Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Kesehatan

2.1.1 Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari keseluruhan upaya kesehatan

(promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) yang menitikberatkan pada upaya

untuk meningkatkan pada perilaku hidup sehat (Wijayanti, Budhi Mulyadi, 2018).

Pendidikan kesehatan merupakan upaya persuasi atau pembelajaran kepada

masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara

dan meningkatkan derajat taraf kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran yang

didalamnya perawat sebagai perawat pendidik sesuai dengan tugas dari perawat.

(Notoatmodjo, 2018)

Pendidikan Kesehatan merupakan upaya untuk mengubah perilaku yang

awalnya tidak sehat menjadi sehat sesuai prinsip Kesehatan dan mencegah

terjadinya gangguan Kesehatan pada masyarakat. (Suprayitno & Huzaimah, 2020

dalam Dian Permatasari & Emdat Suprayitno, 2021)

Pendidikan Kesehatan merupakan sekumpulan pengalaman yang

mendukung kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang berhubungan dengan

Kesehatan individu dan Kesehatan masyarakat. Pendidikan Kesehatan juga

menjadi proses perilaku Kesehatan yang dinamis, bukan hanya proses

10
11

pemindahan materi dari seseorang ke orang lain. (Dr. Eko Winarti, S.ST.,M.Kes,

2022: 24)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kesehatan merupakan upaya

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada perseorangan, kelompok,

masyarakat untuk memberikan pengetahuan mengenai derajat kesehatan

masyarakat untuk mencegah adanya gangguan kesehatan pada masyarakat.

2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan dari pendidikan kesehatan untuk mengubah pola pengetahuan,

sikap dan perilaku individu, keluarga maupun masyarakat terhadap perilaku hidup

sehat ataupun pencegahan dalam penanganan derajat kesehatan yang optimal

(Deborah, 2020 dalam Herlina, 2021).

Tujuan pendidikan secara umum ialah untuk mengubah perilaku individu

dan masyarakat di bidang kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai sehingga dapat

menolong individu atau masyarakat secara mandiri mencapai tujuan hidup sehat

dan dapat mendorong pengembangan dan menggunakan sarana pelayanan

kesehatan (Azizah Nur, 2017).

Secara operasional, tujuan dari adanya pendidikan kesehatan adalah (Ira

Nurmala, dkk, 2018:17):

1. Menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk menjaga Kesehatan diri sendiri,

serta lingkungan sekitar.

2. Melakukan Tindakan preventif maupun rehabilitatif agar tercegah dari

peningkatan kepatahan suatu penyakit melalui berbagai kegiatan positif.


12

3. Memunculkan pengalaman yang tepat terkait keberadaan dan perubahan

yang terjadi pada suatu sistem, serta cara yang efisien dan efektif dalam

penggunaannya.

4. Memampukan diri agar secara mandiri dapat mempelajari dan

mempraktikan hal yang mampu dilakukan sendiri sehingga tidak selalu

meminta bantuan pada sistem pelayanan formal.

Tujuan Pendidikan Kesehatan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu:

1. Tujuan program merupakan pertanyaan tentang apa yang akan dicapai

dalam periode waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan.

2. Tujuan Pendidikan merupakan deskripsi perilaku yang akan dicapai dapat

mengatasi masalah kesehatan yang ada.

3. Tujuan perilaku merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus

tercapai (perilaku yang diinginkan). Tujuan perilaku berhubungan dengan

pengetahuan dan sikap.

2.1.3 Tipe Pendidikan Kesehatan

Pada petugas kesehatan terdapat 3 macam tipe belajar yang biasa

dihadapkan dalam bidang kesehatan, yaitu: program kebutuhan (require program),

program rekomendasi (recommended progam), program kelola diri (self directed

program) (Kementerian Kesehatan,2016 dalam Dr. Eko Winarti, S.ST.,M.Kes,

2022: 25-26)

1. Program kebutuhan (require program)

Situasi yang membutuhkan require suatu tindakan/ sikap tertentu untuk

dipelajari, biasanya berlangsung cepat karena individu tidak diberi


13

alternatif lain. Dalam hal ini petugas kesehatan harus merumuskan

pendidikan dan kriteria keberhasilan program.

2. Program rekomendasi (recommend program)

Dalam situasi ini perilaku tertentu disarankan untuk dipelajari, anggota

masyarakat dijadikan sasaran pendidikan boleh menerima perilaku yang

disarankan itu.

3. Program Kelola diri (self directed program)

Tujuan yang akan dicapai harus ditentukan sendiri oleh sasaran

pendidikan, petugas kesehatan hanya memberi petunjuk, pengarahan dan

bimbingan kepada masyarakarat.

2.1.4 Sasaran Pendidikan Kesehatan

Sasaran pendidikan kesehatan terbagi kedalam 3 kelompok, yaitu:

1. Sasaran primer (Primary Target)

Sasaran primer merupakan sasaran langsung kegiatan pendidikan dan

promosi kesehatan. Sasaran primer dikelompokkan berdasarkan

permasalahan kesehatan seperti pada masalah kesehatan umum, yakni

sasarannya adalah kepala keluarga, pada permasalahan KIA (Kesehatan

Ibu dan Anak) yakni sasarannya adalah ibu hamil, dan lain sebagainya.

