Anda di halaman 1dari 3

Sejarah BEM di Indonesia

Dinamika sosial politik selalu memberikan warna dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, begitupun
dengan aktivitas dunia pendidikan yang dinamis dan berdialektik. Tragedi GSO ( Gerakan Satu –
Oktober ) 1965, yang berdampak turunnya rezim orde lama berganti dengan awal mulanya perjalanan
rezim orde baru, juga memberi implikasi perubahan kebijakan dalam menghadapi progresifitas
organisasi mahasiswa. Apalagi di perkuat dengan pasca Tragedi Malari tahun 1974, kebijakan rezim orde
baru sangat represif dalam menghadapi sikap kritis mahasiswa dalam menyoroti permasalahan
kebangsaan. Kebijakan orde baru untuk mereprsiifitas gerakan mahasiswa baik intra maupun ekstra
kampus dengan mengembalikan mahasiswa ke dalam kampus dan melarang aktivitas mahasiswa dalam
merespon persoalan bangsa. Hal ini teraktualisasikan dengan di keluarkannya Peraturan NKK/BKK
( Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Kordinasi Kemahasiswaan ) dan salah satu produknya adalah
merubah nama oraganisasi mahasiswa Internal, khususnya lembaga eksekutif yang pada era tahun
1965-1980 bernama Dewan Mahasiswa ( DEMA ) di ganti dengan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi
(SMPT ). Hal ini di karenakan kedudukan Dewan Mahasiswa pada saat itu merugikan kepentingan
kekuasaan pragmatis rezim orde baru secara politis, karena Dewan Mahasiswa bersikap kritis terhadap
kondisi sosial masyarakat dan kebangsaan.

Perjalanan historis Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi dianggap belum mampu memberikan ruang
dinamis fungsi mahasiswa idealnya untuk merespon persoalan kampus dan rakyat. Bergulirnya peristiwa
pembaharuan kondisi Bangsa melalui Reformasi juga memberikan perubahan sistem di organisasi
kemahasiswaan. Pada bulan November 1998 melalui Musyawarah Mahasiswa di sepakati perubahan
sistem dan bentuk organisasi kemahasiswaan tertinggi di tingkat Universitas. Perubahan sistem dan
bentuk Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Universitas Udayana berubah menjadi Komite Sentral
Mahasiswa (KOSMA ) yang di pimpin oleh Kepresiduman KOSMA dengan bentuk kolektif kolegial ( pola
kepemimpinan bersama ) yang di lakukan secara bergantian oleh ketua lembaga di lingkungan
Universitas Udayana, baik fakultas dan

Pembentukan KOSMA di harapkan mampu mewarnai dinamika perpolitikan bangsa dan responsif
terhadap problematikan kampus. Namun perjalanan KOSMA semenjak tahun 1998 hingga 2003 belum
mampu sesuai dengan fungsi pendiriannya. Maka pada tahun 2003 pada Musyawarah Mahasiswa
seluruh lembaga kemahasiswaan di Universitas Udayana menyepakati untuk merubah sistem dan
bentuk lembaga kemahasiswaan, bertujuan agar mampu menjadi payung dalam menyuarakan
kepentingan mahasiswa Udayana dengan konsisten dan kontinuitas, serta menjalankan fungsi martir
pembela kepentingan masyarakat Bali dan rakyat nusantara. Akhirnya di sepakati pada tahun 2003
bahwa KOSMA berganti nama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa yang tetap di gunakan hingga saat ini.
“Tentu saja demokrasi, seperti teater, sebenarnya bukanlah proses untuk menemukan kebenaran,
melainkan untuk menghadapi kesalahan, dan mengatasinya” – Goenawan Mohammad,

Dalam pengertian modern, demokrasi dirumuskan sebagai sistem politik atau pemerintahan yang
memiliki pola relasi kekuasaan yang ditentukan oleh rakyat yang berdaulat. Demokrasi merupakan
system yang di dalamnya berlaku prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, secara universal demokrasi
didefinisikan sebagai pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the
people, by the people, for the people).

