Anda di halaman 1dari 16

Membangun Keluarga Islami

Disusun oleh: Ardhan Ardiansyah (6701204014)

Dosen Pengampu: Fuad Hilmi

Fakultas Ilmu Terapan

D3 Sistem Informasi

Tanggal 25 Desember 2021


BAB I PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah


Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa.
Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam
lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Allah, tawakal dan
mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan
syari'at.
Pentingnya keharmonisan keluarga yang paling berpengaruh untuk pribadi dan masyarakat adalah
pembentukan keluarga dan komitmen pada kebenaran. Allah dengan hikmahNya telah mempersiapkan
tempat yang mulia bagi manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya.
FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara
kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir." (Ar Rum: 21)
Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan
mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah
kekerabatan dan persahabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam
dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur'an menjelaskan:  "Mereka
itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah: 187)
B.       Rumusan Masalah
Makalah ini disusun dengan rumusan sebagai berikut :
1.      Apakah tujuan berkeluarga menurut islam?
2.      Bagaimana persiapan menikah?
3.      Apakah hukum melakukan pernikahan?
4.      Apakah larangan-larangan melakukan pernikahan?
5.      Bagaimanakah pelaksanaan pernikahan?
6.      Bagaimanakah meningkatkan mutu pernikahan?

7.      Bagaimanakah cara membina keluarga?


8.      Apa kewajiban-kewajiban dalam berkeluarga?

C.       Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penyusunan makalah adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui tujuan berkeluarga menurut islam
2.      Mengetahui bagaimana persiapan dalam pernikahan
3.      Mengetahui hukum melakukan pernikahan
4.      Mengetahui larangan-larangan melakukan pernikahan
5.      Mengetahui pelaksanaan pernikahan
6.      Mengetahui bagaimana meningkatkan mutu pernikahan
7.      Mengetahui cara-cara membina keluarga
8.      Mengetahui kewajiban-kewajiban dalam berkeluarga
BAB II PEMBAHASAN

A.      Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil di masyarakat. Sebuah keluarga akan kokoh bila dibentuk atas
dasar pernikahan yang sah. Jika kita ingin membangun kehidupan yang kokoh di masyarakat,
maka kita harus memulainya dari keluarga. Tujuan keluarga adalah keluarga merupakan tempat
menyalurkan kebutuhan seksual secara terhormat, melalui keluarga, cinta dan kasih sayang bisa
dipupuk dan dibina, anak-anak dapat dilindungi dari ketidak pastian masa depannya. Pondasi
masyarakat biasa dibangun melalui keluarga.

B.       Pernikahan
Ø  Persiapan Nikah
Sebelum melakukan pernikahan, kita harus mempunyai calon pasangan. Dalam menentukan
calon pasangan, Rasulullah memberikan tuntutan hendaknya memperhatikan agama calon
pasangannya. Seberapa dalam dia memiliki pemahaman terhadap ajaran agamanya, tentunya
untuk umat muslim harus memilih calon pasangan seorang muslim pula.
Setelah menentukan pilihan calon pasangan, hal yang di sunnahkan adalah meminang.
Meminang adalah menyampaikan maksud mau menikahi dari seorang laki-laki pada seorang
wanita baik secara langsung maupun dengan perantara seseorang yang dapat dipercaya.
Ø  Hukum Melakukan Pernikahan
Asal hukum melakukan pernikahan adalah ibadah atau kebolehan atau halal. Namun
berdasarkan perubahan ‘illahnya, maka dari ibadah atau kebolehan hukum pernikahan dapat
beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.
1.    Hukumnya menjadi Sunnah
Seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung
untuk nikah serta biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan
pernikahan. Jika dia nikah dia mendapat pahala dan jika tidak atau belum, dia tidak mendapat
dosa dan tidak mendapat pahala.