2. Sasaran sekunder (Secondary Target)

Sasaran sekunder merupakan sasaran yang jika diberikan pendidikan

kesehatan dapat diharapkan sasaran ini mampu memberikan pendidikan


14

kesehatan pada masyarakat lainnya. Adapun kelompok sasaran sekunder

yaitu: tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan lainnya.

3. Sasaran tersier (Tertiary Target)

Sasaran tersier merupakan para pembuat keputusan dan penentu kebijakan

di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Melalui kebijakan atau keputusan

yang dikeluarkan oleh sasaran ini akan berdampak langsung terhadap

perilaku masyarakat.

2.1.5 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo, 2007 dalam Martina Pakpahan, 2021 bahwa ruang

lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari 3 segi dimensi, antara lain:

dimensi sasaran pendidik, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan

dimensi tingkat pelayanan kesehatan.

1. Dimensi sasaran pendidik

a. Pendidikan kesehatan individual

Pada pendidikan kesehatan individual ini ditargetkan sasarannya yaitu

individua tau perserorangan.

b. Pendidikan kesehatan kelompok

Pada pendidikan kesehatan kelompok ini di targetkan sasarannya yaitu

kelompok, seperti kelompol pengajian, kelompok budaya, kelompok

adat, organisasi wanita, organisasi profesi serta lainnya.

c. Pendidikan kesehatan masyarakat


15

Pada pendidikan kesehatan masyarakat ini ditargetkan sasarannya yaitu

masyarakat luas seperti, melalui pembentukan wadah perwakilan

masyarakat yang peduli terhadap kesehatan.

2. Dimensi tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan

a. Pendidikan kesehatan di sekolah

Pada pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran para murid,

misalnya perilaku hidup bersih dan sehat pada siswa sekitar sekolah

yang seperti cara mencuci tangan yang baik dan benar.

b. Pendidikan kesehatan di Rumah Sakit

Pada pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasaran pasien dan

keluarga pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

c. Pendidikan kesehatan di Puskesmas

Pada pendidikan kesehatan di Puskesmas dengan sasaran pada pasien

dan semua orang yang dating berobat di Puskesmas.

d. Pendidikan kesehatan di tempat kerja

Pada pendidikan kesehatan di tempat kerja dengan sasaran seluruh

karyawan atau pegawai yang bersangkutan.

3. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan

Tingkat pelayanan kesehatan berdasarkan five levels of prevention yaitu:

a. Promosi kesehatan (health promotion)


16

Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan masyarakat

dapat memungkinkan masyarakat mengontrol kesehatan mereka dengan

harapan dapat meningkatkan kesehatan.

Contoh: sosialisasi/ penyuluhan, seminar, dan konseling.

b. Perlindungan khusus (specific protection)

Perlindungan khusus merupakan upaya spesifik untuk mencegah

terjadinya penularan penyakit tertentu. Perlindungan khusus dapat

diartikan dengan suatu tindakan pencegahan oleh masyarakat terhadap

ancaman penyakit.

Contoh: vaksinasi, pemakaian alat pelindung diri.

c. Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis dan prompt

treatment)

Diagnosis secara dini dilakukan pada seseorang dengan resiko tinggi

seseorang terkena penyakit. Adapun pengobatan segera dilakukan untuk

menangani masalah kesehatan yang terjadi.

Contoh: pemeriksaan darah, Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat

(IVA), Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI).

d. Pembatasan kecacatan (disability limitation)

Pembatasan kecacatan merupakan kegiatan pengobatan lanjutan agar

seseorang tidak menimbulkan komplikasi berkelanjutan/ kecacatan..

Contoh: penyempurnaan pengobatan agar tidak timbul komplikasi.


17

e. Rehabilitasi (rehabilitation)

Rehabilitasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan

fungsi tubuh yang hilang setelah terkena penyakit,

Contoh: fisioterapi.

2.1.6 Prinsip Pendidikan Kesehatan

Menurut Dr. Eko Winarti, S.ST.,M.Kes (2022: 29) prinsip-prinsip

pendidikan kesehatan sebagai berikut:

1. Belajar mengajar berfokus pada klien

Pendidikan kesehatan merupakan hubungan terpeutik yang berfokus pada

kebutuhan yang spesifik.

2. Belajar mengajar bersifat holistic

Tenaga pendidik dalam memberikan pendidikan kesehatan harus

mempertimbangkan klien secara keseluruhan, tidak hanya berfokus pada

kebutuhan spesifik saja.

3. Belajar mengajar negosiasi

Petugas dan klien Bersama-sama menentukan apa yang telah diketahui dan

apa yang penting untuk diketahui. Jika telah ditentukan kemudian

dilakukan perencanaan yang dikembangkan oleh klien dan petugas secara

Bersama.

4. Belajar mengajar yang interaktif


18

Pendidikan kesehatan merupakan proses dinamis dan interaktif yang

melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan dan klien.

