 00
Profesionalisme Bidan
Nama :
NPM :
Wahana Praktik :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Preseptor
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
Mentor
1
( )
2
KEGIATAN BELAJAR 4
KEGIATAN BELAJAR 4
PENGENALAN POLITIK DALAM
PELAYANAN KEBIDANAN
Menyikapi hal tersebut kiranya perlu dilakukan reformasi birokrasi guna menciptakan
birokrasi yang bersih, akuntabel dan transparan dalam memberikan pelayanan. Hal ini dapat
dilakukan apabila kapabilitas pemerintah khususnya kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif
dan kapabilitas responsif mampu dimaksimalkan. Lingkungan pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab akan menciptakan budaya kerja yang bersih juga, termasuk dalam pelayanan
kesehatan. Dengan adanya pembenahan pada level sistem dan oknum birokrasi diharapkan
pelayanan kesehatan di Indonesia tidak lagi ditemukan diskriminasi dan ketidakadilan.
1. Apa saja masalah dalam pelayanan kebidanan yang menjadi masalah nasional ?
2. Bagaimana peran politik bagi pelayanan kebidanan saat ini?
3. Apa saja program terbaru yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam mengatasi masalah
dalam pelayanan kebidanan?
4. Program apa yang bisa anda tawarkan kepada pemangku kebijakan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kebidanan ?
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) MITR HUSADA
MEDAN PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
Sangat Kurang
DEMENSI Sangat Baik Baik Cukup Kurang
Penguasaan materi
Kemampuan menghadapi
pertanyaan
Ketepatan menyelesaikan
masalah
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 5
KEGIATAN BELAJAR 5
PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DALAM
PRAKTIK PELAYANAN KEBIDANAN
BACK GROUND
Kebidanan (Informatic Technology). Perkembangan dunia IT berimbas pada
perkembangan berbagai macam aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang terkena
efek perkembangan dunia IT adalah kesehatan khususnya kebidanan., yang di mana untuk
menurunkan kematian ibu dan anak berbagai upaya telah dilakukan tidak terkecuali
peningkatan akses yang erat hubungannya dengan teknologi kebidanan dan kualitas
pelayanan melalui peningkatan kapasitas tenaga kesehatan termasuk bidan. Salah satu
bukti kesungguhan pemerintah dalam peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak ini
tertulis pada Permenkes nomor 97 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan masa hamil,
persalinan dan sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi serta
pelayanan kesehatan seksual.
Untuk meningkatkan sistem tesebut maka diperlukan teknologi. Pengenalan
teknologi yang berkembang saat ini teknologi tradisional, atau lebih dikenal dengan
teknologi tepat guna atau teknologi sederhana dan proses pengenalannya banyak
ditentukan oleh keadaan lingkungan. Untuk memperkenalkan teknologi tepat guna perlu
disesuaikan dengan kebutuhan yang berorientasi kepada keadaan lingkungan geografis
atau propesi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Teknologi tersebut diperkenalkan
dengan maksud masyarakat yang bersangkutan dapat merubah kebiasaan tradisional
dalam proses pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga Bidan harus melek IT untuk menjalani hidup lebih percaya diri dan
mandiri, terkait tugas bidan sebagai pendidik, pelaksana, pengelola dan peneliti. Untuk
dapat mengembangkan kompetensi dan produktivitas dalam bekerja, lebih inisiatif,
inovatif, dan kreatif., menjadi pemain bukan penonton tidak hanya menikmati teknologi
tetapi juga mampu menciptakan teknologi yang lebih canggih, dan mencapai efektivitas
dan efesiensi.
PROMOSI KESEHATAN KEBIDANAN
BERBASIS TEKNOLOGI
Tujuan Pembelajaran:
1. Mengaplikasikan Intervensi SMS Gateway
2. Menganalisis Efektifitas Promosi Kesehatan Berbasis SMS
3. Mengkaji Persepsi Ibu Terhadap Media Promosi Kesehatan Berbasis Telepon
Selular
a. Auto Replay
b. Broadcast message
c. Gambar
d. Penyimpanan Kontak Person
e. Alarm sebagai reminder
Seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) banyak peneliti
yang sampai saat ini mengemmbangkan fitur dalam SMS Gateway yang bisa kita akses sesuai
kebutuhan kita.
Di era globalisasi ini perangkat handphone merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Saat ini lebih dari 80 % masyarakat sudah menggunakan smartphone. Penggunaan ponsel
khususnya meledak di dunia berkembang dan banyak digunakan untuk kepentingan kesehatan.
Ada beberapa alasan pengembangan penggunaan software aplikasi kesehatan dalam
smartphone :
a. Rasio dokter dengan penduduk sangat rendah.
b. Kondisi sosial-ekonomi yang buruk dari masyarakat pedesaan
c. Kurangnya tenaga dokter dan perawat yang terlatih di daerah pedesaan
d. Adanya kesulitan dalam bidang transportasi di kota besar
e. Distribusi geometris yang tidak merata
Aplikasi kesehatan mobile telah banyak tersedia untuk di-download pada perangkat mobile
(misalnya smartphone dan tablet). Aplikasi kesehatan banyak digunakan oleh para profesional
kesehatan, konsumen dan pasien karena aplikasi ini dapat membantu dalam mengelola
kesehatan secara mandiri, membantu dalam mempromosikan hidup sehat dan mendapatkan
informasi medis untuk kesehatan sendiri, dapat digunakan dimana saja dan kapan saja. Aplikasi
kesehatan mobile akan membantu dalam mengatasi hambatan komunikasi yang terjadi antara
petugas kesehatan, fasilitas dan pasien. Berdasarkan hasil penelitian, pada tahun 2014 terdapat
9 dari 10 petugas kesehatan yang menggunakan smartphone/dan atau tablet dalam
melaksanakan praktek klinis mereka. Menurut temuan Pew Research Center, 31 % dari pemilik
ponsel mencari informasi kesehatan melalui aplikasi kesehatan yang diinstal dalam smartphone
mereka. Lebih dari 500 juta dari total 1,4 miliar pengguna smartphone diseluruh dunia
setidaknya menggunakan satu aplikasi kesehatan. Pada tahun 2018, 50 % dari 3,4 milliar dari
pengguna smartphone akan telah men-download aplikasi kesehatan pada mobile phone mereka.
Aplikasi mobile kesehatan memengaruhi perilaku kesehatan secara nyata. Aplikasi mobile
health ini juga dapat meningkatkan akses dalam promosi kesehatan dan intervensi kesehatan.
Semua aplikasi medis yang tersedia sesuai dengan kebutuhan pengguna aplikasi.
3. Interaksi Antara Teknologi dan Manusia serta Kontribusinya Untuk Kesehatan.
Kemajuan teknologi menawarkan potensi dalam peningkatan kapan, dimana dan bagaimana
intevensi kesehatan disampaikan. Zaman sekarang ini banyak orang yang memanfaatkan
teknologi, salah satu contohnya adalah penggunaan mobile phone untuk mendapatkan intervensi
kesehatan, dibandingkan datang ke klinik harus antri dan menghabiskan banyak waktu.
Pemanfaatan mobile phone dalam memberikan intervensi kesehatan yang sesuai dengan
keperluan pasien. Mobile phone merupakan suatu alat komunikasi yang dewasa ini tidak bisa
lepas dari kebutuhan manusia. Penggunaan mobile phone dalam pemberian intervensi kesehatan
terbukti dapat merubah perilaku kesehatan. Terbukti dengan memasukkan informasi kesehatan
kedalam mobile phone baik itu kedalam email ataupun jejaring sosial media lainnya dapat
membantu pengguna mobile phone mendapatkan intervensi kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Contoh lainnya adalah dengan memasukkan intervensi kesehatan berupa pesan
untuk merubah perilaku diet, aktivitas fisik, perilaku tidur sehat dan manajemen penyakit kronis.
Pesan dikirimkan kemobile phone pasien yang berguna sebagai pengingat untuk merubah
perilaku pasien sehingga perilaku pasien berubah menjadi lebih baik dan pemanfaatan
kemandirian pasien ini dapat meningkatkan kesembuhan pasien.
Smartphone sangat membantu dalam mempermudah pekerjaan manusia termasuk membantu
manusia untuk mendapatkan informasi. Dalam dunia kesehatan, smartphone dimanfaatkan untuk
melakukan pendekatan kepada pasien sehingga terjadi perubahan perilaku dan kepatuhan pasien
dalam menaati aturan sehingga tercapai kesehatan yang optimal serta melibatkan dan mendidik
pasien untuk berperilaku hidup sehat. Telah terbukti pemanfaatan teknologi ini dapat
meningkatkan kesadaran seseorang dalam perawatan kesehatan dirinya.