2.    Hukumnya menjadi Wajib


Seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari
sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat mendesak untuk nikah, sehingga jika tidak nikah
dia akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk menikah.
Jika dia tidak nikah akan mendapat dosa dan jika dia menikah mendapat pahala.
3.      Hukumnya menjadi Makruh
Seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk nikah
walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga jika dia nikah
akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak-anaknya, maka makruklah baginya
untuk menikah. Jika dia menikah mendapat dosa, jika dia tidak menikah mendapat pahala.
4.      Hukumnya menjadi Haram
Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan dengan maksud menganiaya
atau memperolok-oloknya maka haramlah bagi laki-laki itu menikahi perempuan tersebut. Jika
dia menikah dengan maksud tersebut mendapat dosa, sedangkan tidak menikahi karena
mempunyai tujuan tersebut maka mendapat pahala.

Ø  Larangan Melakukan Pernikahan


1.      Larangan Pernikahan karena Perlainan Agama
Terlihat dalam Q.S. Al Baqarah : 221 berisikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a.       Jangan kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman.
b.      Jangan kamu kawinkan laki-laki musyrik hingga dia beriman.
c.       Orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada kebaikan
dan keampunan.
2.      Larangan Pernikahan karena Hubungan Darah yang sangat Dekat
Larangan itu tercantum dalam Q.S. An Nisa : 23 yang berisi :
a.       Diharamkan bagi kamu mengawini ibu kamu
b.      Anak perempuan kamu

c.       Saudara perempuan kamu


d.      Saudara perempuan ibu kamu
e.       Saudara perempuan bapak kamu
f.       Anak perempuan saudara laki-laki kamu
g.      Anak perempuan saudara perempuan kamu
3.      Larangan Pernikahan karena Hubungan Sesusuan
Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara, dan disebut saudara sesusuan. Namun saudara
sesusuan itu tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewarisi.
Larangan ini terdapat di Q.S. An Nisa : 23, berupa :
h.      Ibu susu kamu
i.        Saudara perempuan sesusuan kamu
4.      Larangan Pernikahan karena Hubungan Semenda
Hubungan semenda artinya hubungan kekeluargaan yang timbul karena perkawinan yang telah
terjadi terlebih dahulu. Larangan ini terdapat di Q.S. An Nisa : 23, yaitu :
j.        Ibu isteri kamu (mertua kamu yang merempuan)
k.      Anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu, dari isteri yang telah kamu
campuri, dan apabila isteri itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu kawini anak tiri
itu.
l.        Isteri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan)
m.    Dan bahwa kamu kawini sekaligus dua orang bersaudara
5.      Larangan Pernikahan karena Poliandri
Larangan mengawini perempuan yang bersuami terdapat dalam Q.S An Nisa : 24 yaitu :
a.       Dan perempuan yang mempunyai suami
Maksudnya diharamkan pula kamu mengawini perempuan yang sedang bersuami.
6.      Larangan Pernikahan karena Undang-undang
Dalam Undang-undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan ini diatur dalam pasal 8.
Bunyi pasal 8 adalah Perkawinan dilarang antara dua orang
yang :
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibu/ bapak tiri
d.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
susuan.
e.       Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Ø  Pelaksanaan Pernikahan
Pernikahan akan dipandang sah apabila memenuhi ketentuan yaitu adanya pasangan yang
akan dinikahkan dan adanya akad nikah. Akad nikah berasal dari kata-kata’aqad nikah yang
berasal dari sebutan Al-Quran ‘aqdu al-nikaah, dalam kata sehari-hari di Indonesia disebut akad
nikah. Akad nikah berarti perjanjian mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki.
Beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah adalah :
1.    Ijab Kabul
Ijab adalah penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan
oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Kabul adalah penegasan
penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan oleh pihak laki-laki.
Pelaksanaan penegasan qabul ini harus diucapkan pihak laki-laki langsung sesudah ucapan
penegasan ijab pihak perempuan, tidak boleh mempunyai antara waktu yang lama.
2.    Wali Pihak Perempuan
Wali adalah orang yang tanggung jawab menikahkan calon pasangan suami isteri. Ada berbagai
macam wali pihak perempuan, yaitu :
a.       Wali Nasab
Anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan
darah patrilinial dengan calon pengantin perempuan.