2.1.7 Metode Pendidikan Kesehatan

Metode pendidikan kesehatan dibagi menjadi sebagai berikut (kementerian

Kesehatan, 2016 dalam Dr. Eko Winarti, S.ST.,M.Kes, 2022:31) :

1. Metode pendidikan individu

Metode ini bersifat individual digunakan untuk membina perilaku atau

membina seseorang yang mulai tertarik untuk melakukan sesuatu

perubahan perilaku. Bentuk pendekatan ini antara lain:

a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance dan councellin)

Dengan car aini kontak antara keluarga dengan petugas lebih intensif.

Klien dengan kesadaran menerima perilaku tersebut.

b. Wawancara (interview)

Wawancara yang dilakukan petugas dengan klien bertujuan untuk

menggali informasi, berminat atau tidak terhadap perubahan untuk

mengetahui apakah perilaku yang sudah atau atau akan diadopsi itu

mempunyai dasar pengertian atau dasar yang kuat.

2. Metode pendidikan kelompok

Metode ini tergantung dari besar sasaran kelompok serta pendidikan

formal dari sasaran. Sasarann pada metode ini dibedakan menjadi:

a. Kelompok besar
19

Kelompok besar disini adalah apabila peserta penyuluhan lebih dari 15

orang. Metode yang baik untuk kelompok besar adalah:

1) ceramah, ceramah merupakan metode yang baik untuk sasaran yang

berpendidikan tinggi atau rendah.

2) Seminar, seminar merupakan metode yang baik untuk sasaran

dengan pendidikan menengah keatas berupa presentasi dari suatu

atau beberapa ahli tentang topik yang menarik dan aktual.

b. Kelompok kecil

Kelompok kecil merupakan kelompok dengan jumlah sasaran kurang

dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok kecil ini adalah:

1) Diskusi kelompok, disini kelompok bisa bebas berpartisipasi dalam

diskusi sehingga formasi duduk peserta diatas saling berhadapan.

2) Curah pendapat (brain storming), curah pendapat merupakan

modifikasi dari metode diskusi kelompok. Usulan atau komentar

yang diberikan peserta terhadap tanggapan-tanggapannya, tidak

dapat diberikan sebelum pendapat semuanya terkumpul.

3) Bola salju, pada metode ini kelompok dibagi dalam pasangan

kemudian dilontarkan maslah atau pertanyaan untuk diskusi mencari

kesimpulan.

3. Metode pendidikan masa

Metode ini menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan untuk

masyarakat umum (tidak membedakan umur, jenis kelamin, pekerjaan,

status social ekonomi dan sebagainya). Pada umumnya pendekatan ini


20

tidak langsung, biasanya menggunakan media massa. Pendekatan yang

baik untuk metode ini antara lain:

a. Ceramah umum, metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan

tinggi maupun rendah.

b. Pidato atau diskusi melalui media elektronik

c. Simulasi, meupakan dialog antara pasien dengan petugas kesehatan

tentang suatu penyakit

d. Artikel/ tulisan yang terdapat dalam majalah atau koran tentang

kesehatan

e. Bill board, bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster,

dan sebagainya.

2.1.8 Media dalam Pendidikan Kesehatan

Digunakannya media dalam proses pendidikan kesehatan untuk membantu

kelancaran dan mempermudah dalam menyampaikan materi melalui berbagai

media diantaranya (kementerian Kesehatan, 2016 dalam Dr. Eko Winarti,

S.ST.,M.Kes, 2022: 29-31)

1. Media cetak

a. Booklet : digunakan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku,

baik tulisan maupun gambar.

b. Leaflet : digunakan melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar

atau tulisan maupun keduanya.

c. Flyer (selebaran) : bentuk media ini seperti leaflet tetapi tidak dalam

bentuk lipatan.
21

d. Flip chart (lembar balik) : merupakan pesan atau informasi kesehatan

dalam bentuk buku, dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar

peragaan dan dibaliknya berisi kalimat segabai pesan atau informasi

berkaita dengan gambar tersebut.

e. Rubik/ tulisan-tulisan : eubik terdapat dapa surat kabar atau majalah,

mengenai bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang ebrkaitan

dengan kesehatan.

f. Poster : media ini digunakan untuk mengungkapkan informasi-

informasi kesehatan.

2. Media elektronik

a. Televisi : terdapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum

diskusi/tanya jawab, pidato/ceramah, quiz, atau cerdas cermat.

b. Radio : bisa dalam bentuk obrolan/ tanya jawab dan juga ceramah.

c. Video Compact Disc (VCD)

d. Film strip : digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi

mengenai kesehatan.

e. Slide : digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi kesehatan.

3. Media papan (Bill Board)

Papan/ bill board yang dipasang ditempat umum dapat dipakai diisi

dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan. Media papan

disini juga mencakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran seng yang

ditempel pada tempat umum.