Dengan menambah perangkat mobile elektronik dengan sistem pengingat akan meningkatkan
kepatuhan dan perubahan perilaku dengan hanya membutuhkan waktu yang singkat. Aplikasi
tersebut membantu seseorang menjadi patuh terhadap suatu ketetapan dengan sedikit atau tanpa
biaya yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan kapan saja.
Satu studi mencatat bahwa remaja dengan menggunakan sistem khusus melalui sistem
pengingat akan mempertinggi penerimaan, kemudahan dalam penggunaan dan meningkatkan
kepatuhan seseorang.
Penilaian kepatuhan seseorang dapat dilakukan dengan observasi secara langsung dari petugas
kesehatan atau dari relawan yang sudah terlatih atau disebut pengamatan langsung. Hal tersebut
sesuai dengan anjuran dari World health organization (WHO). Sistem pengingat merupakan
aplikasi yang dibuat untuk meningkatkan kesehatan seseorang dalam waktu tertetu. Sistem
pengingat atau reminder mampu meningkatkan kepatuhan seseorang.
4. Penggunaan Aplikasi Smartphone dan Kepatuhan Pengobatan Pasien
Menurut Masyarakat Internasional Untuk Farmako ekonomi dan Hasil Penelitian ( ISPOR
) kepatuhan adalah sejauh mana pasien bertindak sesuai dengan pengobatan yang ditentukan
baik dalam interval maupun dosis dalam mengkonsumsi obat. Ketidakpatuhan dalam
mengkonsumsi obat adalah masalah yang umum yang dapat memberikan kontribusi untuk hasil
pengobatan yang buruk karena akan mempengaruhi kesehatan pasien. Ketidakpatuhan dalam
mengkonsumsi obat menyebabkan sekitar 33% - 69% pasien harus dirawat inap dan
menghabiskan biaya perawatan kesehatan sebesar 100 miliar pertahun.Pemantauan kepatuhan
dapat diukur secara rutin untuk memastikan keberhasilan terapi.
Banyak metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan. Kebanyakan
metode yang digunakan mencoba untuk mengubah perilaku pasien dengan menggunakan
pengingat, konseling, penguatan, pendidikan, dosis penyederhanaan dan kombinasi dari beberapa
metode tersebut.
Penggunaan aplikasi smartphone dalam intervensi untuk meningkatkan kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat merupakan suatu pendekatan yang baru. Teknologi dalam aplikasi
smartphone ini sangat menarik karena terdapat banyak fitur yang dapat dirancang untuk
membantu pasien dan penyedia layanan kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan.
Dengan aplikasi smartphone pasien dapat mengkonsolidasikan semua informasi spesifik obat
dengan demikian dapat memberikan proses yang efisien kepada pasien serta dapat mendidik
pasien tentang penyakitnya dan perawatannya. Di antara yang selama ini beredar salah satunya
fitur pengingat yang didalam fitur ini terdapat aturan mengkonsumsi obat , dosis serta kapan
harus periksa kembali ke dokter. Dalam aplikasi ini juga ditambahkan alarm semacam kalender
pengingat sehingga dapat membantu pasien dalam pengobatan. Dengan aplikasi pengingat dalam
smartphone terbukti dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sehingga
berdampak positif terhadap pemulihan kesembuhan pasien.
C.Persepsi Ibu Terhadap Media Promosi Kesehatan Berbasis Telepon Selular
1. Penggunaan Pesan Kesehatan Untuk Meningkatkan Kesehatan Konsumen Mencakup
Pengetahuan, Perilaku dan Hasil Akhir Kesehatan Pasien
Ekspansi yang cepat dari infrastruktur teknologi mobile memberikan kesempatan untuk
meningkatkan kesehatan dan perawatan kesehatan melalui bentuk-bentuk baru dari mobile
interaktif kesehatan (mHealth). Layanan yang mempromosikan kesehatan pribadi, perawatan
pencegahan, dan manajemen penyakit. Menyadari efektifnya potensi program pesan teks untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan.
Ponsel merupakan infrastruktur teknologi yang digunakan hampir di mana-mana karena murah,
nyaman utuk diakses, dan mudah digunakan. Pada Desember 2012, ada 326 juta pelanggan
nirkabel koneksi di Amerika Serikat, dengan 2,2 triliun pesan yang dikirim selama 2012. Pada
2013, 91 persen dari penduduk AS berusia 18 dan lebih tua yang memiliki ponsel, dan 56 persen
dimiliki ponsel pintar (Rainie 2013; Smith 2013). Kepemilikan ponsel pintar meningkat dari 35
persen pada 2011 menjadi 46 persen pada 2012 dan 56 persen pada tahun 2013; ponsel pintar
sekarang lebih umum daripada ponsel fitur (Smith 2013). Tingkat kepemilikan ponsel cerdas dan
kepemilikan telepon bervariasi dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan tingkat
pendidikan.
Sebuah badan penelitian besar telah menunjukkan bahwa program pesan teks kesehatan dapat
membawa perubahan perilaku untuk meningkatkan kesehatan konsumen seperti hasil berhenti
merokok serta keberhasilan pengobatan diabetes hasil manajemen dan klinis (meningkatkan
frekuensi pemantauan glukosa darah) dalam jangka pendek. Penelitian juga menunjukkan bahwa
pesan teks meningkatkan kepatuhan pengobatan baik itu kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
serta kepatuhan hadir untuk konsultasi pemeriksaan kembali ke petugas kesehatan. Penelitian
menunjukkan bahwa pesan teks dapat meningkatkan tingkat imunisasi, meningkatkan
pengetahuan kesehatan seksual, dan mengurangi perilaku berisiko terkait penularan HIV.
2. Pengetahuan dan Persepsi Ibu Hamil Terhadap Penerapan Model SMS Gateway
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 terdapat 40,1 % ibu hamil yang
mengalami kekurangan gizi. Ibu yang mengalami kekurangan gizi merupakan salah satu
penyebab kematian ibu secara tidak langsung. Adapun penyebab kematian ibu terjadi akibat
komplikasi secara langsung yaitu perdarahan (25 %), infeksi (15 %), aborsi tidak aman (13 %),
preeklampsia dan eklampsia (12 %), serta partus lama (8 %). Kesehatan ibu hamil sangat
menentukan kesehatan bayi yang dilahirkannya. Karena kurangnya asupan gizi ibu hamil selama
trimester I akan menyebabkan masalah seperti hiperemesisgravidarum, kelahiran prematur
(BBLR), kematian janin, keguguran dan kelahiran prematur (BBLR), kematian janin, keguguran
dan kelainan pada sistem saraf pusat, sedangkan kurangnya asupan gizi pada ibu hamil pada
trimester II dan III berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin selama dalam kandungan.
Semua kandungan gizi seperti mineral, kalsium, vitamin, protein, karbohidrat harus terpenuhi
selama kehamilan. Karena jika ibu hamil kekurangan mineral contohnya Iodium dampaknya
dapat meningkatkan resiko keguguran, sedangkan jika ibu hamil kekurangan kalsium dampaknya
dapat meningkatkan resiko ibu mengalami eklampsi karena tekanan darahnya meningkat.
Penyebab lain yang menyebabkan ibu kekurangan asupan gizi seperti adanya pengaruh adat
istiadat yang masih membudaya sampai saat ini yang tidak sesuai dengan aturan –aturan
kesehatan. Adanya mitos “Pantang Makan” akan berdampak sulitnya melahirkan karena ibu
dilarang makan-makanan tertentu yang sebenarnya diperlukan oleh tubuh ibu yang sedang hamil.
Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena sangat berdampak negatif bagi perkembangan
janin karena asupan gizi yang kurang.
Penyebab lain yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu adalah lokasi tersebar geografis
yang sulit dijangkau oleh tenaga kesehatan sehingga menjadi kendala dalam melakukan promosi
serta pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan Ibu dan Anak. Promosi kesehatan
merupakan cara untuk menambah pengetahuan serta wawasan ibu dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya selama hamil sampai kepada perawatan bayinya. Pengetahuan merupakan faktor
penting dalam terbentuknya perilaku, jika ibu hamil memiliki pengetahuan tentang gangguan dan
penyulit kehamilan, maka kecenderungan akan lebih besar ia akan berperilaku menjaga,
mencegah, menghindari atau mengatasi resiko terjadinya komplikasi.
Pengembangan media promosi kesehatan dalam manajemen pencegahan penyakit sudah banyak
dilakukan. Akan tetapi pemberian informasi khusus pada ibu hamil masih sedikit dilakukan.