Yang termasuk wali nasab adalah bapak, datuk, saudara laki-laki bapak, saudara laki-lakinya
sendiri.
b.      Wali Hakim
      Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang
perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Jika ditemui
kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan dari wali nasab, maka seorang calon
pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim baik melalui Pengadilan
Agama atau tidak.
c.       Dua Orang Saksi
      Kesaksian untuk suatu pernikahan hendaklah diberikan kepada dua orang laki-laki dewasa
dan adil yang dapat dipercaya. Syarat dua orang saksi ini adalah syarat yang biasa dalam
kejadian-kejadian penting sebagai penguat dalam suatu kejadian yang menghendaki pembuktian.
Syarat-syarat kedua saksi tersebut adalah :
a.      Islam. Tidak dapat diterima kesaksian orang yang bukan islam.
b.     Dewasa atau baligh yaitu sekitar berumur wajar untuk kawin.
c.      Laki-laki yang adil yang dapat terlihat dari perbuatannya sehari-hari.
d.        Mahar atau Sadaq
Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan dalam islam adalah kewajiban yang harus
dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemberian
mahar adalah wajib.

Ø  Meningkatkan Mutu Pernikahan


Dalam suatu pernikahan dapat mengalami pasang surutnya kehidupan seseorang yang
sedang membina rumah tangga. Hal ini adalah merupakan ujian bagi kaum mu’min. Oleh karena
itu, maka derita kegagalan, sakit, dan lain-lainnya hendaknya dihadapi dengan kesabaran dan
kepercayaan bahwa kita hidup adalah untuk berbakti kepada Allah dan kepada-Nya kita akan
kembali.
Untuk menjaga ketertiban dalam pernikahan, hendaknya :
1.    Pernikahan didahului dengan pinangan yang disampaikan kepada wali dan hendaknya diinsyafi
bahwa tidak baik orang yang mempersulit kelangsungan pernikahan.
2.    Pernikahan dilaksanakan dengan ijab qabul yang dipersiapkan di mana diutamakan pembacaan
khutbah nikah sebagai dituntutkan Nabi saw.
3.    Dalam hidup berumah tangga seorang mukmin seharusnya penuh dengan kebaktian dan selalu
berusaha membersihkan diri dari segala yang haram sampai dalam usaha mencari nafkah
kehidupan.

C.      Membina Keluarga
Keluarga adalah persekutuan hidup berdasarkan pernikahan yang sah terdiri dari suami, istri,
dan anak-anak.  Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan
sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah adalah suatu kesatuan yang diikat oleh
hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga
dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan
sosial, keluarga adalah suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi
dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya.
Pola asuh orang tua dalam keluarga sangatlah penting dalam menuju keluarga sejahtera dan
islami. Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak.
Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya melalui keteladanan dan
kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga.
Dalam berkeluarga perlu pula untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah suatu kegiatan yang
pasti terjadi dalam kehidupan keluarga. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari
kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran, dan sebagainya. Akibatnya kerawanan hubungan
antara anggota keluarga pun sukar untuk dihindari.  Oleh karena itu, komunikasi antara suami
dan istri, antara ayah, ibu, dan ank, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi antara ibu dan
anak dan komunikasi antara anak dan anak perlu dibangun secara harmonis dalam rangka
membangun pendidikan yang baik dalam keluarga.
Dalam menciptakan keluarga yang islami dan sejahtera pasti mendapatkan halangan dan
konflik-konflik yang terjadi. Konflik dalam keluarga sering muncul dalam bentuk yang
bervariasi. Dalam islam, ada salah satu cara mengelola konflik dengan efektif, yaitu dengan
mempergunakan kata “maaf” . konsep maaf ini secara implisit dimaksudkan untuk menepis
perasaan permusuhan, pertentangan batin, atau perkelahian, dan sebagainya yang berpotensi
mencerai beraikan tali ukhuwah.

Dalam kehidupan keluarga, kata maaf ini harus ditradisikan oleh semua anggota keluarga.
Suami (ayah) dan istri (ibu) jangan pelit saling memaafkan. Orang tua tidaklah hina meminta
maaf kepada anak atas kesalahan yang telah diperbuat kepadanya. Pendidikan kemaafan ini
penting untuk dibangun sebagai warisan akhlak al-karimah yang bernilai tinggi.
Ketika konflik dalam keluarga sudah dikelola dengan baik, maka terbukalah jalan untuk
membangun komunikasi yang harmonis dengan memperhatikan aturan hubungan dalam
keluarga.