22

2.2 Kepatuhan Minum Obat

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Kepatuhan merupakan perilaku dalam menaati saran-saran yang diberikan

oleh dokter atau seseorang tentang prosedur-prosedur atau saran-saran tentang

penggunaan obat, yang sebelumnya melakukan konsultasi antara pasien atau

keluarga pasien dengan dokter sebagai penyedia jasa kesehatan (Fatma, 2012

dalam Erni Djibu, 2021).

Kepatuhan di definisikan sebagai seberapa baik perilaku seseorang dalam

menggunakan obat, mengikuti diet atau mengobah pola hidup yang sesuai dengan

anjuran perintah dari dokter maupun tenaga medis lainnya (WHO, dalam Dina

Rahmawati, 2017). Seseorang yang dikatakan patuh ialah seseorang yang dapat

menjalankan anjuran yang telah diberikan pada dirinya, hal ini pun sangat

dipengaruhi oleh hubungan yang baik antara pasien dengan dokter atau tenaga

medis lainnya.

Kepatuhan adalah perubahan perilaku yang awalnya tidak menaati

peraturan menjadi perilaku yang menaati peraturan (Notoatmodjo, 2013 dalam

Dina Rahmawati, 2017). Kepatuhan (adherence) diartikan sebagai tingkatan

dimana individu mengikuti instruksi yang telah diberikan dalam upaya

mendukung program pengobatannya terhadap penyakit yang dideritanya (Diana

Caturani Prasetyawati, 2020)

2.2.2 Definisi Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan minum obat adalah perilaku pasien yang dapat menaati

instruksi atau nasihat dari tenaga medis dalam mengkonsumsi obat, meliputi
23

keteraturan minum obat, waktu minum obat dan juga cara minum obat (Erni

Djibu, 2021). Kepatuhan minum obat adalah ketaatan penderita dalam

mengkonsumsi obat sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh tenaga medis

(Yetty Tiarma Panggabean, 2021).

Kepatuhan minum obat merupakan multi faktor dari faktor pendidikan,

faktor social, faktor ekonomi, faktor kesehatan, faktor kondisi penyakit, faktor

terapi dan juga faktor umur. Oleh karena itu, kepatuhan minum obat tidak selalu

tergantung dari umur seseorang akan tetapi banyak hal yang dapat dilihat sebagai

faktor yang menentukan kepatuhan seseorang dalam minum obat (Julaihan, 2019

dalam Nurafni, dkk, 2021).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada seseorang

terdisi dari faktor internal dan faktor eksternal (Rangga Satria Nugraha,

2019) yaitu;

1. Faktor internal

a. Usia

Usia merupakan tingkat kematangan seseorang dalam berpikir serta

melakukan tindakan. Seseorang yang telah matang dalam berpikir

senantiasa akan lebih teratur dalam melaksanakan pengobatan. Namun,

tidak menutup kemungkinan pada usia muda mempunyai tingkat

kepatuhan yang tinggi dari pada usia mudamaupun sebaliknya pada usia

tua tingkat kepatuhan yang tinggi dari pada usia muda.

b. Pengetahuan
24

Pengetahuan merupakan hasil penginderaaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap objek yang telah terjadi melalui indera yang

dimilikinya. Pengetahuan tidak hanya bersifat formal melainkan dapat

juga bersifat informal seperti dalam pengalaman. Biasanya seseorang

dengan pengetahuan yang cukup tinggi akan semakin tinggi pula

kesadaran atau keingan seseorang untuk sembuh dengan cara mematuhi

pengobatan dan juga untuk control berobat.

c. Pekerjaan

Pekerjaan juga memiliki pengaruh pada kepatuhan minum obat

seseorang. Dalam Liberty, dkk, 2017 menunjukan bahwa seseorang

yang bekerja dan terikat pada waktu operasional kerja cenderung tidak

patuh dalam meminum obat dikarenakan terikat jam kerja sehingga sulit

untuk kontrol dan mendatangi pihak layanan kesehatan.

d. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan finansial seseorang dalam memenuhi

kebutuhan hidup baik kebutuhan primer serta kebutuhan dalam

pengobatan. Tetapi adapula seseorang yang telah tidak bekerja dan

mempunyai dana pension masih bisa membiayai pengobatan dan

perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah

memili tingkat kepatuhan minum obat yang rendah.

e. Pendidikan

Pendidikan memounya pengaruh pada tingkat kepatuhan seseorang.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi


25

kesadaran individu dalam menjaga kesehatannya. Pendidikan juga

berdampak pada penghasilan seseorang sehingga seseorang mampu

hidup dan tinggal dilingkungan yang lebih sehat.