Penekanan promosi kesehatan terletak pada upaya pendidikan kesehatan melalui media koran,
radio, televisi, leaflet, majalah, poster, brosur, dan lainnya. Namun media ini masih terbatas
penggunaannya. Peningkatan kapasitas pengetahuan Ibu melalui pendidikan kesehatan baik
secara langsung maupun tidak langsung penting dilakukan. Meskipun dukungan tenaga kesehatan
sudah memberikan pelayanan konseling pada ibu hamil saat pemeriksaan ANC (Antenatalcare),
namun tidak menjangkau kelompok ibu hamil masih rendah kesadarannya untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan. Terbatasnya jumlah tenaga kesehatan terutama dalam penyampaian
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) masih menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan,
sehingga diperlukan strategi alternatif massal sebagai sarana komunikasi efektif yang berpotensi
mengatasi masalah dan komplikasi yang terjadi selama kehamilan.
Pemanfaatan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sebagai sarana untuk menyampaikan
informasi kesehatan yang diperlukan ibu hamil sangat efektif dalam menambah pengetahuan ibu
hamil dan adanya persepsi yang positif dari ibu hamil dalam penggunaan media telepon selular.
Dengan adanya penyampaian pesan dari tenaga kesehatan berupa informasi tanda bahaya dalam
kehamilan kepada ibu hamil sehingga pengetahuannya tentang tanda bahaya bertambah dan sikap
ibu hamil sangat positif dengan pemanfaatan handphone sebagai media penyampaian informasi,
karena pada umumnya mayoritas ibu hamil menggunakan handphone sebagai alat komunikasi.
Terdapat ibu hamil yang datang ke fasilitas kesehatan setelah mengalami pusing dan pusing yang
dirasakan ibu hamil tidak sembuh juga setelah diistirahatkan. Ibu hamil tersebut telah mengetahui
bahwa pusing yang berlebihan merupakan tanda bahaya dalam kehamilan, sehingga ia langsung
ke fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Ini merupakan sikap positif yang
ditunjukkan ibu hamil dan dengan kemudahan dengan pemanfaatan telepon seluler maka tenaga
kesehatan maksimal dalam memberikan asuhan sehingga dapat menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas.
Rangkuman
Di era globalisasi ini perangkat handphone merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Saat ini lebih dari 80 % masyarakat sudah menggunakan smartphone. Penggunaan ponsel
khususnya meledak di dunia berkembang dan banyak digunakan untuk kepentingan kesehatan.
SMS gateway merupakan sebuah sistem aplikasi yang digunakan untuk mengirim dan atau
menerima SMS, dan biasanya digunakan pada aplikasi bisnis, baik untuk kepentingan broadcast
promosi, servis informasi terhadap pengguna, penyebaran content produk / jasa dan lain lain.
Seseorang yang menggunakan SMS Gateway secara tidak langsung akan berinteraksi dengan
aplikasi atau sistem melalui SMS Gateway, diperlukan nomer tujuan dan pean sebagai bahan
untuk menyampaiakan pesan pengguna SMS Gateway.
Aplikasi kesehatan mobile telah banyak tersedia untuk di-download pada perangkat mobile
(misalnya smartphone dan tablet). Aplikasi kesehatan banyak digunakan oleh para profesional
kesehatan, konsumen dan pasien karena aplikasi ini dapat membantu dalam mengelola
kesehatan secara mandiri, membantu dalam mempromosikan hidup sehat dan mendapatkan
informasi medis untuk kesehatan sendiri, dapat digunakan dimana saja dan kapan saja. Sebuah
badan penelitian besar telah menunjukkan bahwa program pesan teks kesehatan dapat
membawa perubahan perilaku untuk meningkatkan kesehatan konsumen seperti hasil berhenti
merokok serta keberhasilan pengobatan diabetes hasil manajemen dan klinis (meningkatkan
frekuensi pemantauan glukosa darah ) dalam jangka pendek. Pesan teks meningkatkan
kepatuhan pengobatan baik itu kepatuhan dalam mengkonsumsi obat serta kepatuhan hadir
untuk konsultasi pemeriksaan kembali ke petugas kesehatan. Pesan teks dapat meningkatkan
tingkat imunisasi, meningkatkan pengetahuan kesehatan seksual, dan mengurangi perilaku
berisiko terkait penularan HIV. Pemanfaatan IPTEK sebagai sarana untuk menyampaikan
informasi kesehatan yang diperlukan ibu hamil sangat efektif dalam menambah pengetahuan
ibu hamil dan adanya persepsi yang positif dari ibu hamil dalam penggunaan media telepon
selular.
EXERCISE
1. Pembuatan Simulasi Aplikasi SMS Gateway Dalam Menyampaikan Informasi Manfaat
Kunjungan Ibu Hamil Sehingga Hasil Luarannya Dapat Meningkatkan Cakupan Kunjungan Ibu
Hamil !
2. Rancanglah sebuah teknologi dengan pemanfaatan media social untuk mengembangkan
praktik professional bidan !
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) MITR HUSADA MEDAN
PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
RUBRIK HOLISTIK
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/02- 1-1 18 Oktober 2017 00
Profesionalisme Bidan
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Baik 61-80 Rancangan yang disajikan tersistematis, menyelesaikan masalah , dapat diimplementasikan,
kurang inovatif
Cukup 41-60 Rancangan yang disajikan tersistematis, menyelesaikan masalah namun kurang dapat
diimplementasikan
Kurang 21-40 Rancangan yang disajikan teratur namun kurang menyelesaikan permasalahan.
Sangat < 20 Rancangan yang disajikan tidak teratur dan tidak menyelesaikan permasalahan
Kurang
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 6
KEGIATAN
BELAJAR 6
The updated competencies are organised into a framework of four inter-relat- ed categories; general
competencies that apply to all aspects of a midwife’s practice, and competencies that are specific to care
during pre-pregnancy, antenatal, labour, birth and the postnatal period.
The updated competencies are written as holistic statements that reflect the ICM’s Philosophy and
Model of Midwifery Care in addition to the ICM Definition and Scope of Practice of a Midwife.18 As such the
competencies promote:
• the autonomy of midwives to practise within the full scope of midwifery prac- tice and in all settings
• the role of the midwife to support physiology and promote normal birth
• the role of the midwife to uphold human rights and informed consent and decision making for women
• the role of the midwife to promote evidence-based practice, including reduc- ing unnecessary
interventions
• the role of the midwife to assess, diagnose, act, intervene, consult and refer as necessary, including
providing emergency interventions.
The competencies are integrated statements and not a list of tasks. Examples are illustrative and
not an exhaustive list. Midwife educators are expected to structure curricula and design learning ac- tivities
that will enable midwifery students to learn the knowledge and develop the skills and behaviours that are
integrated within each competency.
Competency Framework
The competencies are organised into four inter-related categories as outlined below.
1. GENERAL COMPETENCIES
Framework Structure
The diagram below provides a visual representation of the framework structure.
GENERAL
ONGOING CARE
Competencies in this category are about the midwife’s autonomy and accountabilities as a
health professional, the relationships with women and other care providers, and care activities that
apply to all aspects of midwifery practice. General Competencies apply across each of categories
2, 3 and 4.
. 1.a Assume responsibility for own decisions 1.b Assume responsibility for self-
and actions as an autonomous practitioner care and self-development as a
midwife
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
• Principles of accountability and • Strategies for managing personal safety
transparency particularly within the facility or community
• Principles and concepts of autonomy setting
• Principles of self-assessment and reflective practice
• Personal beliefs and their influence on SKILLS & BEHAVIOURS
practice • Display skills in management of self in relation
• Knowledge of evidence-based practices to time management, uncertainty, change and
coping with stress
SKILLS & BEHAVIOURS • Assume responsibility for personal safety in various
• Demonstrate behaviour that upholds the public practice settings
trust in the profession • Maintain up-to-date skills and knowledge
• Participate in self-evaluation, peer review and concerning protocols, guidelines and safe
other quality improvement activities practice
• Balance the responsibility of the midwife to • Remain current in practice by participating in
provide best care with the autonomy of the woman continuing professional education
to make her own decisions (for example, participating in learning opportunities
• Explain the midwife’s role in providing care that is that apply evidence to practice to improve care such
based on relevant law, ethics, and evidence as mortality reviews or policy reviews.)