D.      Kewajiban-Kewajiban dalam Berkeluarga


a.         Kewajiban terhadap Diri Sendiri
Kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia yang
ditugaskan selaku pengatur di dunia ini mempunyai pertanggung jawab yang sangat berat. Untuk
melaksanakan amanat Tuhan yang mulia dan berat itu, maka Tuhan telah memperlengkapi
kehidupan manusia dengan perlengkapan yang sesuai dengan tugas dan kewajibannya.
Sebelum meninjau kewajiban-kewajiban seseorang terhadap yang lain, maka terlebih dahulu
harus difikirkan kewajiban-kewajiban terhadap diri sensiri. Kewajiban seseorang terhadap
dirinya yang terpenting adalah menjaga diri sebaik-baiknya, sehingga memenuhi fungsinya
dengan semestinya. Diantara kewajiban terhadap diri sendiri yaitu : memelihara dan menjaga
badan jasmani sehingga menjadi sehat dan kuat, memelihara dan menjaga jiwa dan hati sehingga
dapat memenuhi tugasnya sebagai manusia, memelihara dan mempertahankan agamanya
sehingga mendapatkan keridlaan Tuhan dan keselamatan dunia dan akhirat.

b.         Kewajiban terhadap Istri


Kewajiban-kewajiban suami merupakan salah satu syarat untuk menuju kepada
kesejahteraan keluarganya.Diantara kewajiban-kewajiban suami terhadap istri adalah berlaku
sopan santun dan selalu bermuka manis serta menampakkan rasa kasih sayangnya kepada istri.
Tidak boleh bertindak atau mengeluarkan ucapan-ucapan yang kiranya dapat menyinggung
perasaannya.

Menaruh perhatian terhadap istrinya dengan selalu menjaga kehormatannya, serta menjaga
nama baik istri dan keluarganya adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan bagi seorang suami.
Mencukupi perbelanjaan rumah tangga terutama untuk makan, minum dan perumahan serta alat-
alat perlengkapannya menurut kadar kekuatannya tidak patut untuk dilupakan.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad yang artinya :
Uang dinar yang kamu berikan untuk kepentingan sabilillah, memerdekakan budak, kamu
sedekahkan kepada orang miskin dan yang kamu berikan sebagai nafkah kepada istrimu,
diantara kesemuanya itu yang terlebih besar pahalanya ialah yang kamu berikan kepada
istrimu.
  
Suami hendaknya berlaku sabar, tenang, lapang dada dalam menghadapi kekurangan-
kekurangan yang ada pada istrinya dengan selalu memberikan bimbingan dan pendidikan ke arah
kebaikan dan mendidik istrinya ke arah kemuliaan budi pekerti serta akhlaknya.

c.         Kewajiban terhadap Suami


Istri hendaknya taat dan patuh serta hormat terhadap suaminya, karena mengingat bahwa
tanggung jawab yang besar di dalam rumah tangga adalah di tangan suami. Perlu diperhatikan
bahwa persamaan hak antara suami dan istri bukanlah berarti bahwa si istri leluasa menyanggah
suaminya. Istri hendaknya berlaku sopan santun dan selalu bermanis muka serta menampakkan
rasa kecintaan dan penuh kepercayaan terhadap suami. Senyum simpul yang selalu nampak pada
wajahnya, dan budi pekertinya serta budi bahasanya yang lemah lembut adalah sifat yang sangat
menarik perhatian suami, yang dapat melipur di waktu susah, menenangkan hatinya disaat
gelisah.
Dalam suatu hadits disebutkan :
Sebaik-baiknya perempuan (istri) ialah yang menyenangkan hatimu bila engkau melihatnya dan
ta’at kepadamu jika engkau perintah, serta dapat menjaga kehormatan dirinya dan harta
bendamu di waktu engkau pergi.
    