Demokrasi menempati posisi vital kaitannya dalam konsep trias politica, dengan prinsip kekuasaan
negara yang diperoleh dari rakyat dan harus digunakan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Lahir pasca kemerdekaan, demokrasi menjadi sistem sakral yang kemudian dipuja rakyat, dielu-elukan
rakyat, dan diagungkan rakyat. Ia menjadi jawaban atas kegelisahan rakyat, atas hausnya kemerdekaan
atas nama rakyat. Lantas lahirlah demokrasi terpimpin pada era Soekarno dan demokrasi Pancasila pada
rezim Soeharto. Alih-alih menjadi jawaban kegelisahan rakyat, keduanya malah menjadi demokrasi
terpasung, yang mengebiri kebebasan politik rakyat.

Pada era 1998 pasca jatuhnya rezim orde baru, rakyat kemudian disuguhi demokrasi baru pasca
reformasi yang dipenuhi keterbukaan. Dwifungsi ABRI dihapuskan, kebebasan dan demokratisasi hampir
dijalankan di segala bidang. Tapi benarkah asas demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat benar-benar dijalankan?

Pemilu (Pemilihan Umum) menjadi salah satu pesta demokrasi di Indonesia. Yang dicari, satu:
pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun yang disebut ‘kue’ kekuasaan, tak
jauh-jauh dari ‘semut’ kepentingan politik. Janji dan pencitraan diumbar membodohi publik, demi
mengkoleksi kursi-kursi cantik di senayan. Money politik dianggap lumrah, rakyat disuap demi
kekuasaan. Dan ujungnya, senayan bak kandang tikus koruptor yang merampas harta rakyat, mencari
uang rakyat untuk perutnya, atau untuk balas budi partai yang menghadiahkannya kursi cantik. Pejabat
lain pun tak jauh beda, sibuk mengawal pencitraan demi pesta selanjutnya. Alhasil, demokrasi yang ada
adalah demokrasi dari rakyat, oleh perampas harta rakyat, dan untuk perut pejabat.

Jika kita tarik benang merah antara Negara dengan gerakan mahasiswa, ada satu titik yang sama, pesta
demokrasi. Di beberapa kampus besar (khususnya di kampus saya, UGM), setiap tahunnya mahasiswa
ikut merayakan pesta demokrasi yang disebut Pemira (Pemilihan Raya Mahasiswa). Dalam Pemira,
setiap mahasiswa dapat ikut memilih Presiden Mahasiswa (untuk Badan Eksekutif Mahasiwa) dan
anggota legislatif yang disebut Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Sistemnya kurang lebih sama,
diajukan oleh partai mahasiswa yang sudah terdaftar. Jelas, setiap partai punya kepentingannya masing-
masing, demi UGM 1.

Yang menjadi kekhawatiran adalah, kinerja pejabat, baik dalam lingkup Negara, maupun dalam lingkup
kampus (BEM) menjadi titik yang disorot oleh rakyat, baik rakyat Indonesia, atau rakyat kampus
(mahasiswa). Kepemimpinan yang untuk rakyat, akan selalu membuahkan citra yang baik bagi rakyat.
Pun jika kepemimpinan mendewakan kepentingan di luar rakyat, atau mendewakan eksistensi,
imbasnya adalah pragmatisme dan apatisme rakyat.

Pada akhirnya, kepemimpinan Negara yang tinggal dua tahun, atau kepemimpinan kampus (BEM) yang
tinggal dua bulan musti banyak berbenah. Jangan sampai kepemimpinan kampus yang lahir dari
mahasiswa, yang katanya melawan kesewenangan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, malah
berakhir seperti pemerintah; mahir pencitraan, jago mengklaim, rajin mencari eksistensi, atau malah
sibuk sikut menyikut kepentingan lain. Akhirnya, muncul satu pertanyaan yang sama: dipilih dari rakyat
(mahasiswa), lantas dimana yang untuk rakyat?

Pemira, yang menjadi pesta demokrasi mahasiswa, harus dilakukan selayaknya demokrasi dengan politik
bersih. Jangan hanya mengumbar janji demi kekuasaan. Lepas baju kepentingan dan pakai baju rakyat,
demi menjadi pelayan publik. Jangan sampai pesta demokrasi ini berujung menjadi demokrasi abal-abal,
yang akhirnya hanya menjadi dagelan politik yang ditertawakan publik.

Anda mungkin juga menyukai