• Identify and address limitations in personal skill,
knowledge, or experience
• Promote the profession of midwifery, including
participation in professional organizations at the
local and national level
1.c Appropriately delegate KNOWLEDGE
aspects of care and provide • Principles of research and evidence-
supervision based practice
1.d Use research to inform practice
• Epidemiologic concepts relevant to
KNOWLEDGE maternal and infant health
• Policies and regulation related to • Global recommendations for
delegation practice and their evidence base
• Supportive strategies to supervise (e.g. World Health Organisation
others guidelines)
• Role of midwives as
preceptors, mentors,
SKILLS & BEHAVIOURS
supervisors, and role models
• Discuss research findings with
women and colleagues
SKILLS & BEHAVIOURS
• Support research in midwifery
• Provide supervision to ensure by participating in the conduct
that practice is aligned with of research
evidence-based clinical practice
guidelines
• Support the profession’s
growth through participation in
midwifery education in the
roles of clinical preceptor,
mentor, and role model
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
• Normal biologic, psychologic, social, and • Role and responsibilities of midwives and other maternal –
cultural aspects of reproduction and early life infant health providers
• Practices that facilitate and those that • Principles of effective communication
interfere with normal processes • Principles of effectively working in health care teams
• Policies and protocols about care of women in • Cultural practices and beliefs related to childbearing and
institutional and community settings reproductive health
• Availability of resources in various settings • Principles of communication in crisis situations, e.g. grief
and loss, emergencies
• Community views about and utilization of
health care facilities and place(s) of birth
SKILLS & BEHAVIOURS
KNOWLEDGE
KNOWLEDGE
• Health needs of women related to
• Common health problems related to
reproduction
sexuality and reproduction
• Health conditions that pose risks during
• Common health problems and deviations from
reproduction
normal of newborn infants
• Health needs of infants and common risks
• Treatment of common health problems
• Strategies to prevent and control the
SKILLS & BEHAVIOURS
acquisition and transmission of
environmental and communicable diseases • Conduct a comprehensive assessment of sexual
and reproductive health needs
SKILLS & BEHAVIOURS
• Assess risk factors and at-risk behaviour
• Order, perform, and interpret laboratory and/ or
• Maintain/promote safe and hygienic imaging screening tests
conditions for women and infants
• Exhibit critical thinking and clinical
• Use universal precautions consistently reasoning informed by evidence when
• Provide options to women for coping with and promoting health and well being
treating common health problems • Provide health information and advice
• Use technology and interventions appropriately to tailored to individual circumstances of
promote health and prevent secondary women and their families
complications • Collaborate with women to develop and
• Recognize when consultation or referral is
implement a plan of care
indicated for managing identified health
problems, including consultation with other
midwives
• Include woman in decision-making about
referral to other providers and services
1.m Care for women who experience physical and sexual violence and abuse
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
• Socio-cultural, behavioural, and economic conditions that often accompany violence • Complications/pathologic conditions related to
and abuse health status
• Resources in community to assist women and children • Emergency interventions/life-saving
• Risks of disclosure therapies
• Limits of midwifery scope of practice and own
experience
SKILLS & BEHAVIOURS
• Available referral systems to access medical
• Protect privacy and confidentiality and other personnel to manage complications
• Provide information to all women about sources of help regardless of whether there is • Community/facility plans and protocols for
disclosure about violence accessing resources in timely manner
• Inquire routinely about safety at home, at work
• Recognize potential signs of abuse from physical appearance, emotional affect, related SKILLS & BEHAVIOURS
risk behaviours such as substance abuse
• Maintain up-to-date knowledge, life-saving
• Provide special support for adolescents and victims of gender-based violence including
skills, and equipment for responding to
rape
emergency situations
• Refer to community resources, assist in locating safe setting as needed
• Recognize situations requiring expertise
beyond midwifery care
• Maintain communication with women about
nature of problem, actions taken, and referral if
indicated
• Determine the need for immediate
intervention and respond appropriately
• Implement timely and appropriate intervention,
inter-professional consultation and/or timely
referral taking account of local circumstances 19
• Provide accurate oral and written information to
other care providers when referral is made.
• Collaborate with decision-making if possible and
appropriate
CATEGORY 2
PRE-PREGNANCY 2.a Provide pre-pregnancy care 2.b Determine health status of
woman
AND ANTENATAL
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
Competencies in this category are • Anatomy and physiology of • Physiology of menstrual and ovulatory
female and male related to cycle
about health assessment of the
reproduction and sexual • Components of a comprehensive
woman and fetus, promotion of development health history including psycho-social
health and well-being, detection • Socio-cultural aspects of human responses to pregnancy and safety at
of complications during pregnancy, sexuality home
and care of women with an • Evidence based screening for • Components of complete physical exam
unexpected pregnancy. cancer of reproductive organs • Health conditions including
and other health infections and genetic conditions
problems such as diabetes, detected by screening blood and
hypertension, thyroid biologic samples
conditions, and chronic
infections that impact SKILLS & BEHAVIOURS
pregnancy
• Confirm pregnancy and estimate
gestational age from history, physical
SKILLS & BEHAVIOURS exam, laboratory test and/or
• Identify and assist in reducing ultrasound
barriers related to accessing and • Obtain comprehensive health history
using sexual and reproductive • Perform a complete physical examination
health services • Obtain biologic samples for
• Assess nutritional status, current laboratory tests (e.g. venipuncture,
immunization status, health finger puncture, urine samples, and
behaviours such as use of vaginal swabs)
substances, existing medical • Provide information about
conditions, and exposure to conditions that may be detected by
known teratogens screening
• Carry out screening procedures • Assess status of immunizations, and
for sexually transmitted and other update as indicated
infections, HIV, cervical cancer • Discuss findings and potential
• Provide counseling about implications with woman and
nutritional supplements such as mutually determine
iron and folic acid, dietary intake, plan of care
exercise, updating immunizations
as needed, modifying risk
behaviours, and prevention of
sexually transmitted infections,
family planning, and methods of
contraception.
2.c Assess fetal well-being
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
• Complications of early pregnancy such as • Evidence about birth outcomes in different
threatened or actual miscarriage, and ectopic birthplace settings
pregnancy • Availability of options in specific location;
• Fetal compromise, growth restriction, limitations of climate, geography, means of
malposition, preterm labour transport, and resources available in facilities
• Signs and symptoms of maternal pathologic • Local policies and guidelines
conditions such as pre-eclampsia, gestational
diabetes, and other systemic illnesses SKILLS & BEHAVIOURS
• Signs of acute emergencies such as
• Discuss options, preferences and contingency
hemorrhage, seizures, and sepsis
plans with woman and support persons and
respect their decision
SKILLS & BEHAVIOURS • Provide information about preparing birth site
• Stabilise in emergencies and refer for if in community, e.g. travel and admission to
treatment as necessary21 facility
• Collaborate in care of complications • Promote the availability of a full range of birth
• Implement critical care activities to support vital settings
body functions (e.g. intravenous
(IV) fluids, magnesium sulphate, antihemorrhagics) 22
• Mobilize blood donors if necessary
• Transfer to higher level facility if needed
CATEGORY 3
KNOWLEDGE
• Anatomy of maternal pelvis and fetus; mechanisms of labour for different fetal presentations
• Physiologic onset and progression of labour
• Evidence informed intrapartum care policies and guidelines, including avoidance of
routine interventions in normal labour and birth23,24
• Cultural and social beliefs and traditions about birth
• Signs and behaviours of labour progress; factors that impede labour progress
• Methods of assessing fetus during labour
KNOWLEDGE
• Normal transition to extra-uterine environment
• Scoring systems to assess newborn status
• Signs indicating need for immediate actions to assist
transition
• Interventions to establish breathing and circulation as covered
in training programs such as HBS27
• Appearance and behaviour of healthy newborn infant
• Method of assessing gestational age of newborn infant
• Needs of small for gestational age and low birth weight infants
4.a Provide postnatal care for the 4.b Provide care to healthy newborn
healthy woman infant
KNOWLEDGE KNOWLEDGE
• Physiological changes following birth, • Appearance and behaviour of infant in early
uterine involution, onset of lactation, healing life; cardio-respiratory changes related to
of perineal-vaginal tissues adapting to extra-uterine life
• Common discomforts of the postnatal period • Growth and development in initial
and comfort measures weeks and months of life
• Need for rest, support, and nutrition • Protocols for screening for
to support lactation metabolic conditions, infectious
• Psychological responses to mothering role, conditions, and congenital
addition of infant to family abnormalities
• Protocols/guidelines for immunizations
SKILLS & BEHAVIOURS in infancy
• Evidence-based information about
• Review history of pregnancy, labour, and birth
infant circumcision; family values,
• Conduct a focused physical exam to assess
beliefs, and cultural norms
breast changes and involution. Monitor
blood loss and other body functions
• Assess mood and feelings about SKILLS & BEHAVIOURS
motherhood and demands of infant care • Examine infant at frequent intervals
• Provide pain control strategies if needed for to monitor growth and
uterine contractions, and perineal trauma developmental behaviour
• Provide information about self-care • Distinguish normal variation in
that enables mother to meet needs of newborn appearance and behaviour
newborn, e.g. adequate food, nutritional from those indicating pathologic
supplements, usual activities, rest periods, conditions
and household help • Administer immunizations, carry
• Provide information about safe sex, family out screening tests as indicated
planning methods appropriate for the • Provide information to parents about a safe
immediate postnatal period, and pregnancy environment for infant, frequent feeding,
spacing care of umbilical cord, voiding and
stooling, and close physical contact
EXERCISE :
Analysys journal about midwifery and midwifery care in now adays !