Kecakapan mengatur alat-alat rumah tangga, kepandaian memasak serta menjahit, mengasuh
dan mendidik anak adalah kepandaian pokok seorang istri. Selain itu istri hendaknya
menghormati kedua orang tua, saudara dan keluarga suami. Istri hendaknya hemat, cermat dan
rajin serta pandai menyimpan. Uang perbelanjaan rumah tangga hendaknya dipergunakan
dengan yang semestinya serta sehemat-hematnya.

d.        Kewajiban Suami Istri


Suami istri harus pula memperhatikan hal-hal berikut :
1.        Dalam keluarga antara suami dan istri harus setia dalam hubungan berumah tangga, berpegang
teguh kepada dasar dan tujuan perkawinan.
2.        Antara suami dan istri harus dapat menyimpan rahasia rumah tangga.
3.        Suami dan istri harus saling menghargai, menghormati dan percaya serta berlaku jujur terhadap
yang lain.
4.        Masing-masing harus menutupi segala cacat dan cela yang ada pada pihak lainnya.
5.        Masing-masing suami istri harus membiasakan hidup sederhana, berlaku hemat dan cermat.
6.        Setiap persengketaan hendsknya saling dihadapi dengan tenang dan harus berusaha bersedia
menerima penyelesaian.
e.         Kewajiban Anak kepada Orang Tua
     Orang tua adalah orang yang paling besar jasanya kepada anaknya. Keduanya telah
menanggung kesulitan dalam memelihara dan merawat anak mereka sejak dalam kandungan
sampai lahir dan menjadi dewasa. Sebagai timbal balik, islam mengajarkan tuntunan bagaimana
seharusnya seorang anak berbakti pada orang tuanya, yakni :
1.        Mencukupi Kebutuhan Orang Tua
Sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah [2] : 215 yang artinya :
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah,
“Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat,
anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.

“Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.
Akhlak ini berlaku kepada anak yang sudah mandiri dan memiliki penghasilan sendiri.
Meskipun ia sudah sanggup membiayai dirinya sendiri dengan penghasilan yang diperoleh,
hendaknya ia tidak lupa untuk menafkahkan sebagian penghasilannya kepada orang tuanya.

2.        Melayani Orang Tua ketika Diperlukan


Melayani orang tua memiliki bobot ibadah kepada Allah, terutama ketika orang tua sangat
membutuhkan. Sudah semestinya sang anak selalu siaga untuk melayani orang tuanya, meski
tidak dibutuhkan. Kadang, orang tua malu atau segan meminta bantuan kepada anaknya.
Oleh karena itu, seorang anak dituntut memiliki kepekaan yang tinggi. Ia mesti
menyelidiki apa saja yang bisa dibantu. Ketika orang tua terengah-engah memikul beban
kehidupan, dengan sigap sang anak ikut menopang. Jika orang tua kesulitan memecahkan
problematika hidup, dengan gesit anak mencurahkan andilnya.
Menurut hadits ath-Thabrani “Layanilah orang tua mu. Jika kamu ikhlas melakukannya,
maka nilainya sama dengan pahala naik haji, umrah, dan berjihad di jalan Allah,” (H.R. ath-
Thabrani)

3.        Memenuhi Panggilan Orang Tua


Ketika orang tua memanggil sang anak, biasanya mereka memerlukan sesuatu. Karena itu,
anak wajib menjawab dan memenuhi panggilan mereka. Orang tua akan sangat bahagia bila sang
anak dengan segera memenuhi panggilannya. Lebih senang lagi, jika panggilan mereka disambut
dengan penuh hormat dan santun.
Bila orang tua memanggil, sebisa mungkin sang anak cepat-cepat menghadap. Apa pun
yang sedang dikerjakan, ia harus meninggalkannya untuk sementara waktu guna memenuhi
panggilan orang tua. Hukum memenuhi panggilan orang tua adalah wajib.
4.        Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua
Sepanjang perintah orang tua mengandung unsur kabaikan, wajib hukumnya bagi sang
anak mematuhinya. Akan tetapi, bila perintah tersebut menjurus kepada kemaksiatan, maka anak
tidak wajib taat. Hanya saja, kendatipun sikap orang tua menyimpang dari garis agama, sang
anak tetap berkewajiban menggauli mereka dengan baik. Bahkan meski orang tua musyrik, anak
masih berkewajiban menyayangi dan menyantuni mereka.