2. Faktor eksternal

a. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penentuan keuarga

terhadap penderita yang sakit. Dukungan keluarga sangat berpengaruh

pada seseorang yang sedang menjalani pengobatan, apabila keluarga

memberikan perhatian dan dukungan pada penderita maka seseorang

akan merasa senang dan percaya bahwa dirinya dapat melewati dan

mengelola penyakit yang dideritanya. Anggota keluarga yang

memberikan dukungan secara baik kepada anggota keluarga yang sakit

memeliki peran penting dalam kepatuhan pengobatan, perhatian

keluarga mulai dari mengingatkan jadwal minum obat, mengantar

keluarga pada jadwal kontrol ke pusat layanan kesehatan (Puspita,

2017).

b. Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan sangat penting untuk mensosialisasi

pentingnya pengobatan. Petugas kesehatan berperan dalam memberikan

edukasi bagaimana seseorang dalam melaksanakan pengobatan seperti

menjelaskan pentingnya minum obat, menjelaskan kapan obat itu

diminum, menjelaskan apa saja efek samping dari obat, dan


26

menjelaskan akibat apa saja yang akan terjadi apabila obat tidak

diminum secara teratur.

c. Lingkungan

Faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat,

lingkungan dengan penuh dukungan positif akan mampu berfungsi

dengan kepandaian dan akal. Akibatnya, terjadinya peningkatan

kepatuhan dalam pengobatan dan meningkatnya derajat kesehatan.

d. Motivasi

Motivasi merupakan suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk

berperilaku, dan beraktivitas dalam mencapai tujuan. Motivasi pasien

dalam menjalani pengobatan sangat mempengaruhi proses dari

kesembuhan seseorang.

2.2.4 Manfaat Kepatuhan Minum Obat

Menurut Widodo (2009) dalam Dina Rahmawati (2017), manfaat dari

kepatuhan yaitu:

1. Keberhasilan pengobatan yang sangat berarti dan mempunyai efek bagi

kesembuhan.

2. Menurunkan biaya perawatan, kerena kepatuhan terhadap obat dapat

mempercepat perawatan.

3. Tingkat kesembuhan meningkat, karena kepatuhan minum obat

mempunyai peluang yang tinggi untuk sembuh.


27

2.2.5 Pengukuran Kepatuhan Minum Obat

Terdapat lima cara yang dapat digunakan sebagai indicator untuk

mengukur kepatuhan minum obat pada pasien (Dina Rahmawati, 2017):

1. Menanyakan kepada petugas klinis

Metode ini adalah metode yang hamper digunakan sebagai pilihan terakhir

karena keakuratannya yang diberikan kepada dokter umumnya.

2. Menanyakan kepada individu yang menjadi pasien

Metode ini lebih vailed dibandingkan metode sebelumnyatetapi metode ini

memiliki kekurangan yaitu, kemungkinan pasien berbohong untuk

menghindari dari ketidaksukaan dari pihak tenaga kesehatan.

3. Menanyakan kepada individu lain yang memonitor keadaan pasien

Pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus akan menciptakan

situasi yang buatan dan dijadikan tingkat kepatuhan yang diinginkan ke

individu lain, sehingga obeservasi yang dilakukan menjadi tidak akurat.

4. Menghitung berapa banyak obat dan pil yang seharusnya dikonsumsi

pasien sesuai dengan sarana medis yang diberikan oleh dokter

Prosedur ini merupakan prosedur yang paling ideal karena hanyak sedikit

saja kesalahan yang dapat dilakukan dalam menghitung jumlah obat atau

pil yang berkurang dari awalnya. Tetapi metode ini juga bisa menjadi

metode yang tidak akurat, seperti pasien mengkonsumsi obat atau pil yang
28

diberikan tidak sesuai dengan saran yang diberikan hanya karena ingin

terlihat seperti sudah meminum obat atau pil dengan teratur.

5. Memberikan bukti-bukti biokimia

Metode ini dilakukan dengan berusaha menemukan bukti secara biokimia

seperti melalui analisa darah maupun urin.

2.2.6 Cara Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat

Cara-cara untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat

menurut Saepudin, dkk, (2013) dalam Rangga Satria Nugraha, (2019):

1. Memberikan informasi kepada pasien akan manfaat dan pentingnya

kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan.

2. Mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang harus

dilakukan demi keberhasilan pengobatan melalui telepon atau alat

komunikasi lainnya.

3. Menunjukan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya atau dengan

cara menunjukan obat aslinya.

4. Memberikan keyakinan pada pasien pada pasien akan efektivitas obat

dalam penyembuhan.

5. Memberikan resiko ketidakpatuhan dalam meminum obat.

6. Memberikan layanan kefarmasian dengan observasi langsung,

mengunjungi rumah pasien dan memberikan konsultasi kesehatan.

7. Adanya dukungan dari pihak keluarga, teman dan orang disekitarnya untuk

selalu mengingatkan pasien agar teratur minum obat demi keberhasilan

pengobatan.
29

2.3 Hipertensi

2.3.1 Pengertian Hipertensi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan keadaan meningkatnya

tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolic >90 mmHg pada

dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup tenang

( Kemenkes, 2018).

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat

melebihi batas normal. Penyebab dari tekan darah meningkat adalah peningkatan

kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah

tepi dan peningkatan volume aliran darah (Dina Rahmawati, 2017).

Hipertensi merupakan suatu keaadaan Ketika tekanan di pembuluh darah

meningkat secara kronis. Hal ini dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras

saat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh

(Sherli, 2021).