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) MITR HUSADA
MEDAN PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
RUBRIK PORTOFOLIO
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/04-Profesionalisme Bidan 1-2 18 Oktober 2017 00
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajarn :
NO Aspek Penilaian Atikel-1 Atikel-2 Atikel-3
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 7
KEGIATAN
BELAJAR 7
Background
The International Confederation of Midwives calls for governments globally to recognise and support
accessible and effective midwifery care as a basic human right of all women, babies and midwives.
The issues for women around gender equity and access to education also extend to midwives as a woman-
dominated profession. The Bill of Rights for Women and Midwives addresses those basic human rights of
women and midwives that have been systematically denied and adds another framework to approach
governments when demanding change to improve midwifery and maternity services.
Recognition and support of the ICM’s vision, mission, philosophy and standards by governments will enable
nations to meet the United Nation's Sustainable Development Goals. Specifically: Goal 3: Ensure healthy
lives and promote well-being for all at all ages,
3.1 By 2030, reduce the global maternal mortality ratio to less than 70 per 100,000 live births,
3.7 By 2030, ensure universal access to sexual and reproductive health-care services, including
for family planning, information and education, and the integration of reproductive health into
national strategies and programmes.
Goal 5 – Achieve gender equality and empower all women and girls
5.1 End all forms of discrimination against all women and girls everywhere
5.5 Ensure women’s full and effective participation and equal opportunities for leadership at all levels
of decision-making in political, economic and public life
5.6 Ensure universal access to sexual and reproductive health and reproductive rights as agreed in
accordance with the Programme of Action of the International Conference on Population and Development
and the Beijing Platform for Action and the outcome documents of their review conferences.
ICM believes women have a right to a midwife as the most appropriate care provider in
most situations and midwives have a right to obtain adequate education, regulations to foster their
practice and associations to forward their mission.
Bill of Rights
In keeping with other similar documents, the ICM believes that there should be recognition of the following
as basic human rights for women and midwives across the globe; namely that:
Women’s Rights
1. Every woman has the right to receive care in childbirth from an autonomous and competent midwife
2. Every newborn baby has the right to a healthy and well informed mother
7. Every woman has a right to participate actively in decisions about her health care and to offer
informed consent
8. Every woman has a right to privacy
9. Every woman has a right to choose the place where she gives birth
Midwives’ Rights
1. Every midwife has the right to a midwifery-specific education that will enable her to develop and
maintain competency as a midwife
2. Every midwife has the right to practise on her own responsibility within the International
Confederation of Midwives definition and scope of practice of a midwife
3. Every midwife has the right to be recognised, respected and supported as a health professional
4. Midwives have the right to access a strong midwifery association that can contribute to midwifery
and maternity policy and services at a national level
Analysa akar permasalah ketidaksetarann gender dan berikan ide anda untuk mengatasi masalah
ketidaksetaraan gender !
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) MITR HUSADA MEDAN
PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
Sangat Kurang
DEMENSI Sangat Baik Baik Cukup Kurang
Penguasaan materi
Kemampuan menghadapi
pertanyaan
Ketepatan menyelesaikan
masalah
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 8
KEGIATAN
BELAJAR 8
DEVELOP A CULTURE OF MIDWIFERY CARE
Background
Throughout the world midwifery has been practiced for centuries, and has features and characteristics that have
evolved differently according to local or regional cultural and social traditions and knowledge. This document
provides a universal, description of the philosophy and model of midwifery care, without compromising local or
regional characteristics of midwifery care.
According to the ICM definition of the midwifei: “A midwife is a person who has successfully completed a midwifery
education programme that is duly recognized in the country where it is located and that is based on the ICM
Essential Competencies for Basic Midwifery Practice and the framework of the ICM Global Standards for Midwifery
Education; who has acquired the requisite qualifications to be registered and/or legally licensed to practice midwifery
and use the title ‘midwife’; and who demonstrates competency in the practice of midwifery.” Researchii indicates
that midwife-led continuity models of care are associated with benefits for mothers and newborns, such as reduction
in the use of epidural anaesthesia, fewer episiotomies and instrumental births, and increased spontaneous vaginal
births and increased breastfeeding. Women were less likely to experience preterm birth or lose the baby before 24
weeks gestation. The chances of being cared for in labour and birth by a midwife she had got to know increased.
ICM recognises midwives as the professionals of choice for childbearing women in all areas of the world. This
universal standard is based on initial and ongoing midwifery education that is competency based. ICM promotes the
midwifery model of care based on respect for human dignity, compassion and the promotion of human rights for all
persons.
ICM believes that midwives offer care based on a philosophy, which influences the model of midwifery care.
ICM Philosophy of Midwifery Care • Pregnancy and childbearing are usually normal physiological processes. •
Pregnancy and childbearing is a profound experience, which carries significant meaning to the woman, her family,
and the community. • Midwives are the most appropriate care providers to attend childbearing women. • Midwifery
care promotes, protects and supports women's human, reproductive and sexual health and rights, and respects
ethnic and cultural diversity. It is based on the ethical principles of justice, equity, and respect for human dignity. •
Midwifery care is holistic and continuous in nature, grounded in an understanding of the social, emotional, cultural,
spiritual, psychological and physical experiences of women. • Midwifery care is emancipatory as it protects and
enhances the health and social status of women, and builds women's self confidence in their ability to cope with
childbirth. • Midwifery care takes place in partnership with women, recognising the right to selfdetermination, and is
respectful, personalised, continuous and non-authoritarian. • Ethical and competent midwifery care is informed and
guided by formal and continuous education, scientific research and application of evidence.
ICM Model of Midwifery Care • Midwives promote and protect women’s and newborns’ health and rights. • Midwives
respect and have confidence in women and in their capabilities in childbirth. • Midwives promote and advocate for
non-intervention in normal childbirth. • Midwives provide women with appropriate information and advice in a way
that promotes participation and enhances informed decision-making. • Midwives offer respectful, anticipatory and
flexible care, which encompasses the needs of the woman, her newborn, family and community, and begins with
primary attention to the nature of the relationship between the woman seeking midwifery care and the midwife. •
Midwives empower women to assume responsibility for their health and for the health of their families. • Midwives
practice in collaboration and consultation with other health professionals to serve the needs of the woman, her
newborn, family and community. Midwives maintain their competence and ensure their practice is evidence-based. •
Midwives use technology appropriately and effect referral in a timely manner when problems arise. • Midwives are
individually and collectively responsible for the development of midwifery care, educating the new generation of
midwives and colleagues in the concept of lifelong learning
Recommendations Member Associations are recommended to: • Use this document as a guide in the education of
midwives, the organisation of midwifery care, and evaluation of midwifery care. • Use this document to guide the
relationship between the midwife and the woman and her family, and the midwife and other health professionals. •
Share this statement with other health professions and governments during the development of regulations and
legislation of midwifery practice.
RUBRIK PORTOFOLIO
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/04-Profesionalisme Bidan 1-2 18 Oktober 2017 00
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajarn :
NO Aspek Penilaian Atikel-1 Atikel-2 Atikel-3
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 9
KEGIATAN
BELAJAR 9
RECORD KEEPING DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI
Perkembangan teknologi informasi dengan kecepatannya di era digital dalam dua dekade terakhir
telah membawa dampak yang esensial dalam bidang kearsipan. Pengelolaan arsip berbasis kertas yang
sebelumnya menjadi konsentrasi dengan segera digantikan oleh format elektronik yang membludak
secara kuantitas dan penggunaan. Di era digital, pengelolaan arsip elektronik menjadi tren sekaligus fokus
pengembangan pengelolaan dalam banyak institusi. Sejumlah riset telah banyak dihelat untuk
mendiskusikan kompleksitas peningkatan kualitas teknis secara konkrit, tantangan, resiko maupun
peluang secara umum dalam pengelolaan arsip elektronik agar mampu memberikan kontribusi yang lebih
konstruktif bagi pengguna. Seiring dengan proses modernisasi, arsip elektronik dianggap lebih sesuai
dengan kebutuhan zaman yang menuntut kecepatan berbagi, kemudahan akses dan fleksibilitas dalam
berjejaring. Oleh karenanya, kefasihan institusi dalam beradaptasi untuk mengelola arsip elektronik
menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan bisnis dan memenuhi kebutuhan informasi. Kehadiran
arsip dalam format elektronik menawarkan sejumlah kemudahan dan berbagai peluang yang sebelumnya
tidak dimiliki arsip dalam format fisik dalam pengelolaannya. Sebagai contoh, arsip elektronik
memerlukan usaha yang lebih sederhana untuk digandakan atau justru dapat dibagi dengan mudah
sehingga dapat meminimalisir duplikasi. Arsip elektronik juga memberikan perubahan yang signifikan
dalam kemudahan dan kecepatan untuk melakukan proses pengiriman dan berbagi dibandingkan dengan
arsip berbentuk fisik.