5.        Berbicara kepada Orang Tua dengan Bahasa yang Sopan dan Lemah Lembut
Salah satu wujud penghormatan anak kepada orang tua adalah bertutur kata yang baik.
Allah berfirman yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik. (Q.S. al-isra [17] : 23)
     Dengan gamblang Allah menyuruh anak untuk senantiasa menghormati orang tuanya.
Ketika anak berbicara dengan orang tuanya, hendaknya tidak ada sepatah kata pun yang
menyakiti hati mereka, baik dari segi kandungan ucapan maupun tata bahasa yang digunakan.
Maksud kandungan ucapan adalah seperti membantah dan menolak. Adapun yang dimaksud
dengan tata bahasa adalah seperti tutur kata yang kasar dan suara yang keras.

6.        Mendoakan Orang Tua


               Mendoakan orang tua adalah kewajiban seorang anak, baik ketika mereka masih hidup
atau sudah meninggal dunia. Hubungan psikologi anak dengan orang tua begitu dekat, sehingga
sangat besar kemungkinan doa dipanjatkan dengan khusyuk. Doa yang khusyuk mudah
dikabulkan oleh Allah swt. Karenanya, sang anak harus selalu berdoa untuk orang tuanya.
               Surah al-Isra [17] ayat 24 yang artinya :
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
“wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada
waktu kecil.”
               Surah diatas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk mendoakan orang
tuanya. Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga Allah menyayangi keduanya sebagaimana
mereka menyayangi pada waktu kecil. Salah satu kemuliaan anak di dunia dan akhirat adalah
kalau mendapatkan restu dan rida orang tua. Orang tua akan sangat senang dan rida jika sang
anak mendoakannya. Tanpa diminta pun, mereka akan mendoakan keselamatan dan kebahagiaan
sang anak di dunia dan akhirat.
f.          Kewajiban Orang Tua kepada Anak
          Kebahagiaan suami istri dalam mengayuh biduk rumah tangga tidak lengkap tanpa
kehadiran seorang anak. Sebab, anak adalah buah hati dan tambatan jiwa. Kepada anak, orang
tua menggantungkan keberlanjutan rantai keturunan dan menumpahkan kasih sayang. Berikut
panduan islam tentang kewajiban orang tua kepada anak :
1.      Melindungi Janin dengan Ikhtiar Lahiriah dan Bathiniah
       Ketika anak berada dalam kandungan, sudah menjadi kewajiban ibu menjaga sang janin
dari segala marabaya yang bisa menimpa. Karenanya, aborsi dalam islam termasuk perbuatan
yang sangat dikutuk. Sebab, itu merupakan pembunuhan terhadap makhluk Allah.
       Untuk melindungi kesehatan bayi, ibu perlu mengonsumsi makanan-makanan yang
bergizi. Sebab, saripati makanan itu diserap oleh janin dan disalurkan ke seluruh bagian fisiknya.
Jika saripati makanan tersebut mengandung gizi yang tinggi, tentu kondisi fisik anak akan kuat
dan tangguh. Sebaliknya, kondisi sang anak akan lemah jika asupan makanan ibunya
mengandung kadar gizi yang rendah.
       Kondisi psikologis ibu juga perlu mendapat perhatian. Ketika mengandung, ibu perlu
menata hati agar tidak mudah terguncang. Guncangan yang hebat memiliki pengaruh fatal pada
janin.

2.      Memberikan Nafkah dengan Harta yang Halal


           Pengaruh nafkah yang halal terhadap kualitas anak uang dilahirkan sangatlah besar. Setiap
nafkah yang dikonsumsi anak dapat memengaruhi kualitas keimanan dan kesalehannya. Jika
makanan yang diberikan kepada anak adalah halal, baik dari segi barang maupun asal-
muasalnya, maka peluang anaknya untuk menjadi saleh sangat tinggi. Sebab, makanan itu akan
mengalir dalam darahnya dan mengiringi setiap langkah hidupnya. Begitu juga, jika nafkah yang
diberikan kepada anak berasal dari barang haram, mustahil ia tumbuh menjadi anak yang pintar,
cerdas, dan brilian, tetapi kualitas hatinya sangat kerdil.