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian,

diantaranya:

1. Klasifikasi menurut JNC-VII tahun 2003

Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII tahun 2003 dibedakan menjadi 4

kategori. Klasifikasi tersebut sesuai dengan table 2.1 dibawah ini, yaitu:

Tabel 2.1

Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII tahun 2003


30

Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 < 80

Pra hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99

Hipertensi tingkat 2 > 160 > 100

Sumber : (P2PTM Kemkes: 2018)

2. Klasifikasi hipertensi menurut World Health Organization (WHO)

Klasifikasi hipertensi menurut WHO dan International Society of

Hypertension Working Group (ISHWG) membagi menjadi 9 kategori.

Klasifikasi tersebut sesuai dengan tabel 2.2 dibawah ini, yaitu:

Tabel 2.2

Klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISHWG

Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal-tinggi 130-139 85-89

Grade 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99

Sub-group perbatasan 140-149 90-94

Grade 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109


31

Grade 3 (hipertensi berat) > 180 > 110

Hipertensi sistolik terisolasi > 140 < 90

Sub-group perbatasan 140-149 < 90

Sumber : (Artiyaningrum, 2016)

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu

hipertensi sekunder dan hipertensi primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis

yang penyebab spesifiknya dapat diketahui dan hipertensi primer merupakan

hipertensi yang penyebab spesifiknya tidak dapat diketahui.

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu

hipertensi benigna dan hipertensi maligna. Hipertensi benigna adalah keadaan

hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat

penderita cek-up, sedangkan hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang

membahayakan dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi

organ-organ seperti otak, jantung, ginjal (Dina Rahmawati, 2017)

2.3.3 Etiologi

1. Hipertensi Primer

Hipertensi primer didefinisikan sebagai hipertensi yang tidak disebabkan

oleh adanya gangguan lain, seperti: faktor keturunan, pola hidup yang

tidak seimbang, keramaian, stress, dan pekerjaan. Sebagian besar

hipertensi primer disebabkan oleh stress. Gaya hidup juga mendukung

timbulnya hipertensi primer, antara lain: mengkonsumsi lemak berlebih,

mengkonsumsi garam berlebih, aktivitas yang rendah, kebiasaan merokok,

serta konsumsi alcohol dan kafein.


32

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh adanya

gangguan pada organ tubuh, seperti gangguan ginjal, endokrin, kekakuan

aorta. Selain gangguan pada organ tubuh juga stress masih mengambil

andil dalam penyebab hipertensi jenis ini, kondisi stress yang terus

menerus dapat menyebabkan hipertensi.

2.3.4 Faktor Resiko Hipertensi

Menurut Yunita Sari (2017) dalam Klaudia BS (2021) faktor-fsktor yang

memiliki potensi dapat menimbulkan masalah atau kerugian kesehatan disebut

dengan faktor resiko. Adapun faktor resiko pada penyakit hipertensi yaitu:

1. Usia

Usia merupakan faktor resiko hipertensi yang tidak dapat diubah. Semakin

bertambah nya usia semakin tinggi juga kemungkinan seseorang menderita

hipertensi. Hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan struktur

pembuluh darah dikarenakan penyempitan lumen serta dinding pembuluh

darah menjadi kaku dan elastisnya berkurang sehingga menimbulkan

kenaikan tekanan darah.

2. Jenis kelamin

Hipertensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita, dikarenakan

wanita kebanyakan memiliki aktivitas yang lebih sedikit dari pada laki-laki

yang mayoritas bekerja.


33

3. Riwayat keluarga

Jika pada keluarga memiliki riwayat keturunan hipertensi, maka

kemungkinan terjadinya hipertensi akan lebih tinggi dibandingkan

seseorang yang tidak mempunyai riwayat keturunan hipertensi.

4. Obesitas

Kebanyakan kasus hipertensi terjadi pada pria atau wanita yang memiliki

kelebihan berat badan dan obesitas. Akan tetapi tidak semua jenis

kegemukan berhubungan dengan hipertensi. Terdapat 2 jenis kegemukan

yaitu kegemukan sentral dan kegemukan perifer. Kegemukan sentral

merupakan lemak yang mengumpul disekitar perut (buncit), sedangkan

kegemukan perifer merupakan kegemukan yang merata di seluruh tubuh.

Biasanya hipertensi paling sering muncul pada orang yang menderita

hipertensi sentral (Putu Yuda, 2011 dalam Klaudia BS, 2021).

5. Merokok

Merokok dapat menyebabkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk

di suplai ke otot jantung mengalami peningkatan

6. Aktivitas fisik

Pada orang yang kurang melakukan aktivitas fisik cenderung berpotensi

mengidap hipertensi. Hal tersebut diakibatkan karena otot jantung bekerja

lebih keras pada setiap kontraksi, makin keras usaha otot jantung maka

makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga meningkatkan

tahanan perifer yang menyebabkan tekanan darah menjadi tinggi.