Selain itu, arsip elektronik juga memberikan peluang bagi institusi untuk menghemat ruangan
penyimpanan secara fisik sekaligus membuka peluang akses yang lebih ringkas bagi pengguna. Namun,
di sisi lain arsip elektronik juga memerlukan tingkat pengelolaan yang memiliki kompleksitas berbeda
dibandingkan pengelolaan arsip fisik. Bagi institusi yang tengah melakukan transformasi pengelolaan dari
paperbased menuju paperless maupun digital, tentunya hal ini menimbulkan bermacam tantangan
tersendiri. Pertama, arsip elektronik dengan bentuknya yang tidak memiliki wujud fisik bisa
menimbulkan perdebatan terkait aspek legalitasnya. Misalnya, beberapa institusi masih belum dapat
sepakat bahwa surat elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan surat fisik. Lebih lanjut, institusi-
insitusi lain juga masih mempertimbangkan stempel ataupun tandatangan basah sebagai parameter
otentisitas. Kedua, kemunculan arsip elektronik merupakan salah satu dampak dari perkembangan
teknologi informasi. Institusi-institusi yang sebelumnya mengelola arsip dan dokumen dalam bentuk
kertas tidak dapat menghindar pada keharusan untuk berbenah secara teknis maupun kebijakan yang
mengaturnya. Transformasi ini biasanya dimulai dengan formulasi kebijakan dan pergantian infrastruktur.
Arsip elektronik hanya dapat diakses melalui mesin pembaca seperti komputer dan pada
perkembangannya, membutuhkan dukungan jaringan internet untuk berbagi. Berbicara dalam segi
perlindungan dan keamanan, aspek elektronik juga rentan terkena virus dan formatnya pun lebih cepat
kedaluarsa dan tak terbaca. Juga, meskipun mampu menghemat ruang, kemudahannya mencipta dan
berbagi menimbulkan banjir dalam kuantitas. Faktanya, salah satu permasalahan yang umum ditemui
adalah bagaimana institusi kerap kali memandang perubahan pengelolaan dari paper-based ke digital
sebagai faktor teknis semata. Kebijakan pembelian infrastruktur ataupun penentuan sistem aplikasi yang
diyakini mampu meningkatkan kualitas fasilitas sering lalai untuk dikompromikan dengan pengelola dan
pengguna. Akibatnya, alihalih mampu memaksimalkan potensi peningkatan fasilitas, perubahan
pengelolaan arsip dan dokumen berbasis elektronik justru kerap menimbulkan ketakutan pada kegagapan
teknologi, kecemasan akan kompleksitas aplikasi, atau bahkan penolakan atas prosedur yang baru.
Perubahan pengelolaan arsip di era digital tidak seharusnya dipandang melalui satu sudut pandang
tunggal yang dimiliki institusi saja.
Modul ini akan mencoba untuk mendiskusikan bagaimana pengelolaan arsip di era digital dapat
mempertimbangkan kembali posisi dimensi sosial, termasuk di dalamnya sudut pandang pengelola
sebagai pengguna internal maupun masyarakat umum sebagai pengguna eksternal. Institusi tidak
semestinya abai terhadap perspektif maupun perilaku pengelola dan pengguna. Sehingga, pengelolaan
arsip elektronik sudah semestinya memberikan kontribusi yang lebih konstruktif dengan membuat
pengelola dan pengguna mampu mengerti keuntungan yang ditawarkan, kemudahan yang didapat
ataupun visi institusi di masa depan dan bukan rasa cemas akan kompleksitas pengelolaan dan akses.
Arsip elektronik Kemunculan informasi dalam bentuk elektronik ataupun tren digitalisasi merupakan hal
yang tidak terhindarkan sebagai bagian dari proses modernisasi di era digital. Harries menyatakan bahwa
saat ini pengelolaan informasi elektronik merupakan hal yang esensial bagi keberlangsungan bisnis suatu
institusi yang disebabkan tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan maupun memenuhi kepatuhan
pada kebijakan (Harries, 2009, p. 18).
Kemunculan informasi elektronik memungkinkan penggunaan informasi dalam banyak tujuan yang
berbeda yang sebelumnya belum pernah mampu dicapai (Kallberg, 2012). Sehingga, institusi lebih
banyak menciptakan maupun saling berbagi informasi, tak terkecuali arsip dalam format elektronik.
Selain itu, pengelolaan arsip elektronik membuat insitusi pada saat terjadi bencana dapat memiliki opsi
recovery dengan back-up data (Johnston, G. P., & Bowen, D. V., 2005, p.134). Suatu hal yang tidak
dengan mudah mampu dilakukan dalam pengelolaan arsip fisik. Arsip elektronik diadopsi oleh banyak
stakeholders di sektor industri terkait dan karenanya dibutuhkan kemampuan untuk mengelolanya dengan
tujuan menciptakan sistem administrasi publik yang lebih efektif dan transparan Meskipun demikian,
pengelolaan arsip elektronik memiliki sejumlah tantangan yang kerap kali belum mampu diatasi oleh
institusi. Asogwa menyebut sejumlah tantangan yang dihadapi institusi dalam pengelolaan arsip
elektronik seperti keamaan dan privasi, resiko kehilangan data, isu otentisitas, sumber daya manusia dan
infrastruktur ataupun kebutuhan pengelolaan secara umum (Asogwa, 2012).
Secara umum, institusi pengelola informasi tengah melakukan transisi pengelolaan dari paper-based
menuju pengelolaan berbasis elektronik. Transisi ini tak terhindarkan dan bisa jadi dikarenakan apa yang
dikatakan Wilkins, Swatman dan Holt (2009, p. 40) bila arsip fisik memiliki sejumlah keterbatasan yang
menghambat kebutuhan untuk menyesuaikan tuntutan atas kecepatan informasi pada saat ini. Akan tetapi,
hal tersebut kerap kali menjadi kompleks dengan banyak aturan dan kebijakan institusi sebelumnya yang
bersifat paperbased (Reed, 2010, p. 125) sehingga implementasi secara bertahap dan transisi yang
dilakukan institusi mesti menyesuaikan budaya recordkeeping yang ada (Gregory, 2005, p. 80). Lebih
lanjut, dinamika sumber daya manusia menjadi salah satu hal yang memiliki dampak pada isu teknis
maupun kebijakan. Sebagai contoh, Harries (2009, p. 18) menyebut ketidakmampuan mengoperasikan
sistem ataupun kehilangan dokumen elektronik juga masih terus berlangsung. Menurut Reed (2010, p.
125), biaya pembelian software, lisensi ataupun perawatan kerap kali menimbulkan keengganan karena
dianggap terlalu mahal. Akibatnya, tantangan teknis tidak hanya muncul dari keterbatasan infrastruktur
melainkan resistensi dari sumber daya manusia yang ada. Padahal, arsiparis disebut Kallberg (2012, p.
112) harus memiliki tekad untuk terus belajar tanpa harus menunggu sumber daya yang mencukupi
sehingga membuat mereka dapat tetap relevan. Dimensi sosial dalam pengelolaan arsip Ismail dan
Jamaludin (2009, p. 140) menyatakan bahwa bukan hanya infrastruktur semata yang membutuhkan fokus
dalam pengembangan pengelolaan arsip elektronik di era digital, melainkan juga faktor manusia. Institusi
mesti memahami bahwa pendekatan yang menyeluruh terhadap berbagai elemen amat dibutuhkan di
dalam pengelolaan arsip di era digital. Hal ini ditegaskan oleh McLeod, Childs dan Hardiman (2011)
yang menemukan bahwa faktor manusia dan hal-hal yang menyertainya saling berkelindan erat dengan
faktor proses dan teknologi serta berperan kuat dalam mempercepat transisi yang berdampak positif.