3.      Mengkhitan Anak
           Khitan adalah praktik memotong selaput kulit yang menutupi kepala zakar lelaki atau
memotong sedikit ujung daging yang tumbuh dalam kemaluan perempuan. Khitan bagi anak
laki-laki mengandung hikmah yang sangat banyak. Menurut kedokteran, khitan dapat
menyehatkan organ seksual dan menyelamatkannya dari bakteri-bakteri pengganggu, serta
menjaga zakar dari kenajisan air kencing.
           Mengenai hukum berkhitan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Hasan al-Basri, hukum khitan adalah sunah. Tetapi bagi Imam
Syafi’i dan Imam Malik, hukum khitan adalah wajib.
4.      Merawat Anak dengan Penuh Kasih Sayang
           Sebagai amanat yang dititipkan Allah kepada orang tua, anak wajib dirawat, dibesarkan,
dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Salah satunya adalah dengan memberikan asupan
makanan yang bergizi. Melalui cara ini, anak dapat tumbuh sehat dan cerdas.
Dalam islam, seorang ibu dibimbing untuk menyusui anaknya sampai dua tahun. Mulai
sejak lahir sampai berumur dua tahun, hendaknya anak hanya diberikan air susu ibu (ASI), bukan
makanan lainnya. Panduan tentang menyusui anak ini tertuang dalam firman Allah yang artinya
berikut.
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena
anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Baqarah [2] : 223)

5.      Mendidik Anak dengan Baik


Sebagai amanat Allah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya, anak
memerlukan pendidikan yang baik dan memadai dari orang tua. Pendidikan di sini bermakna
luas, baik berupa akidah, etika, maupun hukum islam. Selain itu, pendidikan tidak hanya dapat
dijalankan di sekolah, tetapi juga di rumah.
Pendidikan di rumah dilakukan sejak anak masih kecil sampai beranjak dewasa.
Pendidikan di sekolah hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan peran orang tua yang
diserahkan kepada guru. Sebenarnya, yang lebih dominan adalah pendidikan yang ditanamkan
orang tua. Pendidikan di sekolah hanya mencakup pendidikan keilmuan, sedangkan pendidikan
yang berkaitan dengan akidah dan akhlak tetap berada dalam tanggung jawab orang tua secara
penuh.
BAB III PENUTUPAN

A.           Simpulan
       Keluarga adalah unit terkecil di masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Untuk
membina keluarga perlu menjalankan sebuah pernikahan terlebih dahulu, pernikahan yang sah
menurut agama dan negara. Sebelum melakukan pernikahan, harus menjalankan persiapan-
persiapan sebelum menikah yaitu memilih calon pasangan yang seagama terutama, dan sudah
dipastikan bukan muhrimnya. Selain memilih calon pasangan, harus diadakan peminangan dari
seorang laki-laki pada seorang wanita untuk menyampaikan maksud ingin menikahi.
       Dalam pelaksanaan pernikahan terdapat hukum-hukum nikah, larangan-larangan nikah, dan
syarat sah pernikahan yang terdiri dari akad, wali, dua orang saksi, dan mahar. Setelah terjadinya
penikahan, akan membentuk sebuah keluarga. Membangun keluarga yang sakinah, mawadah,
warrahmah tidaklah mudah, penuh dengan rintangan dan tantangan. Agar dapat menciptakan
keluarga yang bahagia dan sejahtera, islam mengajarkan kewajiban-kewajiban setiap anggota
keluarga.

B.            Saran
       Diharapkan setiap umat islam dapat menjaga dan membina keluarganya dengan sebaik-
baiknya. Harus terjadi keselarasan di antara anggota keluarga. Setiap anggota keluarga harus
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga di rumah. Untuk yang akan
berumah tangga diharapkan dapat memilih pasangan yang jelas bibit bebet bobotnya, jelas
agama dan ketaatannya terhadap agama, memilih pasangan yang sholeh.
DAFTAR PUSTAKA

Nuri, Sukamto. 1981. Petunjuk Membangun dan Membina Keluarga Menurut Ajaran


Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Thalib, Sayuti. 1974. Hukum kekeluargaan Indonesia. Jakarta: VIP.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Salamulloh, M Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Pendidikan Indonesia. 2009. Islam Tuntutan dan
Pedoman Hidup. Bandung: Value Press

Anda mungkin juga menyukai