7. Konsumsi garam berlebih


34

Garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat. Khususnya pada

penderita hipertensi ringan, lansia, penderita DM, mereka yang berkulit

hitam (Manurung, 2016 dalam Klaudia BS, 2021)

8. Stress

Stress dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah

jantung sehingga akan merangsang aktivitas saraf simpatis yang

mengakibatkan terjadinya kenaikan tekanan darah.

9. Konsumsi alkohol

Alkohol juga dapat memivu kenaikannya tekana darah pada tubuh

manusia,

2.3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik yang sering tidak tampak yaitu beberapa pasien

mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, sesak nafas, kelelahan, kesadaran menurun,

mual muntah, gelisah, kelemahan otot, bahkan ada yang mengalami perubahan

mental (Dina Rahmawati,2017).

Hipertensi essensial kadang tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah

terjadinnya pada organ target seperti ginjal, otak, jantung. Namun ada beberapa

pasien yang mengalami gejala seperti sakit kepala ( Depkes dalam Dina

Rahmawati, 2017).

2.3.6 Patofisiologi

Patofisiologi hipertensi dimulai dari beberapa faktor yang berhubungan

yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Dilihat dari bebrapa faktor resiko
35

seperti usia,jenis kelamin, stess, konsumsi garam berlebih, konsumsi alcohol,

obesitas, retensi insulin, sistem saraf simpatis.

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di pusat vasomotor atau pada medulla otak. Pusat vasomotor ini bermula

dari jarak saraf simpatis yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari

kolumna medulla spinalis ke ganglia di toraks dan abdomen (Dina Rahmawati,

2017).

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang

bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Neuron preganglion

melepaskan asetikolin yang akan merangsang saraf paska ganglion ke pembuluh

darah untuk melepaskan noreprineprin yang dapat mengakibatkan konstriksi

pembuluh darah.

Sistem saraf simpatis menstimulus pembuluh darah sebagai respon

stimulus emosi dan kelenjar adrenal juga terstimulasi yang mengakibatkan

tambahan aktivitas vasokontraksi. Medulla adrenal mensekresi eprineprin yang

meyebabkan vasokontraksi pada saat bersamaan. Korteks adrenal mensekresi

konsol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat vasokonstriktor pembuluh

darah (Brunner dan Suddhart, 2012 dalam Dina Rahmawati, 2017).

2.3.7 Komplikasi

Hipertensi bila tidak ditangani dengan baik akan besar kemungkinan nya

akan terjadi komplikasi. Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit

hipertensi menurut P2PTM Kementerian Kesehatan RI, 2019 ialah penyakit

jantung seperti gagal jantung, angina pectoris,infark miokard, penyakit ginjal


36

seperti gagal ginjal, penyakit mata seperti penebalan retina, pendarahan retina,

oedema pupil, penyakit saraf seperti stroke (P2PTM Kemenkes RI, 2019).

2.3.8 Penatalaksanaan Hipertensi

Terdapat 2 cara penanggulangan hipertensi yaitu denganterapi non-

farmakologis dan dengan terapi farmakologis. Dengan terapi non-farmakologis

seperti dengan menurunkan berat badan, diet rendah garam dan lemak, pola hidup

sehat, olahraga secara teratur, kontrol tekanan darah secara teratur. Sedangkan

terapi farmakologis yaitu dengan cara memberikan obat-obatan antihipertensi

seperti diuretik (HCT, Higroton, Lasix), Beta Bloker (propanol), Alfa bloker

(Phentolamin, Prozazine, Nitroprusside, Captapril), Simphatolitic (Hidralazine,

Diazoxine), Antagonis kalsium (Nefedipine) (Dina Rahmawati, 2017).

2.4 Lansia

2.4.1 Definisi Lansia

Menurut undang-undang kesejahteraan lanjut usia No. 13 tahun 1998,

lanjut usia merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas baik

itu pria maupun wanita, masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang dan atau jasa ataupun tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada orang lain. Lansia merupakan tahap lanjut

dari proses penurunan fungsi kehidupan ditandai dengan penurunan fungsi tubuh

untuk beradaptasi dengan lingkungan (Dinka, 2019).

Penuaan adalah proses yang terjadi terus menerus dan berkesinambungan

yang akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, biokimia pada tubuh


37

sehingga mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan (Depkes RI (2013)

dalam Mia Fatma (2018)).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan

seseorang dengan usia diatas 60 tahun baik itu pria maupun wanita yang dapat

menghasilkan nafkah sendiri maupun yang tidak berdaya yang telah mengalami

perubahan baik anatomis, fisiologis maupun biokimia paa tubuh sehingga

terjadinya penurunan fungsi tubuh.

2.4.2 Klasifikasi Lansia

1. Klasifikasi lansia menurut WHO (2013) terdapat empat tahapan seperti

pada tabel dibawah ini, yaitu:

Tabel 2.3

Klasifikasi lansia menurut WHO tahun 2013

Kategori Usia

Usia pertengahan 45-59 tahun

Lanjut usia/ eiderly 60-74 tahun

Lanjut usia tua/ old 75-90 tahun

Usia sangat tua > 90 tahum

Sumber : (Dinka, 2019)

2. Klasifikasi lansia menurut Depkes RI tahun 2013

Klasifikasi lansia menurut Depkes RI tahun 2013 dibagi menjadi 5

tahapan, yaitu (Dinka, 2019) :


38

a. Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial yatu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

e. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.4.3 Karakteristik Lansia

Menurut pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI (2016)

karakteristik lansia sebagai berikut:

1. Jenis kelamin

Kebanyakan lansia itu adalah wanita. Maka dapat dilihat bahwa wanita

memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi.