Manusia tidak hanya bisa diartikan sebagai pengguna dalam artian masyarakat umum semata, melainkan
justru juga termasuk staff pengelola yang menjadi bagian dan mengoperasikan pengelolaan itu sendiri.
Maka, people issues merupakan hal utama, fundamental dan menantang (McLeod, 2012, p. 189) yang
dipercaya Harries (2009, p. 20) tidak boleh diabaikan oleh institusi dalam pengelolaan arsip elektronik di
era digital apabila prinsip utama arsip adalah salah satunya untuk meningkatkan akuntabilitas dan tata
kelola pemerintahan yang baik. Sebelum fokus kepada masyarakat atau siapapun pengguna di luar
institusi, ada baiknya pengelolaan arsip di era digital yang fokus pada perubahan teknologi dan format
elektronik ini mencoba untuk memahami pengguna internal yang tak lain adalah staff pengelola sendiri.
Sebab, Johsnton & Bowen (2005, p. 136) berpendapat bahwa staff kerap kali memposisikan pengelolaan
arsip dan dokumen elektronik kerap kali sebagai ancaman karena dianggap jauh lebih kompleks dan
bahkan tidak memberikan manfaat (Johnston & Bowen 2005, p. 136). Hal ini didukung oleh Reed (2010,
p. 125) yang berpendapat bahwa ada kendala dalam memberikan penjelasan akan manfaat konkrit yang
didapat dengan mudah dan bahwa di antara komunitas yang saling berinteraksi, kebijakan dan nilai kerap
kali mengalami dinamika penafsiran (Harries, 2009, p. 23).
Maka, tidak jarang ditemui keengganan staff untuk menerima sekaligus beradaptasi terhadap
perubahan model pengelolaan. Sebagai contoh, banyak pustakawan dan arsiparis senior di Afrika yang
secara psikologi memiliki fobia terhadap perkembangan teknologi karena mereka merasa harus belajar
hal baru kembali bersama mereka yang lebih muda dan sebagai akibatnya, tidak lagi merasa menjadi
expert dan terancam (Asogwa, 2012, p. 202). Padahal, resistensi staff disebut Wilkins, Swatman dan Holt
(2009, p. 43) sebagai salah satu penyebab kegagalan implementasi pengelolaan arsip elektronik. Maka,
kegagalan melakukan analisa pada perilaku pengguna internal dapat berakibat fatal. Sehingga, dibutuhkan
kemampuan dalam mengelola resistensi ini agar transisi pengelolaan tersebut dapat diimplementasikan
secara sukses (Asogwa, 2012, p. 202). Selain pengguna internal, perspektif dan perilaku publik sebagai
pengguna pada umumnya juga perlu mendapatkan pertimbangan untuk memenuhi tuntutan akan
keberlangsungan bisnis. Seperti kebanyakan cara berpikir konsumen yang menginginkan untuk mampu
melakukan banyak hal dengan lebih sedikit usaha, pengguna arsip pun juga berpandangan demikian
(Harries, 2009, p. 18). Maka, menjadi penting bagi arsiparis untuk mampu menganalisa pasar dan
menentukan metode terbaik guna terus membuat konsumen tertarik. Standar ideal mesti diterjemahkan
pada implementasi terbaik dengan menyesuaikan situasi dan kondisi institusi, maupun kebutuhan
pengguna (Sheperd, 2006, p. 10; Asogwa, 2012, p. 201) karena pada hakikatnya, nilai-nilai dan fungsi
dasar dari arsip memang diperuntukkan baik bagi pencipta dan pengguna (Dikopoulou & Mihiotis, 2012,
p. 125). Tanpa hal tersebut, pengelolaan arsip di yang berfokus pada transisi perubahan paper-based
menuju elektornik tidak akan mampu terimplementasi dengan maksimal. Dimensi sosial, dengan factor
people didalamnya merupakan hal yang signifikan karena terkait dengan budaya institusi, cara berpikir
dan kepedulian terhadap pengelolaan, preferensi dan kemampuan mengelola arsip (McLeod, 2012, p.
193).
RUBRIK HOLISTIK
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/02- 1-1 18 Oktober 2017 00
Profesionalisme Bidan
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Baik 61-80 Rancangan yang disajikan tersistematis, menyelesaikan masalah , dapat diimplementasikan,
kurang inovatif
Cukup 41-60 Rancangan yang disajikan tersistematis, menyelesaikan masalah namun kurang dapat
diimplementasikan
Kurang 21-40 Rancangan yang disajikan teratur namun kurang menyelesaikan permasalahan.
Sangat < 20 Rancangan yang disajikan tidak teratur dan tidak menyelesaikan permasalahan
Kurang
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 10
KEGIATAN
BELAJAR 10
Code of Ethics and Professional
Conduct
Introduction: Fostering ethical behaviour
The World Health Organization (WHO) is a specialized agency of the United
Nations that embodies the highest aspirations of the peoples of the world. WHO’s primary
objective is the attainment by all peoples of the highest possible level of health.
The highest standards of conduct, competence and performance are expected of all
WHO staff members in order to reflect the Organization’s ethical principles. All staff have
a responsibility to contribute to the goals of WHO and to ensure that their conduct is
consistent with the standards of conduct established for international civil servants; and to
follow WHO Staff Regulations and Staff Rules.
The success of WHO in achieving its mandate rests with its staff. This Code of
Ethics and Professional Conduct (the Code) has been developed with WHO’s objectives in
mind and is to be applied in accordance with WHO’s Staff Regulations, Staff Rules and
policies.4 After reading the Code, staff members should have a greater understanding of the
importance of their role, and the privileges and responsibilities that go along with working
for WHO.
Responsibility for ethical behaviour and professional conduct lies with all staff
members at all levels, and must be taken seriously, as it forms the basis of WHO’s
reputation. The trust placed in WHO by Member States, its external stakeholders and the
general public must never be taken for granted. It is therefore essential that all staff
members know and understand the Code and utilize it as a guide for thought and action.
Moreover, as the Code is not intended to cover every situation or problem that may arise,
staff members are encouraged to seek guidance and assistance from the Office of
Compliance, Risk Management and Ethics (CRE) in order to resolve issues and ensure the
ethical performance and discharge of their professional responsibilities.
This Code applies to all WHO staff members, independent of their location or grade,
and including Temporary Appointment holders, Secondees and Junior Professional
Officers.
In its spirit and principles, this policy also applies to all WHO collaborators,
notwithstanding their contractual or remuneration status: i.e.: individuals who work for
WHO as non-staff members including consultants, holders of Agreements for Performance
of Work (APW), Technical Services Agreement (TSA) holders, Special Service
Agreements (SSA) or letters of agreement, Temporary Advisers, Interns, and Volunteers,
as well as third party entities such as vendors, contractors or technical partners who have a
contractual relationship with WHO.
Oath of office
The primary obligation of all WHO staff is set out in the Oath of Office and Loyalty
which is signed by WHO staff members. The oath states:
“I solemnly swear (undertake, affirm, promise) to exercise in all loyalty, discretion, and
conscience the functions entrusted to me as an international civil servant of the WHO, to discharge
those functions and regulate my conduct with the interests of the WHO only in view, and not to
seek or accept instructions in regard to the performance of my duties from any government or other
authority external to the Organization”5
WHO’s ethical principles
This Code incorporates the basic principles of ethical behaviour and standards of conduct
applicable to all WHO staff. The following basic principles of ethical behaviour must be followed at all
times by WHO staff:
Integrity
Accountability
Independence and Impartiality
Respect for the dignity, worth, equality, diversity and privacy of all persons
Professional commitment
Integrity
WHO staff members are expected to demonstrate the highest standards of integrity and act in
good faith, with intellectual honesty and fairness, in all matters affecting their official duties and the
interests of WHO. Staff members are the face of WHO and act as representatives of the Organization
towards external entities. As such, they have a duty to represent WHO with loyalty and respect the
confidentiality and good name of the Organization. With regards to scientific integrity, WHO sets an
example with particular attention to matters relating to the development of WHO’s policies, guidelines
and research. WHO staff members are expected to adhere to the internationally accepted principles of
bioethics upheld by the Organization in order to ensure that confidence and trust in the integrity of WHO
as an Organization are maintained and enhanced.
WHO staff members are also expected to conduct themselves in a manner compatible with these
principles in their private affairs, as their behaviour may reflect on the image of WHO and the United
Nations and the principles they stand for.
Accountability
WHO defines accountability as the obligation of every member of the Organization to
be answerable for his/her actions and decisions, and to accept responsibility for them. WHO is
accountable to its Member States, and WHO staff are accountable for achieving objectives and
results in accordance with the Programme Budget and with regulations, rules and standards.
Within WHO’s
Seri Modul Profesionalisme Kebidanan 2020
Respect for the dignity, worth, equality, diversity and privacy of all persons
WHO enjoys a rich, multicultural workplace characterized by a high level of
professionalism and diversity of individual backgrounds. WHO is committed to fostering a
multifaceted and inclusive culture marked by the dignity and exemplarity of the way staff
members interact, view one another, and respect individual contributions. The extensive mix of
personalities, experiences, perspectives and talents across the Organization, makes for a stronger
and more skilled WHO. WHO expects its staff members to behave ethically at all times and with
utmost respect for each other and external stakeholders, without regard to gender, race, religion,
creed, colour, citizenship, national origin, age, marital status, family responsibilities and choices,
Prodi Kebidanan Pogram Sarjana STIKes Mitra Husada Medan 78
Seri Modul Profesionalisme Kebidanan 2020
pregnancy, sexual orientation, or disability. This ethical behaviour applies to WHO’s
employment practices. WHO is committed to a respectful, safe and secure workplace to which all
WHO staff members are expected to contribute. Staff members working with data involving
private information about others in particular have a particular duty to respect their privacy and
ensure discreteness when handling and processing personal data.
Professional commitment
WHO provides global leadership in public health and the Organization’s performance is
ultimately a reflection of the professional commitment of WHO staff members. Starting with
senior managers, who are expected to act as role models and demonstrate leadership, WHO staff
members contribute to the Organization by building their professional competence on a
foundation of ethical principles, professional expertise, and personal commitment to the mandate
and objectives of WHO. WHO is committed to a culture that encourages professionalism and
excellence through learning and development, and supports innovative approaches and solutions,
and the continuous search for new ways to support the goals of the Organization.
All WHO staff are responsible for their own professional and personal conduct.
However, commitment to upholding WHO’s ethical principles and reputation requires the
concerted effort of all staff members, managers/supervisors, and the Organization. At each level,
it requires commitment to the WHO mandate, to each other and to creating a workplace that
reflects WHO’s ethical principles.
Analisa kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan berikut ini :
1.Seorang Ibu Primigravida dibantu oleh seorang bidan untuk bersalin. Proses persalinannya telah
lama karena lebih 24 jam bayi belum juga keluar dan keadaan ibu nya sudah mulai lemas dan
kelelahan karena sudah terlalu lama mengejan. Bidan tersebut tetap bersikukuh untuk menolong
persalinan Ibu tersebut karena takut kehilangan komisi, walaupun asisten bidan itu mengingatkan
untuk segera di rujuk saja.Setelah bayi keluar, terjadilah perdarahan pada ibu, baru kemudian
bidan merujuk ibu ke RS.Ketika di jalan, ibu tersebut sudah meninggal.Keluarganya menuntut
bidan tersebut.
2.Adanya laporan dugaan penahanan bayi oleh seorang bidan di Palembang berinisial DW
mendapat kecaman dari Komisi Perlindungan Perempuan dan anak (KPAI) Palembang. Bidan
DW dinilai melanggar kode etik dan sumpah profesi. Ketua KPAI Kota Palembang, Adi Sangadi
mengungkapkan, tindakan bidan DW itu sangat tidak terpuji. Tindakannya dinilai sama saja
memisahkan orang tua dan anak. Padahal, bayi baru dilahirkan membutuhkan perawatan dan
kasih sayang oleh orangtuanya.
Nama Mahasiswa :
NPM :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Sangat Kurang
DEMENSI Sangat Baik Baik Cukup Kurang
Penguasaan materi
Kemampuan menghadapi
pertanyaan
Nilai Akhir =
Dosen
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
( )
KEGIATAN BELAJAR 11
KEGIATAN
BELAJAR 11
COLLABORATION AND PATNERSHIP FOR HEALTHY WOMEN AND INFANTS
For centuries midwives have worked in partnership with women, families and communities to
achieve good outcomes for pregnancy and birth. However it is increasingly apparent that the effective
promotion of health and prevention of disease within maternity and newborn care cannot be
accomplished by a single professional, community or policy-making group. Many women and babies
continue to die needlessly because there is delay in seeking midwifery care, no access to the next level of
health services when complications arise, or no medication available at community level to prevent or
treat complications. It is appropriate that midwives lead the way to expand the traditional partnerships for
care, to include other health professional groups, policy makers and global agencies that share a common
vision of healthy women and newborns throughout the world. ICM supports the demand for continuity of
care for childbearing women, and the collaboration with other health professionals that may be needed by
an individual pregnant woman. This collaborative chain links community health workers into family and
community-based primary care provided by professional midwives; and also with district and regional
hospital-based care from professional midwives and medical specialists. At each level of care, women
should be valued and her culture respected. She should receive quality care, timely consultation and
referral when necessary to doctors and other specialists. Collaboration between midwives, other health
professionals and consumer groups, and between ICM and other international partner organizations,
should be constructive and focused on women's and newborns’ needs at every level. Midwives
worldwide, as autonomous health professionals, are responsible not only for the care they give directly to
women and their newborns, but for the timely identification of those women who would benefit from
consultation at the next level of care, including referral for specialist attention when needed. It is also
acknowledged that, in many areas of the world, midwives are those to whom pregnant women are
referred by community health workers, when complications are suspected. ICM believes that all women
will benefit when there is continuity and collaboration among the range of health care providers from
Prodi Kebidanan Pogram Sarjana STIKes Mitra Husada Medan 81
Seri Modul Profesionalisme Kebidanan 2020
community to district to regional settings, where such collaboration is based upon mutual trust and
respect. The power of partnerships goes beyond what each individual, group or agency can do alone,
thereby maximising the effectiveness of strategies to promote the health of women and newborns.
Position ICM recognises the importance of continuity of care that needs to be available to optimise health
outcomes for women and their newborns. At the same time such clinical collaboration needs to be
supported by partnerships at the level of national associations and international agencies.
The ICM encourages all midwives to:
Work collaboratively with other health providers caring for childbearing women and their newborns
Promote respect, trust and open communication among all levels of health care providers as the
hallmarks of midwifery care that result in the best possible health care available to all women. ICM is
also interested in establishing and strengthening partnerships that will promote the health and wellbeing
of women and newborns, and the advancement of the profession of midwifery, in keeping with the
following principles:
Partners share the common goal or purpose of promoting the health of women, newborns and
childbearing families in keeping with the ICM Vision Statement.
Each partner brings a special expertise to the table with a commitment to listen, learn and respect
others’ views and suggestions for joint actions.
Shared leadership, based on the required expertise for a given strategic goal, along with teamwork, is
the norm.
Each partner is able to commit resources to support individual participation in the group or coalition, in
keeping with financial guidelines and priorities of the partner agency.
EXERCISE
Make a roleplay about collaboration and partnership for healthy women and infants!
RUBRIK ROLEPLAY
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
1-2 18 Oktober 2017 00
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/19-
Profesionalisme Bidan
Nama :
NPM :
Wahana Praktik :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Preseptor
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
Mentor
1
( )
2
RUBRIK ROLEPLAY
No. Dokumen Halaman Tanggal Berlaku Revisi
1-1 18 Oktober 2017 00
FM-PM-I.IV.Pd2-05/05-18/19-
Profesionalisme Bidan
Nama :
NPM :
Wahana Praktik :
Hari/ Tanggal :
Metode Pembelajaran :
Preseptor
1 Medan, .........................2020
2 Mahasiswa
Mentor
1
( )
2
1. ICM Documents ICM. 2011. Core Document. Definition of the midwife ICM. 2011.
2. Bill of rights for Women and Midwives (Amended 2014) ICM. 2011.
3. Position Statement. Midwifery led care, the first choice for all women ICM. 2011.
4. Position Statement. Midwives, women and human rights ICM. 2014.
5. Position Statement. The midwife is the first choice health professional for childbearing women ICM. 2014.
6. Position Statement. Partnership between women and midwives ICM. 2014.
7. Position Statement. Professional accountability of the midwife ICM. 2014.
8. Core Document. International Code of Ethics for Midwives
9. Hatem M, Sandall J, Devane D, Soltani H, Gates S. 2008.
10. Midwife-led versus other models of care for childbearing women. Cochrane Database of Systematic Reviews.
Issue 4. Art. No.: CD004667. Maassen MS, Hendrix MJC, Van Vugt HC, Veersema S, Smits F, Nijhuis JG. 2008.
Operative deliveries in low-risk pregnancies in The Netherlands: primary versus secondary care. Birth. 35:4
December 2008, 277-82