2. Status perkawinan

Penduduk lansia dilihat dari status perkawinan sebagian besar berstatus

kawin 60% dan cerai mati 37%.

3. Living arrangement

Perbandingan angka beban tanggungan orang yang tidak produktif dengan

orang yang produktif masih lebih banyak jumlah orang yang tidak

produktif. Maka dapat dilihat beban ekonomi yang harus ditanggung oleh

usia produktif untuk menafkahi usia yang tidak produktif.


39

4. Kondisi kesehatan

Kondisi kesehatan pada lansia menjadi acuan banyak nya lansia yang

mengalami masalah kesehatan yang ada. Angka kesakitan dapat menjadi

indikator untuk menunjukan bagaimana deraja kesehatan jika semakin

rendah kesakitan maka semakin baik tingkat derjat kesehatan.

2.4.4 Perubahan Fisiologis Lansia

Seiring bertambahnya usia, maka akan berpengaruh pada fungsi tubuh,

fungsi tubuh akan mengalami penurunan seperti fungsi fisiologi, psikologis,

psikososial dan agama. Adapun dibawah ini perubahan pada fungsi fisiologis

lansia (Piin Kurniawati, 2018) :

1. Penurunan fungsi panca indera

a. Fungsi penglihatan

Pada lansia akan mengalami penurunan dari fungsi penglihatan,

penurunan ini berhubungan dengan perubahan pada jaringan bola

mata, lensa mata, iris, pupil, kornea dan retina mata.

b. Pendengaran

Penurunan fungsi pendengaran disebabkan karena degenarasi primer

pada organ korti yang berupa hilangnya sel epitel saraf yang dimulai

pada usia pertengahan.

c. Peraba

Penuaan pada kulit dapat terjadi pada dua fenomena, pertama

fenomena yang disebabkan oleh hormonal, keturunan, malnutrisi dan


40

sebagainya, yang kedua oleh photoaging yang diakibatkan oleh

lingkungan.

2. Penurunan sistem tubuh pada lansia

a. Sistem imun

Pada sistem imun manusia berfungsi sebagai pencegah penyakit dari

infeksi virus oleh sistem barrier, akan tetapi pada lansia akan

mengalami penurunan yang mengakibatkan tubuh akan lebih sukar

untuk menghalang virus maupun bakteri yang masuk ke tubuh.

b. Sistem saraf

Penurunan sistem sraaf pada lansia berkisar 10-20%, pada penurunan

sistem saraf akan terjadi penebalan intima pada pembluh otak dan akan

terjadi stroke, serangan iskemik sesaat.

c. Sistem pencernaan

Pada penurunan sistem pencernaan pada lansia akan mengalami digesti

dan absorpsi akibat dari hilangnya opoid endogen yang akan

kemungkinan berakibat anoreksia serta perubahan atrofik pada mukosa

yang menyebabkan gangguan proses menelan, mual, serta perubahan

nafsu makan.

d. Sistem pernapasan

Penurunan sistem pernapasan dengan berkurangnya jumlah kantung

udara (alveoli) pada lansia dibandingkan pada usia dewasa yang akan

mengakibatkan berbagai gangguan pada sistem pernapasan seperti

radang paru-paru, TBC dan lain sebagainya.


41

e. Sistem muskuloskeletal

Pada lansia akan mengalami penurunan sistem muskuloskeletal dengan

berkurangnya kelenturan, kekuatan otot, dan daya tahan sistem

muskuloskeletal.

f. Sistem endokrin

Fungsi endokrin akan mengalami penurunan dari fungsi awal, fungsi

awal sistem endokrin yaitu untuk mengeluarkan hormon-hormon

akibatnya metabolism dalam kemampuan tubuh akan terganggu.

2.5 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah ketentuan yang diterima oleh public jika

hendak memecahkan masalah yang ditampilkan agar penelitian ada batas yang

jelas mengenai penyelesaiannya (Syifa dan Bethani, 2017). Kerangka pemikiran

pada penelitian ini adalah:


42

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

Lansia

Patuh
Pendidikan
Kepatuhan
Kesehatan
minum obat
hipertensi Tidak patuh

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan :


43

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak Diteliti

: Mempengaruhi

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah rumusan penelitian,

dimana rumusan masalah tersebut dinyatakan dalam bentuk pertanyaan

(Sugiyono, 2017). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0:Tidak terdapat pengaruh dari pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan minum

obat hipertensi pada lansia di Puskesmas Baleendah.

H1: Terdapat pengaruh dari pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan minum obat

hipertensi pada lansia di Puskesmas Baleendah.


44

Anda mungkin juga menyukai